Tatkala Komnas HAM Melangkah Terlalu ke ‘Kiri’ Meninggalkan Kebenaran dan Sikap Adil (2)

PETA situasi politik Bali di tahun 1965 lebih unik. Sebelum Peristiwa 30 September 1965, terdapat dua kekuatan politik yang sangat mencuat pengaruhnya di daerah tersebut. Pertama, PNI. Kedua, PKI. Di Bali, kekuatan lain di luar keduanya, nyaris tak ada artinya. Tetapi keduanya terlibat dalam rivalitas yang ketat dan tajam di provinsi tersebut. Padahal di tingkat nasional, khususnya di ibukota negara, kedua partai tersebut dianggap duet yang menjadi andalan Soekarno dalam kehidupan politik berdasarkan Nasakom. PKI dan PNI selalu dielu-elukan Soekarno sebagai dua kekuatan terpercaya dalam revolusi Indonesia.

PRESIDEN SOEKARNO DI DEPAN MASSA PKI, SENAYAN 1965. “Selain membela PKI sebagai salah unsur dalam konsep Nasakom ciptaannya, di sisi lain ia terkesan ‘mengecilkan’ peristiwa pembunuhan para jenderal pada 1 Oktober 1965 dinihari sebagai hanya riak kecil dalam samudera revolusi. Sikap politiknya ini memicu dan memberi jalan kepada Jenderal Soeharto dan para perwira pengikutnya untuk mengembangkan lanjut hasrat untuk masuk lebih dalam ke gelanggang kekuasaan. Bila Soekarno ‘membekukan’ PKI, Jenderal Soeharto dan kawan-kawan akan kehilangan alasan untuk bertindak terlalu jauh”. (foto asiafinest).

Dalam suatu jangka watu yang panjang PNI secara turun temurun dominan di Bali. Golongan bangsawan dan pemuka masyarakat pada umumnya menjadi pendukung PNI, sehingga berkat pengaruh mereka PNI memiliki massa pendukung yang besar di Bali. Namun dalam kehidupan sosial sehari-hari perlahan tapi pasti makin tercipta celah-celah kesenjangan. Rakyat pedesaan Bali yang menjadi petani, adalah petani dengan kepemilikan tanah yang kecil, bahkan ada yang kemudian tidak memiliki tanah sama sekali. Selama puluhan tahun, sebenarnya terdapat tradisi harmoni antara kaum bangsawan pemilik tanah dan petani, melalui sistem bagi hasil yang untuk jangka waktu yang lama diterima sebagai suatu keadaan yang adil. Bilamana terjadi perselisihan, mekanisme adat dan peranan kaum agamawan pada umumnya selalu berhasil sebagai media penyelesaian damai. Meskipun tak selalu penyelesaian itu bisa sepenuhnya memuaskan, khususnya bagi kalangan bawah.

PKI muncul memanfaatkan celah-celah kesenjangan sosial yang ada. Partai tersebut melakukan pendekatan kepada para petani dan golongan bawah lainnya, dan ‘mengajarkan’ untuk mulai menuntut lebih banyak serta keberanian ‘melawan’ bila merasa tidak puas. Kehadiran PKI di tengah masyarakat ini, khususnya di tahun-tahun terakhir sebelum Peristiwa 30 September 1965 sejalan dengan eskalasi perilaku politik PKI sendiri, membawakan sejumlah perubahan di masyarakat bawah Bali. Sejumlah petani dan kalangan bawah lainnya menunjukkan sikap-sikap yang lebih agresif. Dengan dorongan organisasi-organisasi onderbouw PKI terutama BTI, terjadi serangkaian aksi sepihak petani merebut lahan-lahan pertanian yang umumnya adalah milik tokoh-tokoh atau pemilik tanah yang adalah warga PNI. Dalam bidang usaha, terjadi pula persaingan antara pengusaha-pengusaha yang didukung PNI dengan pengusaha-pengusaha yang dilindungi PKI.

Aksi-aksi sepihak PKI di Bali bisa leluasa terjadi dalam naungan politik Nasakom berat sebelah yang dijalankan Gubernur Sutedja. Panglima Udayana Brigadir Jenderal Supardi yang dikenal anti PKI diganti berdasarkan arahan Presiden Soekarno/Panglima Tertinggi ABRI, dengan Brigjen Sjafiuddin yang sangat setia kepada Soekarno. Isteri Sjafiuddin sangat dekat dengan Gerwani. Akan tetapi setelah Peristiwa 30 September 1965 ketika arah angin berbalik, dan massa PNI mulai melakukan aksi ‘pembantaian’ terhadap para pengikut PKI mencontoh apa yang terjadi di pulau Jawa, dengan gesit Brigjen Sjafiuddin ikut melakukan pembersihan, dimulai dengan pembersihan internal Kodam Udayana dan aparat pemerintahan yang dianggap ada kaitan dengan PKI.

Namun ada keraguan terhadap pembersihan yang dilakukan Brigjen Sjafiuddin. Banyak tokoh yang sepanjang pengetahuan masyarakat jelas terkait dengan PKI tidak ikut dibersihkan tetapi diselamatkan sehingga bisa meninggalkan Bali. Sebaliknya, banyak yang lainnya ditangkap dengan tuduhan terlibat PKI namun sebenarnya belum jelas keterkaitannya. Jadi, seperti yang terjadi di berbagai provinsi lainnya, korban kejahatan kemanusiaan di sana pun beragam, meskipun memang korban utama terbanyak adalah pengikut PKI.

Pertarungan kekuasaan berbuah malapetaka sosiologis. Untuk memahami kenapa sebuah malapetaka sosiologis –berupa kekerasan dan situasi saling bunuh antar pengikut kelompok politik ideologis di masyarakat– terjadi segera setelah terjadinya Peristiwa 30 September 1965, perlu meneliti kembali situasi kehidupan politik setidaknya antara 1959-1965.

Ada tiga unsur dan atau faktor utama kekuatan politik yang sangat mewarnai kancah politik dan kekuasaan dalam kurun waktu 1959 sampai terjadinya Peristiwa 30 September 1965, yakni Soekarno (dengan pendukung utama PNI), Partai Komunis Indonesia dan kekuatan militer (khususnya Angkatan Darat yang anti komunis). Di luar ketiga kekuatan tersebut ada kelompok politik Islam yang terkait kelemahan karakter para pemimpinnya, hanya menjalankan peran pinggir di masa Nasakom. Akan tetapi ketika terjadi konflik kekerasan massal setelah Peristiwa 30 September 1965, masuk ke tengah kancah pertikaian sebagai salah satu peserta utama dalam ‘malapetaka sosiologis’ yang berdarah-darah.

Tiga unsur utama dalam segitiga kekuasaan 1959-1965 tersebut, berada dalam suatu kompleksitas yang sarat dengan akumulasi ekses pada dirinya masing-masing. Berikut ini kita meminjam pemaparan buku ‘Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966’ mengenai tiga unsur tersebut.

Soekarno dalam masa puncak kekuasaannya, antara tahun 1959-1965, adalah pemimpin yang berangsur-angsur meninggalkan rasa adil. Kekuasaan terpusat pada dirinya karena keberhasilannya memainkan kendali persaingan di antara kekuatan politik yang ada, dan memelihara rivalitas itu sebagai benefit bagi kekuasaannya. Perubahan dirinya dari pemimpin perjuangan menjadi sekedar penguasa otoriter yang menikmati kekuasaan, telah menjerumuskan rakyat Indonesia dalam kesengsaraan ekonomi dan kesengsaraan karena ketidakadilan politik dan hukum. Kebenaran diabaikan, dan ia menjadi kebenaran itu sendiri. Soekarno dalam enam tahun itu menjelma menjadi otoritarian sejati. Soekarno tak segan-segan memenjarakan lawan politik, tanpa diadili bertahun-tahun lamanya, meskipun masih selalu ada mitos bahwa para tahanan politik lawan Soekarno itu tetap diperlakukan dengan baik dalam tempat-tempat tahanan. Tapi perampasan kemerdekaan pribadi tetap saja perampasan hak azasi betapa pun bagusnya ia dibungkus. Esensi kejahatannya tidaklah berkurang.

PKI sejak awal telah tercitrakan dalam opini masyarakat sebagai partai kaum atheis dengan ideologi komunis yang penuh kekerasan. Dan dalam sejarah, negara-negara komunis seperti Uni Sovjet dan RRT (Republik Rakyat Tjina) tercatat sebagai negara dengan kekuasaan yang mengerikan, menjadi kancah pembunuhan massal terhadap musuh ideologi dalam jumlah yang spektakuler. Sebagai negara kekerasan, penguasa dua negara komunis terbesar itu menghalalkan pemusnahan massal dengan jumlah korban puluhan juta jiwa manusia. Negara dengan sistem tertutup, dan mendapat julukan tirai besi dan tirai bambu, yang di dalamnya kewajiban bersama berada di atas hak perorangan. Ideologi komunis ini berdasar pengalaman empiris, telah menjadi ideologi keras yang tak mengenal kompromi dan hanya menyediakan alternatif hitam-putih: atau menerima komunisme atau eliminasi bagi yang menolak.

PKI sendiri secara empiris telah menunjukkan kepada rakyat Indonesia, betapa ia adalah partai yang menggunakan kekerasan dalam kadar tinggi. Serangan-serangan politik dan agitasinya berhasil mencipta ketakutan mental yang meluas dan dalam. Kekejaman kemanusiaan yang dilakukan kaum komunis dalam Peristiwa Madiun 1948, takkan terlupakan. Aksi-aksi sepihak yang dijalankan PKI di berbagai daerah, yang mengalirkan darah dan merenggut nyawa manusia, tahun 1960-1965, menjadi catatan ingatan tak terlupakan, mengakumulasi kebencian dan dendam, ibarat api dalam sekam yang tinggal menunggu angin untuk berkobar menjadi api besar.

Militer Indonesia, di samping sejarah dan jasa perjuangannya yang gemilang, juga punya sisi gelap melalui sejumlah ekses yang dilakukan para tentara terutama di daerah-daerah pergolakan: pembunuhan, perkosaan dan keterlibatan atas berbagai kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oknum-oknum sebagai akibat sindrom kekuasaan maupun dampak psikologis dari kebiasaan terlibat dalam pertumpahan darah. Ada rentangan masa yang panjang di mana tentara sebagai orang-orang bersenjata, terlibat dalam penyalahgunaan kekuasaan, atas nama penyelesaian keamanan yang tak kunjung teratasi, mencipta aneka ekses yang menjadi beban penderitaan di atas punggung rakyat. Masa-masa darurat dengan segala ‘keleluasaan’ yang disebabkannya, membuat tentara terbiasa menempatkan diri di atas hukum dan mengabaikan HAM, sehingga mengakumulasi kebencian rakyat.

Ketiga unsur utama tersebut, tak terkecuali kelompok politik Islam pemegang peran pinggir masa Nasakom, terlibat dalam pertarungan politik berkepanjangan yang penuh dengan konspirasi, fitnah dan pengkhianatan. Para pihak dalam pertarungan politik, tak segan memberi jalan kepada kekuatan-kekuatan asing melalui tangan-tangan intelijen –AS, Inggeris, Uni Soviet/Cekoslowakia dan RRC– untuk ikut dalam permainan menggerayangi negeri orang. Puncak pertarungan politik dan kekuasaan 1959-1965 adalah Peristiwa 30 September 1965. Peristiwa itu sendiri pada hakekatnya merupakan ‘kesalahan’ kolektif dari semua yang berada di lini terdepan medan pertarungan kekuasaan. Semua memiliki andil menciptakan akhir berdarah pada 1 Oktober 1965 maupun rentetan bunuh-membunuh secara massal yang terjadi sesudahnya.

Pembelaan dan penolakan Soekarno untuk menindaki PKI setelah Peristiwa 30 September 1965, memicu tak hanya ketidakpercayaan terhadap dirinya, tetapi juga bibit kebencian. Selain membela PKI sebagai salah unsur dalam konsep Nasakom ciptaannya, di sisi lain ia terkesan ‘mengecilkan’ peristiwa pembunuhan para jenderal pada 1 Oktober 1965 dinihari sebagai hanya riak kecil dalam samudera revolusi. Sikap politiknya ini memicu dan memberi jalan kepada Jenderal Soeharto dan para perwira pengikutnya untuk mengembangkan lanjut hasrat untuk masuk lebih dalam ke gelanggang kekuasaan. Bila Soekarno ‘membekukan’ PKI, Jenderal Soeharto dan kawan-kawan akan kehilangan alasan untuk bertindak terlalu jauh.

Kembali ke tengah. KARENA mengabaikan aspek dan fakta politik yang terjadi 1960-1965, serta tak mendalami aspek sosiologis pada kurun waktu yang sama, Komnas HAM tersesat dalam memahami dan menyimpulkan mengenai peristiwa kejahatan kemanusiaan yang terjadi setelah Peristiwa 30 September 1965. Komnas HAM cenderung mengkonstruksi peristiwa 40-an tahun lampau itu dengan perspektif yang lepas dari konteks zamannya, dan menggunakan perspektif pandang masa kini yang seperti kita ketahui bersama telah sangat terdistorsi. Itupun tak berdasar pada kebenaran sepenuhnya, tetapi bersifat pilih-pilih tebu. Padahal kebenaran tak mungkin ditemukan dengan cara pilih-pilih tebu seperti itu.

Komnas HAM perlu memperbaiki penyelidikannya, dengan prinsip kebenaran sepenuhnya dan keadilan sebanyak-banyaknya. Sebaiknya dengan melibatkan kalangan perguruan tinggi yang semestinya bebas dari sikap apriori. Kita juga tak sepakat bila Komnas HAM dihentikan ketika mencari kebenaran, karena bagaimanapun, kejahatan kemanusiaan adalah kejahatan kemanusiaan, siapa pun korbannya dan siapapun pelakunya. Jika kebenaran tentang dosa masa lampau tak pernah diungkapkan dalam suatu dokumen yang valid dan legitimate, kita tak bisa mengambil suatu judgement. Kejahatan yang sama akan selalu berulang, selain menjadi ganjalan psikologis di antara unsur dalam masyarakat secara berkepanjangan. Tetapi, dalam melakukan tugasnya, hendaknya Komnas HAM kembali ke tengah, tak terayun-ayun bersama bandul subjektivitas ke kiri maupun ke kanan.

Pertanyaannya, apakah para komisioner baru Komnas HAM, bisa lebih jujur dan objektif, dan tak lagi menggunakan kacamata kuda seperti para pendahulunya?

(sociopolitica.me/sociopolitica.wordpress.com)

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s