Tag Archives: Soe Hok-gie

Peristiwa 1965: PKI Dalam Perspektif Pembalasan dan Pengampunan (1)

SETELAH Komnas HAM di pekan terakhir bulan Juli 2012 ini menyampaikan rekomendasinya kepada pemerintah mengenai pelanggaran HAM berat yang terjadi di seputar apa yang mereka sebut sebagai Peristiwa 1965-1966, muncul beragam reaksi. Dua di antara yang perlu dicatat adalah komentar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dan keterangan Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim, tentang model penyelesaian terkait pelanggaran HAM tersebut.

KELOMPOK PEMUDA MENYUSUR LERENG MERAPI MENCARI ANGGOTA PKI, NOVEMBER 1965. “Peristiwa 30 September 1965, didahului peristiwa-peristiwa kekerasan oleh PKI dan organisasi sehaluan, melalui terror gerakan massa dan politik intimidasi, dan setelah peristiwa berlanjut dengan kekerasan lainnya sebagai pembalasan oleh kelompok anti komunis, dengan kadar kekejiannya yang tak kalah tinggi”. Semua pihak, baik pengikut partai-partai berhaluan komunis, maupun kekuatan-kekuatan anti komunis dan tentara, sama-sama menjadi pelaku kekerasan yang bersifat balas membalas dalam pola ‘didahului atau mendahului’. (foto dokumentasi asiafinest).

Presiden SBY (25/7) menyebutkan kriteria solusi yang dapat diterima semua pihak, dan apa yang terjadi harus dilihat jernih, jujur dan objektif. “Semangatnya tetap melihat ke depan. Selesaikan secara adil”. Presiden tidak menggunakan terminologi ‘kebenaran’, tetapi menggunakan terminologi pengganti, yakni “dilihat jernih, jujur dan objektif”. Pada waktu yang hampir bersamaan, Ifdhal Kasim mengatakan kasus pelanggaran HAM yang berat itu tidak harus (selalu) diselesaikan dengan mekanisme hukum. “Kalau memiliki komitmen politik, pemerintah juga dapat menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat itu dengan cara-cara politis melalui rekonsiliasi”, demikian pers mengutip pandangannya. Dan sedikit mencengangkan sekaligus terasa dangkal adalah jalan pikiran Wakil Ketua DPR-RI, Priyo Budi Santoso, yang menganggap bahwa membuka kembali Peristiwa 1965-1966 adalah tidak produktif.

Selain kata kunci kebenaran yang kemudian diikuti kata kunci keadilan, kata kunci kecermatan adalah tak kalah pentingnya. Kebenaran akan tergali optimum melalui kecermatan. Kecermatan dalam meneliti kebenaran suatu peristiwa, berarti tak hanya melihat apa yang terjadi dalam peristiwa, melainkan juga melihat berbagai tali temali yang menyebabkan suatu peristiwa terjadi.

Meski tidak disebutkan dalam bahasa yang lebih terang, Peristiwa 1965-1966 yang dimaksudkan Komnas HAM dalam hal ini Continue reading Peristiwa 1965: PKI Dalam Perspektif Pembalasan dan Pengampunan (1)

‘Oase’ Kemewahan di Tengah ‘Gurun’ Kemiskinan Indonesia (1)

PERILAKU bermewah-mewah belakangan ini kembali menjadi sorotan, meskipun perilaku seperti itu bukan sesuatu yang asing di negeri ini. Sikap itu –seperti layaknya di banyak negara makmur– sudah hinggap dan melekat tak mau lepas lagi dari kehidupan sebagian manusia Indonesia yang beruntung menikmati hasil kemerdekaan negara ini. Tapi tentu saja, tak semua orang kaya Indonesia, bersikap lupa diri bermewah-mewah. Mereka yang memperoleh kekayaan dengan kerja keras, cenderung berperilaku efisien, efektif dan mengutamakan produktivitas yang pada gilirannya berfaedah pula bagi orang lain. Sebaliknya, mereka yang memperoleh rezeki besar dengan mudah, terutama melalui korupsi-kolusi-nepotisme, atau cara curang lainnya, cenderung berperilaku mewah yang sudah berwujud hedonisme.

Berturut-turut disorot dalam satu rangkaian, kepemilikan sejumlah mobil mewah –dari sekedar kendaraan mewah seharga 500-700 juta rupiah hingga sedan Bentley berharga 7 miliar rupiah– oleh beberapa anggota DPR-RI, sampai kepada mobil-mobil mewah yang digunakan tamu-tamu di acara pernikahan dan pesta perkawinan putera Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan puteri Menko Perekonomian Hatta Rajasa. Lalu ada diskusi “Korupsi dan Hedonisme dari Rezim ke Rezim” di Jakarta. Bersamaan dengan itu diumumkan hasil penelitian yang dilakukan KPK, yang menyebutkan Kementerian Agama sebagai institusi terkorup, disusul Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi serta Kementerian Koperasi dan UKM di tempat kedua dan ketiga. Ada penilaian bahwa gejala hedonisme meningkat di kalangan pejabat negara, yang berkaitan dengan perilaku korupsi. Kaum hedonis adalah kelompok manusia yang menjadi penggemar segala kenikmatan hidup dan mengembangkan filsafat kenikmatan duniawi. Peristiwa perilaku hedonis paling masyhur adalah yang terjadi di kota Sodom dan Gomorrah yang bergelimang dosa, hingga seperti dituturkan dalam berbagai kitab suci agama, akhirnya mendapat laknat dariNya.

Marie Antoinette Moment. ADAPUN rangkaian pesta perkawinan putera-puteri dua petinggi penting negara, Susilo Bambang Yudhoyono dan Hatta Rajasa, meskipun semula diupayakan mendapat citra tampilan sederhana, antara lain dengan ‘menyederhanakan’ menu hidangan, tak urung akhirnya dianggap bergelimang kemewahan. Antara lain karena kesemarakan prosesi adat peradatan yang dilalui, dan terutama disebabkan oleh kesemarakan para tamu di acara pernikahan di Istana Cipanas maupun resepsi di JCC. Presiden, seperti diberitakan sempat memohon maaf sebelumnya bila banyak teman-temannya di pusat maupun di daerah tak diundang, karena berbagai alasan keterbatasan. Agaknya memang banyak tokoh politik, tokoh eks pemerintahan maupun tokoh masyarakat, luput diundang. Namun, ketidakhadiran mereka, tergantikan oleh kehadiran sejumlah besar selebrities –terutama kalangan artis dan kaum populer lainnya– yang tak boleh tidak datang dengan kesemarakan penampilan mereka yang cenderung luar biasa. Baik terkait busana mereka maupun cara mereka datang, yakni kendaraan-kendaraan mahal yang mereka gunakan. Tak terhindarkan lagi, pesta pada akhirnya tampil mewah.

LOUIS XIV-MARIE ANTOINETTE. “Marie Antoinette adalah Ratu Perancis di Abad 18, isteri Louis XIV, yang dikenal sebagai ratu pemborosan atau nyonya ketekoran, yang menyenangi serba kemewahan. Pesta-pesta mewah yang sering diselenggarakannya hingga kini menjadi model bagi pesta-pesta mahal gaya klasik kaum berduit di Eropa….” (foto download)

Bandingkan dengan pesta pernikahan puteri Sri Sultan Hamengkubuwono X sebelumnya, yang meskipun tak kalah semarak prosesi adat peradatannya, tak disorot dalam konteks kemewahan. Tak lain karena, lebih dipandang sebagai suatu peristiwa budaya, sesuai kapasitas Kesultanan Yogyakarta. Kepresidenan sementara itu, tidak dianggap sebagai sumber peristiwa budaya.

Meski diakui kemegahannya melalui sebutan Wedding of The Year, perkawinan pasangan kerajaan Inggeris, Pangeran William dengan Kate Middleton, sebuah tulisan di The Guardian, 29 April 2011, menyebut perkawinan tersebut sebagai “Britain’s Marie Antoinette Moment”. Marie Antoinette adalah Ratu Perancis di Abad 18, isteri Louis XIV, yang dikenal sebagai ratu pemborosan atau nyonya ketekoran, yang menyenangi serba kemewahan. Pesta-pesta mewah yang sering diselenggarakannya hingga kini menjadi model bagi pesta-pesta mahal gaya klasik kaum berduit di Eropa. Setelah terjadinya Revolusi Perancis 1789, pasangan ini dihukum pancung oleh kaum revolusioner di depan rakyatnya sendiri dengan guilotine pada tahun 1792.

PRESIDEN Soekarno pada tahun-tahun terakhir kekuasaannya menjelang 1965, juga acapkali menyelenggarakan pesta malam tari lenso di Istana Merdeka bersama para menteri, para pengusaha dan lingkaran utama pendukung politiknya. Sejumlah selebriti dan artis cantik ikut memeriahkan pesta-pesta itu. Tentang Soekarno, aktivis 1966 almarhum Soe Hok-gie, menulis dalam catatan hariannya, “sebagai manusia saya kira saya senang pada Bung Karno, tetapi sebagai pemimpin tidak”.

Soe Hok-gie menceritakan suatu pertemuan dengan Soekarno yang ikut dihadirinya. Dalam pertemuan itu, Soekarno mengisi sebagian waktu dengan percakapan-percakapan yang membuat Soe Hok-gie merasa agak aneh. Presiden Soekarno dengan senang mendengar gosip terbaru di Jakarta tentang Menteri Luar Negeri Soebandrio dan hubungannya dengan bintang-bintang film lokal yang terkenal, yang salah seorang di antaranya adalah keturunan cina. Ketika pembicaraan meloncat lebih jauh mengenai seks, Hok-gie mengutip Soekarno yang dengan riang berkata, tentang bagaimana rasanya bila memegang-megang buah dada wanita yang diinjeksi dengan plastik. Soekarno juga membicarakan bagaimana yang cantik-cantik dipegang-pegang oleh Bung Karno, Chairul Saleh dan Dasaad.

Bung Karno, kata Hok-gie, “penuh humor-humor dengan mop-mop cabul dan punya interese yang begitu immoril. Lebih-lebih melihat Dasaad yang gendut tapi masih senang gadis-gadis cantik. Ia menyatakan bahwa ia akan kawin dengan orang Jepang sekiranya ia masih muda. Bung Karno berkata ia ingin menerima sesuatu (helikopter?) sebagai hadiah dan Dasaad berkata, tahu beres bila surat-suratnya beres…..”. Dasaad ini adalah salah seorang pengusaha yang amat dekat dengan Soekarno kala itu. ”Kesanku hanya satu, aku tidak bisa percaya dia sebagai pemimpin negara karena ia begitu immoral”. Soe Hok-gie juga cemas mengamati tanda-tanda korupsi yang kotor berupa keakraban dengan tokoh-tokoh yang korup, seperti Dasaad, yang terlihat jelas di lingkungan istana, para pembantu presiden yang menunjukkan sikap menjilat, dan asisten wanitanya yang ia perlakukan sebagai objek seks pribadi (Lihat buku Rum Aly, Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966).

“Kalau mau menumpuk kekayaan, lebih baik kau keluar…”. ALMARHUM Letnan Jenderal Sarwo Edhie Wibowo, dalam suatu wawancara dengan media generasi muda di tahun 1973 (MI, Mei 1973), mengakui bahwa kala itu banyak orang, tak terkecuali sejumlah jenderal yang sedang berada dalam gerbong kekuasaan negara, telah menggunakan kesempatan dalam kesempitan untuk memperkaya diri. Tapi, menurut Sarwo Edhie, itu tak terlalu mengherankan, karena “di tahun-tahun perjuangan kemerdekaan pun ada oknum-oknum yang membonceng sebagai pejuang tetapi kerjanya merampok kekayaan rakyat…”. Sewaktu sang jenderal menjadi Gubernur Akabri (Akademi Angkatan Bersenjata RI) 1970-1973, ia selalu mengingatkan para Taruna anak didiknya, “Kalau mau menumpuk kekayaan, lebih baik kau keluar dan tinggalkan baju hijau…”. Sejak beberapa dekade sebagian besar anak didik Jenderal Sarwo Edhie, terutama lulusan Akabri Angkatan 1970 hingga 1973, telah menjadi jenderal, beberapa di antaranya sudah purnawirawan tetapi banyak yang pernah dan atau masih berada dalam posisi penting kekuasaan negara. Termasuk di dalamnya, sang menantu, Letnan Jenderal Purnawirawan Susilo Bambang Yudhoyono yang saat ini menjabat sebagai Presiden RI. Adakah mereka semua para jenderal itu, ingat pesan sang jenderal yang semasa hidupnya telah membuktikan diri sebagai jenderal idealis yang bersih dari perilaku korupsi itu, dan selalu mampu melawan godaan uang?

Pada waktu tak berbeda jauh, di tahun yang sama, Jenderal Purnawirawan Abdul Harris Nasution pun melancarkan kekesalannya di depan para mahasiswa Bandung tentang sejumlah jenderal yang hidup bermewah-mewah. Jenderal AH Nasution juga pernah melontarkan kecaman tentang sikap mewah para jenderal di masa Angkatan Darat dipimpin Jenderal Ahmad Yani sebelum Peristiwa 30 September 1965. Sikap bermewah-mewah itu menurut Nasution telah dijadikan bahan serangan oleh PKI terhadap Angkatan Darat. “Hidup bermewah-mewah tak serasih dengan kehidupan keprajuritan”, ujarnya Mei 1973. Beberapa hari kemudian pada suatu kesempatan lain, Jenderal Nasution menyatakan pemerataan keadilan sosial sudah dapat “dimulai sejak sekarang, tak usah menunggu sampai makmur”.

Berlanjut ke Bagian 2

Malapetaka Sosiologis Indonesia: Pembalasan Berdarah (5)

“Mengingat integritas dan reputasi kejujuran Sarwo Edhie, catatan itu pasti berisikan hal-hal yang amat berharga dan relatif tidak mengandung unsur pemalsuan sejarah. Atau catatan itu justru ‘hilang’ karena bersih dari pemalsuan sejarah? Selain korban jiwa dalam malapetaka sosial tersebut, yang sebenarnya tak hanya menimpa  massa pendukung  PKI, sejumlah orang juga menjadi tahanan politik bertahun-tahun lamanya di berbagai tempat penahanan di seluruh Indonesia dan kemudian di Pulau Buru”.

SEPERTI halnya di Sulawesi Selatan, PNI Sulawesi Utara cukup menonjol, di antaranya di kabupaten (waktu itu) Gorontalo, Bolaang Mongondow dan sebagainya. Mirip yang terjadi di Bali, maka peranan ‘pembasmian’ terhadap PKI yang terjadi di daerah ini banyak dipelopori oleh massa PNI dan organisasi-organisasi mantelnya, serta massa NU yang memiliki dendam antara lain berdasarkan solidaritas atas nasib akar rumput NU di Jawa Timur yang menjadi sasaran aksi-aksi sepihak PKI. Meskipun secara historis ada sedikit peninggalan kebencian dan sikap anti komunis yang kuat di daerah ini sejak masa Permesta, kebencian itu tidak sampai menyebabkan adanya kekerasan berlebih-lebihan terhadap anggota PKI pasca Peristiwa 30 September 1965. Sebelum peristiwa di Sulawesi Utara tak tercatat adanya aksi sepihak soal tanah, karena PKI hanya sebatas melakukan provokasi dengan ucapan-ucapan bernada ancaman kepada para pemilik tanah yang luas-luas, bahwa sewaktu-waktu massa akan menduduki tanah mereka. Jadi memang tak ada kondisi objektif yang pantas untuk menjadi alasan bagi suatu gelombang pembalasan. Bahkan terjadi suatu situasi unik, karena sejumlah tokoh pemerintahan atau eks pejabat yang diketahui punya sejarah melakukan korupsi, seperti yang terjadi di Bolaang Mongondow, justru diduduki dan dikuasai rumahnya oleh massa, dan ini tak ada urusannya dengan keterlibatan pada PKI.

Memang, tak dapat dihindari, bahwa ada juga anggota PKI yang dibunuh, namun jumlahnya terbatas. Faktor dendam pribadi, biasanya bekerja dalam kasus-kasus seperti ini. Pada umumnya, massa yang bergerak hanyalah melakukan pengrebegan terhadap anggota-anggota yang dikenal sebagai tokoh PKI, lalu digiring untuk diserahkan kepada tentara atau polisi. Isteri dan anak-anak mereka tidak diganggu. Rumah Robby Sumolang, tokoh nasional IPPI yang secara nasional sangat populer di Jakarta, dan dikenal sangat pro golongan kiri, hanya kena cat dengan kotak hitam, disertai tulisan di bawah pengawasan Kodim. Yang menjadi salah satu catatan menarik dalam rangkaian pembasmian terhadap PKI di Sulawesi Utara ini adalah kasus 40 anggota PKI yang ditangkap oleh pihak militer di bawah koordinasi seorang Mayor bernama Sudjarwo –yang di Sulawesi Utara disebut sebagai anak buah Sudharmono– lalu dibawa ke pulau Jawa dengan menggunakan sebuah kapal kayu. Nasib 40 orang ini tidak pernah jelas, apakah tiba di Pulau Jawa atau tidak, mereka pun tak pernah kembali ke Sulawesi Utara. “Mungkin ditenggelamkan di tengah laut”, ujar Lukman Mokoginta mengutip anggapan masyarakat kala itu. Peristiwanya sendiri terjadi tahun 1967, sudah cukup jauh dari akhir 1965.

Pembasmian dini di Jawa Barat. Di tengah gelombang pembasmian PKI, khususnya di pulau Jawa, fenomena yang paling menarik mungkin adalah yang terjadi di Jawa Barat. Ketika praktis seluruh pulau Jawa ada dalam arus pembasmian massal yang berdarah, Jawa Barat menunjukkan kelainan. Gerakan pembasmian PKI umumnya hanya terjadi di kota-kota, terutama di kota Bandung, dan relatif tidak berdarah karena lebih ditujukan pada pengambilalihan kantor-kantor milik PKI dan organisasi-organisasi sayapnya. Lagipula penyerbuan-penyerbuan ke kantor-kantor PKI itu dilakukan oleh massa mahasiswa dan pelajar yang tidak punya niat dan kemampuan melakukan kekerasan berdarah. Pola pengambilan dan pembunuhan atas pengikut-pengikut PKI terjadi secara sporadis saja di daerah tertentu, khususnya di wilayah pantai utara, dilakukan oleh organisasi-organisasi massa.

Latar belakang bagi situasi ini berasal dari masa sepuluh hingga limabelas tahun sebelumnya. Orang-orang komunis di Jawa Barat, telah lebih dulu mengalami pembasmian sampai ke akar-akarnya, sejak tahun 1950 hingga menjelang Pemilihan Umum 1955, terutama di Priangan Timur. Sejak sebelum tahun 1950, khususnya 1945-1948, pembelahan yang nyata terlihat di antara kaum santri yang umumnya dari NU dengan kaum abangan, persis seperti dalam teori sosiologi menurut Clifford Geertz. Kehadiran DI-TII merubah perimbangan. Sejak 1950-1951 terjadi gelombang pembantaian terhadap pengikut-pengikut komunis seperti anggota Pesindo dan sebagainya yang berada di pedesaan-pedesaan Priangan Timur. Di daerah pedesaan Garut sebagai contoh, pengikut-pengikut komunis yang menghuni desa-desa perbukitan mengalami pembantaian terutama oleh pasukan-pasukan DI-TII. Garut saat itu berada dalam wilayah ‘kekuasaan’ salah satu panglima perang DI-TII yang terkenal di Priangan Timur, bernama Zainal Abidin. Tetapi selain oleh DI-TII, pembantaian juga dilakukan oleh massa santri yang membenci orang-orang komunis itu, terutama atas dasar anggapan bahwa mereka manusia tidak bertuhan dan merupakan musuh Islam.

Pembantaian yang berlangsung terus secara bergelombang dalam jangka waktu yang cukup panjang, terutama berupa penyembelihan, mencapai skala yang cukup massal secara akumulatif, juga terutama karena berlangsung dalam jangka waktu yang cukup panjang dalam sebaran wilayah yang luas. Dalam satu gelombang peristiwa bisa jatuh korban lebih dari seratus, dan secara sporadis angka korban puluhan dalam setiap peristiwa adalah lazim. Pembasmian serupa, tak hanya terjadi di wilayah Garut, tetapi merata di Priangan Timur. Hal serupa, meskipun dalam skala lebih kecil terjadi pula di daerah-daerah di mana pengaruh DI-TII cukup kuat, sementara sebaliknya tak tercapai dalam jangkauan dan akses keamanan TNI. Penghitungan yang lebih akurat, misalkan berdasarkan data yang dimiliki Kodam Siliwangi, menjadi agak sulit karena tercampur dengan korban-korban DI-TII dari kelompok masyarakat lainya dan tercampur pula dengan data korban di kalangan rakyat akibat pertempuran antara DI-TII dan pasukan Siliwangi.

Pembantaian di pedalaman Jawa Barat ini, menyebabkan terjadinya arus ‘pengungsian’ pengikut komunis ini ke kota-kota, terutama ke Bandung. Ini menjelaskan kenapa di Jawa Barat, PKI hanya bisa berkembang cukup baik di perkotaan terutama pada era Nasakom 1961-1965. Sementara itu, karena akar-akarnya telah ditumpas di wilayah pedalaman, seperti dituturkan Dr Aminullah Adiwilaga seorang pengajar di Universitas Padjadjaran dan Drs Adjan Sudjana, maka PKI tak mampu membangun jaringan baru partai secara signifikan di wilayah luar perkotaan Jawa Barat. Dan ketika pecah Peristiwa 30 September 1965, relatif tak ada sasaran bagi massa anti PKI di wilayah pedalaman Jawa Barat.

Karena penangguhan ‘political solution’ yang dijanjikan Soekarno?

Berapa korban yang jatuh dalam malapetaka sosiologis pasca Peristiwa 30 September 1965? Perkiraan yang moderat menyebutkan angka 500.000 jiwa. Perhitungan lain, berkisar antara 1.000.000 sampai 2.000.000. Tetapi, Sarwo Edhie yang banyak berada di lapangan, pasca peristiwa, baik di Jawa Tengah, Jawa Timur maupun di Bali, suatu ketika menyebut angka 3.000.000. Hingga akhir hayatnya, Letnan Jenderal Sarwo Edhie Wibowo bahkan tak pernah meralat angka yang disebutkannya itu. Sebenarnya, Sarwo Edhie memiliki catatan-catatan tentang pengalamannya di seputar Peristiwa 30 September 1965 dan masa-masa sesudahnya, termasuk mengenai malapetaka sosiologis tersebut. Mungkin ada angka-angka signifikan dalam catatan tersebut. Namun sayang, catatan Sarwo Edhie itu ‘hilang’ di tangan orang yang dititipi –dalam rangka usaha menerbitkannya– oleh ibu Sarwo Edhie, beberapa waktu setelah sang jenderal meninggal.

Mengingat integritas dan reputasi kejujuran Sarwo Edhie, catatan itu pasti berisikan hal-hal yang amat berharga dan relatif tidak mengandung unsur pemalsuan sejarah. Atau catatan itu justru ‘hilang’ karena bersih dari pemalsuan sejarah? Selain korban jiwa dalam malapetaka sosial tersebut, yang sebenarnya tak hanya menimpa  massa pendukung  PKI, sejumlah orang juga menjadi tahanan politik bertahun-tahun lamanya di berbagai tempat penahanan di seluruh Indonesia dan kemudian di Pulau Buru. Professor Herbert Feith menyebutkan adanya 80.000 tahanan politik. Suatu angka yang sebenarnya lebih rendah daripada kenyataan yang ada, apalagi penangkapan terus berlangsung sampai bertahun-tahun sesudah peristiwa, tak terkecuali korban salah tangkap.

Pada tahun-tahun 1966-1967 bahkan hingga beberapa tahun berikutnya, berbagai pihak, termasuk pers Indonesia cenderung menghindari menyentuh dan membicarakan mengenai pembasmian berdarah-darah atas PKI ini. Hanya ada beberapa pengecualian, seperti misalnya Soe Hok-gie melalui tulisan-tulisannya, termasuk di Mingguan Mahasiswa Indonesia, edisi pusat maupun edisi Jawa Barat. Adalah karena tulisan-tulisannya, Soe-Hokgie berkali-kali menjadi sasaran teror. Di tahun 1966, melalui tulisannya di Mingguan Mahasiswa Indonesia, cendekiawan muda dari ITB Mudaham Taufick Zen yang lebih dikenal sebagai MT Zen pernah menyentuh substansi masalah tersebut. MT Zen menggambarkan adanya suasana ketakutan rakyat Indonesia terhadap teror PKI selama beberapa tahun terakhir, sebagaimana yang kemudian ‘terbukti’ di Lubang Buaya. Dalam suasana itu, “sebagai akibat selalu ditangguhkannya political solution yang dijanjikan Bung Karno, maka terjadilah pembunuhan besar-besaran di Jawa Tengah dan Jawa Timur serta tempat-tempat lain di Indonesia”.

Perlu dicatat bahwa setelah terjadinya Peristiwa 30 September 1965, harian-harian milik tentara dan atau dipengaruhi tentara, seperti Berita Yudha dan Angkatan Bersendjata, sangat berperanan dalam mengkampanyekan kekejaman PKI, terutama mengenai kekejaman di Lubang Buaya. Brigadir Jenderal Sunardi DM mengakui adanya kampanye seperti itu, untuk membangkitkan ‘perlawanan’ rakyat terhadap PKI dalam suatu percakapan dengan Rum Aly (penulis catatan ini). Penggambaran mereka terhadap kekejaman yang dilakukan terhadap enam jenderal dan seorang perwira pertama Angkatan Darat betul-betul berhasil menyulut kemarahan massal di seluruh Indonesia, dengan dampak yang luar biasa dahsyat.

Baru belakangan diketahui bahwa banyak berita yang dilansir amat dilebih-lebihkan. Mingguan Mahasiswa Indonesia sendiri, kendatipun merupakan media yang menonjol sikap anti komunisnya, tetap mampu memisahkan masalah kejahatan kemanusian dan pelanggaran hak azasi dari dimensi subjektivitas politik, termasuk yang menimpa anggota-anggota PKI. Mingguan itu memberi tempat kepada berbagai berita ekses, termasuk mengenai masalah tahanan politik seperti pengungkapan angka oleh Herbert Feith dan kemudian bahasan-bahasan ‘ilmiah’ Pater MAW Brouwer mengenai Marxisme dan tentang nasib orang-orang PKI. Teguran-teguran per telepon yang disampaikan oleh pihak aparat militer, diabaikan. Pada tahun 1968-1969, Harian Sinar Harapan dan Harian Indonesia Raya, juga pernah mendapat sedikit ‘kesulitan’ dari pihak tentara karena pemberitaannya mengenai pembunuhan atas diri orang-orang PKI di Purwodadi yang dilakukan oleh kesatuan teritorial TNI-AD di daerah itu.

-Diolah kembali dari buku Rum Aly, Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966, Kata Hasta Pustaka, 2006.

Malapetaka Sosiologis Indonesia: Pembalasan Berdarah (3)

“Salah satu pelaku pemerkosaan yang paling brutal, seperti yang digambarkan Soe Hok-gie dalam tulisannya, adalah Widagda seorang pimpinan PNI dari Negara. Ia ini adalah adik laki-laki Wedasastra Suyasa, seorang tokoh terkemuka PNI di Bali dan anggota DPR-GR di Jakarta. Widagda memperkosa puluhan wanita yang dituduh dan dikait-kaitkan dengan PKI, meskipun terbukti kemudian bahwa tidak selalu tuduhan terkait PKI itu benar”.

Faktor lain yang membuat PKI menonjol di Bali adalah bahwa dalam Nasakomisasi yang dijalankan oleh Gubernur Suteja –seorang yang dianggap pendukung utama Presiden Soekarno di daerah itu dan mempunyai kedekatan dengan PKI– sesuai ‘perintah’ Soekarno, PKI mendapat keleluasaan berlebihan. Suteja merupakan perpanjangan tangan yang baik bagi kebijaksanaan Nasakomisasi Soekarno yang menguntungkan PKI. Dalam suasana Nasakomisasi itu, banyak tindakan-tindakan PKI, yang dipimpin oleh Tio Kandel sebagai Ketua CDB, seperti aksi-aksi sepihak dalam masalah pertanahan, bisa berlangsung bebas tanpa penindakan. Ini terutama pula terjadi setelah Brigjen Supardi yang dikenal amat anti PKI mengikuti garis Markas Besar AD, digantikan sebagai Panglima Kodam Udayana pada tahun 1963 oleh Brigjen Sjafiuddin yang sangat patuh terhadap Soekarno saat itu. Dan adalah menarik, meskipun secara horizontal di lapisan bawah massa PNI banyak berbenturan dengan massa PKI, dalam banyak hal para elite PNI di Bali bisa berdampingan nyaman dengan tokoh-tokoh PKI. Bahkan terjadi beberapa jalinan kepentingan bersama yang menguntungkan, termasuk secara ekonomis. Ada beberapa pengusaha yang kebetulan keturunan Cina, selain dekat dengan tokoh-tokoh PKI juga punya jalinan dengan tokoh-tokoh PNI, sehingga terjadi pertalian di antara ketiganya. Meskipun, sebaliknya dalam beberapa kasus lainnya terjadi pula persaingan kepentingan ekonomi dan politik yang tajam di antara tokoh-tokoh PNI tertentu dengan tokoh-tokoh PKI di Bali.

PKI juga nyaman bersama Brigjen Sjafiuddin, apalagi isteri Sjafiuddin punya kedekatan khusus dengan Gerwani dan menunjukkan sikap mendukung PKI. Namun, setelah Peristiwa 30 September terjadi, pada pertengahan Oktober sewaktu arah angin dan situasi menjadi lebih jelas, dengan gesit Brigjen Sjafiuddin melancarkan operasi pembersihan terhadap mereka yang dianggap terlibat PKI, terutama internal Kodam Udayana. Akan tetapi, sejauh yang dapat dicatat, tidaklah terlalu jelas ‘kategori’ sebenarnya dari mereka yang ditangkap, karena sebaliknya banyak yang menurut perkiraan umum akan ditangkap ternyata ‘lolos’ atau diloloskan. Belum lagi, sejumlah kasus salah tangkap.

Menurut Soe Hok-gie, pemicu kekerasan yang kemudian terjadi di Bali adalah hasutan-hasutan sejumlah tokoh. Seorang tokoh PNI menghasut orang-orang untuk melakukan aksi kekerasan dengan mengatakan  bahwa Tuhan menyetujui pembantaian terhadap orang-orang PKI, dan bahwa hukum tidak akan mengena orang yang melakukannya. Seorang tokoh lain mengatakan bahwa mengambil harta benda milik orang PKI tidak melanggar hukum. “Kelompok-kelompok yang berjaga-jaga mulai keluar dengan berpakaian serba hitam dan bersenjatakan pedang, pisau, pentungan dan bahkan senjata api. Rumah-rumah penduduk yang diduga sebagai anggota PKI dibakar sebagai bagian dari pemanasan bagi dilancarkannya tindakan-tindakan yang lebih kejam”. Kemudian pembantaian pun mulai terjadi di mana-mana. “Selama tiga bulan berikutnya, Bali menjadi sebuah mimpi buruk pembantaian”. Dengan perkiraan yang paling konservatif, menurut Soe Hok-gie, “paling tidak 80.000 orang terbunuh”, dari berbagai tingkat usia, pria dan wanita. Soe Hok-gie menyimpulkan, pembantaian massa PKI di Bali tidak berlangsung berdasarkan suatu spontaniteit –istilah bahasa Belanda untuk spontanitas– melainkan terutama karena hasutan tokoh-tokoh PNI.

Ada beberapa sebab kenapa massa PNI menjadi pemeran utama pembasmian PKI di Bali. Pertama, karena memang adanya faktor dendam akibat akumulasi perlakuan massa PKI sebelumnya kepada orang-orang PNI di pedesaan-pedesaan Bali. Namun pembalasan ini baru muncul setelah beberapa tokoh PNI melakukan provokasi, dan mulai terjadi terutama di bulan November 1965. Hal kedua, ada beberapa tokoh PNI yang karena ingin menutupi ‘kerjasama’nya dengan PKI di masa lampau, kemudian memprovokasi suatu eliminasi terhadap PKI. Seorang pengusaha Cina bernama Tjan Wie menjadi salah satu korban utama, dengan tuduhan keterlibatan dengan PKI, aset dan hartanya disapu habis, sehingga ia menjadi gila karena tekanan mental yang tak dapat lagi dipikulnya. Ironisnya, saingan bisnisnya yang bernama Lie Lie Tjien yang justru adalah pengusaha yang menjadi donatur utama PKI di Bali Utara tidak tersentuh karena ia bersekutu dengan Wijana salah satu tokoh utama PNI di Bali.

Selain pembunuhan-pembunuhan dan pembakaran rumah-rumah, terjadi pula tindakan-tindakan pemerkosaan terhadap sejumlah besar perempuan yang dikaitkan dengan Gerwani. Salah satu pelaku pemerkosaan yang paling brutal, seperti yang digambarkan Soe Hok-gie dalam tulisannya, adalah Widagda seorang pimpinan PNI dari Negara. Ia ini adalah adik laki-laki Wedasastra Suyasa, seorang tokoh terkemuka PNI di Bali dan anggota DPR-GR di Jakarta. Widagda memperkosa puluhan wanita yang dituduh dan dikait-kaitkan dengan PKI, meskipun terbukti kemudian bahwa tidak selalu tuduhan terkait PKI itu benar. Tiga di antara wanita korbannya mengajukan kasusnya ke pengadilan, dan Widagda akhirnya dijatuhi hukuman untuk itu, dengan amat tidak setimpal, yakni 3 tahun penjara. Pelaku-pelaku lain selain Widagda, tak sempat tersentuh hukum. Faktanya, pembasmian di Bali hanya mengena terhadap akar-akar rumput PKI, dan justru banyak lapisan atasnya lolos dan bisa tinggal dengan aman di Jakarta.

Gelombang pembantaian terhadap massa PKI di Sumatera Utara juga termasuk menonjol meskipun tidak terlalu massive seperti di Jawa Timur maupun Jawa Tengah. Tetapi penggambaran bahwa pada masa-masa di bulan Oktober 1965 itu Sungai Ular penuh dengan mayat, bukanlah deskripsi yang terlalu berlebih-lebihan. PKI Sumatera Utara, termasuk agresif, tak kalah dengan PKI di wilayah lainnya. Peristiwa Bandar Betsi yang mengambil korban jiwa seorang anggota Angkatan Darat terjadi di propinsi ini. Aksi sepihak BTI dan buruh perkebunan yang berafiliasi dengan PKI, termasuk intensif di daerah ini. Dalam periode Nasakom, PKI unggul di kalangan buruh perkebunan dan kereta api. PKI juga memiliki suratkabar yakni Harian Harapan. Gubernur Ulung Sitepu dikenal sebagai tokoh PKI dan beberapa tokoh PKI di tingkat nasional berasal dari daerah ini.

Organisasi anti PKI yang paling kuat dan keras di daerah ini adalah Pemuda Pantjasila, dan mereka lah paling gencar menggempur PKI pasca Peristiwa 30 September. Satu dan lain hal, karena organisasi kepemudaan ini memperoleh informasi cepat dari Jakarta mengenai gambaran situasi sebenarnya melalui jalur IPKI yang merupakan induk organisasinya. Dan peristiwa yang menimpa Jenderal Nasution di Jakarta 1 Oktober dinihari, menjadi pemicu ‘kemarahan’ mereka, karena Jenderal Nasution adalah tokoh yang mendirikan IPKI. Selain Pemuda Pantjasila, organisasi anti PKI yang kuat di wilayah ini, khususnya di perkebunan-perkebunan adalah Soksi. Organisasi sayap Soksi di dunia kemahasiswaan, Pelmasi, meskipun tak cukup banyak anggotanya akhirnya juga cukup berperan dalam gerakan pembasmian PKI di Sumatera Utara. Salah satu tokohnya di Sumatera Utara adalah Bomer Pasaribu yang cukup berperan dalam kesatuan aksi dan belakangan tembus ke tingkat nasional.

PKI, PNI dan peran para bangsawan di Sulawesi Selatan. Suatu keadaan yang agak terbalik dari Jawa Tengah terjadi di Sulawesi Selatan. Seperti halnya di Jawa Tengah, PNI di Sulawesi Selatan amat menonjol. Dan inilah yang kemudian menjadi awal bencana bagi PNI di Sulawesi Selatan. PNI jauh lebih menonjol dari PKI, meski pun tokoh-tokoh PKI di wilayah ini cukup vokal. Namun dibandingkan dengan perilaku politik PKI di pulau Jawa yang amat agresif, PKI Sulawesi Selatan bisa dikatakan ‘moderat’. Aksi-aksi sepihak dalam rangka landreform lebih banyak disuarakan melalui pernyataan-pernyataan. Kalau pun pernah terjadi aksi sepihak, itu hanya terjadi di Tanah Toraja. Anggota-anggota PKI di Sulawesi Selatan sejauh yang tercatat tak pernah melakukan tindakan kekerasan berdarah-darah seperti yang dilakukan misalnya di Bandar Betsi Sumatera Utara, serta tidak melakukan gerakan perlawanan seperti di Jawa Tengah. Masih beradanya Sulawesi Selatan dalam situasi keamanan yang kurang baik terkait dengan masih bergeraknya DI-TII di wilayah ini menjadi salah satu penyebab terbatasnya ruang gerak PKI. Praktis PKI tak bisa menjangkau ke wilayah pedalaman, terutama karena kehadiran DI-TII di wilayah-wilayah luar perkotaan itu. Dengan demikian, PKI Sulawesi Selatan sebenarnya terhindar dari melakukan tindakan-tindakan mengakumulasi dendam seperti yang dilakukan PKI di Jawa Tengah maupun di Jawa Timur. Maka adalah menarik bahwa bila kemudian terjadi tindakan ‘balas dendam’ yang cukup kejam di daerah ini, seperti misalnya yang terjadi di Watampone, Kabupaten Bone, daerah kelahiran Jenderal Muhammad Jusuf.

Selain Paiso, tak banyak tokoh PKI Sulawesi Selatan yang menarik perhatian. Begitu pula misalnya tokoh-tokoh organisasi mantelnya, seperti HSI, CGMI atau Pemuda Rakyat. HSI misalnya, tak banyak tokohnya yang menarik perhatian masyarakat di Sulawesi Selatan, bahkan cenderung tak dikenal. Ada beberapa nama, namun tidak terlalu dikenal, seperti misalnya Mochtar dan Nurul Muhlisa. Tapi salah seorang di antaranya, amat diperhatikan mahasiswa, yakni Prof Ie Keng Heng, yang mengajar ilmu kimia di Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin, karena selain menyampaikan kuliah kimia, ia sering berbicara dalam berbagai kesempatan mengenai komunisme. Ia selalu memuji-muji PKI sebagai kekuatan progressif revolusioner, termasuk dalam memberikan kuliah. Maka, ketika keadaan berbalik setelah patahnya Gerakan 30 September 1965, dan nama PKI dilibatkan, ia menjadi salah satu sasaran utama mahasiswa non komunis.

Masih pada 2 Oktober 1965, hari Sabtu, sekelompok mahasiswa dari organisasi Islam, HMI dan kawan-kawan, menyeret paksa sang professor saat ia sedang memberi kuliah hari itu, lalu digiring ke tempat lain. Menurut seorang mahasiswa, Ie Keng Heng dibawa ke aparat keamanan (militer). Setelah itu, orang tak pernah melihatnya lagi. Ada yang mengatakan ia di bawah ke Malino, suatu daerah peristirahatan beberapa puluh kilometer ke arah Tenggara kota Makassar, lalu dihabisi di sana. Tetapi seorang aktivis PMKRI dari Fakultas Teknik Unhas, Bobby Tjetjep, memperkirakan bahwa nasib Ie Keng Heng tak sedramatis itu, dan matinya adalah biasa saja, tidak karena suatu eksekusi. Memang ada juga yang memperkirakan bahwa Ie Keng Heng yang sehari-harinya sebenarnya tidak bersikap ‘ganas’ sebagai anggota HSI yang partainya sedang naik daun secara nasional, tidaklah dibawa ke tempat eksekusi, sebagaimana yang banyak beredar ceritanya waktu itu, melainkan diberi ‘kesempatan’ untuk meninggalkan Makassar. Putera-puterinya –hasil perkawinannya dengan seorang wanita Eropah– yang masih berstatus pelajar dan mahasiswa ikut mendapat getahnya, padahal sehari-harinya mereka tak pernah tertarik untuk ikut terbawa arus politik seperti ayahanda mereka, dan harus pula ‘meninggalkan’ kota Makassar entah ke mana.

Berlanjut ke Bagian 4

Malapetaka Sosiologis Indonesia: Pembalasan Berdarah (2)

“Keikutsertaan sebagai pembantai bahkan kerapkali dianggap semacam tugas suci oleh beberapa anak muda belasan tahun. ‘Seorang teman sekolah saya di SMA, kerap bercerita, mengenai pengalamannya beroperasi pada malam sebelumnya’, kata Sjahrul. Kelakuan para remaja yang terbawa arus melakukan pembantaian tampak berangsur-angsur menjadi tidak wajar”.

Setelah Peristiwa 30 September terjadi, 2 Oktober dinihari, setengah jam sebelum Halim Perdanakusumah diduduki Pasukan RPKAD, Aidit yang ditinggalkan dalam negosiasi kekuasaan oleh Soekarno, berangkar ke Yogya dengan C47 milik AURI. Pimpinan PKI yang tersudut dalam percaturan 1 Oktober itu, agaknya memutuskan untuk melanjutkan kegiatannya di wilayah Jawa Tengah yang dianggap salah satu wilayah basis PKI. Bertepatan dengan kehadiran Aidit di Jawa Tengah, 2 Oktober, Komandan Korem 72/Yogyakarta Kolonel Katamso dan Letnan Kolonel Sugijono diculik lalu dibunuh. Adanya penculikan dan pembunuhan ini menunjukkan bahwa selain Jakarta, situasi Jawa Tengah dan Yogyakarta juga cukup krusial. Faktanya memang, bahwa di Jawa Tengah ini PKI lebih bersikap agresif, karena memang cukup kuat. PKI di wilayah itu yang ‘dominan’ dalam opini dan kegiatan politik yang aktif selama periode Nasakom –dan hanya diimbangi oleh PNI– setelah Peristiwa 30 September merasa dihadapkan kepada suatu situasi dengan pilihan lebih dulu membantai atau dibantai. Dan karena itu, pada sisi sebaliknya pada kelompok non-komunis juga berlaku pilihan serupa.

Dalam laporan Tim Peneliti Gajah Mada dan Arthur Dommen, terlihat bahwa sejak awal Oktober PKI di Boyolali dan Klaten memilih untuk mendahului bertindak. Mereka melakukan pembantaian besar-besaran dalam skala ratusan korban, yang mengakibatkan pula ratusan tokoh PNI dan NU serta massa mereka yang mencapai belasan ribu orang melarikan diri. Dapat dikatakan suasana dibantai atau membantai ini berlangsung sepanjang Oktober bahkan sampai Nopember, dengan korban cukup banyak pada kedua belah pihak. Menurut laporan penelitian itu, massa PKI juga sempat melakukan ‘kup’ atas camat Manisrenggo dan merebut senjata yang ada di kantor kecamatan.

Di bagian lain wilayah Jawa Tengah, ketika orang-orang PKI menculik dan menawan banyak tokoh-tokoh PNI dan anggota organisasi non-komunis lainnya, maka terjadi pula upaya membebaskan dengan menyerbu desa-desa basis PKI, dengan meminta bantuan tentara. Karena adanya suasana balas membalas itu, maka angka korban yang jatuh juga tinggi. Belum lagi bahwa di tengah suasana saling mencurigai antar desa dan antar penduduk dalam satu desa, kerapkali terjadi salah bantai, dan tak kurang pula ekses berupa pemanfaatan situasi balas dendam lama di antara penduduk untuk soal lain sebelumnya yang sama sekali tak ada kaitannya dengan masalah ideologi dan politik.

Tercatat pula keterlibatan anggota-anggota KKO-AL (Korps Komando Angkatan Laut) sebagai perorangan dalam berbagai peristiwa di Jawa Tengah ini. Keterlibatan ini, seperti yang pernah dituturkan seorang perwira KKO, Letnan Kolonel J. Soejoe yang pernah menjadi Pjs Panglima Pasukan Komando Armada I di Surabaya, adalah karena faktor emosional semata akibat jatuhnya anggota keluarga mereka sebagai korban dalam gelombang mass murder yang terjadi. Kebetulan bahwa keluarga mereka yang dibantai secara membabi-buta itu adalah dengan tuduhan terlibat PKI –meskipun sebenarnya terselip pula kejadian sebaliknya, menjadi korban pembunuhan oleh orang-orang PKI– maka keterlibatan anggota-anggota KKO ini sempat menjelma menjadi suatu isu nasional. Sementara itu, anggota-anggota KKO yang keluarganya belum menjadi korban, namun terancam oleh tuduhan terkait PKI, terlibat dalam upaya-upaya membela dan melindungi keluarga mereka itu dan kerapkali dengan bantuan teman-teman satu korps sebagai tanda solidaritas, tanpa pertimbangan politis apapun sebenarnya. Saat melakukan upaya perlindungan itulah para anggota KKO ini banyak terlibat bentrokan dengan satuan-satuan Angkatan Darat, terutama dengan pasukan RPKAD yang bertugas melakukan penyisiran terhadap PKI di Jawa Tengah. Hal serupa sebenarnya terjadi pula di Jawa Timur.

Dan dalam suatu koinsidensi pada masa berikutnya, Panglima KKO Mayor Jenderal (kemudian Letnan Jenderal) Hartono ‘kebetulan’ juga banyak tampil dengan pernyataan-pernyataan yang dianggap sebagai pembelaan terhadap Soekarno, sehingga isu berkembang menjadi lebih jauh lagi dengan konotasi bertentangan dengan Angkatan Darat pasca 30 September. Letnan Jenderal Hartono dikenal pula sebagai pengecam terhadap penampilan Angkatan Darat yang dianggapnya terlalu berpolitik. Salah satu yang dicela Hartono mengenai Angkatan Darat, adalah sikap ‘pembangkangan’ dan politik-politikan sejumlah jenderal terhadap Presiden Soekarno. “Dulu saya memang tidak setuju Soekarno diturunkan kalau tidak melalui cara hukum dan konstitusi. Kita adalah tentara, dengan disiplin. Siapa pun pimpinan yang sah, kita bela”.

Sikap yang mencela terlalu berpolitiknya para perwira Angkatan Darat ini, termasuk dalam menghadapi Soekarno, menurut Laksamana Laut Mursalin Daeng Mamangung, cukup merata di kalangan perwira tinggi Angkatan Laut, bukan hanya Letjen Hartono. Nasib Letnan Jenderal Hartono sendiri, menjadi tragis di kemudian hari. Setelah Soeharto menjadi Presiden, untuk beberapa bulan Hartono tetap ‘dibiarkan’menjadi Panglima KKO. Setelah itu, ia diangkat menjadi Duta Besar RI di Pyongyang, Korea Utara. Suatu waktu ketika sedang berada di Jakarta, ia kedatangan seorang tamu bersamaan dengan turunnya hujan deras. Tamu itu diterimanya di salah satu ruangan. Tak ada sesuatu yang bisa didengar oleh beberapa anggota keluarganya yang ada di rumah dalam suasana hujan yang deras. Beberapa saat kemudian ia ditemukan tewas karena luka tembakan dengan sebuah pistol di dekatnya. Hartono kemudian disimpulkan secara resmi tewas karena bunuh diri.

Laksamana Madya Laut Mursalin Daeng Mamangung, sebagai perwira tinggi AL waktu itu sempat datang menengok ke kediaman Hartono dan bertemu dengan beberapa anggota keluarga. Menurut Mursalin, tak mungkin Hartono bunuh diri, mengingat karakternya yang keras dan tegas. Apalagi, peluru yang menewaskannya datang dari arah belakang atas kepala tembus ke leher. Suatu cara bunuh diri yang terlalu aneh dan musykil. Jelas Hartono dibunuh dengan sengaja. Dan ini mau tidak mau harus dikaitkan dengan sikap kerasnya pada tahun-tahun sebelumnya kepada Angkatan Darat di bawah Jenderal Soeharto. Secara resmi, kasus kematian Letnan Jenderal Soeharto, masuk dalam daftar X kasus-kasus yang tak ‘terungkapkan’.

Ketika gelombang pembalasan dari kelompok non-komunis makin meningkat dan makin banyak pula campur tangan tentara, maka pada akhirnya jumlah korban yang jatuh di kalangan kelompok komunis juga semakin lebih banyak, dan memasuki skala mass murder. Angka moderat korban yang jatuh di Jawa Tengah adalah dalam skala puluhan ribu, tetapi mengingat panjangnya masa pertikaian, ada perkiraan bahwa korban mencapai angka dua ratus ribuan khusus untuk Jawa Tengah dan Yogyakarta saja.

Keadaan yang agak kurang imbang terjadi di Jawa Timur. Kecuali di beberapa daerah di mana massa PKI mendahului bersikap agresif dan melakukan pembantaian, pada umumnya mereka lah yang lebih banyak mengalami pembantaian. Di Banyuwangi, massa PKI mendahului melakukan penculikan dan pembunuhan, tetapi sebaliknya di sekitar Malang mereka lah yang menjadi sasaran. Terjadi pula suatu keadaan khusus di suatu daerah yang pendukung PKI nya lebih dominan. Sejumlah anggota Pemuda Marhaenis dan anggota Banser dipaksa menjadi tameng luar untuk pertahanan desa mereka dengan pengawasan Pemuda Rakyat. Suatu ketika, ada serangan pembalasan atas desa tersebut, dan dua orang anggota Banser tertawan, lalu ‘diadili’. Seorang anggota Banser dari pihak yang menawan, dengan sikap ‘darah dingin’ menebas leher salah satu dari tawanan itu. Temannya yang lain dengan menangis-nangis memberitahukan bahwa mereka sebenarnya adalah anggota Banser yang dijadikan tameng. Setelah dilakukan pengecekan, memang ternyata kedua tawanan itu adalah anggota Banser, tetapi bagaimana pun juga kepala yang telah terpancung itu tak dapat direkatkan lagi.

Seorang siswa SMA, putera seorang penegak hukum yang bertugas di Malang, Sjahrul –yang kemudian menjadi aktivis mahasiswa dari ITB di Bandung sejak tahun 1967– mengisahkan betapa di pagi hari merupakan pemandangan biasa bila ada kepala manusia hasil pembantaian tergantung di pagar kantor ayahandanya. Keikutsertaan sebagai pembantai bahkan kerapkali dianggap semacam tugas suci oleh beberapa anak muda belasan tahun. “Seorang teman sekolah saya di SMA, kerap bercerita, mengenai pengalamannya beroperasi pada malam sebelumnya”. Kelakuan para remaja yang terbawa arus melakukan pembantaian tampak berangsur-angsur menjadi tidak wajar. Seringkali ada pengakuan dan dugaan bahwa pembunuhan sesama manusia itu dilakukan karena diperintah, oleh tentara misalnya, tetapi menurut Sjahrul cukup banyak yang melakukannya semata-mata karena terbawa arus saja dan akhirnya terbiasa melakukan tanpa disuruh. Membunuh itu, bisa mencandu, menimbulkan ekstase. Apalagi bila para korban tak berdaya meratap memohon, itu akan merangsang para eksekutor untuk lebih menikmati keperkasaan kekuasaannya. Pada beberapa kalangan massa organisasi Islam di sana, pembasmian anggota PKI yang  dianggap anti Tuhan, bahkan diyakini sebagai bagian tugas membela agama. Di Jawa Timur, seringkali dikisahkan bahwa pada masa itu, setiap hari Kali Brantas penuh dengan tubuh hanyut manusia yang telah diberantas. Kasat mata dan menurut perkiraan, jumlah korban yang jatuh di Jawa Timur jumlahnya melebihi jumlah korban peristiwa-peristiwa di Jawa Tengah.

Kisah ‘pembantaian’ di Bali dan mayat di Sungai Ular. Seperti halnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur, di Bali orang-orang PKI juga ‘mengakumulasi’kan sejumlah tindakan yang menimbulkan keirihatian dan dendam sejak sebelum Peristiwa 30 September 1965. Pusat Studi Pedesaan Universitas Gadjah Mada, mencatat terjadi sejumlah aksi kekerasan yang dilakukan anggota-anggota PKI di pedesaan-pedesaan Bali sejak Januari 1965. Di Buleleng tercatat beberapa aksi sepihak, seperti misalnya yang dilakukan Wayan Wanci dan kawan-kawannya dari BTI. Ia menyewa tanah dari Pan Tablen, dan suatu ketika sewa menyewa itu dihentikan. 250 massa BTI lalu menduduki kembali tanah itu, pada 8 Januari 1965, disertai aksi penghancuran rumah Pan Tablen. Aksi sepihak lainnya terjadi 14 Januari, antara seorang menantu yang anggota BTI dengan mertuanya. Ketika mertua meminta kembali tanah yang dipinjamkan, sang menantu dan kawan-kawannya dari BTI melakukan pengrusakan atas tanaman jagung di atas tanah tersebut, lalu menduduki dan menggarap sawah itu.

Aksi-aksi sepihak yang serupa terjadi berkali-kali, dan biasanya BTI berhadapan dengan para pemilik yang kebetulan anggota PNI. Dalam salah satu insiden soal tanah, 4 Maret 1965, beberapa anggota PKI menyerang beberapa anggota PNI dengan parang dan senjata tajam lainnya. Tetapi suatu serangan pembalasan tidak segera terjadi setelah Peristiwa 30 September, kendati arus pembalasan yang terjadi di Jawa Tengah dan Jawa Timur telah masuk beritanya ke Bali. Setidaknya sepanjang bulan Oktober 1965 tak terjadi apa-apa di Bali. Tapi pada bulan berikutnya mulai muncul ‘hasutan’, terutama dari tokoh-tokoh PNI yang memiliki dendam, seperti dituturkan Soe Hok-gie dalam tulisannya, ‘Pembantaian di Bali’.

Tekanan utama masalahnya saat itu memang bukanlah kepada soal-soal ideologis, meskipun perbedaan ideologis adalah satu faktor, melainkan kepada rivalitas pengaruh dan kepentingan manusiawi yang sudah laten antara pengikut-pengikut PKI dan PNI seperti digambarkan AA Oka Mahendra. PNI secara turun temurun dominan di Bali. Golongan bangsawan dan pemuka masyarakat umumnya adalah pendukung PNI, sehingga dengan pengaruh mereka PNI memiliki massa pengikut yang besar jumlahnya di Bali. Tetapi PKI di Bali sementara itu berhasil memasuki celah-celah kesenjangan dalam kehidupan sosial, terutama dalam mendekati rakyat pedesaan Bali yang menjadi petani dengan kepemilikan tanah yang kecil atau samasekali tidak memiliki tanah. Sebenarnya selama puluhan tahun ada harmoni antara kaum bangsawan pemilik tanah dengan para petani, melalui semacam sistim bagi hasil yang adil. Selain itu, setiap kali ada perselisihan, mekanisme adat dan peranan kaum agamawan senantiasa berhasil menjadi media penyelesaian. Akan tetapi kehadiran yang lebih menonjol dan perubahan perilaku politik PKI pada tahun-tahun terakhir menjelang Peristiwa 30 September, telah menghadirkan sejumlah perubahan. Beberapa petani menunjukkan sikap yang lebih agresif.

Berlanjut ke Bagian 3

PKI Dalam Perspektif Pembalasan dan Pengampunan

“Peristiwa 30 September 1965 pada hakekatnya hanyalah sebuah symptom yang menunjukkan betapa dalam tubuh bangsa ini terdapat sejumlah permasalahan mendasar yang dari waktu ke waktu belum berhasil diberikan penyelesaian tuntas”.

SEBERAPA mampukah manusia penghuni pulau-pulau di Nusantara ini bisa menjadi kejam? Dalam ‘motif’ ritual, para penganut sempalan Tantrisme Bhirawa, pada abad 13-14, sanggup menyelenggarakan upacara dengan kurban manusia. Jantung kurban direnggut keluar, diperas darahnya untuk diminum, lalu gumpalan jantung ditelan. Beberapa abad setelah itu, sampai abad 17 bahkan hingga abad 18, beberapa suku bangsa masih punya kebiasaan menyantap daging manusia, selain dalam kaitan ritual kepercayaan tertentu, kerapkali semata-mata sebagai tradisi makan yang kanibal.

Di abad yang lebih baru, masa pendudukan Jepang, pada suatu malam di tahun 1943 di sebuah kota Indonesia seorang serdadu Jepang yang setengah mabuk, marah kepada seorang pribumi yang ‘melanggar’ jam malam dan tak mau tunduk memberi hormat, lalu mencabut samurai dan menebas putus leher sang pribumi. Beberapa kerabat korban yang menyaksikan dari dalam rumah, tak mampu menahan emosi dan menyergap serdadu Jepang itu, merampas samurainya. Dan, menebas lehernya, juga sampai putus. Motifnya adalah pembalasan, yang dilakukan secara tunai, berlangsung antar bangsa, dalam masa penjajahan.

Dua kisah berikutnya, adalah tentang kekejaman di antara sesama bangsa, yang dibalut motif ideologis yang tercampur aduk dengan pembalasan dalam rangkaian peristiwa sosiologis, 1948 dan 1965, diambil dari penuturan Taufiq Ismail dan Soe Hok-gie.

Kekejaman dan kekejaman. Dalam Peristiwa Madiun September 1948, pengikut PKI antara lain menangkap Bupati Magetan Sakidi. Algojo PKI merentangkan sebuah tangga membelintang di atas sebuah sumur di Soco. Lalu tubuh sang bupati dibaringkan di atas tangga itu. Ketika telentang terikat seperti itu, algojo menggergaji tubuh Sakidi sampai putus dua, langsung dijatuhkan ke dalam sumur. Nyonya Sakidi yang mendengar suaminya dieksekusi di Soco, menyusul ke sana dengan menggendong dua anaknya yang berusia 1 dan 3 tahun. Dia nekad minta melihat jenazah suaminya. Repot melayaninya, PKI sekalian membantai perempuan itu disaksikan kedua anaknya, lalu dicemplungkan juga ke dalam sumur. Di Pati dan Wirosari, dubur warga desa ditusuk dengan bambu runcing lalu ditancapkan di tengah sawah bagai orang-orangan pengusir burung. Sementara itu, seorang perempuan ditusuk vaginanya dengan bambu runcing lalu juga ditancapkan di tengah sawah.

Kekejaman Peristiwa Madiun ini melekat sebagai ingatan traumatik penduduk di sekitar Madiun itu. Sehingga, menurut Taufiq, ketika 17 tahun kemudian PKI meneror di Delanggu, Kanigoro, Bandar Betsy dan daerah lain dalam pemanasan pra-Gestapu dengan klimaks pembunuhan 6 jenderal pada 30 September 1965, penduduk Jawa Timur yang masih ingat peristiwa 17 tahun silam itu bergerak mendahului PKI dan melakukan pembalasan dalam suatu tragedi berdarah. Tragedi serupa terjadi di Jawa Tengah. Tulisan Taufiq Ismail selengkapnya, bisa dibaca pada buku Simtom Politik 1965, Kata Hasta Pustaka, Jakarta 2007.

Apa yang terjadi di Jawa Timur dan Jawa Tengah, lambat laun sampai pula beritanya ke pulau Bali. Sejak Nopember 1965 hingga awal 1966, menurut Soe Hok-gie, Bali menjadi sebuah mimpi buruk pembantaian. Wedagama, seorang tokoh PNI, menghasut orang-orang untuk melakukan kekerasan dengan mengatakan Tuhan menyetujui pembantaian terhadap orang-orang PKI, dan bahwa hukum tidak akan menghukum orang yang melakukannya. Kelompok-kelompok yang berpakaian serba hitam bersenjatakan pedang, pisau dan pentungan dan bahkan senjata api bergerak melakukan pembersihan. Rumah-rumah penduduk yang diduga sebagai anggota PKI dibakar sebagai bagian dari pemanasan bagi dilancarkannya tindakan-tindakan yang lebih kejam. Kemudian pembantaian pun mulai terjadi di mana-mana. Juga pemerkosaan kepada kaum wanita. Widagda, seorang pemimpin PNI dari Negara, menggunakan kesempatan dari situasi untuk memperkosa puluhan wanita yang tanpa bukti dan alasan yang benar dicap sebagai PKI. Penggalan catatan ini terdapat dalam tulisan Soe Hok-gie, ‘Pembantaian di Bali’, dalam buku The Indonesian Killing of 1965-1966, Robert Cribb, 1990, edisi terjemahan. Semula tulisan tersebut disiapkan Hok-gie untuk Mingguan Mahasiswa Indonesia Bandung, 1967, dan sudah berbentuk proef siap cetak, tetapi kemudian dimuat di  Mingguan Mahasiswa Indonesia Jakarta karena pertimbangan aktualitas.

Bagaimana menilai situasi dan kekejaman balas berbalas yang timbul sebagai symptom pertarungan ideologis ini? Dan menilai keseluruhan jalinan peristiwa politik ini?

Peristiwa simptomatis yang berdarah-darah. Bertahun-tahun waktu telah dihabiskan untuk perdebatan mengenai pelurusan sejarah Peristiwa 30 September 1965 ini serta ekses terhadap kemanusiaan yang menjadi ikutannya. Dan kemudian hal yang sama mengenai Surat Perintah 11 Maret 1966. Begitu terasa menyita waktu dan energi, sehingga pengantar sebuah buku sejarah menyarankan dalam satu keluhan, perlunya alternatif lain bagi wacana sejarah nasional yang agaknya kini hanya berkisar pada pelurusan sejarah seputar kejadian ‘Gerakan 30 September’ dan ’11 Maret’. Memang, kedua peristiwa itu amat ‘menguras’ waktu dan pikiran masyarakat sejarah di tanah air, sehingga seakan-akan tak ada perhatian yang tersisa untuk meluruskan atau tepatnya lebih mendekati kebenaran sejarah bagi peristiwa-peristiwa lainnya.

Peristiwa 30 September 1965 itu sendiri, pada hakekatnya hanyalah sebuah symptom yang menunjukkan betapa dalam tubuh bangsa ini terdapat sejumlah permasalahan mendasar yang dari waktu ke waktu belum berhasil diberikan penyelesaian tuntas. Sebuah media generasi muda terkemuka, hanya dua tahun setelah terjadinya peristiwa, menuliskan dalam tajuk rencananya, bahwa “hakekat dari timbulnya peristiwa itu bersumber di dalam tubuh masyarakat kita sendiri”. Peristiwa tersebut hanyalah sekedar manifestasi dari ketidaksehatan tubuh bangsa kita di dalam semua bidang kehidupan: politik, ekonomi maupun sosial kultural.

Sebenarnya terdapat beberapa episode sejarah Indonesia yang memerlukan perhatian untuk lebih didekati kebenarannya. Beberapa tahun yang lampau misalnya, sejumlah sejarawan luar Indonesia sempat mempertanyakan betulkah pusat Kerajaan Sriwijaya ada di Sumatera Selatan dan bukannya di peninsula Asia Tenggara, karena prasasti-prasasti yang ditemukan di Palembang dan sekitarnya justru adalah tanda-tanda yang lazim untuk suatu wilayah jajahan?

Akan tetapi terlepas dari masih banyaknya episode sejarah Indonesia masa lampau maupun masa modern yang perlu untuk lebih didekati kebenarannya, tidak berarti upaya pelurusan bagi Peristiwa 30 September 1965 dan lahirnya Surat Perintah 11 Maret 1966, harus berhenti. Dalam konteks ini, pelurusan sejarah harus sekaligus bermakna tidak hanya menempatkan peristiwa pada posisi kebenaran sejarah, tetapi juga bermakna –meluas ke luar jangkauan bidang sejarah– penyelesaian atas akar permasalahan dari suatu peristiwa dan bukan sekedar memerangi symptom.

Tanpa pernah menuntaskan akar-akar permasalahan yang membelit dalam masyarakat, sehingga membuat tubuh bangsa ini sakit, sejarah akan menunjukkan terus menerus berulangnya berbagai peristiwa simptomatis yang menyakitkan. Setelah Peristiwa 30 September 1965, lalu Peristiwa Mei 1998, bentrokan horizontal antar etnis dan agama di berbagai daerah dan entah peristiwa berdarah apa lagi nanti.

Antara kebenaran dan manipulasi sejarah. Dalam konflik penafsiran dan kontroversi narasi atas Peristiwa 30 September 1965 dan peranan PKI, klaim kebenaran bagaikan pendulum yang berayun dari kiri ke kanan dan sebaliknya, sehingga membingungkan masyarakat, terutama generasi baru yang masanya jauh sesudah peristiwa terjadi. Tetapi perbedaan versi kebenaran terjadi sejak awal segera setelah terjadinya peristiwa.

Di tingkat internasional, Kantor Berita RRC (Republik Rakyat Cina), Hsinhua, memberikan versi bahwa Peristiwa 30 September 1965 adalah masalah internal Angkatan Darat Indonesia yang kemudian diprovokasikan oleh dinas intelijen Barat sebagai upaya percobaan kudeta oleh PKI.

Presiden Soekarno pun berkali-kali melakukan pembelaan bahwa PKI tidak terlibat dalam peristiwa sebagai partai melainkan karena adanya sejumlah tokoh partai yang keblinger dan terpancing oleh insinuasi Barat, lalu melakukan tindakan-tindakan, dan karena itu Soekarno tidak akan membubarkan PKI. Kemudian, pimpinan dan sejumlah perwira Angkatan Darat memberi versi keterlibatan PKI sepenuhnya, dalam penculikan dan pembunuhan enam jenderal dan seorang perwira pertama AD pada tengah malam 30 September menuju dinihari 1 Oktober 1965. Versi ini segera diterima secara umum sesuai fakta kasat mata yang terhidang dan ditopang pengalaman buruk bersama PKI dalam kehidupan sosial dan politik pada tahun-tahun terakhir. Hanya saja harus diakui bahwa sejumlah perwira penerangan telah menambahkan dramatisasi artifisial terhadap kekejaman, melebihi peristiwa in factum. Penculikan dan kemudian pembunuhan para jenderal menurut fakta memang sudah kejam, tetapi dramatisasi dengan pemaparan yang hiperbolis dalam penyajian, telah memberikan effek mengerikan melampaui batas yang mampu dibayangkan semula. Dan akhirnya, mengundang pembalasan yang juga tiada taranya dalam penumpasan berdarah antar manusia di Indonesia.

Setelah berakhirnya masa kekuasaan formal Soeharto, muncul kesempatan untuk menelaah bagian-bagian sejarah –khususnya mengenai Peristiwa 30 September 1965 dan PKI– yang dianggap kontroversial atau mengandung ketidakbenaran. Kesempatan itu memang kemudian digunakan dengan baik, bukan saja oleh para sejarawan dalam batas kompetensi kesejarahan, tetapi juga oleh mereka yang pernah terlibat dengan peristiwa atau terlibat keanggotaan PKI. Bila sebelum ini penulisan versi penguasa sebelum reformasi banyak dikecam karena di sana sini mengandung unsur manipulasi sejarah, ternyata pada sisi sebaliknya di sebagian kalangan muncul pula kecenderungan manipulatif yang sama yang bertujuan untuk memberi posisi baru dalam sejarah bagi PKI, yakni sebagai korban politik semata. Pendulum sejarah kali ini diayunkan terlalu jauh ke kiri, setelah pada masa sebelumnya diayunkan terlalu jauh ke kanan.

Terdapat sejumlah nuansa berbeda yang harus bisa dipisahkan satu sama lain dengan cermat dan arif, dalam menghadapi masalah keterlibatan PKI pada peristiwa-peristiwa politik sekitar 1965. Bahwa sejumlah tokoh utama PKI terlibat dalam Gerakan 30 September 1965 dan kemudian melahirkan Peristiwa 30 September 1965 –suatu peristiwa di mana enam jenderal dan satu perwira pertama Angkatan Darat diculik dan dibunuh– sudah merupakan fakta yang tak terbantahkan. Bahwa ada usaha merebut kekuasaan dengan pembentukan Dewan Revolusi yang telah mengeluarkan sejumlah pengumuman tentang pengambilalihan kekuasaan, kasat mata, ada dokumen-dokumennya. Bahwa ada lika-liku politik dalam rangka pertarungan kekuasaan sebagai latar belakang, itu adalah soal lain yang memang perlu lebih diperjelas duduk masalah sebenarnya, dari waktu ke waktu, untuk lebih mendekati kebenaran sesungguhnya. Proses mendekati kebenaran tak boleh dihentikan. Bahwa dalam proses sosiologis berikutnya, akibat dorongan konflik politik maupun konflik sosial yang tercipta terutama dalam kurun waktu Nasakom 1959-1965, terjadi malapetaka berupa pembunuhan massal dalam perspektif pembalasan dengan anggota-anggota PKI terutama sebagai korban, pun merupakan fakta sejarah. Ekses telah dibalas dengan ekses, gejala diperangi dengan gejala.

Tidak perlu harus menjadi komunis lebih dulu untuk mengakui sesuatu yang menyangkut nilai-nilai kemanusiaan yang universal. Akan tetapi tentu adalah keliru bila menggunakan terminologi nilai-nilai kemanusiaan untuk memberikan pembenaran atas suatu peristiwa politik yang melibatkan PKI sebagai pelaku politik.

Perspektif pembalasan dan pengampunan. Terhadap pembunuhan massal yang terjadi setelah Peristiwa 30 September 1965, ketika menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia, KH Abdurrahman Wahid, menyampaikan permintaan maaf. Tentu, itu dilakukan untuk dan atas nama massa NU, khususnya Pemuda Ansor, karena faktual memang massa organisasi inilah yang menjadi ujung tombak dalam perburuan dan pembunuhan massa PKI dalam suatu perspektif pembalasan yang simptomatis, terutama di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Jadi kalau Abdurrahman Wahid merasa perlu minta maaf, merupakan hal yang wajar saja.

Banyak keluarga korban, begitu pula ribuan bekas tahanan politik, menuntut agar permohonan maaf itu juga dilakukan oleh pemerintah secara resmi dan posisi mereka maupun posisi PKI direhabilitir. Mungkin, pada sisi sebaliknya banyak pihak dalam masyarakat tak dapat menerima permintaan politik di luar batasan aspek kemanusiaan.

Sementara itu, banyak kalangan masyarakat yang di masa lampau merasa dibuat menderita oleh PKI, pernah dirampas tanahnya, merasa pernah dihujat agamanya, takkan mudah menerima pemulihan seperti itu. Apalagi bila di sini aspek keadilan jauh lebih diutamakan daripada aspek kebenaran dalam memandang dan memperlakukan sejarah. Karena orientasi utama adalah kepada aspek keadilan itu, mereka juga merasa sebagai korban. Dalam tingkat keadaan yang demikian, bagi masyarakat umum, yang paling mungkin dapat diharapkan untuk dilakukan adalah kesediaan meninggalkan perspektif pembalasan (dendam) yang pernah mereka miliki di masa lampau tak lama setelah Peristiwa 30 September 1965 terjadi. Lalu, pada waktu yang sama bersedia memasuki perspektif pengampunan –yang lebih sering ditampilkan sebagai pelupaan perbuatan– terhadap mereka yang pernah terlibat dengan PKI, agar bisa berdampingan secara layak sebagai sesama warga negara. Ini berarti, yang bisa dimasuki hanyalah rekonsiliasi dalam bentuk dan pengertiannya yang paling lunak.

Terkait namun terpisah dalam dimensi waktu dan mungkin saja dalam makna, adalah proses dan cara menerima sejarah masa lampau, khususnya mengenai Peristiwa 30 September 1965, yang terjadi di kalangan generasi yang lebih muda, yakni mereka yang nyaris tak pernah mengalami sendiri peristiwa dan hanya memperolehnya melalui uraian lisan dari yang lebih tua atau dari literatur yang satu sama lain bisa simpang siur.

Kelompok pertama, adalah mereka yang menerima penuturan lengkap dengan opini subjektif dari generasi orangtua mereka masing-masing yang berada dalam posisi pendukung maupun penentang komunisme dan atau PKI. Kelompok kedua, adalah generasi muda yang berada di luar masa dan peristiwa pertikaian, yang memperolehnya dari sekolah atau dari literatur luar sekolah –yang kita tahu adalah simpang siur satu dengan yang lainnya.

Kelompok pertama tersebut, cukup menakjubkan meskipun tidak aneh, cenderung meneruskan ‘pertikaian’ warisan masa lampau dengan gaya dan idiom masa lampau pula, meskipun tidak terlalu meluas dan frontal. Dari kelompok pertama ini, bisa muncul sikap pro atau anti, tanpa perlu mengalami peristiwa 1959-1965 atau 1966, kecuali mengalami dampak-dampak ikutan setelah peristiwa.

Sementara itu, dalam kelompok kedua, tampak beberapa fenomena menarik. Ada yang bisa memahami proses politik maupun proses sosiologis dari peristiwa tahun 1965 itu, namun tidak bisa mengerti kenapa kejahatan kemanusiaan bisa terjadi begitu dahsyatnya pada masa peristiwa tersebut, baik yang dilakukan oleh kaum komunis maupun yang dilakukan tentara dan sebagian massa anti komunis. Generasi yang lebih muda ini yang mengisi ruang dalam negara kita saat ini, secara umum memang lebih lekat kepada isu-isu kemanusiaan, kebenaran dan keadilan, dan memiliki cara pandang yang banyak berbeda dengan generasi yang lebih dahulu. Slogan-slogan keadilan untuk rakyat, pemerataan untuk rakyat miskin, sikap anti korupsi dan kejahatan kaum kapitalis –yang banyak dilontarkan PKI di masa jayanya, meski merekapun belum pernah terbukti mewujudkannya– banyak yang diambil alih oleh sebagian dari generasi muda ini. Bahkan, beberapa di antaranya menyusun diri sebagai kekuatan ‘kerakyatan’ yang sepintas mirip dengan apa yang dilakukan PKI di masa lampau, termasuk merebut keadilan untuk rakyat walau dengan sikap keras dan radikalisme sekalipun, sehingga tak jarang mereka dianggap telah menghidupkan komunisme, setidaknya menjadi ‘kiri baru’.

Tetapi sebenarnya, orang tak perlu menjadi komunis lebih dahulu untuk melihat dan membaca keadaan saat ini yang tak berkeadilan untuk rakyat dan atau masyarakat seluruhnya, karena kenikmatan kemajuan ekonomi sejauh ini memang hanya menjadi milik segelintir kecil orang, apakah melalui kolusi dan korupsi ataukah kecurangan lainnya. Juga, bahwa sejauh ini, keadilan dan persamaan dalam hukum maupun politik dan kehidupan sosial lainnya, belum berhasil ditegakkan bersama. Di masa lampau, Menteri Dalam Negeri Amirmahmud misalnya, bisa segera ‘menumpas’ kaum yang dianggap ‘kiri baru’ seperti ini. Tapi kini, dalam kerangka kehidupan demokratis yang dicitakan-citakan tentu hal serupa tak layak untuk dilakukan, oleh penguasa maupun kekuatan lainnya yang ada dalam masyarakat.

Antara symptom dan akar masalah. Dalam konteks cita-cita mencapai kehidupan politik dan kehidupan bermasyarakat yang demokratis, adalah penting untuk memperjelas bahwa ideologi totaliter seperti komunisme, adalah di luar yang diinginkan. Hal yang sama, tentu berlaku untuk ideologi-ideologi dan atau aliran-aliran politik lainnya, maupun aliran-aliran sosial yang dogmatis. Ideologi totaliter, apakah itu berasal dari kiri ataukah berasal dari kanan, adalah sama buruknya.

Setelah PKI ‘berlalu’ karena pembubaran dan setelah surutnya komunisme secara global, ternyata ideologi dan aliran totaliter lainnya tidaklah ikut berakhir, untuk tidak tidak menyebutnya justru lebih menggejala. Tampilannya beraneka ragam, bisa dalam bentuk-bentuk aksi sepihak yang berkecenderungan kuat ‘menghakimi’ sendiri, bisa dalam bentuk sikap moralisme dengan bermacam-macam pretensi, ataukah sikap ber’demokrasi’ yang hanya mengenal haknya sendiri dan tidak menghargai hak orang lain, dan lain sebagainya. Namun, tentu tak kalah pentingnya untuk menyadari bahwa dalam menjalani proses kesejarahan, selama ini kita telah terperangkap dalam situasi pergulatan melawan ekses dan symptom belaka dan sejauh ini gagal menangani akar-akar masalah yang dihadapi sebagai bangsa.

-Catatan Rum Aly dalam buku Simtom Politik 1965.

Dalam Kancah Politik Kekerasan (1)

-Rum Aly*

“Bakunin yang dianggap Marx sebagai maniak gila, mengajarkan kekerasan yang ekstrim sebagai alat utama kaum revolusioner, ……”. “Apakah PKI, ….. akan menampilkan fenomena yang sama dalam sejarah Indonesia?”

SETIAP orang mungkin saja mengalami persentuhan sosial dan persentuhan politik yang berbeda-beda dengan PKI maupun dengan komunisme, tetapi berapapun kadarnya, merupakan fenomena di tahun 1960-1965 bahwa bagi mereka yang berada di luar pagar pengaruh ideologi itu, penampilan PKI cenderung mencemaskan bahkan menakutkan. Apalagi bila bercampur dengan pengetahuan mengenai situasi dunia yang kala itu dilanda suasana perang dingin antara blok Barat dan blok Timur. Kisah-kisah kekerasan Stalin di Rusia dalam menegakkan kekuasaan komunis secara totaliter di Rusia kemudian Eropah Timur ataupun pembunuhan-pembunuhan massal yang dilakukan Partai Komunis Cina di bawah Mao Zedong (dulu ditulis: Mao Tse-tung) dalam perebutan pengaruh dan kekuasaan di daratan Cina, menambah rasa takut itu. Apakah PKI, setelah keterlibatan mereka dalam pemberontakan berdarah di Madiun 1948, akan menampilkan fenomena yang sama dalam sejarah Indonesia?

Namun, jangankan bagi mereka yang di luar pagar, kecemasan atau rasa was-was bahkan bisa menghinggapi mereka yang ada di dalam pagar. Seorang pekerja yang menjadi anggota SOBSI di suatu propinsi luar Jawa di Indonesia Timur, Daeng Sila, pertengahan tahun 1965 pernah mengeluhkan perilaku yang terlalu revolusioner dari teman-teman separtainya di pulau Jawa. Salah satu keluhan yang dilontarkan anggota serikat buruh onderbouw PKI ini –yang di sore hari menjadi guru mengaji bagi anak-anak di sekitar rumahnya– adalah sikap PKI di pulau Jawa, yang menunjukkan permusuhan terhadap agama atau kaum beragama, selain berbagai tindak kekerasan lainnya sebagaimana yang terdengar melalui berita radio atau terbaca di suratkabar. Secara umum, sikap para pendukung PKI di propinsi itu sendiri, hingga tahun 1965, sebenarnya memang tidak seradikal, segarang dan seprovokatif dengan yang di Jawa atau beberapa propinsi lain seperti di Sumatera Utara atau Kalimantan Timur.

PKI di propinsi Indonesia Timur itu, Sulawesi Selatan –tempat kelahiran Jenderal Muhammad Jusuf dan Muhammad Jusuf Kalla– terlibat dalam persaingan politik sehari-hari yang sesungguhnya biasa-biasa saja. Tokoh-tokohnya pada umumnya memiliki kehidupan ekonomi yang bersahaja untuk tidak mengatakannya berada dalam tingkat kemiskinan yang ‘mengibakan’ hati –hidup dalam gubug tanpa perabot yang layak– dibandingkan dengan tokoh-tokoh partai lainnya. Berbeda dengan PNI misalnya yang pendukungnya adalah dari kalangan menengah, kaum bangsawan dan kaum elite di daerah itu. Begitu mengibakan hati, sehingga setelah Peristiwa 30 September 1965, tatkala terjadi aksi penyerbuan ke kantor-kantor PKI dan onderbouw-onderbouwnya serta rumah-rumah para tokohnya di Makassar, ada seorang mahasiswa aktivis dari Universitas Hasanuddin yang kemudian mengakui tidak tega dan hanya melihat dari kejauhan sewaktu menemukan rumah yang akan ‘diserbu’ itu hanyalah gubug reyot yang tanpa didobrakpun mungkin tak lama lagi akan rubuh.

Di propinsi ini, selain beberapa peristiwa berdarah di Tana Toraja, relatif tak tercatat aksi-aksi radikal dan kekerasan lainnya dari PKI yang berkadar tinggi seperti umpamanya yang terjadi di Bandar Betsi Sumatera Utara, di Buleleng Bali atau Peristiwa Jengkol dan Peristiwa Kanigoro di Kediri, Jawa Timur. Bagi Sulawesi Selatan yang bergolak sejak tahun 1950 hingga 1965, kekerasan penuh darah oleh DI-TII di satu pihak dan tentara di pihak yang lain dengan rakyat terjepit di tengah-tengahnya, bahkan lebih dominan mengisi ingatan setiap orang sebagai kenangan getir –seperti halnya pembunuhan massal atas ribuan rakyat oleh Kapten Raymond Westerling, perwira peranakan Belanda-Turki, dalam Peristiwa 11 Desember 1946. Sebagaimana pula ingatan lebih terisi oleh peristiwa penyerbuan tanpa belas kasihan terhadap rumah-rumah tokoh PNI Sulawesi Selatan –yang untuk sebagian besar adalah pengikut Hardi dan kawan-kawan yang berseberangan dengan Ali-Surachman– dan peristiwa rasial terhadap etnis Cina, tak lama setelah Peristiwa 30 September 1965, meski warga ‘keturunan’ ini tidak punya keterlibatan apapun terhadap peristiwa politik tersebut. Sungguh ironis bahwa aksi menghancurkan kehidupan orang lain itu, yang menumpas sampai garam-garam di dapur, terutama dilakukan justru oleh massa organisasi-organisasi ekstra mahasiswa dan pelajar yang baru saja lepas dari gelombang penganiayaan politik PKI di Pulau Jawa. Dan celakanya lagi, salah sasaran pembalasan.

Catatan di atas, mungkin merupakan satu kesaksian tentang ‘kebersahajaan’ hidup, kadar keterlibatan maupun posisi minor tokoh-tokoh komunis di daerah itu dalam pergolakan politik hingga tahun 1965. Mungkin esensinya tak berbeda jauh dengan semacam kesaksian, yang juga pernah dinyatakan oleh Soe Hok-gie almarhum yang mengaku sempat kagum terhadap idiom-idiom keadilan dan kemiskinan rakyat yang dilontarkan dan diperjuangkan PKI. Namun kesaksian untuk propinsi di wilayah Timur ini, samasekali tak berlaku untuk Pulau Jawa, karena dalam ruang waktu yang sama, sikap radikal, keras dan provokatif yang ditunjukkan dan dilahirkan dalam berbagai bentuk penganiayaan dan kekerasan politik di Pulau Jawa, telah mewakili citra PKI sebagai partai garang secara nasional dan mengakumulasi ketakutan sekaligus kebencian yang berlaku secara nasional pula. Dan dalam suatu arus balik, di bulan-bulan terakhir 1965, maka pembalasan pun berlangsung secara nasional, yang kedahsyatannya –terutama di Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali dan juga di Sumatera Utara– cenderung tak terbayangkan sebelumnya. Tapi terlepas dari itu, apa pun alasannya, situasi balas berbalas dalam kekerasan dan kekejaman adalah buruk. Katakanlah bahwa PKI di masa lampau menjalankan politik kekerasan dan kejahatan kemanusiaan, tetapi dalam sudut pandang kemanusiaan, bagaimanapun sebuah pembalasan massal dengan kekerasan berdarah dalam wujud kejahatan atas kemanusiaan yang menimpa mereka yang dikaitkan dengan PKI, tak dapat dibenarkan. Kenapa kejahatan harus dibalas dengan kejahatan?

Berakar pada suatu ideologi totaliter

Komunisme lahir sebagai salah satu dari tiga pecahan ideologi yang bersumber pada ajaran Karl Marx (1818-1883) dan Friedrich Engels (1820-1895). Dibandingkan dengan dua pecahan lain, yakni aliran sosial demokrat dan aliran demokratis sosialis, aliran komunis adalah yang paling keras, dalam artian tak memiliki samasekali aspek kompromi dan toleransi terhadap ajaran lain. Sebutan komunis sendiri sudah lebih dulu dikenal sejak Revolusi 1830 di Perancis, yaitu penamaan terhadap perkumpulan-perkumpulan rahasia kaum revolusioner, atau komune, yang kemudian juga punya pengertian kedua, yakni sebagai kepemilikan bersama.

Dalam bukunya, Das Kapital yang disusun berdasarkan pengamatan terhadap kehidupan masyarakat industri yang pincang di London dan sekitarnya, Marx menyimpulkan keharusan penyingkiran bentuk masyarakat kapitalistik. Pada masa hidup Marx, kapitalisme di Eropah memang sedang berada pada titik puncak dalam menampilkan berbagai bentuk ketidakadilan dalam masyarakat industri Eropah, saat kaum pekerja berada dalam penindasan ekonomi dengan keburukan yang tiada taranya sepanjang sejarah Eropah. Sehingga, Benyamin Disraeli menggambarkan Eropah memiliki hanya dua bangsa, yang hidup di dua kutub kehidupan yang amat berbeda, yakni kaum kaya yang memiliki dan menguasai segala-galanya di satu kutub dan kaum miskin yang hampir kehilangan segala-galanya pada kutub yang lain. Dalam Communist Manifesto yang dilontarkan Marx dan Engels 1848, disebutkan bahwa tujuan masyarakat adil hanya akan bisa dicapai dengan penyingkiran secara paksa seluruh tatanan sosial yang ada pada saat itu, dan dalam proses itu kaum proletar takkan kehilangan apapun kecuali belenggu mereka. Kaum proletar harus berjuang merebut seluruh dunia.

Komunisme di Rusia merupakan Marxisme yang mengalami pengembangan dan penajaman dalam aspek tertentu oleh Lenin –sehingga sering disebut Marxisme-Leninisme– yang kemudian mencapai bentuk paling ekstrim di tangan Joseph Stalin. Trotsky yang dianggap moderat dan lunak bahkan dicap reaksioner, disingkirkan. Dan dalam penerapannya di daratan Cina oleh Mao Zedong, komunisme mendapat bentuk yang tak kalah kerasnya. Dan seperti halnya dengan cara-cara Stalin dalam menegakkan kekuasaan komunisme di Rusia, komunis Cina di bawah Mao menghalalkan segala cara demi tujuan, tak terkecuali melakukan eliminasi atau pembunuhan-pembunuhan terhadap mereka yang menghalangi pencapaian tujuan itu.

Rusia yang bergolak karena kepincangan ekonomi yang membuat kaum pekerja hidup penuh kesengsaraan –seperti umumnya seluruh Eropah yang resah kala itu– merupakan peluang bagi tumbuh dan berkembangnya komunisme. Ketika Revolusi 1905 pecah di Rusia, Lenin (1870-1924) sendiri sebenarnya cukup kaget dan tak pernah menduganya, dan ia memang tak berperanan dalam proses menuju revolusi saat itu. Proses menuju Revolusi 1905, lebih banyak terinspirasi dan terdorong oleh Mikhail Bakunin yang untuk sebagian sempat hidup sezaman dengan Karl Marx, maupun oleh gerakan politik yang dikenal sebagai Partai Revolusioner Sosialis yang samasekali tidak menganut Marxisme. Bakunin adalah seorang bangsawan Rusia yang membelot, keluar dari Pasukan Pengawal Tzar karena tidak menyetujui oktokrasi kekaisaran Rusia, dan terlibat beberapa pemberontakan melawan kekuasaan otokrasi di Eropah selain otokrasi Rusia sendiri sampai akhirnya di buang ke Siberia.

Tatkala Bakunin yang rontok seluruh gigi depannya di Siberia, berhasil lolos di tahun 1861, ia melarikan diri ke London. Lima tahun kemudian sempat bergabung dengan kelompok Marxis namun kerap terlibat pertentangan pendapat dengan Karl Marx, sehingga akhirnya keluar dari kelompok itu. Bakunin yang dianggap Marx sebagai maniak gila, mengajarkan kekerasan yang ekstrim sebagai alat utama kaum revolusioner, karena menurutnya kekerasan adalah alat kreatif yang ampuh. Pada tahun 1890 ia sudah memiliki ribuan pengikut dari kalangan bawah yang digambarkannya sebagai ‘primitif’ yang bagaikan bah lumpur akan menggempur dan menghancurkan musuh, yakni kaum burjuis. Sementara itu Partai Revolusioner Sosialis yang muncul tahun 1900, yang untuk sebagian terinspirasi oleh jalan anarki dan kekerasan ala Bakunin, memilih teror dan kekerasan sebagai senjata perjuangan. Sejumlah gubernur, menteri dan tokoh-tokoh kekuasaan Kekaisaran Rusia menjadi korban pembunuhan yang berpuncak pada pemboman yang menewaskan pemimpin pemerintahan dari wangsa Romanov, Sergius Alexandrovitch Romanov. Pelaku pembunuhan, seorang muda yang bernama Kaliayev, dengan lantang menyebutkan dirinya di depan pengadilan sebagai ‘tangan pembalasan dendam rakyat’.

Berlanjut ke Bagian 2