RIVALITAS politik untuk menjadi calon pengganti Jenderal Soeharto di bagian pertama tahun 1970-an berlangsung bagaikan lakon wayang. Banyak yang berhasrat menjadi presiden, tapi tak pernah berani bicara terang-terangan. Para pengamat barat menyebutnya sebagai shadow playing. Lakon yang dimainkan cukup jelas untuk disaksikan, meski yang bermain adalah tokoh-tokoh dalam bentuk silhoutte. Tak nampak raut wajahnya namun sang bayangan yang memainkan lakon bisa dikenali berdasarkan bentuknya. Bandingkan dengan ajang pencalonan presiden pasca Soeharto, terutama menuju 2014. Banyak yang merasa bisa menjadi presiden dan mengupayakannya dengan segala cara. Tak ada rasa ‘takut’ untuk menampilkan diri atau minta ditampilkan sebagai calon presiden. Beberapa diantaranya dilakukan dengan lakon ala ketoprakan. Pendatang terbaru di arena ini adalah bintang musik dangdut Rhoma Irama.

Tatkala hasrat menjadi Presiden, adalah khayalan. Sejak pekan terakhir bulan September hingga pekan-pekan pertama November 1973, Panglima Kopkamtib Letnan Jenderal Soemitro, giat berkunjung menemui dewan/senat mahasiswa di sejumlah kota perguruan tinggi terkemuka: Surabaya, Bandung, dan Yogya. Ia mencoba menjelaskan secara persuasif sikapnya tentang mode rambut gondrong di kalangan anak muda, termasuk di kalangan mahasiswa. Penguasa seakan tak pernah jera mempertahankan sikap anti rambut gondrong, padahal sikap itu sempat memicu Peristiwa 6 Oktober 1970 yang menewaskan mahasiswa ITB Rene Louis Coenraad dalam perkelahian keroyokan oleh Taruna Akabri Kepolisian calon perwira Angkatan 1970. Sebelum peristiwa, para taruna itu diikutsertakan dalam razia rambut gondrong di Bandung. Sampai kwartal terakhir 1973, Jenderal Soemitro masih mencoba meyakinkan mahasiswa bahwa mode rambut itu kurang sedap dipandang. “Tapi kalau yang mau diyakinkan itu tidak mau, ya tidak apa-apa”, ujarnya. “Anak saya sendiri rambutnya gondrong”.
Karena yang dibahas dalam pertemuan-pertemuan dengan mahasiswa itu bukan hanya masalah rambut gondrong tetapi juga berbagai persoalan politik dan kekuasaan yang dihadapi saat itu, Jenderal Soemitro lalu masuk dalam fokus sorotan sedang mempersiapkan diri sebagai RI-1 berikutnya. Apalagi, sebelumnya ia selalu mendengung-dengungkan apa yang disebutnya ‘pola kepemimpinan sosial baru’ yang kemudian disebutnya ‘pola kepemimpinan nasional baru’. Sewaktu ia tampil di depan mahasiswa Bandung, mahasiswa Psikologi Unpad Paulus Tamzil menanyakan kepadanya “Apakah pak Mitro berambisi menjadi presiden?”. Sang jenderal yang ‘popularitas’nya sedang berada dalam kurva menanjak, antara lain karena rangkaian kunjungannya ke kampus-kampus itu, menjawab “Bukan mau tak mau. Kalau saudara tanya pada saya, yang jelas saya tak memikirkan sejauh itu”. Lebih lanjut mengenai sepak terjang Jenderal Soemitro, kita ikuti pemaparan buku ‘Menyilang Jalan Kekuasaan Militer Otoriter’ berikut ini.
Jenderal Ali Moertopo yang dianggap ‘berseberangan’ dengan Jenderal Soemitro, melalui koran berbahasa Inggeris ‘The New Standard’ (31 Desember 1973) mengeluarkan pernyataan bernada peringatan seraya mengangkat ‘pengalaman’ sejarah. “Janganlah ada orang yang mempunyai khayalan dapat mengabdi bangsa ini dengan jalan mengganti kepemimpinan nasional –national leadership– atau kegiatan-kegiatan lain yang bisa mengarah kepada gagasan semacam itu. Pikiran-pikiran demikian adalah bertentangan dengan identitas nasional, kepribadian dan kebudayaan bangsa dan tidak akan pernah berhasil”. Ali Moertopo memberi contoh dari sejarah, “Runtuhnya banyak kerajaan-kerajaan dalam sejarah kita sendiri adalah disebabkan oleh kepemimpinan yang goyah. Dan dengan selalu mengingat pelajaran dari sejarah itu, tidak ada pilihan lain selain dari memperkuat kepemimpinan nasional kita”.
Senin pagi tanggal 31 Desember 1973, bersamaan dengan beredarnya ‘The New Standard’ ada pertemuan dengan Presiden Soeharto yang diikuti oleh Jenderal Ali Moertopo, Jenderal Soemitro dan Jenderal Sutopo Yuwono beserta Wakil Panglima Kopkamtib Laksamana Sudomo, Menteri Sekretaris Negara Sudharmono SH, Aspri Presiden Soedjono Hoemardani dan Aspri Presiden Tjokropranolo. Sebagian yang hadir dalam pertemuan 31 Desember itu telah ‘dibekali’ dengan informasi tentang peringatan yang telah dilontarkan Ali Moertopo melalui ‘The New Standard’ edisi hari itu.
Pertemuan 31 Desember 1973 yang berlangsung di Istana Merdeka tersebut, pada satu sisi seolah-olah dibuat samar-samar namun pada sisi lain dibuat sedemikian rupa agar bisa diketahui sebagian masyarakat dan diberikan kesan ‘penting’. Apa yang dibicarakan pada pertemuan itu tidak diperincikan kepada masyarakat. Akan tetapi peringatan Ali Moertopo di ‘The New Standard’ –suatu koran dengan tiras yang terbatas– telah memberikan indikasi awal masalah yang akan menjadi pembicaraan pertemuan pagi tersebut. Segalanya lalu menjadi jelas setelah terjadi pertemuan lanjutan tiga jenderal tersebut dengan Presiden Soeharto dua hari kemudian di Cendana dan disampaikan kepada pers. Sejumlah wartawan yang diberi tahu tentang pertemuan itu telah bersiaga dan mencegat Jenderal Soemitro –terutama, dan bukan Ali Moertopo– lalu menghujani sang jenderal dengan serentetan pertanyaan.
Dengan wajah yang digambarkan muram bercampur keberangan, Jenderal Soemitro yang Rabu 2 Januari 1974 itu baru saja menghadap Presiden Soeharto –bersama Ali Moertopo dan Sutopo Juwono– menyampaikan kepada para wartawan yang mencegatnya bahwa ada usaha adu domba antara dirinya dengan Ali Moertopo, antara dirinya dengan Sutopo Juwono, dan antara Sutopo Juwono dengan Ali Moertopo. “Ada isu-isu yang menyebutkan akan ada penggantian pimpinan nasional mulai 1 April”, atau paling lambat pertengahan tahun ini. Ia merasa dituduh berambisi menjadi pimpinan nasional baru. “Isu-isu itu disadap dari pertemuan saya dengan mahasiswa-mahasiswa di Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat”, ujarnya seraya mengacungkan-acungkan telunjuknya. “Itulah yang kemudian dikembangkan seolah-olah akan ada pergantian pimpinan nasional mulai 1 April”. Suatu isu, “yang betul-betul aneh, keterlaluan dan kejam !”.
Dan seperti Ali Moertopo yang beberapa hari sebelumnya mengangkat kata-kata bersayap terkait ‘sejarah’, Jenderal Soemitro pun menyatakan bahwa menurut pengalaman sejarah berkaitan dengan ambisi menjadi pimpinan nasional, “Yang ingin tidak dikasih. Yang dipersiapkan, gagal. Yang merasa akan jadi, bubar”.
Peringatan dari dua jenderal yang tampaknya bernada sama itu, pada hakekatnya adalah lontaran-lontaran peringatan yang bermata dua. Ali Moertopo berposisi sebagai pihak yang memperingatkan kepada siapa pun, tapi pasti terutama kepada Jenderal Soemitro. Tetapi sebaliknya, Jenderal Soemitro pun memberi peringatan, baik kepada yang dianggapnya penyebar isu atau insinuasi, maupun kepada pihak lain yang juga pada hakekatnya punya ambisi sama, baik karena merasa dipersiapkan atau karena merasa akan jadi. Di pintu Cendana pada tanggal 2 Januari 1974 itu –sebagaimana yang dituturkannya sendiri kemudian hari– Jenderal Soemitro sambil menunjuk Ali Moertopo yang ada di dekatnya, berkata “Saya dan dia diisukan akan mengganti Presiden Soeharto…. Saya diadukan dengan Jenderal Ali Moertopo, kemudian Jenderal Ali Moertopo diadukan dengan pak Topo. Keterlaluan”. Lalu ia memperingatkan “Jangan sampai meluas isu yang demikian. Isu itu sama sekali tidak benar dan sangat kotor”. Ali Moertopo pun menimpali, “itu makar”. Siapa pembuat isu dan insinuasi ? “Nanti akan terungkap juga !”, cetus Jenderal Soemitro. Di belakang hari terungkap, kedua jenderal itu sama-sama bermain di belakang layar yang 13 hari kemudian menciptakan sebuah resultante berupa Peristiwa 15 Januari 1974.
Tersisih. Tak lama setelah Peristiwa 15 Januari 1974, Jenderal Soemitro mengundurkan diri dari jabatan Panglima Kopkamtib, yang berarti sekaligus mengakhiri karir militernya. Jenderal Soemitro dianggap ada di’belakang’ gerakan mahasiswa yang ingin menjatuhkan Soeharto. Jenderal Ali Moertopo masih berkiprah untuk beberapa lama, namun akhirnya juga merenggang kedekatannya dengan Presiden Soeharto dan berangsur-angsur ‘tersisih’ dari lingkaran kekuasaan. Pada waktunya ia juga mendapat giliran menjadi ‘tersangka’ memiliki keinginan menjadi Presiden. Namun Ali Moertopo tak sempat mengikuti ‘permainan kekuasaan’ sampai tuntas, karena meninggal dunia akibat penyakit jantung. Ia dengan demikian tidak ikut menyaksikan lengsernya Soeharto.
Terlihat, betapa tak mudahnya hidup dengan hasrat menjadi Presiden di kala Soeharto masih berada dalam pucuk kekuasaan. Maka, setiap orang yang bercita-cita menjadi Presiden Indonesia menggantikan Soeharto, harus pandai-pandai menyimpan hasratnya itu sebagai rahasia. Sepanjang sejarah, hanya dua orang yang pernah berani menyatakan cita-cita seperti itu di masa kekuasaan Soeharto, yakni Marzuki Darusman dan Jenderal Muhammad Jusuf melalui cara yang berbeda, dengan risiko yang hampir sama: disisihkan atau coba disisihkan dari gelanggang politik.
(sociopolitica.me/sociopolitica.wordpress.com) – Berlanjut ke Bagian 4.
Sepanjang sejarah, hanya dua orang yang pernah berani menyatakan cita-cita seperti itu di masa kekuasaan Soeharto, yakni Marzuki Darusman dan Jenderal Muhammad Jusuf melalui cara yang berbeda, dengan risiko yang hampir sama: disisihkan atau coba disisihkan dari gelanggang politik. ……….. mungkin Anda lupa satu orang lagi, Megawati Sukarno Putri…