Catatan Dr Midian Sirait*
BEBERAPA tahun sudah epoche reformasi berlangsung dan dalam jangka waktu itu pengalaman kita bertambah dengan menjalani apa yang kita sebut sebagai alam demokrasi yang sesungguhnya. Suatu atmosfir demokrasi yang ingin dibedakan dengan apa yang dijalani dalam masa orde baru. Melihat dari sudut pembangunan semata, untuk sebagian apa yang disebut hasil pembangunan pada masa lampau itu sesungguhnya telah terasa, khususnya hasil pembangunan fisik antara lain dengan adanya jalan-jalan tol, serta dibangunnya jaringan irigasi mulai dari yang primer hingga tertier.
Ada masa yang cukup dalam merasakan stabilitas dan keamanan, namun dengan itu saja, masih dianggap kurang. Dalam kehidupan politik, terdapat dua partai dan satu golongan karya. Kini dalam masa reformasi, kehidupan politik berbeda, muncul 48 partai sebagai peserta dalam pemilihan umum tahun 1999, yang merupakan pemilihan umum kedua dengan sistem multi partai setelah Pemilihan Umum 1955. Setelah itu tak hentinya partai baru bermunculan mengikuti pemilu-pemilu reformasi berikutnya, sementara Golongan Karya pun telah berubah menjadi partai. Dan selama masa reformasi ini, ideologi Pancasila bisa dikatakan samasekali tak pernah lagi disebutkan. Apa sebenarnya yang terjadi dan apa sebabnya ?
KITA harus kembali melihat sejarah Republik Indonesia, yakni pada momen pembicaraan sejumlah tokoh bangsa dalam rangka persiapan kemerdekaan kita pada bulan-bulan Mei dan Juni 1945, antara lain penyampaian pidato Bung Karno 1 Juni, dan kemudian para pendiri republik itu bersama merumuskan Pancasila serta Undang-undang Dasar 1945. Kita pun harus bertanya kembali, kenapa tak ada lagi effort lanjutan yang memadai untuk menguji berbagai perundang-undangan terhadap Pancasila. Perlu bertanya pada diri kita sendiri, sampai di manakah dalam kehidupan politik –dalam infra struktur dan supra struktur politik, khususnya parlemen– telah dihasilkan undang-undang yang menjadi tuntutan Pancasila, khususnya mengenai keadilan sosial. Dan berapa undang-undang yang telah dihasilkan dan bagaimana pelaksanaannya.
Mari kita kaji kembali semua itu. Bagaimana pula harus bersikap terhadap suara-suara yang mengatakan Pancasila itu tidak relevan lagi pada masa sekarang ini. Dan bagaimana bersikap terhadap adanya beberapa kalangan masyarakat yang menempatkan bagian pembukaan di luar Undang-undang Dasar 1945 karena letaknya yang berada di atas dan bukan di bawah judul Oendang-oendang Dasar dalam naskah perumusan. Tetapi untuk ini perlu dicatat bahwa dalam penerbitan resmi pemerintah Berita Repoeblik Indonesia, tanggal 15 Februari 1946, judul Oendang-oendang Dasar telah diletakkan di atas bagian Pemboekaan, dan setelah itu langsung masuk ke Bab I, Bab II dan seterusnya. Lalu ada bagian penjelasan. Dengan demikian ada satu kesatuan, pembukaan Undang-undang Dasar sekaligus merupakan deklarasi pembentukan negara, dan penyebutan secara tersirat Pancasila melalui pencantuman sila-silanya merupakan norma dasar atau grundnorm. Selanjutnya terdapat pasal-pasal yang berdasarkan grundnorm itu mencantumkan adanya lembaga-lembaga negara, hak-hak warga negara serta berbagai masalah dalam penyelenggaraan negara itu.
Pancasila adalah pandangan hidup bangsa, selain merupakan ideologi negara. Bung Karno menyebutkannya sebagai weltanschauung dan phylosofise grondslag. Pancasila terdiri dari lima sila, dengan masing-masing sila mempunyai fungsi yang pengaruh-mempengaruhi, sehingga dapat dikatakan sebagai suatu ideologi. Secara harfiah ideologi dapat dikatakan sebagai ilmu tentang gagasan-gagasan. Pancasila pun adalah suatu ideologi, yang mengandung wawasan dan gagasan yang menggambarkan suatu cita-cita. Sebagai ideologi, Pancasila dengan demikian merupakan satu kerangka atau struktur bangunan yang tersusun dari nilai-nilai, gagasan-gagasan azasi fundamental tentang manusia, yang membentuk satu sistem. Dan dalam kedudukan sebagai ideologi itu Pancasila menjadi dasar bagi gagasan politik, ekonomi, sosial dan pertahanan keamanan.
Dapat dikatakan, sila-sila Pancasila mempunyai hubungan struktural fungsional satu dengan yang lainnya. Dalam konteks hubungan struktural fungsional, bila sesuatu bagian fungsional, tetapi tidak berpengaruh kepada bagian-bagian yang lain, kita hanya menyebutkannya sebagai fungsional. Tetapi jika bagian itu berpengaruh kepada bagian yang lain, barulah kita sebutkan bagian itu fungsional secara struktural. Dalam analogi sederhana, bila lampu listrik dinyalakan siang hari ia fungsional, tetapi bila dinyalakan pada malam hari ia fungsional secara struktural. Fungsinya itu langsung berpengaruh kepada yang lain, maka disebut berada dalam pengertian struktural fungsional. Memang ada bagian-bagian yang bisa berjalan sendiri-sendiri.
Dalam pengertian Pancasila, bila sila-silanya dikatakan kait mengait satu sama lain, itu berarti secara keseluruhan ia bersifat struktural dan fungsi-fungsi dari masing-masing sila itu berjalan dan berpengaruh satu kepada yang lain. Sila kesatu dan kedua terpadu sebagai satu nilai spiritual dasar, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa yang merupakan kesatuan dengan kemanusiaan yang adil dan beradab. Dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 sila ini dirumuskan sebagai kemanusiaan yang adil dan beradab. Pada sila Ketuhanan Yang Maha Esa ini, terdapat transendental ethics di dalamnya. Sedangkan sila tentang etik kemanusiaan yang adil dan beradab, adalah produk sejarah kemanusiaan itu. Dalam pandangan dan rumusan Dr Soepomo juga terdapat pemahaman yang menyatukan kedua sila, sebagai nilai Ketuhanan Yang Maha Esa berdasar kepada kemanusiaan yang adil dan beradab. Dalam penjelasan mengenai pembukaan Undang-undang Dasar 1945 ditegaskan bahwa negara berdasar atas keTuhanan yang maha esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. “Oleh karena itu undang-undang dasar harus mengandung isi yang mewajibkan pemerintah dan lain-lain penyelenggara negara, untuk memelihara budi-pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur”.
Nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri tidak pernah berdiri sendiri tanpa hubungan dengan paham mengenai Ketuhanan. Dalam setiap bangsa, selalu ada pengakuan tentang Ketuhanan, meskipun pada mulanya tidak selalu sudah merupakan pengertian Ketuhanan yang monotheistik. Dan karena berketuhanan, manusia mengakui aspek-aspek kemanusiaan dan peri kemanusiaan. Apalagi dalam kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, selalu terkandung ajaran untuk mencintai sesama.
Dua sila yang terletak pada urutan depan itu, yakni sila kesatu dan sila kedua sebagai satu kesatuan, dapat kita sebutkan sebagai nilai-nilai spiritual Pancasila.
Sila ketiga, yakni sila persatuan nasional, yang disambungkan dengan pengertian bhinneka tunggal ika, menjadi bagian struktur, yang ditopang oleh nilai spiritual tadi. Dengan dasar spiritual itu, persatuan nasional menjadi cita-cita karena fakta kebhinnekaan. Sebaliknya, karena kebhinnekaan tampil persatuan nasional, menjaga bangsa yang memiliki kemajemukan ini tetap utuh sebagai satu bangsa. Dalam persatuan nasional ini terkandung pengertian kesatuan wilayah, patriotisme, cinta tanah air, cinta tanah tumpah darah, ibu pertiwi serta kebanggaan nasional.
Gagasan penyelenggaraan negara yaitu kerakyatan atau demokrasi dan keadilan sosial, adalah demokrasi yang sesuai dengan budaya Indonesia dijalankan dengan cara musyawarah. Dalam pengertian musyawarah terdapat pengertian terkait dengan persaudaraan dalam menjalankan demokrasi. Mohammad Hatta menggunakan istilah kekeluargaan untuk itu, sementara Soekarno memilih istilah gotong royong. Mungkin istilah yang lebih tepat adalah persaudaraan yang melahirkan makna kedaulatan rakyat dalam persaudaraan. Dengan prinsip persaudaraan maka berlaku mekanisme musyawarah dalam pengambilan-pengambilan keputusan mengenai hal-hal yang merupakan kepentingan bersama.
*Tulisan ini adalah catatan awal buku ‘Revitalisasi Pancasila – Catatan-catatan tentang Bangsa yang Terus Menerus Menanti Perwujudan Keadilan Sosial’. Diterbitkan Kata Hasta Pustaka, 2008. Ditulis oleh Dr Midian Sirait, menyambut ulang tahunnya yang ke-80. Ini bukunya yang terakhir. Kini beliau sudah almarhum. Dr Midian Sirait adalah tokoh lengkap. Tentara pelajar di masa perjuangan kemerdekaan, Pembantu Rektor III bidang Kemahasiswaan ITB di masa pergolakan 1965-1966. Pernah menjadi Direktur Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan. Ahli farmasi dan filsafat, tetapi lebih dikenal sebagai ‘doktor’ perombakan struktur politik.
Berlanjut ke Bagian 2