‘Konspirasi’ Mei 1998: Kisah Para ‘Brutus’ di Sekitar Jenderal Soeharto (3)

DALAM setiap pergantian rezim kekuasaan, akan selalu ada manusia dengan peran Brutus. Meski tak selalu Brutus itu dengan sendirinya tak berguna. Brutus sendiri –dalam naskah Shakespeare– mengaku ikut menusukkan belati ke tubuh Julius Caesar justru karena kecintaan kepadanya. “Begitu besar cintaku kepadanya, sehingga aku tak ingin membiarkannya hidup sebagai seorang diktator tiran”. Mencegah kediktatoran, adalah suatu alasan yang idealistik. Tetapi anggota-anggota Senat yang berkonspirasi dalam pembunuhan Julius Caesar, 15 Maret 44 SM,  untuk sebagian juga adalah orang-orang yang mengkhianati rakyat dan menjadi kaya karena korup. Adalah Senat itu pula pada tahun yang sama, 44 SM, beberapa waktu sebelum konspirasi pembunuhan menetapkan Caesar sebagai penguasa seumur hidup. Apapun, bagi penyair besar abad 14 Dante, Brutus dan Cassius adalah pengkhianat. Maka dalam karya besarnya, Divina Commedia, Dante memberikan tempat bagi keduanya di kerak bumi yang terdalam dan gelap –neraka menurut versi sang penyair– bersama Judas Iskariot sang murid yang mengkhianati Jesus Kristus.

PRESIDEN SOEHARTO, BJ HABIBIE, JENDERAL WIRANTO, 21 MEI 1998. “Sejauh yang bisa dicatat, tindak-tanduk Jenderal Wiranto pada Mei 1998 itu, tidak pernah mendapat kejelasan resmi hingga kini, karena ia tak pernah dimintai pertanggunganjawab untuk itu. Dan ketika diminta memberi keterangan kepada TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) Peristiwa Mei 1998 yang diketuai Marzuki Darusman, Jenderal Wiranto tidak bersedia”. (Foto Reuters/Enny Nurhaeni)

Permainan di zona abu-abu. Menjelang kejatuhan Soekarno, tak sedikit kaum Brutus yang muncul atau paling tidak, ada sejumlah orang yang dengan cepat melompat keluar dari kapal yang akan karam. Dan orang-orang seperti ini biasanya bisa terbawa kembali ke dalam rezim yang baru. Ketika Jenderal Soeharto selaku pemegang Surat Perintah 11 Maret 1966, menyusun Kabinet Ampera I akhir Juli 1966, ia membiarkan beberapa nama yang masih dikehendaki Presiden Soekarno, terbawa dalam kabinet baru itu, sambil membawa juga tokoh-tokoh ex pendukung Bung Karno yang telah meloncat duluan dari kapal. Wartawan senior Mochtar Lubis ketika itu mengecam dan mengatakan, bagaimana mungkin kita membiarkan orang-orang yang pernah menjadi pendukung setia Bung Karno, kembali berada dalam kekuasaan. Mochtar Lubis menginginkan dan meminta Jenderal Soeharto berani meminggirkan saja tokoh-tokoh seperti itu. Tetapi terbukti kemudian, bahwa Jenderal Soeharto, tetap menggunakan beberapa bekas anggota rezim Soekarno dalam pemerintahannya.

Sejarah berulang dalam peralihan kekuasaan Mei 1998. Orang-orang yang pernah menjadi golden boys Soeharto, atau tokoh-tokoh yang pernah dibesarkan Soeharto, sebagian terbawa kembali dalam rezim berikut. Mereka mendapat posisi, baik di bawah Presiden BJ Habibie maupun di bawah presiden-presiden berikutnya, sampai kini. Antara dua rezim kekuasaan memang selalu terdapat zona abu-abu yang terisi dengan peran-peran yang juga abu-abu. Memang politik dan dunia kekuasaan itu serba abu-abu. Di Indonesia, tak ada tradisi pertanggungjawaban yang jelas dari rezim ke rezim, maupun dari kabinet ke kabinet. Maka tak mengherankan bila sejumlah keburukan kekuasaan akan selalu terestafetkan dari waktu ke waktu. Ini rahasianya, mengapa perilaku korupsi langgeng dan memiliki pola dasar yang sama dari masa ke masa, bahkan kadangkala makin kreatif. Suap dan korupsi, dalam humor Gus Dur, di masa lampau dilakukan di bawah meja, kemudian di masa berikutnya dilakukan di atas meja, dan akhirnya mejanya sekalian dikorupsi. Terakhir, yang sudah tak terjangkau lagi oleh cerita Gus Dur, suap dan korupsi dilakukan tanpa memerlukan meja lagi. Apa yang mau dikorupsi sudah dirancang lebih dulu lalu dimasukkan ke APBN maupun APBN-P. Persekongkolannya pun bisa dilakukan di coffeshop hotel-hotel atau melalui Blackberry Messenger.

DALAM surat kepada Presiden Soeharto, 20 Mei 1998, jajaran Menteri Ekuin yang dikoordinasi Ginandjar Kartasasmita, menyampaikan kesimpulan bahwa ekonomi Indonesia takkan mampu bertahan lebih dari satu minggu apabila tidak diambil langkah-langkah politik yang cepat dan tepat sesuai aspirasi yang ada di masyarakat. Bersamaan dengan itu mereka mengatakan pembentukan kabinet baru yang dirancang Soeharto takkan menyelesaikan masalah. Mereka –Ginandjar Kartasasmita, Akbar Tandjung, AM Hendropriyono, Giri Suseno, Rahardi Ramelan, Haryanto Dhanutirto, Subiakto Tjakrawerdaya, Rahmadi Bambang Sumadhijo, Ir Kuntoro, Theo Sambuaga, Tanri Abeng, Sanyoto Sastrowardoyo, Justika S. Baharsjah, Ir Sumahadi– menyatakan tak bersedia untuk ikut lagi dalam kabinet baru. Dua menteri ekonomi lainnya, Bob Hasan dan entah mengapa Fuad Bawazier, menolak untuk ikut hadir dalam pertemuan 20 Mei di Gedung Bappenas. Agaknya, Fuad adalah ICMI yang loyalis Soeharto, sementara mayoritas menteri yang meninggalkan Soeharto umumnya adalah anggota ICMI pengikut BJ Habibie. Pada hakekatnya kesimpulan 14 menteri ini mensuggestikan saran pengunduran diri bagi Soeharto. Keinginan yang sebenarnya sejajar dengan Amien Rais yang mengancam akan mengerahkan satu juta massa di Monas 20 Mei bila Soeharto tak mau mengundurkan diri. Secara keseluruhan memang ICMI menjadi salah satu kekuatan yang ingin mengakhiri kekuasaan Soeharto lalu menggunakan kesempatan untuk masuk ke dalam kekuasaan menumpang gerbong BJ Habibie.

Panglima ABRI Jenderal Wiranto, dalam pada itu, bisa mengesankan diri tak ikut meloncat meninggalkan kapal yang akan karam. Jenderal Wiranto malah sempat menanggapi pernyataan para pimpinan DPR yang meminta Presiden Soeharto mengundurkan diri. Menurut Panglima ABRI itu, “ABRI berpendapat dan memahami bahwa pernyataan pimpinan DPR-RI agar Presiden Soeharto mengundurkan diri adalah sikap dan pendapat individual meskipun disampaikan secara kolektif”. Wiranto menegaskan, “Sesuai dengan konstitusi, pendapat seperti itu tidak memiliki kekuatan hukum”. Tentu saja pernyataan Wiranto mengejutkan dan mengecewakan mahasiswa yang sedang ‘gembira’ dengan pernyataan pers para pimpinan DPR Harmoko dan kawan-kawan sebelumnya, yang menganjurkan Soeharto mundur. Tapi perlu dicatat, pernyataan Wiranto itu keluar setelah ia bertemu Presiden Soeharto dan mendapat teguran-teguran dari sang atasan.

Dan ketika pengunduran diri Jenderal Soeharto akhirnya terjadi 21 Mei, usai pelantikan BJ Habibie sebagai Presiden, Jenderal Wiranto kembali mengeluarkan pernyataan, bahwa ABRI tetap menjamin keamanan para mantan Presiden, termasuk keamanan Jenderal Soeharto dan keluarga.

Dua pernyataan Jenderal Wiranto tersebut dengan sendirinya menjadi persoalan menarik, karena ia sebenarnya memiliki peran di balik layar memberikan ‘keleluasaan’, sehingga pendudukan massa mahasiswa terhadap Gedung MPR/DPR bisa terjadi pada 19 Mei 1998 secara berangsur-angsur sejak jam 10 pagi.

Lima hari sebelumnya, 14 Mei, Jenderal Wiranto juga sempat menciptakan tanda tanya, ketika ia bersama pimpinan teras ABRI lainnya meninggalkan Jakarta untuk menghadiri sebuah acara di Malang. Padahal, saat itu seharusnya telah bisa terbaca akan terjadi kerusuhan besar di Jakarta. Letnan Jenderal Sintong Pandjaitan melalui buku ‘Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando’ (Hendro Subroto, Penerbit Buku Kompas, 2009) menyatakan keheranannya terhadap apa yang dilakukan Panglima ABRI Wiranto dan para jenderalnya. “Kalau mereka tahu akan terjadi kerusuhan yang begitu dahsyat tetapi memutuskan tetap pergi ke Malang, maka mereka membuat kesalahan. Tetapi kalau mereka tidak tahu akan terjadi kerusuhan, mereka lebih salah lagi. Mengapa mereka sampai tidak tahu?”.

Dua hari setelahnya, 16 Mei 1998, Wiranto memperlihatkan ‘ketidakpatuhan’nya kepada Presiden Soeharto. Ia ‘menolak’ menjadi Panglima Komando Operasi Kewaspadaan dan Keselamatan Nasional (KOPKKN), semacam Kopkamtib baru, yang dituangkan melalui Inpres No. 16 tahun 1998. “Setelah Jenderal Wiranto menolak Panglima Tertinggi ABRI, pada saat itu juga ia harus langsung mengundurkan diri”, kata Sintong Pandjaitan.

Sejauh yang bisa dicatat, seluruh tindak-tanduk Jenderal Wiranto pada Mei 1998, terutama pembiaran-pembiaran yang dilakukannya sehingga terjadi kekerasan vertikal maupun horizontal di masyarakat, tidak pernah mendapat kejelasan resmi hingga kini, karena ia tak pernah dimintai pertanggunganjawab untuk itu. Dan ketika diminta memberi keterangan kepada TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) Peristiwa Mei 1998 yang diketuai Marzuki Darusman, Jenderal Wiranto tidak bersedia. Sementara itu para jenderal lainnya, cenderung memberi jawaban yang berputar-putar.

Dengan dua pernyataannya, saat menanggapi Harmoko dan kawan-kawan maupun saat menyatakan jaminan keselamatan bagi Jenderal Soeharto dan keluarga, Jenderal Wiranto sedikit mirip dengan Marcus Antonius. Tapi atas tindakan-tindakannya yang lain, bisa saja ada yang menganggapnya bagaikan Brutus bagi Soeharto.

Sejarah yang akan menentukan penilaian. Lalu, bagaimana menilai keberadaan tokoh-tokoh seperti Jenderal Wiranto dan sejumlah jenderal lainnya, Ginandjar Kartasasmita dan 13 menteri di bawah koordinasinya yang menolak ikut kembali dalam kabinet baru Soeharto,  Harmoko atau BJ Habibie, yang bagaimanapun juga menjadi besar melalui kesempatan yang diberikan Soeharto?

Dari sudut kepentingan gerakan reformasi, mereka tentu saja berjasa, dan mungkin saja bisa dianggap pahlawan at the moment. Tanpa mereka, barangkali Soeharto yang telah berkuasa selama 32 tahun, takkan pernah bisa diakhiri. ‘Senjata’ dan situasi terbaik untuk bisa menjatuhkan seorang raja adalah kehadiran ‘musuh dalam selimut’, atau pengkhianatan, atau keberhasilan ‘memasukkan’ sebuah Kuda Troya.

Sebaliknya, bagi Soeharto, tentu mereka memang sesungguhnya adalah para Brutus.

Mana yang benar dari kedua sudut pandang itu, sejarah yang akan menentukan dan memberikan penilaian, meskipun sejauh ini sejarah kekuasaan Indonesia masih didominasi warna abu-abu. (socio-politica.com)

2 thoughts on “‘Konspirasi’ Mei 1998: Kisah Para ‘Brutus’ di Sekitar Jenderal Soeharto (3)”

  1. persoalannya pak harto belum pernah serius menyiapkan generasi penggantinya yang kuat tetapi berpihak kepada dia. saya sendiri heran orang sekuat dia 32th bisa enggak tahu bakal kayak gini mungkin pak harto kurang berbagi dan atau indonesia lebih luas dari kuba , iran atau venezuela

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s