Tag Archives: Rene Louis Coenraad

Rahman Tolleng, Kisah Kandas Percobaan Struggle From Within

SEGERA setelah Peristiwa 30 September 1965 tanda-tanda tumbangnya rezim Nasakom Soekarno, mulai membayang. Diakui atau tidak, saat Jenderal Soeharto dan Jenderal Abdul Haris Nasution serta sejumlah perwira militer anti komunis masih ada dalam kesangsian mengakhiri kekuasaan Soekarno, kelompok mahasiswa dan pelajar tampil sebagai faktor pendorong diakhirinya rezim lama. Di Jakarta ada tokoh-tokoh mahasiswa di barisan depan seperti antara lain Cosmas Batubara, Mar’ie Muhammad, Marsillam Simandjuntak dan Fahmi Idris. Sementara di Bandung ada Rahman Tolleng yang muncul dari ‘bawah tanah’ dan menjadi pelopor gerakan anti Soekarno yang kali ini dilakukan di ‘permukaan tanah’.

Bersama Rahman di Bandung ada aktivis mahasiswa senior lainnya seperti Alex Rumondor, Mangaradja Odjak Siagian dan lainnya. Lalu muncul tokoh-tokoh penggerak mahasiswa intra kampus Rachmat Witoelar yang memperkuat otot massa bagi Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Dan aktivis populer Soegeng Sarjadi dari kampus Universitas Padjadjaran yang memicu aksi perobekan gambar Bung Karno Agustus 1966.

Kekuasaan Soekarno berakhir dalam Sidang Istimewa MPRS 7-12 Maret 1967, saat SI MPRS itu memutuskan menarik kembali mandat MPRS dari Presiden Soekarno serta segala keluasaan pemerintahan negara dari tangannya. Lalu Soeharto naik ke puncak kekuasaan. Berakhirnya kekuasaan Soekarno, membawa Indonesia ke dalam satu babak baru. Continue reading Rahman Tolleng, Kisah Kandas Percobaan Struggle From Within

ITB, Peristiwa Berdarah 6 Oktober 1970 (3)

TERASA mengandung sedikit kadar ‘ancaman’ Mayjen Witono mengatakan “Sudah pasti, kalau demikian, segala sesuatunya sukar untuk menjadi cocok, bahkan bisa membahayakan karena front dilebarkan. Secara otomatis daerah ‘penggesrekan’ (benturan, pergesekan) akan semakin luas”. Lalu ia menambahkan, “Menurut pendapat saya, tidaklah mudah bermain-main dengan massa, karena kalau tidak dapat mengendalikannya akan menjadi senjata makan tuan”. Sesudah itu sang panglima mengutarakan soal kepribadian Timur dan falsafah pewayangan. “Ekspresi harus dengan cara-cara yang sopan santun. Bahayanya, karena kita ini sebagai orang Timur  dan memiliki nilai-nilai budaya sendiri yang telah begitu berakar dan berabad-abad tuanya”. Katanya, cara-cara ekspresi jiplakan dari Eropa misalnya, akan sangat menusuk perasaan, bukan saja yang dicemoohkan tapi juga pihak-pihak lainnya yang sebenarnya di luar pagar persoalan karena kaitan nilai-nilai budaya. Terutama sekali katanya, masyarakat di Jawa ini, dimana falsafah wayang begitu mendalam dan berakar, dimana yang baik dan buruk biasa digambarkan dalam sifat-sifat Pendawa dan Korawa. “Karenanya, cara ekspresi yang kurang sopan santun, mudah menjadi bumerang terhadap diri sendiri”.

IBUNDA RENE LOUIS COENRAAD MEMARAHI PETINGGI POLRI. "Pernyataan Kapolri (Kepala Kepolisian RI) Hugeng Iman Santoso pada waktu itu betul-betul menunjukkan semangat membela korps, khususnya korps perwira. Sungguh ironis, polisi yang dianggap ‘baik’ seperti Hugeng pun bisa tergelincir dalam keharusan membela kekuasaan dan kepentingan kekuasaan. Para taruna itu dilukiskan sebagai generasi penerus yang pada tangannya terletak masa depan Polri." (foto download, Sayap Barat)
IBUNDA RENE LOUIS COENRAAD MEMARAHI PETINGGI POLRI. “Pernyataan Kapolri (Kepala Kepolisian RI) Hugeng Iman Santoso pada waktu itu betul-betul menunjukkan semangat membela korps, khususnya korps perwira. Sungguh ironis, polisi yang dianggap ‘baik’ seperti Hugeng pun bisa tergelincir dalam keharusan membela kekuasaan dan kepentingan kekuasaan. Para taruna itu dilukiskan sebagai generasi penerus yang pada tangannya terletak masa depan Polri.” (foto download, Sayap Barat)

Menjadi tanda tanya dalam analogi Witono, siapa yang Pendawa dan siapa yang Korawa. Kalau mengidentikkan dengan jumlah demonstran, dan sifat melawan, mahasiswa lah yang dituju. Tapi kalau melihat siapa yang melakukan pengeroyokan massal yang menghilangkan nyawa, mungkin lah para taruna yang pantas dinobatkan jadi Korawa.

Penampilan sikap Witono yang ‘menyimpang’ dari ‘kebiasaan’ Siliwangi, cukup menimbulkan tanda tanya. Ada yang menduga bahwa ia mencoba menyesuaikan diri dengan Jakarta, karena ia relatif belum lama jadi Panglima. Tetapi seorang perwira menengah di Siliwangi mengungkapkan bahwa Witono memang ditekan Jakarta untuk bersikap keras, namun sikap keras yang ditunjukkannya kemudian, katanya, lebih banyak bersifat ‘pura-pura’.

Seakan-akan pembenaran atas teori Mayjen Witono, Sabtu pagi  10 Oktober, satu barisan cacad veteran melintas di depan kampus ITB jalan Ganesha. Tidak dalam jumlah yang besar, sekitar 200 orang, mereka tiba dengan kendaraan opelet dan turun di pertigaan jalan  Dago (kini Jalan Ir Juanda) dan Ganesha lalu berbaris melintas di depan kampus. Mereka membawa poster-poster yang antara lain menyebutkan “500 ribu rupiah untuk satu mahasiswa dibayar oleh rakyat”. “Kami emoh demokrasi liar, kami emoh demokrasi terpimpin, kami ingin demokrasi Pancasila”. Mereka juga menyebarkan surat pernyataan yang menuntut agar mahasiswa ‘biang keladi’ penghinaan ABRI dituntut secara hukum. Para mahasiswa yang berada di kampus hanya menyaksikan barisan itu lewat, tanpa reaksi apa pun. Pimpinan-pimpinan veteran itu kemudian menemui Rektor ITB di rektorat Tamansari beberapa ratus meter dari kampus. Kepada Rektor, Ketua DPD Korps Cacad Veteran R. Muhrip menyatakan, sebenarnya mereka mengerti dan mendukung gerakan mahasiswa. Mereka tahu ada ABRI yang salah. “Tapi jangan semuanya disalahkan”.

Jumat malam sebelumnya, sebenarnya para mahasiswa telah mengetahui rencana kedatangan barisan cacad veteran itu. Intelijen tentara agaknya secara diam-diam bekerja meluncurkan perang urat syaraf. Sejak pagi setelah lewatnya barisan cacad veteran, tersiar kabar bahwa kampus ITB akan diserbu Sabtu malam itu. Siangnya, berita menyebutkan beberapa truk massa veteran dan Angkatan 45 siap siaga, karena merasa tersinggung mendengar kabar selentingan adanya baju hijau dibakar di kampus ITB. Selain cacad veteran, siang itu juga pimpinan-pimpinan veteran dan Angkatan 45 mendatangi Rektor ITB dan DM ITB di kampus untuk menanyakan hal itu. Mereka menyatakan bahwa baju hijau adalah lambang kehormatan. “Kami kuatir kalau massa veteran dan Angkatan 45 tak dapat mengendalikan emosinya”. Tapi berita pembakaran baju hijau itu sebenarnya adalah berita bohong. Rupanya ada yang mengambil alih ‘lontaran’ Mayjen Witono tentang ‘memperlebar front’ melalui isu dan insinuasi. Meskipun pimpinan veteran telah bertemu Rektor ITB maupun Dewan Mahasiswa, toh Sabtu malam itu Mayjen Witono beserta seorang perwira Kujang datang ke kampus ITB untuk juga menemui Rektor dan Dewan Mahasiswa. Panglima memberitahukan kampus akan diserang malam itu. Katanya oleh massa veteran.

Mendahului Panglima ada telpon dari Skogar kepada DM ITB, lalu dari seorang yang mengaku bernama Hambali dari veteran. Skogar memberi info kemungkinan akan ada serangan malam itu, sedang Hambali mencancam bahwa massa veteran akan dikerahkan menyerbu kampus. Mayjen Witono masih berada di kampus, ketika datang Kolonel Seno Hartono, Komandan Pusat Pendidikan dan Latihan Tempur Batudjadjar. Menyusuli atasannya, datang Kapten RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat) bernama Sentot, menyampaikan laporan terbuka –di depan para penonton yang terdiri dari Rektor dan pimpinan-pimpinan DM ITB– kepada atasannya dan Panglima bahwa 50 anggota RPKAD lolos dengan pakaian preman. “Mereka bermaksud menyerang kampus malam ini”, lapor sang Kapten. Para mahasiswa tampak tenang-tenang saja meskipun ada berita ‘serangan malam’. Belakangan, mereka mengungkapkan, sejak mula mereka yakin bahwa itu semua hanyalah komedi satu babak dengan bintang pelakon orang-orang berbintang di bahu. Menambah ketegangan, tiga buah panser dikerahkan berjaga-jaga sepanjang malam di depan kampus. Tapi hingga fajar menyingsing di hari Minggu keesokan harinya tak ada satu apapun yang terjadi. Tak ada veteran datang bertruk-truk, tak ada pula pasukan komando datang menjenguk kampus.

Sangat disesalkan pola gertak dan menakut-nakuti ini semakin berkembang di kemudian hari, ketika jabatan-jabatan teras ABRI dipegang oleh generasi-generasi penerus dengan mendapat bimbingan langsung dari guru para jenderal, Soeharto. Beberapa pengembangan pola gertak yang berlanjut dengan praktek kekerasan yang menggunakan kekuatan militer dapat dicatat di kemudian hari setelah itu. Seperti antara lain, provokasi dan pengobaran kerusuhan dalam Peristiwa 15 Januari 1974, peristiwa kekerasan dan pendudukan kampus-kampus Bandung 9 Pebruari – 25 Maret 1978,  peristiwa Tanjung Priok 12 September 1984, peristiwa penyerbuan kantor PDI 27 Juli 1997 di Jakarta, peristiwa berdarah di Trisakti dan Semanggi 1998, kerusuhan Mei 1998 di Jakarta serta sebelumnya rangkaian penculikan aktivis-aktivis pro demokrasi. Belum lagi kasus-kasus seperti kasus Marsinah dan yang sejenisnya di berbagai pelosok tanah air.

Sebenarnya para petinggi militer tahun 1970 itu mendapat ‘resep’ dari seorang doktor yang ahli psywar. Tetapi entah sang doktor memberi resep dengan setengah hati, entah para pelaksana gerakan perang urat syaraf yang rendah daya tangkapnya, sehingga pelaksanaannya kedodoran dan terbaca dengan mudah oleh para mahasiswa. Maka perang urat syaraf itu hanya sampai dalam bentuk komedi satu babak daripada sesuatu yang mencekam dan menggentarkan sasaran.

Bersamaan dengan itu santer pula beredar kabar, yang agaknya memang punya dasar kebenaran, bahwa pihak Kodam Siliwangi yang di pimpin oleh Panglima Mayjen Witono, akan bertindak keras kepada sejumlah tokoh mahasiswa yang dianggap telah memprovokasi masalah ke tingkat yang berbahaya. Mereka yang disebut namanya untuk ditangkap adalah dua bekas pimpinan DM-ITB yaitu Sarwono Kusumaatmadja dan Wimar Witoelar. Begitu pula Rahman Tolleng, karena koran yang dipimpinnya yakni Mahasiswa Indonesia dianggap sebagai motor utama agitasi. Beberapa nama lain yang kebetulan anggota Studi Group Mahasiswa Indonesia juga disebutkan akan ditangkap. Tapi ini tidak terjadi. Atas prakarsa beberapa perwira menengah seperti Kolonel Maman Darmawan, yang terjadi adalah pertemuan untuk memberi peringatan keras. Seandainya, Mingguan Mahasiswa Indonesia ditutup dan tokoh-tokoh mahasiswa ditangkapi, apalagi kampus diserbu, masalah akan menjadi tambah besar dan meluas. Front betul-betul akan melebar.

            Soeharto tampil menyampaikan pidato beberapa hari kemudian, menjanjikan akan dilakukannya pengusutan dan tindakan hukum atas peristiwa tersebut. Soeharto juga menyebutkan akan lebih ditegakkannya hak-hak sipil dengan lebih baik. Memang kemudian, peristiwa itu diusut bahkan sampai kepada proses peradilan di Mahkamah Militer. Tapi terlihat betapa taruna yang terlibat dan dicurigai oleh mahasiswa Bandung sebagai penembak –tanpa ragu sejumlah mahasiswa menyebutkan nama Nugroho Djajusman yang merupakan salah satu taruna yang waktu itu mengejar dan memukul Rene– cenderung ‘diselamatkan’. Apakah karena Nugroho Djajusman ini adalah putera seorang jenderal polisi, yaitu Jenderal Djajusman, maka ia diselamatkan dari tuduhan sebagai pembunuh Rene ?

Pernyataan Kapolri (Kepala Kepolisian RI) Hugeng Iman Santoso pada waktu itu betul-betul menunjukkan semangat membela korps, khususnya korps perwira. Sungguh ironis, polisi yang dianggap ‘baik’ seperti Hugeng pun bisa tergelincir dalam keharusan membela kekuasaan dan kepentingan kekuasaan. Para taruna itu dilukiskan sebagai generasi penerus yang pada tangannya terletak masa depan Polri. Tapi menarik untuk dicatat bahwa taruna angkatan tersebut belakangan banyak mengalami ‘cedera’, seperti misalnya adanya beberapa diantara mereka terpaksa diturunkan pangkatnya karena pelanggaran berat. Seorang lainnya, bernama Bahar Muluk, juga dijatuhi hukuman penjara tiga tahun karena keterlibatannya dalam penganiayaan hingga mati seorang tahanan Komdak Metro Jaya bernama Martawibawa.

Demi para calon perwira itu, para petinggi Polri bahkan sampai hati ‘mengorbankan’ seorang bintara Brimob bernama Djani Maman Surjaman, untuk diadili dan dihukum karena dinyatakan terbukti menembak Rene dengan senjata laras panjang Karl Gustav yang dipegangnya. Menurut Mingguan Mahasiswa Indonesia, ini sama sekali tidak mungkin karena berbeda dengan konstruksi peristiwa, otopsi dan hasil analisa senjata. Rene ditembak dari tempat yang lebih tinggi dengan senjata laras pendek, menembus dari atas leher dan bahu tembus ke dada mengenai paru-paru. Yang ada di di tempat lebih tinggi hanyalah para taruna –yang berada di atas bus dan truk. Sementara itu, Djani Maman Surjaman, bertugas di jalanan sekitar tempat peristiwa. Bagaimana caranya ia menembak Rene dari atas dengan senjata laras panjangnya ? Apakah Rene terlebih dahulu disuruh berlutut dengan kepala serendah-rendahnya di aspal jalanan lalu ditembak dari atas ke bawah? Kalau ya, ujung laras harus melekat di kepala atau leher Rene dan popor Karl Gustav akan menjulang melampaui bahu Maman, picunya setinggi bahu penembak dan ledakan peluru akan meninggalkan jelaga di pinggir luka. Dan kepala atau leher Rene mestinya hancur ditembak dari jarak begitu dekat oleh Karl Gustav. Kecuali, penembakan seperti itu dilakukan dengan pistol yang berlaras pendek.

Tetapi apa yang dianggap tak mungkin oleh mingguan itu, justru menjadi penggambaran oditur dalam persidangan mengenai situasi penembakan yang dilakukan oleh Djani terhadap Rene. Pembelaan Adnan Buyung Nasution SH31) di Mahkamah Militer yang digelar di Bandung sia-sia, dan Djani dihukum. Apa kesalahannya? Kesalahannya, adalah sedang sial, kenapa mendapat tugas hari itu dan kenapa dia ada di posisi yang tak jauh dari tempat kejadian. Para taruna tak satu pun yang tersentuh, bahkan belakangan banyak diantara mantan saksi dan calon tersangka itu berhasil meniti karir dan dikemudian hari bahkan menjadi elite kepolisian dengan pangkat Jenderal dan sempat menduduki posisi-posisi penting.

Mingguan Mahasiswa Indonesia yang menurunkan rangkaian investigated report mengenai kasus ini, malah diincar. Kelak, laporan-laporan Peristiwa 6 Oktober 1970 dan proses peradilannya, masuk sebagai ‘salah satu tagihan’ yang harus dibayar pada awal 1974, bersama sejumlah ‘tagihan’ lainnya. Sehingga, suatu ketika palu larangan terbit pun kemudian membunuh kehidupan tabloid kritis tersebut.

            Nasib malang yang ditimpakan kepada Djani Maman Surjaman ini membangkitkan simpati dan menimbulkan gerakan solidaritas mahasiswa Bandung dengan melansir antara lain Dompet Sumbangan Bantuan bagi Maman Surjaman di hampir seluruh kampus Perguruan Tinggi Jawa Barat. Solidaritas ini ditunjukkan dalam jangka waktu yang cukup panjang. Hingga kepengurusan dua periode DM ITB berikutnya (1972-1973) di bawah Ketua Umum Sjahrul yang menggantikan periode Ketua Umum Sjarif Tando (1970-1971) dan Ketua Umum Tri Herwanto (1971-1972), kunjungan-kunjungan mahasiswa tetap dilakukan secara teratur sebagai bukti kesetiakawanan dan simpati ke tempat penahanan Djani Maman Surjaman.

Sementara itu, peradilan untuk kasus yang sama, dengan 8 Taruna Akabri Kepolisian –yang sudah berpangkat Letnan Satu dan Letnan Dua pada waktu proses peradilan– berlangsung berkepanjangan di tahun 1973 hingga 1974, penuh kejanggalan, untuk berakhir dengan selamatnya para terdakwa dari hukuman penjara secara fisik. Suatu pertunjukan yang sangat menusuk perasaan itu –karena penuh pemutarbalikan fakta demi penyelamatan para perwira muda dan putera para jenderal– diikuti dengan tekun dan cermat oleh  para mahasiswa. Sementara pada waktu bersamaan di tahun 1973 hinggga 1974 saat berlangsungnya peradilan itu, para mahasiswa sedang terlibat dalam suatu pergolakan yang lebih kritis terhadap pemerintah dan kekuasaan Orde Baru Soeharto.

(socio-politica.com)

*Tulisan ini merupakan salah satu bagian dalam buku “Menyilang Jalan Kekuasaan Militer Otoriter”. (Rum Aly, Penerbit Buku Kompas, 2004). Peristiwa 6 Oktober, terjadi tepat  43 tahun lalu. 

ITB, Peristiwa Berdarah 6 Oktober 1970 (2)

SIKAP para petinggi kepolisian sendiri sejak awal telah mengisyaratkan bahwa peristiwa sesungguhnya akan dimanipulasi. Kelak, sikap manipulatif seperti ini, senantiasa berulang terjadi, hingga kini. Menjadi salah satu tradisi buruk yang kronis dalam penegakan hukum Indonesia. Terbukti waktu itu, setelah peristiwa, press release yang dikeluarkan Penerangan Daerah Kepolisian VIII Jawa Barat, melalui AKBP Waras, betul-betul bertolak belakang dengan apa yang terjadi. Dan adalah tidak mengherankan, bahwa dalam persidangan yang dilakukan akhir 1973 dan awal 1974 menyangkut kasus ini, juga penuh dengan pemutarbalikan fakta.

            Tanggal 7 Oktober 1970 pecah demonstrasi besar-besaran yang melibatkan seluruh mahasiswa dan pelajar di Bandung. Aksi demonstrasi ini dilakukan setelah para mahasiswa dan pelajar melakukan appel suci melepaskan jenazah Rene Louis Coenraad ke Jakarta di kampus ITB pada pagi harinya. Demonstrasi ini termasuk besar dan menandingi demonstrasi-demonstrasi besar pada tahun 1966. Posisi ABRI dipertanyakan, “ABRI pelindung Rakyat ?!”. Salah satu poster yang paling tajam berbunyi “AKABRI=Akademi Kepolisian Alat Pembunuh Rakyat Indonesia”. Lainnya, “Akabri Kepolisian tempat melatih pembunuh Rakyat”, “Akabri pembunuh murah”, “Akabri tukang cukur dan tukang bunuh” serta “Kami sudah muak dengan kesewenang-wenangan”.

A DAY AFTER YOUR ORDER, GENERAL! "Soalnya, hanya sehari sebelum peristiwa, dalam perayaan Hari Ulang Tahun ABRI 5 Oktober 1970, Jenderal Soeharto mengeluarkan suatu perintah harian kepada jajaran ABRI yang isinya meminta ABRI tidak menyakiti hati rakyat. Ini, malah membunuh rakyat, hanya sehari sesudahnya." (karikatur Dendi Sudiana, 1970)
A DAY AFTER YOUR ORDER, GENERAL! “Soalnya, hanya sehari sebelum peristiwa, dalam perayaan Hari Ulang Tahun ABRI 5 Oktober 1970, Jenderal Soeharto mengeluarkan suatu perintah harian kepada jajaran ABRI yang isinya meminta ABRI tidak menyakiti hati rakyat. Ini, malah membunuh rakyat, hanya sehari sesudahnya.” (karikatur Dendi Sudiana, 1970)

Poster-poster itu diusung dalam suatu pawai panjang di jalan-jalan Bandung, antara lain melewati markas daerah kepolisian di Jalan Braga dan Jalan Asia Afrika di depan Gedung Merdeka di tempat mana sedang berlangsung konperensi Organisasi Islam Asia Afrika. Massa berbaris melebar memenuhi jalan dengan panjang tak kurang dari 3 kilometer, atau mungkin lebih. Seluruh bendera diminta mahasiswa untuk dikibarkan setengah tiang, tak terkecuali bendera negara-negara peserta konperensi Organisasi Islam Asia Afrika. Sepanjang hari pada tanggal 7 Oktober 1970 itu jalan-jalan kota Bandung ‘vakum’ dari alat-alat negara, terutama dari kepolisian. Kevakuman itu adalah karena alat-alat negara itu dikenakan konsinyering.

            Kemarahan para mahasiswa dan pelajar yang telah membara sejak 6 Oktober petang, betul-betul meletup sejak pagi hari 7 Oktober. Ketika sebuah kendaraan dari kepolisian datang membawa karangan bunga tanda duka cita, mobil itu ditahan dan dirusakkan oleh kerumunan massa, sehingga anggota-anggota kepolisian yang ada di mobil itu terpaksa melarikan diri. Sejumlah perwira polisi, termasuk AKBP Tjutju Sumirat, yang datang untuk mengikuti appel suci pagi itu, dihadang dan kendaraan mereka dirusakkan, kaca dipecahkan. Lalu, para perwira itu dipersilahkan pulang, dan batal masuk kampus. Pejabat-pejabat tinggi lainnya, seperti Panglima Siliwangi dan Gubernur, meskipun tidak dihalangi masuk kampus, tidak mendapat sambutan yang manis. Sambutan-sambutan yang disampaikan para pejabat itu, tenggelam dalam teriakan-teriakan mahasiswa dan pelajar.

Sementara itu, Mingguan Mahasiswa Indonesia, pada penerbitannya setelah peristiwa menurunkan karikatur Dendi Sudiana yang menggambarkan adegan pembunuhan itu dengan teks “A Day after your order, General !” –Sehari setelah perintah anda, Jenderal. Soalnya, hanya sehari sebelum peristiwa, dalam perayaan Hari Ulang Tahun ABRI 5 Oktober 1970, Jenderal Soeharto mengeluarkan suatu perintah harian kepada jajaran ABRI yang isinya meminta ABRI tidak menyakiti hati rakyat. Ini, malah membunuh rakyat, hanya sehari sesudahnya.

            Dan hanya selang sehari, yakni 8 Oktober, delegasi Dewan Mahasiswa ITB yang diiringi 400-an mahasiswa Bandung, mendatangi kediaman Presiden Soeharto di Jalan Cendana untuk menyampaikan surat yang menyatakan perlunya meninjau kembali hubungan sipil dengan ABRI untuk disesuaikan dengan kehidupan demokrasi yang dicita-citakan bersama. Surat ini membayangkan dengan kuat keretakan antara ABRI dengan mahasiswa. “Peristiwa tanggal 6 Oktober 1970 di dalam kampus Institut Teknologi Bandung, dimana saudara Rene Louis Coenraad telah disiksa dan ditembak mati oleh warga Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah gambaran dari akibat hubungan warga sipil dan anggota ABRI, yang tidak wajar sekarang ini”, tulis mahasiswa dalam suratnya. “Bentuk-bentuk perkosaan yang lain, terhadap hak warga sipil oleh ABRI telah sering sekali terjadi. Pola kekuasaan di negara Indonesia sekarang ini cenderung untuk memunculkan sifat-sifat primitif yang tidak beradab dari orang-orang atau kelompok-kelompok penguasa militer. Nilai-nilai kemanusiaan telah dikalahkan oleh usaha-usaha membentuk pemerintahan yang berkuasa penuh”. Penuh dengan pengungkapan yang menunjukkan berbagai perilaku buruk ABRI dan penguasa, surat itu menegaskan suatu gugatan dan tuntutan keras untuk peninjauan kembali hubungan sipil dengan ABRI. “Tanpa pelaksanaan dari tuntutan-tuntutan itu, maka mahasiswa ITB tidak lagi menaruh kepercayaan kepada ABRI sebagai partner, pelindung rakyat Indonesia”.

Presiden Soeharto cukup tanggap dan menyatakan penyesalan atas peristiwa berdarah tersebut. Hal itu dinyatakannya melalui Kepala Badan Koordinasi Intelejen Negara (Bakin) Mayjen Sutopo Juwono maupun melalui pernyataan langsung di muka umum pada hari-hari pertama setelah peristiwa itu terjadi. “Bila kaum muda dapat mengendalikan emosinya maka peristiwa tersebut takkan terjadi”, ujar Presiden, “Hendaknya para mahasiswa jangan menyamaratakan perbuatan oknum dengan kesatuan-kesatuan ABRI”. Presiden Soeharto mengirim radiogram kepada Musyawarah Pimpinan Daerah Jawa Barat, memerintahkan penyelesaian peristiwa 6 Oktober 1970 secara hukum. 

Keesokan harinya, pada hari Jumat 9 Oktober, giliran markas Kodam (Komando Daerah Militer) VI Siliwangi di Jalan Aceh didemonstrasi oleh mahasiswa, serentak dengan Kantor Gubernur Jawa Barat dan Komdak (Komando Daerah Kepolisian) VIII Langlang Buana. Mahasiswa bergerak dalam tiga rombongan besar ke masing-masing tujuan. Serentetan pertanyaan tajam dilontarkan dalam satu daftar tertulis: “Kebalkah ABRI terhadap hukum ?! Mengapa pakaian seragam merasa lebih mampu ? Apakah seragam sama dengan karcis kereta api, bioskop, bis, opelet ? Kapan ABRI mengubah kelakuan ?! Siapa berani tertibkan ABRI ?! Kapan ada jaminan hukum bagi rakyat ? Sudah merdeka kah kita dari kesewenang-wenangan ?! Apa dibalik baju seragam ?!”. Pernyataan dalam bentuk 8 pertanyaan itu –yang dibacakan oleh tiga mahasiswa, Theopilus Matasak, Hindro Tjahjono Selo Sumardjan dan Ganti Brahmana, di masing-masing tempat– melukiskan dengan tepat daftar kegetiran masyarakat terhadap tentara yang mereka dukung dalam peralihan kekuasaan hanya beberapa tahun sebelumnya.

Ketiga rombongan mahasiswa menolak tatkala dipersilahkan masuk di tiga instansi yang mereka demo. Mereka menyatakan tidak sudi mendengar jawaban lisan dari pimpinan tiga instansi itu, melainkan hanya mau jawaban yang berupa tindakan konkrit. Mereka pun menyatakan tidak puas atas jawaban Presiden Soeharto petang sebelumnya. Setelah mendatangi ketiga instansi tersebut, para mahasiswa berkumpul di alun-alun Bandung. Di tempat itu, Hindro Tjahjono memproklamirkan bahwa hari itu adalah “Hari permulaan gerakan mahasiswa untuk menuntut hak-hak sipil”. Sedang Bambang Wari Kusumah membacakan pernyataan dukungan para dosen ITB terhadap perjuangan DM ITB. Kalangan pengajar perguruan tinggi se Bandung mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang tajam dan sangat mendasar mengenai eksistensi ABRI. Dewan Mahasiswa Universitas Padjadjaran menyatakan “Kesewenang-wenangan dari oknum-oknum ABRI demikian banyaknya terjadi, seringkali tanpa penyelesaian hukum yang tegas, sehingga kekecewaan masyarakat makin lama makin menjurus kepada ABRI secara keseluruhan. Kekecewaan ini mencapai puncaknya pada Peristiwa 6 Oktober”. Dewan Mahasiswa Universitas Padjadjaran menganggap hal-hal itu berbahaya bagi pertumbuhan demokrasi. Sedang Dewan Mahasiswa Universitas Parahyangan menuntut peradilan yang segera terhadap para pelaku pembunuhan, seraya menuntut diadakannya reevaluasi terhadap sistem pendidikan Akabri Kepolisian.

Sejumlah pernyataan juga mengalir dari berbagai universitas di luar Bandung. Paling ‘menyendiri’ adalah ucapan Ketua Umum Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia Hariadi Darmawan, seorang mahasiswa kedokteran yang adalah juga seorang Letnan Satu AD. “Tidak proporsional lagi”, ujarnya, “jika tuntutan mahasiswa Bandung akhir-akhir ini tentang hak-hak sipil dihubungkan dengan tewasnya Rene Louis Coenraad”. Ia menilai aksi-aksi mahasiswa Bandung hari-hari itu terjadi karena perasaan dukacita yang mendalam. “Sehingga kadang-kadang menimbulkan tindakan tidak rasional lagi”.

Pada hari yang sama, 9 Oktober, di Jakarta dilangsungkan pemakaman Rene Louis Coenraad. Setelah menghadiri upacara pemakaman Rene, pelajar dan mahasiswa Bandung, Bogor dan Jakarta melakukan pawai berkabung keliling ibukota dengan bus-bus dan truk. Turut bergabung dalam pawai, sejumlah organisasi ekstra seperti Imada, HMI, PMKRI, KAPPI dan KAPI. “Kapan hak-hak sipil ditegakkan ?”, bunyinya salah satu poster. Lainnya bertanya “ABRI pelindung atau pembunuh ?” dan mengingatkan, “ABRI dari ujung rambut sampai tali sepatu, uang rakyat”. Rasa cemas pun dituangkan dalam kalimat “Keselamatan terancam oleh ABRI”.

Siang sebelumnya, secara spontan Dewan Mahasiswa Institut Keguruan Ilmu Pendidikan (IKIP) Jakarta, Dewan Mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Dewan Mahasiswa Universitas Trisakti, serentak mengeluarkan pernyataan solidaritas atas tewasnya Rene Louis Coenraad dalam insiden 6 Oktober di ITB Bandung. Mereka memprotes sekeras-kerasnya tindakan sewenang-wenang Taruna Akabri Kepolisian dan anggota kepolisian. “Adalah tragis bahwa Presiden baru saja membicarakan tentang hubungan sipil-militer pada tanggal 5 Oktober, tapi sudah ada lagi penginjak-injakan hukum oleh oknum-oknum ABRI”, gugat DM IPB. Hari itu, mahasiswa Universitas Trisakti menyatakan mogok kuliah. Pernyataan keras juga datang dari Dewan Mahasiswa Universitas Brawidjaja Malang, sambil mengusulkan agar “Kepolisian Negara tidak dimasukkan dalam rumpun ABRI”. Mahasiswa Surabaya menjalankan “5 hari berkabung” terhitung sejak hari tewasnya Rene. Pada penutupan hari berkabung, sekitar 3000 mahasiswa dari 20 perguruan tinggi yang ada di Surabaya turun ke jalan mengadakan pawai, setelah terlebih dahulu melakukan upacara dan renungan bersama di kampus Universitas Airlangga. Mereka mengeluarkan pernyataan, “Seharusnya para penguasa mengerti dan sadar akan tugas dan wewenang yang telah diberikan rakyat kepadanya, adalah bukan untuk melukai hati rakyat, bukan untuk menindas rakyat dan lebih jauh lagi bukanlah untuk membunuh mahasiswa atau rakyat”. Poster mereka mengingatkan “ABRI tanpa rakyat bukan apa-apa” dan “Lindungilah rakyat dari ketakutan di-dor”.

Sehari setelah pemakaman Rene, di Sukabumi tempat dimana kampus Akabri Kepolisian berada waktu itu, ribuan pelajar dan mahasiswa mengadakan appel berkabung. Setelah itu massa bergerak menuju tempat kediaman Gubernur Akabri Kepolisian  Brigadir Jenderal Pol Sumarko. Massa mengajukan desakan agar sistim pendidikan Akabri ditingkatkan ke arah penegakan hukum dan perlindungan rakyat. “Kurikulum dan masalah pembinaan Akabri akan ditinjau kembali”, janji Komandan Jenderal Akabri Inspektur Jenderal Polisi Drs Sukahar di Jakarta pada hari yang sama. Sebelumnya, 8 Oktober, suatu delegasi besar mahasiswa Bandung yang berjumlah ratusan orang telah mendatangi pusat pendidikan Akabri Kepolisian di Sukabumi itu. Delegasi besar ini datang ke Sukabumi untuk menegaskan bahwa bukan mahasiswa Bandung yang telah melakukan pengeroyokan terhadap taruna-taruna, tetapi sebaliknya taruna-taruna lah yang telah melakukan pengeroyokan, penganiayaan dan mengakibatkan terbunuhnya seorang mahasiswa bernama Rene. Delegasi juga menyampaikan bahwa sistem pendidikan mereka sekarang tidak tepat. Taruna-taruna Akabri Kepolisian  tidak seharusnya dididik dengan mengintegrasikan mereka dengan ABRI, melainkan dengan sipil, karena mereka lah petugas-petugas yang akan bertanggungjawab terhadap jalannya tertib sipil di kemudian hari.

BERBEDA dengan tradisinya yang ‘ramah’ dan menunjukkan ‘kedekatan’ dengan mahasiswa Bandung selama ini, Kodam Siliwangi dalam menyikap reaksi mahasiswa dalam insiden 6 Oktober, adalah jauh dari segala tanda-tanda ‘kedekatan’, apalagi ramah. Menanggapi aksi-aksi mahasiswa, pada hari Sabtu 10 Oktober melalui radio dan media cetak, Laksus Pangkopkamtibda Jawa Barat meluncurkan tudingan bahwa “demonstrasi-demonstrasi dan kegiatan-kegiatan sebagian mahasiswa Bandung menjurus ke arah ekstrimitas”.

Panglima Siliwangi Mayjen A.J. Witono agaknya mempunyai persepsi berbeda dengan mahasiswa. Ia mengecilkan makna peristiwa dengan mengatakan “Persoalan insidennya sendiri sebetulnya merupakan persoalan yang sifatnya terbatas, akan tetapi dipaksakan dibawa menjadi persoalan yang lebih luas dan kompleks”. Tanpa menyadari bahwa insiden dan reaksi  yang ditunjukkan mahasiswa dan generasi muda lainnya merupakan puncak akumulasi kekecewaan terhadap perilaku sebagian tentara dan polisi beberapa tahun terakhir, Mayjen Witono yang menggantikan Letjen HR Dharsono sebagai Panglima Siliwangi setahun sebelumnya, menyimpulkan penyebab peristiwa adalah emosi tak terkekang yang dipaksakan untuk dirasionalkan. “Ini berarti ratio telah diabdikan kepada emosi”.

(socio-politica.com) – Berlanjut ke Bagian 3

*Tulisan ini merupakan salah satu bagian dalam buku “Menyilang Jalan Kekuasaan Militer Otoriter”. (Rum Aly, Penerbit Buku Kompas, 2004). Peristiwa 6 Oktober, terjadi tepat  43 tahun lalu.

ITB, Peristiwa Berdarah 6 Oktober 1970 (1)

BANDUNG empat puluh tiga tahun lalu, 1970. Mahasiswa dan juga remaja-remaja yang masih duduk di Sekolah Lanjutan Atas di kota itu, menggemari mode rambut panjang yang dikenal sebagai mode rambut gondrong. Bukan hanya para seniman Bandung yang berambut gondrong, tetapi juga kaum muda Bandung. Tetapi, kesenangan akan rambut gondrong –yang bagi kaum muda itu terkait dengan ekspresi kebebasan mereka sebagai pribadi– terusik tatkala Kepolisian wilayah Kota Bandung yang entah atas dasar hukum apa, menjalankan serangkaian razia rambut gondrong di jalan-jalan pusat keramaian Bandung.

Pelaksana razia adalah Taruna-taruna Tingkat IV Akabri (Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) Kepolisian tahun terakhir, dalam rangka melaksanakan ‘tugas akhir’nya, dengan didampingi oleh bhayangkara-bhayangkara Kepolisian Bandung. Calon-calon perwira polisi yang akan segera lulus menjelang akhir tahun 1970 itu dengan keras dan penuh percaya diri melaksanakan tugas. Semua mahasiswa yang yang jadi sasaran pengguntingan rambut, mereka sapa sebagai ‘dik’ mungkin karena menyadari posisi superior mereka, dan ini sekaligus mengundang reaksi antipati dari para mahasiswa Bandung. Tanpa ampun gunting mereka beraksi memotong rambut korban razia walaupun para korban ini memprotes. Selain pelajar dan mahasiswa, ada asisten dosen ITB yang juga jadi korban.

"Angkatan 1970 adalah angkatan pertama produk Akabri Kepolisian yang diintegrasikan dari semula sebuah akademi kepolisian murni di Sukabumi menjadi akademi dengan tambahan kurikulum kemiliteran. Kepolisian sendiri pada saat itu juga disejajarkan sebagai satu angkatan dalam jajaran Angkatan Bersenjata dengan penamaan Angkatan Kepolisian Republik Indonesia yang dipimpin oleh seorang Panglima Angkatan Kepolisian."
“Angkatan 1970 adalah angkatan pertama produk Akabri Kepolisian yang diintegrasikan dari semula sebuah akademi kepolisian murni di Sukabumi menjadi akademi dengan tambahan kurikulum kemiliteran. Kepolisian sendiri pada saat itu juga disejajarkan sebagai satu angkatan dalam jajaran Angkatan Bersenjata dengan penamaan Angkatan Kepolisian Republik Indonesia yang dipimpin oleh seorang Panglima Angkatan Kepolisian.”

Bagi para taruna, rambut gondrong adalah sesuatu yang salah, tapi bagi para mahasiswa rambut mereka –apapun modelnya– adalah bagian dari hak pribadi dan hak mengekspresikan kebebasan mereka. Dalih bahwa banyak kriminal yang berambut gondrong, sama sekali tidak masuk dalam alur logika mereka. Penguasa, setidaknya pihak kepolisian, telah menggeneralisir bahwa mereka yang berambut gondrong dengan sendirinya kriminal. Sebaliknya, di mata mahasiswa para penjahat dan koruptor justru banyak yang berambut cepak crew cut ala militer.

Polemik terjadi sejak pertengahan Agustus hingga September 1970. Dalam suatu pernyataan yang ditandatangani oleh Ketua Umum Sjarif Tando dan Sekertaris Umum Bambang Warih Kusuma, DM ITB (26 September) mengecam pengguntingan rambut itu sebagai “pemerkosaan hak-hak azasi perseorangan”. Tindakan itu “tanpa dasar-dasar hukum yang sah dan alasan-alasan kuat yang masuk akal”. Dikerahkannya taruna-taruna Akabri untuk hal-hal yang semacam itu, disebut sebagai “pendidikan yang akan menyesatkan tugas-tugas kepolisian yang sebenarnya”. “Pengguntingan rambut tidak termasuk praktikum kewibawaan yang sehat, melainkan praktikum kekuasaan…. Sungguh sangat sembrono sifat instruksi itu karena hal tersebut dapat diartikan sebagai pameran kekuatan penguasa, daripada penyelesaian masalah yang sebenarnya”. Senat Mahasiswa ABA memprotes “Mengapa cara pemberantasan rambut gondrong disamakan dengan cara pemberantasan penjahat atau kriminal ?”

Menurut mahasiswa, rambut cepak juga bisa disebutkan sebagai tanda kepatuhan dan ketaatan yang tolol dari para taruna. Dari segi kematangan ilmu dan intelektual, sebenarnya para taruna itu tak bisa dibandingkan dengan para mahasiswa yang untuk sebagian sudah di atas tiga tahun duduk di perguruan tinggi. Taruna-taruna itu bagi para mahasiswa hanyalah robot-robot akademi kepolisian. Dan memang perlu dicatat, angkatan yang akan lulus tahun 1970 ini –sehingga disebut Angkatan 1970, berdasarkan tahun kelulusan – adalah angkatan pertama produk Akabri Kepolisian yang diintegrasikan dari semula sebuah akademi kepolisian murni di Sukabumi menjadi akademi dengan tambahan kurikulum kemiliteran. Kepolisian sendiri pada saat itu juga disejajarkan sebagai satu angkatan dalam jajaran Angkatan Bersenjata dengan penamaan Angkatan Kepolisian Republik Indonesia yang dipimpin oleh seorang Panglima Angkatan Kepolisian.  

            Ketegangan dan suasana panas yang meningkat, coba didamaikan oleh para petinggi kepolisian dan militer dengan berbagai cara, lewat serentetan pertemuan dengan kalangan pimpinan perguruan tinggi se Bandung. Sebuah inisiatif dijalankan oleh petinggi kepolisian di Bandung antara lain dengan Ketua Dewan Mahasiswa ITB waktu itu Sjarif Tando. Untuk mencairkan permusuhan antara mahasiswa dan taruna, dirancang sebuah kegiatan bersama. Tanggal 6 Oktober 1970 diselenggarakan pertandingan sepakbola persahabatan di lapangan sepakbola di tengah kampus ITB. Salah seorang panitia penyelenggara pertandingan adalah mahasiswa ITB Teuku Lukman Azis, putera seorang jenderal polisi yang menjabat Wakil Panglima Angkatan Kepolisian, Teuku Azis.

Tim Taruna Akabri Kepolisian diungguli 2-0 oleh tim mahasiswa ITB. Tapi yang paling tak bisa diterima para taruna ini ialah ‘kreativitas’ supporter ITB. Mahasiswa Bandung, ITB khususnya, memang dikenal paling ahli dalam bersupporter ria. Ungkapan-ungkapan mereka lucu-lucu, tetapi sekaligus pedas dan mengkili-kili sampai ke ulu hati. Bagi anak Bandung, gaya supportasi seperti itu hanyalah hal yang biasa saja, tapi tidak bagi para taruna yang terbiasa dengan hirarki dan disiplin gaya tentara. Maka, terjadilah bentrokan ketika provost-provost Taruna coba menertibkan penonton dengan sabetan-sabetan koppel rim. Terjadi tawuran. Dalam tawuran itu sudah terdengar berkali-kali suara tembakan. Para taruna rupanya membawa senjata yang digunakan untuk melepaskan tembakan ke atas. Tapi senjata-senjata itu berhasil direbut oleh beberapa Taruna Akabri sendiri.

             Setelah tawuran berhasil diredakan oleh para mahasiswa dan Resimen Mahasiswa ITB dan provost taruna serta anggota Brimob yang bertugas di sekitar kampus, para taruna digiring menaiki truk dan bus mereka  untuk meninggalkan kampus. Para mahasiswa lalu berpulangan. Ternyata para taruna itu tidak langsung pulang. Mereka memang keluar dari halaman kampus, namun kemudian berhenti di jalan Ganesha depan kantin Asrama F mahasiswa ITB.

Pada petang yang naas itu, seorang mahasiswa ITB yang mungkin tidak tahu insiden di lapangan sepakbola karena tidak menyaksikan sampai selesai dan mengikuti suatu kegiatan lain di kampus yang luas itu, melintas dengan sepeda motor Harley Davidson (HD), berboncengan dengan seorang temannya, di samping truk dan bus para Taruna. Ada yang meludah dari atas kendaraan dan mengenai Rene Louis Coenraad sang mahasiswa. Yang disebut terakhir ini lalu berhenti dan menanyakan siapa yang meludahi dirinya, “kalau berani turun”. Tapi yang diperolehnya adalah jawaban makian dan kemudian para taruna berloncatan turun dari kendaraan lalu melakukan pengeroyokan atas diri Rene.

Menurut kesaksian orang-orang yang ada di sekitar tempat itu, terlihat jelas bagaimana Rene dihajar bagaikan bola oleh para taruna, ibarat adegan koboi Italia yang banyak diputar di bioskop-bioskop kala itu. Beberapa mahasiswa yang berada di kejauhan menyaksikan penyiksaan atas Rene dan kawan yang diboncengnya. Kalau sang kawan berhasil lolos, Rene sebaliknya tidak bisa melepaskan diri, karena rupanya memang dia yang dijadikan sasaran utama. Ketika para mahasiswa mencoba mendekat mereka dihalangi oleh petugas P2U (semacam polisi militer di lingkungan kepolisian) dan Brimob (Brigade Mobil) bersenjata dengan sangkur terhunus, yang memblokkir gerbang kampus. Beberapa mahasiswa yang coba menerobos, telah dipukuli dan dipopor, sehingga dua diantaranya luka dan terpaksa dibawa ke RS Borromeus yang terletak di arah Timur kampus ITB.

Di depan asrama F penganiayaan atas diri Rene terus berlangsung di tengah-tengah rentetan letusan senjata. Peluru-peluru tidak lagi ditembakkan ke atas, melainkan dilakukan secara mendatar dan diarahkan antara lain ke asrama mahasiswa ITB. Pada dinding asrama terdapat deretan lubang bekas peluru, slongsong peluru berserakan. Rene tampak roboh di tengah hiruk pikuk. Waktu itu tidak diketahui kapan persisnya ia terkena peluru. Namun menurut pemeriksaan kemudian, diketahui bahwa peluru berasal dari arah atas, yang diperkirakan oleh Mingguan Mahasiswa Indonesia berasal dari atas bus atau truk. Rene yang bersimbah darah, roboh. Ternyata kemudian, ia tewas tak terselamatkan. Seorang mahasiswa ITB bernama Ganti Brahmana, menyaksikan ada sesosok tubuh yang diseret pada kedua belah tangannya dan kemudian dilemparkan ke bagian belakang sebuah jip Toyota bernomor polisi 008-425. Itulah yang terakhir Rene terlihat di tempat kejadian.

            Setelah penembakan, tubuh korban –yang waktu itu belum diketahui masih hidup atau sudah tewas– hilang tak diketahui ke mana setelah dibawa dengan jip. Maka para mahasiswa melakukan pencarian ke mana-mana, ke berbagai rumah sakit yang ada di kota Bandung dan sekitarnya. Ganti Brahmana, salah satu mahasiswa yang berinisiatif mencari Rene, segera menemui AKBP (Ajun Komisaris Besar Polisi) Tjutju Sumirat pejabat Komandan Kepolisian Kobes (Kota Besar) 86 Bandung yang kebetulan sedang berada di kampus ITB.

Bersama perwira polisi itu, Brahmana mencari dari satu rumah sakit ke rumah sakit lainnya. Di Rumah Sakit Borromeus mereka hanya menemukan dua mahasiswa yang luka karena terkena hajaran dalam insiden di depan kampus tadi. Dengan lega, AKBP Tjutju Sumirat berkata “Ini kan tidak apa-apa ? Cuma luka-luka saja….”. Tapi Brahmana yang sangat yakin ada korban lain, karena ia menyaksikan adanya tubuh dibawa pergi dengan jip, bersikeras melanjutkan pencarian dan mendesak perwira polisi tersebut untuk mencari ke Kobes 86.

Sementara itu, agaknya salah satu rombongan mahasiswa, di antaranya Pontas Pardede, setelah mencari ke berbagai rumah sakit juga berinisiatif mencari ke kantor Polisi Kota Besar Bandung jalan Merdeka. Mereka yang bersepeda motor, dihalang-halangi masuk oleh para petugas kepolisian. Akhirnya mereka memarkir sepeda motor di Margasiswa PMKRI yang bangunan utamanya saat itu juga berfungsi sebagai bioskop  berkarcis murah, Panti Budaya, yang terletak di seberang gereja (kini ditempati bangunan baru Bank Indonesia). Lalu mereka menyeberang kembali ke Kobes dan bergerombol di gerbang. Akhirnya mereka berhasil masuk sewaktu Ajun Komisaris Besar Polisi Tjutju Sumirat (adik kandung Prof Doddy Tisna Amijaya, dosen Biologi ITB yang menjadi Rektor ITB) bersama Brahmana datang dan masuk ke sana.

Ternyata, jenazah Rene sudah ada di Kobes. Situasinya sungguh kurang wajar. Jenazah Rene sang mahasiswa korban pembunuhan diketemukan tersembunyi di satu ruangan yang mirip gudang, di balik satu panel dan tergeletak begitu saja di atas lantai. Menurut laporan para mahasiswa yang dikutip oleh Mingguan Mahasiswa Indonesia, muka Rene remuk, darah mengucur dari lubang telinga, hidung dan lubang-lubang bekas luka di sekujur tubuh. Terdapat lubang peluru di bahu kiri dan pundak yang diperkirakan menembus sampai ke dada dan pinggang.

Melihat situasi, dan demikian pula kondisi jenazah, sungguh tak terbayangkan bahwa itu semua hasil perbuatan sejumlah calon perwira –yang kelak sebagian menjadi jenderal polisi– dan bahwa situasi itu terdapat di kantor polisi yang seharusnya menjadi pelindung rakyat. Dan sungguh kontras dengan fungsinya, para polisi yang ada di tempat itu tak satu pun yang mau bertanggungjawab kenapa jenazah korban yang mestinya segera dilarikan ke rumah sakit, justru ada di sana, sehingga memperkuat kecurigaan adanya suatu upaya menyembunyikannya. Tidak pula ada jawaban waktu itu, di mana dan kapan sebenarnya Rene menghembuskan nafas penghabisan.

Menurut fakta setempat serta kesaksian yang dikumpulkan sendiri dan kemudian dilaporkan Mingguan Mahasiswa Indonesia, peluru yang menembus Rene Coenraad jelas adalah pistol Colt 38 seperti yang diketahui dibawa oleh Taruna Akabri sewaktu di kampus. Pihak kepolisian sendiri menerangkan bahwa kaliber itu tidak lagi mereka pergunakan. Sementara itu, pihak taruna yang diperiksa tidak mau mengakui bahwa ada di antara mereka yang menembak Rene. Tapi yang pasti dan tidak bisa dibantah adalah bahwa Rene adalah korban penganiayaan mereka, dengan cara yang luar biasa ‘biadab’ dan dahsyatnya, sehingga dengan melihat kondisi jenazah tanpa ditembak pun agaknya Rene tetap akan kehilangan nyawanya.

(socio-politica.com) – Berlanjut ke Bagian 2

*Tulisan ini merupakan salah bagian dalam buku “Menyilang Jalan Kekuasaan Militer Otoriter”. (Rum Aly, Penerbit Buku Kompas, 2004).

Mencari Presiden Indonesia 2014: Kembali ke Situasi Pilihan ‘The Bad Among The Worst’? (3)

RIVALITAS politik untuk menjadi calon pengganti Jenderal Soeharto di bagian pertama tahun 1970-an berlangsung bagaikan lakon wayang. Banyak yang berhasrat menjadi presiden, tapi tak pernah berani bicara terang-terangan. Para pengamat barat menyebutnya sebagai shadow playing. Lakon yang dimainkan cukup jelas untuk disaksikan, meski yang bermain adalah tokoh-tokoh dalam bentuk silhoutte. Tak nampak raut wajahnya namun sang bayangan yang memainkan lakon bisa dikenali berdasarkan bentuknya. Bandingkan dengan ajang pencalonan presiden pasca Soeharto, terutama menuju 2014. Banyak yang merasa bisa menjadi presiden dan mengupayakannya dengan segala cara. Tak ada rasa ‘takut’ untuk menampilkan diri atau minta ditampilkan sebagai calon presiden. Beberapa diantaranya dilakukan dengan lakon ala ketoprakan. Pendatang terbaru di arena ini adalah bintang musik dangdut Rhoma Irama.

RHOMA IRAMA DALAM PLESETAN SEBAGAI PRESIDEN RI. "Terlihat, betapa tak mudahnya hidup dengan mengidap hasrat menjadi Presiden di kala Soeharto masih berada dalam pucuk kekuasaan. Maka, setiap orang yang bercita-cita menjadi Presiden Indonesia menggantikan Soeharto, harus pandai-pandai menyimpan hasratnya itu sebagai rahasia". " Bandingkan dengan ajang pencalonan presiden pasca Soeharto, terutama menuju 2014. Banyak yang merasa bisa menjadi presiden dan mengupayakannya dengan segala cara. Tak ada rasa ‘takut’ untuk menampilkan diri atau minta ditampilkan sebagai calon presiden. Beberapa diantaranya dilakukan dengan lakon ala ketoprakan. Pendatang terbaru di arena ini adalah bintang musik dangdut Rhoma Irama".
RHOMA IRAMA DALAM PLESETAN SEBAGAI PRESIDEN RI, BEREDAR DI BLACKBERRY. “Terlihat, betapa tak mudahnya hidup dengan mengidap hasrat menjadi Presiden di kala Soeharto masih berada dalam pucuk kekuasaan. Maka, setiap orang yang bercita-cita menjadi Presiden Indonesia menggantikan Soeharto, harus pandai-pandai menyimpan hasratnya itu sebagai rahasia”. ” Bandingkan dengan ajang pencalonan presiden pasca Soeharto, terutama menuju 2014. Banyak yang merasa bisa menjadi presiden dan mengupayakannya dengan segala cara. Tak ada rasa ‘takut’ untuk menampilkan diri atau minta ditampilkan sebagai calon presiden. Beberapa diantaranya dilakukan dengan lakon ala ketoprakan. Pendatang terbaru di arena ini adalah bintang musik dangdut Rhoma Irama”.

Tatkala hasrat menjadi Presiden, adalah khayalan. Sejak pekan terakhir bulan September hingga pekan-pekan pertama November 1973, Panglima Kopkamtib Letnan Jenderal Soemitro, giat berkunjung menemui dewan/senat mahasiswa di sejumlah kota perguruan tinggi terkemuka: Surabaya, Bandung, dan Yogya. Ia mencoba menjelaskan secara persuasif sikapnya tentang mode rambut gondrong di kalangan anak muda, termasuk di kalangan mahasiswa. Penguasa seakan tak pernah jera mempertahankan sikap anti rambut gondrong, padahal sikap itu sempat memicu Peristiwa 6 Oktober 1970 yang menewaskan mahasiswa ITB Rene Louis Coenraad dalam Continue reading Mencari Presiden Indonesia 2014: Kembali ke Situasi Pilihan ‘The Bad Among The Worst’? (3)

Soal Isu Pengunduran Diri Para Jenderal Polisi

KETIKA memandu tanya jawab dalam talk show di tvOne –Indonesia Lawyers Club– Selasa malam 9 Oktober 2012, Karni Ilyas SH mencoba mengkonfirmasi sebuah ‘isu’ kepada seorang jenderal polisi purnawirawan yang hadir. Apakah betul para jenderal polisi yang jumlahnya sekitar 280 orang akan mundur serentak karena kecewa terhadap pidato presiden 24 jam sebelumnya? Dalam pidato Senin malam 8 Oktober itu, Presiden SBY antara lain menegaskan –ini berarti suatu perintah kepada Polri– bahwa kasus korupsi pengadaan simulator Korlantas Polri sepanjang yang melibatkan penyelenggara negara, ditangani oleh KPK. Polri hanya menangani yang tidak terkait dengan penyelenggara negara.

PARA JENDERAL POLISI. “Sepertinya mustahil bila para jenderal polisi itu bisa sedangkal dan seemosional itu, oleh suatu kesetiaan korps yang begitu sempit. Pasti masih banyak jenderal yang berpikiran sehat. Isu tersebut cenderung sebagai satu provokasi belaka, dan atau gertak sambal”. (foto download yustisia.com).

Tentu saja, sang jenderal purnawirawan, Sisno Adiwinoto, maupun Kadiv Humas Polri Brigjen Suhardi Alius yang juga hadir di situ, ‘takkan mungkin’ bisa mengkonfirmasi. Bisa saja, isu itu berkategori mengada-ada. Tapi Karni Ilyas sementara itu, tak bisa serta merta dikatakan mengada-ada, karena memang sejak Senin malam dan sepanjang Selasa 9 Oktober, walaupun terbatas, ‘kabar’ itu beredar dan dipercakapkan. Dengan menanyakan kebenaran isu itu, Karni telah mengkonfirmasi bahwa isu semacam itu memang telah beredar. Namun, terlepas dari apakah konten isu tersebut benar atau tidak benar, sebenarnya tak bisa dinafikan kemungkinan adanya jenderal ‘dalam posisi’ yang memang tidak menyetujui ‘keputusan’ presiden itu karena alasan dan kepentingan tertentu. Kalau tidak, kenapa selama dua bulan ini, institusi tersebut begitu bersikeras ingin menangani sendiri kasus korupsi simulator Korlantas itu?

DUA hari sebelum tanggal 8 Oktober, dalam tulisan “Polri Dalam Peristiwa 5 Oktober 2012” (sociopolitica, 6 Oktober 2012) ada ungkapan bahwa dari data pengalaman empiris selama ini, di tubuh Polri terdapat ‘bakat’ untuk melakukan pembangkangan. Terakhir, seperti yang terlihat dalam kaitan kasus korupsi Korlantas dengan ‘penyerbuan’ 5 Oktober ke Gedung KPK. Diingatkan, bahwa “Bilamana tak ada tindakan cepat, tepat dan tegas terhadap peristiwa-peristiwa seperti ini dari yang menjadi atasan, atau atasan dari atasan –dalam hal ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai atasan dari pimpinan Polri– tindakan-tindakan agresif dan konfrontatif dengan kadar yang Continue reading Soal Isu Pengunduran Diri Para Jenderal Polisi

Kebenaran tentang Sosok Jenderal Polisi Hoegeng dan Baharuddin Lopa

TAKKAN ada yang bisa membantah bahwa di tengah bayang-bayang gelap penegakan hukum di Indonesia, beberapa dekade terakhir, ada dua sosok ideal yang pernah tampil, yakni Jenderal Polisi Hoegeng Iman Santoso dan Baharuddin Lopa SH. Kedua tokoh tersebut pernah menduduki puncak tertinggi dua lembaga penegakan hukum. Jenderal Hugeng menjadi Kapolri 1968-1971, sementara Baharuddin Lopa menjadi Jaksa Agung selama 27 hari, 6 Juni sampai hari meninggalnya di Riyadh 3 Juli 2001.

Seakan ‘mewakili’ rasa hampa dan kerinduan publik akan kehadiran sosok penegak hukum yang tangguh di tengah kepengapan dan kegelapan penegakan hukum, muncul tulisan “Rindu pada Sosok Hoegeng dan Lopa” di Harian Kompas 12 September 2011 (Indah Surya Wardhani/Litbang Kompas). Tulisan ini bagus, kecuali bahwa ia mengandung kekurangan dalam akurasi pada beberapa bagian yang justru esensial terkait kebenaran peristiwa.

Dalam tulisan itu disebutkan Hoegeng dikenal tak mempan disuap dan sering menggulung pelaku kejahatan tanpa pandang bulu. Integritasnya teruji saat menangani tiga kasus ‘istimewa’: penembakan Rene Coenraad, pemerkosaan Sum Kuning, dan korupsi Robby Cahyadi. “Sedemikian kuat dedikasi polisi mengungkap kasus sensitif itu, hingga eksesnya membuat Hoegeng kehilangan jabatan”.

Memang Hoegeng tak mempan disuap. Tapi berbeda dengan yang digambarkan lanjut dalam tulisan tersebut, pada peristiwa sebenarnya, Hoegeng yang diidolakan masyarakat kala itu, justru sebenarnya tak berhasil menangani dengan baik kasus penembakan mahasiswa ITB Rene Louis Coenraad dalam “Peristiwa 6 Oktober 1970” maupun Kasus Sum Kuning. Dalam kedua kasus tersebut, Hoegeng ‘mengalah’ terhadap realita adanya kekuasaan otoriter yang mengatasi dirinya sebagai penegak hukum yang baik.

PERISTIWA 6 OKTOBER 1970.  “Dalam kasus tersebut, Hoegeng ‘mengalah’ terhadap realita adanya kekuasaan otoriter yang mengatasi dirinya sebagai penegak hukum yang baik”. Karikatur Deandy Sudiana 1970.

Dalam Peristiwa 6 Oktober 1970, polisi salah menyeret terdakwa pembunuh. Bripda Djani Maman Surjaman dijadikan kambing hitam, diadili dan dihukum penjara. Ahli forensik dan ballistik memastikan Rene tertembak dengan senjata laras pendek, sedangkan Djani memegang senjata laras panjang Karl Gustav saat bertugas melerai pengeroyokan Rene oleh Taruna Akabri Kepolisian yang akan segera lulus sebagai Angkatan 1970. Ketika peristiwa terjadi, yang diketahui membawa pistol (senjata laras pendek) hanyalah para Taruna. Para Taruna yang terlibat –beberapa adalah putera perwira tinggi polisi– tak berhasil diajukan ke mahkamah militer di masa Hoegeng. Belakangan, pasca Hoegeng, dari September 1973 hingga awal 1974, barulah 8 Taruna Akabri Kepolisian diadili. Tapi dalam peradilan itu, 8 Taruna (Nugroho Djajusman dan kawan-kawan) yang sudah menjadi perwira muda polisi, mendapat hukuman yang ringan-ringan dan dianggap hanya terlibat perkelahian.

Sementara dalam kasus pemerkosaan gadis penjual telur Sum Kuning –di sebuah mobil di Ngampilan, Yogya, 21 September 1970– oleh 4 orang pemuda, polisi menunjukkan penyimpangan. Polisi tidak berani karena para pemuda itu adalah anak-anak perwira militer, salah satunya putera pahlawan revolusi di daerah itu, dan lainnya dari kalangan bangsawan. Polisi malah menangkap Sum Kuning yang berusia 16 tahun itu, dituduh memberikan laporan palsu dan anggota Gerwani/PKI. Polisi lalu menciptakan skenario bahwa tak terjadi perkosaan, melainkan hubungan sex suka sama suka dengan penjual bakso bernama Trimo. Karena sorotan pers, skenario dirubah lagi. Sembilan pemuda preman ditangkapi sebagai pelaku, padahal menurut Sum Kuning ia disergap dan diperkosa oleh 4 orang di lantai mobil. Tapi kata polisi, perkosaan dilakukan bukan di mobil tapi di sebuah rumah kontrakan di Klaten. Pers berhasil mematahkan skenario baru itu. Seberapa hebat para preman itu, sampai bisa punya mobil untuk melakukan penculikan dan perkosaan. Toh, sembilan pemuda itu tetap dipaksakan untuk diadili. Sampai berlalunya Kapolri Hoegeng, pelaku sebenarnya tak pernah berhasil diseret ke pengadilan dan kebenarannya terkubur hingga kini.

Namun, dalam kasus penyelundupan mobil mewah melalui Pangkalan AU Halim Perdana Kusumah oleh Robby Cahyadi, Jenderal Hoegeng memang betul-betul menunjukkan integritas, lengkap dengan keberanian yang prima. Meskipun di belakang kasus itu nama Cendana disebut-sebutkan, Hoegeng tetap bertindak. Tampaknya kasus inilah yang membuat Hoegeng diberhentikan sebagai Kapolri, meskipun tidak dilakukan langsung. Ia diperangkap untuk terlibat proyek pabrik helm dan karenanya menjadi bulan-bulanan serangan karena pada waktu yang bersamaan ia menetapkan kewajiban penggunaan helm bagi pengendara sepeda motor.

Penyampaian ini, tentu tak bermaksud mengecilkan ketokohan Hoegeng, tetapi bagaimanapun kita tetap harus menyampaikan duduk perkara sebenarnya. Lebih dari sekali Harian Kompas menurunkan tulisan keliru mengenai Peristiwa 6 Oktober 1970 maupun Kasus Sum Kuning dalam konteks ketokohan Hoegeng. Tapi terlepas dari itu, yang terpenting untuk kita pahami adalah sebuah pelajaran dari realita bahwa bahkan polisi sebaik Hoegeng pun terpaksa bertekuk lutut di hadapan dan di dalam suatu kekuasaan yang otoriter dan kotor. (Baca juga Kisah ‘Polisi Baik’ dalam Kekuasaan Otoriter, sociopolitica.wordpress.com, 27 Juni 2009).

SEPERTI halnya Hoegeng, Baharuddin Lopa pun tak bisa diragukan integritasnya. Lopa telah menunjukkan integritas dan keberaniannya selaku penegak hukum, terutama sewaktu menjadi Jaksa Tinggi Sulawesi Selatan dan sebelumnya di Kalimantan Timur. Namun ketika di’kandang’kan sebagai Dirjen Pemasyarakatan ia seakan kehilangan gairah dan tak banyak yang bisa dilakukannya menghadapi berbagai penyakit kronis di lingkungan itu. Begitu pula sebenarnya, saat Lopa diangkat Abdurrahman Wahid sebagai Menteri Hukum/HAM. Apalagi wewenang Menteri Hukum/HAM kala itu tak lagi powerful sebagaimana masa-masa sebelumnya saat masih bernama Menteri Kehakiman. Suatu waktu, Jaksa Agung Marzuki Darusman bertemu Menteri Hukum/HAM Baharuddin Lopa, dan meminta bantuan mencari jalan keluar terhadap situasi terkait sikap hakim dalam menangani perkara-perkara korupsi. Saat itu, ada beberapa Pengadilan Negeri yang dianggap sebagai kuburan bagi kasus-kasus korupsi. Lopa mengakui keterbatasannnya. Tetapi sepanjang yang masih terkait dengan wewenangnya, ia pernah bertindak drastis, mengirim Bob Hasan ke LP Nusa Kambangan.

Sewaktu menjadi Jaksa Agung, praktis Lopa belum sempat berbuat apa-apa. Hanya melanjutkan apa yang sudah dilakukan Jaksa Agung Marzuki Darusman SH. Kasus Arifin Panigoro-Bahana maupun kasus penyimpangan dana yayasan-yayasan Soeharto seperti dituliskan Kompas, bukan ditangani Lopa, tetapi ditangani di masa Jaksa Agung sebelumnya. Tapi memang ada satu kasus yang mempertalikan masa Marzuki Darusman dan masa Baharuddin Lopa, yakni kasus Syamsul Nursalim. Di masa Marzuki Darusman, berdasarkan permintaan dan jaminan pengacara Adnan Buyung Nasution, keterangan dokter pribadi Syamsul dari Jepang maupun dokter pembanding yang ditunjuk Kejaksaan Agung, permohonan Syamsul Nursalim untuk berobat di luar negeri dikabulkan. Marzuki yang berlatar belakang aktivis HAM, juga menghadapi dilema aspek kemanusiaan. Memperhitungkan kemungkinan Syamsul bisa saja tak kembali ke Indonesia, untuk berjaga-jaga Jaksa Agung memerintahkan pencekalan isteri Syamsul, Cicih Nursalim. Tak banyak diketahui orang, justru di masa Lopa pencekalan dihapuskan, yang segera digunakan Cicih menyusul suaminya ke luar negeri. Ketika Lopa mengeluarkan serangkaian pernyataan keras tentang  Syamsu Nursalim, termasuk penjeblosan ke tahanan, ia ini malah tidak mau pulang lagi ke Indonesia. Apalagi, isterinya yang menjadi semacam ‘sandera’ sudah dilepaskan cekalnya.

Namun, bagaimanapun, Lopa adalah tokoh yang patut dijadikan model penegak hukum yang bisa diandalkan. Sayangnya, dalam 27 hari ia tak mendapat kesempatan dariNya untuk membuktikan diri sebagai Jaksa Agung yang diharapkan. Pun tak sempat memenuhi ‘syarat’ khusus pengangkatannya sebagai Jaksa Agung dari Presiden Abdurrahman Wahid, menangkap beberapa tokoh dengan tuduhan korupsi: Akbar Tandjung, Taufiq Kiemas, Arifin Panigoro dan Fuad Bawazier, yang tak bersedia dilakukan Marzuki Darusman tanpa bukti kuat.

Menemui Kematian Karena Kekerasan (1)

“Ibarat buah apel, tatkala masih hijau sulit memetiknya dari pohon. Namun bila ia sudah ranum, akan jatuh sendiri ke tanah. Demikian pula kaum muda, kematiannya datang karena kekerasan, sedangkan bagi mereka yang tua, maut datang karena kematangan”. Demikian salah satu kalimat dalam pidato Cicero (106-43 SM). Dua puluh tahun kemudian, dalam usia 63 tahun, tatkala duduk tenang di atas tandu di tepi pantai ‘menanti’ suruhan Marcus Antonius –yang telah memerintahkan untuk membunuh Cicero– datang dan memisahkan kepala dari tubuhnya dengan satu tebasan pedang. Sebenarnya beberapa saat sebelumnya ia telah naik kapal dan berniat meninggalkan negerinya. Tapi ia berubah pikiran, membatalkan pelariannya, turun ke pantai menjemput kematiannya. Ini terjadi setahun setelah Cicero membacakan Philippica, sebuah pidatonya yang menyerang penguasa Roma yang baru, Marcus Antonius, pengganti Julius Caesar.

Aksi mahasiswa tahun 1966 menumbangkan rezim Soekarno (Repro FACE)

Dalam perjuangan mahasiswa tahun 1966 menumbangkan rezim Soekarno, sejumlah anak muda menemui kematiannya karena kekerasan. Beberapa nama tercatat, Arief Rahman Hakim, Zainal Zakse dan Julius Usman. Dan pada aksi-aksi mahasiswa 1998, menjelang tumbangnya Soeharto, kembali beberapa anak muda tumbang dan menemui kematian, dalam tragedi Trisakti dan Semanggi. Dan pada setiap peristiwa, selalu terjadi bahwa pembunuhnya adalah ‘invisible hand’, Lalu, orang yang disangka sebagai pembunuh (atau yang memerintahkan pembunuhan) seringkali lebih keras daripada siapapun dalam melaknat ‘pembunuh terselubung’ itu. Sehingga, selamatlah dia. Sementara itu, pembunuh yang sebenarnya senantiasa dilindungi oleh penguasa –siapa pun dia sang penguasa itu. Selain kematian, diantara dua kurun waktu berakhirnya dua tokoh kekuasaan itu, tercatat sejumlah tragedi yang menimpa para mahasiswa yang merupakan representasi kaum muda. Dua tokoh kekuasaan itu sendiri, pada akhirnya jatuh karena ‘kematangan’nya, ketika ia berkuasa dalam rentang waktu yang hampir tak masuk akal lagi karena begitu lamanya.

A DAY AFTER YOUR ORDER, GENERAL !

 

Ketika para penguasa makin mendewakan senjata dan kekuatan, dan menularkannya kepada para calon perwira muda, jatuh korban di kalangan mahasiswa, Rene Louis Coenraad, dalam insiden Peristiwa 6 Oktober 1970 di depan kampus ITB. Sejumlah Taruna Akabri Kepolisian mengeroyok Rene usai kekalahan mereka dalam pertandingan sepakbola beberapa saat sebelumnya. Rene tertembak hingga tewas. Ironisnya, ini terjadi hanya sehari setelah Presiden Soeharto pada perayaan hari ABRI 5 Oktober menyerukan kepada para prajurit untuk tidak menyakiti hati rakyat. Seorang bintara dituduh sebagai pembunuhnya. Tapi bagi para mahasiswa ada keyakinan yang tertanam bahwa pembunuh sebenarnya ada di antara para calon perwira Angkatan 1970 itu, dan sang bintara hanyalah korban pengkambinghitaman untuk menyelamatkan ‘perwira masa depan’ itu. Untuk kesekian kalinya, kembali pembunuh yang sebenarnya dilindungi oleh kekuasaan. Peristiwa ini menjadi Luka Pertama dalam hubungan mahasiswa dengan tentara Orde Baru dan menjadi awal berakhirnya partnership ABRI-Mahasiswa yang pada tahun 1966 berhasil menumbangkan rezim Soekarno yang pada tahun-tahun terakhir kekuasaannya makin menjelma sebagai seorang diktator. Tetapi Jenderal Soeharto, penguasa baru yang menggantikan sang diktator, hanya dalam beberapa tahun saja ternyata telah berubah menjadi bagaikan Marcus Antonius yang tak senang terhadap kritik. Tatkala Soeharto menunjukkan ketidaksenangannya pada kritik, justru para mahasiswa generasi baru yang berangsur-angsur muncul menggantikan generasi perjuangan 1966, tampil menjadi pengeritik-pengeritik awal bagi Soeharto.

Di tangan Soeharto, Orde Baru yang lahir untuk memperbaharui dan mereformasi kekuasaan yang tidak demokratis dari rezim Orde Lama Soekarno, perlahan namun teratur telah menjelma menjadi kekuasaan yang sama buruknya dengan yang digantikannya, anti demokrasi dan anti kemanusiaan. Hanya saja, berbeda dengan Soekarno, kekuasaan baru ‘lebih berhasil’ dalam mengembangkan kemajuan ekonomi. Akan tetapi, bagi para mahasiswa, apalah artinya kemajuan ekonomi tanpa keadilan. Nyatanya memang, sejalan dengan pertumbuhan ekonomi, korupsi pun bertumbuh menjadi monster pelahap kekayaan negara.

SAMSON DAN DELILAH

Pada awalnya, orang masih berharap Soeharto mampu memberantas korupsi. Mulai dari mahasiswa seperti Amien Rais di tahun 1967 –mahasiswa sosial politik Gadjah Mada, Yogya– hingga sejumlah gerakan mahasiswa awal tahun 1970-an seperti ‘Bandung Bergerak’ dan ‘Gerakan Akal Sehat’ dari Bandung serta Arief Budiman –mahasiswa psikologi Universitas Indonesia– dan kawan-kawan dari Jakarta, senantiasa mengingatkan Soeharto terhadap gejala korupsi yang bisa membahayakan bangsa. Tapi seperti kata Publius Syrus, memang ada orang yang beruntung banyak menerima ‘nasehat’ namun sayangnya amat-amat sedikit memanfaatkannya. Dalam hal korupsi, itulah Jenderal Soeharto. Menurut penggambaran wartawan dan karikaturis muda dari Yogya, Julius Pour, di tahun 1968 pemerintahan Soeharto ibarat Samson dalam mitologi Yunani yang rambutnya adalah persemayaman sumber kekuatannya, digunting oleh Delilah sang kekasih –yang merupakan pengibaratan dan personifikasi korupsi. Rezim Soeharto bukannya tidak mencoba menunjukkan dari waktu ke waktu upaya yang ‘seolah-olah’ untuk memberantas korupsi. Tapi rezimnya agaknya sudah ada dalam suatu stadium ‘tertentu’ karena cengkeraman virus korupsi. Sehingga, ‘obat-obat’ yang diberikan tidaklah pernah menyembuhkan korupsi. Memang ada juga obat yang lebih buruk dari penyakitnya sendiri. Itulah yang diberikan oleh rezim.

Bersama tentara, Soeharto telah bergerak ke posisi  diktator otoriter –dengan segala perilaku korup yang memang merupakan kecenderungan kekuasaan. Maka, mahasiswa bergerak mendekati kelompok-kelompok populis yang tertindas. Hingga pada satu titik, kekuasaan digulingkan, setelah sang tertindas muncul sebagai ‘pendongkel’ yang babak belur berlumuran darah ‘pengorbanan’.

*Karikatur oleh Deandy Sudiana dan Julius Pour, repro Mingguan Mahasiswa Indonesia.

Berlanjut ke Bagian 2

Kisah Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari 1974 (1)

‘Kesibukan’ Jenderal Soemitro

“Jika frustrasi sudah sedemikian bertumpuknya, dan tak ada penyalurannya, maka akan terjadi penyelesaian sendiri, yaitu ledakan-ledakan dengan melalui saluran sendiri”. “Lalu dengan adanya jurang sosial yang makin melebar itu, akan mungkin terjadi suatu revolusi sosial ?”.

DUA PERSOALAN yang terpilih jadi pokok masalah yang diperdebatkan berkepanjangan di tingkat nasional di tahun 1970-an, khususnya pada 1973, adalah masalah rambut gondrong dan masalah penanaman modal asing di Indonesia dengan kadar kepekaan yang berbeda-beda. Bahkan dengan tingkat ketajaman persepsi yang berbeda-beda pula. Bagi para mahasiswa Bandung, kedua masalah itu tidak berdiri sendiri, melainkan ada dalam satu bingkai ‘persoalan’ hegemoni kekuasaan demi kekuasaan yang berhadapan dengan penegakan demokrasi dan keadilan bagi masyarakat.

Suatu pertanyaan yang menyentak dan mengandung alternatif, dilontarkan oleh Delegasi Mahasiswa ITB pada 15 Oktober 1973, kepada penguasa tatkala mendatangi pimpinan DPRD Jawa Barat. “Aksi kami bukan mau mendongkel kelompok penguasa seperti Ali Moertopo, Soedjono Hoemardani, Jenderal Soemitro ataupun Tien Soeharto. Kami hanya mengingatkan ada dua alternatif bagi kami: Yang pertama adalah apatis dan yang kedua adalah berontak. Ini bukan ancaman, ada contoh-contoh seperti di Muangthai”. Waktu itu, PM Thanom Kittikachorn memang baru saja mengundurkan diri karena tak tahan tekanan demonstrasi dalam negeri.

Delegasi Mahasiswa yang umumnya berambut gondrong –antara lain Kemal Taruc, Hafiz Sawawi, Daryatmo, Henri Hutabarat dan delapan kawan mereka– datang membawa ‘Surat Cinta kepada Negeri Kami’ disamping sejumlah poster dengan tulisan yang pedas ditujukan kepada penguasa. Poster-poster itu mewakili tanggapan dan pikiran mereka terhadap berbagai permasalahan kekuasaan yang diperhadapkan kepada masyarakat. Poster-poster itu antara lain berbunyi ‘Modal asing untuk rakyat atau rakyat untuk modal asing?’, ‘Modal Asing memang Asyik! (Buat siapa?)’, ‘Seribu Yen ditanamkan, seribu Majalaya gulung tikar’. Ketiga poster itu, menyangkut pokok masalah penanaman modal asing yang menjadi dilematis bagi rakyat karena kekeliruan ‘kebijaksanaan’. Sedang dua poster berikut mengungkap aroma penyelewengan dalam bidang perminyakan yang menyengsarakan rakyat, ‘Sejuta barrel disedot, sejuta kantong pejabat digemukkan’, ‘Sejuta barrel disedot, sejuta kantong rakyat dikempiskan’. Dan poster ‘GNP naik, celana rakyat melorot’ mengandung kritik kepada kebijaksanaan ekonomi yang mengutamakan pertumbuhan dan mengabaikan keadilan.

Masih ada lagi dua poster bernada tanya sebagai tanda kegetiran terhadap penegakan hukum dan keadilan, ‘Siapa mengatur negeri kami, Undang-undang atau selera?’ dan ‘Sesudah Sum Kuning, Rene, Martawibawa, siapa lagi?’ (Martawibawa adalah seorang tahanan kepolisian Metro Jaya yang mati dianiaya para pemeriksanya. Dan salah satu pelakunya adalah alumni Taruna Akabri Kepolisian, Bahar Muluk, yang pada 1970 juga ikut serta mengeroyok sampai mati mahasiswa ITB Rene Louis Coenraad).

Sepekan sebelumnya Delegasi Mahasiswa ITB ini juga ke Jakarta membawa surat terbuka berisi beberapa pertanyaan mengenai tidak terkontrolnya modal asing. Lalu kepada pimpinan DPR-RI mereka pun sempat membacakan sajak tentang kerbau gemuk yang merupakan sindiran kearah penguasa. Sedang kepada DPRD Jawa Barat, melalui Ketua DPRD Rachmat Sulaeman dan Wakilnya Ir Hidayat, mereka menyampaikan ‘Surat Cinta kepada Negeri Kami’. Dalam surat cinta itu mereka menyatakan “Kekuasaan dan kekuatan telah menjelma menjadi hukum dan hukum sendiri telah banyak diperkosa untuk membenarkan ketidakadilan”. Seterusnya dengan getir mereka menggambarkan, “Dua puluh sembilan tahun setelah kemerdekaan negeri ini, harapan akan cita-cita kemerdekaan hanya dinikmati oleh sebagian kecil masyarakat, sementara rakyat banyak memikul kesengsaraannya. Ekses-ekses yang timbul akibat penanaman modal asing yang tidak terkontrol, pemaksaan-pemaksaan kehendak dengan dalih demokrasi dan kesewenang-wenangan dengan dalih ketertiban hukum atau stabilitas nasional, tampaknya akan dibiarkan menjadi kebudayaan negeri ini oleh sekelompok kecil pejabat-pejabat yang secara kebetulan mempunyai kekuasaan dan kekuatan”.

Pada bulan September, Oktober dan November tahun 1973 itu sebenarnya terjadi pula peningkatan suhu politik dengan makin maraknya demonstrasi pemuda-pemudi Islam yang menentang RUU Perkawinan di berbagai daerah dan terutama sekali di Jakarta sendiri. Bagi sebagian umat Islam muncul anggapan, seperti yang dinyatakan Professor Dr HM Rasyidi dalam Harian Abadi, bahwa RUU itu mengandung tak kurang dari 7 pasal yang merupakan “Kristenisasi dalam selubung”. Dalam bahasa yang lebih terang lagi, anggota DPR dari Partai Persatuan Pembangunan Amin Iskandar menyebutkan “RUU Perkawinan yang sekarang ini hanyalah terjemahan dari peraturan yang berlaku untuk perkawinan orang-orang Kristen”. Dikaitkannya retorika Kristenisasi dalam masalah ini juga terpicu oleh isu bahwa RUU ini diluncurkan atas desakan kuat Ibu Negara yang menurut isu itu adalah seorang penganut agama bukan Islam. (Beberapa tahun kemudian, Ibu Negara turut serta bersama Presiden Soeharto menunaikan Ibadah Haji).

Demonstrasi terbesar dan dapat disebutkan sebagai puncak dalam kaitan ini adalah aksi di DPR yang dikenal sebagai Peristiwa Akhir Sya’ban, pada tanggal 27 September 1973. Penamaan Peristiwa Akhir Syaban adalah karena memang peristiwa itu terjadi tepat di hari terakhir bulan Sya’ban tepat satu hari sebelum  memasuki bulan Ramadhan 1393 Hijriah. Demonstrasi yang dilancarkan pemuda-pemudi Islam itu menggemparkan karena sampai saat itu baru pertama kalinya terjadi suatu gerakan ekstra parlementer sedemikian di gedung parlemen. Dalam satu seruan “Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar” yang bergemuruh, ratusan demonstran berhasil menerobos ke ruang sidang paripurna DPR memenggal jawaban Pemerintah mengenai RUU Perkawinan tepat pada saat Menteri Agama Mukti Ali tiba pada bagian mengenai pertunangan dalam Fasal 13, pada pukul sepuluh lewat 7 menit di hari Kamis 27 September itu.

Setelah demonstrasi anti RUU Perkawinan ini masih berkepanjangan, dan berbarengan dengan itu aksi-aksi mahasiswa mengenai modal asing dan kesenjangan sosial juga mulai terjadi, maka Wakil Panglima Kopkamtib Laksamana Laut Soedomo ikut angkat bicara. Soedomo memperingatkan bahwa larangan demonstrasi tetap berlaku di Indonesia. Menurut Soedomo, demonstrasi pemuda dan pemudi Islam di DPR 27 September dan “demonstrasi-demonstrasi yang di Bandung” akan diselesaikan secara hukum. Untuk itu di Jakarta telah terjadi penahanan-penahanan, setidaknya ada 13 putera dan 1 orang puteri yang ditahan. Sementara Laksamana Soedomo sibuk dengan gertakan-gertakannya kepada generasi muda yang berekstra-parlementer, Panglima Kopkamtib Jenderal Soemitro sibuk ber’safari’ dari kampus ke kampus, seolah-olah untuk ‘membayar’ utang-utang pernyataannya yang disebutkan oleh para mahasiswa sebagai sikap anti demokrasi. Pada pekan terakhir Oktober ia ke Surabaya bertemu 35 mahasiswa dari Badan Kerja Sama DM/SM se Surabaya, lalu juga ke Bandung dan Yogya.

Di Surabaya, Soemitro harus menjelaskan sikapnya mengenai rambut gondrong. Ia menyatakan tak pernah ada instruksi darinya tentang pemangkasan rambut gondrong. Bahwa penguasa tak menyukai rambut gondrong, memang benar. Dalam pertemuan di Surabaya itu Jenderal Soemitro mengaku ingin meyakinkan terus kepada anak-anak muda bahwa mode rambut panjang itu kurang sedap dipandang. Namun dengan gaya lunak ia lalu menyatakan “Tapi kalau yang mau diyakinkan itu tidak mau, ya tidak apa-apa”. Dan, “Anak saya sendiri rambutnya gondrong”.

Pertemuan yang sengit dan berlangsung blak-blakan terjadi pekan berikutnya, Jumat 2 Nopember, di Bandung. Terbagi atas dua sesi yang diantarai istirahat siang, untuk memberi kesempatan shalat Jumat, pertemuan seluruhnya berlangsung sekitar delapan jam. Dari pagi hingga sore. Para pimpinan mahasiswa se Bandung yang memenuhi Gedung Pertemuan PIAI (Perhimpunan Ilmu Alam Indonesia) Jalan Surapati, dengan gencar melontarkan segala pernyataan dan kecaman terhadap ketidakberesan yang ada di Indonesia waktu itu. Sang Panglima Kopkamtib yang berbadan gemuk berwajah bulat itu, mendengar dan menjawab, namun selalu berusaha memperlihatkan keakraban sikap. Kepiawaian yang ditunjukkan Jenderal Soemitro digambarkan kemudian oleh Komaruddin, pejabat Ketua Umum DM ITB, secara tepat. “Senyumnya cukup ramah. Awal pembicaraannya dapat dikatakan relaks dan terbuka”. Lalu, “sebagian yang hadir berhasil dihanyutkan suasana yang mereka kira terbuka dan fair. Mengalirlah ‘beribu’ pengaduan, yang bisa diartikan bahwa sebagian pembicara secara tidak sadar mengakui eksistensi Kopkamtib. Walaupun, sebagian besar dari mereka sangat setuju bila Kopkamtib dibubarkan saja atau paling kurang dilembagakan kedudukannya hingga jelas status hukumnya”. Namun, kecuali sedikit cacad hanyutan itu, pertemuan itu secara menyeluruh sangat bertemperamen.

Adalah Hatta Albanik, Ketua Umum Dewan Mahasiswa Universitas Padjadjaran, yang dengan terus terang menyatakan kesangsian akan dialog-dialog dengan kalangan penguasa. Apa ada gunanya ? “Saya agak enggan, sebab biasanya kalau kita bertemu dengan pejabat-pejabat dan bicara banyak, akhirnya seolah-olah menghadapi satu tembok pantul. Artinya, apa yang kita utarakan pada akhirnya memburu-buru kita sendiri. Kita mulai dihadapkan dengan cara dan sistim intimidasi dan sebagainya”. Menurut Hatta, sikap-sikap generasi tua yang sedang berkuasa banyak yang menyebabkan terjadinya frustrasi di kalangan generasi muda. “Demikian frustrasinya”, ujarnya, “Kita dihadapkan dengan pikiran-pikiran dan pendapat-pendapat para pejabat itu sendiri, yang kemudian dikontradiksikan dalam tingkah laku dari pejabat-pejabat itu sendiri. Satu contoh, pak Mitro sendiri mengatakan bahwa mahasiswa, generasi muda, sebaiknya jangan terlampau terpukau mempelajari buku-buku dari Barat dan jangan terlampau serius dengan apa yang diutarakan sarjana-sarjana dari Barat”. Tapi nyatanya, “pejabat-pejabat kita mengimpor nightclub, mengimpor steambath”. Hatta memperingatkan, jika frustrasi sudah sedemikian bertumpuknya, dan tak ada penyalurannya, maka akan terjadi penyelesaian sendiri, yaitu ledakan-ledakan dengan melalui saluran sendiri.

Seperti menyambung ucapan Hatta, sebuah pernyataan disampaikan kepada Jenderal Soemitro di forum tersebut, dari DM ITB. “Sangatlah mengkhawatirkan kalau untuk hampir  setiap pencetusan bentuk spontanitas kaum muda, penguasa menyediakan cap berbau vonnis yang memungkinkan timbulnya pelbagai bentuk frustrasi. Kami khawatir bentuk frustrasi yang disebabkan oleh hal tersebut akan membekas dalam jangka waktu yang relatif lama serta merusak idealisme mereka sebagai generasi penerus”.

Salah satu topik pertanyaan dan pernyataan yang banyak diutarakan dalam pertemuan itu adalah mengenai berbagai kepincangan sosial. “Pembangunan sekarang, dari luar memang kelihatan mentereng dengan mobil-mobil luks yang banyak, Rolls Royce dan sebagainya, di tengah-tengah kemelaratan rakyat. Banyak orang punya sawah berhektar-hektar, sedang banyak rakyat petani justru tak punya. Apakah itu tujuan pembangunan ?”, bunyinya suatu pernyataan yang bercampur pertanyaan. Lalu dengan adanya jurang sosial yang makin melebar itu, akan mungkin terjadi suatu revolusi sosial ? Terhadap pernyataan seperti itu, Jenderal Soemitro mengakui bahwa memang “kurang dirasakan adanya social justice”. Dan “semakin dirasakan besarnya kontradiksi-kontradiksi sosial”. Tetapi secara umum mengenai kepincangan sosial, apalagi revolusi sosial, Soemitro menghindari untuk memberi jawaban atau pernyataan. Ia hanya mengakui adanya ketidakadilan sosial itu dengan kata-kata yang bersifat umum. Ia pun mengakui adanya kontradiksi-kontradiksi sosial dan adanya masalah pengangguran. Masalah ketiadaan lapangan kerja, diakuinya, menimbulkan frustrasi sosial. Pun tersirat sedikit pengakuan tentang adanya ekses-ekses beberapa penanaman modal asing, tatkala menjawab seorang mahasiswa yang menyinggung ekses penanaman modal Jepang. Menurut Jenderal Soemitro ada kebijaksanaan kredit yang diarahkan membantu usaha-usaha kecil. “Kita membantu golongan lemah agar ada usaha-usaha baru, yang padat karya”.

Berlanjut ke Bagian 2

Berbagai Kisah dari ‘Kegelapan’ Penegakan Hukum (3)

“…….. meski dua proses peradilan dalam kaitan Peristiwa 6 Oktober 1970 ini telah menentukan Djani sebagai ‘pembunuh’ Rene, pada hakekatnya tetap tertinggal satu misteri tak terjawab: Siapa sebenarnya pembunuh Rene Louis Coenraad ? Mahasiswa meyakini, pembunuh itu terselip di antara para Taruna 1970 itu yang ada di Jalan Ganesha 6 Oktober 1970. Dan ini adalah noda yang melekat pada Angkatan 1970 yang belum terselesaikan, akan senantiasa tercatat sebagai kejahatan yang belum terungkap hingga kini”.

Dari 8 terdakwa, dalam requsitor oditur, hanya dua orang yang tampaknya cukup ‘tersangkut’ dengan Rene, yakni Terdakwa I Letnan (Inspektur) II Nugroho Djajusman dan Terdakwa II Letnan I Dodo Mikdad. Terdakwa I Nugroho Djajusman mengakui berpakaian PDL (Pakaian Dinas Lapangan) saat peristiwa, tapi tidak disebut berpistol atau tidak. Dari atas truk, katanya, Nugroho melihat Rene lalu teringat akan tantangan yang diucapkan Rene di lapangan sepakbola “Siapa jagoan Akabri?”. Karena itulah, Nugroho turun dari truk dan mengejar Rene yang sedang lari. Seraya mengejar, Nugroho memukul Rene tapi menurut pengakuannya, “tidak kena”. Terdakwa II Letnan I Dodo Mikdad, ketika berada di atas truk mengaku melihat Rene memukul seorang taruna yang berbadan kecil. Karena perkelahian tidak seimbang, terdakwa turun untuk memisah tapi malah katanya dipukul oleh Rene, namun tidak kena. Ia lalu mengejar Rene. Ketika jaraknya tinggal sejangkauan tangan, Dodo memukul Rene tapi meleset, malah petnya jatuh. Pengakuan kedua terdakwa ini tidak diperkuat oleh kesaksian manapun. Tak ada kesaksian yang pernah menyatakan melihat Rene justru aktif memukul taruna. Pengakuan Terdakwa II Dodo Mikdad yang diungkapkan oleh oditur ini merupakan ‘pengakuan baru’ bagi Mahkamah, setelah terdakwa ini sebelumnya menolak hasil pemeriksaan pendahuluan yang ditandatanganinya sendiri. Dalam pemeriksaan pendahuluan ia mengakui menghampiri Rene, tetapi sebelum tiba Rene sudah lari, lalu berdua dengan taruna lainnya ia mengejar Rene. Keterangan seperti yang disampaikan Dodo Mikdad ini sebenarnya diperlukan dalam persidangan dengan terdakwa Djani Maman Surjaman di tahun 1970.

Enam terdakwa lain berada dalam gambaran samar dan tidak jelas pada pengutaraan requisitor oditur. Terdakwa III Sianturi Simatupang memukul punggung seorang pengendara sepeda berpakaian baju bermotif kembang-kembang. Siapa yang dipukul tidak diketahui dan tidak juga dibuat jelas oleh oditur. Dalam peristiwa itu ada seorang pengendara sepeda yang dipukul, tapi orang itu adalah Bambang Pranggono seorang mahasiswa ITB yang berjaket abu-abu biru, bukan baju kembang-kembang, dan kena pukulan koppel rim tiga kali. Terdakwa IV Khaerul Bahar Muluk, berpakaian preman bersenjata revolver colt kaliber 38, memberi pengakuan mengacungkan senjata kepada Rene. Rene dipukul dari belakang oleh para taruna, lari, kemudian dikejar. Terdakwa mendengar teriakan-teriakan bahwa mahasiswa melempar batu. Saksi kemudian mengejar mahasiswa dan berteriak “Mahasiswa bajingan, mahasiswa apa!”.

Hanya sekian yang diungkapkan oleh oditur mengenai keterlibatan Terdakwa IV. Oditur tidak mengungkap bahwa senjata yang dipegang Terdakwa IV Khaerul Bahar Muluk pernah diletuskan. Padahal senjata yang dipegang Bahar Muluk itu dipinjamnya dari seorang taruna lain dan ketika dikembalikan pelurunya kurang satu. Apakah Khaerul Bahar Muluk yang menembak ke arah asrama Ganesha 15 ? Saksi Gushaji memberikan gambaran bahwa yang menembak ke Ganesha 15 adalah seorang laki-laki bercelana putih dan berbaju putih (bukan kemeja). Ini tidak sesuai dengan keadaan tampilan Khaerul Bahar Muluk. Pertanyaannya, di mana lalu peluru dari senjata yang dipegang Bahar Muluk ditembakkan ? Terdakwa V Sugeng Widianto sementara itu dilukiskan oditur turun dari truk membuka koppel rim yang dipakainya. Di jalan Ganesha ia melihat anggota P2U dipapah. Ia menjadi marah dan memukul dengan koppel rim. Siapa yang dipukulnya, tidak dijelaskan oditur. Ia mengakui memakai koppel rim putih, sehingga menolak mengakui koppel rim hitam yang dijadikan barang bukti, sebagai miliknya.

Saksi Ir Asdaryanto dalam kesaksian (14 Nopember 1973) menyatakan bahwa pemukulan terhadap Rene dilakukan dengan koppel rim hitam dan juga koppel rim putih. Hal ini tidak disinggung oditur. Mengenai koppel rim putih, disanggah habis-habisan keberadaannya oleh pembela dengan alasan koppel rim putih dalam Akabri hanya dipakai pada seragam kebesaran. Terdakwa VI Letnan II Ahmad Arony Gumay digambarkan “turun dari bus nomor 2, melihat HD tergeletak, mendengar tembakan-tembakan gencar, segerombolan taruna mengejar mahasiswa. Ada yang mendatanginya, lalu disepak karena dongkol”. Terdakwa VII Letnan II Riyadi turun dari truk karena didorong loyalitas dan memukul seseorang. Orang yang dipukul itu kena lengan kirinya. Terdakwa VIII Letnan II Nugroho Ostenrik (putera jenderal polisi Ostenrik) turun dari mikrobus memukul punggung seseorang dan kemudian melakukan pengejaran. Pengejaran ini dihentikan ketika mendengar tembakan peringatan. Siapa yang menjadi korban pemukulan oleh ketiga terdakwa ini, tidak pernah diperjelas oleh oditur.

Setelah uraian yang sangat sumir mengenai keterlibatan masing-masing terdakwa, mulailah oditur mempreteli sendiri satu persatu tuduhan-tuduhannya yang disampaikan pada awal persidangan yang sudah berlangsung tiga bulan ini. Tuduhan primer yang bersandar pada pasal 170 ayat 1 angka 3 KUHP, jo pasal 55 ayat 1 angka 1 KUHP, dibatalkan oleh oditur. Tuduhan ini menurut oditur, mengandung beberapa unsur yaitu unsur ‘kekerasan’, ‘bersama-sama’, ‘di muka umum’ dan ‘ada orang mati’. Dalam pembahasannya oditur menyimpulkan unsur kekerasan, bersama-sama, dimuka umum terpenuhi. “Ada yang mati atau tidak ? Tak ada yang menyebutkan bahwa matinya si korban oleh pukulan. Tak ada seorang terdakwapun mengaku telah menembak si korban dan tak ada saksi melihat tertuduh menembak si korban”.

Matinya Rene, menurut oditur, bukan akibat langsung dari kekerasan dimana antara perbuatan dan akibat harus ada hubungan yang segera dan langsung. Oditur mengemukakan bahwa perbuatan Terdakwa I Nugroho Djajusman dan Terdakwa II Dodo Mikdad, dua-duanya memukul Rene tapi tidak kena, berada di luar batas jangkauan yang menyebabkan matinya Rene Louis Coenraad. Diungkapkan bahwa Djani Maman Surjaman dinyatakan bersalah oleh Mahkamah Kepolisian (tingkat banding) sebagai orang yang menyebabkan matinya Rene. Maka, secara hukum, matinya Rene Louis Coenraad bukan dan tidak merupakan akibat dari kekerasan terdakwa Letnan II Polisi Nugroho Djajusman dan Letnan I Polisi Dodo Mikdad serta 6 terdakwa lainnya. “Dengan tidak dipenuhinya unsur-unsur tuduhan primer ini maka tuduhan primer batal”.

Tuduhan subsider bagi 8 terdakwa eks Taruna, berdasarkan pasal 170 ayat 1 KUHP jo pasal 55 ayat 1 angka 1 KUHP jo pasal 2 KUHPT. “Ditinjau unsur demi unsur daripada tuduhan subsider, tiap-tiap unsur dipenuhi, tetapi apabila semua unsur digabung menjadi satu, ada satu syarat tidak dipenuhi, yaitu syarat itu hanya berlaku bagi peserta yang secara pribadi menimbulkan luka tersebut. Padahal dari sidang mahkamah ini tidak dapat diungkapkan siapa yang secara pribadi menimbulkan luka tersebut. Jadi tuduhan subsider tak terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum”. Ketidaktelitian dan ketidaksungguhan pengusutan peristiwa dan penyidikan betul-betul dimanfaatkan oditur untuk ‘membela’ para terdakwanya. Tuduhan alternatif berdasarkan pasal 358 KUHP juga dipatahkan sendiri oleh oditur. Dalam pasal 358 harus dipenuhi unsur ‘penyerangan’, ‘perkelahian’, ‘ada yang luka berat’, ‘ada yang mati’, ‘ada yang turut serta dalam penyerangan itu’. “Adakah yang mati?”. Ada, Rene, tapi menurut oditur lagi, berdasarkan keputusan Mahkamah Kepolisian, kesalahan itu adalah tanggungjawab Djani Maman Surjani.

Oditur menganggap kelakuan baik para terdakwa dalam persidangan, posisi sebagai perwira remaja yang perlu bimbingan, adalah hal-hal meringankan. Kecuali, Terdakwa II Letnan I Dodo Mikdad yang pernah mengalami penurunan pangkat karena pelanggaran dan Terdakwa IV Khaerul Bahar Muluk yang terlibat dalam penganiayaan tahanan Kepolisian Metro Jaya bernama Martawibawa hingga meninggal. Pada saat pengadilan Mahmil di Bandung itu, Bahar Muluk berstatus terpidana dengan hukuman penjara 3 tahun potong masa tahanan oleh Mahkamah Militer Jakarta Banten pada bulan Juli 1973. Dan mungkin karena statusnya itu, Bahar Muluk merupakan terdakwa yang terkesan paling minim memperoleh ‘proteksi’ dalam proses persidangan –berbeda dengan rekannya yang lain, khususnya mereka yang adalah putera para jenderal. Bahkan, dalam kisah di balik berita, Bahar Muluk sebenarnya nyaris saja dikorbankan seperti halnya Djani Maman Surjaman. Terhadap para perwira muda itu, Oditur mengajukan tuntutan-tuntutan hukuman dengan hitungan bulan dalam masa percobaan. Vonis majelis hakim sama ringannya. Terselamatkanlah para perwira masa depan Polri itu.

Kelak di kemudian hari, perwira polisi Angkatan 1970 ini, memang banyak yang berhasil menjadi petinggi Polri. Dua di antaranya sempat menjadi Kapolri, yakni Jenderal Rusdihardjo dan Jenderal Bimantoro. Pernah terjadi bahwa jabatan Kapolda (Kepala Kepolisian Daerah) Metro Jaya tiga kali berturut-turut digilir hanya oleh Angkatan 1970 ini, diantaranya Jenderal Hamami Nata yang menjadi Kapolda Metro bertepatan dengan Peristiwa Mei 1998. Kemudian, Jenderal Nugroho Djajusman yang menjadi Kapolda Jawa Tengah sebelum menjadi Kapolda Metro Jaya. Dan Jenderal Muljono, yang juga pernah menjadi Kapolda DI Yogyakarta dan sempat ‘menangani’ kasus pembunuhan wartawan Udin alias Syarifuddin yang menyita perhatian pers dan publik secara nasional karena dianggap banyaknya hal yang ditutup-tutupi.

Namun pada sisi lain, meski dua proses peradilan dalam kaitan Peristiwa 6 Oktober 1970 ini telah menentukan Djani sebagai ‘pembunuh’ Rene, pada hakekatnya tetap tertinggal satu misteri tak terjawab: Siapa sebenarnya pembunuh Rene Louis Coenraad ? Mahasiswa meyakini, pembunuh itu terselip di antara para Taruna 1970 itu yang ada di Jalan Ganesha, 6 Oktober 1970. Dan ini adalah noda yang melekat pada Angkatan 1970 yang belum terselesaikan, akan senantiasa tercatat sebagai kejahatan yang belum terungkap hingga kini.

Berlanjut ke Bagian 4