Corona dan Kegagalan Rezim: “Pay It Forward”

MUNGKIN tak terlalu perlu lagi diperdebatkan –dan hanya perlu diakui secara jujur– bahwa pemerintahan Joko Widodo sejauh ini tak berhasil membendung pandemi Corona. Bermula dari terlambat sadar datangnya bahaya, dan masih sempat membuang waktu dengan berbagai guyon dan retorika tokoh-tokoh kekuasaan yang mengecil-ngecilkan bahaya dengan optimisme tak berdasar.

Bila dikritik dan diingatkan adanya bahaya pandemi, pada mulanya, tokoh-tokoh pemerintahan dengan ketus menyebut para pengeritik berniat menimbulkan kepanikan. Gubernur DKI Anies Baswedan yang secara dini ingin menerapkan lockdown, dikeroyok ramai-ramai. Bahkan ketika pada bulan Maret sudah terbukti adanya korban penularan COVID-19, sejumlah pejabat pemerintah masih juga belum menghentikan kelakar, termasuk saat mulai ada seorang menteri tertular.

The New York Times akhir Juli menyimpulkan dalam beritanya bahwa Indonesia gagal membendung virus Corona. Koran itu menyebut, Presiden Joko Widodo sendiri pada mulanya memandang remeh wabah ini, dan terlambat menutup sementara pintu masuk negara, kegiatan bisnis dan sekolah. Pemerintah sempat membatasi perjalanan, tetapi dengan sangat cepat mencabut larangan terkait. Bahkan bertindak ambigu, mengerahkan influencer berbiaya puluhan milyar rupiah untuk mengundang turis asing masuk Indonesia pada saat secara umum disadari perlu ada pembatasan. Pemerintah pusat seringkali seakan bingung dan tak beraturan antara satu pejabat dengan pejabat lain. Mungkin benar, seperti dikatakan Said Didu sang pengeritik, bahwa pemerintah sesungguhnya telah frustrasi.

Piramida kurban manusia

Presiden Joko Widodo dan para pejabat di bawahnya sempat seakan ikut arus utama medan opini bahwa kesehatan rakyat harus diutamakan. Namun dalam kenyataan, pada hakekatnya concern penyelamatan ekonomi tetap lebih dinomorsatukan. Tuntutan-tuntutan kalangan konglomerasi dan para kaum kaya pada umumnya lebih diutamakan, dalam jalinan kepentingan yang kental. Ekonomi memang tetap penting diselamatkan, tetapi tak semestinya dengan menomorduakan keselamatan rakyat. Tak perlu jadi pilihan si buah malakama.

JOKO WIDODO BLUSUKAN DI LORONG GELAP MEMBAGI SEMBAKO DI MASA COVID. Presiden Joko Widodo dan para pejabat di bawahnya sempat seakan ikut arus utama medan opini bahwa kesehatan rakyat harus diutamakan. Namun dalam kenyataan, pada hakekatnya concern penyelamatan ekonomi tetap lebih dinomorsatukan. (Gambar head, Joko Widodo di lorong gelap. Foto-foto orisinal, download) #socio-politica

Dengan adanya pandemi Corona, konglomerasi dihadapkan pada risiko kehilangan atau berkurangnya keuntungan. Lalu banyak di antara mereka yang “berteriak” dan atau menyuruh orang berteriak-teriak tentang bahaya yang dihadapi kehidupan ekonomi. Bukan karena sudah gulung tikar –nyatanya mereka mungkin tak punya tikar yang gampang tergulung– tetapi terutama takut kekayaannya menurun karena berkurangnya pendapatan. Psikologi orang kaya adalah, sangat takut menjadi miskin, meski dalam kenyataan yang terjadi hanyalah laju pertambahan kekayaannya yang terhenti. Tak mudah menjadi miskin bila punya akumulasi kekayaan 100 hingga 500 triliun rupiah.

Justru kalangan akar rumput, terutama di perkotaan, yang secara lebih nyata berhadapan dengan pintu kematian. Mati secara cepat, bila tersungkur oleh badai pandemi tanpa bisa ditolong dengan baik oleh para pengayomnya. Dan, secara lebih lambat melalui hilangnya mata pencaharian lalu mati pelan-pelan karena “kelaparan” bertahap. Kalangan akar rumput di pedesaan bisa lebih mampu untuk survival meski tanpa pertolongan pemerintah. Pertama, mereka relatif lebih jauh dari sumber penularan Corona. Kedua, bila ekonomi di perkotaan merosot, mereka yang di pedesaan masih punya budaya tolong menolong yang kuat, dan masih bisa bekerjasama dengan alam untuk menghidupi diri. Kelihatannya memang, pandemi Corona lebih banyak menjadi persoalan bagi mereka yang berada di perkotaan daripada mereka yang berada di pedesaan. Tinggal menjaga agar jangan sampai mereka yang diperkotaan terlalu banyak mudik –seperti yang terjadi terutama di pulau Jawa– ke kampung halaman mereka. Tetapi itu  telah terjadi saat para tokoh kekuasaan bersikap tak jelas, membedakan mudik dengan pulang kampung.

Tatkala pengelola negara terlalu mengutamakan kepentingan ekonomi untuk kepentingan kalangan kapitalis, saat itu terjadi apa yang dinamakan penciptaan piramida korban manusia. Ada empat negara dengan penduduk terbesar di dunia. Menurut data divisi kependudukan PBB, sampai dengan Agustus 2020, populasi China mencapai 1.439.323.776 jiwa. Disusul India dengan populasi 1.380.004.385 jiwa dan Amerika Serikat 331.002.657 jiwa. Di tempat keempat, Indonesia dengan 273.523.615 jiwa. Maka tak mengherankan bahwa yang menjadi korban pandemi di negara-negara berpopulasi terbesar ini, juga besar secara kuantitatif.

Berita terbaru pertengahan September, India menembus di atas 5 juta kasus. Terjadi pelonjakan angka penularan sebesar 1 juta dalam 11 hari sejak 5 September 2020. Dan menurut para ahli, tindakan-tindakan keliru pemerintah India di masa-masa awal, berkontribusi terhadap peningkatan kasus. Per 18 September di dunia tercatat 30,3 juta kasus. Amerika Serikat tertinggi dengan 6.866.426 kasus, India di urutan kedua dengan 5.212.686 kasus, ketiga Brazil dengan 4.455.386 kasus, dan keempat Rusia 1.085.281 kasus. Kelima, Peru dengan 744.400 kasus.

Menanjak ke posisi lima besar

Indonesia sendiri saat ini sedang mengalami penanjakan penularan menuju angka akumulasi 300.000 kasus, dari 236.519 kasus pada 18 September 2020. Peningkatan kasus per hari telah mencapai pertambahan mendekati 4.000 per hari, yakni 3.963 per hari pada 16 September dan 3.891 pada 18 September. Jumlah daerah zona merah sudah di atas 40. Zona oranye 293 kabupaten/kota. Ini lebih dari separuh kabupaten/kota di Indonesia. Tercatat 5 provinsi teratas dalam kenaikan kasus kematian tertinggi dalam sepekan terakhir hingga 18 September yaitu Sumatera Barat, Bali, Riau, DKI Jakarta dan Jawa Timur. Dan 5 provinsi dengan prosentase kematian tertinggi, yakni Jawa Timur, Jawa Tengah, Bengkulu, Sumatera Barat dan Nusa Tenggara Barat. Lalu 5 kabupaten/kota dengan angka kematian tertinggi yaitu Surabaya, Semarang, Jakarta Pusat, Manado dan Mataram.

Dua ahli Indonesia, ahli epidemiologist dari Universitas Indonesia Dr Pandu Riono dan Dr Dicky Budiman –yang berpengalaman 20 tahun menghadapi pandemi SARS dan HIV untuk negara-negara ASEAN– menghitung bahwa Indonesia akan menembus angka penularan di atas 1 juta. Dengan demikian akan menempati urutan 5 besar dunia dalam penularan pandemi Corona. Bahkan, berkemungkinan melampaui Rusia yang kini berada di urutan keempat. Peluang ke arah itu didukung pendapat ahli epidemiologi Universitas Nasional Singapura Jeremy Lim –yang telah meneliti dengan cermat busur pandemi di Indonesia. Seperti dikutip The Sydney Morning Herald, Jeremy percaya bahwa Indonesia kemungkinan memiliki jumlah kasus yang jauh lebih tinggi dari yang diumumkan resmi. Adanya fenomena gunung es sebagai akibat ketidakterbukaan informasi, telah ditengarai sejak beberapa bulan ini.

Pay it forward

Kita semua terikat oleh apa yang telah dilakukan dan tidak dilakukan pemerintah di masa awal pandemi. Semua ikut memikul beban, meski tak semua sempat menjadi bagian dari segelintir penikmat kue ekonomi kemerdekaan. Berlaku “you reap what you sow” – engkau menuai apa yang engkau tabur. Mungkin semacam karma menurut ajaran Hindu dan Budha. Dalam surat Ar-Rum:41 terkandung makna bahwa segala kerusakan di darat dan di laut yang disebabkan perbuatan manusia, maka manusia akan merasakan akibat perbuatan mereka dan dengan itu hendaknya kembali ke jalan yang benar. Dalam makna lebih sederhana, luas dan umum, tindakan-tindakan yang tidak tepat, akan ada akibatnya.

Tentu rezim penguasa pada waktunya perlu dimintai pertanggungjawaban. Itu soal politik dan konsekuensi dalam kehidupan bernegara. Jangan sampai ada teguran keras dari rakyat, seperti apa yang pernah diucapkan tokoh Sawerigading dalam karya sastra Bugis klasik Lagaligo saat menegur seseorang: “Karena besarmu, besar pula kebodohanmu. Karena tinggimu, tinggi pula kedunguanmu.” Tetapi sebelum itu –tatkala tuntutan kepada pemegang kekuasaan negara belum terlalu menajam–  masih ada kesempatan untuk memperbaiki diri dan melakukan yang lebih baik dalam langkah berikut ke depan. Pay it forward, lakukan kebaikan ke depan…. (media-karya.com/socio-politica.com)

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s