SAAT DARAH MENGALIR, SEPTEMBER 1965 (5)

Bapak diminta menghadap Presiden ….! SEISI rumah di kediaman Menteri Panglima Angkatan Darat Letnan Jenderal Ahmad Yani, Jalan Lembang, Jakarta, pada Jumat 1 Oktober dinihari 04.00 sedang tertidur lelap. Tapi putera terbungsu Ahmad Yani yang berusia 7 tahun, Irawan Sura Eddy, terbangun. Dan begitu tahu dirinya sendirian, Eddy langsung keluar kamar mencari ibundanya. Tetapi sang ibunda tak ada, karena sedang berada di rumah lainnya di Jalan Taman Surapati. Maka dengan ditemani Mbok Milah, ia duduk menunggu sang ibunda pulang di ruang keluarga belakang. “Pada menit-menit itulah, tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut dari tempat penjagaan, memecah keheningan dinihari.”

Sepasukan tentara tak dikenal dengan cepat bergerak ke halaman rumah. Kebanyakan dari mereka berseragam Tjakrabirawa dan bersenjata lengkap. Karena menggunakan seragam Tjakrabirawa, dengan mudah mereka membuat para pengawal di rumah itu percaya bahwa mereka dikirim Presiden untuk menemui Letnan Jenderal Ahmad Yani. Tentara-tentara ini yang dipimpin Pembantu Letnan Satu Mukidjan dan Sersan Raswad segera masuk ke dalam rumah melalui pintu belakang yang memang sengaja tak dikunci karena Nyonya Yayu Ruliah Ahmad Yani belum pulang. Sebagian dari tentara itu segera berlari ke belakang dan mengepung rumah sementara sebagian yang lain berjaga-jaga di luar rumah, sebagaimana yang disaksikan Eddy.

Penulisan dikutip dengan beberapa ringkasan: Buku TITIK SILANG JALAN KEKUASAAN TAHUN 1966. (Rum Aly, Kata Hasta Pustaka, Juli 2006)

 Anggota Tjakrabirawa yang masuk ke dalam rumah, bertemu dengan Mbok Milah dan Eddy yang bingung ketakutan. Salah seorang dari mereka bertanya “Bapak ada?”. Dijawab Mbok Milah, “Bapak masih tidur”. Lalu ia memerintahkan “Bangunkan bapak segera, karena beliau harus menghadap Presiden saat ini juga”. Melihat Mbok Milah tidak beranjak, dan mungkin tahu bahwa Mbok Milah takut membangunkan, lalu mereka menyuruh Eddy melakukannya. “Dik, tolong bapak dibangunkan. Beliau harus menghadap Presiden Soekarno detik ini juga”. Eddy yang semula juga ragu, akhirnya menuruti permintaan itu setelah dibujuk-bujuk oleh Mbok Milah. Setiba di kamar Eddy melihat ayahnya tidur dalam posisi miring. Eddy lalu meraih kedua kaki ayahandanya lalu menggoyang-goyangkannya, “Pak, bangun pak. Ada Tjakrabirawa mencari bapak. Bapak diminta datang ke istana.” Ahmad Yani terbangun dan bergumam dalam bahasa Jawa “Ada apa pagi-pagi kok sudah ada Tjakrabirawa?”. Tapi akhirnya Ahmad Yani bangun juga dan keluar kamar untuk menemui anggota Tjakrabirawa itu.

Ketika Ahmad Yani membuka pintu kaca yang menghubungkan ruang makan dan ruang belakang, Eddy puteranya cepat-cepat mendahului menerobos menuju ruang belakang dan bersembunyi di bawah mesin jahit. Anak itu ketakutan melihat begitu banyaknya pasukan Tjakrabirawa yang telah mengepung semua sudut rumah. Mereka telah menembus masuk hingga mendekati ruang makan, dan Eddy melihat mereka dalam sikap siap siaga. Dengan senjata tergenggam di tangan mereka berdiri membentuk barisan di kanan kiri gang.

Setelah menutup kembali pintu di belakangnya, Ahmad Yani mendekati barisan Tjakrabirawa itu, sementara Eddy lalu lari ke belakang dan berdiri dekat kolam ikan. Dari tempat ini ia bisa melihat dan mendengar apa yang terjadi di ruang belakang itu. “Ada apa?”, tanya Ahmad Yani. Terdengar jawaban serempak, “Siap jenderal. Bapak diminta menghadap Presiden sekarang juga!”. Sang Jenderal terlihat sedikit kaget, “Lho, acaranya kan jam tujuh, bukan pagi-pagi begini?!”. Salah seorang anggota Tjakrabirawa dengan cepat menjawab, “Tetapi jenderal harus berangkat detik ini juga karena jenderal sedang ditunggu bapak Presiden.” Lalu Yani berkata, “Paling tidak saya kan harus mandi dulu?!”. Terdengar jawaban bernada kasar, “Tidak perlu, jenderal. Di istana juga ada kamar mandi. Bila perlu, dengan berpakaian piyama saja. Jenderal bisa berangkat bersama-sama kami.” Putera Yani melihat betapa ayahnya betul-betul marah dan mendekati anggota Tjakrabirawa itu, dan berkata, “Kau prajurit, tahu apa!”, seraya meninju dengan keras ke muka sang prajurit yang langsung jatuh terkapar.

Setelah itu, Letnan Jenderal Ahmad Yani berbalik masuk ke ruang makan dan menutup pintu di belakangnya. Waktu itulah Sersan Raswad memerintahkan Sersan Gijadi yang ada di sampingnya, “Tembak dia!” Sersan Gijadi langsung memberondong dari belakang, tujuh peluru menembus pintu menerpa punggung sang jenderal, dan Yani roboh bersimbah darah di ruang makan itu. Suara tembakan membangunkan putera-puteri Yani yang lain yang segera berhamburan ke ruang makan. “Kami mengikuti bapak yang sedang diseret-seret oleh gerombolan Tjakra secara keji. Bapak ditarik kakinya, dengan posisi kepala di bawah”. Yani yang masih memakai piyama –berwarna biru– diseret sampai pintu belakang. Salah seorang yang berseragam Tjakrabirawa membentak, “Ayo anak-anak, masuk semua, kalau tidak, saya tembak!”, seraya mengokang senjata. “Di saat itulah kami sempat menyaksikan beberapa anggota gerombolan ada yang hanya mengenakan sandal jepit, bahkan beberapa di antaranya ada yang tidak beralas kaki alias nyeker”. Kemudian, “telinga kami sempat mendengar suara kendaraan yang menderu-deru membawa ayah kami entah kemana.”

Pasukan penculik Letnan Jenderal Ahmad Yani, dipimpin oleh Pembantu Letnan Satu Mukidjan dari Brigif I Kodam Jaya. Dalam pasukan ini tergabung satu peleton dari Brigif I Jaya, satu regu dari Resimen Tjakrabirawa, satu peleton dari Batalion 454 Diponegoro, satu peleton dari Batalion 530 Brawijaya, satu regu PGT AURI dan regu Sukwan.

          Dinihari pukul 04.00 1 Oktober 1965, seisi rumah kediaman Deputi Menteri Panglima Angkatan Darat, Mayjen R. Soeprapto, di Jalan Besuki, dilanda ‘kepanikan’ karena adanya bunyi dobrakan yang keras dari arah depan. Rupanya pintu garasi di samping rumah sedang ditarik-tarik untuk dibuka paksa oleh sepasukan tentara yang berseragam Tjakrabirawa. Mayjen Soeprapto yang tidak tidur karena sakit gigi, lalu membuka pintu rumah, dan bertanya kepada para anggota Tjakrabirawa itu, “Ada apa pagi-pagi buta begini membangunkan saya?”. Dijawab oleh salah seorang dari mereka, “Siap pak”, seraya memberi hormat, “Bapak dipanggil untuk menghadap Presiden Soekarno sekarang juga.” Lalu Soeprapto berkata, ”Kalau begitu, izinkan saya berganti pakaian terlebih dahulu.” Dan mendapat jawaban, “Tidak perlu berganti pakaian, harus menghadap sekarang juga.” Mayor Jenderal Soeprapto yang hanya mengenakan kemeja piyama dengan sarung bercorak kotak-kotak lalu berjalan keluar. Anak-anak dan isterinya melihat bahwa para prajurit itu sempat memberi hormat kepada sang jenderal sebelum membawanya pergi, ditandai bunyi truk. Terlihat bahwa semua berjalan dengan cara yang hampir ‘wajar’, kecuali bahwa seorang anggota Tjakrabirawa terlebih dahulu merusak telepon yang ada di ruang tengah.

          Mereka yang bertugas menjemput Mayjen R. Soeprapto adalah pasukan yang berkekuatan satu peleton dari Tjakrabirawa, yang dibagi dua regu. Regu pertama dipimpin oleh Sersan Kepala Sulaiman, dan regu kedua dipimpin oleh Sersan Dua Sukiman. (Bagian 6: “Jenderal, keluar Jenderal!”/socio-politica)

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s