Tag Archives: Komnas HAM

One Moment in Time Dalam Politik Indonesia: Habib Rizieq dan FPI (1)

SEMPAT bersikap seakan meremehkan kepulangan Habib Rizieq Shihab ke tanah air, para petinggi rezim berkuasa saat ini terkesan bagai tersengat kejutan keluarbiasaan sambutan massa yang terjadi. Tiba di Jakarta bertepatan dengan Hari Pahlawan 10 November 2020, Habib Rizieq disambut dan dielu-elukan ratusan ribu massa –ada yang mengecilkan dengan skala ribuan saja, ada yang menyebut skala jutaan– sejak dari Bandara Soekarno-Hatta hingga Petamburan Jakarta Pusat.

Lalu, tiba-tiba saja pemimpin Front Pembela Islam ini, Habib Rizieq Shihab, menjadi satu faktor penting dalam kancah sosial politik. Penting sebagai teman bersinergi dalam pergerakan kritis maupun gerakan oposisi terhadap rezim kekuasaan. Atau, sebaliknya menjadi momen untuk menunjukkan jasa kepada rezim, tampil dengan gagah berani ke “garis depan” menghadapi Habib Rizieq dan barisan FPI-nya. Entah dengan kata-kata keras yang terkesan mengancam, operasi penurunan baliho Imam Besar FPI itu, sampai kepada show of force iring-iringan pasukan operasi khusus TNI di Petamburan.

Pada sisi anti klimaks, dua Kapolda dan dua Kapolres dilepas dari posisinya karena dianggap tak mampu mencegah terjadinya kerumunan massa berskala besar –yang dianggap pelanggaran protokol Covid-19 dalam kaitan pembatasan sosial berskala besar. Tak ketinggalan penindakan dan penahanan pradjurit dan bintara TNI yang ikut mengelu-elukan kedatangan Habib Rizieq. Sayangnya, mungkin berbeda dengan yang diharapkan, tindakan-tindakan pro-aktif kontra itu untuk sebagian besar justru lebih banyak memberi efek bumerang, meningkatkan “rating” Habib Rizieq dan FPI sebagai faktor. Continue reading One Moment in Time Dalam Politik Indonesia: Habib Rizieq dan FPI (1)

Soal PKI, Komisi Kebenaran atau Narasi Kebenaran?

PERDEBATAN mengenai penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu hingga sejauh ini masih terbelenggu oleh dua pilihan, khususnya dalam konteks perpolitikan Indonesia dan pergulatan kekuasaan segitiga –Soekarno, TNI-AD dan PKI– yang penuh kekerasan sepanjang 1960-1965 dan sesudahnya. Situasinya hingga kini juga masih mendua, apa melalui jalan yudisial atau jalan non-yudisial. Semua masih terjebak dalam perdebatan seperti itu. Ini menjadi semacam awan gelap yang menggelantung di atas kehidupan berbangsa dan bernegara. Seolah-olah tak ada alternatif lain.

Pilihan pertama, menyelesaikan secara yudisial, dengan mengambil beberapa perkara lalu itu dianggap mewakili semua perkara yang sudah terjadi. Padahal, masalahnya begitu kompleks. Bila ini yang dilakukan, malah akan menimbulkan ketidakadilan baru. Atau, pilihan kedua, menyelesaikannya secara non-yudisial, yang sampai saat ini rumusannya belum ditemukan.

Tetapi sebenarnya, selain dua pilihan di atas, masih ada pilihan lain. Pilihan lain itu, menurut tokoh pegiat HAM internasional Dr Marzuki Darusman–yang saat ini menjadi Ketua Tim Pencari Fakta PBB untuk masalah Rohingya– adalah penciptaan Narasi Kebenaran. Berupa suatu uraian yang mandat penulisannya diserahkan kepada suatu lembaga.

DEMO TOLAK PKI. “Situasinya hingga kini juga masih mendua, apa melalui jalan yudisial atau jalan non-yudisial. Semua masih terjebak dalam perdebatan seperti itu. Ini menjadi semacam awan gelap yang menggelantung di atas kehidupan berbangsa dan bernegara.”

Dalam alam keterbukaan dan demokrasi serta HAM, begitu narasi itu ditulis dan selesai, sekurang-kurangnya satu generasi akan bertahan dengan uraian itu. Kalau tidak ada uraian kontra, maka uraian itu yang akan dipegang, sehingga akhirnya yang bertahan menolak narasi juga mencari jalan lain untuk menjelaskan posisi mereka secara argumentatif. Kalau itu sudah terjadi, maka suasana akan menjadi lebih sehat dan jernih.

Uraian naratif itu tentu ada syarat-syaratnya, tidak mengandalkan analisa semata-mata mengenai kejadian atau fakta, tetapi mencari makna. Narasi itu berpusat kepada makna, efek dari kejadian itu dalam bentuk kekerasan dan pengaruhnya kepada kehidupan bangsa saat ini. Menjadi pengetahuan bersama yang tak sulit untuk diterima, Peristiwa 30 September 1965, memiliki pertalian sebab-akibat. Baik ke masa sebelumnya, katakanlah minimal antara 1960-1965, maupun ke masa sesudahnya. Perseteruan komunis dan non komunis ditandai perilaku kekerasan di semua pihak.

Tulang punggung penyusunan narasi. Agar netral, yang ideal adalah bahwa itu mempunyai keabsahan kenegaraan, bukan keabsahan pemerintahan. Dan satu-satunya yang bisa secara formal adalah lembaga Komnas HAM, terlepas dari ada tidaknya kesangsian terhadap sepak terjang lembaga ini pada beberapa tahun terakhir. Tidak perlu harus anggota Komnas HAM yang sekarang, karena Komnas bisa menyusun satu tim dari kalangan yang dianggap kompeten, mempunyai kualifikasi, dan untuk ini harus diuraikan kualifikasi apa yang diperlukan. Misalnya, sejarawan, sosiolog, ahli politik, ahli militer dan sebagainya. Ini harus dipikirkan, tapi semua harus bernaung di bawah lembaga kenegaraan. Dan ini dibentuk Komnas dengan konsultasi yang luas, yaitu dengan orang-orang yang punya latar belakang dan pengetahuan yang bisa dikontribusikan.

Penyusunan narasi ini setidaknya memerlukan waktu, katakanlah enam bulan hingga setahun. “Saya sempat berbicara dengan beberapa orang di Komnas beberapa waktu lalu, agar bisa menangani,” tutur Marzuki Darusman. “Saya katakan, lupakan perkara-perkara yang sudah diperiksa. Tidak bisa. Bukti-buktinya juga tidak lengkap. Tak mungkin ditangani secara yudisial. Tapi memang diperlukan topangan dari negara, misalnya ada keputusan Presiden, bukan untuk mengakui lembaga ini, tetapi memerintahkan TNI membuka semua arsip untuk tim narasi. TNI, polisi, semua instansi pemerintah di pusat dan daerah diharuskan memberikan akses terhadap sumber informasi yang diperlukan. Dan ada sanksi-sanksinya jika ada tindakan-tindakan penghancuran informasi atau dokumentasi. Penyelesaiannya non-yudisial, karena untuk penyelesaian yudisial bagaimana cara dan kemungkinannya?”

Lalu bagaimana dengan solusi melalui Komisi Kebenaran? Adalah memang menarik bahwa sejauh ini di dunia internasional pencarian kebenaran telah melahirkan ‘industri’ komisi kebenaran. Sejak tahun 1970-an sudah ada 30-an dan hampir mencapai 40 komisi kebenaran di dunia ini, yang ditumpang-tindih dengan penyelidikan mengenai perkembangan kapitalisme. Titik puncak dari anjuran pembentukan komisi-komisi kebenaran di negara-negara yang mengalami transisi politik –terutama di negara-negara Latin dan Afrika– berkorelasi dengan bangkitnya neo-liberalisme. Bahwa neo-liberalisme –termasuk penyesuaian struktural dari IMF, intervensi dalam politik-ekonomi nasional, dominasi World Bank dan IMF– adalah kebutuhan dari perluasan ideologi neo-liberalisme.

Dalam praktek, perkembangan lanjut kapitalisme dan bangkitnya neo-liberalisme melahirkan kekerasan dalam masa kekuasaan otoriter di setiap negara tersebut. Kekerasan itu berlanjut dan berintegrasi dengan kekerasan struktural ekonomi neo-lib. Tepatnya, ia menyelinap di balik kekerasan struktural politik ekonomi neo-lib ini, tetapi di depannya dilekatkan retorika negara demokratis. ‘Transisi demokrasi’ diperlukan dan dipercepat, tak lain sebenarnya bertujuan agar kapitalisme mendapatkan wilayah baru bagi operasinya setelah mengalami krisis dan kejenuhan produksi industri yang tak bisa dipasarkan lagi. Kecuali, ada negara-negara yang dibangkitkan daya belinya untuk membeli barang-barang produksi negara-negara maju.

Negara-negara sasaran ini tadinya dikuasai kelompok fasis-otoriter –yang di belakangnya adalah kekuatan kapitalisme. Negara-negara ini berubah karena proses demokratisasi –dengan antara lain memanfaatkan retorika hak azasi manusia. Kapitalisme itu tidak lagi memiliki bangunan, maka ia harus membuat bangunan baru. Neo-lib ini yang menjadi sarananya. Untuk menegakkan neo-lib diperlukan proses transisi yang dipercepat. Sedangkan proses transisi yang dipercepat ini hanya bisa dilakukan dengan ‘industri’ komisi-komisi kebenaran. Sayangnya selama ini umumnya orang tidak terlalu jeli melihat bahwa semua ini dibuat dalam satu jalinan yang menyebabkan suatu situasi yang serba salah tentang kebenaran itu sendiri.

Karena terjun menangani berbagai urusan internasional, “saya mendapat kesempatan terbuka untuk melihat korelasi antara ‘industri’ komisi-komisi kebenaran dengan kekerasan struktural yang sekarang ini menciptakan kemiskinan. Sebagian kecil orang menjadi makin kaya, sementara sebagian terbesar lainnya makin miskin,” demikian Marzuki. Sayang sekali, adalah karena itu, belakangan ini keberadaan komisi-komisi kebenaran di berbagai belahan dunia makin diragukan efektivitasnya. Maka harus lebih pandai memilah-milah antara kebenaran itu sendiri dengan ‘komisi kebenaran’ yang dalam praktek banyak dibelokkan arahnya dan menjadi sepuhan untuk transisi dengan tendensi kepentingan khusus.

Dengan demikian, tampaknya solusi melalui penciptaan Narasi Kebenaran lebih bisa diharapkan. Termasuk untuk Indonesia, khususnya mengenai Peristiwa 30 September 1965 dan segala ikutannya…. (socio-politica).

International People’s Tribunal, Berdiri Hanya Pada Sepertiga Kebenaran

SETELAH ‘bersidang’ empat dari lima hari kerja sepanjang pekan lalu –Selasa tanggal 10 hingga Jumat 13 November 2015– para hakim pada forum International People’s Tribunal (IPT) di Den Haag, mengambil kesimpulan yang sedikit anti klimaks. Pertama, anti klimaks terhadap ‘kegaduhan’ yang tercipta karena sikap reaktif –dengan lontaran komentar yang untuk sebagian besar dangkal dan ceroboh– sejumlah petinggi pemerintahan Indonesia. Kedua, anti klimaks terhadap ekspektasi tinggi sebagian ‘kelompok kiri’ yang terasa agak meluap bahwa ‘pengadilan rakyat’ itu akan membenarkan penuh ‘klaim’ kebenaran mereka selama ini terkait Peristiwa 30 September 1965. Ketiga, anti klimaks terhadap kebenaran sejati dari peristiwa kejahatan kemanusiaan –yang terjadi di tahun 1965, 1966 hingga 1967– itu sendiri.

            Panel tujuh hakim IPT yang dipimpin Zak Jacoob yang berasal dari Afrika Selatan, menetapkan bahwa terdapat bukti pelanggaran HAM berat memang terjadi pasca Peristiwa 30 September 1965 di Indonesia. Selain itu panel juga menyatakan adanya kekerasan seksual terhadap sejumlah perempuan, yang dilakukan secara sistematis dan berulang selama tahun 1965-1967. Pada sisi lain, panel hakim menyebut telah terjadi pembunuhan terhadap sejumlah jenderal dan perwira militer Indonesia. Kesimpulan yang diambil para hakim IPT itu, adalah berdasarkan kesaksian para korban dan 9 dakwaan yang diajukan tim jaksa yang dipimpin pengacara asal Indonesia Dr Todung Mulia Lubis. “Seluruh materi, tanpa diragukan lagi, menunjukkan bahwa pelanggaran hak asasi manusia berat yang diajukan ke hakim, memang terjadi,” demikian media mengutip Zak.

NURSJAHBANI KATJASUNGKANA DI INTERNATIONAL PEOPLE'S TRIBUNAL. "Semestinya tak perlu menganggap Todung Mulia Lubis dan Nursjahbani Kacasungkana sebagai pengkhianat. Atau, orang-orang Indonesia yang pikirannya tidak Indonesia lagi seperti kata Menteri Polhukham Luhut Pandjaitan. Biarkan saja mereka mencari panggungnya sendiri." (download CNN Indonesia)
NURSJAHBANI KATJASUNGKANA DI INTERNATIONAL PEOPLE’S TRIBUNAL. “Semestinya tak perlu menganggap Todung Mulia Lubis dan Nursjahbani Kacasungkana sebagai pengkhianat. Atau, orang-orang Indonesia yang pikirannya tidak Indonesia lagi seperti kata Menteri Polhukham Luhut Pandjaitan. Biarkan saja mereka mencari panggungnya sendiri.” (download CNN Indonesia)

            Khusus tentang dakwaan jaksa terkait keterlibatan sejumlah negara ‘barat’ –Amerika Serikat, Inggeris dan Australia– membantu Jenderal Soeharto menumpas Partai Komunis, hakim menyatakan akan mempertimbangkan lebih lanjut, tanpa ikut menyebut nama negara-negara tersebut. Sementara itu pada sisi lain, sepanjang proses ‘peradilan’ IPT ini jaksa tidak memerlukan menyebut keterlibatan negara-negara blok timur kala itu –Uni Soviet, Cekoslowakia dan Republik Rakyat Tiongkok– dalam proses menuju terjadinya Peristiwa 30 September 1965 yang menjadi pangkal terjadinya malapetaka sosial yang penuh pelanggaran HAM berat di masa berikutnya.

            Terbawa berbuat kesalahan. TAK PERLU menolak kesimpulan para hakim International People’s Tribunal itu bahwa telah terjadi pelanggaran HAM berat pada waktu dan setelah terjadinya Peristiwa 30 September 1965. Sebagaimana tak perlu membantah dan membela keberadaan kamp Pulau Buru dan berbagai stigmatisasi yang kerap membabi buta, sampai-sampai fitnah terlibat G30S dan atau PKI pun dijadikan senjata dalam persaingan pribadi.

Pelanggaran-pelanggaran HAM berat itu, malah perlu kita pertegas penamaannya sebagai kejahatan kemanusiaan sebagai hasil samping ‘tak terduga’ dari suatu rangkaian peristiwa politik. Pertarungan politik kekuasaan yang terjadi kala itu telah mencipta salah satu malapetaka sosiologis paling memilukan dalam sejarah Indonesia, akibat terpicunya perilaku kekerasan. Padahal dalam banyak waktu, perilaku kekerasan itu lebih sering terpendam dibalik sifat lemah lembut sehari-hari manusia dalam kultur Nusantara. Dan ini menjadi tanggungjawab sejarah para pemimpin masa itu, mulai dari Soekarno, Aidit sampai Jenderal Soeharto serta para pemimpin oportunis dari partai-partai Nasakom.

            Namun, perlu memberi catatan, bahwa International People’s Tribunal telah ikut terbawa berbuat kesalahan yang telah berlangsung selama 50 tahun, tidak berhasil melihat kebenaran secara penuh. Mencari, melihat dan menemukan kebenaran hanya pada sisi kelompok yang dianggap ‘korban’ dan itu pun terbatas pada korban dari kalangan pengikut partai komunis. Tidak mencari dan melihat kebenaran pada kelompok korban bukan komunis maupun korban dari kalangan masyarakat yang tak tahu apa-apa tetapi berada di tengah kancah kemalangan malapetaka sosiologis. Pada sisi pelaku, ‘pengadilan rakyat’ di Den Haag itu tidak berupaya mencari fakta bahwa pelaku kekerasan dan kejahatan kemanusiaan 1965,1966 dan 1967 itu ada pada semua pihak yang terlibat dalam pertarungan dan pembalasan politik kala itu. Dalam beberapa peristiwa di daerah tertentu seperti antara lain di Jawa Tengah, kelompok militan komunis mendahului melakukan kekerasan berdarah. Di Jawa Timur, harus diakui kelompok pengikut NU mendahului melakukan tindakan kekerasan, sebagai pembalasan terhadap aksi-aksi sepihak pengikut PKI selama bertahun-tahun masa Nasakom yang berpuncak pada tahun 1964-1965. Di Bali, dendam lama akibat perseteruan sosial-ekonomi-politik sebelum 1965 bekerja mencipta kekerasan berdarah antara massa PKI dengan massa PNI.

INTERNATIONAL PEOPLE'S TRIBUNAL. "Tetapi yang berhasil ditegakkan itu hanya sepertiga dari kebenaran itu sendiri. Kebenaran yang tidak lengkap dan hanya dari satu sisi tertentu –dalam hal ini, sisi kiri– pada akhirnya menjadi suatu ketidakbenaran bila tidak dilanjutkan untuk menemukan kebenaran yang lebih utuh dan lengkap. Apalagi, bila tidak disertai sikap adil." (download bbc)
INTERNATIONAL PEOPLE’S TRIBUNAL. “Tetapi yang berhasil ditegakkan hanya sepertiga dari kebenaran itu sendiri. Kebenaran yang tidak lengkap dan hanya dari satu sisi tertentu –dalam hal ini, sisi kiri– pada akhirnya menjadi suatu ketidakbenaran bila tidak dilanjutkan untuk menemukan kebenaran yang lebih utuh dan lengkap. Apalagi, bila tidak disertai sikap adil.” (download bbc)

            Adanya peranan kalangan tentara, khususnya Angkatan Darat, dalam ‘menuntun’ –katakanlah demikian– penumpasan terhadap pengikut PKI, tak perlu disangkal. Untuk sebagian, peranan itu memang diambil oleh beberapa kalangan tentara kala itu. Tapi, harus cermat pula melihat fakta bahwa pada masa Nasakom Soekarno, lebih dari separuh Komando Distrik maupun Resimen Militer di dua Komando Daerah Militer –Diponegoro dan Brawijaya– dikendalikan oleh perwira-perwira yang terpengaruh komunis. Dan sungguh menarik bahwa penumpasan PKI setelah 30 September 1965  pada daerah-daerah militer itu justru berlangsung lebih intensif dan keji di bawah ‘komando’ para perwira berhaluan komunis itu. Panglima Kodam Udayana maupun Gubernur Bali pada saat peristiwa kekerasan terjadi, dua-duanya dikenal berhaluan komunis.

Para korban di tiga daerah itu, dengan demikian, setidaknya terdiri dari tiga kelompok, yakni kelompok pengikut komunis, kelompok non-komunis dan paling tragis adalah kelompok ketiga yakni para korban dari kalangan masyarakat biasa yang tak tahu menahu ‘urusan’ politiknya tetapi terseret tumpas karena bekerjanya fitnah, iri hati dan dan dendam pribadi. Bahkan korban di kalangan pengikut komunis sendiri tak semuanya memiliki keterlibatan peristiwa politik tahun 1965, namun ikut menjadi tumbal dari tindakan ‘makar’ politik pemimpin partai.

Siapa pun korbannya, siapa pun pelakunya, kekerasan adalah kekerasan. Bila dilakukan besar-besaran dengan korban dalam jumlah masif, ia adalah kejahatan kemanusiaan.

Hanya sepertiga kebenaran. ‘Pengadilan rakyat’ di Den Haag yang ketua panitia penyelenggaranya adalah tokoh perempuan pegiat HAM dari Indonesia, Nursjahbani Katjasungkana SH, melalui sidang empat hari mungkin saja telah ikut menegakkan kebenaran, tetapi yang berhasil ditegakkan hanya sepertiga dari kebenaran itu sendiri. Kebenaran yang tidak lengkap dan hanya dari satu sisi tertentu –dalam hal ini, sisi kiri– pada akhirnya menjadi suatu ketidakbenaran bila tidak dilanjutkan untuk menemukan kebenaran yang lebih utuh dan lengkap. Apalagi, bila tidak disertai sikap adil. Kebenaran dan keadilan adalah dua nilai yang merupakan satu kesatuan. Tanpa keadilan, tak ada kebenaran. Tanpa kebenaran, tak mungkin menemukan keadilan.

Tetapi terlepas dari itu, adil atau tidak adil, internasionalisasi kejahatan kemanusiaan yang terjadi mengikuti Peristiwa 30 September 1965 sudah merupakan realita. Lalu sebagian dari kita marah-marah, dan melontarkan berbagai tuduhan. Seorang tokoh atas di pemerintahan sampai salah kaprah, marah-marah ke pemerintah Belanda dan mengungkit-ungkit kekejaman masa kolonial Belanda. Padahal pemerintah Belanda tak punya wewenang apa pun terhadap International People’s Tribunal itu. Lainnya, melontarkan tuduhan pengkhianat. Semestinya tak perlu menganggap Todung Mulia Lubis dan Nursjahbani Katjasungkana sebagai pengkhianat. Atau, orang-orang Indonesia yang pikirannya tidak Indonesia lagi seperti kata Menteri Polhukham Luhut Pandjaitan. Biarkan saja mereka mencari panggungnya sendiri.

Pertanyaannya, ini lebih penting, kenapa ada yang terdorong dan merasa perlu mencari apa yang dianggapnya ‘kebenaran’ di luar Indonesia? Tak lain karena, pemerintah-pemerintah sesudah Soeharto, memang tidak pernah bersungguh-sungguh menangani dan menyelesaikan kejahatan-kejahatan kemanusiaan yang pernah terjadi di Indonesia, tak terkecuali dan terutama kejahatan kemanusiaan 1965, 1966 dan 1967. Tidak pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, tidak pula pemerintahan Megawati Soekarnoputeri maupun kini pemerintahan Joko Widodo. Apakah lagi-lagi para pemimpin itu menggunakan pilihan menurut patron kultur Jawa “menyelesaikan masalah dengan menunda persoalan” sampai suatu waktu persoalan dilupakan dan selesai dengan sendirinya? Meski, bisa dipertanyakan akankah bisa demikian di masa modern dan makin modern di masa depan.

            Narasi Kebenaran. PERLU meminjam penggambaran Dr Marzuki Darusman SH –mantan Jaksa Agung RI dan Ketua Komnas HAM yang kini menjadi special rapporteur PBB dalam masalah HAM– tentang berlarut-larutnya penyelesaian masalah HAM ini di Indonesia. Menurut Marzuki, perdebatan mengenai penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu masih terbelenggu oleh dua pilihan.  Situasinya masih mendua, apa melalui jalan yudisial atau jalan non-yudisial. Semua masih terjebak dalam perdebatan seperti itu. Seolah-olah tak ada alternatif lain. Pertama, menyelesaikan secara yudisial, dengan mengambil beberapa perkara lalu itu dianggap mewakili semua perkara yang sudah terjadi, padahal masalahnya begitu kompleks. Bila ini yang dilakukan, malah akan menimbulkan ketidakadilan baru. Atau, kedua, menyelesaikannya secara non-yudisial, yang rumusannya belum ditemukan.

“Terhadap situasi mendua ini saya mengusulkan penciptaan narasi kebenaran, yaitu uraian yang mandat penulisannya diserahkan kepada suatu lembaga. Dan ini sangat menentukan. Jadi selain dua pilihan di atas, sebenarnya ada pilihan lain. Kalau pihak TNI masih bersikukuh tidak mau membuka masalah ini, mereka akan di-bypass oleh gerakan narasi ini.” Dalam alam keterbukaan dan demokrasi serta HAM, begitu narasi itu ditulis dan selesai, sekurang-kurangnya satu generasi akan bertahan dengan uraian itu. Kalau tidak ada uraian kontra, maka uraian itu yang akan dipegang, sehingga akhirnya yang bertahan menolak narasi juga mencari jalan lain untuk menjelaskan posisi mereka secara argumentatif. Kalau itu sudah terjadi, maka suasana akan menjadi lebih sehat dan jernih. Uraian naratif itu ada syarat-syaratnya, tidak mengandalkan analisa semata-mata mengenai kejadian atau fakta, tetapi mencari makna. Narasi itu berpusat kepada makna, efek dari kejadian itu dalam bentuk kekerasan dan pengaruhnya kepada kehidupan bangsa saat ini.

SETELAH internasionalisasi, saatnya menasionalkan kembali persoalan pelanggaran HAM masa lampau yang mengikuti Peristiwa 30 September 1965 itu. Bagaimana pun, mendekati kebenaran sedekat-dekatnya, menjadi kunci penyelesaian. (socio-politica.com)

Peristiwa Mei 1998: Mencari Kebenaran yang Masih Tersembunyi

KEBENARAN tentang apa yang sesungguhnya terjadi di seputar Peristiwa Mei 1998, hingga kini belum berhasil diungkapkan dengan tuntas. Padahal waktu telah berjalan tak kurang dari 17 tahun lamanya. Tanpa kebenaran, dengan sendirinya mustahil bisa ada tindakan dan penyelesaian yang adil terhadap peristiwa tersebut. Jangankan penyelesaian, bahkan formula pikiran yang adil dan penilaian objektif tentang peristiwa itu sekalipun sulit untuk ditegakkan. Maka, seperti misalnya yang telah kita saksikan bersama dalam kancah Pemilihan Presiden 2014 yang lalu, Peristiwa Mei 1998 itu sempat dijadikan sebagai bahan tuduh menuduh di antara sejumlah jenderal incumbent di tahun terjadinya peristiwa tersebut. Katakanlah, seperti yang terjadi antara Jenderal Purnawirawan Wiranto dan kawan-kawan jenderalnya dengan Letnan Jenderal Punawirawan Prabowo Subianto sebagai fokus sasaran utama. Tak lain karena ia ini sedang tampil sebagai salah satu calon Presiden, sementara para jenderal lainnya ada di kubu seberang, mendukung calon presiden satunya lagi, Joko Widodo.

MARZUKI DARUSMAN. "Dan publik sulit untuk menilai mana yang benar di antara simpang siur tuduhan, karena memang nyaris tak ada samasekali hasil pencarian fakta dan kebenaran yang secara bulat bisa dipegang sebagai referensi. Temuan awal dan rekomendasi Tim Gabungan Pencarian Fakta (TGPF) di tahun 1998 yang dipimpin Marzuki Darusman SH, tak ditindaklanjuti penguasa pasca lengsernya Presiden Soeharto." (photo Reuters)
MARZUKI DARUSMAN. “Dan publik sulit untuk menilai mana yang benar di antara simpang siur tuduhan, karena memang nyaris tak ada samasekali hasil pencarian fakta dan kebenaran yang secara bulat bisa dipegang sebagai referensi. Temuan awal dan rekomendasi Tim Gabungan Pencarian Fakta (TGPF) di tahun 1998 yang dipimpin Marzuki Darusman SH, tak ditindaklanjuti penguasa pasca lengsernya Presiden Soeharto.” (photo Reuters)

Dan publik sulit untuk menilai mana yang benar di antara simpang siur tuduhan, karena memang nyaris tak ada samasekali hasil pencarian fakta dan kebenaran yang secara bulat bisa dipegang sebagai referensi. Temuan awal dan rekomendasi Tim Gabungan Pencarian Fakta (TGPF) di tahun 1998 yang dipimpin Marzuki Darusman SH, tak ditindaklanjuti penguasa pasca lengsernya Presiden Soeharto. TGPF menyimpulkan “Sebab pokok peristiwa kerusuhan 13-15 Mei 1998 adalah terjadinya persilangan ganda antara dua proses pokok yakni proses pergumulan elit politik yang bertalian dengan masalah kelangsungan kekuasaan kepemimpinan nasional dan proses pemburukan ekonomi moneter yang cepat.” Akan tetapi kala itu terdapat situasi seakan-akan duduk kebenaran peristiwa yang melibatkan begitu banyak tokoh kekuasaan, memang tak diinginkan penguasa untuk terbuka diketahui publik. Rekomendasi TGPF, tentang perlunya pemerintah melakukan penyelidikan lanjutan terhadap sebab-sebab pokok dan pelaku utama peristiwa kerusuhan 13-15 Mei 1998, dan menyusun ‘buku putih’ peristiwa, diabaikan kalangan kekuasaan.

                Dalam kesimpulan dan rekomendasi TGPF secara spesifik muncul dua nama jenderal dalam rangkaian peristiwa. Mayor Jenderal Prabowo Subianto –yang adalah juga menantu Soeharto kala itu– disebutkan dalam kaitan sebuah pertemuan di Markas Kostrad 14 Mei dan penculikan sejumlah aktivis anti Soeharto sebelum 1998. Sementara itu, Mayor Jenderal Sjafrie Sjamsoedin disorot terkait kelemahan koordinasi pengamanan ibukota saat peristiwa Mei terjadi. Meskipun nama Jenderal Wiranto yang kala itu menjabat Menteri Pertahanan Keamanan/Panglima ABRI tidak disebutkan langsung, tetapi pada dasarnya terdapat sorotan TGPF terhadap dirinya dalam fungsi tersebut. TGPF menyimpulkan terdapat kelemahan koordinasi pertahanan-keamanan, bukan hanya di ibukota tetapi meluas pada sejumlah kota lain. Mau tak mau ini merujuk pada kelemahan pucuk pimpinan tertinggi. Terminologi ‘pergumulan elit politik’ memperkuat aksentuasi bahwa persoalan memang berakar pada persoalan ‘atas’. Belakangan, Jenderal Wiranto disorot kepergiannya ke Malang membawa sejumlah petinggi bidang keamanan ketika Jakarta justru diprediksi dalam momen-momen menuju genting. Bagi Letnan Jenderal Purnawirawan Sintong Panjaitan, apa yang dilakukan Jenderal Wiranto kala itu adalah sebuah tanda tanya besar. Merupakan tanda tanya berikutnya, adalah kenapa Jenderal Wiranto, selaku penanggungjawab tertinggi keamanan saat itu, tak bersedia memberikan testimoni kepada TGPF, sebagaimana telah dilakukan baik Prabowo maupun Sjafrie Sjamsoedin serta sejumlah jenderal lainnya.

            TATKALA Prabowo Subianto mengalami rangkaian bombardir tentang ‘dosa-dosa’ lamanya oleh setidaknya dua jenderal purnawirawan –Wiranto dan Hendro Priyono– menjelang Pemilihan Presiden 2014, ia terlihat kewalahan menangkis. Namun ada kesan, bahwa keterbatasan Prabowo Subianto tak terlepas dari ‘keharusan’ sikap menjaga nama ‘atasan-atasan’nya di masa lampau, terkait tuduhan penculikan. Katakanlah, Jenderal Soeharto dan Jenderal Faisal Tandjung. Buku Putih Prabowo Subianto pernah mengutip pernyataan menarik dari Ketua TGPF Marzuki Darusman –yang dikatakan diucapkan kepada sejumlah wartawan– September 1998. “Saya kira masalahnya bukan hanya sekedar Prabowo. Saya akui ia adalah pemegang rahasia yang ketat. Dan mungkin ia cenderung mengungkapkan sedikit kalau terpaksa. Prabowo telah diadili oleh opini publik dan dinyatakan bersalah. Tetapi ia tidak pernah mendapat kesempatan untuk memberikan kesaksiannya.”

JENDERAL WIRANTO DI SEPUTAR 1998. "Belakangan, Jenderal Wiranto disorot kepergiannya ke Malang membawa sejumlah petinggi bidang keamanan ketika Jakarta justru diprediksi dalam momen-momen menuju genting. Bagi Letnan Jenderal Purnawirawan Sintong Panjaitan, apa yang dilakukan Jenderal Wiranto kala itu adalah sebuah tanda tanya besar." (gambar download)
JENDERAL WIRANTO DI SEPUTAR 1998. “Belakangan, Jenderal Wiranto disorot kepergiannya ke Malang membawa sejumlah petinggi bidang keamanan ketika Jakarta justru diprediksi dalam momen-momen menuju genting. Bagi Letnan Jenderal Purnawirawan Sintong Panjaitan, apa yang dilakukan Jenderal Wiranto kala itu adalah sebuah tanda tanya besar.” (gambar download)

            Marzuki Darusman SH, juga pernah mengungkapkan bahwa berdasarkan suatu daftar korban penculikan Prabowo dan kawan-kawan yang diajukan PDIP kepada Komnas HAM yang dipimpinnya, pernah dilakukan penelusuran. Prabowo mengakui sejumlah nama dalam daftar tersebut memang pernah ‘dijemput’ anggota Kopassus bawahannya. Nama lainnya, dikatakan ‘diambil’ oleh instansi lain. Dalam pencarian yang dilakukan Komnas HAM, seluruh nama yang disebutkan Prabowo bisa ditemukan keberadaannya, dalam keadaan hidup. Tapi nama lain di daftar PDIP itu, tetap tidak jelas di mana berada. (https://socio-politica.com/2014/06/10/persoalan-stigma-prabowo-subianto-dan-para-jenderal-lainnya-1/)

            Data adanya korban ‘penculikan’ lainnya, oleh instansi keamanan yang lain, jelas perlu ditelusuri lanjut. Artinya, tidak tepat bila fokus perhatian hanya diarahkan ke Prabowo Subianto. Karena, jangan-jangan ia hanya dikambing-hitamkan untuk menutupi sejumlah kejahatan kemanusiaan dan kejahatan politik-kekuasaan lainnya yang lebih besar. Setidaknya, dalam hal ini, Prabowo dengan ‘kesalahan’ masa lampaunya mungkin hanya berkategori lesser evil, dan ada real evil dengan kategori lebih dahsyat.

            Tak kalah menarik, adalah tulisan mantan Menteri Pertahanan RI Dr Juwono Sudarsono, Setelah Prahara Mei 1998 di Harian Kompas, Jumat 15 Mei 2015. Juwono menulis, “Komnas HAM pada November 1998 mengukuhkan temuan berdasar laporan Tim Gabungan Pencari Fakta bahwa Sjafrie tidak terbukti secara jelas dan nyata melaksanakan penculikan, apalagi melakukan pembunuhan dalam kerusuhan Mei 1998.” Letnan Jenderal Purnawirawan Sjafrie Sjamsoedin, tulis Juwono “adalah korban iri hati sejumlah kalangan militer dan sipil karena ia adalah anak emas Soeharto.” Lebih jauh dituliskan, selama beberapa tahun Sjafrie pernah menjadi pengawal pribadi Presiden Soeharto. Tetapi kemudian, pada awal Juli 1998, Panglima ABRI Jenderal Wiranto, mengganti Sjafrie Sjamsoedin dengan Mayor Jenderal Djadja Suparman.

            URAIAN dari dua tokoh yang dikenal punya integritas memadai –khususnya Marzuki Darusman, pegiat HAM yang pernah menjadi Jaksa Agung RI– bisa menjadi referensi tentang peran dan sepak terjang para tokoh pelaku dalam kancah Peristiwa Mei 1998. Data dari mereka bisa ditindaklanjuti dalam konteks mencari kebenaran secara menyeluruh dari peristiwa tersebut. Teristimewa pada saat terjadi begitu banyak manipulasi kebenaran sejarah seperti pada masa-masa belakangan ini, yang sering digunakan dalam konteks pertarungan politik dan kekuasaan.

            Aktivis Elsam, Rini Prashwati, menyebutkan tahun ini ada sedikit harapan dari negara, yakni mulai disebutnya kembali rencana pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi berdasarkan gagasan 6 lembaga negara dan Komnas HAM. Marzuki Darusman mengapresiasi rencana itu, tetapi mengingatkan untuk tidak kembali menjadi satu janji kosong. Pembentukan KKR selama ini timbul tenggelam di tangan kalangan kekuasaan. Undang-undang 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang bisa menjadi dasar mencari kebenaran dan rekonsiliasi dalam berbagai peristiwa, dikandaskan Mahkamah Konstitusi pada Desember 2006. MK menilai UU No. 27 a quo secara keseluruhan bertentangan dengan UUD 1945. Mahkamah Konstitusi menganggap ada pencampuradukan dan pengaturan kontradiktif satu sama lain dalam pasal-pasal UU tersebut yang menyebabkan ketidakpastian hukum.Twitter SOCPOL 50 percent

            MENCARI kebenaran secara tuntas menjadi keharusan moral bagi kita semua demi kepentingan masa depan yang lebih baik. Kebenaran yang masih tersembunyi perlu terus ditelusuri, bukan sebatas untuk kebenaran dua orang atau orang per orang, melainkan demi kebenaran berbagai peristiwa sejarah –khususnya yang masih tersembunyi dan disembunyikan– secara keseluruhan. Dari kebenaran, bisa dihadirkan pandangan, sikap dan solusi yang adil sebagai bangsa. (socio-politica.com)

Polisi: Antara Perwira Bersih dan Perwira Oportunis

BARANGKALI ini sebuah pertanyaan spekulatif. Apakah Presiden republik ini sedang dalam keadaan gugup menghadapi sikap bersikukuh para perwira pengendali Kepolisian RI terkait isu kriminalisasi terhadap KPK? Kalau bukan gugup, lalu kenapa Presiden Joko Widodo terkesan menghindar dan tak bereaksi apa pun, meskipun pers bertanya? Padahal, sementara itu, lebih dari sekedar menepis tudingan, para perwira pengendali kekuasaan di tubuh institusi penegakan hukum itu samasekali –meminjam formulasi berita utama Harian Kompas, Minggu 8 Maret 2015– “tidak menghentikan dugaan kriminalisasi terhadap sejumlah pihak yang selama ini mendukung pemberantasan korupsi.”

            Semacam kegugupan dalam bentuk lain diperlihatkan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Mendapat pertanyaan dari wartawan tentang kriminalisasi terhadap para pendukung gerakan anti korupsi, Jusuf Kalla balik mempertanyakan, apa yang dimaksud dengan kriminalisasi. Jusuf Kalla dikutip Kompas dan media lainnya mengatakan, “Kalau seorang punya fakta dia salah, kemudian diperiksa, apa itu kriminalisasi menurut anda?”. Menurut Jusuf Kalla lagi, “Kriminalisasi itu apabila sesuatu dibuat-buat. Namun kalau sesuatu fakta, kemudian orang diperiksa, itu bukan kriminalisasi.” Lalu mengecam, “teman-teman pegiat anti korupsi jangan tiba-tiba takut diperiksa”. Kalau orang lain, disuruh periksa, tapi bila menyangkut dirinya ‘jangan periksa saya’. Kan itu salah, ujarnya. Ia menasehati para pegiat anti korupsi itu agar bersikap sportif dan jantan.

COVER TEMPO YANG MENGUNDANG PEMIDANAAN. Ikrar Nusa Bhakti, peneliti LIPI menganggap langkah polisi belakangan ini, termasuk somasi terhadap Komnas HAM, adalah bentuk praktik politik ketakutan. Dalam kaitan ini, perlu ditambahkan catatan bahwa selain Komnas HAM, Majalah Tempo yang ‘vokal’ juga tak luput dari ancaman pemidanaan. “Melalui praktik ini, rakyat dipaksa bungkam dan tak bisa berekspresi dalam mengungkap kebenaran.”
COVER TEMPO YANG MENGUNDANG PEMIDANAAN. Ikrar Nusa Bhakti, peneliti LIPI menganggap langkah polisi belakangan ini, termasuk somasi terhadap Komnas HAM, adalah bentuk praktik politik ketakutan. Dalam kaitan ini, perlu ditambahkan catatan bahwa selain Komnas HAM, Majalah Tempo yang ‘vokal’ juga tak luput dari ancaman pemidanaan. “Melalui praktik ini, rakyat dipaksa bungkam dan tak bisa berekspresi dalam mengungkap kebenaran.”

            Jusuf Kalla terkesan telah menghakimi bahwa perbuatan yang dituduhkan kepada Komjen Budi Gunawan bukan fakta. Dan sebaliknya, apa yang dituduhkan polisi kepada Bambang Wijayanto, Abraham Samad, Adnan Pandu Praja, Zulkarnain, mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana, mantan Ketua PPATK Yunus Husein, para penyidik KPK serta berbagai pihak lainnya, adalah berdasarkan fakta. Jadi, bukan kriminalisasi. Cukup mencengangkan juga,  bagaimana bisa Jusuf Kalla sekaligus ‘melebihi’ jaksa dan hakim, untuk memastikan yang mana fakta dan yang mana bukan fakta lengkap dengan suatu judgement? Dan kebetulan judgement itu berbeda dengan arus utama opini publik pada umumnya.

Apakah pembelaan serta merta beliau terhadap polisi yang dituding melakukan kriminalisasi, adalah semacam mekanisme defensif yang kerap ditunjukkan oleh seorang tokoh kekuasaan? Ataukah, beliau telah menerima laporan sepihak yang tak menyeluruh, yang kemungkinan juga artifisial khas birokrasi –sebagaimana yang kerap dialami para petinggi negara– sehingga dengan sendirinya tak cermat membaca dan menganalisasi persoalan dengan utuh? Selain itu, sebagai seorang tokoh, tidakkah beliau pernah mempelajari sejarah penegakan hukum di negara ini yang penuh kisah hitam-putih dan jatuh-bangunnya kebenaran dan keadilan? Dan oleh karena itu, perlu perhatian khusus dan penanganan khusus pula. Lebih berhati-hati mencari kebenaran, lebih berusaha cermat menyelami aspirasi dan isi hati masyarakat, serta lebih bijak. Tapi baiklah, kita tunggu saja bagaimana kebenaran yang akan terbuka pada waktunya nanti.

            Pembangkang. KETUA Tim Sembilan bentukan Presiden Jokowi terkait konflik KPK-Polri, Dr Sjafii Ma’arif, mengatakan jika ada perwira polisi yang tidak mau menjalankan perintah Presiden, maka ia harus diberhentikan.  Kepolisian Republik Indonesia menurut perundang-undangan yang ada jelas-jelas berada pada posisi subordinasi terhadap Presiden. Memang Presiden tak bisa mencampuri aspek materil hukum saat kepolisian menjalankan fungsi sebagai penegak hukum, namun Presiden memiliki hak pengendalian untuk mencegah institusi itu menyimpang dari tugasnya sebagai aparat negara tersebut. Secara lebih spesifik, kepada pers Sjafii Ma’arif menyebutkan perwira tinggi yang bermasalah dan menjadi sumber kekacauan sebaiknya diganti. “Masih banyak perwira tinggi yang bagus.”

            Bahwa masih banyak perwira tinggi maupun perwira menengah Polri yang baik dan bersih, bisa disepakati. Namun, perlu diingatkan, khususnya kepada para jenderal polisi dan perwira-perwira bersih lainnya itu, bahwa bersama mereka terindikasi pula keberadaan unsur, yang kita sebut saja oknum perwira oportunis, yang bisa membawa Polri menjadi kekuatan destruktif. Buruk bagi institusi, buruk bagi masyarakat. Tak boleh menutup mata. Dan menjadi harapan, agar para perwira bersih di tubuh Polri mengambil inisiatif untuk membersihkan institusi yang mereka cintai itu. Perwira-perwira bersih diyakini mencintai institusi Polri lebih dari mencintai dirinya sendiri. Sementara itu, perwira-perwira ‘oportunis’ hanya mencintai kepentingan dirinya dan masuk Polri untuk memenuhi hasrat-hasrat kepentingan pribadinya. Mereka yang disebut terakhir inilah yang kadangkala menciptakan citra ‘bandits in uniform’ seperti yang suatu waktu pernah coba digambarkan seorang mantan Kapolri, Jenderal Mohammad Hasan, yang sungguh tepat mewakili kekecewaan publik. Dengan menjadi bersih kembali, rakyat pun sepenuhnya akan kembali mencintai Polri seperti pada masa-masa awal Indonesia merdeka. (Baca, https://socio-politica.com/2012/10/10/soal-isu-pengunduran-diri-para-jenderal-polisi/)

Dalam tulisan lainnya “Polri Dalam Peristiwa 5 Oktober 2012” ada ungkapan bahwa dari data pengalaman empiris selama ini, di tubuh Polri juga terdapat ‘bakat’ untuk melakukan pembangkangan. Terakhir, seperti yang terlihat dalam kaitan kasus korupsi Korlantas dengan ‘penyerbuan’ 5 Oktober 2012 ke Gedung KPK. Diingatkan, bahwa “Bilamana tak ada tindakan cepat, tepat dan tegas terhadap peristiwa-peristiwa seperti ini dari yang menjadi atasan, atau atasan dari atasan –dalam hal ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai atasan dari pimpinan Polri waktu itu– tindakan-tindakan agresif dan konfrontatif dengan kadar yang lebih tinggi akan terjadi di masa mendatang ini. Sejumlah pengalaman empiris selama ini menunjukkan bahwa institusi penegakan hukum dan ketertiban masyarakat ini ‘berbakat’ untuk itu karena pembiaran yang laten”. (https://socio-politica.com/2012/10/08/polri-dalam-peristiwa-5-oktober-2012/)

Dituliskan lebih jauh, “Saat ini, sejumlah oknum membawa Polri melakukan ‘pembangkangan’ hukum terhadap proses pemberantasan korupsi, besok lusa mungkin sekalian membangkang kepada lembaga kepresidenan dan pemerintah maupun lembaga-lembaga negara lainnya seperti lembaga perwakilan rakyat dan Mahkamah Agung. Presiden Abdurrahman Wahid pernah mengalami semacam ‘pembangkangan’ itu. Keputusannya untuk mengganti Kapolri Jenderal Surojo Bimantoro dengan Jenderal Chairuddin Ismail, ditolak dan tidak dilaksanakan Bimantoro sehingga menimbulkan ketegangan internal.” 

Sesat. DI LUAR aspek politik kekuasaan di atas, ada catatan penting lainnya mengenai kepolisian kita. Dan catatan itu, berguna sebagai bahan untuk menilai dan kemudian menjadi dorongan untuk memperbaiki institusi tersebut dengan model seideal mungkin sesuai cita-cita dasar kelahirannya. Jauh dari niat mengungkit kesalahan masa lampau. Sepanjang yang bisa ditelusuri dan dicatat dari waktu ke waktu, kasus salah tangkap, rekayasa penetapan tersangka, pengkambinghitaman, salah dakwa dan salah hukum dalam peradilan sesat, seakan melekat dalam sejarah penegakan hukum. Jika dideretkan, akan ada satu daftar panjang untuk peristiwa sejenis, yang untuk sebagian besar terkait dengan institusi kepolisian sebagai penegak hukum.

Ada kasus salah tangkap, rekayasa dan kemudian berujung pada keputusan hukum yang sesat, menyangkut dua petani, Sengkon dan Karta. Kedua petani ini dituduh melakukan perampokan dan pembunuhan Haji Sulaiman dan isterinya Siti Haya –suami isteri kaya dari desa Bojongsari, Bekasi tahun 1977. Polisi yang sebenarnya tak memiliki petunjuk kuat, mengarahkan kecurigaan kepada Sengkon dan Karta yang pernah ada hubungan kerja dengan Haji Sulaiman. Polisi menangkap kedua petani itu. Merasa harus bisa menyelesaikan kasus, polisi menciptakan skenario rekayasa menjadikan Sengkon-Karta sebagai pelaku. Tak punya bukti, polisi ‘memeras’ pengakuan dengan kekerasan dan siksaan. Ini metode tergampang yang selama bertahun-tahun menjadi senjata klasik polisi dalam penyidikan para tersangka. Tak tahan siksaan fisik dan mental, Sengkon-Karta akhirnya mengaku sebagai perampok dan pembunuh suami-isteri itu.

Tatkala proses peradilan berlangsung, Sengkon dan Karta, dengan sisa-sia coba menyangkal tuduhan yang disampaikan jaksa. Para hakim lebih mempercayai BAP Polisi dan surat tuduhan Jaksa –mirip yang dialami mantan Ketua KPK Antasari Azhar yang dituduh menyuruh lakukan pembunuhan. Dan akhirnya terjadilah tragedi salah hukum sebagai hasil dari penyelidikan polisi yang sesat dan diikuti oleh penuntutan jaksa dan vonnis hakim dalam suatu proses yang juga sesat. Bertahun-tahun kemudian setelah Sengkon-Karta menjalani hukum penjara, akhirnya terungkap bahwa pembunuh sebenarnya adalah Gunel.

Selain kasus Sengkon dan Karta, ada pula kasus pembunuhan peragawati Dietje di Kalibata Jakarta Selatan dengan latar belakang keterlibatan kalangan kekuasaan, namun direkayasa dengan menampilkan tersangka palsu, Pak De alias Siradjuddin. Sementara kebenaran perkara beredar sebatas sebagai desas-desus tingkat atas, Pak De menjalani hukuman bertahun-tahun untuk sesuatu perbuatan yang tidak pernah dilakukannya.

            Dalam satu forum Jakarta Lawyers Club –kini, Indonesia Lawyers Club– dua tahun lalu muncul satu lagi catatan kasus peradilan sesat yang unik di Gorontalo. Pasangan suami-isteri Risman Lakoro dan Rustin Mahaji, suatu ketika kehilangan anak gadis mereka, Alta Lakoro. Bukannya bersusah payah mencari keberadaan sang anak gadis, polisi malahan mengembangkan dugaan bahwa Risman dan Rustin telah membunuh Alta dan menyeret keduanya sebagai tersangka pembunuh yang berlanjut ke proses peradilan sesat. Risman dan Rustin dijatuhi hukuman penjara 3 tahun 6 bulan oleh hakim Pengadilan Negeri Gorontalo. Risman dan Rustin sempat mendekam dalam penjara selama beberapa bulan, sampai pada suatu hari sang anak gadis, Alta Lakoro, kembali ke kampung halamannya di Boleamo, Gorontalo, dalam keadaan hidup.

            Kasus kesesatan hukum yang agak baru, pada masa pasca Soeharto, terjadi kembali di lingkup wewenang Kepolisian Bekasi, yaitu kasus pembunuhan Ali Harta Winata. Pembunuhan terhadap pemilik toko bahan bangunan Trubus di Jatiwarna, Pondok Gede ini terjadi 17 Desember 2002. Setelah bertemu jalan buntu dalam pemecahan kasus, polisi tiba-tiba mengembangkan suatu teori tentang pembunuhan dalam keluarga dan membangun kisah rekayasa untuk itu. Polisi menuduh anak korban sendiri, Budi Harjono, yang membunuh sang ayah. Polisi merekayasa cerita, bahwa Budi kesal kepada ayahnya yang telah melakukan kekerasan kepada isterinya, ibu Budi Harjono, dengan cara memukul menggunakan kaso kayu. Budi membela sang ibu dan bertindak kalap dan membunuh sang ayah. Polisi mengabaikan keterangan Nyonya Eni, isteri Ali Harta, yang bersikeras mengatakan bahwa bukan anaknya yang membunuh sang ayah. Polisi melakukan serangkaian penyiksaan atas diri Nyonya Eni agar mau mengakui dan membenarkan cerita bahwa memang Budi lah yang membunuh ayahnya sendiri.

Budi Harjono sendiri tak luput dari tekanan dan siksaan untuk memeras pengakuan agar sesuai dengan konstruksi peristiwa versi polisi. Budi sempat ditahan dalam sel polisi dan Lembaga Pemasyarakatan Bulak Kapal selama tak kurang dari enam bulan. Tak tahan dengan penyiksaan, Budi yang semula tegar akhirnya mengakui kepada polisi bahwa memang ia membunuh Ali Harta, ayahnya. Ia dijatuhi hukuman penjara 12 tahun.  Budi sempat menjalani hukuman selama 4 tahun sebelum kasus ini dibuka kembali. Terungkap bahwa kesaksian dan pengakuan sepenuhnya hasil rekayasa polisi. Kasus ini menjadi sorotan publik, dan polisi yang ‘menyadari’ adanya error in persona, akhirnya menangkap pembunuh sesungguhnya.

Terbaru dari itu, pada tahun 2008 adalah kasus salah tangkap dan salah hukum, atas diri tiga pemuda dari Jombang, Kemat, David dan Sugik yang dituduh melakukan pembunuhan. Terungkap kemudian bahwa ketiganya tak pernah membunuh siapa-siapa.

Sesungguhnya, masih terdapat daftar panjang tentang berbagai kesesatan dalam penegakan hukum, yang bermula dari kekeliruan polisi, lalu jaksa dan berakhir sebagai kesesatan peradilan. Masyarakat yang sehari-hari berhadapan dengan para penegak hukum, bisa mengenali persoalan sesungguhnya dalam interaksinya dengan penegakan hukum, meskipun cenderung tak berdaya mengungkapkannya. Tak masuk akal sebenarnya bila para tokoh pemimpin negara yang justru punya daya besar untuk memperbaiki keadaan, malah jauh lebih tumpul ‘kepekaan’nya.

Semestinya, bersama-sama kita bisa belajar dari itu semua, dan harus jujur mengakui, bahwa aparat-aparat penegak hukum kita, meski juga menunjukkan sejumlah keberhasilan, pada sisi lain masih membutuhkan banyak pembenahan. Bahwa dalam situasi itu ketidakpercayaan masyarakat cukup tinggi, harus dimaknai dengan cara berpikir dan sikap positif. Dan menjadi tugas para pemimpin negara, termasuk Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla, untuk lebih memahami persoalan dan jangan keliru menyimpulkan, agar bisa turut membenahi persoalan.

Untuk melengkapi referensi, kita mengutip pendapat tiga akademisi dan praktisi hukum sebagai bahan pemikiran bersama menuju koreksi dan perbaikan. Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara, Saldi Isra, memberi catatan: “Pada awal reformasi, masyarakat sipil berdarah-darah mendorong polisi jadi bagian dari supremasi sipil. Jika polisi terus seperti ini, sampai pada titik tertentu, mereka akan menimbulkan rasa tidak aman kepada masyarakat sipil. Ini sesuatu yang kontra produktif.” Ikrar Nusa Bhakti, peneliti LIPI menganggap langkah polisi belakangan ini, termasuk somasi terhadap Komnas HAM, adalah bentuk praktik politik ketakutan. Dalam kaitan ini, perlu ditambahkan catatan bahwa selain Komnas HAM, Majalah Tempo yang ‘vokal’ juga tak luput dari ancaman pemidanaan. “Melalui praktik ini, rakyat dipaksa bungkam dan tak bisa berekspresi dalam mengungkap kebenaran.” Prof Jimmly Asshiddiqie, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, menilai penegakan hukum saat ini seperti dilakukan tanpa jiwa dan di dalam ruang yang kosong. “Kalau dibiarkan, kriminalisasi pasti terus berlanjut.”

Bukan model Tonton Macoute dari Haiti. MENJADI harapan, para perwira bersih yang masih banyak terdapat di tubuh kepolisian tergerak untuk turun tangan memperbaiki institusi yang mereka cintai agar kembali dicintai rakyat. Jangan kalah oleh ‘oknum’ yang sebenarnya sedang melakukan pembangkangan hukum dan pengingkaran nilai keluhuran institusi penegak hukum ini. Jangan biarkan ada ‘bandits in uniform.’

Pembiaran akan memberi hasil akhir berupa model polisi Haiti –Tonton Macoute– yang luar biasa keji di bawah rezim kediktatoran Papa Doc (1957-1971) yang diteruskan puteranya Baby Doc (1971-1986) – (socio-politica.com)

Para Korban Peristiwa 1965, Mencari Kebenaran Di Antara Dua Sisi

PRAKARSA sejumlah aktivis HAM menayangkan film dokumenter “Senyap” –The Look of Silence– di sejumlah kota, menimbulkan pro kontra akhir tahun 2014 di tengah masyarakat. Beberapa acara penayangan, termasuk di lingkungan perguruan tinggi, dihentikan sepihak oleh sekelompok massa yang kontra, yang antara lain karena menganggap karya sutradara Joshua Oppenheimer itu sebagai “film PKI.” Lembaga Sensor Film (LSF) juga menolak film tersebut diputar untuk umum di bioskop-bioskop.

LSF menganggap film “Senyap” –yang merupakan karya berikut Oppenheimer setelah “Jagal” atau The Act of Killing– secara tersirat mengarahkan penonton bersimpati kepada PKI dan ajaran komunisme. Ini dikuatirkan LSF dapat menimbulkan ketegangan sosial politik dan melemahkan ketahanan nasional. “Film ini bersumber dari histories recite (sejarah sebagaimana dikisahkan) bukan sebagai histories realite (sejarah sebagaimana yang terjadi). Film ini memperlihatkan anakronisme dari kisah yang dibangun dan merupakan snapshot (fragmen) yang mengandung tujuan tertentu. Karena itu film ini hanya dapat dipertunjukkan untuk kalangan terbatas dan tidak layak untuk konsumsi publik.”

JOSHUA OPPENHEIMER DAN ADI, ADIK RAMLI. "Dua film Oppenheimer yang mencoba menggali ingatan tentang dimensi kejahatan kemanusiaan, meskipun tidak cukup adil mencari kebenaran pada dua sisi, tidak perlu terlalu dirisaukan. Apa yang dilakukan Oppenheimer pada hakekatnya tak beda dengan yang dilakukan oleh satu-dua sejarawan yang hanya mau menggali kebenaran satu sisi atau per penggal dari suatu peristiwa. Suatu hal yang sayangnya berkali-kali juga dilakukan Komnas HAM di tahun-tahun terakhir ini." (photo download AFP/Getty Images)
JOSHUA OPPENHEIMER DAN ADI, ADIK RAMLI. “Dua film Oppenheimer yang mencoba menggali ingatan tentang dimensi kejahatan kemanusiaan, meskipun tidak cukup adil mencari kebenaran pada dua sisi, tidak perlu terlalu dirisaukan. Apa yang dilakukan Oppenheimer pada hakekatnya tak beda dengan yang dilakukan oleh satu-dua sejarawan yang hanya mau menggali kebenaran satu sisi atau per penggal dari suatu peristiwa. Suatu hal yang sayangnya berkali-kali juga dilakukan Komnas HAM di tahun-tahun terakhir ini.” (photo download AFP/Getty Images)

Untuk sebagian, alasan LSF mungkin terasa klise, tetapi ada juga benarnya. Peristiwa-peristiwa kejahatan kemanusiaan sebelum dan sesudah Peristiwa 30 September 1965, hingga kini masih menjadi sumber polarisasi sikap di sebagian terbesar masyarakat. Peristiwa kekerasan di seputar peristiwa itu sendiri, faktanya memang adalah kekerasan balas berbalas yang mencipta suatu malapetaka sosiologis. Dan tak ada pihak yang merasa lebih bersalah daripada pihak yang lain. Fakta politik menunjukkan bahwa pada kurun waktu sebelum dan sesudah tahun 1965 pada hakekatnya terjadi pertarungan politik antara kekuatan politik komunis dengan kekuatan non komunis. Di tengah-tengah, terjepit sebagian besar anggota masyarakat, yang bukan bagian dari keduanya, namun ikut menjadi korban dengan jumlah korban tak kalah besar.

Semua pihak, yang di kiri maupun yang di kanan, tak terkecuali yang di tengah, memelihara ‘dendam’nya sendiri secara berkepanjangan, berdasarkan luka dari penderitaan yang mereka anggap tak kunjung terselesaikan secara adil. Beberapa di antara mereka mencoba menjinakkan rasa perih dalam diri mereka, yang dengan berjalannya waktu berangsur-angsur berhasil. Namun, ada saja faktor ‘baru’ yang ganti berganti muncul membuat luka kembali basah.

Kenapa faktor ‘baru’ atau ‘diperbarui’ itu muncul dan bisa membuat luka kembali basah, tak lain karena belum berhasilnya kebenaran sejati dari peristiwa itu bisa dijelaskan dengan fakta berdasarkan –meminjam terminologi LSF– histories realite. Secara bersama,hingga sejauh ini bangsa ini belum berhasil membentuk suatu Komisi Kebenaran yang terpercaya dan mampu menghadirkan kebenaran sejati dari semua sisi yang bisa menjadi sandaran referensi bersama dalam menilai peristiwa sejarah yang telah dialami. Peristiwa seputar tahun 1965 dan 1966 ini, memiliki skala yang tidak kecil, mengingat jumlah korbannya setidaknya 500.000 orang bahkan kemungkinan besar mencapai angka jutaan. Suatu referensi kebenaran sejati, membantu untuk meredakan kemarahan dalam diri berjuta-juta orang,terutama generasi muda, yang sebagian besar pada hakekatnya adalah warisan ‘sejarah’ melalui penuturan.

POSTER PKI TAHUN 1960. "Korban terbanyak tentu saja adalah lapisan terbawah massa PKI. Namun harus dicatat bahwa tak kurang banyaknya korban-korban dari kalangan masyarakat biasa yang bukan anggota partai tersebut. Karena, di waktu yang sama terjadi pula pemanfaatan situasi untuk mengeliminasi seteru di antara masyarakat sendiri serta korban-korban fitnah tak berdasar. Sesungguhnya, massa PKI bukanlah penderita dan korban tunggal, karena ada begitu banyak korban lain di masyarakat, termasuk kaum abangan, karena bekerjanya fitnah dan kesempatan membalas entah dendam dan kebencian apa di masa sebelumnya." (download Monash.Edu)
POSTER PKI TAHUN 1960. “Korban terbanyak tentu saja adalah lapisan terbawah massa PKI. Namun harus dicatat bahwa tak kurang banyaknya korban-korban dari kalangan masyarakat biasa yang bukan anggota partai tersebut. Karena, di waktu yang sama terjadi pula pemanfaatan situasi untuk mengeliminasi seteru di antara masyarakat sendiri serta korban-korban fitnah tak berdasar. Sesungguhnya, massa PKI bukanlah penderita dan korban tunggal, karena ada begitu banyak korban lain di masyarakat, termasuk kaum abangan, karena bekerjanya fitnah dan kesempatan membalas entah dendam dan kebencian apa di masa sebelumnya.” (download Monash.Edu)

Korban. BERAPA korban dalam malapetaka sosiologis pasca Peristiwa 30 September 1965? Pertengahan Desember 1965 Presiden Soekarno membentuk Fact Finding Commission (FFC) untuk mengetahui berapa korban kekerasan kemanusiaan setelah peristiwa. FFC yang diketuai Menteri Dalam Negeri Dr Soemarno Sosroatmodjo, melaporkan jumlah 80.000 korban. Tetapi salah satu anggota FFC, Menteri Oei Tjoe Tat SH, melaporkan tersendiri perkiraannya kepada Soekarno, dan menyebut angka 500.000-600.000 korban.

Menurut wartawan senior Julius Pour dalam bukunya G30S, Fakta atau Rekayasa (Kata Hasta Pustaka, 2013) “jumlah korban selalu menjadi bahan pergunjingan.” Julius menulis, meski FCC secara resmi telah mengumumkan jumlah korban tewas sekitar 80.000 orang, Rum Aly (Redaktur Mingguan Mahasiswa Indonesia) –dalam buku Tititik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966, terbit 2006– tidak percaya terhadap angka tersebut. “Perkiraan moderat menyebutkan angka 500.000 jiwa. Perhitungan lain, berkisar antara 1.000.000 sampai 2.000.000. Tetapi, Sarwo Edhie yang banyak berada di lapangan, pasca peristiwa, baik di Jawa Tengah, Jawa Timur maupun di Bali, suatu ketika menyebut angka 3.000.000. Hingga akhir hayatnya, Letnan Jenderal Sarwo Edhie Wibowo tidak pernah meralat angka korban tewas yang sudah pernah dia sebutkan.” Menurut Rum Aly, Sarwo Edhie memiliki catatan mengenai seluruh pengalamannya di seputar Peristiwa 30 September 1965 dan sesudahnya, termasuk tentang malapetaka sosiologis tersebut. Mungkin ada angka-angka signifikan dalam catatan tersebut. Namun sayang, catatan Sarwo Edhie itu ‘hilang’ di tangan orang yang dititipi justru dalam rangka usaha menerbitkannya.

“Mengingat integritas dan reputasi kejujuran Sarwo Edhie, catatan itu pasti berisikan hal-hal yang amat berharga dan relatif tidak mengandung unsur pemalsuan sejarah. Atau catatan itu justru ‘hilang’ karena bersih dari pemalsuan sejarah?” Angka 3.000.000 korban disebutkan oleh Letnan Jenderal Sarwo Edhie, antara lain dalam percakapan dengan beberapa Manggala BP7 –salah satu di antaranya, Hatta Albanik MPSi– yaitu saat sang jenderal menjabat sebagai Kepala Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila.

            Buku Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966, lebih jauh mengungkapkan, bahwa pada tahun-tahun 1966-1967 hingga beberapa tahun berikut, berbagai pihak, termasuk pers Indonesia cenderung menghindari menyentuh dan membicarakan mengenai pembasmian berdarah-darah ini, terutama terhadap pengikut PKI. Hanya ada beberapa pengecualian, seperti misalnya Soe-Hokgie melalui tulisan-tulisannya, termasuk di Mingguan Mahasiswa Indonesia, edisi pusat maupun edisi Jawa Barat. Adalah karena tulisan-tulisannya, Soe-Hokgie berkali-kali menjadi sasaran teror.

Di tahun 1966, melalui tulisannya di Mingguan Mahasiswa Indonesia edisi Jawa Barat, cendekiawan muda dari ITB Mudaham Taufick Zen yang lebih dikenal sebagai MT Zen pernah menyentuh substansi masalah tersebut. MT Zen menggambarkan adanya suasana ketakutan rakyat Indonesia terhadap teror PKI selama beberapa tahun terakhir, sebagaimana yang kemudian ‘terbukti’ di Lubang Buaya. Dalam suasana itu, “sebagai akibat selalu ditangguhkannya political solution yang dijanjikan Bung Karno, maka terjadilah pembunuhan besar-besaran di Jawa Tengah dan Jawa Timur serta tempat-tempat lain di Indonesia.”

Perlu dicatat bahwa setelah terjadinya Peristiwa 30 September 1965, suratkabar-suratkabar milik tentara dan atau dipengaruhi tentara, seperti Angkatan Bersendjata dan Berita Yudha, sangat berperanan dalam mengkampanyekan kekejaman PKI, terutama di Lubang Buaya. Brigadir Jenderal Sunardi DM dalam sebuah percakapan dengan Rum Aly di tahun 1986 –beberapa bulan sebelum almarhum– mengakui adanya kampanye seperti itu, untuk membangkitkan ‘perlawanan’ rakyat terhadap PKI. Penggambaran kekejaman yang dilakukan terhadap enam jenderal dan seorang perwira pertama Angkatan Darat betul-betul berhasil menyulut kemarahan massal di seluruh Indonesia, dengan dampak yang luar biasa dahsyat.

Baru belakangan diketahui bahwa banyak berita yang dilansir amat dilebih-lebihkan. Mingguan Mahasiswa Indonesia sendiri, kendatipun merupakan media yang menonjol sikap anti komunisnya, tetap mampu memisahkan masalah kejahatan kemanusian dan pelanggaran hak azasi dari dimensi subjektivitas politik, termasuk yang menimpa anggota-anggota PKI. Mingguan itu memberi tempat kepada berbagai berita ekses, termasuk mengenai masalah tahanan politik seperti pengungkapan angka 80.000 tahanan politik oleh Herbert Feith dan kemudian bahasan-bahasan ‘ilmiah’ Pater MAW Brouwer mengenai Marxisme dan tentang nasib orang-orang PKI. Teguran-teguran per telepon yang disampaikan oleh pihak aparat militer, diabaikan.

Terlepas dari kampanye berlebih-lebihan dari kalangan tentara, memang di masyarakat juga tercipta tumpukan kebencian akibat sepak terjang PKI ketika berada di atas angin antara tahun 1960-1965 dalam berbagai bentuk, mulai dari kekerasan fisik maupun psikologis. Tumpukan kebencian tersebut, ditambah berita keterlibatan PKI dalam pembunuhan para jenderal dinihari 1 Oktober 1965, maupun kenangan Peristiwa Madiun 1948, menjadi pendorong utama gerakan penghancuran yang melibatkan anggota masyarakat secara luas. Bila pada awalnya, di wilayah perkotaan sasaran penghancuran hanyalah bangunan-bangunan fisik perkantoran partai dan organisasi mantelnya, pada proses selanjutnya di beberapa daerah dengan cepat berubah menjadi kekerasan yang mengalirkan darah dan melenyapkan nyawa. Ladang ‘pembantaian’ utama adalah daerah-daerah di Jawa Timur yang dilakukan terutama oleh massa NU (Nahdatul Ulama) dan Barisan Ansor Serba Guna (Banser), Jawa Tengah dan Bali dengan penggerak utama dari kalangan PNI (Partai Nasional Indonesia) kendati di tingkat nasional PKI dan PNI adalah kawan sebarisan yang mendukung konsep Nasakom (Nasional-Agama-Komunis) Pemimpin Besar Revolusi Soekarno. Pembantaian serupa dalam skala yang lebih kecil terjadi pula di daerah-daerah seperti Sumatera Utara –lokasi bagi film “Senyap” dan “Jagal”– maupun Sulawesi Selatan, secara sporadis di Jawa Barat dan aneka peristiwa insidental di berbagai wilayah Nusantara lainnya.

Korban terbanyak tentu saja adalah lapisan terbawah massa PKI. Namun harus dicatat bahwa tak kurang banyaknya korban-korban dari kalangan masyarakat biasa yang bukan anggota partai tersebut. Karena, di waktu yang sama terjadi pula pemanfaatan situasi untuk mengeliminasi seteru di antara masyarakat sendiri serta korban-korban fitnah tak berdasar. Sesungguhnya, massa PKI bukanlah penderita dan korban tunggal, karena ada begitu banyak korban lain di masyarakat, termasuk kaum abangan, karena bekerjanya fitnah dan kesempatan membalas entah dendam dan kebencian apa di masa sebelumnya. Bahkan di kalangan pengikut komunis sendiri terjadi pengkhianatan satu sama lain dengan berbagai motif, termasuk untuk menyelamatkan diri, yang berakibat kematian mereka yang dikhianati. Tentara-tentara kesatuan tertentu yang tadinya diketahui ‘dibina’ PKI pun banyak yang berbalik menjadi algojo dengan kekejaman ekstrim terhadap anggota PKI sendiri.

Pelaku. Siapa sajakah dan seperti apakah para pembunuh dalam peristiwa-peristiwa berdarah ini, dan siapa korban mereka pada tahun-tahun itu? Seorang siswa SMA, putera seorang penegak hukum yang bertugas di Malang, Sjahrul –yang kemudian menjadi aktivis mahasiswa di Bandung sejak tahun 1967– mengisahkan betapa di pagi hari merupakan pemandangan biasa bila ada kepala manusia hasil pembantaian tergantung di pagar kantor ayahandanya. Keikutsertaan sebagai pembantai bahkan kerapkali dianggap semacam tugas suci oleh beberapa anak belasan tahun. “Seorang teman sekolah saya di SMA, kerap bercerita, mengenai pengalamannya beroperasi pada malam sebelumnya”. Kelakuan para remaja yang terbawa arus melakukan pembantaian tampak berangsur-angsur menjadi tidak wajar. Seringkali ada pengakuan dan dugaan bahwa pembunuhan sesama manusia itu dilakukan karena diperintah, oleh tentara misalnya, tetapi menurut Sjahrul cukup banyak yang melakukannya semata-mata karena terbawa arus saja dan akhirnya terbiasa melakukan tanpa disuruh. Membunuh itu, bisa mencandu, menimbulkan ekstase. Apalagi bila para korban tak berdaya meratap memohon, itu akan merangsang para pelaku lebih menikmati keperkasaan kekuasaannya. Dalam The Look of Silence para eksekutor Ramli yang dituduh pengikut PKI, juga memperihatkan gejala psikologis serupa.

Pada beberapa kalangan massa organisasi Islam saat itu, pembasmian anggota PKI yang  dianggap anti Tuhan, bahkan diyakini sebagai bagian tugas membela agama. Di Jawa Timur, seringkali dikisahkan bahwa pada masa itu, setiap hari Kali Brantas penuh dengan tubuh hanyut manusia yang telah diberantas. Kasat mata dan menurut perkiraan, jumlah korban yang jatuh di Jawa Timur jumlahnya melebihi jumlah korban peristiwa-peristiwa di Jawa Tengah. Sedang di Sumatera Utara, menurut film The Act of Killing Oppenheimer para pembunuh adalah anggota organisasi Pemuda Pancasila yang menganggap kaum komunis adalah musuh negara –dan membahayakan Pancasila– yang harus dibasmi.

            Kebenaran. Dua film Oppenheimer yang mencoba menggali ingatan tentang dimensi kejahatan kemanusiaan, meskipun tidak cukup adil mencari kebenaran pada dua sisi, tidak perlu terlalu dirisaukan. Apa yang dilakukan Oppenheimer pada hakekatnya tak beda dengan yang dilakukan oleh satu-dua sejarawan yang hanya mau menggali kebenaran satu sisi atau per penggal dari suatu peristiwa. Suatu hal yang sayangnya berkali-kali juga dilakukan Komnas HAM di tahun-tahun terakhir ini. Dan semuanya itu jelas tak kalah buruknya dengan kebenaran sepihak yang dikedepankan para ‘sejarawan’ tentara di masa lalu yang menumpahkan segala kesalahan sejarah kepada PKI sendirian, tanpa melihat tali temali aksi-reaksi dari segala peristiwa.

Maka, inisiatif lembaga-lembaga masyarakat yang ingin menayangkan film “Senyap”, tidak perlu dilarang. Dan mereka yang ingin menontonnya, pun tentu saja tak perlu dihambat. Namun, sebaliknya LSF yang tidak memberi izin edar untuk umum, pun tak perlu dituduh sebagai bersikap ala orde baru, karena alasan LSF dalam banyak hal cukup masuk akal.

            MENGAPA kita tidak kembali berpikir mengenai suatu Komisi Kebenaran untuk berbagai peristiwa sejarah dengan kandungan kejahatan kemanusiaan yang pernah terjadi dan telah membelah rasa kebersamaan dan menghancurkan moral kebenaran sebagai bangsa selama ini? Mulai dari kejahatan kemanusiaan pada dua sisi di seputar Peristiwa 30 September 1965 tentunya. Lalu, Pemberontakan DI/TII, Pelanggaran HAM masa DOM Aceh pada dua sisi pelaku (yakni Militer RI maupun GAM), seputar Peristiwa Mei 1998, tak terkecuali Peristiwa Santa Cruz –meskipun Timtim telah menjadi Timor Leste– sampai Pembunuhan Munir dan beberapa pelanggaran HAM lainnya. Tidak harus pencarian kebenaran selalu berujung pada suatu proses peradilan, karena kebenaran pun berfungsi memudahkan pencapaian rekonsiliasi bangsa. Selain itu, tradisi pencarian kebenaran, akan bersifat mencegah ketidakbenaran lebih lanjut. Terpenting dalam konteks ini, publik mendapat kebenaran sejati dari setiap peristiwa sebagai pedoman terpercaya agar mampu turut serta dalam suatu upaya rekonsiliasi mengutuhkan bangsa dalam semangat keadilan. Kebenaran membawa keadilan. (socio-politica.com)

Persoalan Stigma Prabowo Subianto dan Para Jenderal Lainnya (2)

KENAPA mereka yang disebutkan diculik –pihak militer pelaku menggunakan istilah ‘mengambil’– itu keberadaannya bisa bertebaran di berbagai penjuru tanah air? Diduga, setelah dilepaskan (dibebaskan), pada masa jabatan Mayor Jenderal Muchdi sebagai Danjen Kopassus, mereka ‘trauma’ dan merasa perlu bersembunyi.

Tatkala dimintai keterangan oleh TGPF 12 Oktober 1998, KSAD Letnan Jenderal Subagyo HS, menyebutkan ‘pengambilan’ terhadap Andi Arief cs karena Prabowo dan para perwiranya menganggap mereka membuat rencana-rencana melakukan pemboman dan telah terbukti di Tanahtinggi. Mereka yang dianggap merencanakan dan terlibat sebagai pelaku pemboman antara lain Aan Rusdianto, Nezar Patria, Raharjo Waluyo Jati dan Mugianto selain Andi Arief. KSAD menyebut pula sejumlah nama di luar yang terkait dengan pemboman, yakni anggota-anggota PRD seperti Desmond Mahesa (aktivis kegiatan HAM bersama LBH masa Buyung Nasution), Pius Lustrilanang (pendiri kelompok ‘Siaga’ setelah Peritiwa 27 Juli 1996), dan Feisol Reza, serta Haryanto Taslam (aktivis mahasiswa pro Mega, yang pernah bergabung di PDIP). Mereka ini ‘diambil’ karena diduga merencanakan akan membuat sejumlah kekacauan.

PRABOWO SUBIANTO DIANTARA TAWA PARA JENDERAL: SJAFRIE SJAMSOEDDIN, AGUM GUMELAR, YUNUS YOSFIAH. "Satu dan lain hal, tidak dituntaskannya pencarian kebenaran dari peristiwa di tahun 1998 itu, hingga kini, sejumlah jenderal masih selalu dilekati stigma, termasuk Jenderal Wiranto dan Letnan Jenderal Sjafrie Sjamsoeddin yang kini menjabat sebagai Wakil Menteri Pertahanan. Stigma pelanggaran HAM di Timor Timur pun masih selalu dilekatkan kepada Jenderal Wiranto dan sejumlah perwira lainnya yang pernah bertugas di sana saat daerah itu menjadi provinsi ke-27.  Hal yang sama juga terjadi pada sejumlah jenderal dalam berbagai peristiwa. Stigma itu bisa benar dasar faktanya, sebagaimana itu pun bisa tidak benar, atau setengah benar setengah tidak benar. Maka kebenaran sejati harus dicari, untuk mengambil suatu kesimpulan dan sikap yang adil. Selama kebenaran peristiwa tidak ditelusuri, ia akan terus menjadi stigma." (foto tempo)
PRABOWO SUBIANTO DIANTARA TAWA PARA JENDERAL: SJAFRIE SJAMSOEDDIN, AGUM GUMELAR, YUNUS YOSFIAH. “Satu dan lain sebab, dengan tidak dituntaskannya pencarian kebenaran dari peristiwa di tahun 1998 itu, maka hingga kini, sejumlah jenderal masih selalu dilekati stigma, termasuk Jenderal Wiranto dan Letnan Jenderal Sjafrie Sjamsoeddin yang kini menjabat sebagai Wakil Menteri Pertahanan. Stigma pelanggaran HAM di Timor Timur pun masih selalu dilekatkan kepada Jenderal Wiranto dan sejumlah perwira lainnya yang pernah bertugas di sana saat daerah itu menjadi provinsi ke-27.
Hal yang sama juga terjadi pada sejumlah jenderal dalam berbagai peristiwa. Stigma itu bisa benar dasar faktanya, sebagaimana itu pun bisa tidak benar, atau setengah benar setengah tidak benar. Maka kebenaran sejati harus dicari, untuk mengambil suatu kesimpulan dan sikap yang adil. Selama kebenaran peristiwa tidak ditelusuri, ia akan terus menjadi stigma.” (foto tempo)

Di luar yang disebutkan Subagyo HS, di antara yang ‘diambil’ ada juga nama Deddy Hamdun. Kevin O’Rourke dalam bukunya Reformasi (2002), menyebut Deddy sebagai bos preman yang ‘bekerja’ untuk PPP dalam Pemilihan Umum Mei 1977. Ada pula nama Wiji Thukul, penyair dan aktivis buruh, yang menghilang sejak Agustus 1996. Joko Widodo mengaku bahwa ia kenal baik dengan Wiji Thukul, dan itu sebabnya antara lain mengapa ia berkeinginan ada penanganan terhadap yang disebut sebagai ‘penghilangan paksa’ itu. Prabowo Subianto mengakui adanya ‘pengambilan’ terhadap 6 orang sebagaimana yang dilaporkan PDI kepada Komnas HAM.

Menjadi pertanyaan yang perlu ditelusuri, apakah ‘penghilangan paksa’ lainnya –ada yang menyebut jumlah korban 13, sedang LBH menyebut angka 14– juga dilakukan tim dari Kopassus, karena ada informasi di sekitar tahun 1998, bahwa ‘pengambilan’ juga dilakukan berbagai instansi keamanan lainnya. Apa yang disebutkan terakhir ini jarang dipersoalkan, karena perhatian lebih tertuju kepada figur Prabowo Subianto. Masa-masa sebelum 1998, harus diakui, memang kuat ditandai dengan berbagai macam tindakan represif kalangan penguasa cq ABRI. Para jenderal maupun perwira lainnya dari masa itu –begitu pula tokoh sipil dari masa yang sama– kini bertebaran di dua kubu pasangan calon presiden dan wakil presiden yang berkompetisi menuju 9 Juli 2014. Kehadiran mereka di gelanggang politik saat ini memberi aroma menyengat yang khas masa represif dan masa intrik sebelum 1998.

TERKAIT Kerusuhan 13-15 Mei 1998, Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang diketuai Marzuki Darusman SH, merekomendasikan beberapa hal berikut. “Pemerintah perlu melakukan penyelidikan lanjutan terhadap sebab-sebab pokok dan pelaku utama peristiwa Kerusuhan 13-15 Mei 1998, dan kemudian menyusun serta mengumumkan buku putih mengenai peranan dan tanggung jawab serta keterkaitan satu sama lain dari semua pihak yang bertalian dengan kerusuhan tersebut. Untuk itu, Pemerintah perlu melakukan penyelidikan terhadap pertemuan di Makostrad pada tanggal 14 Mei 1998 guna mengetahui dan mengungkap serta memastikan peranan Letnan Jenderal Prabowo dan pihak-pihak lainnya, dalam seluruh proses yang menimbulkan terjadinya kerusuhan.” Dalam pertemuan 14 Mei itu tercatat kehadiran beberapa tokoh terkemuka, seperti Adnan Buyung Nasution SH, Fahmi Idris dan Setiawan Djody.

TGPF juga merekomendasikan “Pemerintah perlu sesegera mungkin menindaklanjuti kasus-kasus yang diperkirakan terkait dengan rangkaian tindakan kekerasan yang memuncak pada kerusuhan 13-15 Mei 1998 yang dapat diungkap secara yuridis baik terhadap warga sipil maupun militer yang terlibat dengan seadil-adilnya, guna menegakkan wibawa hukum, termasuk mempercepat proses yudisial yang sedang berjalan. Dalam kerangka ini Pangkoops Jaya Mayor Jenderal TNI Sjafrie Sjamsoeddin perlu dimintakan pertanggungjawabannya. Dalam kasus penculikan, Letnan Jenderal Prabowo dan semua pihak yang terlibat harus dibawa ke Pengadilan Militer. Demikian juga dalam kasus Trisakti, perlu dilakukan berbagai tindakan lanjutan yang sungguh-sungguh untuk mengungkapkan peristiwa penembakan mahasiswa.”

TGPF berkeyakinan, bahwa peristiwa tanggal 13-15 Mei 1998 tidak dapat dilepaskan dari konteks keadaan dan dinamika sosial-politik Indonesia waktu itu. Dari temuan lapangan, TGPF juga berkesimpulan tentang begitu banyaknya keterlibatan berbagai pihak dalam peristiwa kerusuhan, mulai dari preman lokal hingga kelompok-kelompok di dalam ABRI. Kelompok-kelompok dalam ABRI tersebut mendapat keuntungan bukan saja dari upaya secara sengaja menumpangi kerusuhan, melainkan juga dengan cara tidak melakukan tindakan apa-apa. “Dalam konteks inilah, ABRI dianggap bersalah karena ‘tidak cukup bertindak untuk mencegah terjadinya kerusuhan, padahal memiliki sarana dan tanggung jawab untuk itu.”

Tentu, mau tak mau, ini terarah kepada pimpinan ABRI kala itu. Di tingkat nasional Panglima ABRI Jenderal Wiranto dan di tingkat ibukota Jakarta Panglima Kodam Jaya Mayor Jenderal Sjafrie Sjamsoeddin. Sintong Pandjaitan menuturkan, kala itu seolah-olah ada rivalitas antara Wiranto dengan Prabowo. Kalau Wiranto mengatakan bahwa pada masa pemerintahan Soeharto tidak ada persaingan antara Wiranto dan Prabowo, karena ia seorang jenderal berbintang empat, menurut Sintong, itu boleh saja. Dalam kasus kerusuhan Peristiwa Mei 1998, terdapat silang pendapat antara Prabowo dan Wiranto. Prabowo berkata, “Kenapa Wiranto ke Jawa Timur?” Menurut Sintong dalam aturan tentara, sebenarnya Prabowo, Panglima Kostrad, tidak boleh menilai secara terbuka terhadap Wiranto, Panglima ABRI yang menjadi atasannya.

Bisa dicatat dan harus diakui, meroketnya karir militer Prabowo Subianto yang kebetulan adalah menantu Jenderal Soeharto sang penguasa puncak sebelum 1998, memang menimbulkan banyak persoalan, termasuk ‘kecemburuan’ di kalangan perwira. Berbagai pengungkapan masa lampau Prabowo, termasuk pembocoran dokumen kesimpulan badan ad-hoc Dewan Kehormatan Perwira mungkin tak bisa dilepaskan begitu saja dari rivalitas dan sentimen masa lampau itu. Prabowo Subianto adalah satu-satunya perwira tinggi yang diajukan ke DKP di tahun 1998, padahal ada begitu banyaknya perwira tinggi lainnya yang pantas untuk juga diajukan ke DKP kala itu.

TGPF telah meminta keterangan/kesaksian sepuluh pejabat terkait yang bertanggung jawab pada saat kerusuhan 13-15 Mei 1998 di Jakarta. Mereka adalah Pangdam Jaya Mayjen TNI Sjafrie Sjamsoeddin, Kapolda Metro Jaya Mayjen Pol Hamami Nata, Gubernur DKI Mayjen TNI Sutyoso, Ka BIA Mayjen TNI Zacky Anwar Makarim, Dankormar Mayjen (Mar) Soeharto, Pangkostrad Letjen TNI Prabowo Subianto, Fahmi Idris, Kastaf Kodam Jaya Brigjen TNI Sudi Silalahi, Asops Kodam Jaya Kol Inf Tri Tamtomo dan KASAD Jenderal TNI Subagyo HS. Panglima ABRI Jenderal Wiranto, tak bersedia memenuhi panggilan untuk memberi keterangan. Penolakan Jenderal Wiranto ini jelas menimbulkan tanda tanya, baik tentang diri dan keterlibatannya dalam pertarungan politik saat itu maupun tentang kebenaran sesungguhnya tentang peristiwa sekitar 1998 tersebut.

            Seluruh bahan dan dokumentasi serta Laporan Akhir TGPF telah diserahterimakan kepada pemerintah melalui Menteri Kehakiman. Dengan demikian, sejak penyerahan itu, segala hak, kewajiban dan tanggung jawab TGPF berakhir. Tetapi bisa dicatat bahwa pemerintah tidak pernah menindaklanjuti temuan TGPF itu secara pantas.

            Stigma dan Komisi Kebenaran. Satu dan lain sebab, dengan tidak dituntaskannya pencarian kebenaran dari peristiwa di tahun 1998 itu, maka hingga kini, sejumlah jenderal masih selalu dilekati stigma, termasuk Jenderal Wiranto dan Letnan Jenderal Sjafrie Sjamsoeddin yang kini menjabat sebagai Wakil Menteri Pertahanan. Stigma pelanggaran HAM di Timor Timur pun masih selalu dilekatkan kepada Jenderal Wiranto dan sejumlah perwira lainnya yang pernah bertugas di sana saat daerah itu menjadi provinsi ke-27.

Hal yang sama juga terjadi pada sejumlah jenderal dalam berbagai peristiwa. Stigma itu bisa benar dasar faktanya, sebagaimana itu pun bisa tidak benar, atau setengah benar setengah tidak benar. Maka kebenaran sejati harus dicari, untuk mengambil suatu kesimpulan dan sikap yang adil. Selama kebenaran peristiwa tidak ditelusuri, ia akan terus menjadi stigma. Jenderal Hendro Priyono misalnya, selalu dikaitkan dengan Peristiwa Talangsari Lampung. Jenderal Sutyoso dan sedikit banyaknya juga Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono, selalu dilekatkan dengan Peristiwa Penyerbuan Kantor DPP PDIP 27 Juli 1996. Begitu pula dalam Peristiwa Semanggi I dan II, nama sejumlah petinggi militer dan polisi maupun tokoh-tokoh sipil selalu dikaitkan, sampai kepada kasus pembunuhan aktivis HAM, Munir.

Tidak tuntasnya pencarian kebenaran peristiwa, akan bersisi dua. Di satu pihak akan menciptakan stigmatisasi berkepanjangan meskipun misalnya yang dilekati stigma itu tidak sepenuhnya bersalah. Dan, pada sisi lain sebaliknya bisa berarti tertutupinya sejumlah kesalahan dalam suatu peristiwa –bila itu memang benar terjadi. Dalam sudut pandang dan catatan sejarah, ‘kebenaran’ pun akan tiba ke khalayak turun temurun dalam dua wajah sehingga membingungkan dan mungkin menyebabkan pembelahan berkepanjangan dalam masyarakat. Peristiwa Tanjung Priok 12 September 1984 bisa menjadi contoh. Apakah peristiwa tersebut bisa dikategorikan sebagai pelanggaran HAM dengan melihat keras dan tegasnya tindakan aparat keamanan terhadap kelompok sipil? Tetapi sebaliknya, bisa dipertanyakan, pilihan apa yang bisa diambil aparat keamanan menghadapi penyerbuan bersenjata ke markas Kodim yang dilakukan sekelompok besar massa bersenjata?

Bila diurut ke belakang, bangsa ini bersama-sama juga tak berhasil menemukan kebenaran sejati terhadap sejumlah peristiwa besar lainnya, seperti Peristiwa 30 September 1965 dengan segala eksesnya. Hingga kini, peristiwa itu masih selalu menjadi bahan polemik dan pertengkaran, apalagi saat dimunculkannya berbagai versi artifisial yang menggelapkan beberapa bagian kebenaran sejarah. Baik dalam konteks mekanisme defensif dalam rangka membela diri maupun dalam lingkup motivasi balas dendam politik. Hal yang sama untuk Pemberontakan GAM yang menginginkan Aceh Merdeka terlepas dari NKRI. Juga untuk berbagai peristiwa SARA –benturan antar suku, rasialisme, perusakan rumah ibadah– di sejumlah daerah, seperti kasus-kasus tergolong baru berupa penyerangan kelompok Ahmadiyah maupun Syiah.

DALAM suatu debat televisi, tim hukum kelompok Prabowo-Hatta Rajasa, melalui Prof Dr Muladi mengetengahkan gagasan pembentukan suatu Komisi Kebenaran untuk menuntaskan masalah-masalah pelanggaran HAM yang pernah terjadi. Sebaliknya, meskipun tidak menyebutkan istilah Komisi Kebenaran, tak kurang dari Jokowi sendiri yang menjanjikan penanganan serius masalah pelanggaran HAM masa lampau di Indonesia. Pada waktunya, publik harus menagih janji-janji ini, sehingga suatu Komisi Kebenaran mewujud –meski Mahkamah Konstitusi pernah mematahkan pembentukan suatu komisi semacam ini. Selain menagih, bila Komisi Kebenaran terbentuk, katakanlah setelah terpilihnya presiden baru, siapa pun yang terpilih, publik harus mengawal agar Komisi Kebenaran yang terdiri dari unsur-unsur terpercaya di masyarakat, akademisi dan kalangan pemerintah, bekerja sungguh-sungguh menemukan kebenaran sebagai jalan menuju keadilan. Peristiwa apa pun, dan siapa pun yang pernah bermasalah –entah ia sedang berada dalam lingkaran kekuasaan pemerintahan dan kekuasaan sosial maupun di luar itu– harus menjadi sasaran penelusuran kebenaran.  

Hasil penelusuran tidak harus selalu berujung kepada peradilan. Karena, ia bisa juga dilakukan untuk kepentingan rekonsiliasi (seperti di Afrika Selatan), permintaan maaf  terbuka dari pelaku, atau paling tidak menghasilkan suatu dokumen negara tentang kebenaran suatu peristiwa sebagai pegangan bersama (seperti di Jerman setelah penyatuan Jerman Barat dan Jerman Timur). Dan, tak kalah pentingnya, menghindarkan dan mengakhiri penggelapan sejarah yang menyesatkan hati nurani bangsa. (socio-politica.com).

Persoalan Stigma Prabowo Subianto dan Para Jenderal Lainnya (1)

TIDAK meleset dari yang diperkirakan, pasangan Jokowi-JK menggunakan momentum Debat Calon Presiden di Balai Sarbini Jakarta, Senin 9 Juni malam, untuk mengungkit stigma pelanggaran HAM Letnan Jenderal Prabowo Subianto. Isu pelanggaran HAM di masa-masa menjelang dan sekitar akhir masa kekuasaan Soeharto, merupakan suatu ‘beban sejarah’ masa lampau sang jenderal purnawirawan. Ini suatu situasi menarik, karena Muhammad Jusuf Kalla yang menjadi penyampai dari kubu Jokowi-JK itu, besar atau kecil sebenarnya juga punya ‘beban sejarah’ masa lampau yang membutuhkan  penjelasan.

            Isu pelanggaran HAM yang selalu dilekatkan sebagai stigma selama bertahun-tahun kepada Letnan Jenderal (Purn) Prabowo Subianto adalah kasus penghilangan paksa sejumlah aktivis di masa-masa akhir kekuasaan mertuanya, Jenderal Soeharto. Berikutnya, dugaan keterlibatan Prabowo dalam kerusuhan Mei 1998. (Baca Mengejar ‘Mandat Langit’, Kisah Prabowo Subianto, socio-politica.com, April 26, 2014). Ingatan terhadap peristiwa-peristiwa yang dikaitkan dengan Prabowo masih segar karena selalu dipersegar oleh berbagai pihak. Teristimewa untuk saat ini, digunakan sebagai amunisi dalam mempengaruhi opini dan pilihan rakyat dalam kontes Pemilihan Presiden 2014.

JENDERAL SUBAGYO HS DAN LETNAN JENDERAL PRABOWO SUBIANTO, BARET MERAH. "Tampaknya, selama kelompok-kelompok militer tertentu masih turut serta atau masih berpengaruh dalam kekuasaan, penuntasan masalah-masalah HAM di Indonesia takkan terjadi. Terdapat sejumlah benang merah keterlibatan tokoh-tokoh yang termasuk tingkat atas dalam gimnastik kekuasaan dengan ekses pelanggaran HAM yang masih perlu ditutupi. Sesekali memang perlu ada yang dikorbankan atau setengah dikorbankan.  Menjadi pertanyaan, apakah Prabowo Subianto termasuk dalam kategori dikorbankan untuk menutupi dosa yang lebih di atas? Apalagi, ia memenuhi syarat untuk itu...." (foto download)
JENDERAL SUBAGYO HS DAN LETNAN JENDERAL PRABOWO SUBIANTO, BARET MERAH. “Tampaknya, selama kelompok-kelompok militer tertentu masih turut serta atau masih berpengaruh dalam kekuasaan, penuntasan masalah-masalah HAM di Indonesia takkan terjadi. Terdapat sejumlah benang merah keterlibatan tokoh-tokoh yang termasuk tingkat atas dalam gimnastik kekuasaan dengan ekses pelanggaran HAM yang masih perlu ditutupi. Sesekali memang perlu ada yang dikorbankan atau setengah dikorbankan.
Menjadi pertanyaan, apakah Prabowo Subianto termasuk dalam kategori dikorbankan untuk menutupi dosa yang lebih di atas? Apalagi, ia memenuhi syarat untuk itu….” (foto download)

Kehilangan hak moral. Jusuf Kalla lebih beruntung, ‘beban sejarah’ keterlibatannya sebagai penganjur Peristiwa 1 Juni 1967 di Makassar (perusakan Gereja Katedral dan sejumlah gereja lainnya) serta penyerbuan rumah tokoh-tokoh PNI (bukan kelompok Ali-Surachman) 10 November 1965 maupun beberapa peristiwa rasial terhadap etnis Tionghoa, nyaris tak disentuh dan dipersoalkan. (Baca Mengejar ‘Mandat Langit’: ‘Beban Sejarah’ Jusuf Kalla, socio-politica.com, May 24, 2014).

Dalam debat 9 Juni malam tersebut, kedua kubu menyatakan akan memperjuangkan HAM dengan persepsi dan versinya masing-masing. Begitu pula dengan para tim suksesnya dalam berbagai kesempatan berbeda. Tapi, bagaimana pun hingga sejauh ini tak ada yang betul-betul jelas dan meyakinkan, untuk tidak menyebutnya memiliki pemahaman yang dangkal saja tentang apa dan bagaimana HAM itu dan implementasinya dalam kehidupan bernegara. Kedua kubu kebanyakan hanya memiliki tukang kepruk yang dengan gagah berani maju ke garis depan medan pertempuran opini, termasuk dalam masalah penegakan HAM. Selain itu, keseriusan mereka mengenai penanganan HAM masa lampau maupun masa depan juga masih tanda tanya.

Untuk keperluan pembentukan opini dan kampanye terlihat bahwa kubu Jokowi-JK lah yang paling banyak mempersoalkan masalah HAM. Dengan demikian, dalam konteks isu HAM barangkali sepak terjang mereka lah yang lebih perlu dianalisis. Terlihat dengan jelas, betapa isu HAM yang mereka lontarkan spesifik sangat tertuju kepada figur Prabowo Subianto. Nama lain di luar itu tidak mereka butuhkan. Katakanlah ini semacam sikap ‘pilih-pilih tebu’. Artinya, peristiwanya sendiri tidak penting dalam kaitan keperluan ‘pertarungan’ politik melalui kontes pemilihan presiden. Padahal, peristiwa-peristiwa di mana nama Prabowo Subianto dikaitkan, juga melibatkan sejumlah nama lain, baik sebagai pelaku maupun sebagai atasan yang harus mengambil keputusan tentang Letnan Jenderal Prabowo Subianto. Sebagian di antara tokoh yang bisa dipersoalkan tersebut, justru kini berada di barisan pendukung Jokowi-JK.

Sikap pilih-pilih tebu yang diperlihatkan oleh kubu Jokowi-JK –dengan tulang punggung utama PDIP dan Partai Nasdem dengan PKB sebagai embel-embel– bisa mengurangi nilai kepercayaan terhadap kesungguhan mereka dalam penegakan HAM. Kalaupun Jokowi sempat menjanjikan akan menangani kasus-kasus pelanggaran HAM, mungkin itu akan menjadi semacam janji saja yang belum tentu akan dipenuhi dengan sungguh-sungguh nanti setelah berkuasa. Bukankah tokoh yang mereka ‘serang’ dengan isu pelanggaran HAM saat ini, Prabowo Subianto, pernah lulus ‘tes’ saat menjadi Calon Wakil Presiden mendampingi Megawati Soekarnoputeri dalam Pemilihan Umum Presiden 2009 yang lalu? Sebenarnya hak moral mereka untuk menggunakan senjata isu pelanggaran HAM terhadap tokoh yang pernah mendampingi Ketua Umum mereka dalam gelanggang pemilihan presiden, telah hilang.

Berturut-turut sudah ada empat masa kepresidenan pasca Soeharto berlalu–sejak BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputeri dan Susilo Bambang Yudhoyono– tanpa fakta penuntasan masalah pelanggaran HAM masa lampau.

Tampaknya, selama kelompok-kelompok militer tertentu masih turut serta atau masih berpengaruh dalam kekuasaan, penuntasan masalah-masalah HAM di Indonesia takkan terjadi. Terdapat sejumlah benang merah keterlibatan tokoh-tokoh yang termasuk tingkat atas dalam gimnastik kekuasaan dengan ekses pelanggaran HAM yang masih perlu ditutupi. Sesekali memang perlu ada yang dikorbankan atau setengah dikorbankan.

Menjadi pertanyaan, apakah Prabowo Subianto termasuk dalam kategori dikorbankan untuk menutupi dosa yang lebih di atas? Apalagi, ia memenuhi syarat untuk itu: Menantu dari Presiden Soeharto yang dijatuhkan dalam suatu skenario setengah konspirasi, dan sejumlah bawahannya di Kopassus terlibat dalam penculikan aktivis. Selain itu, dalam momen peralihan sempat diperkirakan akan melakukan pengambilalihan kekuasaan dari Presiden pengganti Soeharto, sehingga perlu disingkirkan meskipun tak sampai dieliminasi total.

Soal penculikan dan Kerusuhan Mei 1998. ATASAN Prabowo Subianto saat ia ini diajukan ke sidang Dewan Kehormatan Perwira (DKP) adalah Menteri Pertahanan Keamanan/Panglima ABRI, Jenderal Wiranto. Dalam buku biografi Letnan Jenderal Sintong Pandjaitan, disebutkan Prabowo diajukan ke DKP karena operasi penculikan sejumlah aktivis oleh Tim Mawar dari korps baret merah Kopassus pada tahun 1998. Saat peristiwa, Letnan Jenderal Prabowo menjabat sebagai Danjen Kopassus. Dua atasannya adalah KSAD Jenderal Wiranto dan Panglima ABRI Jenderal Feisal Tandjung.

DKP yang menyidangkan Prabowo, diketuai oleh KSAD Jenderal Subagyo HS dengan wakilnya Kepala Staf Umum ABRI Letnan Jenderal Fachrul Razi. Anggotanya, antara lain Kassospol ABRI Letnan Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono. Letnan Jenderal Prabowo sebagai Danjen Kopassus saat Tim Mawar melakukan ‘penculikan’, dipersalahkan karena tidak mampu mengetahui segala kegiatan bawahannya yang dilakukan dalam wewenang komandonya. Setelah bersidang, DKP mengajukan suatu rekomendasi mengenai Prabowo. Berdasarkan rekomendasi, yang detail isinya tak pernah diumumkan secara resmi, Prabowo Subianto dinyatakan diberhentikan dengan hormat dari jabatan militernya, dengan status pensiun, disertai ucapan terima kasih terhadap segala jasa-jasanya dalam masa pengabdian bagi bangsa dan negara.

Dalam pada itu, sebelumnya, 11 anggota Tim Mawar, Mayor Bambang Kristiono dan kawan-kawan, dijatuhi hukuman penjara oleh Mahkamah Militer dan diberhentikan dari dinas militer. Selama persidangan, tak satu pun di antara para terdakwa yang terdiri dari perwira dan bintara, mengaku mendapat perintah dari Letnan Jenderal Prabowo Subianto, melainkan hanya dari Mayor Bambang Kristiono. Kala itu ada tuduhan bahwa sidang direkayasa untuk melindungi Prabowo. Tapi ini hanya sebatas tuduhan spekulatif yang tak pernah mendapat tindak lanjut untuk mencari apakah benar atau tidak benar.

Perlu meminjam lebih lanjut uraian dalam buku Sintong mengenai Tim Mawar ini. Tim Mawar terdiri dari anggota Detasemen 81/Antiteror. Tugasnya, mencari dan mengungkap adanya ancaman terhadap stabilitas nasional. Tim Mawar bergerak secara rahasia dan dengan menggunakan metode hitam atau undercover. “Peristiwa peledakan di rumah susun di Tanahtinggi telah mendorong Mayor Bambang Kristiono untuk meningkatkan kerja timnya dalam mengumpulkan data intelijen tentang siapa pelakuya. Karena kekhawatiran terhadap peningkatan kegiatan aktivis kelompok radikal, kemudian dilakukan penangkapan terhadap mereka.”

Menurut Sintong, jika ada situasi yang dianggap mengancam keamanan negara, seorang anggota militer bisa melakukan inisiatif penindakan. Bila dalam situasi mendesak “sehingga ia belum sempat melapor, ia harus melapor pada kesempatan pertama. Setelah tugas itu dilaporkan, berarti pimpinanlah yang mengambil alih tanggung jawab.” Kegiatan Tim Mawar ini, diakui Prabowo dalam sidang DKP, tidak pernah dilaporkan kepada atasan, baik KSAD maupun Panglima ABRI.

Soal penculikan, PDIP pernah menyampaikan laporan kepada Komnas HAM yang kala itu diketuai Marzuki Darusman SH, dengan menyebut 6 nama korban penculikan. Dengan adanya laporan itu, Komnas HAM bergerak melakukan pencarian. Enam korban yang dilaporkan PDIP itu, semuanya berhasil ditemukan oleh Komnas HAM, antara lain di Sumatera Selatan. Semuanya dalam keadaan hidup. Kini, mereka, Desmond Mahesa dan kawan-kawan bergabung di Gerindra. Belakangan, hingga beberapa tahun kemudian, muncul lagi nama-nama baru yang beredar di masyarakat hingga akhirnya menjadi 13 nama.

(Berlanjut ke Bagian 2socio-politica.com)

Cerita 1998 Jenderal Wiranto

PERISTIWA Mei 1998 sudah berlalu 15 tahun lebih. Namun ingatan tentang peristiwa itu masih cukup melekat dalam memori banyak orang. Selain itu, tersedia banyak catatan mengenai lika-liku jalannya ‘permainan’ di panggung politik kekuasaan maupun beberapa peristiwa belakang layar kala itu. Jadi, bilamana ada narasi yang dianggap berbelok, kemungkinan besar akan ada penyampaian koreksi dari mereka yang menjadi pelaku sejarah atau dari mereka yang mencatat peristiwa tahun 1998 tersebut.

            Ketika menulis tentang Kerusuhan Mei 1998 dalam konteks perbandingan dengan apa yang dialami Mesir saat ini, di Harian Kompas (1/8), Jenderal Purnawirawan Wiranto –yang saat peristiwa menjabat sebagai Menteri Hankam/Panglima ABRI– mendapat koreksi pelurusan. Aktivis mahasiswa 1998, Adian Napitupulu yang adalah Sekjen Perhimpunan Nasional  Aktivis 1998, menganggap Wiranto memberi semacam kesimpulan sesat yang jelas menuding mahasiswa sebagai pemicu kerusuhan dan penjarahan pada Mei 1998. “Padahal, fakta-fakta lapangan serta investigasi Komnas HAM menunjukkan rusuh Mei 1998 terjadi seperti dikomandoi, sistematis, terorganisasi, dilakukan orang-orang yang terampil dan kebal hukum.”

TRUK MILITER DALAM KERUSUHAN MEI 1998. "Kesimpulan ini merupakan penegasan bahwa terdapat keterlibatan banyak pihak, mulai dari preman lokal, organisasi politik dan massa, hingga adanya keterlibatan sejumlah anggota dan unsur dalam tubuh ABRI yang di luar kendali dalam kerusuhan ini." (foto download)
TRUK MILITER DALAM KERUSUHAN MEI 1998. “Kesimpulan ini merupakan penegasan bahwa terdapat keterlibatan banyak pihak, mulai dari preman lokal, organisasi politik dan massa, hingga adanya keterlibatan sejumlah anggota dan unsur dalam tubuh ABRI yang di luar kendali dalam kerusuhan ini.” (foto download)

            Situasi Mesir saat ini –setelah kejatuhan Presiden Mursi– menurut Wiranto pernah dialami Indonesia. “Saat itu terjadi demonstrasi besar-besaran di pelbagai kota yang menuntut mundur Presiden Soeharto. Konsentrasi ratusan ribu orang mengepung Ibu Kota. Kejadian bermula tanggal 13 Mei 1998, tatkala mahasiswa Universitas Trisakti Jakarta tengah berkabung lantaran empat rekannya meninggal tertembak apara kepolisian saat berunjuk rasa pada 12 Mei 1998.”

            “Sebagian mahasiswa ikut mengantarkan jenazah ke pemakaman. Iring-iringan kemudian menimbulkan konsentrasi massa di beberapa lokasi. Tanpa ada yang mengomando, konsentrasi massa pun bergerak. Situasi ini diikuti kelompok kerumunan lain sehingga terjadilah pergerakan massa di banyak lokasi. Dimulai dari kawasan Jalan Kiyai Tapa, Grogol, lalu Jalan Daan Mogot dan Jalan S. Parman, makin lama, kerumunan orang meluas. Mereka tak hanya bergerak, tetapi juga merusak dan menjarah.” Adian Napitupulu dalam tanggapannya, 3 Agustus, menyanggah Wiranto. “Peristiwa di depan Universitas Trisakti sehari setelah penembakan mahasiswa Trisakti jadi bukti tidak ada relevansi antara aksi mahasiswa tanggal 13 Mei 1998 dan kerusuhan Mei 1998. Ribuan mahasiswa dari beberapa kampus terkonsentrasi di Trisakti. Saat itu massa tidak bisa keluar dari Trisakti karena penjagaan sangat ketat. Kelompok massa berpakaian preman di luar kampus Trisakti justru membakar truk sampah. Anehnya, aparat tidak berusaha mencegah pembakaran, tetapi justru menembaki mahasiswa yang terkonsentrasi di lapangan parkir Trisakti dengan peluru karet, peluru hampa, dan gas air mata.”

Keesokan harinya, 14 Mei 1998, menurut Wiranto “kerusuhan merembet ke wilayah sekeliling Jakarta. Perusakan, penjarahan, dan pembakaran juga terjadi di Depok, Tangerang, dan Bekasi. Selaku Panglima ABRI saat itu, saya berinisiatif menggelar rapar luar biasa yang melibatkan unsur polisi, TNI, Panglima Komando Utama ABRI, dan Gubernur DKI.”

“Jika dipelajari,” kata Adian Napitupulu tentang menyebarnya kerusuhan 14 Mei itu, “ada beberapa kesamaan pola dan sebaran kerusuhan –seperti di Jakarta, Solo, Medan, dan Palembang: Keserentakan, kecepatan, dan ketrampilan para perusuh, bisa disimpulkan bahwa pelaku kerusuhan orang-orang yang terlatih dan kebal hukum. Hal itu karena hingga hari ini tidak ada yang ditangkap lalu disidangkan. Semua pelaku kerusuhan, penjarahan, hingga hari ini masih bebas berkeliaran di sekitar kita.” Bahkan, lebih dari yang dikuatirkan Adian, sejumlah ‘pelaku’ tingkat tinggi, antara lain dengan kategori auctor intellectualis maupun pelaku konspirasi dalam rangkaian peristiwa tersebut, kini justru ada dalam beberapa posisi penting kekuasaan negara ataupun kekuasaan politik.

Pergumulan elite politik. Sementara itu Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk Komnas HAM untuk Peristiwa Mei 1998, menyimpulkan sebab pokok peristiwa Kerusuhan 13-15 Mei 1998 adalah terjadinya persilangan ganda antara dua proses pokok, yakni proses pergumulan elite politik yang bertalian dengan masalah kelangsungan kekuasaan kepemimpinan nasional dan proses pemburukan ekonomi moneter yang cepat. Di dalam proses pergumulan elite politik itu, ada pemeran-pemeran kunci di lapangan pada waktu kerusuhan. Peristiwa kerusuhan itu adalah puncak dari rentetan kekerasan yang terjadi dalam berbagai peristiwa sebelumnya, seperti penculikan yang sesungguhnya sudah berlangsung lama dalam wujud kegiatan intelijen yang tidak dapat diawasi secara efektif. Disusul kekerasan terhadap mahasiswa Trisakti. Penembakan mahasiswa di Trisakti, dianggap TGPF yang diketuai Marzuki Darusman SH, sebagai penciptaan faktor martir untuk menjadi triggering factor.

Dari fakta di lapangan, menurut TGPF, terdapat tiga pola kerusuhan. Paling dominan adalah kerusuhan yang terjadi karena kesengajaan. Unsur kesengajaan lebih besar, dengan kondisi objektif yang sudah tercipta. Dalam pola ini diduga kerusuhan diciptakan sebagai bagian dari pertarungan politik di tingkat elite. Sayangnya banyak mata rantai yang dihilangkan, baik bukti-bukti ataupun informasi yang merujuk pada hubungan secara jelas antara pertarungan antara elite dengan aras massa. Dalam testimoni di depan TGPF banyak jenderal yang memberi jawaban berbelit-belit dan ngalor ngidul. Tampak sengaja. Pangab Jenderal Wiranto sendiri kala itu menolak untuk dimintai keterangan/testimoni.

“Dari temuan lapangan, banyak pihak yang berperan di semua tingkat, baik sebagai massa aktif maupun provokator untuk mendapatkan keuntungan pribadi maupun kelompok atau golongan, atas terjadinya kerusuhan. Kesimpulan ini merupakan penegasan bahwa terdapat keterlibatan banyak pihak, mulai dari preman lokal, organisasi politik dan massa, hingga adanya keterlibatan sejumlah anggota dan unsur dalam tubuh ABRI yang di luar kendali dalam kerusuhan ini. Mereka mendapat keuntungan bukan saja dari upaya secara sengaja untuk menumpangi kerusuhan, melainkan juga dengan cara tidak melakukan tindakan apa-apa. Dalam konteks inilah, ABRI tidak cukup bertindak untuk mencegah terjadinya kerusuhan, padahal memiliki tanggung jawab untuk itu.” TGPF menyoroti beberapa nama dalam kaitan kerusuhan Mei 1998 ini, antara lain Letnan Jenderal Prabowo Subianto (kini terjun dalam kepartaian) dan Mayor Jenderal Sjafrie Sjamsuddin (kini Wakil Menteri Pertahanan), selain Jenderal Wiranto.

 Jenderal Wiranto, dalam tulisannya, mengaku langsung meminta Pangdam Jaya dan Kapolda Metro Jaya untuk mengomando dan mengendalikan langsung di lapangan. “Pasukan dari Jawa Timur, Kostrad, dan Marinir ikut saya perintahkan menjaga keamanan Ibu Kota. Hanya dalam tempo tiga hari sejak kerusuhan meletus, situasi dapat dikuasai aparat keamanan. Pada tanggal 15 Mei 1998, kondisi Ibu Kota dan sekitarnya berangsur pulih.”

            Wiranto mengatakan, “Saya tak bermaksud memamerkan keberhasilan meredam situasi huru-hara di Jakarta pada saat itu. Sama sekali tak benar jika TNI membiarkan kondisi rusuh dan penjarahan saat itu. Jika memang TNI melakukan pembiaran, mustahil kerusuhan itu bisa terkendali dalam tiga hari.”

            Penilaian Wiranto atas diri dan keberhasilannya dalam menghadapi Peristiwa Mei 1998 ini, berbeda dengan opini publik pada umumnya. Dalam buku biografi Letnan Jenderal Sintong Pandjaitan, “Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando” (Hendro Subroto, 2009), diceritakan bahwa saat kerusuhan pecah di Jakarta, Sintong berusaha menghubungi sejumlah jenderal teras. Tetapi, mengalami kesulitan, karena hampir semua perwira tinggi teras ABRI sedang tidak berada di Jakarta.

Catatan menyebutkan, bahwa pada tanggal  14 Mei 1998 Menteri Hankam/Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto tetap berangkat ke Malang Jawa Timur untuk bertindak sebagai inspektur upacara dalam upacara serah terima tanggung jawab PPRC (Pasukan Pemukul Reaksi Cepat) ABRI dari Divisi I kepada Divisi II Kostrad. Timbul tanda tanya besar dalam diri Sintong Pandjaitan. Sangat tidak masuk akal, mengapa sebagian besar pimpinan ABRI pada waktu itu berada di Malang? “Kalau mereka tahu akan terjadi kerusuhan yang begitu dahsjat tetapi memutuskan tetap pergi ke Malang, maka mereka membuat kesalahan. Tetapi kalau mereka tidak tahu akan terjadi kerusuhan, mereka lebih salah lagi. Mengapa mereka sampai tidak tahu? Kerusuhan yang terjadi di Jakarta bukan hanya merupakan masalah Kodam Jaya, tetapi sudah menjadi masalah nasional.”  

            Pada bagian lain tulisannya, Jenderal Wiranto menyebutkan satu perbedaan lain antara militer Mesir dengan militer Indonesia. Di Mesir meski tanpa mandat, militer mengambil alih kekuasaan. Di Indonesia, militer memilih tetap menjaga kelangsungan kehidupan yang demokratis. “Pada tanggal 18 Mei1998, tiga hari sebelum mengundurkan diri, Presiden Soeharto menandatangani Instruksi Presiden Nomor 16 Tahun 1998 yang mengangkat Menhankam/Panglima ABRI sebagai Panglima Komando Operasi Kewaspadaan dan Keselamatan Nasional.” Inti dari Inpres itu, menurut pemahaman Wiranto, adalah memberi kewenangan kepada Panglima ABRI menentukan kebijakan nasional menghadapi krisis, mengambil langkah langkah secepatnya untuk mencegah dan meniadakan penyebab atau peristiwa yang mengakibatkan gangguan nasional, serta meminta para menteri dan pemimpin lembaga pusat serta daerah membantu tugas Panglima ABRI.

            SBY pun bertanya: Ambil alih? Lebih jauh Wiranto memaparkan, kondisi sangat kritis, Indonesia diambang perang saudara, salah melangkah bisa membawa kehancuran total. Wajarlah kalau Kassospol saat itu Letjen TNI Susilo Bambang Yudhoyono bertanya, “Apakah Panglima akan mengambil alih?” Menurut Wiranto, atas pertanyaan itu, dirinya menjawab, “Tidak! Mari kita antar proses pergantian pemerintahan secara konstitusional.” Wiranto lalu memberi catatan, “Bagi saya demokrasi adalah jalan terbaik. Tidak ada alasan untuk membangun otoritarianisme dan kediktatoran. Pengambilalihan kekuasaan atau kudeta bagi saya merupakan pengkhianatan terhadap demokrasi. Kudeta juga berarti mengabaikan hak rakyat dalam pemilu.”

            Bagi Letjen Sintong Pandjaitan, sikap Wiranto dalam kaitan Inpres 16 itu bagaimanapun adalah sikap yang tidak jelas. Mengapa ia tidak melaksanakan? “Wiranto boleh menolak perintah Panglima Tertinggi tetapi karena hal itu merupakan subordinasi, maka selambat-lambatnya ia harus mengundurkan diri dalam jangka waktu delapan hari.” Bahkan, menurut Sintong, setelah menolak perintah Panglima Tertinggi ABRI, pada saat itu juga Jenderal Wiranto harus langsung mengundurkan diri.

            Tetapi sebenarnya mengapa Jenderal Wiranto tidak melaksanakan Inpres 16? Melalui tulisan pada 1 Agustus 2013 itu, Wiranto memberikan alasan-alasannya –untuk kesekian kalinya. Tetapi, jawaban sang jenderal itu, terasa terlalu diidealisir. Karena menjadi pertanyaan, andaikan pun Wiranto ingin mengambil peran kekuasaan yang besar itu, apakah ia memiliki kemampuan kualitatif yang memadai untuk peran tersebut? Selain itu, situasi objektif yang ada per 1998, sangat tak mendukung bagi suatu peristiwa ulangan ala Super Semar. Tubuh ABRI dan kekuasaan kala itu sangat terfragmentasi. Ada begitu banyak kaum Brutus di sekeliling Soeharto. Dan pada waktu yang sama, banyak unsur yang menentukan di masyarakat pun sudah berada pada titik jenuh untuk bisa menerima sekali lagi kehadiran pelaksanaan kekuasaan ala militer. (socio-politica.com

‘Dark Justice’ Ketika Hukum Menghitam

KINI makin sulit mengenali dan mengetahui situasi penegakan hukum di Indonesia. Apakah ia tegak atau rebah? Agaknya sesekali ia masih bisa tegak, tetapi hampir sepanjang waktu ia rebah tak berdaya. Bila menggunakan metafora warna, hukum sedang membiru dan sebentar lagi menghitam. Dengan keadaan hukum seperti itu, kepercayaan terhadap penegakan hukum merosot dengan tajam. Orang lebih percaya kepada tindakan main hakim sendiri, atau lebih jauh, kepada dark justice. Mungkinkah penyerbuan LP Sleman untuk membunuh 4 preman pembunuh seorang bintara militer –lebih sederhana dari berbagai teori dan analisa yang bermunculan– tak lain hanya suatu eksekusi dalam suatu konteks dark justice? Dan, bukan sekedar sebagai hasil suatu solidaritas korps.

Setelah masa dwifungsi ABRI berlalu, dan aspek keamanan sepenuhnya berada di tangan intitusi kepolisian, bahkan kalangan tentara pun bisa merasa menjadi perorangan ataupun kelompok korban. Baik karena ketidakadilan hukum maupun ketidakadilan sosial yang bersumber pada cara buruk dalam menjalankan kekuasaan. Kaum sipil pelaku premanisme –yang bukan rahasia, punya backing kalangan penegak hukum dan atau kekuasaan– tak jarang menunjukkan keberanian mereka yang tanpa batas, menganiaya dan bahkan membunuh perorangan anggota militer yang mencoba mencari nafkah tambahan sebagai penjaga di tempat-tempat hiburan. Atau bisa juga karena sebab lainnya. Namun apapun sebabnya, terlihat betapa tinggi kini kadar perilaku premanisme sipil yang terorganisir di tengah masyarakat.

POLISI DAN WARGA BERDEBAT DI JALAN, 1973. "Terjadi pula suatu situasi kontradiktif: Polisi seringkali sangat galak terhadap masyarakat yang lemah namun begitu lembek kala menghadapi ormas yang berotot, apalagi terhadap kelompok militer bersenjata." (dokumentasi)
POLISI DAN WARGA BERDEBAT DI JALAN, 1973. “Terjadi pula suatu situasi kontradiktif: Polisi seringkali sangat galak terhadap masyarakat yang lemah namun begitu lembek kala menghadapi ormas yang berotot, apalagi terhadap kelompok militer bersenjata.” (dokumentasi)

Sersan Kepala Santoso, anggota Grup 2 Komando Pasukan Khusus AD –yang menurut Panglima Kodam Diponegoro Mayor Jenderal Hardiono Saroso telah menjadi anggota Detasemen Intel Diponegoro– adalah ‘korban’ terbaru. Para preman yang kebetulan berasal dari etnis tertentu mengeroyoknya hingga tewas di Hugo’s Cafe 19 Maret. Kelompok yang sama esok harinya membacok Sersan Satu Sriyono yang juga mantan Kopassus. Lalu, Sabtu 23 Maret dinihari, giliran keempat pengeroyok ini dieksekusi hingga tewas melalui penyerbuan dari 11 orang kelompok terlatih ke LP Sleman tempat mereka dititipkan polisi. Kelompok terlatih itu, belakangan dipastikan tak lain dari anggota Grup 2 Kopassus Karang Menjangan.

Setelah peristiwa penyerbuan, kasus ini sempat terbawa ke mana-mana melalui berbagai analisa dan spekulasi, mulai dari yang masuk akal sampai kepada yang terasa artifisial dan bahkan sesat atau saling menyesatkan. Perlakuan dan penerimaan masyarakat terhadap peristiwa, juga bermacam-macam. Di daerah asalnya sendiri, jenazah 4 korban penyerbuan, kendati lebih dari setengah terbukti sebagai pelaku pengeroyokan hingga tewas, disambut bagaikan martir. Gubernur pun ikut menyambut. Ternyata, di daerah asal, mereka adalah bagian dari keluarga yang baik-baik. Di perantauan, mereka menjadi berbeda. Fenomena perubahan seperti ini dialami banyak kaum perantau dari berbagai etnis, khususnya bila merteka berada di Pulau Jawa, terutama bila berada di ibukota negara, Jakarta yang keras.

Bukan rahasia, setiap etnis atau suku, memiliki pengorganisasian kelompok demi eksistensi. Namun tak sedikit di antaranya, untuk tidak mengatakan hampir semua, tergelincir untuk penggunaan yang salah, mengarah premanisme. Tapi jangankan berdasarkan etnis atau suku, pengelompokan negatif dengan mengatasnamakan agama pun dilakukan banyak orang. Pemanfaat utama jasa premanisme, tak lain adalah kalangan kekuasaan politik maupun kekuasaan karena uang. Sementara itu, masyarakat biasa menjadi korban utama premanisme itu.

Konspirasi politik kekuasaan dengan politik kekayaan berhasil memojokkan penegakan hukum, penegakan keadilan politik dan sosial, ke tempat terburuk sepanjang sejarah Indonesia merdeka. Ini bukan retorika atau penggambaran hiperbolis, tetapi suatu kenyataan datar yang telah menjadi pengalaman hidup sehari-hari.

            DI MASA quasi supremasi sipil saat ini, fungsi keamanan dan ketertiban sepenuhnya di tangan institusi kepolisian. Kepolisian menjadi bintang utama penegakan hukum yang berada di garis persentuhan terdepan dengan masyarakat. Namun sayang, seringkali ada saja anggota kepolisian yang tak menyentuh masyarakat dengan baik. Terhadap kalangan akar rumput, seperti yang seringkali diberitakan media, polisi sering bagaikan pisau pemotong daging yang hanya tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Tapi itu sesungguhnya bukan monopoli kepolisian saja, tetapi juga dilakukan kejaksaan dan para hakim. Maka, bermunculan kasus semacam peradilan biji kakao nenek Minah, kasus nenek Mariah, kasus nenek Artija atau kasus remaja yang dituduh pencuri sandal jepit oknum polisi. Bukan hanya satu atau dua kasus, tetapi ada beberapa dan berulang terus dari waktu ke waktu.

            Polisi yang mestinya paling dekat dan paling dicintai sekaligus disegani masyarakat, makin hari makin menjadi sasaran kebencian masyarakat. Kepercayaan rakyat terhadap institusi tersebut, makin terkikis. Meminjam penggambaran Neta S. Pane dari Indonesia Police Watch pada berbagai kesempatan, penyebabnya antara lain adalah meningkatnya sikap arogan, berkelakuan buruk di samping makin tidak terlatih dengan baik. Makin hilang kewibawaannya karena perilaku buruk sebagian anggotanya. Di tingkat atas, sejumlah jenderal melakukan korupsi puluhan bahkan ratusan milyar rupiah. Masyarakat sendiri dalam pada itu, yang pada hakekatnya mengalami ketidakadilan sosial ekonomi sekaligus ketidakadilan hukum dan politik, teronggok sebagai kerak kegagalan sosiologis di tangan pemerintah yang makin tidak trampil, untuk sebagian bertumbuh makin brutal. Terjadi pula suatu situasi kontradiktif: Polisi seringkali sangat galak terhadap masyarakat yang lemah namun begitu lembek kala menghadapi ormas yang berotot, apalagi terhadap kelompok militer bersenjata.

            Pekan lalu, 27 Maret, Kapolsek Dolok Pardamean di Simalungun Sumatera Utara, tewas dikeroyok saat menyergap penjudi togel. Di sini, polisi berhadapan dengan kebrutalan masyarakat yang makin terperosok dalam ketidakpastian hidup. Dua puluh hari sebelumnya, 7 Maret, Markas Polres Ogan Komering Ulu (OKU) di Baturaja diserbu dan dibakar sekelompok tentara. Penyerangan ini didasari anggapan bahwa Kepolisian tidak bersungguh-sungguh menangani kasus penembakan seorang anggota militer oleh seorang anggota kepolisian dua bulan sebelum penyerbuan. Di sini, polisi berhadapan dengan kesangsian terhadap integritasnya dalam menegakkan hukum, yang bercampuraduk dengan degradasi mental sebagian anggota militer yang merasa makin berkurang perannya dalam negara.

            Namun dari peristiwa-peristiwa tersebut di atas dan berbagai kejadian lainnya, meskipun mungkin masih samar-samar, mulai terlihat adanya benang merah yang tersembul, yang menyiratkan aroma dark justice. Dari peristiwa penyerbuan LP Sleman dan penyerbuan Mapolres OKU, ada tindakan mencari keadilan sendiri di luar jalur konvensional penegakan hukum. Para penyerbu menyiratkan ketidakpercayaan bahwa hukum akan ditegakkan dalam pembunuhan Sersan Kepala Santoso maupun dalam penembakan anggota militer oleh oknum polisi di OKU. Lalu mereka menjalankan dark justice –menegakkan sendiri keadilan diluar sistem– karena yakin keadilan sesungguhnya takkan ditegakkan.

Isyarat yang sama terlihat dalam beberapa kasus lainnya, semisal penyerangan-penyerangan fisik terhadap beberapa terdakwa pembunuhan oleh keluarga korban di lingkungan pengadilan. Ketidakpuasan keluarga korban, antara lain karena tuntutan jaksa yang dianggap ringan atau vonis hakim yang dianggap tak sepadan. Di tahun 70-an, ibunda seorang mahasiswi IKIP (kini, UPI) Bandung yang tewas ditabrak putera seorang pengusaha kaya yang sedang ikut rally mobil, mengejar sang hakim dengan gunting terhunus seusai menjatuhkan vonis super ringan. Putera sang pengusaha hanya dijatuhi hukuman percobaan. Mirip dengan vonis ringan yang dianugerahkan hakim kepada putera Menteri Perekonomian Hatta Rajasa beberapa waktu lalu. Hukuman percobaan, untuk tewasnya sejumlah korban tabrakan dinihari 1 Januari 2013.

KITA surut sejenak ke masa-masa awal kemerdekaan di tahun 1950-an. Sejumlah bekas pejuang kecewa melihat betapa sejumlah ex kolaborator dengan Belanda di masa revolusi fisik justru mendapat posisi dalam pemerintahan republik. Bukan hanya itu, para ex kolaborator itu bersama beberapa pejabat pemerintahan lainnya melakukan korupsi fasilitas lisensi perdagangan. Ada cerita belakang layar tentang gagasan dan beberapa percobaan menegakkan keadilan melalui mekanisme dark justice.

Apapun, cerita belakang layar itu telah menginspirasi seorang penulis untuk membuat serial buku saku berjudul “Les Hitam”. Dalam serial itu sejumlah bekas pejuang mendirikan organisasi bernama Sarekat 178 –angka yang bermakna 17 Agustus. Sarekat 178 yang dipimpin pemuda bekas pejuang bernama Rajendra menyelidiki, mengusut dan mengejar para pencuri uang negara. Lalu mengeksekusi sendiri. Ada yang digantung di Lapangan Ikada (kini, Lapangan Monas) Jakarta. Ada pula yang ditembak oleh eksekutor cantik bernama Silvana di kamar villa yang mewah. Generasi yang kini berusia 60-an dan 70-an untuk sebagian adalah remaja pembaca serial “Les Hitam”.

Penguasa militer di masa Jenderal LB Murdani, adalah pelaku dark justice. Sejumlah kriminal yang tak mudah tersentuh hukum secara konvensional, termasuk kaum preman yang dilindungi oleh oknum kekuasaan sendiri, dibasmi melalui penembakan misterius –Petrus. Melanggar HAM, tapi efektif per saat itu. Ada beberapa target Petrus yang lolos karena bantuan oknum dalam kekuasaan. Beberapa di antaranya, belakangan berhasil terjun ke dalam kancah politik formal dan cukup berhasil mendapat posisi, fasilitas dan peran politik yang memadai.

Dan kini, kaum preman pun makin berani dan terang-terangan menunjukkan eksistensinya. Lihat saja fenomena John Kei dan Hercules, sekedar sebagai contoh. Kini, generasi baru yang mengendali Komnas HAM sedang mencoba menggali masalah Petrus sebagai salah satu kasus pelanggaran HAM masa lampau. Tentu saja baik. Tapi jangan lupa pelanggaran masa kini yang marak melalui premanisme yang makin brutal, yang bercampur baur dengan politik kotor dan perilaku korupsi, tak kalah besar daya rusaknya terhadap harkat dan martabat rakyat. Kejahatan masa lalu dan kejahatan masa kini, sama perlunya untuk dikejar.

KETIKA hukum membiru dan mulai menghitam, dark justice bisa tampil, suka atau tidak suka. Saat banyak yang mulai putus asa dengan cara buruk penegakan hukum saat ini, dan pada saat yang sama premanisme makin marak, dark justice bisa saja menjadi gaya patriotisme baru. Bukankah sudah banyak orang yang mulai secara terbuka meminta koruptor di tembak mati saja?

(socio-politica.com/sociopolitica.wordpress.com)