USAI menghadiri Kongres Persatuan Alumni GMNI –yang sejak masa Nasakom dulu dikenal sebagai organisasi mahasiswa sayap PNI– di Jakarta Jumat 7 Agustus, Presiden Jokowi dan Megawati Soekarnoputeri terlihat pulang semobil menggunakan RI-1. Ibu Negara Iriana dengan demikian mesti menggunakan mobil lain. Lalu Harian Kompas melalui pojok Mang Usil berkomentar usil, “Sebagai Presiden atau petugas partai?”. Jelas, ini hanya senda gurau. Kalangan lingkaran kekuasaan di sekitar Presiden tentu tak perlu menjadi sangat sensitif karenanya. Dan, tak usah menanggapi keusilan itu terlalu ‘serius’ sebagai kritik olok-olok atau kecaman, apalagi dianggap penghinaan.

Sesungguhnya memang tak diperlukan waktu yang lama dalam masa kepresidenannya sebelum Jokowi mulai diterpa begitu banyak kritik dan kecaman maupun sekedar sebagai sasaran senda gurau. Maka tak heran bila beberapa di antara kalangan lingkaran Presiden dalam waktu yang singkat pun menjadi sensitif. Serangan dan senda gurau itu, oleh mereka yang hypersensitive –maupun yang sebenarnya sekedar berkelakuan ‘akrobatik’– dikategorikan bahkan sudah merupakan penghinaan. Untuk saat ini, agaknya fenomena penghinaan kepada Presiden oleh kalangan kekuasaan tertentu memang ‘dianggap’ sudah berkadar tinggi. Sementara itu pada sisi lain, pasal penghinaan presiden dalam KUHP telah dihapus Mahkamah Konstitusi di tahun 2006.

Terhadap fenomena penghinaan presiden itu, memang tak kurang banyaknya reaksi-reaksi dramatis di kalangan ‘lingkaran’ kekuasaan. Salah seorang tokoh yang kuat menopang kepresidenan Jokowi sejak ‘awal’, Jenderal Purnawirawan AM Hendropriyono, memerlukan mengutip retorika berusia lebih 2000 tahun dari Cicero (107-44 SM). “Siapa saja kalau dihina, (bila) hukum tidak bicara, nanti yang bicara senjata.” Menurut sang jenderal saat berada di Mabes Polri Jumat lalu, Cicero yang bilang begitu. Sebuah kutipan yang sesungguhnya menggambarkan suatu pola perilaku represif-otoriter sekaligus anarkis.


Marcus Tullius Cicero itu adalah filosof dan politisi yang sekaligus dianggap ahli hukum, yang di masa Julius Caesar menghendaki agar Roma kembali menjadi Republik yang diperintah Senat aristokrat seperti pada masa-masa sebelumnya. Dalam posisinya sebagai filosof, Cicero seringkali melontarkan retorika-retorika yang seolah-olah idealistik tetapi berdampak buruk dalam penegakan kebenaran dan keadilan. Dengan kemampuan pidatonya yang hebat, Cicero suatu ketika berhasil ‘mendorong’ Senat menghukum mati sekelompok orang yang dianggap melakukan konspirasi tanpa mengadili. Hidup Cicero sendiri berakhir di tangan algojo yang dikirim Marcus Antonius pasca pembunuhan Julius Caesar, dengan tebasan yang memisahkan kepala dari tubuhnya di sebuah pantai. Padahal, sebelumnya Cicero telah naik ke sebuah kapal untuk meninggalkan Italia, namun kembali ke pantai menunggu pengejarnya. Merupakan misteri, kenapa ia berubah pikiran, lalu kembali ke pantai menanti kematian.
Tapi terelepas dari kutipan Cicero, pandangan Hendropriyono bahwa “hukum harus bisa menyelesaikan” kasus-kasus penghinaan, bisa disepakati. Karena, memang tak bisa dibantah bahwa di antara kritik dan kecaman, banyak terselip kecenderungan menghina secara pribadi, bukan sekedar mengeritik kecanggungan seorang Presiden dalam menjalankan roda pemerintahan dan kekuasaan. Dalam media sosial, seringkali ditemukan meme, gambar plesetan maupun komentar yang menjurus ke penghinaan selain sekedar bersifat jenaka. Kritik dalam kekecewaan publik, memang seringkali ditampilkan secara jenaka. Persoalannya, adalah hanya pilihan cara dan perangkat hukum yang digunakan untuk menghadapi gejala penghinaan itu, dan bagaimana kualitas aparat penegakan hukum dalam memilah-milah serta membedakan kejenakaan, kritik dan penghinaan. Sikap feodalistik dalam melakukan penilaian hendaknya dikesampingkan.

Bagaimana dengan Joko Widodo sendiri? “Saya sejak walikota, sejak gubernur, setelah jadi presiden, entah dicemooh, diejek, dijelek-jelekan, sudah makanan sehari-hari,” kata Jokowi kepada pers di Istana Bogor, Rabu petang 5 Agustus lalu. Penyampaiannya cukup tenang. Tapi bagaimana pun dari bahasa tubuhnya, terlihat bahwa sesungguhnya ia merasa kurang nyaman menjadi sasaran tembak berkesinambungan seperti itu.
TATKALA Joko Widodo mulai disebut-sebut namanya akan maju ke gelanggang Pemilihan Presiden Republik Indonesia 2014, dalam media sosial muncul metafora ‘bagaikan pungguk merindukan rembulan’. Dan tak kurang dari tokoh pengusaha sekaligus ‘politisi’ Muhammad Jusuf Kalla, muncul komentar keras bernada cemooh “Kalau Jokowi jadi presiden, hancur negara ini.” Mudah bagi banyak orang kala itu untuk sepakat, bahwa secara kualitatif Jokowi memang belum pantas untuk menjadi Presiden per saat itu. Bahwa ia dipuji prestasinya sebagai Walikota Solo, dan bahwa ia berhasil ‘memenangkan’ posisi Gubernur DKI Jakarta, benar. Untuk kursi presiden? Tunggu dulu, belum waktunya. Dia harus terlebih dahulu membuktikan diri mampu memperbaiki Jakarta, sebelum ‘terbang’ menggapai rembulan. Jadi, banyak yang sepakat dengan cemoohan Jusuf Kalla kala itu.
Namun dalam situasi krisis ketokohan, tak ada rotan akar pun jadi. Jokowi berhasil dimasukkan ke dalam orbit melalui gerakan pencitraan yang untuk sebagian beraroma keberuntungan dalam momentum paceklik tokoh pemimpin berkualitas. Selain itu, di tubuh sementara partai ada keterbatasan kualitas kepemimpinan –plus buruknya kualitas demokrasi dan akal sehat– dalam pengambilan keputusan. Sebagai resultante situasi yang ada, Jokowi dan Prabowo Subianto lah, yang kemudian tersaji bagi publik sebagai pilihan the bad among the worst dalam proses Pemilihan Presiden 2014. Muhammad Jusuf Kalla, diam-diam harus menelan kembali cemoohannya tentang Jokowi, karena justru dirinyalah yang tampil sebagai pendamping Jokowi selaku Wakil Presiden.
Publik kini tinggal menanti apakah negara ini akan ‘hancur atau tidak’, di tangan Jokowi bersama Jusuf Kalla. Sejak pelantikan mereka 20 Oktober 2014, waktu telah berlalu 9 bulan 20 hari, melebihi usia kandungan normal manusia. Tapi belum lahir juga pencapaian prestasi signifikan dari rezim pemerintahan mereka. Tingkat kepuasan dan kepercayaan publik terhadap rezim, naik-turun dalam kurva yang lebih cenderung berjalan menukik. Di tengah suasana kesangsian publik, di Istana Bogor Rabu (5/8) Presiden Jokowi menyatakan keyakinan bahwa mulai September nanti pertumbuhan ekonomi Indonesia akan melambung jauh. Pers mengutip persis kata-kata dan isyarat tubuhnya. “Mulai agak meroket September, Oktober. Nah pas November, bisa begini…,” ujarnya seraya tangannya menunjuk ke atas ke langit-langit Istana. Namun Jokowi tidak berani memastikan apakah pertumbuhan itu akan melampaui 5 persen.
Penggunaan kata meroket itu sendiri dengan serta merta menuai hujan kritik dan sindiran. Karena, dalam realita, yang lebih dulu meroket justru adalah harga BBM, kurs dollar dan harga-harga kebutuhan pokok rakyat. Sementara itu, tak sedikit di antara menteri dan pembantu dekatnya di lingkaran kekuasaan juga semakin meroket perilaku komiknya. Dari mereka banyak bermunculan tindakan dan pernyataan sembarangan tak terukur. Ini semua sangat berpeluang menjadi sasaran senda gurau, kritik, kecaman bahkan bisa memancing penghinaan. Sesungguhnya, awal dari datangnya penghinaan adalah saat seseorang mulai ‘menghina’ dirinya sendiri dengan menampilkan perilaku buruk dan kata-kata buruk.
MESKI Jokowi hanya menang tipis terhadap Prabowo Subianto dalam Pemilihan Presiden 2014, bagaimana pun ia sejenak berhasil membangkitkan harapan atau ekspektasi yang begitu tinggi di sebagian besar kalangan akar rumput maupun kalangan masyarakat terdidik baik. Namun, ketika selama berbulan-bulan hingga 9 bulan ia terlihat kedodoran di sana sini, ekspektasi itu mulai menukik, yang bagi sebagian orang melebihi hasil survey mana pun bahkan telah terhempas jauh ke bawah. Kedodoran itu diperparah oleh ketidakberhasilannya memilih tokoh-tokoh berkualitas prima dalam kabinetnya maupun dalam berbagai jajaran kekuasaan pemerintahannya. Wajar dalam suasana penuh kekecewaan itu situasi berbalik menjadi penuh olok-olok, kecaman, kritik bahkan keterpelesetan menjadi penghinaan. Persoalannya, setelah paceklik tokoh berkualitas, publik justru makin terobsesi terhadap kepemimpinan luar biasa untuk mengobati kecemasannya terhadap ketidakpastian masa depan bangsa dan negara. Dan tentu saja kepastian hidup dirinya sendiri bersama keluarganya sebagai ‘lembaga’ terkecil dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Maka, selama Presiden, Wakil Presiden, para menteri maupun tokoh kekuasaan politik dan pemerintahan masih selalu tampil tidak optimal menurut gambaran ideal publik, risiko untuk diolok-olok, dikecam, dikritik bahkan dihina menjadi konsekuensi logis dalam ekspresi kekecewaan publik. Pemimpin dengan kualitas tidak memadai akan selalu mengeluh menghadapi berbagai situasi sulit, melankolis atau sebaliknya high-tension sebelum akhirnya jatuh terduduk. Namun, bagi seorang negarawan sejati, itu semua bukan persoalan yang tak bisa diatasi dengan wisdom dan perilaku yang berkualitas. (socio-politica.com)