BARANGKALI ini sebuah pertanyaan spekulatif. Apakah Presiden republik ini sedang dalam keadaan gugup menghadapi sikap bersikukuh para perwira pengendali Kepolisian RI terkait isu kriminalisasi terhadap KPK? Kalau bukan gugup, lalu kenapa Presiden Joko Widodo terkesan menghindar dan tak bereaksi apa pun, meskipun pers bertanya? Padahal, sementara itu, lebih dari sekedar menepis tudingan, para perwira pengendali kekuasaan di tubuh institusi penegakan hukum itu samasekali –meminjam formulasi berita utama Harian Kompas, Minggu 8 Maret 2015– “tidak menghentikan dugaan kriminalisasi terhadap sejumlah pihak yang selama ini mendukung pemberantasan korupsi.”
Semacam kegugupan dalam bentuk lain diperlihatkan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Mendapat pertanyaan dari wartawan tentang kriminalisasi terhadap para pendukung gerakan anti korupsi, Jusuf Kalla balik mempertanyakan, apa yang dimaksud dengan kriminalisasi. Jusuf Kalla dikutip Kompas dan media lainnya mengatakan, “Kalau seorang punya fakta dia salah, kemudian diperiksa, apa itu kriminalisasi menurut anda?”. Menurut Jusuf Kalla lagi, “Kriminalisasi itu apabila sesuatu dibuat-buat. Namun kalau sesuatu fakta, kemudian orang diperiksa, itu bukan kriminalisasi.” Lalu mengecam, “teman-teman pegiat anti korupsi jangan tiba-tiba takut diperiksa”. Kalau orang lain, disuruh periksa, tapi bila menyangkut dirinya ‘jangan periksa saya’. Kan itu salah, ujarnya. Ia menasehati para pegiat anti korupsi itu agar bersikap sportif dan jantan.

Jusuf Kalla terkesan telah menghakimi bahwa perbuatan yang dituduhkan kepada Komjen Budi Gunawan bukan fakta. Dan sebaliknya, apa yang dituduhkan polisi kepada Bambang Wijayanto, Abraham Samad, Adnan Pandu Praja, Zulkarnain, mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana, mantan Ketua PPATK Yunus Husein, para penyidik KPK serta berbagai pihak lainnya, adalah berdasarkan fakta. Jadi, bukan kriminalisasi. Cukup mencengangkan juga, bagaimana bisa Jusuf Kalla sekaligus ‘melebihi’ jaksa dan hakim, untuk memastikan yang mana fakta dan yang mana bukan fakta lengkap dengan suatu judgement? Dan kebetulan judgement itu berbeda dengan arus utama opini publik pada umumnya.
Apakah pembelaan serta merta beliau terhadap polisi yang dituding melakukan kriminalisasi, adalah semacam mekanisme defensif yang kerap ditunjukkan oleh seorang tokoh kekuasaan? Ataukah, beliau telah menerima laporan sepihak yang tak menyeluruh, yang kemungkinan juga artifisial khas birokrasi –sebagaimana yang kerap dialami para petinggi negara– sehingga dengan sendirinya tak cermat membaca dan menganalisasi persoalan dengan utuh? Selain itu, sebagai seorang tokoh, tidakkah beliau pernah mempelajari sejarah penegakan hukum di negara ini yang penuh kisah hitam-putih dan jatuh-bangunnya kebenaran dan keadilan? Dan oleh karena itu, perlu perhatian khusus dan penanganan khusus pula. Lebih berhati-hati mencari kebenaran, lebih berusaha cermat menyelami aspirasi dan isi hati masyarakat, serta lebih bijak. Tapi baiklah, kita tunggu saja bagaimana kebenaran yang akan terbuka pada waktunya nanti.
Pembangkang. KETUA Tim Sembilan bentukan Presiden Jokowi terkait konflik KPK-Polri, Dr Sjafii Ma’arif, mengatakan jika ada perwira polisi yang tidak mau menjalankan perintah Presiden, maka ia harus diberhentikan. Kepolisian Republik Indonesia menurut perundang-undangan yang ada jelas-jelas berada pada posisi subordinasi terhadap Presiden. Memang Presiden tak bisa mencampuri aspek materil hukum saat kepolisian menjalankan fungsi sebagai penegak hukum, namun Presiden memiliki hak pengendalian untuk mencegah institusi itu menyimpang dari tugasnya sebagai aparat negara tersebut. Secara lebih spesifik, kepada pers Sjafii Ma’arif menyebutkan perwira tinggi yang bermasalah dan menjadi sumber kekacauan sebaiknya diganti. “Masih banyak perwira tinggi yang bagus.”
Bahwa masih banyak perwira tinggi maupun perwira menengah Polri yang baik dan bersih, bisa disepakati. Namun, perlu diingatkan, khususnya kepada para jenderal polisi dan perwira-perwira bersih lainnya itu, bahwa bersama mereka terindikasi pula keberadaan unsur, yang kita sebut saja oknum perwira oportunis, yang bisa membawa Polri menjadi kekuatan destruktif. Buruk bagi institusi, buruk bagi masyarakat. Tak boleh menutup mata. Dan menjadi harapan, agar para perwira bersih di tubuh Polri mengambil inisiatif untuk membersihkan institusi yang mereka cintai itu. Perwira-perwira bersih diyakini mencintai institusi Polri lebih dari mencintai dirinya sendiri. Sementara itu, perwira-perwira ‘oportunis’ hanya mencintai kepentingan dirinya dan masuk Polri untuk memenuhi hasrat-hasrat kepentingan pribadinya. Mereka yang disebut terakhir inilah yang kadangkala menciptakan citra ‘bandits in uniform’ seperti yang suatu waktu pernah coba digambarkan seorang mantan Kapolri, Jenderal Mohammad Hasan, yang sungguh tepat mewakili kekecewaan publik. Dengan menjadi bersih kembali, rakyat pun sepenuhnya akan kembali mencintai Polri seperti pada masa-masa awal Indonesia merdeka. (Baca, https://socio-politica.com/2012/10/10/soal-isu-pengunduran-diri-para-jenderal-polisi/)
Dalam tulisan lainnya “Polri Dalam Peristiwa 5 Oktober 2012” ada ungkapan bahwa dari data pengalaman empiris selama ini, di tubuh Polri juga terdapat ‘bakat’ untuk melakukan pembangkangan. Terakhir, seperti yang terlihat dalam kaitan kasus korupsi Korlantas dengan ‘penyerbuan’ 5 Oktober 2012 ke Gedung KPK. Diingatkan, bahwa “Bilamana tak ada tindakan cepat, tepat dan tegas terhadap peristiwa-peristiwa seperti ini dari yang menjadi atasan, atau atasan dari atasan –dalam hal ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai atasan dari pimpinan Polri waktu itu– tindakan-tindakan agresif dan konfrontatif dengan kadar yang lebih tinggi akan terjadi di masa mendatang ini. Sejumlah pengalaman empiris selama ini menunjukkan bahwa institusi penegakan hukum dan ketertiban masyarakat ini ‘berbakat’ untuk itu karena pembiaran yang laten”. (https://socio-politica.com/2012/10/08/polri-dalam-peristiwa-5-oktober-2012/)
Dituliskan lebih jauh, “Saat ini, sejumlah oknum membawa Polri melakukan ‘pembangkangan’ hukum terhadap proses pemberantasan korupsi, besok lusa mungkin sekalian membangkang kepada lembaga kepresidenan dan pemerintah maupun lembaga-lembaga negara lainnya seperti lembaga perwakilan rakyat dan Mahkamah Agung. Presiden Abdurrahman Wahid pernah mengalami semacam ‘pembangkangan’ itu. Keputusannya untuk mengganti Kapolri Jenderal Surojo Bimantoro dengan Jenderal Chairuddin Ismail, ditolak dan tidak dilaksanakan Bimantoro sehingga menimbulkan ketegangan internal.”
Sesat. DI LUAR aspek politik kekuasaan di atas, ada catatan penting lainnya mengenai kepolisian kita. Dan catatan itu, berguna sebagai bahan untuk menilai dan kemudian menjadi dorongan untuk memperbaiki institusi tersebut dengan model seideal mungkin sesuai cita-cita dasar kelahirannya. Jauh dari niat mengungkit kesalahan masa lampau. Sepanjang yang bisa ditelusuri dan dicatat dari waktu ke waktu, kasus salah tangkap, rekayasa penetapan tersangka, pengkambinghitaman, salah dakwa dan salah hukum dalam peradilan sesat, seakan melekat dalam sejarah penegakan hukum. Jika dideretkan, akan ada satu daftar panjang untuk peristiwa sejenis, yang untuk sebagian besar terkait dengan institusi kepolisian sebagai penegak hukum.
Ada kasus salah tangkap, rekayasa dan kemudian berujung pada keputusan hukum yang sesat, menyangkut dua petani, Sengkon dan Karta. Kedua petani ini dituduh melakukan perampokan dan pembunuhan Haji Sulaiman dan isterinya Siti Haya –suami isteri kaya dari desa Bojongsari, Bekasi tahun 1977. Polisi yang sebenarnya tak memiliki petunjuk kuat, mengarahkan kecurigaan kepada Sengkon dan Karta yang pernah ada hubungan kerja dengan Haji Sulaiman. Polisi menangkap kedua petani itu. Merasa harus bisa menyelesaikan kasus, polisi menciptakan skenario rekayasa menjadikan Sengkon-Karta sebagai pelaku. Tak punya bukti, polisi ‘memeras’ pengakuan dengan kekerasan dan siksaan. Ini metode tergampang yang selama bertahun-tahun menjadi senjata klasik polisi dalam penyidikan para tersangka. Tak tahan siksaan fisik dan mental, Sengkon-Karta akhirnya mengaku sebagai perampok dan pembunuh suami-isteri itu.
Tatkala proses peradilan berlangsung, Sengkon dan Karta, dengan sisa-sia coba menyangkal tuduhan yang disampaikan jaksa. Para hakim lebih mempercayai BAP Polisi dan surat tuduhan Jaksa –mirip yang dialami mantan Ketua KPK Antasari Azhar yang dituduh menyuruh lakukan pembunuhan. Dan akhirnya terjadilah tragedi salah hukum sebagai hasil dari penyelidikan polisi yang sesat dan diikuti oleh penuntutan jaksa dan vonnis hakim dalam suatu proses yang juga sesat. Bertahun-tahun kemudian setelah Sengkon-Karta menjalani hukum penjara, akhirnya terungkap bahwa pembunuh sebenarnya adalah Gunel.
Selain kasus Sengkon dan Karta, ada pula kasus pembunuhan peragawati Dietje di Kalibata Jakarta Selatan dengan latar belakang keterlibatan kalangan kekuasaan, namun direkayasa dengan menampilkan tersangka palsu, Pak De alias Siradjuddin. Sementara kebenaran perkara beredar sebatas sebagai desas-desus tingkat atas, Pak De menjalani hukuman bertahun-tahun untuk sesuatu perbuatan yang tidak pernah dilakukannya.
Dalam satu forum Jakarta Lawyers Club –kini, Indonesia Lawyers Club– dua tahun lalu muncul satu lagi catatan kasus peradilan sesat yang unik di Gorontalo. Pasangan suami-isteri Risman Lakoro dan Rustin Mahaji, suatu ketika kehilangan anak gadis mereka, Alta Lakoro. Bukannya bersusah payah mencari keberadaan sang anak gadis, polisi malahan mengembangkan dugaan bahwa Risman dan Rustin telah membunuh Alta dan menyeret keduanya sebagai tersangka pembunuh yang berlanjut ke proses peradilan sesat. Risman dan Rustin dijatuhi hukuman penjara 3 tahun 6 bulan oleh hakim Pengadilan Negeri Gorontalo. Risman dan Rustin sempat mendekam dalam penjara selama beberapa bulan, sampai pada suatu hari sang anak gadis, Alta Lakoro, kembali ke kampung halamannya di Boleamo, Gorontalo, dalam keadaan hidup.
Kasus kesesatan hukum yang agak baru, pada masa pasca Soeharto, terjadi kembali di lingkup wewenang Kepolisian Bekasi, yaitu kasus pembunuhan Ali Harta Winata. Pembunuhan terhadap pemilik toko bahan bangunan Trubus di Jatiwarna, Pondok Gede ini terjadi 17 Desember 2002. Setelah bertemu jalan buntu dalam pemecahan kasus, polisi tiba-tiba mengembangkan suatu teori tentang pembunuhan dalam keluarga dan membangun kisah rekayasa untuk itu. Polisi menuduh anak korban sendiri, Budi Harjono, yang membunuh sang ayah. Polisi merekayasa cerita, bahwa Budi kesal kepada ayahnya yang telah melakukan kekerasan kepada isterinya, ibu Budi Harjono, dengan cara memukul menggunakan kaso kayu. Budi membela sang ibu dan bertindak kalap dan membunuh sang ayah. Polisi mengabaikan keterangan Nyonya Eni, isteri Ali Harta, yang bersikeras mengatakan bahwa bukan anaknya yang membunuh sang ayah. Polisi melakukan serangkaian penyiksaan atas diri Nyonya Eni agar mau mengakui dan membenarkan cerita bahwa memang Budi lah yang membunuh ayahnya sendiri.
Budi Harjono sendiri tak luput dari tekanan dan siksaan untuk memeras pengakuan agar sesuai dengan konstruksi peristiwa versi polisi. Budi sempat ditahan dalam sel polisi dan Lembaga Pemasyarakatan Bulak Kapal selama tak kurang dari enam bulan. Tak tahan dengan penyiksaan, Budi yang semula tegar akhirnya mengakui kepada polisi bahwa memang ia membunuh Ali Harta, ayahnya. Ia dijatuhi hukuman penjara 12 tahun. Budi sempat menjalani hukuman selama 4 tahun sebelum kasus ini dibuka kembali. Terungkap bahwa kesaksian dan pengakuan sepenuhnya hasil rekayasa polisi. Kasus ini menjadi sorotan publik, dan polisi yang ‘menyadari’ adanya error in persona, akhirnya menangkap pembunuh sesungguhnya.
Terbaru dari itu, pada tahun 2008 adalah kasus salah tangkap dan salah hukum, atas diri tiga pemuda dari Jombang, Kemat, David dan Sugik yang dituduh melakukan pembunuhan. Terungkap kemudian bahwa ketiganya tak pernah membunuh siapa-siapa.
Sesungguhnya, masih terdapat daftar panjang tentang berbagai kesesatan dalam penegakan hukum, yang bermula dari kekeliruan polisi, lalu jaksa dan berakhir sebagai kesesatan peradilan. Masyarakat yang sehari-hari berhadapan dengan para penegak hukum, bisa mengenali persoalan sesungguhnya dalam interaksinya dengan penegakan hukum, meskipun cenderung tak berdaya mengungkapkannya. Tak masuk akal sebenarnya bila para tokoh pemimpin negara yang justru punya daya besar untuk memperbaiki keadaan, malah jauh lebih tumpul ‘kepekaan’nya.
Semestinya, bersama-sama kita bisa belajar dari itu semua, dan harus jujur mengakui, bahwa aparat-aparat penegak hukum kita, meski juga menunjukkan sejumlah keberhasilan, pada sisi lain masih membutuhkan banyak pembenahan. Bahwa dalam situasi itu ketidakpercayaan masyarakat cukup tinggi, harus dimaknai dengan cara berpikir dan sikap positif. Dan menjadi tugas para pemimpin negara, termasuk Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla, untuk lebih memahami persoalan dan jangan keliru menyimpulkan, agar bisa turut membenahi persoalan.
Untuk melengkapi referensi, kita mengutip pendapat tiga akademisi dan praktisi hukum sebagai bahan pemikiran bersama menuju koreksi dan perbaikan. Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara, Saldi Isra, memberi catatan: “Pada awal reformasi, masyarakat sipil berdarah-darah mendorong polisi jadi bagian dari supremasi sipil. Jika polisi terus seperti ini, sampai pada titik tertentu, mereka akan menimbulkan rasa tidak aman kepada masyarakat sipil. Ini sesuatu yang kontra produktif.” Ikrar Nusa Bhakti, peneliti LIPI menganggap langkah polisi belakangan ini, termasuk somasi terhadap Komnas HAM, adalah bentuk praktik politik ketakutan. Dalam kaitan ini, perlu ditambahkan catatan bahwa selain Komnas HAM, Majalah Tempo yang ‘vokal’ juga tak luput dari ancaman pemidanaan. “Melalui praktik ini, rakyat dipaksa bungkam dan tak bisa berekspresi dalam mengungkap kebenaran.” Prof Jimmly Asshiddiqie, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, menilai penegakan hukum saat ini seperti dilakukan tanpa jiwa dan di dalam ruang yang kosong. “Kalau dibiarkan, kriminalisasi pasti terus berlanjut.”
Bukan model Tonton Macoute dari Haiti. MENJADI harapan, para perwira bersih yang masih banyak terdapat di tubuh kepolisian tergerak untuk turun tangan memperbaiki institusi yang mereka cintai agar kembali dicintai rakyat. Jangan kalah oleh ‘oknum’ yang sebenarnya sedang melakukan pembangkangan hukum dan pengingkaran nilai keluhuran institusi penegak hukum ini. Jangan biarkan ada ‘bandits in uniform.’
Pembiaran akan memberi hasil akhir berupa model polisi Haiti –Tonton Macoute– yang luar biasa keji di bawah rezim kediktatoran Papa Doc (1957-1971) yang diteruskan puteranya Baby Doc (1971-1986) – (socio-politica.com)
is good artikel Thank you so much , Adwin
Lindo texto, Vabassa!Peranéns para toda a equipe Zzine por mais este lançamento da nossa primeira edição da revista – em grande estilo, no Sarau da Cooperifa.