Tag Archives: Amirmahmud

Revitalisasi Pancasila (4)

Catatan Prof Dr Midian Sirait*

SEMESTINYA kita memetik pelajaran, sehingga dalam reformasi jangan sampai kita ulangi lagi perilaku dan percaturan politik yang penuh dengan unsur emosional. Emosi masyarakat itu bisa tersulut karena memang ada sejumlah faktor-faktor objektif untuk itu. Apalagi kalau ada faktor subjektif, semisal dari seorang pemimpin yang mempunyai perilaku politik yang bisa membawa kembali situasi tersulutnya emosi. Jangan sampai ideologi-ideologi golongan makin dipertajam, dan sebaliknya rasa persaudaraan ditinggalkan, aspek peri kemanusiaan dikebelakangkan. Perbedaan-perbedaan hendaknya bisa kita selesaikan dengan menahan dan mengendalikan aspek emosional dalam masyarakat. Jangan biarkan terciptanya akumulasi emosi kolektif dalam masyarakat.

Surutnya rasa persaudaraan dan kemanusiaan di sekitar masa peralihan tahun 1998, mendorong saya menerima gagasan –dari Dr Astrid Sunaryo dan Dr Sunarjati Sunaryo– untuk mendirikan sebuah partai baru yang bertujuan untuk memperkuat aspek hak azasi manusia. Partai itu mencantumkan kata kasih bangsa sebagai tambahan kata demokrasi untuk menegaskan tujuan itu. Partai itu ternyata hanya menarik minat kalangan yang kebetulan beragama Kristen dan Katolik, sehingga pada akhirnya konotasinya semata-mata adalah partai berdasarkan agama dan mendapat dukungan terutama di bagian timur Indonesia. Maka salah seorang teman seperjuangan saya di Golkar, 1967-1973, mengatakan saya akhirnya kembali ke ‘habitat asli’. Maksudnya, pastilah bahwa dari seorang yang tidak sepakat dengan kepartaian yang ideologistis, saya ‘mundur’ mendirikan partai yang berdasarkan suatu ideologi agama.

Dr MIDIAN SIRAIT. "Saya kira apapun gejolak dalam negara kita, social costnya harus diupayakan sekecil mungkin, diminimalisir. Semua diarahkan untuk menjadi satu bangsa yang makin dewasa. Pendewasaan itu tentu dengan pengikutsertaan semua warganegara dalam proses demokrasi, dan dengan warganegara yang memiliki kedewasaan itu nanti makin jelas usaha kita yang mengarah kepada perwujudan keadilan sosial itu."
Dr MIDIAN SIRAIT. “Saya kira apapun gejolak dalam negara kita, social costnya harus diupayakan sekecil mungkin, diminimalisir. Semua diarahkan untuk menjadi satu bangsa yang makin dewasa. Pendewasaan itu tentu dengan pengikutsertaan semua warganegara dalam proses demokrasi, dan dengan warganegara yang memiliki kedewasaan itu nanti makin jelas usaha kita yang mengarah kepada perwujudan keadilan sosial itu.”

Tentu saya bisa menyangkal bahwa partai yang ikut saya dirikan itu bukanlah sebuah partai berdasarkan ideologi agama. Tetapi pada sisi lain memang merupakan kenyataan, bahwa gagasan awal ketika mendirikan partai itu, berupa perhatian kepada masalah demokrasi dan hak azasi manusia, harus diakui tertinggal, tergantikan oleh berbagai subjektivitas yang di kemudian hari menyurutkan partai tersebut. Walau, partai itu sebenarnya sempat berhasil mendapat sejumlah kursi di Dewan Perwakilan Rakyat tingkat pusat maupun daerah hasil pemilihan umum tahun 1999.

Dua puluh lima tahun sebelumnya, pada tahun 1973, saya juga pernah bersentuhan dengan masalah dengan konotasi ideologistis. Regimentasi masyarakat karena perbedaan yang ideologistis yang tercipta sejak sebelum 1965, terbawa sampai ke masa berikutnya, bahkan cenderung menguat. Setiap partai atau kekuatan politik menciptakan onderbouwonderbouw, berupa organisasi-organisasi sayap buruh, tani, seniman, wanita, pelajar dan mahasiswa dan lain sebagainya. Bisa dikatakan, hanya anak-anak usia Taman Kanak-kanak yang belum mengalami regimentasi.

Salah satu concern saya adalah lapisan kepemudaan dan mahasiswa yang merupakan kelompok intelektual muda. Dalam rangka memelihara dan mengembangkan persatuan nasional, harus ada satu forum di mana mereka bisa selalu berkomunikasi. Selama dua bulan saya bertemu dan berbicara dengan tokoh-tokoh pemuda dan mahasiswa yang saya anggap bisa bersama-sama membangun suatu wadah komunikasi dengan tujuan seperti itu. Saya berbicara dengan tokoh-tokoh pemuda dan mahasiswa seperti Zamroni, Mar’ie Muhammad, Cosmas Batubara, David Napitupulu, Surjadi, Benny, Nurcholis Madjid, Akbar Tandjung dan lain-lain. Meskipun mereka berasal dari organisasi yang berbeda-beda dengan ‘induk’ ideologi yang berlain-lainan, saya tahu mereka pernah berjuang bersama dalam pergerakan tahun 1966, sehingga mempunyai pengalaman dan kemampuan berkomunikasi satu dengan yang lain. Beruntung bahwa teman-teman ini bersedia turut dalam upaya ini. Nurcholis Madjid yang datang bersama Akbar Tandjung, sempat menyatakan kesangsian kalau-kalau nanti forum ini akan dijadikan alat kekuasaan untuk mengendalikan pemuda. Saya katakan, tidak, kalau kita bersama-sama menjaganya. Nurcholis langsung menyatakan persetujuannya.

Maka terbentuklah forum yang kemudian diberi nama Komite Nasional Pemuda Indonesia dan dideklarasikan 23 Juli 1973. Dalam sejarahnya, HMI merupakan salah satu organisasi yang banyak menempatkan kadernya sebagai pimpinan KNPI. Ketua Umum KNPI untuk pertama kali dipilih David Napitupulu dari Mapantjas (Mahasiswa Pancasila) dan Sekretaris Jenderalnya, Awan Karmawan Burhan tokoh mahasiswa dari Bandung anggota CSB (Corpus Studiosorum Bandungense) yang tergabung dalam Somal, serikat organisasi mahasiswa lokal. Terpilihnya kedua tokoh muda ini terutama adalah karena keduanya dianggap tidak terlalu kental konotasi politik ideologisnya.

Sewaktu terjadi Peristiwa 15 Januari 1974 beberapa bulan sesudahnya, KNPI bisa meredusir dampak negatif peristiwa itu di kalangan generasi muda. Melihat hal itu, Menteri Dalam Negeri Amirmahmud tiba-tiba jadi ‘bersemangat’, kemudian seakan ‘mengambilalih’ dan memerintahkan seluruh Gubernur se-Indonesia untuk membentuk KNPI di daerah-daerah. Inisiatif Amirmahmud ini langsung merubah ‘situasi’ dan menimbulkan sangkaan bahwa ternyata KNPI memang direncanakan sebagai alat kekuasaan untuk menanamkan pengaruh dan mengendalikan pemuda dan mahasiswa. Kesan itu tak pernah lagi bisa terhapus, apalagi ketika kemudian dalam praktek banyak juga perorangan pemuda yang memanfaatkan KNPI sebagai jembatan untuk masuk ke dalam jajaran kekuasaan, lengkaplah sudah citra itu.

Terlepas dari pencitraan seperti itu, pembentukan KNPI memang dapat dianggap merupakan bagian dari restrukturisasi kehidupan politik yang selama ini sudah terlalu ideologistis. Pada waktu yang hampir bersamaan berlangsung pula pembentukan HKTI (Himpunan Kerukunan Tani Indonesia), HNSI (Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia), FBSI (Federasi Buruh Seluruh Indonesia) yang belakangan berganti nama menjadi SPSI (Serikat Pekerja Seluruh Indonesia) dan sebagainya yang kesemuanya berdasarkan persamaan profesi dan bukan persamaan ideologi.

Aspek penunjang penting lainnya dalam proses kehidupan politik dan kehidupan bermasyarakat, tentu adalah bidang hukum. Peranan hukum menjadi penting, bila memang kita semua sepakat bahwa segala proses kehidupan politik dan kehidupan bermasyarakat itu disepakati untuk kita lewati dalam koridor hukum. Hukum yang adil, bukan hukum yang hanya mementingkan kepentingan satu kelompok. Hukum yang berkeadilan, dan adil yang diatur oleh hukum. Seperti contoh yang kita petik dari sejarah kemerdekaan Amerika, bahwa persatuan negara dan bangsa Amerika bisa terbentuk dan terpelihara dengan hukum, dengan mengeliminasi faktor-faktor negatif seperti yang disebut the outlaws itu dengan kekuatan penegakan hukum yang konsisten dan terus menerus. Persoalan yang sama juga merupakan masalah kita sekarang ini, bagaimana memantapkan peranan penegak hukum.

Demokrasi dan keadilan sosial itu menjadi suatu metoda pencapaian, tetapi sekaligus juga suatu sasaran. Tentu demokrasi kita sekarang ini sudah ada institusionalisasinya, yaitu melalui parlemen. Dan dalam parlemen, suatu waktu, tentu ada perjuangan pemenangan kelompok maupun pemenangan ideologi golongannya. Itu suatu kecenderungan. Dan kecenderungan seperti inilah yang harus kita jaga jangan sampai digunakan secara semena-mena untuk merubah undang-undang. Untuk itu, sekali lagi kita katakan, kita harus bersyukur sudah ada Mahkamah Konstitusi, yang akan menghentikan bila ada undang-undang yang tidak sesuai dengan dasar negara, baik dengan Undang-undang Dasar maupun dengan Pancasila.

Kehidupan Pancasila itu harus dikawal oleh Mahkamah Konstitusi. Jangan sampai Mahkamah Konstitusi juga menurun semangatnya. Mahkamah Konstitusi, sejauh ini sudah menjalankan tugasnya mencabut berbagai pasal dalam undang-undang yang merupakan hasil kesewenang-wenangan dan sikap semena-mena dari mayoritas. Di Jerman, Mahkamah Konsitusi itu terdiri dari orang yang sudah putih-putih rambutnya, orang-rang yang punya pengalaman di pengadilan dan dunia peradilan pada umumnya, sehingga mempunyai kewibawaan profesional. Mudah-mudahan Mahkamah Konstitusi kita meskipun masih cukup muda-muda, tetap bisa menjalankan tugasnya dengan baik.

Saya kira apapun gejolak dalam negara kita, social costnya harus diupayakan sekecil mungkin, diminimalisir. Semua diarahkan untuk menjadi satu bangsa yang makin dewasa. Pendewasaan itu tentu dengan pengikutsertaan semua warganegara dalam proses demokrasi, dan dengan warganegara yang memiliki kedewasaan itu nanti makin jelas usaha kita yang mengarah kepada perwujudan keadilan sosial itu. Itu pula sebabnya sambil melihat perkembangan pelaksanaan demokrasi itu, suatu social engineering dibutuhkan. Social engineering bukan hanya dengan mencari pemimpin yang baik, tetapi terutama melalui peraturan perundang-undangan yang baik. Harus diperhatikan perilaku melakukan demokrasi, sehingga tak menjadi sekedar demokrasi prosedural.

Dalam politik dan demokrasi, para pelaku politik hendaknya selalu memperhitungkan akibat-akibat dari satu tindakan. Bila dalam kampanye umpamanya, sudah mulai dijalankan black campaign, yakni dengan mengotori kaki orang lain supaya kakinya lebih bagus dari kaki orang lain, harus dicegah. Seharusnya kaki sendiri kita sabun supaya lebih wangi, lebih bersih. Jangan melontarkan lumpur ke kaki orang lain. Tetapi harus diakui bahwa pola black campaign sudah mulai dilakukan di mana-mana, termasuk di Amerika Serikat. Rupanya dalam kehidupan manusia ini selalu dicari jalan yang paling mudah. Memang yang paling mudah itu adalah black campaign. Maka, harus ada aturan-aturannya, untuk meningkatkan kemampuan bukan dengan menjelekkan kemampuan orang lain.

(socio-politica.com) – Berlanjut ke Bagian 5

Mencari Presiden Indonesia 2014: Kembali ke Situasi Pilihan ‘The Bad Among The Worst’? (4)

JENDERAL Muhammad Jusuf pernah menggebrak meja dalam suatu pertemuan yang dipimpin Presiden Soeharto, suatu malam beberapa waktu sebelum Sidang Umum MPR 1983. Dalam pertemuan –yang antara lain juga dihadiri Mensesneg Sudharmono, Seskab Moerdiono, Asisten Intel Hankam Letnan Jenderal LB Moerdani– Menteri Dalam Negeri Amirmahmud melontarkan suatu pertanyaan insinuasi yang memanaskan situasi. Kunjungan-kunjungan Jenderal Jusuf ke berbagai pelosok tanah air sebagai Menhankam/Pangab menemui para prajurit dan kalangan akar rumput, membawakan gagasan ‘kemanunggalan ABRI dan rakyat’ menurutnya perlu dipertanyakan kepada yang bersangkutan, apakah di baliknya terdapat ambisi-ambisi tertentu. Ambisi yang dimaksudkan Amirmahmud tak lain adalah keinginan Jenderal Jusuf untuk menjadi  Wakil Presiden RI, bahkan mungkin berambisi menjadi Presiden berikutnya menggantikan Soeharto.

JENDERAL MUHAMMAD JUSUF DI ANTARA PARA JENDERAL REZIM SOEHARTO. "Pada masa Soeharto itu, begitu banyaknya tokoh yang memiliki keinginan menjadi number one, namun selain Jenderal Jusuf dan Marzuki Darusman, tak pernah ada yang menyatakannya langsung kepada Soeharto atau mewacanakannya secara terbuka. Mereka yang betul-betul berambisi, termasuk sejumlah jenderal di seputar Soeharto, lebih memilih jalan belakang ala permainan wayang". (Repro dari cover buku "Soeharto dan Barisan Jenderal Orba'/David Jenkins, Komunitas Bambu)
JENDERAL MUHAMMAD JUSUF DI ANTARA PARA JENDERAL REZIM SOEHARTO. “Pada masa Soeharto itu, begitu banyaknya tokoh yang memiliki keinginan menjadi number one, namun selain Jenderal Jusuf dan Marzuki Darusman, tak pernah ada yang menyatakannya langsung kepada Soeharto atau mewacanakannya secara terbuka. Mereka yang betul-betul berambisi, termasuk sejumlah jenderal di seputar Soeharto, lebih memilih jalan belakang ala permainan wayang”. (Repro dari cover buku ‘Soeharto & Barisan Jenderal Orba’/David Jenkins, Komunitas Bambu)

Mendengar ucapan bernada insinuasi dari Amirmahmud itu, seperti yang dituturkan Atmadji Soemarkidjo dalam buku “Jenderal M. Jusuf, Panglima Para Prajurit” (2006), tiba-tiba Jenderal Jusuf menggebrak meja. Lalu, dengan suara keras ia berkata. “Bohong! Itu tidak benar semua! Saya ini diminta untuk jadi Menhankam/Pangab karena perintah bapak Presiden. Saya ini orang Bugis. Jadi saya sendiri tidak tahu arti kata kemanunggalan yang bahasa Jawa itu. Tapi saya laksanakan perintah itu sebaik-baiknya tanpa tujuan apa-apa!”. Semua terkejut, tak terkecuali Soeharto. Selama ia menjadi orang nomor satu di republik ini, belum pernah ada yang berani menggebrak meja seperti itu di depannya. Tapi ia tak menegur, apalagi sampai memarahi Jenderal Jusuf saat itu.

Continue reading Mencari Presiden Indonesia 2014: Kembali ke Situasi Pilihan ‘The Bad Among The Worst’? (4)

Gerakan Mahasiswa = Gerakan Hati Nurani Bangsa (4)

Hatta Albanik*

PADA mulanya mereka masih mampu menahan diri tidak melibatkan diri dalam ‘kegiatan politik’ untuk merespon hal itu. Respon lebih banyak dilakukan oleh kalangan non-kampus melalui cara-cara bergaya mahasiswa Angkatan 66: aksi demonstrasi, publikasi dan lain sebagainya. Mereka belum mau bereaksi dengan modus semacam itu. Terus berusaha menemukan modus dan cara lain dari yang berbau 1966 itu. Tetapi belum sempat mereka menemukan modus dan cara yang ‘sreg’, mereka dipaksa harus segera bereaksi, karena dengan cepatnya para penguasa telah menjadikan mereka sebagai sasaran langsung dari perilaku ‘mabuk-kekuasaan’nya tentara, yang selalu memerlukan ‘musuh’ baru untuk ditempatkan sebagai lawan yang harus dienyahkan.

KARIKATUR MENYAMBUT NAIKNYA JENDERAL SOEHARTO KE TAMPUK KEKUASAAN. “Pemerintahan Orde Soeharto berikut seluruh jajaran ordenya mulai melihat kegiatan kemahasiswaan sebagai kegiatan yang harus ditumpas berikutnya setelah kekuatan PKI dan G30Snya”. (Karikatur Harjadi S, 1967).

Disamping itu, kenyataan objektif yang dipersepsikan sehari-hari melalui pergulatan hidup di tengah-tengah masyarakat, pergelutan dengan pengalaman hidup sehari-hari, diperkaya dengan observasi, analisa dan diskusi sebagai tradisi alam kehidupan kampus, mau tidak mau menimbulkan pula suatu keinginan untuk memperbaiki keadaan-keadaan yang menyimpang itu sebagai masukan bagi kalangan berwenang melalui forum dan media yang memungkinkan untuk itu. Sayangnya, pemerintah Orde Soeharto zaman itu pada hampir seluruh tingkatan jajarannya sudah mulai menutup komunikasi bagi kemungkinan memandang hal-hal semacam itu sebagai masukan untuk melakukan perbaikan keadaan. Masukan semacam itu dengan segera dianggap sebagai kritik yang tidak membangun, dianggap tidak berpartisipasi dalam pembangunan, oposisi yang tidak bertanggung jawab, bahkan mulai dipojokkan sebagai usaha menentang kepemimpinan Orde Baru. Usaha-usaha ini dengan serta merta pula diikuti oleh operasi intelejen yang disusul operasi militer untuk memerangi musuh-musuh Orde Soeharto. Dialog menjadi suatu keniscayaan sehingga komunikasi dua arah tidak lagi terjadi. Pemerintahan Orde Soeharto berikut seluruh jajaran ordenya mulai melihat kegiatan kemahasiswaan sebagai kegiatan yang harus ditumpas berikutnya setelah kekuatan PKI dan G30Snya. Dengan demikian tokoh- Continue reading Gerakan Mahasiswa = Gerakan Hati Nurani Bangsa (4)

Laksamana Sudomo, ‘Swiss Army Knife’ Bagi Jenderal Soeharto (2)

PERAN wakil yang baik dan berguna ini juga ditunjukkan sekali lagi pada hari yang sama oleh Laksamana Sudomo. Dalam buku memoarnya, Jenderal Soemitro mengungkapkan bahwa setelah ia kembali ke Markas Kopkamtib seusai menghambat demonstran dari arah selatan menuju Monas pada 15 Januari itu, ia menerima laporan bahwa Gubernur DKI Ali Sadikin, seorang Jenderal KKO (marinir), waktu itu ada di kampus UI. Jenderal Soemitro lalu meminta Ali Sadikin datang dan langsung menegurnya, “Jenderal Ali, keadaan kacau. Kalau ada apa-apa, silahkan bicara dengan pak Domo, kolega pak Ali, sama-sama dari Angkatan Laut. Jangan main sendirian. Ada apa ke kampus?”. Lalu Jenderal Soemitro yang merasa ‘terganggu’ oleh beberapa manuver Ali Sadikin ini meminta Ali bertemu Laksamana Sudomo.

JENDERAL SOEHARTO, LAKSAMANA SUDOMO DAN JENDERAL JUSUF. “Memang bisa dicatat, bahwa penempatan Laksamana Sudomo sebagai Wakil Pangab merangkap Panglima Kopkamtib, mendampingi Jenderal Jusuf sebagai Menhankam/Pangab adalah bagian dari pengamanan berlapis Jenderal Soeharto dalam setiap penempatan posisi penting di lingkaran kekuasaannya”. (download solopos)

“Saya pikir, kalau dia ingin jadi Presiden, itu haknya. Saya tidak persoalkan itu. Tapi jangan mengacaukan keadaan”, catat Soemitro yang kala itu juga didesas-desuskan punya hasrat jadi the next president. Sebelum peristiwa 15 Januari 1974, memang tak jarang sejumlah tokoh mahasiswa Jakarta melontarkan ucapan-ucapan suggestif kepada Ali Sadikin sebagai salah satu manusia masa depan yang tepat untuk kepemimpinan nasional. Tapi ini sebenarnya, “lebih banyak untuk main-main saja, dan agar hubungan jadi enak” dengan Ali Sadikin, kata beberapa tokoh mahasiswa itu.

PADA tahun 1970 hingga 1980-an, meskipun tidak seterbuka setelah 1998 hingga kini, pembicaraan politik tentang the next president tak henti-hentinya ada dalam kehidupan politik. Bila pada 1966-1967 pilihan siapa presiden berikut setelah Soekarno hanya dua nama yang muncul, yakni antara Jenderal AH Nasution atau Jenderal Soeharto, maka pada 1970-1980an itu lebih banyak nama yang muncul. Tahun 1970an sebelum maupun sesudah Peristiwa 15 Januari 1974, seperti dituliskan di atas, setidaknya ada tiga nama, yakni Jenderal Soemitro, Jenderal Ali Moertopo dan Jenderal Ali Sadikin, disebut-sebut berambisi dan atau bisa menjadi pengganti Soeharto.

Masa berikutnya, muncul nama Jenderal Muhammad Jusuf yang menjadi sangat populer saat menjadi Menhankam/Pangab (1978-1983). Continue reading Laksamana Sudomo, ‘Swiss Army Knife’ Bagi Jenderal Soeharto (2)

Perjalanan Politik dan Kekuasaan Jenderal Soeharto: Pahlawan atau Bukan? (1)

“Tatkala serangan mahasiswa terhadap korupsi meningkat –terutama antara lain oleh para mahasiswa Bandung dan Yogyakarta– Jenderal Soeharto merasa serangan telah tertuju langsung kepada diri dan keluarganya. Ia membayangkan di balik semua gerakan kritis, sedang terjadi suatu konspirasi untuk menjatuhkan dirinya”. “Sebagai pola, kasus TMII menjadi awal model bergandengnya kekuasaan dengan pengusaha, awal model dana non budgeter serta awal model pengerahan dana swasta melalui kharisma kekuasaan. Dan swasta pada gilirannya pasti akan ‘menagih’ dan memperoleh benefit atas jasa-jasa mereka”.

MENJELANG Hari Pahlawan 10 November 2010, almarhum Jenderal Soeharto, Presiden RI ke-2 dimunculkan namanya bersama tiga almarhum lainnya, Presiden RI ke-4 Abdurrahman Wahid, mantan Gubernur DKI Jaya Letjen Marinir Ali Sadikin, dan Johannes Leimena bekas Waperdam II masa Soekarno, dalam daftar calon Pahlawan Nasional. Tiga nama yang disebut terakhir, tidak banyak dipersoalkan, meskipun juga masih bisa diperdebatkan. Sebaliknya, nama Jenderal Soeharto, menjadi kontroversi setelah dikalkulasi seberapa besar jasa yang telah diberikannya bagi bangsa dan negara dibandingkan dengan ‘kerusakan’ yang telah ditimbulkannya selama 32 tahun berkuasa.

Berdasarkan rangkuman dari sejumlah survei yang telah dilakukan, Lembaga Survei Indonesia, menyimpulkan segala upaya untuk memulihkan nama baik dan warisan politik Soeharto akan bertabrakan dengan aspirasi rakyat. Sebagian besar masyarakat menolak apapun yang berkaitan dengan mantan presiden kedua itu. Maka, gagasan untuk mengangkat Soeharto sebagai pahlawan nasional akan mencederai hati nurani rakyat.

Pada kutub lain, Partai Golkar yang pada masa Akbar Tandjung telah memproklamirkan diri sebagai Golkar baru – yang sempat terkesan sebagai terputusnya Partai Golkar dengan sejarah masa lampaunya– entah dengan perhitungan apa, kini justru mendukung pemberian gelar pahlawan nasional itu bagi Soeharto. Apakah Golkar menghitung bahwa nama Soeharto masih bisa menjadi faktor di tahun 2014? Pada pemilihan umum 1999, sebuah partai, Partai Republik yang ditopang putera-puteri Soeharto, tak berhasil memperoleh suara berarti. Dan pada pemilihan umum berikutnya, sebuah partai di bawah pimpinan Jenderal Hartono yang membawakan nama Cendana dengan penokohan puteri tertua Soeharto, Siti Hardianti Rukmana, juga tak menghasilkan sesuatu yang signifikan. Sementara penampilan Hutomo Mandala Putera, putera bungsu Soeharto, dalam pemilihan Ketua Umum Partai Golkar, nyaris tak tampak riaknya dalam proses pemilihan tersebut.

Berikut ini adalah catatan dalam garis besar, perjalanan Jenderal Soeharto dan tentara dalam politik dan kekuasaan di Indonesia, setelah menjadi semacam ‘hero’ dalam bingkai peristiwa politik di bulan-bulan terakhir 1965.

Partnership dan ekses dwifungsi ABRI. PADA masa awal Orde Baru, partnership ABRI-Mahasiswa merupakan salah satu basis utama yang menjadi pelopor perlawanan rakyat Indonesia terhadap tirani Orde Lama yang pada sekitar tahun 1965 dianggap telah membawa kehidupan negara dan bangsa Indonesia ke tepi jurang kehancuran. Kala itu, pertemuan pikiran sangat mudah terjadi diantara para jenderal dan sejumlah cendekiawan, karena banyak diantaranya sudah saling mengenal semasa mudanya saat berjuang atau bersekolah dalam romantika dan idealisme perjuangan melawan penjajah Belanda maupun Jepang. Dan sejumlah mahasiswa, khususnya di Bandung, ikut terbawa serta di dalam proses pertemuan pikiran itu.

Kenyataan kemudian mengantarkan partnership ABRI dan mahasiswa dalam suatu kerjasama pergerakan yang dicatat dengan ‘tinta emas’ dalam sejarah Indonesia Modern sebagai kekuatan yang mampu meruntuhkan kekuasaan Soekarno dengan Orde Lamanya yang dianggap terlalu dekat dengan ideologi Komunis dalam situasi global yang ketika itu terbelah dalam dua kutub kekuatan dunia Timur (Uni Sovyet dan Cina Komunis) versus Barat (Amerika Serikat/Kapitalis/Liberalisme).

Keberhasilan kerjasama itu ternyata tak berusia lama. ABRI yang dengan dukungan kampus perguruan tinggi kemudian berhasil mendominasi panggung kekuasaan negara Indonesia pasca Soekarno, semakin berusaha berkuasa sendiri dalam pusat kekuasaan negara dengan tak lupa membawa serta kulturnya yang militeristik, otoriter, monolitik dan mengarah pada diktatorisme. Tak banyak berbeda dengan pola kekuasaan yang dipraktekkan oleh rezim yang digantikannya. Militeristik dan komunistik tampaknya memang lekat dengan diktatoristik. Arahnya mudah ditebak: Suatu negara yang penuh manipulasi, sentralistik, korupsi, anti demokrasi dan berorientasi kekuasaan semata.

Budaya ilmu pengetahuan yang biasa berlaku kritis, terbuka, objektif dan berorientasi kebenaran ilmiah, tampaknya menjadi alasan bagi semakin merenggangnya hubungan Partnership ABRI-Mahasiswa tersebut. Tatkala kritik dianggap sebagai oposisi dan perbuatan makar, sejalan dengan makin meredupnya pula pamor para perwira ABRI intelektual yang sebelumnya menjadi perekat hubungan kedua kekuatan tersebut, maka makin merenggang pulalah ‘partnership’ ini. Regenerasi di lingkungan ABRI kemudian memunculkan perwira-perwira muda lulusan Akademi Militer yang tampaknya tak berhasil mewarisi semangat komunikasi intelektual dari para seniornya Angkatan 45. Banyak tokoh mahasiswa Bandung yang mengatakan bahwa berkomunikasi dengan para Jenderal intelektual bekas pejuang Angkatan 45 lebih bernuansa idealisme karena sama-sama mencita-citakan masa depan Indonesia yang lebih baik, makmur, demokratis dan besar. Sementara adalah sulit sekali berdialog dengan para perwira eks Taruna Akademi Militer karena banyak dari mereka hanya tertarik berbicara tentang kekuasaan, jabatan dan kekayaan pribadi yang dianggap sebagai warisan yang harus dipertahankan dari Dwifungsi ABRI.

Bermula dari sinilah pangkal awal partnership semacam itu sulit dilanjutkan dalam pentas sejarah Indonesia di masa datang.

Kisahnya bermula dari Bandung.

Tatkala eksponen-eksponen mahasiswa pembaharu ex 1966 di Bandung harus menghadapi pilihan-pilihan dalam menghadapi kekuasaan baru, mahasiswa dari generasi yang lebih baru juga menetapkan pilihannya sendiri. Mereka memilih menjauh dari kancah politik praktis dan memilih kampus sebagai basis kegiatan-kegiatan kritis. Ini menjadi awal konsolidasi barisan gerakan-gerakan kritis tahun 1970-an hingga awal 1974, sekitar terjadinya Peristiwa 15 Januari, yang kemudian berlanjut lagi dalam satu estafet gerakan kritis hingga Peristiwa 1978 saat tentara masuk menduduki kampus-kampus Bandung.

Tahun 1970, menuju pelaksanaan Pemilihan Umum 1971, ada perbedaan pilihan di antara eksponen-eksponen mahasiswa pembaharu ex 1966 di Bandung. Pada satu sisi adalah  mereka yang memilih masuk ke dalam Golkar (yang didukung tentara) yang dianggap membawakan cita-cita pembaharuan, yang mereka anggap sama dengan cita-cita gerakan 1966. Dan pada sisi lain, mereka yang tetap ingin di luar dan tidak percaya adanya peluang untuk ‘memperbaiki dari dalam’. Karena bagi mereka yang disebut terakhir ini, kendati secara konsepsional Golkar memberi harapan pencerahan, fakta di luar sementara itu menunjukkan adanya perilaku berlebihan sejumlah unsur Golkar, unsur birokrasi dan unsur tentara dalam persiapan pemilihan umum. Memang kenyataan kemudian menunjukkan adanya unsur tertentu dalam Golkar, birokrasi dan tentara yang berpenampilan buldoser menjalankan kepentingan Golkar dan kekuasaan. Istilah buldoser ini sering mengunjuk pada perilaku Amirmahmud sebagai Mendagri pada waktu itu yang merasa diberikan amanah untuk itu.

Tampil dan menangnya Golkar melalui Pemilihan Umum 1971 telah menyebabkan kandasnya harapan partai-partai Islam untuk turut serta dalam kekuasaan. Kelompok militan Islam pun mulai muncul dan dimunculkan untuk ikut bermain dan ‘dimainkan’, baik oleh para operator kalangan kekuasaan, maupun yang tumbuh sendiri karena mencoba peluang ataukah karena dorongan diam-diam sebagian tokoh partai-partai Islam sendiri.

Di  tubuh  ABRI  setidaknya   muncul  dua kelompok kepentingan. Kelompok perwira idealis cenderung kalah dan tersisihkan oleh kelompok haus kekuasaan dan kekayaan. Sementara kaum pembaharu dari kalangan sipil menunjukkan tanda-tanda awal akan kalah peranan dan gagal pada pergulatan dalam selimut di tubuh Golkar dan kekuasaan. Terhadap cita-cita semula untuk melakukan perbaikan dari dalam, timbul pertanyaan dan kesangsian: Apakah mereka yang merubah atau justru mereka yang dirubah oleh Golkar dan kekuasaan ?

Peta situasi politik dan kekuasaan demikianlah yang terbentang di hadapan para mahasiswa generasi baru pada tahun 1970 dalam menentukan pilihan-pilihan: Melakukan gerakan-gerakan kritis melawan ketidakbenaran, ataukah ikut terhanyut seperti yang dialami oleh sebagian dari generasi pendahulu mereka. Mereka memilih menarik diri ke kampus dan selanjutnya melakukan gerakan-gerakan kritis melawan korupsi dan sikap-sikap anti demokrasi dan hak azasi manusia yang ditunjukkan kalangan kekuasaan baru. Dan pada akhirnya gerakan-gerakan itu juga memasuki tema-tema kritis terhadap ketidakadilan yang menjadi penyebab kepincangan sosial dan ekonomi.

Generasi baru kampus yang lebih memilih basis intra bagi pergerakan mereka, sehingga peran organisasi-organisasi ekstra surut, tumbuh sebagai satu kekuatan yang dinamis dan kritis sebagaimana ditunjukkan sejak pertengahan 1971. Generasi baru mahasiswa intra ini telah muncul sebagai pengeritik awal terhadap Orde Baru, karena dalam praktek, Orde Baru di bawah para tentara dianggap mulai berbeda dengan ide dasar pembaharuan yang dicetuskan generasi muda dan kaum cendekiawan pada awal kebangkitan Orde Baru. Mahasiswa di satu sisi dan tentara serta kekuasaan pada sisi lain, dalam konteks gerakan kritis, dengan demikian ada dalam posisi berseberangan. Orde Baru dan ABRI pada waktu itu dinilai sebagai kelompok-kelompok kekuatan yang tidak lagi memiliki idealisme untuk memperbaiki negara, bahkan mulai dilihat menjadi perusak dan pelaku penggerogotan serta sumber kebobrokan baru yang lebih parah dari Soekarno dengan Orde Lama plus PKI-nya.

Wabah korupsi. Korupsi adalah sesuatu yang gampang terpicu. Gagasan mendirikan Taman Mini Indonesia Indah yang bersumber pada ibu negara Siti Suhartinah Soeharto, dianggap kontra produktif dan akan menjadi sumber penghamburan uang negara. Bahkan, lebih jauh akan menjadi lubang yang dapat dimanfaatkan untuk penyalah gunaan kekuasaan dan korupsi.

Tatkala serangan mahasiswa terhadap korupsi meningkat –terutama antara lain oleh para mahasiswa Bandung dan Yogyakarta– Jenderal Soeharto merasa serangan telah tertuju langsung kepada diri dan keluarganya. Ia membayangkan di balik semua gerakan kritis, sedang terjadi suatu konspirasi untuk menjatuhkan dirinya. Dengan keras ia menyatakan melalui suatu pidato tanpa teks, “Kalau ada yang menghendaki saya mundur….. Gunakan Sidang Istimewa MPR”. Seraya melibatkan nama ABRI, ia pun mengancam, “Jangan coba-coba melakukan tindakan-tindakan inkonstitusional, sebab akan saya hantam. Siapa saja!”. Dan Soeharto pun menyatakan takkan segan-segan  menggunakan wewenangnya selaku pengemban Super Semar (Surat Perintah 11 Maret 1966). Seorang mantan pejabat intelijen belakangan mengungkap bahwa beberapa saat sebelum melontarkan pidato keras itu, Presiden Soeharto sempat memperoleh masukan mengenai adanya skenario konspirasi yang ditujukan kepada diri, keluarga dan kekuasaannya. Beberapa nama perorangan militer dan sipil disebutkan dalam laporan itu.

Sebagai kasus, masalah TMII (Taman Mini Indonesia Indah) akhirnya dapat diredam di tahun 1972 itu juga. Tetapi sebagai pola, kasus TMII menjadi awal model bergandengnya kekuasaan dengan pengusaha, awal model dana non budgeter serta awal model pengerahan dana swasta melalui kharisma kekuasaan. Dan swasta pada gilirannya pasti akan ‘menagih’ dan memperoleh benefit atas jasa-jasa mereka.

Berlanjut ke Bagian 2

Kemal Idris, Kisah Tiga Jenderal Idealis

“Kalau ada segelintir perwira yang tidak berubah sikap, maka itu tak lain adalah tiga jenderal idealis Sarwo Edhie Wibowo, HR Dharsono dan Kemal Idris. Namun perlahan tapi pasti satu persatu mereka pun disingkirkan dari kekuasaan”.

SELAIN Jenderal Soeharto, ada tiga jenderal yang tak bisa dilepaskan dari catatan sejarah pergolakan dan perubahan Indonesia pada tiga bulan terakhir tahun 1965,hingga 1966-1967. Peran mereka mewarnai secara khas dan banyak menentukan proses perubahan negara di masa transisi kekuasaan dari tangan Soekarno ke tangan Soeharto. Tentu saja ada sebarisan jenderal dan perwira bersama Jenderal Soeharto dalam membangun rezim kekuasaan baru menggantikan kekuasaan Soekarno. Namun hanya sedikit dari mereka yang tetap berpegang kepada idealisme semula yang menjadi dasar kenapa rezim yang lama di bawah Soekarno harus diganti, dan bahwa kekuasaan baru yang akan ditegakkan adalah sebuah kekuasaan demokratis sebagai koreksi terhadap rezim Nasakom Soekarno.

Paling menonjol dari barisan perwira idealis ini adalah tiga jenderal, yakni Sarwo Edhie Wibowo, Hartono Rekso Dharsono dan Achmad Kemal Idris, yang ketiganya di akhir karir mereka ‘hanya’ mencapai pangkat tertinggi sebagai Letnan Jenderal. Ketika masih berpangkat Kolonel pada 1 Oktober 1965, Sarwo Edhie adalah bagaikan anak panah yang muncul dari dari balik tabir blessing in disguise dalam satu momentum sejarah bagi Jenderal Soeharto. Mayor Jenderal Hartono Rekso Dharsono, yang pada bulan Juli 1966 naik setingkat dari Kepala Staf menggantikan Mayjen Ibrahim Adjie sebagai Panglima Siliwangi, kemudian muncul sebagai jenderal yang menjadi ujung tombak upaya pembaharuan struktur politik Indonesia hingga setidaknya pada tahun 1969. Salah satu gagasannya bersama sejumlah kelompok sipil independen adalah konsep Dwi Partai. Perwira idealis lainnya adalah Mayjen Kemal Idris yang pada tahun 1966 menjadi Kepala Staf Kostrad dan berperan sebagai pencipta momentum dalam peristiwa ‘pasukan tak dikenal’ yang mengepung Istana pada 11 Maret 1966. Berita kehadiran ‘pasukan tak dikenal’ telah membuat panik Presiden Soekarno dan sejumlah menterinya dan menjadi awal dari ‘drama’ politik lahirnya Surat Perintah 11 Maret 1966.

Tak ada jenderal lain yang begitu dekat dan dipercaya para mahasiswa 1966, melebihi ketiga jenderal ini. Begitu populernya mereka, sehingga kadangkala kepopuleran Sarwo Edhie, HR Dharsono dan Kemal Idris misalnya, melebihi popularitas Soeharto saat itu. Apalagi ketika Soeharto kemudian terlalu berhati-hati dan taktis menghadapi Soekarno selama 17 bulan di tahun 1965-1967, sehingga di mata mahasiswa terkesan sangat kompromistis. Tetapi kepopuleran tiga jenderal ini di kemudian hari juga menjadi semacam bumerang bagi karir mereka selanjutnya. Melalui suatu proses yang berlangsung sistematis mereka disisihkan dari posisi-posisi strategis dalam kekuasaan baru untuk akhirnya tersisih sama sekali.

RABU 28 Juli 2010 pukul 03.30 dinihari Letnan Jenderal Purnawirawan Kemal Idris meninggal dunia dalam usia 87 tahun karena komplikasi berbagai penyakit. Kepergian Letnan Jenderal Kemal Idris ini menjadi kepergian terakhir yang melengkapi kepergian tiga jenderal idealis perjuangan 1966. Ketiganya pergi dengan kekecewaan mendalam terhadap Jenderal Soeharto. Sebelum meninggal dunia, Letnan Jenderal HR Dharsono sempat dipenjarakan beberapa tahun oleh Soeharto dan para jenderal generasi muda pengikutnya dengan tuduhan terlibat gerakan subversi. Sementara Letnan Jenderal Sarwo Edhie Wibowo berkali-kali disisihkan dari peranan-peranan dalam kekuasaan dan pemerintahan oleh Soeharto dengan cara-cara yang tidak elegan dan mengecewakan. Tapi Sarwo Edhie Wibowo tak pernah melontarkan kecaman terbuka kepada Soeharto, kecuali menyampaikan keluhan bernada kecewa, kepada beberapa orang yang dianggapnya memiliki idealisme dan keprihatinan yang sama mengenai cara Soeharto menjalankan kekuasaan. Kemal Idris juga bersikap kritis terhadap Soeharto namun tak pernah berkonfrontasi dengan mantan atasannya itu. Tapi tak urung, Kemal Idris pernah ikut dengan kelompok Petisi 50 yang bersikap kritis terhadap Jenderal Soeharto.

KEMAL IDRIS berkali-kali berada pada posisi peran dan keterlibatan dalam beberapa peristiwa sejarah yang penting di masa-masa kritis republik ini. Dalam Peristiwa 17 Oktober 1952, saat kelompok perwira Angkatan Darat berbeda pendapat dan berkonfrontasi dengan Presiden Soekarno, sebagai perwira muda yang kala itu berusia 29 tahun, Kemal Idris ada di belakang meriam yang moncongnya dihadapkan ke istana. Empat tahun sebelumnya, Kemal Idris dengan pasukannya dari Divisi Siliwangi ikut dalam operasi penumpasan Pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948.

Pada tanggal 11 Maret 1966 sekali lagi Kemal Idris berada dalam pusat pusaran sejarah. Sejak pagi hari pada tanggal itu sebenarnya Presiden Soekarno berada dalam suatu keadaan cemas dan tertekan. Menurut rencana, hari itu akan ada Sidang Kabinet, namun Soekarno was-was mengenai faktor keamanan bila sidang itu diselenggarakan di Jakarta. Ia menelpon Panglima Kodam Jaya Amirmahmud pukul 07.00 dari Istana Bogor, menanyakan apakah aman bila sidang itu dilakukan di Jakarta. Sang panglima memberikan jaminan dan menjanjikan takkan terjadi apa-apa. Beberapa jam kemudian, ketika sidang itu akan dimulai, sekali lagi Soekarno bertanya kepada Amirmahmud dan mendapat jawaban “Jamin pak, aman”.

Soekarno meminta Amirmahmud untuk tetap berada dalam ruang sidang. Namun sewaktu sidang baru berlangsung sekitar sepuluh menit, Komandan Tjakrabirawa Brigjen Saboer terlihat berulang-ulang menyampaikan memo kepada Amirmahmud. Isinya memberitahukan adanya pasukan yang tak jelas identitasnya berada di sekitar istana tempat sidang kabinet berlangsung. Ia meminta Amirmahmud keluar sejenak, tetapi Panglima Kodam ini berulang-ulang menjawab hanya melalui gerak telapak tangan dengan ayunan kiri-kanan seakan isyarat takkan ada apa-apa. Tapi bisa juga sekedar tanda bahwa ia tidak bisa dan tidak mau keluar dari ruang rapat kabinet.. Meskipun adegan ini berlangsung tanpa suara, semua itu tak luput dari penglihatan Soekarno dan para Waperdam yang duduk dekatnya.

Tak mendapat tanggapan dan Amirmahmud tak kunjung beranjak dari tempat duduknya, Brigjen Saboer akhirnya menyampaikan langsung satu memo kepada Soekarno. Setelah membaca, tangan Soekarno tampak gemetar dan memberi memo itu untuk dibaca oleh tiga Waperdam yang ada di dekatnya. Soekarno lalu menyerahkan kepemimpinan sidang kepada Leimena dan meninggalkan ruang sidang dengan tergesa-gesa. Soekarno menuju sebuah helikopter yang tersedia di halaman istana. Dengan helikopter itu, Soekarno dan Soebandrio menuju Istana Bogor. Sebenarnya, Amirmahmud sendiri –yang ingin menunjukkan kepada Soekarno bahwa ia mampu menjamin keamanan sidang kabinet tersebut– saat itu pun tak mengetahui mengenai kehadiran pasukan tak dikenal itu. Sepenuhnya, pasukan ini bergerak atas inisiatif Kepala Staf Kostrad Brigjen Kemal Idris. Pasukan itu diperintahkan untuk mencopot tanda-tanda satuannya dan bergerak ke sekitar istana. Seorang perwira tinggi AD mengungkapkan di kemudian hari bahwa pasukan tersebut sebenarnya dimaksudkan untuk melindungi demonstran mahasiswa, karena dalam peristiwa sebelumnya para mahasiswa itu berkali-kali menjadi korban kekerasan Pasukan Tjakrabirawa, dan sudah jatuh korban jiwa di kalangan mahasiswa.

Tapi apa pun yang sebenarnya telah terjadi, kehadiran ‘pasukan tak dikenal’ yang dikerahkan Brigjen Kemal Idris itu, telah menimbulkan kejutan terhadap Soekarno yang pada akhirnya berbuah lahirnya Surat Perintah 11 Maret 1966. Dengan Surat Perintah 11 Maret di tangannya, Letnan Jenderal Soeharto langsung membubarkan PKI dan seluruh organisasi mantelnya, keesokan harinya. Cukup menarik bahwa Soekarno tidak secara spontan bereaksi terhadap tindakan Soeharto yang mempergunakan Surat Perintah 11 Maret itu untuk membubarkan PKI. Nanti setelah beberapa menteri dalam kabinetnya, terutama Soebandrio, mempersoalkannya, barulah ia menunjukkan complain.

Digambarkan pula adanya peranan Soebandrio untuk menimbulkan kegusaran Soekarno, dengan menyampaikan informasi bahwa Jenderal Soeharto dan TNI-AD bermaksud akan menyerang Istana Presiden. Menurut Sajidiman Surjohadiprojo yang pada tahun 1996 masih berpangkat kolonel, “Karena informasi itu, angkatan-angkatan lainnya mengadakan konsinyering pasukan. Jakarta menghadapi kegawatan besar, karena setiap saat dapat terjadi pertempuran antara TNI-AD dengan tiga angkatan lainnya. Untunglah, kemudian Jenderal AH Nasution berhasil memanggil ketiga panglima angkatan lainnya. Meskipun waktu itu Pak Nas tidak mempunyai legalitas untuk melakukan hal itu, tetapi wibawanya masih cukup besar untuk membuat ketiga panglima bersedia hadir. Juga diundang Panglima Kostrad yang diwakili oleh Mayor Jenderal Kemal Idris, Kepala Staf Kostrad. Dalam pertemuan itu dapat dijernihkan bahwa samasekali tidak ada rencana TNI-AD untuk menyerang Istana Presiden dan Pangkalan Halim. Pasukan Kostrad melakukan kesiagaan karena melihat angkatan lain mengkonsinyir pasukannya. Setelah semua pihak menyadari kesalahpahaman, maka kondisi kembali tenang. Semua pasukan ditarik dari posisi yang sudah siap tempur dan Jakarta luput dari pertempuran besar”.

Dalam Sidang Umum MPRS, 20 Juni hingga 5  Juli 1966, Surat Perintah 11 Maret 1966 disahkan sebagai Tap MPRS. Selain itu sejumlah tuntutan mahasiswa agar gelar Pemimpin Besar Revolusi dan jabatan Presiden Seumur Hidup dicabut, terpenuhi dalam Sidang Umum ini. Jenderal AH Nasution dipilih secara aklamasi sebagai Ketua MPRS. Pertanggungjawaban Presiden Soekarno ditolak. Kabinet dibubarkan, dan MPRS memberi ‘mandat’ kepada pengemban Super Semar untuk membentuk Kabinet baru yang disebut Kabinet Ampera. Hingga sejauh yang terlihat kasat mata, semua tuntutan tampaknya telah terpenuhi melalui SU IV MPRS. Tetapi pada sisi lain, SU MPRS ini seakan menjadi tonggak titik balik bagi gerakan-gerakan ekstra parlementer mahasiswa yang konfrontatif. Selama Sidang Umum, mahasiswa mematuhi anjuran untuk tidak melakukan gerakan-gerakan ekstra parlementer. Tetapi Sidang Umum menganjurkan agar gerakan ekstra parlementer tidak lagi digunakan seterusnya, karena untuk selanjutnya jalan yang ditempuh adalah apa yang dinyatakan oleh AH Nasution sebagai taktik konstitusional.

Sebelum Sidang Umum, gerakan ekstra parlementer, langsung atau tidak, menjadi penopang penting bagi tentara untuk menekan Soekarno secara efektif. Tapi kini berbeda. Secara umum memang terlihat bahwa Soeharto dan rekan-rekannya di Angkatan Darat sudah mulai tidak membutuhkan suatu kekuatan mahasiswa yang bergerak sebagai pressure group di jalanan dalam gerakan-gerakan ekstra konstitusional. Soeharto untuk sementara lebih membutuhkan ‘dukungan damai’ mereka dalam forum-forum legislatif yang tampaknya lebih mudah dikendalikan. Dengan situasi seperti ini, apa yang disebut sebagai Partnership ABRI-Mahasiswa, memang perlu dipertanyakan. Apakah ia sesuatu yang nyata sebagai realitas politik ataukah hanya setengah nyata atau samasekali berada dalam dataran retorika belaka dalam rangka permainan politik? Terlihat bahwa bagi Angkatan Darat di bawah Soeharto, partnership itu tak lebih tak kurang adalah masalah taktis belaka, dan mahasiswa ada dalam posisi kategori alat politik dalam rangka kekuasaan.

Kalau pun ada yang mengartikan partnership itu sebagai suatu keharusan faktual dan strategis, tak lain hanya para jenderal yang termasuk kelompok perwira intelektual dan idealis seperti Sarwo Edhie, HR Dharsono, Kemal Idris dan sejumlah perwira sekeliling mereka yang secara kuantitatif ternyata minoritas di tubuh Angkatan Darat. Partnership itu memang terasa keberadaannya dan efektifitasnya sepanjang berada di samping para jenderal idealis itu serta pasukan-pasukan di bawah komando mereka. Tetapi luar itu, partnership tak punya arti samasekali. Dalam berbagai situasi yang sangat membingungkan, tatkala berada dekat kesatuan tentara yang disangka partner, kerapkali para mahasiswa justru bagaikan berada di samping harimau dan sewaktu-waktu menjadi korban kekerasan tentara.

SEJARAH kemudian memang memperlihatkan dengan jelas betapa ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) yang telah naik panggung sebagai pemeran utama kekuasaan politik dan negara dengan dukungan rakyat –yang terutama sekali dukungan mahasiswa Angkatan 1966 sebagai faktor dan fakta penting yang tidak bisa diabaikan– secara berangsur-angsur namun pasti mulai melejit sendiri meninggalkan sang partner. Partnership ABRI-mahasiswa hapus dari kamus politik kekuasaan tentara. Teristimewa setelah pada tahun 1967 Jenderal Soeharto dikukuhkan menjadi Pejabat Presiden menggantikan Soekarno.

Beberapa sumbangan pemikiran serta pandangan kritis, cenderung tak diindahkan lagi, bahkan dalam banyak hal ditafsirkan sebagai tanda-tanda ‘perlawanan’. Beberapa pendapat kritis yang konstruktif ditanggapi beberapa petinggi militer dalam kekuasaan dengan cara-cara yang berbeda dengan masa-masa sebelumnya. Peringatan-peringatan kelompok mahasiswa yang pernah digambarkan sebagai partner,  tentang gejala korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan serta tindakan-tindakan anti demokrasi yang terjadi, misalnya, sudah mulai dituding sebagai upaya sistimatis untuk mendiskreditkan Dwifungsi ABRI dan Orde Baru. Tak jarang dilengkapi tuduhan ditunggangi sisa-sisa Orde Lama dan PKI. Kalau ada segelintir perwira yang tidak berubah sikap, maka itu tak lain adalah tiga jenderal idealis Sarwo Edhie Wibowo, HR Dharsono dan Kemal Idris. Namun perlahan tapi pasti satu persatu mereka pun disingkirkan dari kekuasaan.

Kisah Tiga Jenderal Dalam Pusaran Peristiwa 11 Maret 1966 (4)

“Tetapi di balik itu ada kesan bahwa Soekarno tak terlalu bersikeras menunjukkan upaya menganulir keputusan pembubaran PKI itu, meskipun sesekali tetap mengeluarkan pernyataan-pernyataan keras. Timbul spekulasi bahwa ia sebenarnya telah mengalah pada Soeharto mengenai soal PKI ini, hanya saja ia tak mau memakai tangan dan mulutnya sendiri melakukan pembubaran itu. Dan adalah Soeharto yang melakukan hal itu 12 Maret setelah melalui suatu lekuk-liku proses kekuasaan yang khas Jawa –bagaikan dalam dunia pewayangan– antara dirinya dengan Soekarno”.

Pintu menuju kekuasaan baru

BUTIR-BUTIR yang terkandung dalam Surat Perintah 11 Maret 1966 dari Soekarno kepada Jenderal Soeharto, untuk sebagian adalah butir-butir ‘karet’ yang bisa serba tafsir, baik bagi Soekarno maupun bagi Soeharto. Akhirnya, siapa yang lebih memiliki kekuatan akan menang dalam penafsiran. Bilamana Soekarno masih memiliki kekuatan lebih, maka Jenderal Soeharto sebagai pemegang Surat Perintah tersebut, akan menjadi alat keamanan belaka bagi Soekarno. Dan pada waktunya, pasti akan dicabut. Tetapi faktanya, saat itu kekuatan Soekarno sedang mengalami erosi, meski belum longsor sama sekali. PKI yang menjadi pendukung dan sekutu taktisnya untuk seberapa lama, sedang mengalami proses pembasmian serentak di seluruh penjuru Indonesia, setelah teropinikan sebagai pelaku makar dan pelaku kekejaman –membunuh enam jenderal dan seorang perwira pertama di Jakarta ditambah dua perwira menengah di Yogyakarta– melalui Gerakan 30 September. Sedang Soekarno sendiri tampaknya bersikeras untuk tidak membubarkan PKI, dan memilih menentang arus utama opini kala itu.

Sementara itu, PNI yang semestinya menjadi sumber dukungan strategis bagi Soekarno, setelah peristiwa ikut mengalami imbas karena dalam opini masa lampau tergambarkan sebagai partner PKI dalam struktur Nasakom. Apalagi, Sekertaris Jenderal PNI Ir Surachman diindikasikan sebagai berideologi kiri. Selain itu, secara faktual, sejak lama internal PNI juga tidak utuh, dan segera setelah Peristiwa 30 September, sayap ini ‘melepaskan’ diri sebagai PNI Osa-Usep. Pemisahan diri ini menyebabkan pembelahan kekuatan PNI secara nasional, termasuk di tingkat organisasi sayap.

Meskipun sebagian pengikut PNI Osa-Usep masih mendukung Soekarno, tetapi tak kurang pula yang berangsur-angsur berubah menjadi penentang Soekarno. Tokoh GMNI Jawa Barat, Sjukri Suaidi misalnya, yang tergabung dalam kesatuan aksi bahkan sampai kepada pernyataan meragukan kepantasan Soekarno untuk tetap dianggap sebagai Bapak Marhaen. Sementara itu tokoh GMNI yang lain, mahasiswa ITB Siswono Judohusodo yang pertengahan Januari ikut dalam Barisan Soekarno, tersudut ke dalam suatu posisi dilematis. Kendati ia adalah pemuja Soekarno, pada dasarnya sebagai mahasiswa yang rasional ia juga bisa membenarkan pendapat rekan-rekannya sesama mahasiswa ITB bahwa Soekarno yang telah terlalu lama berkuasa dan pada masa-masa terakhir kekuasaannya kala itu telah tergelincir melakukan sejumlah kekeliruan politik, sudah saatnya untuk diakhiri kekuasaannya.

Menurut Siswono, mengenai Soekarno ada tiga kelompok sikap. Yang pertama, apapun, pokoknya Bung Karno tak boleh diapa-apakan. Yang kedua, adalah sebaliknya, Soekarno memang harus mendapat pelajaran dan harus diganti dan tidak perlu dengan cara terhormat. Yang ketiga, memang sudah saatnya Soekarno diganti, tetapi hendaknya dengan cara yang terhormat, tanpa merendahkannya. Siswono masuk ke dalam kelompok ketiga ini. Ia tidak setuju dengan yang pertama, sebagaimana ia menolak sikap kelompok kedua yang telah merendahkan Soekarno. “Apakah orang yang berjasa seperti itu dianggap sebagai maling yang bisa ditendang begitu saja?”. Karena mayoritas mahasiswa Bandung secara dini merupakan barisan anti Soekarno, maka Siswono dianggap berada di ‘seberang’, meskipun ia pernah dalam kebersamaan pada Peristiwa 10 Mei 1963. Apalagi kemudian ia bergabung dengan barisan Soekarno, dan melakukan pendudukan kampus ITB di bulan Pebruari sewaktu mahasiswa ITB baru saja memulai suatu long march ke Jakarta. Ia mengaku menduduki kampus agar long march batal. Karena, ”long march itu akan berdampak terjadinya benturan luar biasa”. Ia kuatir mahasiswa-mahasiswa itu akan berhadapan dengan pendukung-pendukung Soekarno yang tidak ingin Soekarno diturunkan, apalagi dengan cara tidak terhormat. Keterlibatannya dalam pendudukan kampus ITB, membuat Siswono ditangkap oleh Siliwangi pada bulan Maret dan ditahan sampai April. Tentang Barisan Soekarno yang terlibat dalam tindak kekerasan dalam Peristiwa 19 Agustus 1966, ia memberi penjelasan, “itu tidak dilakukan oleh Barisan Soekarno yang saya pimpin”. Ia mengaku, “saya sendiri tidak tahu dari mana orang-orang yang banyak itu”.

Sementara itu adalah ironis pula bahwa tatkala di berbagai daerah PNI menjadi tumbal yang berpasangan dengan PKI dan di daerah lainnya lagi bahkan menjadi tumbal pengganti bagi PKI, justru di daerah basisnya di Jawa Tengah dan juga Jawa Timur serta Bali, PNI mengalami benturan dengan massa PKI dalam pola pilihan ‘lebih dulu membantai atau dibantai’. Dengan aneka ragam sikap dalam tubuh PNI, serta aneka masalah yang dihadapi lapisan massa PNI, sebagai resultante tercipta PNI yang tidak siap menjadi pendukung handal bagi Soekarno untuk saat itu, dalam artian hanya cukup untuk keperluan defensif.

Situasi terberat yang dihadapi Soekarno kala itu adalah bahwa ia sebenarnya mulai ‘tersisih’ –setidaknya berkemungkinan untuk itu– dari arus utama opini dan pengharapan rakyat yang telah melangkah ke tahap memikirkan suatu perubahan, dan tinggal memiliki sisa-sisa penghormatan berdasar paternalisme dari sebagian rakyat. Kaum elite Jakarta –yang pada hakekatnya banyak menyerap referensi pemikiran dan gaya kehidupan barat yang modern– misalnya, di bawah permukaan sejak lama telah merasa terganggu kebebasannya oleh Soekarno yang melakukan serba pembatasan. Mulai dari pelarangan film-film barat, dansa barat jenis baru sampai kepada permusuhan terhadap musik yang disebutnya sebagai ngakngikngok –terutama The Beatles dari Inggeris dan Koes Bersaudara– padahal musik-musik dinamis itu memikat hati kaum muda terutama dari kalangan elite yang sebenarnya lebih nyaman dan terbiasa dengan hal-hal yang berbau barat. Soekarno juga merampas kebebasan pilihan cara berpakaian dan bersikap, dengan intervensi untuk mengatur soal  pakaian dan cara bersikap lainnya yang harus “sesuai dengan kepribadian nasional”.

Sementara itu, perlahan namun pasti, kalangan rakyat di lapisan akar rumput, mulai jenuh akan kemelaratan ekonomi yang berkepanjangan dan mengalami pengikisan rasa percaya kepada pemerintahan Soekarno kendati masih mendua karena masih terdapatnya sisa rasa ‘pemujaan’ mereka terhadap Soekarno. Selain Soekarno, tentu saja PKI dengan segala provokasi anti barat dan anti kebebasan perorangan, menjadi sasaran kebencian terpendam dan atau sasaran pantul dari mereka yang masih mendua terhadap Soekarno, seperti misalnya yang banyak terjadi di kalangan elite pengikut PNI. Tapi dalam banyak kasus, PNI sendiri justru juga mengalami bias kebencian itu. Ini menjelaskan, kenapa seruan Soekarno untuk membentuk Barisan Soekarno dalam realitanya hanya mampu menimbulkan riak-riak kecil perlawanan untuk pembelaan Soekarno, namun tak pernah mencapai tingkat yang signifikan untuk membalikkan posisi Soekarno yang melemah.

Dengan Surat Perintah 11 Maret di tangannya, Letnan Jenderal Soeharto langsung membubarkan PKI dan seluruh organisasi mantelnya, keesokan harinya. Sejak gerak cepatnya berhasil membersihkan Jakarta dari Gerakan 30 September, Soeharto telah tampil di mata mahasiswa, pelajar, pemuda dan rakyat pada umumnya sebagai pahlawan penyelamat. Dan dalam tempo yang cukup cepat dan sistimatis mematahkan mitos kekuasaan Soekarno. Kini dengan pelimpahan surat perintah tanggal 11 Maret itu dari Soekarno, ia melangkah setapak lagi lebih ke depan ke dalam kekuasaan negara, dan mengawali kelahiran mitos baru sebagai pahlawan yang dengan kesaktian Pancasila telah menyelamatkan bangsa dan negara dari malapetaka bahaya komunis. Dengan posisi dan situasi baru di atas angin, penafsirannya terhadap butir-butir Surat Perintah 11 Maret itu, lebih unggul. Meskipun dalam setiap kesempatan formal Soekarno masih selalu menolak pembubaran PKI, Soeharto toh melakukannya melalui suatu surat keputusan selaku pengemban Surat Perintah 11 Maret 1966. Konsep surat keputusan pembubaran itu, disusun oleh Kolonel Sudharmono SH dan Letnan Drs Moerdiono berdasarkan perintah Soeharto melalui Ketua G-5 KOTI Brigjen Soetjipto.

Cukup menarik bahwa Soekarno tidak secara spontan bereaksi terhadap tindakan Soeharto yang mempergunakan Surat Perintah 11 Maret itu untuk membubarkan PKI. Nanti setelah beberapa menteri dalam kabinetnya, terutama Soebandrio, mempersoalkannya, barulah ia menunjukkan complain. Suatu kemarahan yang mungkin saja artifisial, lalu ditunjukkan oleh Soekarno. Menurut penuturan Sajidiman Surjohadiprodjo yang waktu itu adalah perwira staf di Markas Besar Angkatan Darat dengan pangkat Kolonel, Soekarno menganggap Soeharto telah melampaui wewenang. Itu dinyatakannya kepada Amirmahmud, salah seorang perwira tinggi yang menjemput Surat Perintah 11 Maret di Istana Bogor dua hari sebelumnya. Panglima Kodam Jaya ini menjawab bahwa sesuai surat perintah itu, Soeharto memang berhak bertindak untuk dan atas nama Presiden Soekarno, sepanjang hal itu perlu menjamin keamanan dan menjaga kewibawaan presiden. Namun, tulis Sajidiman, “Presiden Soekarno tidak dapat menerima argumentasi itu dan memanggil panglima angkatan lainnya”.

Digambarkan adanya peranan Soebandrio untuk menimbulkan kegusaran Soekarno, dengan menyampaikan informasi bahwa Jenderal Soeharto dan TNI-AD bermaksud akan menyerang Istana Presiden. “Karena informasi itu, angkatan-angkatan lainnya mengadakan konsinyering pasukan. Jakarta menghadapi kegawatan besar, karena setiap saat dapat terjadi pertempuran antara TNI-AD dengan tiga angkatan lainnya. Untunglah, kemudian Jenderal AH Nasution berhasil memanggil ketiga panglima angkatan lainnya. Meskipun waktu itu Pak Nas tidak mempunyai legalitas untuk melakukan hal itu, tetapi wibawanya masih cukup besar untuk membuat ketiga panglima bersedia hadir. Juga diundang Panglima Kostrad yang diwakili oleh Mayor Jenderal Kemal Idris, Kepala Staf Kostrad. Dalam pertemuan itu dapat dijernihkan bahwa samasekali tidak ada rencana TNI-AD untuk menyerang Istana Presiden dan Pangkalan Halim. Pasukan Kostrad melakukan kesiagaan karena melihat angkatan lain mengkonsinyir pasukannya.

Setelah semua pihak menyadari kesalahpahaman, maka kondisi kembali tenang. Semua pasukan ditarik dari posisi yang sudah siap tempur dan Jakarta luput dari pertempuran besar”. Soeharto sendiri mengakui bahwa sekitar waktu itu, “sudah ada yang berbisik-bisik pada saya, untuk merebut kekuasaan dengan kekerasan. Tetapi tidak pernah terlintas satu kalipun di benak saya untuk melakukannya”.  Tetapi di balik itu ada kesan bahwa Soekarno tak terlalu bersikeras menunjukkan upaya menganulir keputusan pembubaran PKI itu, meskipun sesekali tetap mengeluarkan pernyataan-pernyataan keras. Timbul spekulasi bahwa ia sebenarnya telah mengalah pada Soeharto mengenai soal PKI ini, hanya saja ia tak mau memakai tangan dan mulutnya sendiri melakukan pembubaran itu. Dan adalah Soeharto yang melakukan hal itu 12 Maret setelah melalui suatu lekuk-liku proses kekuasaan yang khas Jawa –bagaikan dalam dunia pewayangan– antara dirinya dengan Soekarno.

Berlanjut ke Bagian 5

Tatkala Presiden Tersinggung dan Marah (1)

“JENDERAL Soeharto adalah seorang yang tampil sabar, santun dan bahkan kerapkali dianggap terlalu low profile pada masa-masa awal menapak ke dalam pucuk kekuasaan negara. Banyak kemiripannya dengan Susilo Bambang Yudhoyono yang pada tahun-tahun awal kepresidenannya dikenal sangat santun, sehingga kerap malah dianggap seorang yang lemah dan peragu”.

DALAM masa kepresidenannya yang pertama, khususnya pada tahun-tahun pertama, Susilo Bambang Yudhoyono yauh lebih sabar. Namun, setidaknya pada tahun terakhir periode kesatu itu, dan tahun pertama masa kepresidenannya yang kedua, saat ‘jam terbang’nya dalam kekuasaan sudah lebih tinggi, sang Presiden sedikit berubah. Menjadi lebih reaktif, untuk tidak menyebutnya lebih agresif dalam bereaksi, terutama bilamana ada lontaran kritik. Kadangkala kritik-kritik itu tampaknya sudah dianggap serangan terhadap dirinya pribadi yang bertujuan untuk menggoyang dan menjatuhkannya dari kekuasaan. Pada sisi lain, entah karena mendapat laporan intelejen, entah masukan apa, kadangkala Susilo Bambang Yudhoyono malah ‘berinisiatif’ melontarkan pernyataan-pernyataan yang dinilai tajam dan keras, sehingga akhirnya memancng reaksi dari tengah khalayak politik dan dari publik secara berkepanjangan.

Tak lama setelah peristiwa pemboman JW Marriots-Ritz Carlton, Susilo Bambang Yudhoyono mengungkapkan laporan intelejen tentang adanya usaha menggagalkan pemilihan umum dan bahkan ada rencana pembunuhan atas dirinya. Kemudian, atas terbitnya buku George Junus Aditjondro, ‘Membongkar Gurita Cikeas”, SBY memberi reaksi yang beberapa langkah lagi bisa overdosis. Padahal, buku itu, kecuali judulnya yang membawa-bawa nama wilayah rumah kediaman Presiden di belakang nama  seekor mahluk laut yang berlengan delapan, isinya lebih merupakan laporan jurnalistik tentang sejumlah yayasan atau institusi yang kebetulan melibatkan nama orang dekat –atau mendekat-dekatkan diri– ke lingkungan Cikeas. Apa yang diungkapkan dalam bukan itu sendiri, umumnya bukan hal yang baru, karena sudah pernah dimuat di berbagai penerbitan pers, media elektronik dan sebagainya. Kalaupun ada yang ‘berat’ dalam buku itu, maka itu adalah bagian kesimpulan yang mencoba mengaitkan penggalangan dana yang besar dan pembelian suara sehingga perolehan suara Partai Demokrat dan perolehan suara SBY dalam pemilhan umum melonjak. “Dengan kata lain, kemenangan SBY bukan hanya karena kehebatan kharismanya…”. Tapi inipun bukan tuduhan baru, karena telah dilontarkan banyak pihak sebelumnya seusai pemilihan umum. Persoalan baru akan menjadi ‘berat’ dan ‘serius’ kalau pemaparan-pemaparan itu kemudian dipakai sebagai jembatan untuk menelisik lebih jauh, apakah aktivitas atau sepak terjang institusi-institusi itu punya benang merah dalam permainan untuk melanggengkan kekuasaan. Buku itu sendiri tidak membuktikan apa-apa bahwa telah terjadi sesuatu yang melanggar hukum.

Terbaru, adalah kepekaan Presiden dan Partai Demokrat terhadap sepak terjang politisi partai-partai dalam kaitan Pansus Century. Karena Partai Golkar dianggap juga ikut berperan aktif dalam Pansus –selain PDIP dan partai-partai non-koalisi– maka beberapa tokoh Partai Demokrat melontarkan isu reshuffle kabinet, yang lebih diartikan sebagai ancaman dikeluarkannya tokoh-tokoh Golkar dari Kabinet SBY. Adalah pada waktu yang hampir bersamaan, Presiden mengeluarkan instruksi penegakan hukum yang lebih tegas, termasuk bagi para pelanggar perpajakan. Dan merupakan kebetulan bahwa salah satu perusahaan Aburizal Bakrie, Ketua Umum Partai Golkar, sedang mengalami masalah perpajakan, sehingga ditafsirkan bahwa SBY sedang mengancam Ketua Golkar itu.

Berikut ini, bukan kisah kemarahan Soesilo Bambang Yudhoyono, tetapi mengenai beberapa kisah tentang kemarahan Presiden Soeharto terutama saat jam terbangnya dalam kekuasaan sudah semakin tinggi. Dan juga tentang kemarahan ‘terkendali’ Presiden Soekarno, yang digantikan oleh Presiden Soeharto.

Dari ‘tempiling’ hingga akal menghimpun dana

JENDERAL Soeharto adalah seorang yang tampil sabar, santun dan bahkan kerapkali dianggap terlalu low profile pada masa-masa awal menapak ke dalam pucuk kekuasaan negara. Banyak kemiripannya dengan Susilo Bambang Yudhoyono yang pada masa-masa awal pun dikenal sangat santun, sehingga karenanya kerap malah dianggap seorang peragu.

Jenderal Soeharto dikenal pendiam. Kalaupun sedang marah, seringkali tak terbaca oleh orang lain, karena ia diam saja. Hanya pada 13 Juni 1967 Soeharto sedikit menunjukkan ‘kemarahan’nya ketika dalam suatu pertemuan dengan aktivis 1966, tokoh kesatuan aksi Adnan Buyung Nasution mengeritik dwi-fungsi ABRI dan mengatakan ABRI sudah terlalu rakus, ingin mengangkangi semua di tangannya. Setelah berusaha keras menahan marah, akhirnya dengan sedikit berang Jenderal Soeharto berkata “Kalau bukan saudara Buyung yang mengatakan, pasti sudah saya tempiling….”.

Kemenangan besar Golkar dalam Pemilihan Umum 1971, membawa Jenderal Soeharto ke posisi kekuasaan yang lebih kokoh. Golkar memenangkan 236 kursi dari 360 kursi DPR yang diperebutkan, yang berarti 65, 55 %. Selain itu, sesuai konsensus bahwa anggota ABRI tidak ikut pemilihan umum namun sebagai gantinya mendapat kursi perwakilan di DPR, sebanyak 100 kursi di luar kursi yang diperebutkan dalam pemilihan umum. Dari yang 100 itu, Presiden Soeharto memutuskan 75 diberikan kepada perwakilan ABRI dan menjadi Fraksi ABRI di DPR-RI, sedang 25 sisanya adalah anggota DPR yang diangkat, berasal dari kalangan sipil atau pensiunan militer dan polisi. Mereka yang disebut terakhir ini digabung ke dalam Fraksi Karya. Dengan demikian jumlah anggota DPR seluruhnya 460. Dari jumlah itu, praktis 336 di antaranya adalah barisan pendukung yang solid bagi Soeharto.

Dengan menguasai 73,60% kursi DPR, dan dengan demikian juga di Lembaga Tertinggi Negara, MPR-RI, Presiden Soeharto menjadi pemimpin negara yang sangat berkuasa. Bila koalisi yang dibentuk Soesilo Bambang Yudhoyono –yang memenangi lebih dari 60 persen suara dalam Pemilihan Presiden 2009– solid, maka sebenarnya pemerintahan SBY tak kalah kuatnya. Tapi koalisi SBY itu, dengan pendukung utama Partai Demokrat yang memenangi hanya sekitar 21 persen suara dalam pemilihan umum, rupanya cukup rapuh dan masih mudah bergoyang-goyang. Partai-partai yang ikutan dengan mendapat kursi di kabinet, adalah partai-partai yang tak bisa dikendalikan sepenuhnya, lahir maupun batin, karena mempunyai dan memang lebih mengutamakan kepentingan-kepentingannya sendiri.

Dengan posisi kekuasaan yang lebih kokoh, Jenderal Soeharto, cukup banyak berubah dalam praktek kekuasaan sehari-hari. Ini terjadi terutama setelah memperoleh legitimasi dalam Pemilihan Umum 1971 –yang selalu berhasil diperbaharui dalam pemilihan-pemilihan umum berikutnya. Berangsur-angsur kekuasaan makin mengumpul dalam tangannya seorang. Beberapa kali ia lebih menampilkan rasa marahnya kepada berbagai pihak yang dianggap menentang dirinya, dalam beberapa forum, maupun lewat titipan pesan atau setidaknya diekspresikannya dengan wajah cemberut. Termasuk, kepada sejumlah jenderal kelompok idealis yang sebenarnya sama berjasanya dengan dirinya pada tahun 1965 dan dalam masa transisi 1966-1967, seperti Letnan Jenderal Sarwo Edhie Wibowo, Letnan Jenderal HR Dharsono dan kemudian kepada Jenderal AH Nasution. Karena rasa tidak senang, ia meninggalkan Letnan Jenderal Sarwo Edhie di luar lingkaran kekuasaan, bahkan kemudian suatu ketika menyuruh tangkap Letnan Jenderal HR Dharsono. Rasa marah yang sama juga pernah dilontarkannya kepada kelompok generasi muda, khususnya kelompok mahasiswa, antara lain dalam kaitan aksi-aksi protes terhadap rencana pembangunan Taman Mini Indonesia Indah yang digagas oleh isterinya, Siti Suhartinah Soeharto.

Saat gagasan itu dilontarkan terbuka oleh Ibu Tien selaku Ketua Yayasan Harapan Kita di depan forum pertemuan Gubernur se Indonesia pada bulan Desember 1971 –suatu forum yang di mata publik janggal bagi seorang isteri Kepala Negara untuk tampil dan apalagi selaku pimpinan yayasan swasta– segera saja reaksi penolakan merebak di masyarakat, di kalangan cendekiawan, para teknokrat dan di kalangan mahasiswa kritis, terutama di Jakarta dan Bandung. Pertemuan itu adalah atas permintaan Siti Suhartinah Soeharto yang mengetahui akan diselenggarakannya rapat gubernur se Indonesia.

Dalam forum pertemuan para Gubernur itu, Ibu Tien meminta keikutsertaan para Gubernur untuk membangun rumah-rumah adat khas daerahnya dan mengisinya dengan penggambaran kebudayaan dan kesenian khas, serta penyajian berbagai hasil kerajinan daerah di suatu tempat yang disebut Taman Mini Indonesia Indah. Sekertaris Kabinet Sudharmono SH dalam keterangan pers setelah pertemuan Gubernur itu memberikan suatu penjelasan yang moderat, “Karena pemerintah sedang memusatkan perhatian dari sumber dana yang ada bagi pembangunan ekonomi, pemerintah dapat menyetujui kalau proyek itu dapat dibiayai oleh masyarakat sendiri”. Untuk itu –mengulangi apa yang diutarakan ibu Tien di forum pertemuan dengan gubernur– diperlukan dukungan masyarakat luas, dan diminta agar “para Gubernur yang juga mempunyai kepentingan untuk menyajikan seni budaya daerah masing-masing mengerahkan potensi di daerahnya untuk pembangunan TMII”.

Ibu Tien menggunakan kesempatan pada forum tersebut untuk membantah berita di luar bahwa biaya TMII yang seringkali disebut Proyek Mini mencapai US$ 50,000,000 bahkan mencapai US$ 100,000,000 atau US$ 300,000,000. Waktu itu, kurs per dollar masih berkisar sekitar 200 rupiah (sebelum berangsur-angsur naik hingga Rp.415). Ibu Tien menyebut angka Rp.10,5 milyar dan meminta para gubernur berpartisipasi mengumpulkan dana tersebut. Menteri Dalam Negeri Amirmahmud dengan gesit dan agresif menyambut bola yang dilontarkan ibu negara. “Ibu Tien tak usah kuatir”, ujarnya kepada sang ibu negara, “Dengan segala kewibawaan saya, saya berkewajiban mensukseskan proyek itu. Percayalah, bu Tien, semua aparat daerah yang saya pimpin akan saya kerahkan”. Dengan gaya akrobatik yang tangkas pula, Amirmahmud memuji-muji briefing ibu Tien sebagai kampanye yang berhasil, seperti halnya kampanye Golkar dalam pemilihan umum yang baru lalu. “Saya nilai uraian ibu mengenai sasarannya, terbukti dari wajah gubernur-gubernur yang nampak serius-serius itu. Mereka sibuk mencatat”. Dan secara langsung dalam monolognya itu Amirmahmud menginstruksikan “Saudara-saudara gubernur, dengan ini saya putuskan bahwa saudara-saudara saya angkat sebagai kepala proyek Miniatur Indonesia Indah di daerah saudara masing-masing”. Para gubernur disuruh mencari akal untuk menghimpun dana, termasuk “akal supaya dari para pengusaha berhasil dihimpun dana”.

Berlanjut ke Bagian 2

Golkar: Perjalanan Dari Masa Lampau ke Titik Nadir 2009 (2)

“Kelompok Ali menjadi amat unggul dalam mengembangkan isu-isu pengarah maupun pemancing ke arah perubahan situasi yang dikehendaki dalam skenario politik. Golkar menjadi salah satu bagian dalam rancangan skenario politik Ali Moertopo kala itu”.

DEMIKIANLAH, tatkala kekuasaan Soeharto pudar dan ia akhirnya mundur oleh situasi politik dari jabatan kekuasaan negara, maka sendi-sendi kekuatan dalam Golkar juga ikut rubuh. Dalam suasana tertekan oleh gerakan-gerakan reformasi, Golkar memperbaharui diri dan sesuai ketentuan perundangan-undangan merubah diri menjadi Partai Golongan Karya. Terpilihnya Akbar Tanjung seorang politisi sipil sebagai Ketua Umum –yang tak terlepas dari campur tangan penguasa transisi di bawah Presiden BJ Habibie– lebih banyak merupakan pilihan the bad among the worst. Dia lah yang paling sedikit ‘cacad’ keterkaitannya dengan Soeharto, punya jam terbang memadai dalam Golkar, dan itupun terutama karena ‘kegesitan’nya turut serta dalam gerakan pengunduran diri dari Kabinet Soeharto bersama sejumlah menteri lainnya di bawah pimpinan dan inisiatif Ginandjar Kartasasmita. Sementara saingannya sebagai kandidat Ketua Umum Golkar, Adjat Sudradjat, adalah seorang jenderal tentara dan tentara saat itu merupakan institusi yang juga sedang dalam sorotan kelompok kekuatan era reformasi.

Akbar Tanjung kemudian membawakan satu ‘tema’ baru yang disebut ‘Paradigma Baru Golkar’ yang untuk sejenak bisa meredakan serangan kelompok politik lain atas nama reformasi. Namun bersamaan dengan itu, Akbar Tanjung juga membawa serta ke dalam tubuh Golkar kelompok-kelompok eks tokoh dan anggota HMI serta unsur ICMI (atas kemauan Habibie) untuk menduduki posisi-posisi strategis diberbagai tingkat kepengurusan.

Secara umum pembawaan dan perilaku serta persepsi politik para eks HMI ini adalah asing bagi karakter dan idealisme dasar Golkar sejak mula. Golkar menjadi ibarat cangkang siput yang kemudian diisi dengan species baru. Bagi kebanyakan pendukung tradisional Golkar –kalau memang bisa dikatakan demikian– adalah canggung untuk tiba-tiba dipimpin oleh orang-orang yang relatif tergolong baru dan hanya selang beberapa tahun sebelumnya ada di luar Golkar dengan membawakan suara-suara yang sangat anti  Golkar dengan nada penuh hujatan.

Bahwa Partai Golkar di bawah Akbar Tanjung masih bisa meraih suara di atas 20 persen dan memperoleh 120 dari 496 kursi DPR-RI, itu pun tak terlepas dari faktor masih ditopangnya Golkar oleh unsur birokrasi pemerintahan Presiden Habibie. Dengan topangan kekuasaan saja, perolehan suara Golkar bisa begitu mengecil dibandingkan sebelumnya. Bagaimana nantinya dalam Pemilihan Umum 2004 atau pemilu-pemilu berikutnya di masa datang dengan kecenderungan tanpa topangan birokrasi, terkecuali sisa-sisa Gubernur dan Bupati yang dikatakan ‘masih’ kader Golkar ? Belum lagi tumbuh berkembangnya kecenderungan yang amat pragmatis yang kadangkala amat opportunistik, bahwa Golkar –dan begitu pula partai-partai pada umumnya– hanya dijadikan sekedar kendaraan (sewaan) bagi mereka yang berambisi menjadi bupati atau gubernur di masa pasca Soeharto. Dan ketika sudah ada di kursi jabatan bisa saja melakukan akomodasi kepada pemegang hegemoni kekuasaan negara untuk keamanan posisinya.

Partai Politik Islam: Harapan yang Kandas

TAMPILNYA Golkar sebagai pemenang dengan skor yang mencengangkan pada Pemilihan Umum 1971, memperkuat legitimasi kekuasaan Soeharto. Meskipun DPR  hasil Pemilu 1971 baru dilantik dan berfungsi 28 Oktober 1971, tetapi corak, langgam dan lalu lintas politik telah berubah, dan terasa sekali betapa pemerintahan menjadi ‘lebih kokoh’ dan lebih berkuasa segera setelah usainya pemilihan umum. Apalagi setelah 28 Oktober 1971. Betapa tidak, Fraksi Karya Pembangunan yang mewakili Golkar berkekuatan 236 orang, ditambah dengan Fraksi ABRI dan anggota non ABRI yang diangkat sebanyak 100 orang, menjadi 336 orang dari 460 ‘wakil rakyat’, yang berarti 73 persen lebih.

Akan tetapi dibalik kemenangan ini, sesungguhnya terpendam kekecewaan yang mendalam dari partai-partai politik ideologi Islam terhadap tentara. Tatkala ada dalam ‘kebersamaan’ dengan ABRI pada saat menghadapi kaum Komunis hingga tumbangnya Soekarno, sejumlah pemimpin partai politik Islam telah berharap bahwa cepat atau lambat mereka akan dipilih oleh ABRI untuk bermitra dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan pasca Soekarno.

Lebih dari sekedar berharap, mereka secara optimistik menghitung bahwa dalam Pemilihan Umum 1971, dengan tidak hadirnya lagi PKI dan melemahnya PNI, kemenangan dengan sendirinya jatuh ke tangan mereka. Mengacu kepada Pemilihan Umum 1955, secara kumulatif partai-partai Islam memperoleh 119 kursi parlemen dari 272 kursi hasil pemilu, yang berarti 43,75 persen. Dua besar partai Islam, Masjumi memperoleh 60 kursi dan NU 47, sisanya dari Perti dan PSII. Sementara itu, PNI memperoleh 58 kursi dan PKI 32 kursi di luar 7 orang yang dicalonkan PKI dan masuk ke parlemen sebagai Fraksi Pembangunan. Dibubarkannya PKI dan melemahnya PNI (PNI yang tampil pada awal Orde Baru adalah PNI Osa Usep yang dipimpin oleh Osa Maliki dan Usep Ranuwihardja yang berseberangan dengan kelompok Ali Sastroamidjojo SH dan Ir Surachman. PNI kemudian bersiap menghadapi Pemilu 1971 di bawah pimpinan Hadisubeno –namun meninggal di tahun 1970– bersama antara lain Isnaeni SH, Sunawar Sukawati SH dan Hardjanto, didukung oleh Hardi SH) diperhitungkan setidak-tidaknya memberi peluang tambahan kursi dan atau peluang berupa prosentase besar dari kursi 1971, diyakini akan bisa melampaui 50 persen. Dengan demikian keikutsertaan dalam pengendalian pemerintahan pasca 1971 bisa dalam genggaman.

Harapan dan perhitungan tersebut, membuat partai-partai Islam lebih antusias untuk diselenggarakannya suatu pemilihan umum yang lebih cepat setelah Soekarno jatuh. Sementara sebaliknya, kelompok independen, partai-partai non ideologi Islam dan juga tentara, meskipun sama-sama menghendaki pemilihan umum, cenderung untuk tidak terburu-buru. Suatu pemilihan umum yang lebih cepat dan terburu-buru dianggap hanya akan menguntungkan partai-partai ideologistis yang berasal dari struktur politik lama warisan Orde Lama dalam sistim Demokrasi Terpimpin ala Soekarno.

Kekecewaan pertama sebenarnya telah sempat menyentak kelompok politik Islam, tatkala pada Desember 1966 pihak militer –melalui pernyataan salah seorang jenderal utama–  mengeluarkan penilaian yang sama dengan ‘vonnis’ yang pernah dijatuhkan Soekarno, bahwa Masjumi adalah partai terlarang dan termasuk partai yang menyimpang dari Pancasila. Pada waktu-waktu berikutnya, makin jelas bahwa tentara menghalangi kembali tampilnya Masjumi. Melalui liku-liku proses yang berkepanjangan dan penuh trik dan intrik yang berlaku timbal balik, titik kompromi tercapai. Dikeluarkan persetujuan berdiri bagi satu partai Islam yang ‘seolah-olah’ untuk menyalurkan pengikut-pengikut Masjumi, namun dengan syarat tak boleh menampilkan tokoh-tokoh utama Masjumi seperti Mohammad Roem dan kawan-kawan dalam kepengurusan dan struktur partai. Sehingga, roh Masjumi tidak dapat melakukan reinkarnasi sempurna. Tokoh kompromi yang muncul memimpin partai baru yang bernama Parmusi itu adalah Mintaredja SH.

Salah seorang Jenderal yang dianggap penasehat politik utama Soeharto yang sangat menentang comebacknya Masjumi adalah Mayjen Ali Moertopo. Penulis-penulis Barat seperti Richard Robinson dan Robert Heffner, menggambarkan Ali Moertopo yang merupakan seorang pembantu terdekat Soeharto pada tahun-tahun pertama Orde Baru, sebagai tokoh kekuasaan anti partai politik Islam. Ali Moertopo yang “berhubungan erat dengan masyarakat Indonesia-Tionghoa dan Katolik” adalah tokoh “teknokrat militer yang berpandangan politik nasional sekuler”, sehingga sikapnya itu tidak mengherankan. Moertopo berpandangan bahwa untuk membatasi pengaruh politisi Islam dan peran partai ideologis lainnya, harus dicegah terulangnya persaingan politik yang sengit dan menggoyahkan kehidupan bernegara seperti pada tahun 1950-an. Menurut uraian para penulis asing ini, Ali Moertopo dan para petinggi rezim Soeharto yang lain sepenuhnya yakin bahwa Indonesia akan mencapai kestabilan hanya bila politik dijalankan untuk dan berdasarkan keterwakilan kepentingan yang rasional, dan bukannya kepentingan emosional berdasarkan sentimen agama atau kesukuan yang primordial.

Namun dapat dicatat bahwa sikap Ali Moertopo ini, dalam perkembangan situasi berikutnya, tampak mengalami perubahan karena pertimbangan taktis. Setelah beberapa kegagalan dalam mengantisipasi Pemilihan Umum 1971, kelompok militan Islam mulai tidak sabar untuk mengambil alih permainan dan muncul dengan gerakan-gerakan sistimatis yang kelihatannya bisa semakin membahayakan rezim. Menyadari bahwa bahaya terbesar bagi eksistensi jangka panjang rezim Soeharto adalah dari kelompok Islam yang menurut jumlahnya adalah mayoritas, maka pilihannya adalah merangkul kalau tidak mungkin ‘dihancurkan’. Atau bisa juga, merangkul di sisi kiri dan menghancurkan di sisi kanan. Apalagi, kelompok politik dan kepentingan yang membawakan nama Islam pun sebenarnya terbelah antara mereka yang bergaris keras dan mereka yang bergaris lunak.

Dengan cerdik Ali Moertopo bersama Jenderal Benny Moerdani memanfaatkan keadaan. Pada satu sisi mereka merekrut kelompok Islam garis keras yang sebelumnya terpinggirkan dan terlibat kasus DI-TII (Darul Islam-Tentara Islam Indonesia), dan memunculkan gerakan Komando Jihad, yang menciptakan opini negatif terhadap gerakan Islam garis keras. Pada sisi yang lain mereka merekrut tokoh-tokoh politik Islam yang moderat maupun yang opportunis ke dalam jaringan-jaringan. Sejak Ali Moertopo, dengan posisi sebagai Aspri (Asisten Pribadi) Presiden dan pimpinan Opsus (Operasi Khusus), semakin kuat dan semakin masuk ke jalur kendali eksekutif, polarisasi kekuasaan di sekitar Soeharto mulai tampak makin menajam. Dengan CSIS (Centre for Strategic & International Studies) –pusat studi dan kajian strategis yang didirikan pada tahun 1971– Ali Moertopo dan kelompoknya makin tajam dalam membaca dan merancang situasi, sehingga Opsus bahkan mulai menggeser fungsi Bakin (Badan Koordinasi Intelijen Negara) yang dipimpin Mayor Jenderal Sutopo Juwono. Kelompok Ali menjadi amat unggul dalam mengembangkan isu-isu pengarah maupun pemancing ke arah perubahan situasi yang dikehendaki dalam skenario politik. Golkar menjadi salah satu bagian dalam rancangan skenario politik Ali Moertopo kala itu.

Sebagai referensi yang berkaitan, uraian Professor R. William Liddle –seorang Indonesianis dari Ohio State University– tentang ide pemilihan umum tahun 1971 cukup relevan untuk dikutip di sini.

Menurut Liddle (dalam buku Partisipasi & Partai Politik, 1992, Grafiti), sejak dari permulaan Orde Baru, ide pemilihan umum nasional mendapat dukungan dari berbagai sumber. “Dalam pemilihan umum ini para pemimpin partai melihat kesempatan untuk memperbaiki kedudukan mereka sebagai wakil rakyat dan membuat parlemen sekali lagi menjadi lembaga pemerintahan yang utama”. Dalam pada itu, “beberapa kelompok mahasiswa dan kekuatan-kekuatan lain yang pro Orde Baru, baik sipil maupun militer, ingin memanfaatkan pemilihan umum sebagai alat untuk memulai penyusunan kembali sistim kepartaian secara menyeluruh”. Tetapi, demikian lebih jauh diuraikan, “bagi Presiden Soeharto dan orang-orang yang sangat dekat dengannya, pemilihan umum tidaklah dimaksudkan untuk mengacaukan sistim politik –dengan membiarkan partai-partai bersaing untuk memperoleh dukungan rakyat seperti pada 1955, atau dengan menciptakan saluran-saluran komunikasi baru antara elite dan massa– melainkan untuk menyelamatkan kendali kekuasaan parlemen, MPR, dan lembaga-lembaga legislatif daerah yang tidak dapat ditentang”.

Untuk tujuan ini, “diciptakanlah sebuah organisasi politik baru, Golkar (Golongan Karya), di bawah pimpinan Jenderal Soemitro, Amir Moertono dan Darjatmo dari Departemen Pertahanan”. Juga, “Mayor Jenderal Amirmahmud dari Departemen Dalam Negeri (dengan tanggung jawab atas pegawai negeri daerah)”. Dan, “Brigadir Jenderal Ali Moertopo, asisten pribadi Presiden Soeharto, yang sangat berpengalaman dalam operasi politik dan pengendalian partai-partai politik”.

Berlanjut ke Bagian 3

 

PKI Dalam Perspektif Pembalasan dan Pengampunan

“Peristiwa 30 September 1965 pada hakekatnya hanyalah sebuah symptom yang menunjukkan betapa dalam tubuh bangsa ini terdapat sejumlah permasalahan mendasar yang dari waktu ke waktu belum berhasil diberikan penyelesaian tuntas”.

SEBERAPA mampukah manusia penghuni pulau-pulau di Nusantara ini bisa menjadi kejam? Dalam ‘motif’ ritual, para penganut sempalan Tantrisme Bhirawa, pada abad 13-14, sanggup menyelenggarakan upacara dengan kurban manusia. Jantung kurban direnggut keluar, diperas darahnya untuk diminum, lalu gumpalan jantung ditelan. Beberapa abad setelah itu, sampai abad 17 bahkan hingga abad 18, beberapa suku bangsa masih punya kebiasaan menyantap daging manusia, selain dalam kaitan ritual kepercayaan tertentu, kerapkali semata-mata sebagai tradisi makan yang kanibal.

Di abad yang lebih baru, masa pendudukan Jepang, pada suatu malam di tahun 1943 di sebuah kota Indonesia seorang serdadu Jepang yang setengah mabuk, marah kepada seorang pribumi yang ‘melanggar’ jam malam dan tak mau tunduk memberi hormat, lalu mencabut samurai dan menebas putus leher sang pribumi. Beberapa kerabat korban yang menyaksikan dari dalam rumah, tak mampu menahan emosi dan menyergap serdadu Jepang itu, merampas samurainya. Dan, menebas lehernya, juga sampai putus. Motifnya adalah pembalasan, yang dilakukan secara tunai, berlangsung antar bangsa, dalam masa penjajahan.

Dua kisah berikutnya, adalah tentang kekejaman di antara sesama bangsa, yang dibalut motif ideologis yang tercampur aduk dengan pembalasan dalam rangkaian peristiwa sosiologis, 1948 dan 1965, diambil dari penuturan Taufiq Ismail dan Soe Hok-gie.

Kekejaman dan kekejaman. Dalam Peristiwa Madiun September 1948, pengikut PKI antara lain menangkap Bupati Magetan Sakidi. Algojo PKI merentangkan sebuah tangga membelintang di atas sebuah sumur di Soco. Lalu tubuh sang bupati dibaringkan di atas tangga itu. Ketika telentang terikat seperti itu, algojo menggergaji tubuh Sakidi sampai putus dua, langsung dijatuhkan ke dalam sumur. Nyonya Sakidi yang mendengar suaminya dieksekusi di Soco, menyusul ke sana dengan menggendong dua anaknya yang berusia 1 dan 3 tahun. Dia nekad minta melihat jenazah suaminya. Repot melayaninya, PKI sekalian membantai perempuan itu disaksikan kedua anaknya, lalu dicemplungkan juga ke dalam sumur. Di Pati dan Wirosari, dubur warga desa ditusuk dengan bambu runcing lalu ditancapkan di tengah sawah bagai orang-orangan pengusir burung. Sementara itu, seorang perempuan ditusuk vaginanya dengan bambu runcing lalu juga ditancapkan di tengah sawah.

Kekejaman Peristiwa Madiun ini melekat sebagai ingatan traumatik penduduk di sekitar Madiun itu. Sehingga, menurut Taufiq, ketika 17 tahun kemudian PKI meneror di Delanggu, Kanigoro, Bandar Betsy dan daerah lain dalam pemanasan pra-Gestapu dengan klimaks pembunuhan 6 jenderal pada 30 September 1965, penduduk Jawa Timur yang masih ingat peristiwa 17 tahun silam itu bergerak mendahului PKI dan melakukan pembalasan dalam suatu tragedi berdarah. Tragedi serupa terjadi di Jawa Tengah. Tulisan Taufiq Ismail selengkapnya, bisa dibaca pada buku Simtom Politik 1965, Kata Hasta Pustaka, Jakarta 2007.

Apa yang terjadi di Jawa Timur dan Jawa Tengah, lambat laun sampai pula beritanya ke pulau Bali. Sejak Nopember 1965 hingga awal 1966, menurut Soe Hok-gie, Bali menjadi sebuah mimpi buruk pembantaian. Wedagama, seorang tokoh PNI, menghasut orang-orang untuk melakukan kekerasan dengan mengatakan Tuhan menyetujui pembantaian terhadap orang-orang PKI, dan bahwa hukum tidak akan menghukum orang yang melakukannya. Kelompok-kelompok yang berpakaian serba hitam bersenjatakan pedang, pisau dan pentungan dan bahkan senjata api bergerak melakukan pembersihan. Rumah-rumah penduduk yang diduga sebagai anggota PKI dibakar sebagai bagian dari pemanasan bagi dilancarkannya tindakan-tindakan yang lebih kejam. Kemudian pembantaian pun mulai terjadi di mana-mana. Juga pemerkosaan kepada kaum wanita. Widagda, seorang pemimpin PNI dari Negara, menggunakan kesempatan dari situasi untuk memperkosa puluhan wanita yang tanpa bukti dan alasan yang benar dicap sebagai PKI. Penggalan catatan ini terdapat dalam tulisan Soe Hok-gie, ‘Pembantaian di Bali’, dalam buku The Indonesian Killing of 1965-1966, Robert Cribb, 1990, edisi terjemahan. Semula tulisan tersebut disiapkan Hok-gie untuk Mingguan Mahasiswa Indonesia Bandung, 1967, dan sudah berbentuk proef siap cetak, tetapi kemudian dimuat di  Mingguan Mahasiswa Indonesia Jakarta karena pertimbangan aktualitas.

Bagaimana menilai situasi dan kekejaman balas berbalas yang timbul sebagai symptom pertarungan ideologis ini? Dan menilai keseluruhan jalinan peristiwa politik ini?

Peristiwa simptomatis yang berdarah-darah. Bertahun-tahun waktu telah dihabiskan untuk perdebatan mengenai pelurusan sejarah Peristiwa 30 September 1965 ini serta ekses terhadap kemanusiaan yang menjadi ikutannya. Dan kemudian hal yang sama mengenai Surat Perintah 11 Maret 1966. Begitu terasa menyita waktu dan energi, sehingga pengantar sebuah buku sejarah menyarankan dalam satu keluhan, perlunya alternatif lain bagi wacana sejarah nasional yang agaknya kini hanya berkisar pada pelurusan sejarah seputar kejadian ‘Gerakan 30 September’ dan ’11 Maret’. Memang, kedua peristiwa itu amat ‘menguras’ waktu dan pikiran masyarakat sejarah di tanah air, sehingga seakan-akan tak ada perhatian yang tersisa untuk meluruskan atau tepatnya lebih mendekati kebenaran sejarah bagi peristiwa-peristiwa lainnya.

Peristiwa 30 September 1965 itu sendiri, pada hakekatnya hanyalah sebuah symptom yang menunjukkan betapa dalam tubuh bangsa ini terdapat sejumlah permasalahan mendasar yang dari waktu ke waktu belum berhasil diberikan penyelesaian tuntas. Sebuah media generasi muda terkemuka, hanya dua tahun setelah terjadinya peristiwa, menuliskan dalam tajuk rencananya, bahwa “hakekat dari timbulnya peristiwa itu bersumber di dalam tubuh masyarakat kita sendiri”. Peristiwa tersebut hanyalah sekedar manifestasi dari ketidaksehatan tubuh bangsa kita di dalam semua bidang kehidupan: politik, ekonomi maupun sosial kultural.

Sebenarnya terdapat beberapa episode sejarah Indonesia yang memerlukan perhatian untuk lebih didekati kebenarannya. Beberapa tahun yang lampau misalnya, sejumlah sejarawan luar Indonesia sempat mempertanyakan betulkah pusat Kerajaan Sriwijaya ada di Sumatera Selatan dan bukannya di peninsula Asia Tenggara, karena prasasti-prasasti yang ditemukan di Palembang dan sekitarnya justru adalah tanda-tanda yang lazim untuk suatu wilayah jajahan?

Akan tetapi terlepas dari masih banyaknya episode sejarah Indonesia masa lampau maupun masa modern yang perlu untuk lebih didekati kebenarannya, tidak berarti upaya pelurusan bagi Peristiwa 30 September 1965 dan lahirnya Surat Perintah 11 Maret 1966, harus berhenti. Dalam konteks ini, pelurusan sejarah harus sekaligus bermakna tidak hanya menempatkan peristiwa pada posisi kebenaran sejarah, tetapi juga bermakna –meluas ke luar jangkauan bidang sejarah– penyelesaian atas akar permasalahan dari suatu peristiwa dan bukan sekedar memerangi symptom.

Tanpa pernah menuntaskan akar-akar permasalahan yang membelit dalam masyarakat, sehingga membuat tubuh bangsa ini sakit, sejarah akan menunjukkan terus menerus berulangnya berbagai peristiwa simptomatis yang menyakitkan. Setelah Peristiwa 30 September 1965, lalu Peristiwa Mei 1998, bentrokan horizontal antar etnis dan agama di berbagai daerah dan entah peristiwa berdarah apa lagi nanti.

Antara kebenaran dan manipulasi sejarah. Dalam konflik penafsiran dan kontroversi narasi atas Peristiwa 30 September 1965 dan peranan PKI, klaim kebenaran bagaikan pendulum yang berayun dari kiri ke kanan dan sebaliknya, sehingga membingungkan masyarakat, terutama generasi baru yang masanya jauh sesudah peristiwa terjadi. Tetapi perbedaan versi kebenaran terjadi sejak awal segera setelah terjadinya peristiwa.

Di tingkat internasional, Kantor Berita RRC (Republik Rakyat Cina), Hsinhua, memberikan versi bahwa Peristiwa 30 September 1965 adalah masalah internal Angkatan Darat Indonesia yang kemudian diprovokasikan oleh dinas intelijen Barat sebagai upaya percobaan kudeta oleh PKI.

Presiden Soekarno pun berkali-kali melakukan pembelaan bahwa PKI tidak terlibat dalam peristiwa sebagai partai melainkan karena adanya sejumlah tokoh partai yang keblinger dan terpancing oleh insinuasi Barat, lalu melakukan tindakan-tindakan, dan karena itu Soekarno tidak akan membubarkan PKI. Kemudian, pimpinan dan sejumlah perwira Angkatan Darat memberi versi keterlibatan PKI sepenuhnya, dalam penculikan dan pembunuhan enam jenderal dan seorang perwira pertama AD pada tengah malam 30 September menuju dinihari 1 Oktober 1965. Versi ini segera diterima secara umum sesuai fakta kasat mata yang terhidang dan ditopang pengalaman buruk bersama PKI dalam kehidupan sosial dan politik pada tahun-tahun terakhir. Hanya saja harus diakui bahwa sejumlah perwira penerangan telah menambahkan dramatisasi artifisial terhadap kekejaman, melebihi peristiwa in factum. Penculikan dan kemudian pembunuhan para jenderal menurut fakta memang sudah kejam, tetapi dramatisasi dengan pemaparan yang hiperbolis dalam penyajian, telah memberikan effek mengerikan melampaui batas yang mampu dibayangkan semula. Dan akhirnya, mengundang pembalasan yang juga tiada taranya dalam penumpasan berdarah antar manusia di Indonesia.

Setelah berakhirnya masa kekuasaan formal Soeharto, muncul kesempatan untuk menelaah bagian-bagian sejarah –khususnya mengenai Peristiwa 30 September 1965 dan PKI– yang dianggap kontroversial atau mengandung ketidakbenaran. Kesempatan itu memang kemudian digunakan dengan baik, bukan saja oleh para sejarawan dalam batas kompetensi kesejarahan, tetapi juga oleh mereka yang pernah terlibat dengan peristiwa atau terlibat keanggotaan PKI. Bila sebelum ini penulisan versi penguasa sebelum reformasi banyak dikecam karena di sana sini mengandung unsur manipulasi sejarah, ternyata pada sisi sebaliknya di sebagian kalangan muncul pula kecenderungan manipulatif yang sama yang bertujuan untuk memberi posisi baru dalam sejarah bagi PKI, yakni sebagai korban politik semata. Pendulum sejarah kali ini diayunkan terlalu jauh ke kiri, setelah pada masa sebelumnya diayunkan terlalu jauh ke kanan.

Terdapat sejumlah nuansa berbeda yang harus bisa dipisahkan satu sama lain dengan cermat dan arif, dalam menghadapi masalah keterlibatan PKI pada peristiwa-peristiwa politik sekitar 1965. Bahwa sejumlah tokoh utama PKI terlibat dalam Gerakan 30 September 1965 dan kemudian melahirkan Peristiwa 30 September 1965 –suatu peristiwa di mana enam jenderal dan satu perwira pertama Angkatan Darat diculik dan dibunuh– sudah merupakan fakta yang tak terbantahkan. Bahwa ada usaha merebut kekuasaan dengan pembentukan Dewan Revolusi yang telah mengeluarkan sejumlah pengumuman tentang pengambilalihan kekuasaan, kasat mata, ada dokumen-dokumennya. Bahwa ada lika-liku politik dalam rangka pertarungan kekuasaan sebagai latar belakang, itu adalah soal lain yang memang perlu lebih diperjelas duduk masalah sebenarnya, dari waktu ke waktu, untuk lebih mendekati kebenaran sesungguhnya. Proses mendekati kebenaran tak boleh dihentikan. Bahwa dalam proses sosiologis berikutnya, akibat dorongan konflik politik maupun konflik sosial yang tercipta terutama dalam kurun waktu Nasakom 1959-1965, terjadi malapetaka berupa pembunuhan massal dalam perspektif pembalasan dengan anggota-anggota PKI terutama sebagai korban, pun merupakan fakta sejarah. Ekses telah dibalas dengan ekses, gejala diperangi dengan gejala.

Tidak perlu harus menjadi komunis lebih dulu untuk mengakui sesuatu yang menyangkut nilai-nilai kemanusiaan yang universal. Akan tetapi tentu adalah keliru bila menggunakan terminologi nilai-nilai kemanusiaan untuk memberikan pembenaran atas suatu peristiwa politik yang melibatkan PKI sebagai pelaku politik.

Perspektif pembalasan dan pengampunan. Terhadap pembunuhan massal yang terjadi setelah Peristiwa 30 September 1965, ketika menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia, KH Abdurrahman Wahid, menyampaikan permintaan maaf. Tentu, itu dilakukan untuk dan atas nama massa NU, khususnya Pemuda Ansor, karena faktual memang massa organisasi inilah yang menjadi ujung tombak dalam perburuan dan pembunuhan massa PKI dalam suatu perspektif pembalasan yang simptomatis, terutama di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Jadi kalau Abdurrahman Wahid merasa perlu minta maaf, merupakan hal yang wajar saja.

Banyak keluarga korban, begitu pula ribuan bekas tahanan politik, menuntut agar permohonan maaf itu juga dilakukan oleh pemerintah secara resmi dan posisi mereka maupun posisi PKI direhabilitir. Mungkin, pada sisi sebaliknya banyak pihak dalam masyarakat tak dapat menerima permintaan politik di luar batasan aspek kemanusiaan.

Sementara itu, banyak kalangan masyarakat yang di masa lampau merasa dibuat menderita oleh PKI, pernah dirampas tanahnya, merasa pernah dihujat agamanya, takkan mudah menerima pemulihan seperti itu. Apalagi bila di sini aspek keadilan jauh lebih diutamakan daripada aspek kebenaran dalam memandang dan memperlakukan sejarah. Karena orientasi utama adalah kepada aspek keadilan itu, mereka juga merasa sebagai korban. Dalam tingkat keadaan yang demikian, bagi masyarakat umum, yang paling mungkin dapat diharapkan untuk dilakukan adalah kesediaan meninggalkan perspektif pembalasan (dendam) yang pernah mereka miliki di masa lampau tak lama setelah Peristiwa 30 September 1965 terjadi. Lalu, pada waktu yang sama bersedia memasuki perspektif pengampunan –yang lebih sering ditampilkan sebagai pelupaan perbuatan– terhadap mereka yang pernah terlibat dengan PKI, agar bisa berdampingan secara layak sebagai sesama warga negara. Ini berarti, yang bisa dimasuki hanyalah rekonsiliasi dalam bentuk dan pengertiannya yang paling lunak.

Terkait namun terpisah dalam dimensi waktu dan mungkin saja dalam makna, adalah proses dan cara menerima sejarah masa lampau, khususnya mengenai Peristiwa 30 September 1965, yang terjadi di kalangan generasi yang lebih muda, yakni mereka yang nyaris tak pernah mengalami sendiri peristiwa dan hanya memperolehnya melalui uraian lisan dari yang lebih tua atau dari literatur yang satu sama lain bisa simpang siur.

Kelompok pertama, adalah mereka yang menerima penuturan lengkap dengan opini subjektif dari generasi orangtua mereka masing-masing yang berada dalam posisi pendukung maupun penentang komunisme dan atau PKI. Kelompok kedua, adalah generasi muda yang berada di luar masa dan peristiwa pertikaian, yang memperolehnya dari sekolah atau dari literatur luar sekolah –yang kita tahu adalah simpang siur satu dengan yang lainnya.

Kelompok pertama tersebut, cukup menakjubkan meskipun tidak aneh, cenderung meneruskan ‘pertikaian’ warisan masa lampau dengan gaya dan idiom masa lampau pula, meskipun tidak terlalu meluas dan frontal. Dari kelompok pertama ini, bisa muncul sikap pro atau anti, tanpa perlu mengalami peristiwa 1959-1965 atau 1966, kecuali mengalami dampak-dampak ikutan setelah peristiwa.

Sementara itu, dalam kelompok kedua, tampak beberapa fenomena menarik. Ada yang bisa memahami proses politik maupun proses sosiologis dari peristiwa tahun 1965 itu, namun tidak bisa mengerti kenapa kejahatan kemanusiaan bisa terjadi begitu dahsyatnya pada masa peristiwa tersebut, baik yang dilakukan oleh kaum komunis maupun yang dilakukan tentara dan sebagian massa anti komunis. Generasi yang lebih muda ini yang mengisi ruang dalam negara kita saat ini, secara umum memang lebih lekat kepada isu-isu kemanusiaan, kebenaran dan keadilan, dan memiliki cara pandang yang banyak berbeda dengan generasi yang lebih dahulu. Slogan-slogan keadilan untuk rakyat, pemerataan untuk rakyat miskin, sikap anti korupsi dan kejahatan kaum kapitalis –yang banyak dilontarkan PKI di masa jayanya, meski merekapun belum pernah terbukti mewujudkannya– banyak yang diambil alih oleh sebagian dari generasi muda ini. Bahkan, beberapa di antaranya menyusun diri sebagai kekuatan ‘kerakyatan’ yang sepintas mirip dengan apa yang dilakukan PKI di masa lampau, termasuk merebut keadilan untuk rakyat walau dengan sikap keras dan radikalisme sekalipun, sehingga tak jarang mereka dianggap telah menghidupkan komunisme, setidaknya menjadi ‘kiri baru’.

Tetapi sebenarnya, orang tak perlu menjadi komunis lebih dahulu untuk melihat dan membaca keadaan saat ini yang tak berkeadilan untuk rakyat dan atau masyarakat seluruhnya, karena kenikmatan kemajuan ekonomi sejauh ini memang hanya menjadi milik segelintir kecil orang, apakah melalui kolusi dan korupsi ataukah kecurangan lainnya. Juga, bahwa sejauh ini, keadilan dan persamaan dalam hukum maupun politik dan kehidupan sosial lainnya, belum berhasil ditegakkan bersama. Di masa lampau, Menteri Dalam Negeri Amirmahmud misalnya, bisa segera ‘menumpas’ kaum yang dianggap ‘kiri baru’ seperti ini. Tapi kini, dalam kerangka kehidupan demokratis yang dicitakan-citakan tentu hal serupa tak layak untuk dilakukan, oleh penguasa maupun kekuatan lainnya yang ada dalam masyarakat.

Antara symptom dan akar masalah. Dalam konteks cita-cita mencapai kehidupan politik dan kehidupan bermasyarakat yang demokratis, adalah penting untuk memperjelas bahwa ideologi totaliter seperti komunisme, adalah di luar yang diinginkan. Hal yang sama, tentu berlaku untuk ideologi-ideologi dan atau aliran-aliran politik lainnya, maupun aliran-aliran sosial yang dogmatis. Ideologi totaliter, apakah itu berasal dari kiri ataukah berasal dari kanan, adalah sama buruknya.

Setelah PKI ‘berlalu’ karena pembubaran dan setelah surutnya komunisme secara global, ternyata ideologi dan aliran totaliter lainnya tidaklah ikut berakhir, untuk tidak tidak menyebutnya justru lebih menggejala. Tampilannya beraneka ragam, bisa dalam bentuk-bentuk aksi sepihak yang berkecenderungan kuat ‘menghakimi’ sendiri, bisa dalam bentuk sikap moralisme dengan bermacam-macam pretensi, ataukah sikap ber’demokrasi’ yang hanya mengenal haknya sendiri dan tidak menghargai hak orang lain, dan lain sebagainya. Namun, tentu tak kalah pentingnya untuk menyadari bahwa dalam menjalani proses kesejarahan, selama ini kita telah terperangkap dalam situasi pergulatan melawan ekses dan symptom belaka dan sejauh ini gagal menangani akar-akar masalah yang dihadapi sebagai bangsa.

-Catatan Rum Aly dalam buku Simtom Politik 1965.