NU, Kaum ‘Sarungan’ yang Gamang dalam Dunia Modern (1)

Spesies yang dapat bertahan hidupbukanlah yang paling kuat, bukan pula yang paling cerdas, melainkan mereka yang paling mampu menghadapi perubahan”, Charles Darwin, Ilmuwan.

KEHADIRAN Laskar Ahlussunnah Wal Jama’ah (Laskar Aswaja), istilah yang sangat lekat dengan Nahdlatul Ulama (NU), katanya merupakan upaya menangkis wacana dari kelompok Islam radikal yang mengusung pemurnian agama, yang sering menggunakan pendekatan kekerasan untuk menyelesaikan persoalan (Tribunnews.com, Jakarta, Selasa, 20 Maret 2012 15:47 WIB). Walaupun bukan sebagai organ resmi NU, tetapi diawaki oleh orang-orang NU. Masalahnya, sebagai arus utama kelompok Islam di Indonesia pun ternyata NU tak luput dari tindak kekerasan kelompok Islam radikal. Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mencatat, dalam kurun waktu 2011, setidaknya sudah tiga kali terjadi serangan, baik fisik maupun lisan, terhadap NU di tiga kota. Menurut Wakil Ketua Umum PBNU, As’ad Said Ali di Jakarta, Senin 27 Juni 2011, salah satu obyek penyerangan adalah masjid (Tempo.co.id, Senin, 27 Juni 2011 | 14:21 WIB).

KH HASYIM ASY’ARI, PENDIRI NU. “…. sebagai arus utama kelompok Islam di Indonesia pun ternyata NU tak luput dari tindak kekerasan kelompok Islam radikal. Dalam kurun waktu 2011, setidaknya sudah tiga kali terjadi serangan, baik fisik maupun lisan, terhadap NU di tiga kota.
Penyerangan itu terjadi pada bulan Mei 2011 lalu dengan sasaran imam masjid, yang dianggap ahli neraka. Menurut kelompok radikal tersebut NU yang kental dengan tradisi tahlilan dan ziarah kubur, adalah kelompok bid’ah (sesuatu yang berbeda dan dapat merusak ajaran agama) yang musyrik (mempersekutukan Tuhan)”. (download repro lukisan Mashuri/ elangprince.wordpress.com)

Penyerangan itu terjadi pada bulan Mei 2011 lalu dengan sasaran imam masjid, yang dianggap ahli neraka. Menurut kelompok radikal tersebut NU yang kental dengan tradisi tahlilan dan ziarah kubur, adalah kelompok bid’ah (sesuatu yang berbeda dan dapat merusak ajaran agama) yang musyrik (mempersekutukan Tuhan). Namun, serangan bisa dipadamkan, kelompok radikal itu diusir polisi dan Barisan Ansor Serba Guna (Banser), organisasi keamanan milik NU. Masalahnya, mengapa mereka berani menjadikan NU, sebuah organisasi Islam terbesar di Indonesia yang bergerak di bidang pendidikan, sosial, dan ekonomi, sebagai sasaran?

Citra Islam tradisional yang santun

Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama), yang dapat diterjemahkan menjadi Kebangkitan Cendekiawan Islam. Berdiri pada 31 Januari 1926, karena prihatin akan kondisi masyarakat Indonesia waktu itu yang terbelakang akibat penjajajahan, dan menyikapi sejumlah kebijakan yang dikeluarkan Pemerintah Saudi Arabia yang baru mengenai penyeragaman mazhab yang mengacu pada paham Wahabi, yang menganut mazhab Hambali. Setelah berhasil mengusir Syarif Husein, penguasa Mekah sebelumnya pada tahun 1924, Abdul Azis Ibnu Sa’ud mulai melakukan pembersihan dalam kebiasaan praktik beragama sesuai dengan ajaran Salafi versi Wahabi, yang menganggap bid’ah setiap ajaran atau tindakan yang tidak didasarkan pada Al-Quran, Sunnah Nabi, dan mereka hanya mengikuti cara beragama orang-orang dulu yang saleh, yang dimulai dari para sahabat dan diakhiri imam yang empat (Maliki, Hambali, Hanafi, dan Syafi’i). Namun, pemimpin Wahabi itu tidak melarang ajaran mazhab lain di Masjid al-Haram, Mekah. Tindakan penyeragaman mazhab itu, mendapat sambutan baik dari kalangan Islam pembaru di Indonesia, tapi ditolak oleh kalangan Islam tradisional yang dikenal sebagai kaum ‘sarungan’ yang berbasis pesantren.

Undangan dari Ibnu Sa’ud untuk menghadiri kongres di Mekah mendapat reaksi serius dari kalangan Islam Indonesia, yang kemudian membahas materi undangan tersebut dalam Kongres Al-Islam. Pada kongres ke 5 di Bandung (Februari 1926), KH Abdul Wahab Hasbullah, atas nama kalangan Islam tradisional, mengusulkan kebiasaan-kebiasaan agama, seperti membangun kuburan, membaca doa seperti idalail al-khairat, dan ajaran mazhab agar dihormati oleh kepala negara Arab yang baru itu di negaranya, termasuk di Mekah dan Madinah.

Namun, kongres tersebut didominasi oleh golongan pembaru Islam (Muhammadiyah, Persis, dan Al-Irsyad) yang pro pendapat Ibnu Sa’ud. Karena kongres di Bandung itu tidak menyambut baik usulannya, Wahab mengambil inisiatif untuk mengadakan rapat di kalangan ulama kaum tua, yang dimulai di Surabaya, Semarang, Pasuruan, Lasem, dan Pati. Mereka sepakat mendirikan suatu panitia, yang disebut ”Komite Merembuk Hijaz”. Komite Hijaz itu dalam rapat di Surabayapada 31 Januari 1926 kemudian berkembang menjadi organisasi, yaitu Nahdlatul Ulama (NU). Rapat itu juga memutuskan untuk mengirim dua utusan menghadap Ibnu Sa’ud untuk menyampaikan pendapat tentang mazhab, dan seruan kepada raja tersebut agar mengambil langkah-langkah bijak guna kepentingan mazhab. Pertemuan dengan Raja Ibnu Sa’ud yang diatur dengan perantaraan perwakilan Belanda di Jedah, tidak jadi berlangsung karena kedua utusan tersebut tidak dapat berangkat akibat keterlambatan memesan tempat di kapal. Sebagai gantinya, NU mengirimkan isi keputusan rapat mereka dengan tambahan permintaan, agar isi keputusan itu dapat dimasukkan dalam undang-undang Hijaz. Namun tidak ada jawaban atas permintaan tersebut.

Kemudian, NU mengirim Abdul Wahab dan Ahmad Ghanaim al-Amir untuk bertemu dengan Ibnu Sa’ud (13 Juni 1928) dan meminta sang raja penguasa tanah suci itu membuat hukum yang tetap di Hijaz. Dalam jawabannya melalui surat, Ibnu Sa’ud sependapat bahwa kaum muslimin bebas dalam menjalankan praktik agama dan keyakinan mereka, kecuali urusan yang diharamkan Allah, dan tidak didukung dengan suatu dalil dari kitab-Nya, dan sunah Rasulullah SAW, tidak ada dalam mazhabnya orang dulu yang saleh, dan tidak dari fatwa salah satu dari imam yang empat. Jawaban itu dapat memuaskan keinginan para ulama di Jawa yang mempertahankan ajaran empat mazhab dalam Islam tersebut, walaupun masih berbeda mengenai tradisi tradisional yang dianggap bid’ah.

NU yang dikenal sebagai kubu Islam tradisional, yang lebih populer dengan tradisi keagamaan tahlilan, ziarah kubur, dan istighotsah, sebenarnya dimulai dari  kalangan pesantren pada 1916 yang membentuk organisasi pergerakan Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) untuk merespon gerakan Kebangkitan Nasional (1908) untuk mengangkat bangsa Indonesia dari keterpurukan, baik secara mental, maupun ekonomi, akibat penjajahan, maupun kungkungan tradisi. Kemudian, tahun 1918 didirikan Taswirul Afkar, atau dikenal juga dengan “Nahdlatul Fikri” (kebangkitan pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri. Disusul dengan Nahdlatul Tujjar (pergerakan kaum saudagar) yang menjadi basis untuk memperbaiki perekonomian masyarakat. Dengan dukungan Nahdlatut Tujjar, Taswirul Afkar berkembang sangat pesat dari kelompok studi menjadi menjadi lembaga pendidikan yang mempunyai cabang-cabang di beberapa kota. Setelah berkoordinasi dengan beberapa kiai yang berpengaruh, pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926) muncul kesepakatan untuk membentuk organisasi baru dengan nama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama). K.H. Hasyim Asy’ari, pimpinan pesantren Tebuireng, yang terpilih sebagai rais akbar (pemimpin tertinggi) syuriyah menegaskan bahwa prinsip dasar organisasi ini dirumuskan dalam kitab Qanun Azasi (prinsip dasar), dan  I’tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah, paham ahlusunnah wal jamaah, sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrem aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrem naqli (skripturalis). Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan dalam khittah NU sebagai dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik.

Sumber pemikiran bagi NU tidak hanya Al-Quran, dan sunnah Nabi, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik. Cara berpikir tersebut dirujuk dari pemikir ulama terdahulu dalam bidang teologi, seperti Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansur Al-Maturidi. Dalam bidang fiqih, para nahdliyyin (sebutan untuk warga NU) lebih cenderung mengikuti mazhab Syafi’i, walaupun mengakui tiga madzhab yang lain (Maliki, Hanafi, dan Hambali). Sedangkan dalam bidang tasawuf, NU mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan tasawuf dengan syariat.

KH Hasyim Asy’ari tidak saja berperan utama dalam mengeluarkan fatwa-fatwa hukum mengenai berbagai masalah keagamaan yang diperdebatkan banyak ulama, tetapi juga berperan dalam mempromosikan NU sebagai organisasi nasional. Selama 10 tahun pertama, NU disibukkan urusan-urusan internal, termasuk memperluas pengaruhnya dan menarik pemimpin-pemimpin pesantren untuk bergabung. Ketika itu, KH Hasyim Asy’ari bersama dengan KH Abdul Wahab Hasbullah dan KH Bisri Syamsuri, membentuk sebuah tim untuk mengadakan pendekatan kepada para pemimpin pesantren yang menjadi basis NU, dan mengajak partisipasi mereka.

Berlanjut ke Bagian 2

Advertisement

2 thoughts on “NU, Kaum ‘Sarungan’ yang Gamang dalam Dunia Modern (1)”

  1. Bagi sebagian banyak orang, NU yang berwarna hijau memang organisasi aneh yang bisa menyesuaikan dengan warna apapun walaupun warna merah,dahulu di tahun 1964-1965 ikut Nasakom dan di pesantern banyak dinyanyikan lagu Nasakom Jiwaku, memberi gelar Presiden Soekarno Khalifatullah Amirul Mukminin Ulil Amri Minkum Bissyaukah, Namun ketika Soekarno wafat Juni 1970 tidak ada dari kalangan Nu yang takziah maupun menyolatkan, yang menyolatkan Buya Hamka yang pernah di penjarakan. Sampai tahun 1995 orang masih takut menyebut Soekarno. Ketika Megawati jadi Presiden (2001) dan sampai hari ini dari kalangan NU yang mengadakan haul peringatan wafatnya Bung Karno.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s