JENDERAL Muhammad Jusuf pernah menggebrak meja dalam suatu pertemuan yang dipimpin Presiden Soeharto, suatu malam beberapa waktu sebelum Sidang Umum MPR 1983. Dalam pertemuan –yang antara lain juga dihadiri Mensesneg Sudharmono, Seskab Moerdiono, Asisten Intel Hankam Letnan Jenderal LB Moerdani– Menteri Dalam Negeri Amirmahmud melontarkan suatu pertanyaan insinuasi yang memanaskan situasi. Kunjungan-kunjungan Jenderal Jusuf ke berbagai pelosok tanah air sebagai Menhankam/Pangab menemui para prajurit dan kalangan akar rumput, membawakan gagasan ‘kemanunggalan ABRI dan rakyat’ menurutnya perlu dipertanyakan kepada yang bersangkutan, apakah di baliknya terdapat ambisi-ambisi tertentu. Ambisi yang dimaksudkan Amirmahmud tak lain adalah keinginan Jenderal Jusuf untuk menjadi Wakil Presiden RI, bahkan mungkin berambisi menjadi Presiden berikutnya menggantikan Soeharto.

Mendengar ucapan bernada insinuasi dari Amirmahmud itu, seperti yang dituturkan Atmadji Soemarkidjo dalam buku “Jenderal M. Jusuf, Panglima Para Prajurit” (2006), tiba-tiba Jenderal Jusuf menggebrak meja. Lalu, dengan suara keras ia berkata. “Bohong! Itu tidak benar semua! Saya ini diminta untuk jadi Menhankam/Pangab karena perintah bapak Presiden. Saya ini orang Bugis. Jadi saya sendiri tidak tahu arti kata kemanunggalan yang bahasa Jawa itu. Tapi saya laksanakan perintah itu sebaik-baiknya tanpa tujuan apa-apa!”. Semua terkejut, tak terkecuali Soeharto. Selama ia menjadi orang nomor satu di republik ini, belum pernah ada yang berani menggebrak meja seperti itu di depannya. Tapi ia tak menegur, apalagi sampai memarahi Jenderal Jusuf saat itu.
Presiden Soeharto memutuskan untuk tidak melanjutkan pertemuan malam itu. Saat semuanya telah keluar, Soeharto mengatakan kepada Jenderal Jusuf, “Jadi, pak Jusuf, kita bicarakan hal-hal itu lain kali saja”. Beberapa waktu kemudian, Presiden Soeharto menyampaikan kepada Jenderal Jusuf bahwa pada bulan Maret 1983 jabatan Panglima ABRI akan diberikan kepada Letnan Jenderal LB Moerdani. Dan bila Jenderal Jusuf bersedia, ia masih akan dijadikan sebagai Menteri Pertahanan Keamanan. Artinya, kedua jabatan penting itu tak disatukan lagi di tangan satu orang. Jenderal Jusuf menolak tawaran tersebut. Bersamaan dengan itu rumor politik –maupun inisiatif yang pernah ada– tentang peluang Muhammad Jusuf menjadi Wakil Presiden, pudar dan padam.
Jenderal Jusuf kemudian terpilih menjadi Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), salah satu lembaga tinggi negara, setara dengan lembaga Kepresidenan, DPR dan Mahkamah Agung. Dalam jabatan inilah, lima tahun kemudian menjelang SU MPR 1988, suatu ketika Jenderal Purnawirawan Muhammad Jusuf datang menemui Presiden Soeharto. Tadinya, ajudan mengatakan bahwa Presiden tak ada waktu karena akan segera melakukan pertemuan dengan beberapa petinggi negara. “Lapor saja ke dalam, jangan kau yang ambil keputusan”, tegas Jusuf. Begitu dilapori bahwa Jusuf meminta waktu bertemu, Soeharto menunda acaranya yang lain. Kepada sang Presiden yang pada ulang tahun Golkar 20 Oktober 1987, menyampaikan bahwa dirinya merasa miris setiap kali dimintai untuk kembali menjadi presiden, Muhammad Jusuf menyampaikan bahwa beberapa pihak meminta mantan Menhankam/Pangab itu untuk mencalonkan diri menjadi Presiden melalui SU MPR 1988. Jusuf menanyakan bagaimana pendapat Soeharto mengenai hal itu. Diceritakan, bahwa Soeharto tidak mengucapkan apa-apa, dan hanya mengulurkan tangan dengan telapak terbuka ke arah Jusuf, lazimnya isyarat mempersilahkan. Untuk seberapa lama, kisah ini hanya terpendam sebagai cerita di balik berita, diketahui dan dipercakapkan di kalangan terbatas saja.
PENYAMPAIAN wacana secara terbuka kepada publik, yang menerobos tabu tentang ketertutupan pembicaraan sekitar siapa calon Presiden RI yang bukan Soeharto, dilakukan Marzuki Darusman seorang politisi muda anggota DPR dari Fraksi Karya di tahun 1991. Dalam wawancara dengan Majalah Matra, September 1991, dengan cover story berjudul “Saya Ingin Menjadi Presiden“, sebenarnya, tak ada ucapan langsung Marzuki Darusman bahwa dirinya merencanakan mencalonkan diri menjadi Presiden. Ia hanya mengatakan “Presiden merupakan karir tertinggi bagi seorang politisi”. Tetapi sebagai anggota DPR, ia adalah seorang politisi yang menurut logika tentu layak saja bila ingin mencapai karir tertinggi tersebut. Tak lupa, ia mengingatkan, “Politik merupakan panggilan. Politik bukan sekadar satu di antara sekian cara banyak cara untuk mencari nafkah”.
Waktu itu, Marzuki Darusman dikenal sebagai salah seorang politisi Golkar di antara sedikit –bersama misalnya Sarwono Kusumaatmadja– yang berani bersikap kritis dan bersuara vokal. Di tubuh Golkar kala itu bergabung jalur A(ABRI) dan jalur B(Birokrat) selain jalur A yang terdiri dari politisi serta kekuatan sipil lainnya. Ketiga unsur ini menjadi penopang utama kekuasaan Jenderal Soeharto melalui Golkar, dan biasanya para tokoh di dalamnya memilih bermain aman saja terhadap Soeharto. Sementara itu, di tubuh dua partai sebagai kekuatan politik di luar Golkar, yakni PDI dan PPP, melalui para jenderalnya, Soeharto juga ‘menempatkan’ tokoh-tokoh yang pada hakekatnya bekerja untuk kepentingan rezimnya.
Tak selalu pernyataan-pernyataan Marzuki Darusman menyenangkan hati para petinggi Golkar maupun petinggi kekuasaan negara saat itu, baik di birokrasi maupun ABRI. Puncaknya adalah pernyataannya tentang jabatan Presiden sebagai cita-cita tertinggi politisi, yang membuat tak kurang dari Soeharto sendiri gusar. Rintangan bagi karir politiknya mulai muncul menjelang Pemilihan Umum 1992. Pintu posisi legislatif mendadak tertutup baginya, dan itu berlangsung untuk jangka waktu yang cukup lama. Namun ia menemukan panggilan aktivisme lain sebagai penggiat gerakan penegakan Hak Azasi Manusia yang kemudian membawanya menjadi Sekjen, kemudian Ketua Komnas HAM. Ia sempat bersama Baharuddin Lopa –tokoh lain yang karena hal tertentu juga sempat tersisih dari posisi pemerintahan– di Komnas HAM.
Dalam posisinya sebagai Ketua Komnas HAM, di sekitar masa-masa peralihan kekuasaan Soeharto, ia menjadi Ketua TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) mengenai kerusuhan Mei 1998. Ketika Abdurrahman Wahid naik menjadi Presiden RI, Marzuki Darusman diangkat menjadi Jaksa Agung. Banyak yang memperkirakan pintu bagi Marzuki Darusman terbuka menuju kursi kepresidenan pada suatu waktu, terutama bila ia berhasil menindaki pelaku-pelkau KKN masa Soeharto. Tetapi, nyatanya, makin banyak ia bertindak menangkapi para pelaku KKN, tak terkecuali upayanya membawa Soeharto ke pengadilan, makin besar pula hambatan dan gempuran balik yang dihadapinya. Ternyata, para koruptor yang memiliki akumulasi dana hasil korupsi yang berskala ratusan milyar bahkan trilyunan rupiah, adalah kekuatan yang sama sekali tak bisa diremehkan. Mereka bisa membeli apa saja untuk mempertahankan diri. Bisa mengorganisir demonstrasi-demonstrasi ke Kejaksaan Agung untuk mengganggu konsentrasi lembaga itu dalam memberantas korupsi. Terdeteksi bahwa bahkan kelompok-kelompok atau lembaga swadaya masyarakat yang menyebutkan diri sebagai gerakan anti korupsi, di belakang layar ternyata menerima dana dari para pelaku korupsi. Beberapa di antaranya sebenarnya ‘bisa’ dikenali, namun sampai saat ini untuk sementara masih tersimpan sekedar sebagai catatan jejak rekam. Lebih dari itu, para koruptor bahkan bisa memperkuat diri, termasuk ‘membeli’ posisi-posisi baru kekuasaan masa reformasi –dalam lembaga-lembaga negara dan pemerintahan maupun kepartaian.
Hingga sejauh ini, Marzuki Darusman, belum sekalipun pernah mencoba masuk ke dalam kancah kontestasi kursi kepresidenan. Ini menarik, bila mengingat bahwa dia lah orang yang pertama mewacanakan secara terbuka kepada publik melalui media tentang jabatan presiden sebagai karir tertinggi bagi seorang politisi di saat hal itu seakan ditabukan. Saat Golkar melakukan konvensi untuk mencari calon presiden tahun 2004, Marzuki tak ikut mendaftarkan diri kendati ada yang mendorongnya ke sana, berdasarkan reputasinya sebagai tokoh Golkar putih. Agaknya ia lebih sanggup menakar diri, sementara beberapa yang lainnya mungkin lebih tak tahu diri.

Pada masa Soeharto itu, begitu banyaknya tokoh yang memiliki keinginan menjadi number one, namun selain Jenderal Jusuf dan Marzuki Darusman, tak pernah ada yang menyatakannya langsung kepada Soeharto atau mewacanakannya secara terbuka. Mereka yang betul-betul berambisi, termasuk sejumlah jenderal di seputar Soeharto, lebih memilih jalan belakang ala permainan wayang. Suatu keadaan yang tiba-tiba berbalik 180 derajat pasca kejatuhan Soeharto.
Semua mendadak merasa bisa. Seorang Ketua Umum partai peserta Pemilihan Umum 1999, marah-marah ketika dinasehati oleh beberapa rekan separtainya agar tak usah tergesa-gesa memproklamirkan diri sebagai calon Presiden. “Nanti, kalau partai kita bisa menang dalam pemilu, baru kita bicara”, bunyinya nasehat tersebut. Dijawab, “justru keberanian untuk mencanangkan diri sebagai presiden serta kabinet bayangan, akan membuat partai kita menang”. Nyatanya, partai tersebut termasuk di antara puluhan partai yang tak memperoleh satu pun kursi di DPR, dan dikelompokkan sebagai barisan partai gurem. Kutu-kutu kecil, tetapi gigitannya mengganggu juga.
Kejatuhan Presiden Soeharto dari kursi kepresidenan dan semangat reformasi dengan euphoria yang berlebih-lebihan sebagai gejala ikutannya, memang telah membuat begitu banyak tokoh kala itu –bahkan terjadi hingga kini– mendadak merasa bisa menjadi Presiden Indonesia. Tetapi di sini, justru tercipta suatu paradoks berupa krisis kepemimpinan karena faktor kualitas yang serba minor. Popularitas dijadikan ukuran, kapabilitas menjadi soal lainnya lagi.
(sociopolitica.me/sociopolitica.wordpress.com) – Berlanjut ke Bagian 5.