PERAN wakil yang baik dan berguna ini juga ditunjukkan sekali lagi pada hari yang sama oleh Laksamana Sudomo. Dalam buku memoarnya, Jenderal Soemitro mengungkapkan bahwa setelah ia kembali ke Markas Kopkamtib seusai menghambat demonstran dari arah selatan menuju Monas pada 15 Januari itu, ia menerima laporan bahwa Gubernur DKI Ali Sadikin, seorang Jenderal KKO (marinir), waktu itu ada di kampus UI. Jenderal Soemitro lalu meminta Ali Sadikin datang dan langsung menegurnya, “Jenderal Ali, keadaan kacau. Kalau ada apa-apa, silahkan bicara dengan pak Domo, kolega pak Ali, sama-sama dari Angkatan Laut. Jangan main sendirian. Ada apa ke kampus?”. Lalu Jenderal Soemitro yang merasa ‘terganggu’ oleh beberapa manuver Ali Sadikin ini meminta Ali bertemu Laksamana Sudomo.

“Saya pikir, kalau dia ingin jadi Presiden, itu haknya. Saya tidak persoalkan itu. Tapi jangan mengacaukan keadaan”, catat Soemitro yang kala itu juga didesas-desuskan punya hasrat jadi the next president. Sebelum peristiwa 15 Januari 1974, memang tak jarang sejumlah tokoh mahasiswa Jakarta melontarkan ucapan-ucapan suggestif kepada Ali Sadikin sebagai salah satu manusia masa depan yang tepat untuk kepemimpinan nasional. Tapi ini sebenarnya, “lebih banyak untuk main-main saja, dan agar hubungan jadi enak” dengan Ali Sadikin, kata beberapa tokoh mahasiswa itu.
PADA tahun 1970 hingga 1980-an, meskipun tidak seterbuka setelah 1998 hingga kini, pembicaraan politik tentang the next president tak henti-hentinya ada dalam kehidupan politik. Bila pada 1966-1967 pilihan siapa presiden berikut setelah Soekarno hanya dua nama yang muncul, yakni antara Jenderal AH Nasution atau Jenderal Soeharto, maka pada 1970-1980an itu lebih banyak nama yang muncul. Tahun 1970an sebelum maupun sesudah Peristiwa 15 Januari 1974, seperti dituliskan di atas, setidaknya ada tiga nama, yakni Jenderal Soemitro, Jenderal Ali Moertopo dan Jenderal Ali Sadikin, disebut-sebut berambisi dan atau bisa menjadi pengganti Soeharto.
Masa berikutnya, muncul nama Jenderal Muhammad Jusuf yang menjadi sangat populer saat menjadi Menhankam/Pangab (1978-1983). Menjelang Sidang Umum MPR 1983 nama Jenderal M. Jusuf mencuat di tengah publik sebagai calon Wakil Presiden mendamping Jenderal Soeharto menggantikan Adam Malik. Pada waktu yang sama, Adam Malik sendiri merasa yakin akan menjadi wakil presiden sekali lagi. Tetapi ternyata, nyaris di luar dugaan, bukan Adam Malik bukan Jusuf, tapi justru nama Jenderal Umar Wirahadikusumah yang muncul mengisi posisi itu.
Sebenarnya, berdasarkan ‘masukan’ yang banyak disampaikan ke Presiden Soeharto, nama Jenderal Jusuf berada di ‘urutan’ teratas, dan tampaknya sulit bagi Soeharto untuk begitu saja menolak, meski ia sendiri tidak sreg terhadap jenderal yang populer itu. Kala itu, ada dua isu utama yang beredar. Pertama, bila Jusuf naik, ia akan memotong habis sejumlah jenderal yang korup. Beberapa nama disebutkan. Konon, menurut isu itu, nama sejumlah jenderal korup muncul dalam pembicaraan Jenderal Jusuf dengan Presiden Amerika ketika ia berkunjung ke negara adidaya itu. Saat Jenderal Jusuf menyampaikan niat Indonesia mengajukan permintaan pinjaman untuk membeli persenjataan militer, Presiden AS menjawab, jumlah uang yang dikorup beberapa jenderal Indonesia, lebih besar dari harga peralatan yang diminta Jusuf. Sehingga, sebenarnya Indonesia tak perlu mengajukan pinjaman. Presiden AS menurut isu tersebut memberikan setumpuk berkas laporan intelejen mengenai korupsi para jenderal itu. Isu pertama ini mendapat pengolahan, terutama oleh para jenderal yang ketakutan karena namanya ada dalam dokumen, lalu menggelindingkannya sebagai isu kedua, bercampur analisa insinuasi. Bahwa dengan menjadi Wakil Presiden pada langkah berikutnya tak bisa dihindari, Jenderal Jusuf akan menjadi Presiden. Dan bila Jusuf menjadi Presiden, jangankan para jenderal itu, keluarga Cendana pun takkan lolos dari penindakan terkait KKN. Itu semua diyakini telah menjadi sandungan bagi Jusuf untuk bisa mendampingi Soeharto sebagai Wakil Presiden 1983-1988.
KHUSUS mengenai Jenderal Jusuf dan posisi number one, sebenarnya ada kisah tersendiri, yang akan memperkuat analisa bahwa pada dasarnya Soeharto memang tidak sreg kepada Jusuf. Sebab, jangankan untuk posisi nomor satu, untuk posisi nomor dua pun takkan dikehendaki Soeharto bagi Jusuf.
Selama menjabat sebagai Menhankam/Pangab, Jenderal Muhammad Jusuf, tanpa kenal lelah melakukan perjalanan keliling Indonesia, menemui para prajurit sampai pelosok-pelosok. Dalam waktu sama, sang jenderal juga menemui berbagai kalangan rakyat, untuk memperkuat apa yang disebutnya sebagai ‘Kemanunggalan ABRI dengan Rakyat’. Dalam buku ‘Jenderal M. Jusuf, Panglima Para Prajurit’ (Kata Hasta Pustaka, 2006), Atmadji Sumarkidjo memaparkan bahwa walupun tak bisa dibuktikan, dengan perjalanan-perjalanannya itu “mulai banyak laporan yang masuk ke telinga Presiden bahwa Menhankam/Pangab sedang berusaha mencari dukungan masyarakat untuk suatu tujuan atau ambisi politik tertentu”. Tentu, yang dimaksud tak lain adalah daya upaya menuju kursi number one.
Tetapi bukankah pada waktu yang sama, Laksamana Sudomo yang merangkap jabatan Wakil Panglima ABRI selain sebagai Panglima Kopkamtib di tahun 1978-1983 itu, juga melakukan banyak kegiatan yang membangun popularitas? Antara lain melakukan gebrakan-gebrakan Opstib (Operasi Tertib) yang umumnya menyapu hanya berbagai korupsi kecil-kecilan tetapi mengganggu karena dilakukan banyak orang –semisal pungutan liar di jalan oleh polisi lalu lintas dan petugas DLAJR atau biaya siluman di pintu-pintu pengurusan dokumen di pelabuhan. Menurut Atmadji, “karena Sudomo seorang perwira TNI-AL dan adalah salah seorang kepercayaan Presiden, maka kepopulerannya tidak diperhitungkan secara politis”. Memang bisa dicatat, bahwa penempatan Laksamana Sudomo sebagai Wakil Pangab merangkap Panglima Kopkamtib, mendampingi Jenderal Jusuf sebagai Menhankam/Pangab adalah bagian dari pengamanan berlapis Jenderal Soeharto dalam setiap penempatan posisi penting di lingkaran kekuasaannya. Pengangkatan Jenderal Jusuf sendiri sebagai Menhankam/Pangab adalah lanjutan pola penempatan orang luar Jawa di posisi tersebut, setelah Jenderal Maraden Panggabean yang juga berasal dari luar Jawa. Orang luar Jawa diperhitungkan tak punya ‘kekuatan’ secara sosiologis per saat itu untuk bisa menuju kursi nomor satu. Bahwa di belakang hari seorang Jawa, Jenderal LB Moerdani bisa naik ke jabatan strategis itu, tak lain karena ia menyandang label minoritas lainnya, yakni non Islam. Sejumlah analis sosial-politik barat menyebut strategi ini sebagai pola Raja Mataram.
Menarik dalam kaitan ini, untuk meminjam uraian Atmadji Sumarkidjo lebih lanjut, berikut ini.
“Sebagaimana banyak intrik politik di Indonesia, sumber informasi dan bisik-bisik itu tidak pernah diketahui dengan jelas, tetapi celakanya, justru masuk langsung ke Presiden sendiri”. Apalagi perlakuan media massa terhadap Jenderal Jusuf sebagai ‘orang yang paling laku dijual’, jelas membuat iri sejumlah pihak lain.
“Sampai pada suatu malam, Presiden Soeharto mengumpulkan sejumlah pejabat tinggi di kediamannya di Jalan Cendana. Pertemuan tersebut tujuannya adalah untuk membahas hal-hal yang berkaitan dengan masalah kenegaraan”. Hadir antara lain, Mensesneg Sudharmono, Sekkab Moerdiono, Asintel Hankam Letjen LB Moerdani, Mendagri Amirmahmud dan Jenderal Jusuf. Adalah Mendagri yang berbicara pertama kali, mengungkapkan suara-suara yang mengatakan bahwa dengan semakin populernya Jenderal Jusuf selaku Menhankam/Pangab, maka diduga ada amibisi-ambisi tertentu Jenderal Jusuf yang perlu ditanyakan kepada yang bersangkutan”.
Tiba-tiba Jenderal Jusuf menggebrak meja dengan tangannya, demikian dipaparkan. Lalu, dengan suara keras ia berkata. “Bohong! Itu tidak benar semua! Saya ini diminta untuk jadi Menhankam/Pangab karena perintah bapak Presiden. Saya ini orang Bugis. Jadi saya sendiri tidak tahu arti kata kemanunggalan yang bahasa Jawa itu. Tapi saya laksanakan perintah itu sebaik-baiknya tanpa tujuan apa-apa!”.
Semua orang yang ada di ruangan itu terdiam karena terkejut, untuk beberapa lama. Belum pernah ada orang yang berani menggebrak meja di hadapan Presiden Soeharto dalam kondisi apa pun. Adalah Presiden Soeharto sendiri yang kemudian memecah kekakuan suasana setelah itu. Dengan nada dalam, ia berkata, “Sudah, sudah! Karena suasana tidak memungkinkan lagi, rapat kita akhiri sampai sekian saja. Nanti pada waktu yang tepat kita akan panggil lagi”. Pertemuan di Cendana itu berlangsung hanya beberapa menit karenanya. Semua keluar ruangan, tinggal Jenderal Jusuf dan Jenderal Soeharto berdua, melakukan suatu percakapan ringkas. “Jadi, pak Jusuf, kita bicarakan hal-hal itu lain kali saja”, ujar Soeharto kemudian, seraya mengantar Jenderal Jusuf ke luar ruangan.
Berlanjut ke Bagian 3
Kalau bagi SBY, siapa yang menjadi “Swiss Army Knife” nya? Nampaknya hal ini perlu diulas oleh Sociopolitica
Wah, perlu diamati lebih dulu: Apakah Jenderal Sudi Silalahi, Kuntoro Mangkusubroto, Denny Indrayana atau Ruhut Sitompul ya….?