Laksamana Sudomo, ‘Swiss Army Knife’ Bagi Jenderal Soeharto (3)

SETELAH peristiwa gebrak meja di Cendana itu, tercipta jarak secara psikologis antara Jenderal M. Jusuf dengan Jenderal Soeharto. Diceritakan bahwa sejak itu, Jusuf tak pernah ‘mau’ hadir dalam rapat kabinet yang dipimpin Soeharto. Dalam beberapa rapat di Bina Graha, M. Jusuf meminta Panglima Kopkamtib/Wakil Pangab Laksamana Sudomo hadir mewakili dirinya. Beberapa persoalan yang dianggap perlu dikomunikasikan, pun dilakukan melalui Sudomo. Agaknya berkomunikasi melalui Sudomo, dianggap lebih ‘nyaman’ baik oleh Jusuf maupun Soeharto. Hanya satu dua kali keduanya bertemu. Sebelumnya bila Jenderal Jusuf akan pergi berkeliling ia selalu terlebih dahulu memerlukan menghadap kepada Presiden Soeharto, dan di tempat tujuan, ia selalu menyampaikan salam Presiden Soeharto. Tapi setelah gebrak meja, menurut Atmadji Sumarkidjo, kedua hal itu tak pernah lagi dilakukan Jenderal Jusuf.

LAKSAMANA SOEDOMO. “Adalah jelas bahwa waktu itu Laksamana Sudomo sedang berada di antara dua tokoh dari kubu yang berseteru untuk kepentingannya masing-masing, sementara ia sendiri berada di situ dalam posisi untuk kepentingan Jenderal Soeharto. Meskipun, bisa pula dianalisa bahwa bagaimanapun, sedikit atau banyak ia masih punya posisi cadangan bila kemudian Jenderal Soemitro yang menjadi pemenang pertarungan”. (foto download Antara)

Tak lama setelah itu, masih pada bulan pertama tahun 1983, Jenderal Soeharto selaku Panglima Tertinggi ABRI, memberitahu Jenderal Jusuf bahwa tempatnya selaku Panglima ABRI akan diserahkan kepada Letnan Jenderal LB Moerdani pada bulan Maret. Jenderal Soeharto masih menawarkan jabatan Menteri Hankam –karena kedua jabatan yang tadinya dirangkap Jusuf akan dipisahkan, untuk mencegah lahirnya kembali tokoh yang powerful seperti Jusuf– tapi Jenderal Jusuf menolak dengan mengucapkan “terima kasih”. Jabatan Menteri Pertahanan Keamanan akhirnya diberikan kepada Jenderal Poniman (1983-1988). Nanti, usai menjabat Panglima ABRI, Jenderal LB Moerdani, diberi posisi sebagai Menteri Hankam (1988-1993). M. Jusuf sendiri di tahun 1983 itu terpilih sebagai Ketua BPK (Badan Pemeriksa Keuangan). Sedang Laksamana Sudomo mendapat posisi Menteri Tenaga Kerja (1983-1988) sebelum akhirnya menjadi Menko Polkam (1988-1993). Sesudah itu, Laksamana Sudomo masih panjang kebersamaannya dengan Jenderal Soeharto dalam kekuasaan, karena pada 1993-1998 ia dijadikan oleh Presiden Soeharto sebagai Ketua DPA (Dewan Pertimbangan Agung) –suatu jabatan yang tidak lagi sehebat jabatan-jabatan sebelumnya, tetapi tetap terjaga kedekatannya dengan sang penguasa puncak itu. Soeharto, seperti diketahui, berakhir kiprahnya di panggung kekuasaan pada bulan Mei 1998.

Sejauh yang bisa dicatat, tak ada tokoh lain, yang begitu panjang menjalani masa kepercayaan dari Jenderal Soeharto dalam kekuasaan, selain Sudomo. Tidak Jenderal Ali Moertopo, tidak Jenderal Soemitro, tidak pula Jenderal Jusuf maupun Jenderal LB Moerdani. Empat jenderal ini, tersisih karena ikutan memiliki ambisi atau setidaknya dicurigai punya keinginan dan atau berpotensi menjadi number one. Sedang Laksamana Sudomo, tak satu kali pun pernah diketahui mengidap obsesi number one. Barangkali, bagi Soeharto yang tercatat dari Sudomo hanyalah keserbagunaannya, sejak masih bersama sebagai Kolonel AL di Komando Mandala masa Trikora, sebagai faktor pengimbang di Kopkamtib sampai sekedar sebagai penasehat di DPA.

KENDATI senantiasa menjadi salah satu bilah pedang kekuasaan Soeharto yang berfungsi membasmi setiap perlawanan, Laksamana Sudomo ibarat orang yang punya ‘pekasih’, sehingga mereka yang menjadi sasaran penindakannya maksimal hanya bisa bersikap ‘benci tapi rindu’ terhadap dirinya. Bagi tokoh Malari Hariman Siregar misalnya, kendati Laksamana Sudomo  adalah orang yang menangkap dan menjebloskan dirinya ke sel tahanan, ia tak bisa bersikap konfrontatif saat berhadapan dengan Sudomo setelahnya. Atas ‘kebaikan’ Sudomo, Hariman bisa menyelesaikan kuliahnya di Fakultas Kedokteran UI, sebagaimana sang Laksamana juga memfasilitasi sejumlah aktivis gerakan kritis lainnya menyelesaikan pendidikan, termasuk mendapat beasiswa master atau doktor sampai ke mancanegara. Maka ketika pada suatu talk show di sebuah televisi swasta tahun lalu, tokoh Malari ini bertemu Sudomo di acara tersebut, terlihat betapa Sudomo bisa mengendalikan pembicaraan. Menjawab pertanyaan presenter, Laksamana purnawirawan ini dengan ringan mengatakan “bukan dia yang saya anggap sasaran penting waktu itu, tapi siapa yang menyuruh-nyuruh dan mengatur di belakangnya”. Adalah menarik bahwa saat itu Hariman yang biasanya bicara ceplas ceplos tidak merasa perlu menjawab dengan sengit sang Laksamana. Barangkali, korban-korban Sudomo yang lain seperti Dr Sjahrir, Dr Dorodjatun Kuntjoro Jakti maupun Dr Rizal Ramli, tak akan galak-galak bila berhadapan dengan Sudomo pasca peristiwa.

‘Pekasih’ lain yang digunakan Laksamana Sudomo kepada para mantan pembangkang, seperti dipaparkan di depan, adalah fasilitas-fasilitas kesempatan bisnis dari proyek-proyek pemerintah. Mereka yang berhasil terbujuk menerima uluran tangan seperti itu, tentu saja tak ingin diketahui telah bobol pertahanan idealismenya. Sehingga ini menjadi semacam troefkard bagi Laksamana Sudomo, termasuk untuk mencegah tabungan dendam kesumat terhadap dirinya bisa sampai di’cair’kan di hari tua. Untuk yang satu ini, ia lebih ahli dari the boss.

DI LUAR  itu, ada lagi kelebihan lain Laksamana Sudomo selama menjalankan tugasnya. Ia bisa saja suatu ketika menerima dengan ramah orang-orang yang berkunjung ke kantornya di Kopkamtib, tetapi diam-diam ia memerintahkan aparat di bawah koordinasinya untuk kemudian menangkap mereka. Ini misalnya dialami sejumlah tokoh mahasiswa gerakan kritis 1973-1974 dari Bandung.

Beberapa hari setelah terjadinya Peristiwa 15 Januari 1974, Panglima Kodam Siliwangi Mayjen Aang Kunaefi yang baru beberapa hari menjabat, mengadakan pertemuan dengan pers untuk memberitahukan pembreidelan Mingguan Mahasiswa Indonesia, Bandung. Dalam perdebatan dengan Pemimpin Redaksi media generasi muda itu, Rum Aly, Panglima Siliwangi sedikit melunak di akhir pertemuan dan mengakui “Sebenarnya kita sama, tapi ada perintah dari atas”. Dijawab, “Kalau sama, bapak takkan bertindak seperti sekarang ini”.

Waktu itu, pernyataan Jenderal Aang Kunaefi tentang ‘perintah dari atas’ sepertinya tak berarti apa-apa, kecuali semacam excuse dan persuasi setelah bertindak keras. Tetapi menurut buku ‘Menyilang Jalan Kekuasaan Militer Otoriter’, belakangan terungkap betapa sebenarnya Aang Kunaefi pada hari-hari berikutnya secara diam-diam telah berbuat banyak untuk mahasiswa Bandung. Ia misalnya pada hari-hari itu menolak permintaan Laksamana Sudomo untuk menangkap beberapa pimpinan Dewan Mahasiswa Bandung –antara lain Hatta Albanik, Paulus Tamzil, Komaruddin dan beberapa lainnya– dan menyatakan bahwa gerakan mahasiswa Bandung bersih dari niat makar.

Padahal sebelumnya, 16 Januari 1974, atas inisiatif Marzuki Darusman, beberapa tokoh mahasiswa Bandung –Hatta Albanik, Paulus Tamzil dan Budiono Kusumohamidjojo– yang juga ditemani Pontas Pardede, telah dipertemukan dengan Laksamana Sudomo untuk menjelaskan sikap dan sifat gerakan mahasiswa Bandung memang tajam dan kritis namun murni, dan Sudomo berlaku seakan-akan mengerti. Nyatanya, ia justru menelpon Aang Kunaefi untuk melakukan penangkapan-penangkapan. Adanya perintah Laksamana Sudomo agar Panglima menangkap beberapa tokoh mahasiswa Bandung ini, diketahui para mahasiswa karena kebetulan mereka berada di depan Aang Kunaefi saat ia ini menerima telepon Sudomo. Tapi banyak aktivis gerakan kritis lainnya, tak pernah tahu bahwa Sudomo lah pemberi perintah penangkapan atas diri mereka.

Waktu itu, perlu dicatat bahwa mahasiswa Bandung telah membatalkan ikut kegiatan aksi mahasiswa pada tanggal 15 Januari 1974 di Jakarta, karena mencium adanya rencana aksi provokasi. Baik itu dari lingkaran Jenderal Ali Moertopo maupun dari kubu Jenderal Soemitro, untuk merubah sifat gerakan mahasiswa hari itu menjadi anarkis melalui pengerahan massa ‘liar’ yang tak jelas.

Maka menjadi menarik untuk mengikuti kisah di balik cerita pertemuan mahasiswa dengan Laksamana Sudomo itu, karena terjadi dua peristiwa ‘kebetulan’. Sewaktu para mahasiswa tersebut berada di ruang kerja Laksamana Sudomo di markas Kopkamtib, tiba-tiba Jenderal Soemitro masuk ke ruang itu. Terlihat betapa Soemitro tertegun sejenak, sedikit ‘berubah’ wajahnya dan agak heran, saat melihat kehadiran tokoh-tokoh mahasiswa dari Bandung itu di ruang ‘orang kedua’ Kopkamtib tersebut. Sudomo segera ‘memperkenalkan’, “Ini anak-anak Bandung”. Soemitro hanya mengatakan, “Ya, ya..”. Tampaknya sang Jenderal segera mengenali Paulus Tamzil yang bertubuh besar tinggi, karena ketika mengadakan pertemuan dengan para mahasiswa Bandung beberapa bulan sebelumnya, Paulus lah yang tampil menanyakan kepadanya apakah ia berambisi menjadi Presiden.

‘Kebetulan’ yang kedua terjadi hanya beberapa saat sesudahnya, ketika muncul pula Jenderal Ali Moertopo ke ruangan Sudomo. Berbeda dengan Soemitro, Ali Moertopo dengan gesit justru ‘mendahului’ Sudomo, dan berkata “Ini kawan-kawan dari Bandung….” seraya menunjuk ke arah para mahasiswa itu, seolah-olah memperkenalkan. Koinsidensi di ruang kerja Laksamana Sudomo itu pastilah menyebabkan kesimpulan tertentu dan tersendiri di benak ketiga perwira tinggi yang kebetulan ada dalam pijakan berbeda dalam peta dan positioning ‘kekuasaan aktual’ di pertengahan Januari 1974 itu. Adalah jelas bahwa waktu itu Laksamana Sudomo sedang berada di antara dua tokoh dari kubu yang berseteru untuk kepentingannya masing-masing, sementara ia sendiri berada di situ dalam posisi untuk kepentingan Jenderal Soeharto. Meskipun, bisa pula dianalisa bahwa bagaimanapun, sedikit atau banyak ia masih punya posisi cadangan bila kemudian Jenderal Soemitro yang menjadi pemenang pertarungan.

TERLIHAT betapa unik keberadaan Laksamana Sudomo sang Swiss Army Knife. Atau, bila dianalogikan dengan sebuah timnas sepakbola, ia adalah pemain pelapis yang bermain di lini kedua. Berkali-kali mengejutkan dengan gerakan coming front behind. Dan ia tak pernah ditarik keluar dari timnas masa Soeharto sampai berakhirnya kompetisi. Adakah pemain satu tipe dengannya dalam timnas kekuasaan saat ini?

Advertisement

One thought on “Laksamana Sudomo, ‘Swiss Army Knife’ Bagi Jenderal Soeharto (3)”

  1. Siang Pak, boleh saya minta kontaknya? Saya Ratih dari Majalah Tempo, saya mau ijin untuk memakai beberapa foto yang ada di blog Bapak, terutama yang ada kaitannya dengan Peristiwa Malari. Terima kasih sebelumnya

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s