Tag Archives: jenderal nasution

Dalam Persilangan dan Konspirasi Menuju 30 September 1965 (3)

SEHARI setelah Siti Suhartinah Soeharto mengikuti ceramah Menteri Panglima Angkatan Darat di depan para anggota Persit, yakni Rabu 29 September 1965, putera Jenderal Soeharto, Tommy, terpaksa masuk Rumah Sakit Pusat AD, karena tersiram sup panas. Kamis malam, 30 September 1965, menurut ibu Tien, “pak Harto ada di rumah sakit ikut menunggui Tommy”. Sewaktu berada di RSPAD itu sekitar pukul 22.00 malam, Komandan Brigade Infantri I Kodam Jaya, Kolonel Latief datang menemui Soeharto. Ini adalah yang ketiga kali Latief menemui Soeharto pada hari-hari penghujung September 1965 itu. Yang kedua, Latief yang cukup kenal baik dengan Soeharto dan keluarga datang berkunjung ke rumah Soeharto di Jalan Sabang (kini Jalan Haji Agus Salim) Jakarta Pusat pada tanggal 29 September. Latief yang datang bersama keluarganya, sempat menyinggung mengenai isu adanya Dewan Jenderal yang akan mengambil alih kekuasaan dari tangan Presiden Soekarno. Soeharto mengatakan kepada Latief bahwa ia juga telah mendengar hal tersebut dari bekas anakbuahnya di Yogya dulu, Subagyo. Dengan nada yang datar dan biasa saja, Soeharto mengatakan bahwa kebenaran berita itu masih harus diselidiki lebih dulu.

Latief yang ingin menyampaikan beberapa informasi ‘penting’ dalam rangka menjajagi lebih jauh bagaimana sikap Soeharto terhadap pimpinan AD kala itu, mengurungkan niatnya karena bukan hanya dia tamu yang ada di kediaman Soeharto waktu itu. Pembicaraan beralih ke berbagai soal lain yang lebih bersifat pribadi dan kekeluargaan. Namun dalam pertemuan di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat malam esoknya, menurut Latief, terjalin pembicaraan hampir satu jam lamanya. Kepada Soeharto, Latief menyampaikan apa yang akan terjadi dalam beberapa jam lagi malam itu, tentang suatu gerakan untuk menindaki sejumlah pimpinan Angkatan Darat. Sebenarnya, pada pertengahan September, Latief juga pernah menemui Soeharto membicarakan isu Dewan Jenderal, dan Latief pun sudah membayangkan adanya rencana untuk menghadapi Dewan Jenderal itu. Sudah sejak pembicaraan pertama itu, Latief merasa ada dukungan dari Soeharto. Bahkan menurutnya, Soeharto menjanjikan dukungan pasukan. Pengungkapan Latief mengenai peran Soeharto, belakangan dilakukan berkali-kali, baik melalui bukunya maupun wawancara dengan media pers pada tahun-tahun terakhir sebelum meninggal di tahun 2005. Soeharto umumnya tak memberikan tanggapan, kecuali ‘sedikit’ dalam memoarnya dan satu wawancara dengan wartawan Der Spiegel.

Suatu peran ganda? Dari pertemuan Latief dengan Soeharto itu, Latief menyimpulkan bahwa Soeharto –berbeda dengan pertemuan pertama– tidak lagi terbuka menyatakan ‘menyetujui’ dan dengan demikian tak akan bergabung secara nyata dengan gerakan yang akan dilakukan Brigadir Jenderal Soepardjo dan Kolonel Latief melawan pimpinan Angkatan Darat. Namun pada pihak lain, Soeharto takkan menghalangi, dengan pertimbangan bahwa penindakan sebatas pendisiplinan para jenderal Angkatan Darat itu telah diketahui dan direstui Soekarno, dan Soeharto tidak ‘ingin’ melawan Soekarno untuk saat itu. Tapi, itu adalah penafsiran Latief sendiri terhadap sikap Soeharto yang banyak diam dan sesekali hanya mengangguk-angguk, dan Latief menyimpulkan takkan ada masalah dari Soeharto, kecuali ia ini kini lebih bersikap hati-hati. Tapi, jelas bahwa minimal Soeharto akan bersikap netral. Faktanya, sudah terjadi kontak khusus dengan dua batalion, yang akan mendukung ‘gerakan internal’ Angkatan Darat, yang datang ke Jakarta berdasarkan radiogram Pangkostrad. Ini dianggap Latief sudah sesuai dengan janji dukungan pasukan yang dikemukakan Soeharto dalam pertemuan pertengahan September. Dikemudian hari Soeharto sendiri tetap tak pernah terbuka mengungkapkan apa sebenarnya isi pembicaraannya selama hampir 60 menit dengan Kolonel Latief, tetapi kemudian menyampaikan suatu versi lain. Dalam wawancara dengan Der Spiegel, Soeharto mengatakan Latief justru ingin membunuhnya, tapi oleh banyak pihak, hal itu dianggap tidak masuk akal.

Memang menjadi pula tanda tanya, kenapa Mayjen Soeharto yang begitu banyak menampung informasi dan tanda-tanda akan adanya bahaya atas diri sejumlah pimpinan Angkatan Darat, tidak merasa perlu memberitahu kolega-koleganya, terutama kepada Letnan Jenderal Ahmad Yani atasannya. Di kemudian hari, ini menjadi titik lemah yang dijadikan dasar analisa mengenai suatu peran ganda yang dijalankan Soeharto dalam peristiwa yang terjadi sekitar tanggal 30 September 1965. Suatu peran ganda yang dianggap serupa polanya dengan yang dijalankan Letnan Kolonel Soeharto dalam Peristiwa 3 Juli 1946, yakni peristiwa ‘perebutan’ kekuasaan dari pemerintahan Kabinet Sjahrir yang melibatkan Tan Malaka dan Mayjen Soedarsono atasan Soeharto. Mayjen Soedarsono yang merasa mendapat dukungan pasukan dari Soeharto, ditangkap di istana ketika menghadap Soekarno untuk memberikan tekanan. Soeharto dianggap sebagai orang yang menjebak Soedarsono, karena ia terlebih dahulu mengirim surat ke istana tentang rencana kedatangan Soedarsono seraya memberi jaminan bahwa Soedarsono takkan diberikan dukungan pasukan dari luar istana. Saat itu, pusat pemerintahan berada di Yogyakarta.

Satu titik lemah lainnya mengenai Soeharto, jelas adalah soal Batalion 530 dan Batalion 454, yang bisa dikaitkan dengan janji Soeharto kepada Latief. Tiga batalion yang didatangkan dari Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat ke ibukota di akhir September dengan alasan ikut defile 5 Oktober 1965, dilakukan berdasarkan perintah Soeharto. Perintah itu disampaikan melalui radiogram Pangkostrad tanggal 21 September 1965, disertai ‘catatan’ membawa perlengkapan tempur garis pertama, khususnya kepada Batalion 530 Brawidjaja dari Jawa Timur dan Batalion 454 Diponegoro dari Jawa Timur. Agaknya, Batalion 328 Siliwangi dari Jawa Barat tidak mendapat ‘catatan’ serupa, karena pimpinan batalion ini kemudian menyatakan keheranan kenapa dua batalion lainnya dilengkapi dengan peluru tajam. Pagi hari 30 September, Pangkostrad Mayjen Soeharto sempat melakukan inspeksi atas ketiga batalion ini. Batalion 530 dan 454 ini kemudian tercatat ‘keterlibatan’nya dalam Peristiwa 30 September 1965. Malam harinya, pimpinan kedua batalion ini melakukan briefing khusus kepada para komandan peleton ke atas, tentang adanya Dewan Jenderal yang merencanakan kudeta kepada Presiden Soekarno (Nasution: 1987).

Selain soal dua batalion tersebut, dalam analisa di kemudian hari Soeharto juga kerap dikaitkan namanya dalam konotasi negatif dengan Letnan Kolonel Untung, Kolonel Latief dan Brigadir Jenderal Soepardjo, berdasarkan fakta hubungan ‘historis’ dengan ketiganya. Letnan Kolonel Untung dikenal Soeharto sejak menjadi Komandan Resimen 15 di Solo, dan Untung adalah salah satu komandan kompi di Batalion 444. Dalam Operasi Mandala pada masa Trikora, Untung juga berada di bawah komandonya. Ketika Untung melangsungkan pernikahan di pelosok Kebumen, Soeharto bersusahpayah untuk menghadirinya. Latief sementara itu adalah salah seorang perwira bawahan Soeharto semasa menjadi Komandan Brigade 10 Wehrkreise III, dan ikut dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta. Untung maupun Latief memiliki kedekatan yang bersifat kekeluargaan dengan Soeharto. Soeharto juga sempat bertemu secara terpisah baik dengan Untung maupun dengan Latief sekitar 15 September, dan keduanya membicarakan masalah yang sama, yakni mengenai Dewan Jenderal. Letnan Kolonel Untung memastikan akan mendapat dukungan pasukan dari Soeharto bila saatnya ia bergerak nanti. Brigjen Soepardjo pada tahun 1965, selaku Pangkopur II di Kalimantan pun ada di bawah komando Pangkostrad, dan cukup kenal baik secara pribadi dengan Soeharto.

Sebenarnya, cukup banyak perwira Angkatan Darat selain Soeharto, atau Yoga Soegama, yang tahu banyak tentang adanya sesuatu yang berpotensi bahaya terhadap negara, khususnya terhadap pimpinan Angkatan Darat, namun tidak menindaklanjuti informasi yang diterimanya itu, minimal dengan melaporkannya lagi ke atasan. Tetapi di lain pihak, kalaupun melapor ke atasan, bisa terjadi justru atasanlah yang tidak tanggap. Dua perwira, Kolonel Herman Sarens Sudiro dan Kolonel Muskita misalnya, 28 September 1965 sempat melaporkan kepada Panglima Kodam Jaya Mayor Jenderal Umar Wirahadikusumah, adanya rencana ‘penjemputan paksa’ terhadap sejumlah jenderal yang dituduh anggota Dewan Jenderal. Tapi Panglima Kodam Jaya ini kurang tanggap, bahkan balik menjawab “Tahu apa kalian?!”. Kedua perwira ini, sedikit terhenyak. Karena tidak puas atas tanggapan Umar Wirahadikusumah, kedua perwira itu menuju Markas Kostrad di Merdeka Timur untuk melapor kepada Mayor Jenderal Soeharto. Soeharto menanggapi dengan lebih tenang, dan kedua perwira itu mendapat kesan bahwa Panglima Kostrad itu tahu banyak, melebihi mereka berdua. Tapi mereka berdua tidak tahu bagaimana tindak lanjut yang akan dilakukan Soeharto.

Jangankan di Kodam Jaya, di tingkat Mabes AD saja laporan serupa tidak mudah dipercayai. Pertengahan September 1965, dalam rapat intelijen dipresentasikan hasil pengamatan dan analisa terhadap kegiatan revolusioner PKI. Tapi laporan tertulis itu, tampaknya terlambat satu langkah di belakang. Tidak terdapat suatu informasi maupun prediksi mengenai adanya rencana makar dan yang semacamnya tercantum di dalamnya, apalagi rencana penculikan terhadap sejumlah jenderal sebagaimana yang isunya sudah ramai beredar. Menurut Jenderal Nasution, laporan yang lebih khusus disampaikan secara lisan kepada Jenderal Yani, tidak tertulis, sehingga tak diketahui secara terbuka oleh perwira lainnya. Maka, ketika MT Harjono mencoba membahasnya dalam suatu rapat tanggal 30 September, sebagian terbesar perwira tidak mempercayai kebenaran adanya rencana penculikan tersebut. Belum lagi di kalangan angkatan lainnya, sikap tanggap juga sangat terbatas, terutama karena asumsi bahwa kalaupun benar itu adalah masalah internal Angkatan Darat.

SOEKARNO KE HALIM DEKAT LUBANG BUAYA. “Tetapi yang menarik dari catatan Jenderal Nasution ini, adalah penempatan Soekarno pada posisi konspirasi, sejajar dengan posisi PKI dalam peristiwa”. (Karikatur Harjadi S, 1966)

Khusus untuk situasi ini, terkait dengan subjektivitas posisi Angkatan Darat maupun Staf Angkatan Bersenjata waktu itu, Jenderal Nasution memberikan catatan berikut ini. “Cukup banyak jenderal yang tahu tentang rencana atau persiapan PKI atau tentang maksud Presiden terhadap kami, walaupun mungkin pengetahuan itu tidak lengkap atau tidak menyeluruh, namun mereka tidak berbuat seperti Brigadir Jenderal Sugandhi yang melaporkan pengetahuannya pada atasan. Ternyata telah bolong-bolong kekompakan dan kesetiakawanan dalam TNI”. Tetapi yang menarik dari catatan Jenderal Nasution ini, adalah penempatan Soekarno pada posisi konspirasi, sejajar dengan posisi PKI dalam peristiwa. Selain itu, pasca momentum, Jenderal Nasution secara definitif menyebutkan bahwa Mayor Sujono, Letnan Kolonel Heru Atmodjo bahkan Laksamana Madya Omar Dhani adalah perwira-perwira yang sudah terbina oleh PKI. “Memang sejak KSAU Suryadarma, intel AURI dipimpin oleh orang pro PKI, yakni Marsekal Siswadi”.

Berlanjut ke Bagian 4

Eksaminasi ‘Post Mortem’ Peristiwa 30 September 1965 (2)

“Peristiwa 30 September 1965, merupakan ‘kesalahan’ kolektif dari semua unsur dan tokoh yang berada di lini terdepan medan pertarungan kekuasaan disekitar tahun 1965 itu. Semua memiliki andil yang menciptakan akhir berdarah serta rentetan pembunuhan massal yang terjadi beberapa waktu setelahnya. Mulai dari Soekarno, Soebandrio, Chaerul Saleh, Omar Dhani sampai Soeharto, dan dari Aidit hingga para pemimpin partai Nasakom lainnya serta lapisan pimpinan pada berbagai tingkat dari institusi militer waktu itu. Tampaknya, ‘teori dalang’ atau yang semacamnya dalam rangkaian peristiwa di tahun 1965 ini, harus ditinggalkan”.

Di mana posisi Soeharto dalam rangkaian peristiwa? Ia memiliki satu posisi sendiri. Soeharto telah bekerja untuk dirinya sendiri, dan untuk tujuan dan kepentingannya sendiri, tidak untuk ‘siapa-siapa’. Kaitannya dengan kepentingan Amerika Serikat misalnya, hanyalah bersifat dugaan, terutama karena kesejajaran dalam hal pembasmian PKI.

Dr Soebandrio ikut menyumbang dalam penciptaan dan penajaman situasi konfrontatif melalui posisinya yang amat dekat dengan Soekarno, sehingga dalam rangkaian peristiwa politik ini ia dijuluki sebagai Durno oleh para mahasiswa –suatu julukan yang diakuinya sebagai amat menyakitkan hati. Laksamana Madya Omar Dhani, menyumbang melalui keikutsertaan dukungan terhadap apa yang digambarkannya sebagai masalah internal Angkatan Darat, dan membiarkan adanya gerakan yang akan menindaki para jenderal yang dianggap tidak loyal kepada Soekarno. Keterlibatan beberapa anggota AURI dalam gerakan dengan menggunakan senjata dan fasilitas Angkatan Udara, tidak dicegahnya, padahal ia cukup mengetahui informasi mengenai apa yang akan terjadi. ‘Salah membaca situasi’ dan ‘terlalu dini’ –dan dengan demikian amat tidak taktis– mengeluarkan suatu perintah harian, pukul 09.30 1 Oktober 1965, yang menyokong Gerakan 30 September.

Pernyataan Omar Dhani hari berikutnya, 2 Oktober, selaku Menteri Panglima Angkatan Udara –yang menyatakan tidak turut campur dalam Gerakan 30 September dan tidak turut campur dengan urusan rumah tangga lain Angkatan– tidak lagi bisa ‘menghapus’ akibat perintah hariannya. Sehingga, untuk seluruh perannya yang sedikit naif itu akhirnya harus ia bayar dengan hukuman melalui Mahmillub dan mendekam  dalam penjara puluhan tahun sebagai akhir dari karirnya yang semestinya cemerlang. Brigadir Jenderal Soepardjo dan Kolonel Latief adalah perwira-perwira yang terlibat, selain karena pengaruh-pengaruh politik atas dirinya, juga terutama karena ambisi-ambisi pribadi untuk mengambil peran dan posisi dari situasi yang muncul. Letnan Kolonel Untung, selain analisa mengenai pengaruh politik anggota-anggota Biro Khusus PKI atas dirinya, perlu pula dianalisa lebih jauh dalam kaitan sejarah hubungannya dengan Soeharto yang untuk sebagian masih cukup misterius. Secara jelas, dari dirinyalah rencana penindakan terhadap para jenderal berubah menjadi perintah pembunuhan, yang diteruskan dan dilaksanakan melalui Letnan Satu Doel Arief dan pasukan penyergap Gerakan 30 September yang mendatangi rumah para jenderal dinihari 1 Oktober 1965.

Secara ringkas, bila direkonstruksi kembali, Peristiwa 30 September 1965, adalah sepenuhnya hasil akhir sebagai puncak pertarungan politik yang terjadi di antara tiga unsur dalam segitiga kekuasaan. Cetusan Soekarno yang memerintahkan penindakan para jenderal yang tidak loyal pada dirinya, terutama dalam ‘perintah’nya kepada Letnan Kolonel Untung –karena ia juga meminta beberapa jenderal lain, seperti Brigjen Sabur dan Brigjen Soedirgo untuk bertindak– adalah penggerak mula dari suatu reaksi berantai dari peristiwa. Letnan Kolonel Untung lah yang mengantar masalah ke dalam suatu format peristiwa ‘politik’ dan kekuasaan, ketika menginformasikan ‘perintah’ ini kepada Walujo dari Biro Khusus PKI yang meneruskannya kepada Ketua Biro Khusus Sjam. Adalah Sjam yang mengolah informasi dan membawanya kepada Aidit yang baru pulang dari Peking. Dalam suatu koinsidensi, Aidit yang baru tiba ke tanah air, berbekal dorongan dari Mao-Zedong untuk mendahului daripada didahului oleh Angkatan Darat yang akan mengambilalih kekuasaan –terkait dengan kesehatan Soekarno yang menurut Mao ‘memburuk’– diramu informasi dari Sjam, melihat ‘peluang’ mengatasi Angkatan Darat melalui Letnan Kolonel Untung. Satu formula lalu ditetapkan, yakni gerakan ‘internal’ Angkatan Darat.

Pada waktu yang bersamaan, kalangan intelijen Amerika Serikat, juga mengambil peranan dengan mempertajam informasi dengan menyusupkan insinuasi ke Biro Khusus PKI tentang adanya rencana tindakan Angkatan Darat untuk mengambilalih kekuasaan bertepatan dengan Hari Angkatan Bersenjata 5 Oktober 1965. Suatu hal yang juga sebenarnya dilakukan oleh intelijen Angkatan Darat, untuk ‘memprovokasi’ PKI untuk bertindak agar bisa ditindaki. Ada petunjuk samar-samar bahwa informasi serupa berhasil disusupkan CIA ke kalangan intelijen Cina, sehingga memperkuat konklusi “mendahului atau didahului”. KGB melalui dinas rahasia Ceko, juga memperkuat dengan informasi adanya kemungkinan Angkatan Darat melakukan kudeta pada 5 Oktober 1965.

Dengan terminologi ‘mendahului atau didahului’ itu, Aidit terdorong ke dalam kebimbangan, merasa menghadapi dilema. Di satu pihak ia menyadari partainya belum siap untuk suatu ‘revolusi’ saat itu, tetapi di sisi lain ia kuatir untuk didahului dan dieliminasi. Dan inilah yang membuat Aidit melihat kemunculan Letnan Kolonel Untung selaku ‘pengemban’ perintah Soekarno untuk menindaki para jenderal yang tidak loyal, sebagai suatu momentum emas. Namun, di luar ‘perhitungan’, Letnan Kolonel Untung merubah rencana sekedar penjemputan sejumlah jenderal untuk diperhadapkan kepada Panglima Tertinggi, menjadi perintah “tangkap hidup atau mati” yang diformulasikan lagi oleh Letnan Satu Doel Arief menjadi “tembak mati siapa yang melawan”. Dan ketika ada yang sudah tertembak mati, tak ada pilihan lain lagi, selain bahwa seluruh yang disergap dan ditangkap itu harus ditembak mati seluruhnya dan disembunyikan jejaknya.

Adalah perlu dicatat, bahwa tak ada petunjuk sedikit pun bahwa Soekarno pernah memberi perintah terperinci kepada Letnan Kolonel Untung tentang siapa-siapa saja jenderal yang harus dijemput pada dinihari 1 Oktober 1965 itu, kecuali secara khusus menyebut nama Jenderal Nasution. Sedang Ahmad Yani, dijemput karena memang sejak mula ia sudah terjadwal untuk diperhadapkan kepada Spoekarno. Daftar nama selengkapnya disusun oleh para perencana gerakan itu sendiri di Penas. Lolosnya Jenderal Nasution dari penyergapan, merubah situasi. Soekarno yang pada pagi hari 1 Oktober akan menuju istana karena memperkirakan akan menerima para jenderal yang akan diperhadapkan kepadanya, membelokkan tujuannya ke Halim Perdanakusumah ke tempat yang diyakininya aman karena berada di bawah kekuasaan Laksamana Madya Omar Dhani yang setia kepadanya. Selain itu, Soekarno pagi itu juga sudah memperoleh laporan tentang ketidakjelasan keberadaan maupun nasib para jenderal yang dijemput, berarti ada pembelokan dalam pelaksanaan di luar yang semula merasa diketahuinya setelah pada malam hari 30 September 1965 ia menerima surat dalam acara di Senayan dari Letnan Kolonel Untung.

Di antara semua rangkaian peristiwa, mungkin gerakan yang dilakukan Panglima Kostrad Mayor Jenderal Soeharto –yang banyak tahu namun tak segera bertindak, tapi menunggu sampai korban jatuh– adalah yang paling di luar dugaan siapa pun. Di luar perkiraan Letnan Kolonel Untung, dan juga di luar perkiraan Kolonel Latief maupun Brigjen Soepardjo. Bagi para perwira Gerakan 30 September ini, Soeharto bukan ‘lingkaran luar’, karena peranannya mendatangkan Batalion 454 dan Batalion 530. Setidaknya, sesuai ‘laporan’ Kolonel Latief, Soeharto digolongkan sebagai perwira yang tak akan ikut campur bila gerakan terjadi. Bagi Soekarno pun, kemunculan Soeharto dalam satu peran pada 1 Oktober 1965, adalah surprise. Begitu pula bagi para panglima angkatan yang ada. Bahkan bagi Kolonel Sarwo Edhie, yang dikenal sebagai perwira yang dekat dengan Letnan Jenderal Ahmad Yani, pada mulanya Mayjen Soeharto adalah tokoh yang ‘meragukan’, setidaknya perlu ‘ditelusuri’ lebih dahulu. Maka ia tak segera memenuhi panggilan Soeharto, apalagi ia tak mengenal Herman Sarens Soediro yang diutus Soeharto kepadanya.

Kelak di kemudian hari, beberapa puluh tahun setelah peristiwa berlalu, Sarwo sesekali mencetuskan ‘keraguan’ tentang peran Soeharto yang sesungguhnya, yang diucapkan secara terbatas kepada kalangan terbatas. Sarwo tampaknya melihat adanya bagian-bagian artifisial dalam catatan ‘sejarah’ versi Soeharto, namun Sarwo telah ‘terikat’ pula oleh versi rezim pemerintahan Soeharto yang telah terlanjur diposisikan secara kuat dalam memori masyarakat selama puluhan tahun. Dilema –dan kesangsian– serupa agaknya dihadapi oleh sejumlah jenderal terkemuka yang ikut berperan di sekitar peristiwa 1965-1966 selain Sarwo Edhie, seperti misalnya Jenderal Muhammad Jusuf yang sempat disebut salah satu de beste zonen van Soekarno, Hartono Rekso Dharsono ataupun Kemal Idris, meskipun dengan alasan dan ‘pemaknaan’ berbeda-beda satu sama lain.

Tetapi, secara keseluruhan, terlepas dari kaitan-kaitan yang masih penuh tanda tanya di seputar Soeharto, Peristiwa 30 September 1965, merupakan ‘kesalahan’ kolektif dari semua unsur dan tokoh yang berada di lini terdepan medan pertarungan kekuasaan disekitar tahun 1965 itu. Semua memiliki andil yang menciptakan akhir berdarah serta rentetan pembunuhan massal yang terjadi beberapa waktu setelahnya. Mulai dari Soekarno, Soebandrio, Chairul Saleh, Omar Dhani sampai Soeharto, dan dari Aidit hingga para pemimpin partai Nasakom lainnya serta lapisan pimpinan pada berbagai tingkat dari institusi militer waktu itu. Tampaknya, ‘teori dalang’ atau yang semacamnya dalam rangkaian peristiwa di tahun 1965 ini, harus ditinggalkan.

– Dari Rum Aly, Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1965, Kata Hasta Pustaka, 2006.

Kisah Tiga Jenderal Dalam Pusaran Peristiwa 11 Maret 1966 (3)

“Suatu hal lain yang mungkin saja tak bisa lagi diklarifikasi, karena ketiga Jenderal Super Semar telah tiada dan Soeharto sendiri sejauh ini hingga akhir hayatnya berada dalam kondisi ‘tak mau’ dan ‘tak bisa’ diklarifikasi, adalah apakah peristiwa lahirnya Surat Perintah 11 Maret itu adalah by accident terjadi karena situasi mendadak di tanggal 11 Maret itu, ataukah ada semacam setting sebelumnya?”. “Terlepas dari kontroversi yang ada, bagi Drs Achadi, mantan menteri era Soekarno, sebenarnya yang merupakan persoalan lebih penting adalah bagaimana penafsiran Soeharto dalam pelaksanaan dan penggunaan Surat Perintah 11 Maret itu secara faktual, bukan hal-hal lainnya sebagaimana yang banyak menjadi bahan kontroversi berkepanjangan beberapa tahun terakhir”.

Istana Bogor, 11 Maret 1966, pukul 13.00. Tiga jenderal AD tiba di sana dengan berkendaraan sebuah jeep yang dikemudikan sendiri oleh Brigadir Jenderal Muhammad Jusuf, Menteri Perindustrian Ringan. Dua lainnya adalah Mayor Jenderal Basuki Rachmat, Menteri Veteran dan Demobilisasi, serta Brigadir Jenderal Amirmahmud, Panglima Kodam Jaya. Keputusan berangkat ke Bogor menemui Soekarno diambil setelah Basuki Rachmat dan Jusuf mendengar detail persoalan tentang kenapa Soekarno tergesa-gesa berangkat ke Bogor dengan helikopter. Meskipun hadir dalam rapat kabinet, kedua menteri itu tak tahu persis mengenai adanya pasukan tak kenal mendekati istana dan tak terlalu mengetahui ketegangan yang tercipta oleh Brigjen Saboer dan Brigjen Amirmahmud.

Sebelum berangkat ke Bogor, tiga jenderal ini menemui Jenderal Soeharto di kediaman Jalan Haji Agus Salim dan diterima di kamar tidur Soeharto yang waktu itu digambarkan sedang demam. Soeharto menyetujui keberangkatan mereka bertiga ke Bogor, dan menurut Jusuf, Soeharto menitipkan satu pesan yang jelas dan tegas –berbeda dengan beberapa versi lain yang diperhalus– yaitu bahwa Soeharto “bersedia memikul tanggungjawab apabila kewenangan untuk itu diberikan kepadanya untuk melaksanakan stabilitas keamanan dan politik berdasarkan Tritura”.

Soekarno yang pada pagi harinya sempat panik di Jakarta dan tergesa-gesa berangkat ke Bogor, sempat meneruskan istirahat siangnya dan membiarkan tiga jenderal itu menunggu sampai pukul 14.30 sebelum menerima mereka. Soekarno bisa tampil cukup ‘tenang’ tatkala pesan Jenderal Soeharto disampaikan padanya, namun menurut gambaran Muhammad Jusuf terjadi “dialog yang begitu berat dan kadang-kadang tegang”. Tidak seperti pada masa-masa sebelumnya, dimana dalam setiap pembicaraan Soekarno selalu dituruti, kali ini para jenderal itu lebih berani berargumentasi. Ini ada dampaknya terhadap Soekarno yang terbiasa diiyakan, yakni Soekarno merasa sedikit tertekan oleh para jenderal itu. Soekarno akhirnya menyetujui suatu pemberian kewenangan kepada Soeharto. Penyusunan konsepnya memakan waktu cukup lama dan berkali-kali mengalami perubahan. Menurut para jenderal itu kemudian, perubahan atas konsep juga termasuk oleh tiga Waperdam yang datang kemudian, lalu mendampingi Soekarno dalam pembicaraan.

Dalam ingatan Jusuf, coretan-coretan perubahan dari Soebandrio dan Chairul Saleh, mengecilkan kewenangan yang akan diberikan kepada Soeharto. Dalam catatan Jenderal Nasution, butir yang berasal dari Soebandrio adalah tentang keharusan Menteri Panglima AD untuk berkoordinasi dengan para panglima angkatan lainnya dalam pelaksanaan perintah. Sementara itu, menurut Soebandrio sendiri, sewaktu dirinya bersama dua waperdam lainnya bergabung, pertemuan sudah menghasilkan suatu konsep. Soebandrio menuturkan, ”Saya masuk ruang pertemuan, Bung Karno sedang membaca surat”. Basuki Rachmat, Amirmahmud dan Muhammad Jusuf duduk di depan Soekarno. ”Lantas saya disodori surat yang dibaca Bung Karno, sedangkan Chairul Saleh duduk di samping saya. Isi persisnya saya sudah lupa. Tetapi intinya ada empat hal. Presiden Soekarno memberi mandat kepada Soeharto untuk: Pertama, mengamankan wilayah Jakarta dan sekitarnya. Kedua, penerima mandat wajib melaporkan kepada presiden atas semua tindakan yang dilaksanakan. Ketiga, penerima mandat wajib mengamankan presiden serta seluruh keluarganya. Keempat, penerima mandat wajib melestarikan ajaran Bung Karno. Soal urutannya, mungkin terbalik-balik, namun intinya berisi seperti itu”.

Lebih jauh, Soebandrio menuturkan –dalam naskah ‘Kesaksianku tentang G30S’– bahwa Soekarno bertanya kepadanya, “Bagaimana, Ban? Kau setuju?”. Beberapa saat Soebandrio diam. ”Saya pikir, Bung Karno hanya mengharapkan saya menyatakan setuju. Padahal, dalam hati saya tidak setuju”. Soebandrio yang agaknya terkejut oleh peristiwa di Jakarta pagi dan siangnya, masih belum pulih semangatnya, meskipun ia tak mengakui dirinya takut, termasuk ketika ia berkali-kali merasa dipelototi oleh para jenderal itu. “Saya merasa Bung Karno sudah ditekan. Terbukti ada kalimat ‘Mengamankan pribadi presiden dan keluarganya’. Artinya keselamatan presiden terancam oleh pihak yang menekan agar surat tersebut dikeluarkan”. Lama terdiam, akhirnya Soebandrio ditanyai lagi oleh Soekarno, “Bagaimana, Ban? Setuju?”. Soebandrio menjawab, “Ya, bagaimana. Bisa berbuat apa saya? Bung Karno sudah berunding tanpa kami”, yang dipotong Soekarno, “Tapi, kau setuju?”. Soebandrio menjawab lagi, “Kalau bisa perintah lisan saja”. Soebandrio melirik, “tiga jenderal itu melotot ke arah saya. Tetapi saya tidak takut. Mereka pasti geram mendengar kalimat saya terakhir”. Lantas Amirmahmud menyela, “Bapak Presiden  tanda tangan saja. Bismillah saja, pak”. Soebandrio menduga Soekarno sudah ditekan oleh tiga jenderal itu saat berunding tadi. “Raut wajahnya terlihat ragu-ragu, tetapi seperti mengharapkan dukungan kami agar setuju. Akhirnya saya setuju. Chairul dan Leimena juga menyatakan setuju. Bung Karno lantas teken”.

Seingat Hartini Soekarno, sebelum menandatangani Surat Perintah 11 Maret itu, Soekarno sempat bertanya kepada Leimena, yang dijawab dalam bahasa Belanda, “Tak ada komentar, saya serahkan sepenuhnya kepada anda”. Sedang dari Chairul Saleh ada anjuran untuk berdoa dulu memohon petunjukNya. Terakhir dari Soebandrio ada komentar, juga dalam bahasa Belanda, “Kalau anda menandatanganinya, sama saja masuk perangkap”. Pukul 20.30 para jenderal itu kembali ke Jakarta dengan membawa Surat Perintah 11 Maret yang sudah ditandatangani Soekarno. Satu tembusan karbonnya diambil Brigjen Jusuf dari Saboer, sementara Saboer sendiri menyimpan tembusan lainnya, yang kesemuanya tanpa tanda tangan Soekarno.

Belakangan, terutama setelah lengsernya Soeharto dari kekuasaannya, terjadi kesimpangsiuran mengenai Surat Perintah 11 Maret ini. Terutama karena dokumen asli yang ditandatangani Soekarno dinyatakan hilang. Dikabarkan bahwa naskah dokumen asli ada di tangan Jenderal Jusuf. Menjadi pertanyaan, bagaimana mungkin dokumen asli itu bisa ada di tangan Jusuf, karena dokumen itu sudah diserahkan langsung oleh ketiga jenderal itu ke tangan Jenderal Soeharto di kamar tidur sang jenderal di Jalan Haji Agus Salim. Jusuf sendiri, hanya memegang tembusan karbon surat perintah itu yang tanpa tanda tangan Soekarno. ‘Hilangnya’ dokumen asli itu menimbulkan tuduhan bahwa ada manipulasi atas Surat Perintah 11 Maret, yaitu dengan ‘memotong’ bagian batas waktu berlaku Surat Perintah tersebut, kemudian dicopy lalu aslinya disembunyikan, yang kesemuanya dilakukan atas ‘perintah’ Soeharto.

Menurut Sudharmono SH yang pernah menjadi Wakil Presiden dan dekat dengan Soeharto, dalam suatu percakapan dengan Rum Aly (penulis buku ‘Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1965’) mengatakan hilangnya dokumen itu adalah karena terselip dan sepenuhnya kealpaan manusiawi dari Soeharto sendiri. Tetapi sepanjang pokok-pokok Surat Perintah 11 Maret sebagaimana yang diingat Soebandrio tampaknya tak ada perbedaan esensial dari yang ada dalam versi Sekretariat Negara dan versi Jenderal Jusuf. Versi yang ada dalam buku ‘memoar’ Jenderal Jusuf yang disusun oleh Atmadji Sumarkidjo, ‘Jenderal M. Jusuf, Panglima Para Prajurit’ (2006, Penerbit Kata Hasta) adalah sebagai berikut ini. Untuk dan atas nama Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi, Soeharto dapat (1) Mengambil segala tindakan yang dianggap perlu, untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintahan dan jalannya revolusi, serta menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Presiden/ Panglima Tertinggi/ Pemimpin Besar Revolusi/ Mandataris MPRS demi untuk keutuhan bangsa dan Negara Republik Indonesia, dan melaksanakan dengan pasti segala ajaran Pemimpin Besar Revolusi; (2) Mengadakan koordinasi pelaksanaan perintah dengan Panglima-panglima angkatan lain dengan sebaik-baiknya; (3) Supaya melaporkan segala sesuatu yang bersangkut-paut dalam tugas dan tanggungjawabnya  seperti tersebut di atas. Sampai meninggal dunia 7 September 2004, Jenderal Jusuf tak pernah memberikan penegasan mengenai isu tentang keberadaan dokumen asli Surat Perintah 11 Maret maupun mengenai tembusan karbon yang ada di tangannya.

Dalam memoar Jenderal Jusuf yang diterbitkan di tahun 2006 itu, soal dokumen asli itu maupun soal manipulasi isi surat perintah tersebut –bahwa surat perintah itu punya jangka waktu masa berlaku– tak dapat ditemukan pemaparannya. Kalau ada soal, kenapa Jenderal Jusuf  tetap menyimpannya rapat-rapat ? Seakan-akan masalah itu tersimpan dalam satu kotak Pandora, yang akan menyebarkan ‘malapetaka’ dan ‘kejahatan’ bila dibuka. Sementara itu, tokoh Partai Katolik Harry Tjan Silalahi yang dekat dengan Ali Moertopo, menyatakan bahwa ia sempat melihat sendiri asli Surat Perintah 11 Maret itu, terdiri dari dua halaman, dan bersaksi bahwa sepanjang yang ia ketahui tak pernah ada manipulasi. Bahwa dokumen asli surat itu hilang, ia menunjuk pada kenyataan buruknya kebiasaan dalam administrasi pengarsipan di Indonesia, karena naskah asli Pembukaan UUD 1945 pun hilang tak diketahui sampai sekarang (Wawancara, Rum Aly).

Suatu hal lain yang mungkin saja tak bisa lagi diklarifikasi, karena ketiga Jenderal Super Semar telah tiada dan Soeharto sendiri sejauh ini hingga akhir hayatnya berada dalam kondisi ‘tak mau’ dan ‘tak bisa’ diklarifikasi, adalah apakah peristiwa lahirnya Surat Perintah 11 Maret itu adalah by accident terjadi karena situasi mendadak di tanggal 11 Maret itu, ataukah ada semacam setting sebelumnya? Pertanyaan ini muncul, karena menurut Soeripto SH, yang kala itu berkecimpung di lingkungan intelijen –dan berkomunikasi intensif dengan Yoga Sugama, Asisten I di Kostrad– pada tanggal 10 Maret pukul 21.00 malam mendengar dari seorang Letnan Kolonel Angkatan Darat bahwa esok hari Soekarno akan menyerahkan kekuasaan kepada Mayor Jenderal Soeharto. Artinya fakta kehadiran dari apa yang disebut sebagai pasukan tak dikenal di depan istana, bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri. Terlepas dari kontroversi yang ada, bagi Drs Achadi, mantan menteri era Soekarno, sebenarnya yang merupakan persoalan lebih penting adalah bagaimana penafsiran Soeharto dalam pelaksanaan dan penggunaan Surat Perintah 11 Maret itu secara faktual, bukan hal-hal lainnya sebagaimana yang banyak menjadi bahan kontroversi berkepanjangan beberapa tahun terakhir.

Berlanjut ke Bagian 4

Malapetaka Sosiologis Indonesia: Pembalasan Berdarah (3)

“Salah satu pelaku pemerkosaan yang paling brutal, seperti yang digambarkan Soe Hok-gie dalam tulisannya, adalah Widagda seorang pimpinan PNI dari Negara. Ia ini adalah adik laki-laki Wedasastra Suyasa, seorang tokoh terkemuka PNI di Bali dan anggota DPR-GR di Jakarta. Widagda memperkosa puluhan wanita yang dituduh dan dikait-kaitkan dengan PKI, meskipun terbukti kemudian bahwa tidak selalu tuduhan terkait PKI itu benar”.

Faktor lain yang membuat PKI menonjol di Bali adalah bahwa dalam Nasakomisasi yang dijalankan oleh Gubernur Suteja –seorang yang dianggap pendukung utama Presiden Soekarno di daerah itu dan mempunyai kedekatan dengan PKI– sesuai ‘perintah’ Soekarno, PKI mendapat keleluasaan berlebihan. Suteja merupakan perpanjangan tangan yang baik bagi kebijaksanaan Nasakomisasi Soekarno yang menguntungkan PKI. Dalam suasana Nasakomisasi itu, banyak tindakan-tindakan PKI, yang dipimpin oleh Tio Kandel sebagai Ketua CDB, seperti aksi-aksi sepihak dalam masalah pertanahan, bisa berlangsung bebas tanpa penindakan. Ini terutama pula terjadi setelah Brigjen Supardi yang dikenal amat anti PKI mengikuti garis Markas Besar AD, digantikan sebagai Panglima Kodam Udayana pada tahun 1963 oleh Brigjen Sjafiuddin yang sangat patuh terhadap Soekarno saat itu. Dan adalah menarik, meskipun secara horizontal di lapisan bawah massa PNI banyak berbenturan dengan massa PKI, dalam banyak hal para elite PNI di Bali bisa berdampingan nyaman dengan tokoh-tokoh PKI. Bahkan terjadi beberapa jalinan kepentingan bersama yang menguntungkan, termasuk secara ekonomis. Ada beberapa pengusaha yang kebetulan keturunan Cina, selain dekat dengan tokoh-tokoh PKI juga punya jalinan dengan tokoh-tokoh PNI, sehingga terjadi pertalian di antara ketiganya. Meskipun, sebaliknya dalam beberapa kasus lainnya terjadi pula persaingan kepentingan ekonomi dan politik yang tajam di antara tokoh-tokoh PNI tertentu dengan tokoh-tokoh PKI di Bali.

PKI juga nyaman bersama Brigjen Sjafiuddin, apalagi isteri Sjafiuddin punya kedekatan khusus dengan Gerwani dan menunjukkan sikap mendukung PKI. Namun, setelah Peristiwa 30 September terjadi, pada pertengahan Oktober sewaktu arah angin dan situasi menjadi lebih jelas, dengan gesit Brigjen Sjafiuddin melancarkan operasi pembersihan terhadap mereka yang dianggap terlibat PKI, terutama internal Kodam Udayana. Akan tetapi, sejauh yang dapat dicatat, tidaklah terlalu jelas ‘kategori’ sebenarnya dari mereka yang ditangkap, karena sebaliknya banyak yang menurut perkiraan umum akan ditangkap ternyata ‘lolos’ atau diloloskan. Belum lagi, sejumlah kasus salah tangkap.

Menurut Soe Hok-gie, pemicu kekerasan yang kemudian terjadi di Bali adalah hasutan-hasutan sejumlah tokoh. Seorang tokoh PNI menghasut orang-orang untuk melakukan aksi kekerasan dengan mengatakan  bahwa Tuhan menyetujui pembantaian terhadap orang-orang PKI, dan bahwa hukum tidak akan mengena orang yang melakukannya. Seorang tokoh lain mengatakan bahwa mengambil harta benda milik orang PKI tidak melanggar hukum. “Kelompok-kelompok yang berjaga-jaga mulai keluar dengan berpakaian serba hitam dan bersenjatakan pedang, pisau, pentungan dan bahkan senjata api. Rumah-rumah penduduk yang diduga sebagai anggota PKI dibakar sebagai bagian dari pemanasan bagi dilancarkannya tindakan-tindakan yang lebih kejam”. Kemudian pembantaian pun mulai terjadi di mana-mana. “Selama tiga bulan berikutnya, Bali menjadi sebuah mimpi buruk pembantaian”. Dengan perkiraan yang paling konservatif, menurut Soe Hok-gie, “paling tidak 80.000 orang terbunuh”, dari berbagai tingkat usia, pria dan wanita. Soe Hok-gie menyimpulkan, pembantaian massa PKI di Bali tidak berlangsung berdasarkan suatu spontaniteit –istilah bahasa Belanda untuk spontanitas– melainkan terutama karena hasutan tokoh-tokoh PNI.

Ada beberapa sebab kenapa massa PNI menjadi pemeran utama pembasmian PKI di Bali. Pertama, karena memang adanya faktor dendam akibat akumulasi perlakuan massa PKI sebelumnya kepada orang-orang PNI di pedesaan-pedesaan Bali. Namun pembalasan ini baru muncul setelah beberapa tokoh PNI melakukan provokasi, dan mulai terjadi terutama di bulan November 1965. Hal kedua, ada beberapa tokoh PNI yang karena ingin menutupi ‘kerjasama’nya dengan PKI di masa lampau, kemudian memprovokasi suatu eliminasi terhadap PKI. Seorang pengusaha Cina bernama Tjan Wie menjadi salah satu korban utama, dengan tuduhan keterlibatan dengan PKI, aset dan hartanya disapu habis, sehingga ia menjadi gila karena tekanan mental yang tak dapat lagi dipikulnya. Ironisnya, saingan bisnisnya yang bernama Lie Lie Tjien yang justru adalah pengusaha yang menjadi donatur utama PKI di Bali Utara tidak tersentuh karena ia bersekutu dengan Wijana salah satu tokoh utama PNI di Bali.

Selain pembunuhan-pembunuhan dan pembakaran rumah-rumah, terjadi pula tindakan-tindakan pemerkosaan terhadap sejumlah besar perempuan yang dikaitkan dengan Gerwani. Salah satu pelaku pemerkosaan yang paling brutal, seperti yang digambarkan Soe Hok-gie dalam tulisannya, adalah Widagda seorang pimpinan PNI dari Negara. Ia ini adalah adik laki-laki Wedasastra Suyasa, seorang tokoh terkemuka PNI di Bali dan anggota DPR-GR di Jakarta. Widagda memperkosa puluhan wanita yang dituduh dan dikait-kaitkan dengan PKI, meskipun terbukti kemudian bahwa tidak selalu tuduhan terkait PKI itu benar. Tiga di antara wanita korbannya mengajukan kasusnya ke pengadilan, dan Widagda akhirnya dijatuhi hukuman untuk itu, dengan amat tidak setimpal, yakni 3 tahun penjara. Pelaku-pelaku lain selain Widagda, tak sempat tersentuh hukum. Faktanya, pembasmian di Bali hanya mengena terhadap akar-akar rumput PKI, dan justru banyak lapisan atasnya lolos dan bisa tinggal dengan aman di Jakarta.

Gelombang pembantaian terhadap massa PKI di Sumatera Utara juga termasuk menonjol meskipun tidak terlalu massive seperti di Jawa Timur maupun Jawa Tengah. Tetapi penggambaran bahwa pada masa-masa di bulan Oktober 1965 itu Sungai Ular penuh dengan mayat, bukanlah deskripsi yang terlalu berlebih-lebihan. PKI Sumatera Utara, termasuk agresif, tak kalah dengan PKI di wilayah lainnya. Peristiwa Bandar Betsi yang mengambil korban jiwa seorang anggota Angkatan Darat terjadi di propinsi ini. Aksi sepihak BTI dan buruh perkebunan yang berafiliasi dengan PKI, termasuk intensif di daerah ini. Dalam periode Nasakom, PKI unggul di kalangan buruh perkebunan dan kereta api. PKI juga memiliki suratkabar yakni Harian Harapan. Gubernur Ulung Sitepu dikenal sebagai tokoh PKI dan beberapa tokoh PKI di tingkat nasional berasal dari daerah ini.

Organisasi anti PKI yang paling kuat dan keras di daerah ini adalah Pemuda Pantjasila, dan mereka lah paling gencar menggempur PKI pasca Peristiwa 30 September. Satu dan lain hal, karena organisasi kepemudaan ini memperoleh informasi cepat dari Jakarta mengenai gambaran situasi sebenarnya melalui jalur IPKI yang merupakan induk organisasinya. Dan peristiwa yang menimpa Jenderal Nasution di Jakarta 1 Oktober dinihari, menjadi pemicu ‘kemarahan’ mereka, karena Jenderal Nasution adalah tokoh yang mendirikan IPKI. Selain Pemuda Pantjasila, organisasi anti PKI yang kuat di wilayah ini, khususnya di perkebunan-perkebunan adalah Soksi. Organisasi sayap Soksi di dunia kemahasiswaan, Pelmasi, meskipun tak cukup banyak anggotanya akhirnya juga cukup berperan dalam gerakan pembasmian PKI di Sumatera Utara. Salah satu tokohnya di Sumatera Utara adalah Bomer Pasaribu yang cukup berperan dalam kesatuan aksi dan belakangan tembus ke tingkat nasional.

PKI, PNI dan peran para bangsawan di Sulawesi Selatan. Suatu keadaan yang agak terbalik dari Jawa Tengah terjadi di Sulawesi Selatan. Seperti halnya di Jawa Tengah, PNI di Sulawesi Selatan amat menonjol. Dan inilah yang kemudian menjadi awal bencana bagi PNI di Sulawesi Selatan. PNI jauh lebih menonjol dari PKI, meski pun tokoh-tokoh PKI di wilayah ini cukup vokal. Namun dibandingkan dengan perilaku politik PKI di pulau Jawa yang amat agresif, PKI Sulawesi Selatan bisa dikatakan ‘moderat’. Aksi-aksi sepihak dalam rangka landreform lebih banyak disuarakan melalui pernyataan-pernyataan. Kalau pun pernah terjadi aksi sepihak, itu hanya terjadi di Tanah Toraja. Anggota-anggota PKI di Sulawesi Selatan sejauh yang tercatat tak pernah melakukan tindakan kekerasan berdarah-darah seperti yang dilakukan misalnya di Bandar Betsi Sumatera Utara, serta tidak melakukan gerakan perlawanan seperti di Jawa Tengah. Masih beradanya Sulawesi Selatan dalam situasi keamanan yang kurang baik terkait dengan masih bergeraknya DI-TII di wilayah ini menjadi salah satu penyebab terbatasnya ruang gerak PKI. Praktis PKI tak bisa menjangkau ke wilayah pedalaman, terutama karena kehadiran DI-TII di wilayah-wilayah luar perkotaan itu. Dengan demikian, PKI Sulawesi Selatan sebenarnya terhindar dari melakukan tindakan-tindakan mengakumulasi dendam seperti yang dilakukan PKI di Jawa Tengah maupun di Jawa Timur. Maka adalah menarik bahwa bila kemudian terjadi tindakan ‘balas dendam’ yang cukup kejam di daerah ini, seperti misalnya yang terjadi di Watampone, Kabupaten Bone, daerah kelahiran Jenderal Muhammad Jusuf.

Selain Paiso, tak banyak tokoh PKI Sulawesi Selatan yang menarik perhatian. Begitu pula misalnya tokoh-tokoh organisasi mantelnya, seperti HSI, CGMI atau Pemuda Rakyat. HSI misalnya, tak banyak tokohnya yang menarik perhatian masyarakat di Sulawesi Selatan, bahkan cenderung tak dikenal. Ada beberapa nama, namun tidak terlalu dikenal, seperti misalnya Mochtar dan Nurul Muhlisa. Tapi salah seorang di antaranya, amat diperhatikan mahasiswa, yakni Prof Ie Keng Heng, yang mengajar ilmu kimia di Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin, karena selain menyampaikan kuliah kimia, ia sering berbicara dalam berbagai kesempatan mengenai komunisme. Ia selalu memuji-muji PKI sebagai kekuatan progressif revolusioner, termasuk dalam memberikan kuliah. Maka, ketika keadaan berbalik setelah patahnya Gerakan 30 September 1965, dan nama PKI dilibatkan, ia menjadi salah satu sasaran utama mahasiswa non komunis.

Masih pada 2 Oktober 1965, hari Sabtu, sekelompok mahasiswa dari organisasi Islam, HMI dan kawan-kawan, menyeret paksa sang professor saat ia sedang memberi kuliah hari itu, lalu digiring ke tempat lain. Menurut seorang mahasiswa, Ie Keng Heng dibawa ke aparat keamanan (militer). Setelah itu, orang tak pernah melihatnya lagi. Ada yang mengatakan ia di bawah ke Malino, suatu daerah peristirahatan beberapa puluh kilometer ke arah Tenggara kota Makassar, lalu dihabisi di sana. Tetapi seorang aktivis PMKRI dari Fakultas Teknik Unhas, Bobby Tjetjep, memperkirakan bahwa nasib Ie Keng Heng tak sedramatis itu, dan matinya adalah biasa saja, tidak karena suatu eksekusi. Memang ada juga yang memperkirakan bahwa Ie Keng Heng yang sehari-harinya sebenarnya tidak bersikap ‘ganas’ sebagai anggota HSI yang partainya sedang naik daun secara nasional, tidaklah dibawa ke tempat eksekusi, sebagaimana yang banyak beredar ceritanya waktu itu, melainkan diberi ‘kesempatan’ untuk meninggalkan Makassar. Putera-puterinya –hasil perkawinannya dengan seorang wanita Eropah– yang masih berstatus pelajar dan mahasiswa ikut mendapat getahnya, padahal sehari-harinya mereka tak pernah tertarik untuk ikut terbawa arus politik seperti ayahanda mereka, dan harus pula ‘meninggalkan’ kota Makassar entah ke mana.

Berlanjut ke Bagian 4

September 1965: Konspirasi dan Pertumpahan Darah (2)

“Setelah membentangkan laporan-laporan yang telah diterimanya sejauh itu, tentang adanya kelompok jenderal tidak loyal pada dirinya, yang dikelompokkan sebagai Dewan Jenderal, Soekarno lalu menugaskan kepada Brigjen Sjafiuddin untuk menyelidiki lebih lanjut siapa-siapa saja jenderal tidak loyal itu serta jaringan kerjanya”.

SEPANJANG September Jenderal Nasution banyak bepergian ke daerah-daerah. Diantaranya, ke Jawa Timur, bersama Panglima Kodam Brawijaya Basuki Rachmat meninjau daerah-daerah pertanian yang dikelola prajurit-prajurit Brawijaya. Nasution berkunjung pula ke sejumlah pesantren, termasuk Pesantren Tebu Ireng di Jombang. Kemudian, seminggu sebelum akhir September ke kampus Universitas Padjadjaran di Bandung untuk acara pemberian tunggul-tunggul batalion-batalion Resimen Mahasiswa Mahawarman. Lalu ke Yogyakarta keesokan harinya, mengunjungi Akademi Angkatan Udara, didampingi Panglima Kodam Diponegoro Brigjen Surjo Sumpeno.

Malam hari tanggal 30 September 1965, Nasution memberi ceramah mengenai Hankamrata (Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta), tanpa point-point yang eksplosif secara politis. “Saya diantarkan oleh Kolonel M. Amin dan Kolonel Isa Edris. Rupanya selama saya berceramah ada kelompok pemuda yang tidak dikenal yang terus mengawasi, sehingga terjadi bentrokan dengan para mahasiswa yang bertugas sebagai penjaga keamanan”. Pada malam yang sama, menurut Nasution, iparnya yang bernama Sunario Gondokusumo, melihat Kolonel Latief, Komandan Brigif I Kodam Jaya, memeriksa penjagaan di rumah Jenderal Nasution. Tetapi secara umum, menurut kesan Nasution sendiri tentang keadaan sekitar kediamannya pada 30 September malam itu, tidak ada hal-hal yang aneh. Dan, “regu pengawal dari Brigif I pun tidak melaporkan apa-apa. Sebagaimana biasa mereka bergiliran tidur”. Waktu Nasution tiba di rumah dekat tengah malam, isterinya telah tidur bersama puterinya yang bungsu, Ade Irma. Sebagaimana biasanya pula, mereka tidur dengan jendela terbuka untuk mendapat hawa dingin dari luar. “Kelak saya mendapat kabar bahwa pada malam itu pemuda-pemuda agak ramai di suatu rumah di Jalan Waringin, tidak jauh dari rumah saya. Di sini kelihatan anak-anak Bea Cukai, Junta Suardi dan kawan-kawan, juga Kepala Intel Tjakrabirawa, Letnan Kolonel Ali Ebram”.

Pada pekan terakhir September Nasution banyak berlatih golf karena akan mengikuti pertandingan golf dalam rangka Hari Ulang Tahun Angkatan Bersenjata 5 Oktober. Nasution sendiri menghendaki agar hari ulang tahun ABRI kali itu dirayakan secara sederhana saja, mengingat keadaan ekonomi negara, tetapi Soekarno ingin dirayakan besar-besaran. Soekarno ingin melakukan show of force, dan bahkan ingin menyelenggarakan suatu pekan olahraga, GanefoGames of the New Emerging Forces– militer, dengan mengundang tim-tim olahraga angkatan bersenjata negara-negara sahabat yang tergolong sebagai Nefos. Tetapi ini tidak sempat lagi dilaksanakan karena alasan teknis dan keterbatasan waktu, meskipun sempat dilakukan sejumlah persiapan awal dan kepanitiaan pun sudah dibentuk. Dalam kepanitiaan duduk antara lain Brigjen Supardi sebagai ketua dan Brigjen Andi Mattalatta.

Terlihat bahwa sepanjang September Jenderal Nasution banyak berkeliling ke berbagai daerah, namun tanpa mengeluarkan pernyataan-pernyataan keras yang mengundang tanggapan. Sebaliknya, berbeda dengan Nasution, justru Dipa Nusantara Aidit banyak melontarkan pernyataan yang mengundang kontroversi, nyaris sepanjang bulan September. Sehingga, kala itu dalam persepsi banyak orang, PKI sedang berada di atas angin, sangat revolusioner, sangat agresif dan terkesan ingin menerkam habis lawan-lawan politiknya. Kesan ini besar pengaruhnya kelak dalam rangkaian peristiwa yang terjadi sejak 30 September 1965 malam dan pada masa-masa berikutnya segera setelah itu.

Laporan-laporan tentang kelompok jenderal yang tidak loyal. Seperti digambarkan Soebandrio, memang Soekarno menerima begitu banyak laporan tentang perkembangan terakhir. Ini terjadi boleh dikatakan hampir sepanjang tahun 1965 –sejak munculnya isu Dewan Jenderal– dan meningkat tajam pada bulan September 1965. Dan adalah karena laporan-laporan itu, Soekarno mempunyai persepsi dan prasangka tertentu kepada sejumlah jenderal, yang lalu membawanya kepada suatu rencana ‘pembenahan’ yang untuk sebagian besar, beberapa waktu kemudian ternyata berkembang di luar kendalinya sendiri.

Ketika merayakan ulang tahunnya, 6 Juni 1965, di Istana Tampak Siring, Bali, isu mengenai adanya kelompok jenderal yang tidak loyal menjadi bahan pembicaraan. Bagaimana menghadapi kemungkinan makar dari para jenderal itu, Soekarno secara langsung memberikan petunjuk kepada beberapa orang diantara yang hadir. Waktu itu, hadir antara lain tiga Waperdam, yakni Dr Subandrio, Chairul Saleh dan Dr Johannes Leimena serta Menteri Gubernur Bank Sentral, Jusuf Muda Dalam. Selain mereka, hadir tiga pejabat teras yang berkedudukan di Denpasar, yakni Pangdam Udayana Brigjen Sjafiuddin, Gubernur Bali Sutedja dan Panglima Daerah Kepolisian. Beberapa perwira keamanan dan ajudan juga hadir, yakni Komandan Tjakrabirawa Brigjen Sabur, Komisaris Besar Polisi Sumirat, Ajun Komisaris Besar Polisi Mangil dan ajudan Kolonel Bambang Widjanarko yang adalah perwira korps komando. Setelah membentangkan laporan-laporan yang telah diterimanya sejauh itu, tentang adanya kelompok jenderal tidak loyal pada dirinya, yang dikelompokkan sebagai Dewan Jenderal, Soekarno lalu menugaskan kepada Brigjen Sjafiuddin untuk menyelidiki lebih lanjut siapa-siapa saja jenderal tidak loyal itu serta jaringan kerjanya.

Pada waktu itu juga Presiden Soekarno sudah mencetuskan keinginannya untuk melakukan perubahan di lapisan pimpinan Angkatan Darat. Dengan gusar Soekarno mempertanyakan apa maksud para jenderal Angkatan Darat yang sekitar sebulan sebelumnya menyelenggarakan Seminar Angkatan Darat di Bandung yang menyimpulkan adanya “bahaya dari utara” dan menetapkan sejumlah doktrin menghadapi bahaya tersebut. Soekarno menafsirkan bahwa kesimpulan dan doktrin para jenderal itu tak lain bertujuan mematahkan poros Jakarta-Peking yang telah dilontarkannya. Menurut Nasution, Presiden Soekarno sering marah-marah bila menyebut nama jenderal-jenderal yang terkait dengan isu Dewan Jenderal atau jenderal-jenderal yang tidak loyal. Kerap terlontar istilah ‘jenderal brengsek’ dari Soekarno. Dan Soekarno lalu kerap kali memanggil dan menerima sejumlah jenderal lain yang dianggapnya loyal sebagai imbangan terhadap para jenderal yang dianggapnya tidak loyal itu. Suatu ketika Letnan Jenderal Ahmad Yani mengantarkan Soewondo Parman dan Soetojo Siswomihardjo menghadap Presiden Soekarno, dan keduanya dimarahi habis-habisan oleh Soekarno. Soekarno mengatakan para jenderal perlu memahami bukan hanya taktik-taktik perang saja, tapi juga harus memahami strategi, termasuk strategi dunia. Soekarno mengecam pikiran adanya ‘musuh dari utara’ bagi Asia Tenggara. Itu strategi Nekolim, ujarnya. Jangan terperangkap. Para jenderal harus mendukung strategi Soekarno, poros Jakarta-Peking.

Brigjen Sjafiuddin tidak memerlukan waktu yang lama untuk melapor kembali. Ia terlihat beberapa kali datang menghadap Soekarno di Istana Merdeka dan memastikan kepada Soekarno kebenaran adanya jenderal yang tidak loyal. Sjaifuddin menggambarkan adanya dualisme di Angkatan Darat sehingga membingungkan pelaksana di tingkat bawah dan ada yang lalu ikut-ikutan tidak loyal kepada Panglima Tertinggi.  Ia mengkonfirmasikan beberapa nama yang dulu sudah disinggung Soekarno di Tampak Siring, yaitu Soewondo Parman, R. Soeprapto, Mas Tirtodarmo Harjono dan Soetojo Siswomihardjo, sebagai positif tidak loyal kepada Presiden Soekarno. Soekarno sekali lagi menyatakan akan mengadakan perubahan di lapisan pimpinan Angkatan Darat, bahkan kali ini menyebutkan nama calon Menteri Panglima Angkatan Darat yang akan menggantikan Ahmad Yani, yakni Mayjen Mursjid. Pada kesempatan lain, 29 September 1965, Soekarno bahkan sudah mengatakan langsung kepada Mursjid rencana pengangkatannya sebagai pengganti Yani dan menanyakan apakah Mursjid bersedia menjalankan tugas tersebut. Mursjid tanpa pikir panjang langsung menyatakan kesediaannya.

Selain Sjaifuddin, Presiden Soekarno juga memerintahkan beberapa perwira lain untuk menyelidiki dan mengusut mengenai kelompok perwira yang tidak loyal itu. Dua diantara yang ditugasi adalah Komandan Tjakrabirawa Brigjen Sabur dan Komandan Corps Polisi Militer Brigjen Soedirgo. Keduanya juga membenarkan adanya kelompok jenderal yang tidak loyal itu. Keduanya selalu kembali dengan laporan yang memperkuat tentang adanya Dewan Jenderal, jenderal-jenderal yang tidak loyal, dan bahwa sewaktu-waktu mereka itu akan melakukan makar merongrong Pemimpin Besar Revolusi.

Di bulan Agustus, tanggal 4, Soekarno memanggil Letnan Kolonel Untung salah satu komandan batalion Tjakrabirawa. Kepada Untung ia bertanya, apakah siap dan berani bila ditugaskan untuk menghadapi para jenderal yang tidak loyal, dan apabila terjadi sesuatu apakah Untung akan bersedia bertindak. Untung menyatakan sanggup. Ia kemudian malah bertindak cukup jauh. Ia menghubungi Walujo dari Biro Khusus PKI, yang kemudian melanjutkannya kepada Sjam. Bahkan Sjam mengembangkan informasi ini menjadi suatu perencanaan menindaki para jenderal tidak loyal itu, melalui suatu gerakan internal Angkatan Darat. Perintah Soekarno kepada Letnan Kolonel Untung ini telah menggelinding begitu jauh, sehingga akhirnya justru terlepas dari kendali Soekarno sendiri pada akhirnya.

Setelah itu, tercatat bahwa dalam bulan September, seakan melakukan satu rangkaian konsolidasi dukungan, Soekarno berkali-kali meminta kesediaan beberapa perwira untuk bersiap-siap menindaki para jenderal yang tidak loyal. Pada 15 September, Soekarno memerintahkan hal tersebut kepada Brigjen Sabur dan Jaksa Agung Muda Brigjen Sunarjo. Perintah ini disaksikan oleh Soebandrio, Jaksa Agung Brigjen Sutardhio dan Kepala BPI Brigjen Polisi Soetarto, Kombes Sumirat serta dua orang lain yakni Muallif Nasution dan Hardjo Wardojo. Lalu pada tanggal 23 September pagi, di serambi belakang Istana Merdeka, terhadap laporan Mayjen Mursjid bahwa “ternyata memang benar, jenderal-jenderal yang bapak sebutkan itu tidak menyetujui politik bapak dan tidak setia pada bapak”, Soekarno berkata harus dilakukan suatu tindakan yang cepat. Ia lalu bertanya kepada Sabur bagaimana mengenai perintahnya beberapa hari yang lalu untuk mengambil tindakan terhadap jenderal-jenderal tersebut. Komandan Resimen Tjakrabirawa itu lalu melaporkan bahwa rencana penindakan itu telah dibicarakannya dengan Brigjen Sunarjo dan Brigjen Soedirgo. “Tapi untuk pelaksanaannya masih memerlukan persiapan yang lebih teliti lagi”. Soekarno lalu mengulangi lagi perintahnya kepada Brigjen Sabur, Brigjen Soenarjo dan Brigjen Soedirgo –yang tidak hadir pagi itu, karena ke Kalimantan– untuk segera mempersiapkan penindakan. Hadir saat itu adalah  Dr Soebandrio, Chairul Saleh, Dr Leimena, Brigjen Sunarjo, Djamin dan Laksamana Madya Udara Omar Dhani.

Berlanjut ke Bagian 3

September 1965: Konspirasi dan Pertumpahan Darah (1)

“Yang tidak banyak diketahui orang”, ungkap Soebandrio, “dari sekian perwira senior yang paling ditakuti Presiden Soekarno saat itu adalah Nasution”. “29 September 1965: Aidit yang berbicara kemudian, seakan mengolok-olok Leimena dan sekaligus dianggap ‘menantang’ Soekarno, mengatakan bahwa kalau CGMI tidak bisa melenyapkan HMI, sebaiknya mereka memakai sarung saja”.

BEBERAPA waktu sebelum tanggal 30 September 1965, Panglima Angkatan Udara Laksamana Madya (U) Omar Dhani bertemu bertiga dengan Panglima Angkatan Darat Letnan Jenderal Ahmad Yani dan Panglima Kepolisian Jenderal Soetjipto Danoekoesoemo. “Saya sudah ngomong, ada sesuatu yang akan terjadi”, khususnya dalam kaitan dengan Angkatan Darat, jadi hendaknya berhati-hati. Yani tampaknya tetap tenang saja. Omar Dhani menggambarkan bahwa hubungannya dengan Yani baik sekali hingga saat itu. Suatu ketika, sewaktu berbincang-bincang dengan Panglima Angkatan Laut Laksamana (L) Martadinata dan Panglima Angkatan Kepolisian Jenderal Soetjipto, pada suatu kesempatan lain, tanpa kehadiran Yani, mengenai the incoming leader after Soekarno, dengan serta merta Omar Dhani menyebutkan nama Ahmad Yani. “Kami semua sepakat, dialah yang paling pantas”. Tapi, sekitar waktu itu Omar Dhani sendiri pernah juga disebut-sebut namanya untuk posisi Presiden, antara lain oleh pimpinan PKI. “Saya tidak pernah memikirkan. Tidak pernah mencalonkan diri”. Meskipun sempat membicarakan the next, secara umum para Panglima tersebut sampai saat itu menurut Omar Dhani, tidaklah pernah memikirkan penggantian Presiden.

Soal siapa yang bisa  dan pantas menggantikan Soekarno kelak, sebenarnya tak hanya nama Yani –atau Omar Dhani– yang muncul kala itu. Soebandrio yang secara formal adalah orang kedua setelah Soekarno dalam kekuasaan hingga tahun 1965, justru menggambarkan adanya dua tokoh yang memiliki peluang seimbang, yakni Jenderal Abdul Harris Nasution dan Letnan Jenderal Ahmad Yani. Spekulasi yang berkembang, “jika Bung Karno meninggal atau sudah tidak lagi mampu memimpin Indonesia, maka pengganti yang paling cocok adalah antara Yani dan Nasution”. Sebenarnya, pada sisi lain Soebandrio sendiri pun kerap disebutkan termasuk yang memiliki peluang untuk itu. “Yang tidak banyak diketahui orang”, ungkap Soebandrio, “dari sekian perwira senior yang paling ditakuti Presiden Soekarno saat itu adalah Nasution”. Sampai-sampai Presiden Soekarno menjuluki Nasution sebagai pencetus gagasan ‘Negara dalam Negara’. Selain sangat berpengalaman di bidang militer, Nasution juga matang berpolitik. “Dia pencetus ide Dwi Fungsi ABRI melalui jalan tengah tentara. Ia berpengalaman melakukan manuver-manuver politik yang dikoordinasi dengan menggunakan kekuatan militer, agar tentara bisa masuk ke lembaga-lembaga negara secara efektif di pusat dan daerah”.

Pertemuan langsung antara Soekarno dengan Nasution yang terakhir adalah pertengahan September 1965, tatkala Presiden menganugerahkan Bintang Mahaputera kepada Dipa Nusantara Aidit di Istana Negara. Tak ada hal yang istimewa dalam pertemuan sepintas dalam keramaian suasana upacara kala itu, di antara keduanya, kendati saat itu dalam benak Soekarno nama Nasution pasti terekam dengan konotasi tertentu, karena nama Nasution tercatat dalam laporan sebagai salah satu anggota Dewan Jenderal. Soekarno bahkan meletakkan Nasution sebagai otak di belakang segala sesuatu yang terkait dengan Dewan Jenderal, meskipun setiap kali memerlukan penjelasan, Soekarno selalu memintanya kepada Yani. Peristiwa agak istimewa, justru terjadi antara Aidit dengan Nasution. Setelah selesai upacara, menurut memori Nasution, Aidit datang kepadanya dan menanyakan “Manakah dari pita-pita di dada Jenderal Nasution yang mengenai operasi Peristiwa Madiun 1948?”. Nasution menunjukkan pita itu dan Aidit segera menggandeng tangan Jenderal Nasution seraya meminta para wartawan mengambil gambar mereka berdua.

Soekarno, Aidit dan Jenderal Nasution. Hanya beberapa hari sebelumnya, 13 September 1965, juga di istana, Presiden Soekarno menyerang Jenderal Nasution –meskipun tanpa menyebut nama. Dalam pembukaan pertemuan Gubernur se-Indonesia, Soekarno kembali mengulangi tentang adanya anak-anak revolusi yang tidak setia pada induknya, yakni sebarisan ‘jenderal brengsek’, yang semua orang tahu terutama ditujukan kepada Nasution. Ini bukan pertama kali dilontarkan Soekarno, terutama sejak ia menerima informasi-informasi tentang adanya Dewan Jenderal yang bermaksud menggulingkan dirinya. Pada waktu yang bersamaan para pemimpin PKI melontarkan pernyataan-pernyataan senada, sehingga tercipta opini bahwa Soekarno memang betul-betul telah seiring sejalan dengan PKI, sesuatu yang kelak harus ditebus Soekarno dengan mahal.

Praktis sepanjang September 1965, PKI menyerang secara agresif, lawan-lawan politiknya, terutama kelompok-kelompok tentara yang dikaitkan dengan Nasution. Seraya menggambarkan adanya kelompok jenderal yang tidak loyal kepada Soekarno, Harian Rakyat 4 September menulis bahwa para perwira tentara itu dalam pola maling teriak maling menuduh seakan-akan PKI mau melakukan kup. Tetapi sementara itu, pada tanggal 9 September adalah Aidit sendiri yang menggambarkan akan terjadinya sesuatu dengan mengatakan “Kita berjuang untuk sesuatu yang pasti akan lahir. Kita kaum revolusioner adalah bagaikan bidan daripada bayi masyarakat baru itu. Sang bayi pasti lahir dan kita kaum revolusioner menjaga supaya lahirnya baik dan sang bayi cepat jadi besar”. Ucapan ini diperkuat Anwar Sanusi. Lima hari kemudian, 14 September, Aidit di depan sidang nasional Sobsi mengatakan bahwa “yang paling penting sekarang ini, bagaimana kita memotong penyakit kanker dalam masyarakat kita, yaitu setan kota. Kalau revolusi mau tumbuh dengan subur, kita harus menyingkirkan kaum dinasti ekonomi, kapbir dan setan kota dari segenap aparatur politik dan ekonomi negara”. Di depan karyawan BNI, 17 September, Aidit mengatakan “Kabinet sekarang belum Nasakom, hanya mambu Nasakom”. Lalu 21 September di depan Sarbupri, Aidit menyatakan “Jangan berjuang untuk satu ikan asin…. Jangan mau jadi landasan, jadilah palu godam”. Seraya menggambarkan bahwa para menteri hidup dari distribusi kewibawaan dari Bung Karno, ia sebaliknya melukiskan “kaum proletar tidak akan kehilangan sesuatu apa pun kecuali belenggu mereka”.

Paling agresif adalah ucapan-ucapan Aidit di depan Kongres III CGMI 29 September 1965, “Mahasiswa komunis harus berani berpikir dan berani berbuat. Berbuat, berbuat, berbuat. Bertindak dan berbuat dengan berani, berani. Sekali lagi berani”. Pada acara itu Aidit melancarkan serangan khusus kepada HMI yang beberapa waktu sebelumnya sempat dibela oleh Ahmad Yani. Bahkan sebenarnya Aidit malam itu seakan ‘melawan’ Soekarno ketika ia menanggapi pidato Waperdam II Leimena. Sang Waperdam yang berbicara sebelum Aidit, malam itu mengatakan bahwa sesuai sikap Presiden Soekarno, hendaknya HMI tak perlu lagi dipersoalkan lebih lanjut. Menurut Leimena, bukankah beberapa hari sebelumnya, 22 September, Presiden telah menyatakan penolakannya terhadap tuntutan pembubaran HMI yang disampaikan kepadanya ? Namun Aidit yang berbicara kemudian, seakan mengolok-olok Leimena dan sekaligus dianggap ‘menantang’ Soekarno, mengatakan bahwa kalau CGMI tidak bisa melenyapkan HMI, sebaiknya mereka memakai sarung saja. Soekarno yang sebenarnya merasa tersinggung, tetap mengendalikan diri dengan baik. Ia mengatakan HMI tak perlu dibubarkan. Namun, bilamana HMI “ternyata menyeleweng” dari garis revolusi, ia sendiri akan melarang dan membubarkan HMI.

Yang kemudian ikut memberatkan PKI di belakang hari adalah editorial Harian Rakyat pada tanggal 30 September, yang berbunyi, “Dengan menggaruk kekayaan negara, setan-setan kota ini mempunyai maksud-maksud politik yang jahat terhadap pemerintah dan revolusi. Mereka harus dijatuhi hukuman mati di muka umum. Soalnya tinggal pelaksanaan. Tuntutan adil rakyat pasti berhasil”. Editorial ini seakan membayangkan suatu pengetahuan tentang rencana PKI berkaitan dengan kematian para jenderal melalui suatu hukuman mati oleh rakyat atau kekuatan revolusioner. Akumulasi pernyataan-pernyataan keras tokoh-tokoh PKI, terutama Aidit, serta apa yang hitam putih termuat dalam Harian Rakyat, di belakang hari ibarat mozaik yang setelah disusun menjadi sebuah gambar, telah mendorong munculnya opini kuat tentang keterlibatan dan peran PKI sebagai otak gerakan makar tanggal 30 September 1965.

Jenderal Nasution yang pada bulan September itu banyak menjadi bulan-bulanan serangan kelompok politik kiri maupun Soekarno, lebih banyak berdiam diri, dalam arti tak banyak mengeluarkan pernyataan-pernyataan menanggapi serangan-serangan yang ditujukan pada dirinya. Bahkan serangan tentang keterlibatan isterinya dalam suatu kolusi bisnis yang memanfaatkan kekuasaan suami, juga didiamkan Nasution.

Dalam suatu rapat raksasa 29 September –suatu model pengerahan massa pada masa itu– di lapangan Banteng yang dihadiri lebih dari seratus ribu orang, sebagian besar terdiri dari pelajar yang dikerahkan IPPI pimpinan Robby Sumolang, ada aksi tunjuk hidung terhadap kapbir, setan-setan kota dan kaum koruptor. Empat nama setan kota yang ditunjuk hidungnya adalah Hein Siwu, Pontoan, Kapten Iskandar dan seorang insinyur pemilik pabrik tekstil bernama Aminuddin, yang nama-namanya sudah dilaporkan kepada Jaksa Agung Brigjen Sutardhio. Menurut Nasution, nama yang disebut terakhir, Ir Aminudin, bersama Hein Siwu, dikait-kaitkan dengan isterinya dalam urusan bisnis. Nasution memang pernah memenuhi undangan Aminuddin untuk meninjau pabrik tekstil milik Aminuddin yang terletak di daerah Cawang. Pabrik itu, “didesas-desuskan sebagai milik saya, yang diurus oleh Ir Aminuddin”. Kejadian sebenarnya dari hubungan itu, menurut Nasution adalah bahwa Hein Siwu dengan diantar oleh Kolonel Hein Victor Worang pernah datang untuk menyumbang kegiatan sosial Nyonya Sunarti Nasution.

Berlanjut ke Bagian 2.

Indonesia: Satu Masa Pada Suatu Wilayah Merah (1)

“Berbeda dengan Angkatan Darat, sumber dana politik PKI sedikit lebih terselubung dan nyaris tak terbuktikan, karena tak ada pihak yang betul-betul memiliki bukti-bukti hitam putih aliran dana PKI”.

ADALAH menarik bahwa dalam kurun waktu Nasakom, PKI yang menempatkan perjuangan kelas sebagai kegiatan politik ideologisnya, boleh dikatakan tak pernah menyentuh wilayah persoalan kesenjangan sosial yang terkait dengan kelompok etnis Cina. Hubungan PKI di bawah Aidit dengan Cina Komunis –Aidit dianggap sebagai kelompok sayap Peking– dan keberadaan Baperki sebagai organisasi kaum peranakan Cina di Indonesia yang berkiblat kiri, dapat menjelaskan mengapa PKI relatif menjauhi masalah kesenjangan sosial dan ekonomi yang terkait dengan etnis Cina di Indonesia. Terdapat pula unsur pragmatis dalam hal ini.

Secara umum, sumber dana untuk segala kegiatan politik PKI tak banyak disinggung. Ini berbeda dengan kelompok jenderal yang memegang kendali Angkatan Darat yang berhadapan dalam pertarungan politik dan kekuasaan dengan PKI. Sumber dana ‘non budgetair’ para jenderal saat itu senantiasa dikaitkan dengan perilaku korupsi, terutama karena posisi sejumlah jenderal atau perwira tentara dalam berbagai badan usaha milik negara, yang sebagian adalah bekas perusahaan Belanda yang dinasionalisir pada tahun 1957. Termasuk di sini adalah Pertamin dan Permina yang kemudian hari dilebur menjadi Pertamina, dan diserahkan penanganannya kepada seorang dokter yang juga adalah perwira Angkatan Darat, Ibnu Sutowo, yang berpangkat kolonel kemudian naik ke jenjang jenderal. Beberapa posisi penting di bawahnya umumnya juga dipegang kalangan tentara. Konsesi di perusahaan perminyakan ini diberikan sebagai bagian dari semacam deal politik maupun saling pengertian –yang mungkin saja tak pernah diucapkan dengan cara yang betul-betul terus terang– antara Presiden Soekarno dengan pihak militer di bawah Mayor Jenderal Nasution sebelum Dekrit 1959.

Berbeda dengan Angkatan Darat, sumber dana politik PKI sedikit lebih terselubung dan nyaris tak terbuktikan, karena tak ada pihak yang betul-betul memiliki bukti-bukti hitam putih aliran dana PKI. Sumber dana utama PKI di masa-masa awal sebelum Pemilihan Umum 1955 adalah dari gerakan dan jaringan komunis internasional. Selanjutnya, sumber dana itu bergeser yang mulanya terutama datang dari Moskow menjadi lebih banyak berasal dari Peking, tatkala Aidit secara kasat mata membawa PKI lebih berkiblat ke Peking. Namun Moskow tak pernah sepenuhnya menghentikan bantuan keuangan, karena pemimpin blok Timur itu masih tetap mengalirkan dana ke kelompok PKI sayap Moskow yang masih eksis sebagai faksi ‘urutan kedua’ di tubuh partai tersebut. Apalagi, di balik yang terlihat, ada gambaran bahwa Aidit tidak pernah betul-betul meninggalkan Moskow. Menurut Muhammad Achadi –Menteri Transmigrasi dan Koperasi pada Kabinet Soekarno– hingga dekat-dekat saat terjadinya Peristiwa 30 September 1965, Aidit tetap menjalin hubungan dengan Moskow. Aidit pun –tanpa banyak diketahui pihak lain– berkali-kali datang ke Moskow sekitar waktu tersebut.

Sumber dana dalam negeri PKI, termobilisasi melalui Jusuf Muda Dalam yang memegang kendali Bank Sentral. Tapi sumber keuangan PKI lainnya yang tak kecil juga berasal dari kelompok-kelompok pengusaha bidang perdagangan dan industri beretnis Cina yang berhaluan kiri dan atau punya alasan ataupun kepentingan lain. Bandingkan dengan Masjumi, yang sebelum menjadi partai terlarang memperoleh aliran dananya antara lain dari satu dua ‘pengusaha’ anggota Masjumi yang mendapat fasilitas lisensi –di zaman bermunculannya pengusaha aktentas yang sekedar memperjualbelikan lisensi tersebut– melalui suatu program yang sebenarnya dimaksudkan untuk membantu ‘pengusaha nasional’  pada masa tokoh PSI Soemitro Djojohadikoesoemo menjadi Menteri Perdagangan dalam kabinet Natsir di tahun 1950-1951. Suatu ‘ladang’ yang sempit dan ringkas. Pengusaha aktentas memang bukan jenis yang bisa sepenuhnya diandalkan.

Sebaliknya, pada tahun lima puluhan, menteri-menteri yang berasal dari Masjumi juga banyak membantu pengusaha nasional. Jusuf Wibisono, Menteri Keuangan dalam Kabinet Sukiman-Suwirjo (1951-1952) dan Kabinet Ali Sastroamidjojo II (1956-1957) selama setahun-setahun, pernah antara lain membantu TD Pardede, pengusaha asal Sumatera Utara beragama Kristen dan anggota PNI. Hal serupa dilakukan pula sebelumnya oleh Sjafruddin Prawiranegara yang menjadi Menteri Keuangan dalam Kabinet Natsir (1950-1951) dan pada dua kabinet lain pada masa-masa sebelumnya. Menurut penuturan Pardede (kepada Professor Deliar Noer), suatu kali ketika usahanya menjadi besar dan sukses ia mendatangi keduanya, serta M. Sanusi tokoh Masjumi yang juga seorang pejabat di Departemen Perindustrian, untuk memberikan ‘amplop’ sebagai tanda terima kasih. Dengan cara yang baik-baik dan menyenangkan, ketiga tokoh Masjumi itu menolak menerimanya.

Selain karena faktor militansi tinggi yang dimiliki massa PKI, kelancaran aliran dana yang dikelola lebih efektif dan efisien –dan harus diakui relatif tak ‘tergigit’ oleh pengelola partai, seperti yang terjadi pada beberapa partai politik lain waktu itu– menjadikan manuver-manuver politik PKI lebih mobile dan efektif pula. Maka PKI muncul menonjol di berbagai lini medan pertarungan politik dan kekuasaan.

Hanya satu obsesi PKI yang belum juga tercapai, yaitu keberhasilan menciptakan sayap bersenjata yang tangguh, yang dengan gemilang dicapai oleh Partai Komunis Tjina di bawah Mao Zedong (Mao Tsetung) masih sejak tahun-tahun awal sejak kelahirannya. Sebagai ganti dari belum terpenuhinya obsesi tersebut adalah keberhasilan dalam kadar tertentu dari PKI menginfiltrasi dan menyusupkan pengaruhnya ke tubuh militer, khususnya Angkatan Darat, yang menjadi lebih intensif setelah terbentuknya Biro Khusus PKI di tahun 1964. Kelak akan ternyata bahwa pada saat dibutuhkan sayap PKI dalam militer, meskipun mencapai tingkat yang cukup signifikan, tidaklah bisa mencapai hasil optimum.

Partai Komunis Tjina yang lahir tahun 1921, meskipun lebih muda setahun dari PKI, dalam banyak hal dijadikan PKI sebagai percontohan dari waktu ke waktu, termasuk dalam obsesi memiliki sayap bersenjata yang andal. Pintu masuk untuk memenuhi obsesi tersebut, di luar dugaan dibuka oleh Dr Sun Yat-sen pemimpin Republik (Nasionalis) Cina yang pada sekitar tahun 1920 mengalami akumulasi kekecewaan terhadap pihak barat. Melihat keberhasilan Revolusi Bolsjewik dan berbagai keberhasilan Lenin setelahnya, Sun Yat-sen yang memiliki sikap dan pandangan yang sosialistis, terangsang untuk berhubungan dengan Uni Sovjet dan berharap bahwa dari hubungan itu nantinya ia bisa mendapat apa yang tidak didapatnya dari barat sekaligus bisa mengakhiri beberapa perlakuan buruk pihak barat pada Cina. Lenin, pemimpin Sovjet, ternyata tanggap dan segera mengalirkan banyak bantuan kepada Cina yang dipandangnya dapat bergeser ke kiri di bawah Sun Yat-sen yang juga memahami Marxisme dan Sosialisme dengan baik. Salah satunya adalah pengiriman sejumlah penasehat politik dan militer.

Satu di antara program prioritas Sun Yat-sen kala itu adalah memperbesar militer Kuomintang dengan bantuan para penasehat militer Sovjet itu. Memperbesar militer menjadi kebutuhan objektif bagi Sun Yat-sen, karena pada masa itu sebagian besar panglima militer di berbagai wilayah cenderung menciptakan diri sebagai warlord di daerah kekuasaannya masing-masing dan banyak menunjukkan ketidakpatuhan kepada pemerintah pusat. Sun Yat-sen mendengar banyak laporan mengenai perilaku seenaknya dari para panglima wilayah itu, yang bekerjasama dengan tuan-tuan tanah dan orang-orang kaya setempat, memeras dan menindas rakyat dengan berbagai tindak kekerasan. Mereka pun mengorganisir kegiatan kriminal dan premanisme untuk tujuan ‘komersial’ serta pengumpulan keuntungan materil, mulai dari pelacuran, permadatan hingga berbagai macam pemerasan. Kelompok ‘kriminal’ ini juga bersenjata dan berlaku sewenang-wenang. Para panglima dan perwira-perwiranya, bahkan sampai prajurit lapisan bawah, sangat koruptif.

Situasi ini dianggap Sun Yat-sen sangat melemahkan Cina dan bisa membawa Cina ke ambang kehancuran. Untuk mengatasinya, Sun Yat-sen membutuhkan militer Kuomintang yang diperbarui dan diperbesar, sehingga akan lebih disegani dan mampu menundukkan para warlords itu. Sun Yat-sen bertindak ‘radikal’ dengan membuka pintu bagi Partai Komunis Tjina turut serta sebagai sumber daya manusia ‘baru’ dalam pengembangan militer itu serta mengakomodir para kader partai komunis ke dalam institusi-institusi pemerintahan. Sejumlah besar kader Partai Komunis mengalir ke sekolah militer baru yang didirikan dan ditopang instruktur-instruktur militer dari Rusia (negara ‘induk’ Uni Sovjet). Ia mengangkat seorang perwira kepercayaannya, Chiang Kai-shek, sebagai pimpinan sekolah militer itu.

Suatu program lain, yang menyenangkan bagi Partai Komunis Tjina dipimpin Mao Zedong adalah program penataan ulang tanah –land reform– bagi para petani kecil di daratan Cina yang pada masa itu menjadi salah satu kelompok masyarakat sasaran pemerasan dan penindasan fisik dari para tuan tanah yang bekerja di bawah topangan dan lindungan para tentara korup. Para petani dijadikan sebagai ‘kuda’ yang diperas tenaganya, sementara anak-anak gadis mereka dijadikan sebagai objek seks bagi lapisan berkuasa beserta para kaki-tangan mereka dan setelah puas menikmatinya dijadikan pelacur di rumah-rumah hiburan. Program land reform diharapkan Sun Yat-sen menjadi jalan menyelamatkan petani dan karenanya akan memperoleh dukungan petani sebagai lapisan akar rumput guna menundukkan para warlord.

Berlanjut ke Bagian 2

Jenderal Ahmad Yani: Dilema ‘Politician in Uniform’ (3)

“Kolonel Sarwo Edhie Wibowo adalah bagaikan anak panah yang muncul dari balik tabir blessing in disguise dalam satu momentum sejarah bagi Jenderal Soeharto”

Pihak militer, meskipun mulanya merasa agak ter-’faitaccompli’, akhirnya mencari dan menemukan celah yang lebih baik pada masalah konfrontasi terhadap Malaysia. Penghapusan tuntas SOB, pada kwartal pertama 1963, potensil melemahkan posisi dan peran militer, namun adanya konfrontasi yang bagaimanapun juga membutuhkan unsur militer, telah menciptakan celah baru bagi suatu peran memadai. Nyatanya, terlihat kemudian Yani maupun Nasution banyak mendapat peran-peran signifikan dalam rangka Dwikora.

Juni 1964, Menteri Luar Negeri Soebandrio dan Panglima AD Letnan Jenderal Ahmad Yani, berangkat ke Moskow dalam suatu misi untuk memperoleh persenjataan baru dengan teknologi lebih tinggi bagi keperluan Dwikora, di antaranya ‘membeli’ peluru-peluru kendali. Misi ini tidak berhasil memperoleh apa yang diharapkan. Bulan September, Soekarno meminta Nasution ‘melanjutkan’ misi Yani itu. Bahkan tatkala Nasution berada di Moskow, Soekarno menyusul ke sana. Misi Nasution ‘berhasil’ memperoleh persetujuan dari PM Kruschev, walau ia ini sempat menyentil tidak lancarnya Indonesia membayar utang-utang terdahulu. Akhirnya Jenderal Nasution menandatangani suatu perjanjian baru pembelian senjata dengan Marsekal Gretsko. Tapi, sekitar seminggu kemudian, Kruschev disingkirkan dari kekuasaaan oleh Breshnev dan kawan-kawan. Nasution mencatat, bahwa sewaktu diadakan jamuan  makan malam balasan oleh Soekarno bagi Kepala Negara Sovjet dan pemimpin Sovjet lainnya –yang tidak dihadiri Kruschev yang sedang ‘berlibur’ bersama keluarga–  Breshnev yang saat adalah orang kedua memang berperilaku agak aneh, lebih banyak diam sepanjang acara seolah-olah pikirannya ada di tempat lain (1987: 83).

Di luar kaitan masalah militer sementara itu, keadaan ekonomi yang makin memburuk secara luar biasa, kembali memerlukan pengalihan perhatian rakyat, setelah selesainya gerakan pembebasan Irian Barat. Alasan yang terakhir ini, diakui atau tidak, faktual menjadi kebutuhan Soekarno. Apapun, Soebandrio berhasil ‘membangkitkan’ Soekarno yang memang selalu menempatkan diri di barisan depan gerakan anti neo kolonialisme dan neo imperialisme, untuk kembali berada di garis depan dan lebih ‘dalam’ melawan Barat. Kendati mulai bersuara keras terhadap rencana Federasi Malaysia, dan juga terhadap Tunku Abdul Rahman, toh Soekarno masih ada kesediaan menuju meja perundingan di tahun 1963 itu, setidaknya sampai Agustus 1963.

PKI dan Soebandrio betul-betul memanfaatkan gerakan kiri Azahari yang menginginkan mengenyahkan Inggeris. PKI menyampaikan retorika, bahwa gerakan Azahari adalah gerakan rakyat untuk mengusir kaum kolonial dari tanah air mereka, maka harus didukung oleh semua kaum revolusioner yang anti kolonialisme dan imperialisme. Sementara itu di bawah permukaan, PKI dengan kuat mensupport Soebandrio yang mengerahkan BPI untuk menjalankan sejumlah operasi intelejen. PKI dan Soebandrio ‘menampung’ sejumlah pelarian yang melintas perbatasan ke wilayah Indonesia karena menghindari penangkapan setelah gagalnya gerakan Azahari. Pelarian-pelarian ini umumnya adalah dari etnis Cina yang berideologi komunis. Di Serawak terdapat hampir 300 ribu etnis Cina dari sekitar 800 ribuan penduduk, sedang di Sabah ada kurang lebih 100-150 ribu etnis Cina di antara sekitar 500 ribuan penduduk. Kebanyakan dari mereka adalah anggota partai dan organisasi-organisasi politik komunis, serta amat militan.

Atas ‘perintah’ Soebandrio, BPI merekrut puluhan dari pelarian militan ini, lalu diam-diam membawa mereka ke Jawa dan memberi mereka latihan militer yang cukup keras dibawah instruktur-instruktur combatan dari unsur Angkatan Kepolisian di Bogor. Hal ini tak sulit dilakukan karena Kepala BPI adalah seorang perwira kepolisian, yakni Brigadir Jenderal Soetarto. Mereka yang telah dilatih di Bogor ini, dikembalikan ke perbatasan Serawak, dan melatih lagi puluhan lainnya pelarian, termasuk sejumlah wanita, sebagai gerilyawan dengan kemampuan militer. Mereka inilah yang kemudian merupakan cikal bakal PGRS (Pasukan Gerilya Rakyat Serawak) yang mulai bergerak kembali ke Serawak dan menjalankan aksi gerilya sejak pertengahan 1963.

Kisah Abang Kifli, Operasi A dan ‘Operasi Babu-babu’. Soebandrio juga memberi dorongan dan kesempatan kepada Azahari dan pengikut-pengikutnya membentuk Kabinet Kalimantan Utara dalam ‘pengasingan’ di wilayah Indonesia. Seluruh anggota kabinet itu adalah golongan kiri di Kalimantan Utara. Tetapi ada seorang di antaranya, yang diangkat sebagai Menteri Pertahanan, bernama Abang Kifli, ternyata tidak berideologi kiri. Ia ini pernah bermukim sebagai ‘imigran’ di Indonesia dan bahkan bekerja untuk pemerintah Indonesia di Departemen Agama. Ia memiliki hubungan baik dengan Abdul Harris Nasution, jenderal yang mempunyai sejarah hubungan buruk dengan Soebandrio dan dianggap oleh yang disebut belakangan ini sebagai ‘musuh’ politiknya.

Mengetahui latarbelakang Abang Kifli yang sempat dinobatkan dengan pangkat ‘Letnan Jenderal’ selaku Menteri Pertahanan, Soebandrio ‘memerintahkan’ BPI agar membawa Kifli ke perbatasan untuk ikut suatu operasi penyusupan –Operasi A– ke wilayah Kalimantan Utara. Namun dengan alasan ada tugas penting di Jakarta ia kembali ke ibukota negara. Ia dianggap melakukan desersi dan segera dicopot dari Kabinet Kalimantan Utara, lalu ditahan beberapa bulan sampai dilepaskan kembali. Tampaknya, Jenderal AH Nasution berperan membantunya keluar dari penahanan.

Tak lama setelah lepas dari penahanan, ia dengan segera ke Kedutaan Besar Pilipina di Jalan Diponegoro-Imam Bonjol untuk meminta suaka. Dr Subandrio memerintahkan BPI menjerat kembali Kifli yang sebenarnya aman dalam pagar kekebalan diplomatik Kedutaan Besar Pilipina. Beberapa intel polisi ‘dikerahkan’ Kepala BPI Sutarto yang adalah seorang perwira kepolisian, melakukan operasi illegal memasuki kedutaan yang terdiri dari dua gedung dalam satu kompleks, satu digunakan sebagai kantor dan yang lainnya menjadi kediaman anggota kedutaan. Sepanjang hari, karena dua fungsi itu, praktis kedutaan terawasi selama 24 jam. Tetapi agaknya ada peluang pada setiap Minggu petang, yakni ketika para wanita pembantu rumah tangga dan beberapa pegawai diperbolehkan keluar kompleks untuk berbelanja makanan maupun sekedar ngobrol di tikungan dekat kedutaan. Pada peluang waktu yang sempit itu, dengan menggunakan kait para intel polisi suruhan BPI itu memanjat disamping gedung ke lantai dua, lalu dari sana turun ke lantai satu dan menemukan Abang Kifli sedang berbaring-baring di salah satu kamar. Selain membawa serta Kifli, mereka pun menyambar sebuah radio dan beberapa barang kecil lainnya untuk menimbulkan kesan pencurian. Kelak dalam laporan pihak kedutaan di kepolisian memang disebutkan motif pencurian. Karena operasi ‘penculikan’ Kifli ini memanfaatkan peluang yang tercipta oleh para wanita pembantu rumah tangga yang meninggalkan ‘pos’ mereka, maka operasi ini diberi nama ‘Operasi Babu-babu’. Abang Kifli lalu disekap sampai berakhirnya konfrontasi pada masa kekuasaan baru di Indonesia.

Operasi A adalah operasi penyusupan ke wilayah semenanjung maupun Kalimantan Utara. Operasi ini meniru yang pernah dilakukan pada masa Trikora pembebasan Irian Barat. Dalam mempersiapkan operasi ini, dengan bantuan PKI, sejumlah anggota organisasi kiri di Malaya dan Singapura, diberi isyarat untuk masuk ke Indonesia. Mereka datang dengan penerbangan-penerbangan komersial ke Jakarta dan disambut oleh beberapa perwira polisi dan anggota BPI untuk dibawa keluar Bandar Udara Kemayoran tanpa melalui pintu imigrasi. Mereka ditampung di sebuah tempat di Jakarta Timur bersama ratusan sukarelawan yang berasal dari berbagai tempat di Indonesia. Selanjutnya mereka diangkut ke tempat pelatihan paramiliter, di Sekolah Kepolisian Sukabumi. Dilatih oleh instruktur-instruktur polisi dibawah selubung program pelatihan sukarelawan, yang sudah lazim dilakukan sejak masa Trikora. Pelatihan yang berlangsung sampai Juli 1963 itu, meliputi latihan yang ekstra khusus seperti pendidikan intelejen dan kontra intelejen, perang urat syaraf dan sabotase.

Pada bulan Juli itu juga, tampaknya apa yang dilakukan BPI itu sejak pelatihan untuk PGRS sampai upaya persiapan Operasi A ini, telah tercium oleh Inggeris dan Malaya. Tanggal 9 Juli Tunku Abdul Rahman menandatangani persetujuan pembentukan Federasi Malaysia. Dan adalah pula karena perkembangan baru tersebut pada bulan Juli itu persiapan Operasi A makin dimatangkan. Ke dalam operasi ini dimasukkan unsur-unsur KKO (Marinir) yang pimpinannya dikenal sebagai Soekarnois sejati. Begitu pula unsur-unsur Angkatan Kepolisian dan Angkatan Udara, yang beberapa pimpinannya juga amat Soekarnois dan mempunyai aspirasi ‘politik’ yang condong ke kiri, diikutkan dalam persiapan operasi. Jumlah yang dikerahkan dari tiga kelompok militer ini mencapai ratusan orang. Tetapi sepanjang tahun 1963 hingga pertengahan 1964, operasi ini belum juga dilaksanakan. Barulah kurang lebih 3 bulan setelah Soekarno mencanangkan Dwikora, rombongan pertama coba disusupkan dari laut ke daratan Malaysia (Agustus 1964) namun mereka dipergoki oleh patroli udara Inggeris dan dibombardir sampai tenggelam. 20 orang tewas. Setelah kegagalan ini, BPI meninggalkan program ini.

Tugas-tugas kemiliteran selanjutnya secara resmi dilaksanakan Komando Siaga (KOGA) yang dibentuk dalam rangka Dwikora, dipimpin oleh Menteri Panglima AU Laksamana Madya Omar Dhani. Wakil Panglima I adalah Menteri Panglima AL Laksamana Muda Muljadi dan wakil Panglima II Brigadir Jenderal AD Achmad Wiranatakusumah. Sebagai Kepala Staf, diangkat Komodor Leo Wattimena, seorang penerbang Mig yang handal dan tersohor ke publik sebagai penerbang jagoan karena nekad bermanuver di udara. Komando Siaga ini dalam tempo tiga bulan ditingkatkan menjadi Komando Mandala Siaga (Kolaga)  dan dirombak susunannya karena suatu alasan internal. Panglima Kostrad Mayor Jenderal Soeharto dimasukkan ke dalam Kolaga sebagai Wakil Panglima I, sedangkan Laksamana Muda Laut Muljadi pindah menjadi Wakil Panglima II. Panglima Kolaga, tetap Laksamana Madya Udara Omar Dhani, dan Kepala Staf pun tetap dijabat Leo Wattimena yang telah naik pangkat menjadi Perwira Tinggi, Laksamana Muda Udara. Ditambahkan pula jabatan Wakil Kepala Staf, yakni Brigadir Jenderal AD A. Satari. Cukup menarik bahwa Menteri Panglima AD tidak duduk dalam Kolaga sebagaimana halnya Panglima dari dua angkatan yang lain.

Kisah Sarwo Edhie Wibowo. Masalah yang dihadapi oleh Angkatan Darat, tidak semata-mata penyusupan dari kekuatan politik, khususnya dari PKI, serta dilema terkait masalah Dwikora. Belakangan muncul pula tudingan adanya hubungan CIA dengan AD terkait ‘Dokumen Gilchrist’ –melalui istilah ‘our local army friends’– serta tudingan adanya ‘Dewan Djenderal’ yang berniat mengambilalih kekuasaan dari tangan Soekarno. Masalah lainnya, persoalan Angkatan Kelima. Banyak persoalan dan dilema juga timbul dalam rangka persaingan pribadi yang terkait dengan masalah karir, perbedaan kepentingan, perbedaan pendapat maupun sikap-sikap kritis terhadap sikap dan perilaku kepemimpinan satu sama lain. Masalah CTN yang kemudian menjadi alasan ketidakpuasan Kolonel Kahar Muzakkar sehingga kemudian membelot dan berontak misalnya, merupakan salah satu contoh. Contoh lain, adalah berikut ini.

Pada akhir tahun 1964, terjadi sedikit masalah di tubuh pasukan elite AD, RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat). Seorang Mayor bernama Benny Moerdani mengeritik secara terbuka atasannya, Komandan RPKAD Kolonel Mung Parhadimuljo, dalam suatu pertemuan, terkait soal ketidakefisienan penggunaan dana dan sumberdaya, Kolonel Mung, meskipun cukup kesal terhadap serangan terbuka Benny – yang oleh beberapa perwira lain dianggap pembangkangan kepada atasan – tidak sampai mengambil tindakan apa pun terhadap Benny. Maka, tampaknya persoalan tersebut takkan berkembang dan merembet lebih jauh. Itulah sebabnya, setelah pertemuan itu, Benny sempat melanjutkan rencana pribadinya keluar Jakarta untuk melaksanakan bulan madu dengan isteri yang baru dinikahinya. Akan tetapi, Letnan Kolonel Sarwo Edhie Wibowo, wakil komandan pasukan elite Angkatan Darat tersebut, merasa perlu untuk menyampaikan persoalan tersebut kepada Menteri/Panglima AD Letnan Jenderal Ahmad Yani.

Panglima AD ini tak terlalu terkejut dengan laporan Sarwo, karena secara pribadi Benny yang menjadi salah seorang perwira tulang punggung operasi di Irian Barat, pernah menyampaikan keluhannya mengenai Kolonel Mung ini. Penyampaian Sarwo menjadi konfirmasi tambahan baginya.  Bulan Januari 1965, Yani melakukan serangkaian perubahan dengan caranya sendiri. Kolonel Mung mendapat tugas baru sebagai Panglima Daerah Militer di Kalimantan Timur, salah satu garis depan ke wilayah Malaysia dalam rangka Dwikora. Benny Murdani, sempat diskors oleh Sarwo Edhie. Dalam masa skors ini Benny bertemu Letnan Kolonel Ali Moertopo yang bertugas di Komando Strategis Angkatan Darat di bawah Panglima Kostrad Mayor Jenderal Soeharto. Ali menanyakan kepada Benny, “tugas di mana sekarang ?”. Benny lalu menceritakan nasibnya yang sedang di ujung tanduk. Dan akhirnya dengan bantuan Ali Moertopo, Benny berhasil dialihkan ke Kostrad, dan bertugas di bawah komando Panglima Kostrad. Benny Murdani sebelumnya pernah bertugas di bawah Soeharto dalam rangka operasi Mandala, karena Soeharto adalah Panglima Mandala untuk pembebasan Irian Barat.

Kekosongan di RPKAD setelah Mung dialihkan, diisi oleh Letnan Jenderal Ahmad Yani dengan mengangkat Letnan Kolonel Sarwo Edhie sebagai komandan baru – lebih tepatnya sebagai pelaksana harian – dengan kenaikan pangkat menjadi Kolonel. Sebenarnya pengangkatan Sarwo Edhie ini tidak terlalu menggembirakan bagi sejumlah perwira AD terutama di lingkungan RPKAD sendiri. Ada penilaian bahwa Yani sedikit nepotik dalam pengangkatan Sarwo yang amat dekat secara pribadi. Menurut kriteria tak tertulis yang berlaku selama ini, seorang Komandan RPKAD haruslah dari kalangan perwira yang telah menjalani latihan-latihan komando, baik di pusat latihan Batujajar dekat Bandung maupun pelatihan setara di luar negeri. Pendidikan luar negeri yang pernah dijalani Sarwo tidak berkategori pelatihan sekolah komando, ia adalah siswa pada pendidikan staf (staff college) militer di Australia. Untuk mendampingi Sarwo, sebagai wakil diangkat Letnan Kolonel Prijo Pranoto yang pernah mengenyam pendidikan ranger di Fort Benning (1960) AS. Sebelumnya Prijo Pranoto adalah komandan pusat pelatihan RPKAD di Batujajar. Maka banyak yang berharap bahwa Sarwo Edhie hanya akan menjadi komandan masa transisi untuk beberapa lama, sebelum Yani mengangkat perwira lain yang lebih sesuai kualifikasinya. Meskipun banyak ‘complain’ disampaikan kepada Ahmad Yani melalui berbagai cara, Panglima AD ini tetap mempertahankan keputusannya mengenai Sarwo Edhie, tanpa pernah memberi penjelasan apapun.

Namun sejarah mencatat bahwa pengangkatan Sarwo Edhie Wibowo oleh Letnan Jenderal Ahmad Yani menjadi pimpinan RPKAD kelak ternyata menjadi semacam suatu rahmat terselubung, sebagaimana yang terjadi 1 Oktober di tahun 1965 itu juga. Kolonel Sarwo Edhie ternyata menjadi pemain bintang dalam menghadapi Peristiwa Gerakan 30 September 1965. Suatu ‘ketidakmujuran’ bagi PKI dan Aidit. Seakan Yani memiliki suatu visi yang khas tatkala memilih Sarwo. Tapi malang, Yani sendiri adalah salah satu jenderal yang menjadi korban pembunuhan dan penculikan G30S pada Jumat malam 30 September menuju 1 Oktober 1965.

Pengangkatan Kolonel Sarwo sebagai pelaksana harian Komandan RPKAD oleh Letnan Jenderal Ahmad Yani, belakangan mendapat pengukuhan baru dari Jenderal Soeharto tatkala menduduki posisi selaku Menteri Panglima AD sesudah berlalunya peristiwa berdarah itu.  Kolonel Sarwo Edhie Wibowo adalah bagaikan anak panah yang muncul dari balik tabir blessing in disguise dalam satu momentum sejarah bagi Jenderal Soeharto. Selesai.

-Pemaparan ulang dari bagian buku Rum Aly, Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966, Kata Hasta Pustaka, 2006.

Jenderal Ahmad Yani: Dilema ‘Politician in Uniform’ (2)

“Soekarno dan Hatta tidak senang dan mencurigai saya. Bahkan saya akan dihancurkan”. Dan “kalau saya akan dihancurkan, saya akan melawan”.

Namun yang paling ‘mengganggu’ ibarat duri dalam daging bagi Angkatan Darat, adalah penyusupan dalam bentuk ‘pembinaan’ terhadap sejumlah perwira oleh PKI sejak awal dari waktu ke waktu, dan makin meningkat setelah tugas itu diambilalih oleh Biro Khusus yang dipimpin Sjam Kamaruzzaman dan Pono. Dalam penanganan Biro Khusus, penggarapan menjadi lebih sistematis dan efektif karena menyangkut perwira-perwira yang menempati jabatan strategis atau perwira-perwira potensil yang kemudian berhasil menempati posisi-posisi strategis. Perwira-perwira yang kecewa karena rivalitas internal juga menjadi salah satu sasaran pembinaan. Beberapa perwira yang mempunyai kedekatan dengan PKI bisa dikenali dan senantiasa diawasi gerak-geriknya oleh Angkatan Darat, tapi tentu saja tak bisa diapa-apakan, kecuali mereka melakukan pelanggaran. Akan tetapi yang tidak diketahui pimpinan Angkatan Darat adalah jauh lebih banyak lagi. Beberapa panglima daerah militer tercatat amat dekat dengan PKI, semisal Panglima Mulawarman Brigjen Suharyo dan Brigjen Soepardjo. Letnan Kolonel Untung yang kemudian ditempatkan sebagai salah satu komandan batalion Tjakrawibawa adalah contoh lainnya lagi.

Di wilayah Komando Daerah Militer Diponegoro, Jawa Tengah, sekitar 1964-1965 terpetakan pengaruh PKI yang begitu kuatnya, dari kurang lebih 40-an Komando Distrik Militer (Kodim) ada kurang lebih 30 di antaranya dipegang oleh perwira-perwira yang berhaluan komunis. Situasi seperti ini tentu saja amat ironis, karena pada masa SOB dengan kewenangan yang dimilikinya pimpinan Angkatan Darat memaksudkan Kodim-kodim ini serta satuan-satuan teritorial yang lebih kecil, yakni Komando Rayon Militer (Koramil) yang dibentuk di bawahnya, adalah justru antara lain untuk melakukan pengendalian dan pembatasan –dalam arti sebenarnya– gerak langkah PKI di daerah-daerah.

Penggarapan yang cukup fenomenal dan sempat mencengangkan kelak di kemudian hari adalah yang terjadi atas perwira-perwira Siliwangi, divisi yang di tahun 1948 bertugas memadamkan pemberontakan PKI di Madiun. Mulai dari Mayjen Rukman, Brigjen Somali sampai kepada Kolonel Djukardi yang menempati jabatan Walikota Bandung hingga tahun 1968, yang secara keseluruhan mencapai puluhan perwira dari berbagai tingkat, ternyata berhasil dirangkul dan masuk ke dalam wilayah pengaruh PKI. Setelah Peristiwa 19 Agustus 1966 –penyerbuan Konsulat KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) Jalan Lembong Bandung– misalnya, Siliwangi melakukan pembersihan sejumlah perwira yang terlibat pada peristiwa tersebut yang mengambil korban nyawa mahasiswa Universitas Parahyangan, Julius Usman. Perwira-perwira yang ada kaitan dengan PKI itu antara lain Wakil Komandan Kodim Bandung Mayor A. Santoso, Kepala Staf I/Intelejen Kodim Bandung Kapten Sunarto, Kepala Staf II Kapten Oking dan Komandan Likdam VI Siliwangi Mayor Lili Buchori. Sementara itu, di Kodam Brawijaya Jawa Timur, terdapat sejumlah batalion yang sepenuhnya dikuasai oleh perwira-perwira berhaluan komunis.

Secara nasional, pada periode 1960-an hingga 1965, Letnan Jenderal Ahmad Yani dan lingkaran pimpinan Angkatan Darat yang ada di sekitarnya, sesungguhnya tak bisa lagi memetakan dengan jelas panglima-panglima daerah militer mana saja yang benar-benar ada dalam kendali komandonya, kalau bukan sudah dipengaruhi dan condong secara ‘politis’ kepada PKI, setidaknya jauh lebih patuh kepada Soekarno. Yani yang pada dasarnya adalah Soekarnois, sebenarnya tidaklah terlalu berkeberatan dengan orientasi sejumlah perwira kepada Soekarno. Akan tetapi, Yani tidak begitu menyenangi gaya akrobatik sejumlah ‘kolega’nya yang ‘tembak langsung’ ke Soekarno untuk masalah-masalah yang semestinya ditangani melalui Yani berdasarkan kewenangannya selaku Panglima Angkatan Darat. Terlebih bila itu semua mengandung unsur intrik dan konotasi saling menjegal. Fenomena adanya sejumlah perwira teras yang berada dalam wilayah abu-abu dan atau zona oportunistik seperti itu, sungguh tak menyenangkan Yani.

De beste zonen van Soekarno. Terdapat pula sejumlah perwira tinggi Angkatan Darat yang dikenal sebagai de beste zonen van Soekarno, putera-putera kesayangan Soekarno, yang belum tentu komunis, bahkan ada diantaranya yang amat anti komunis, namun akan lebih patuh kepada Soekarno sebagai Panglima Tertinggi ABRI daripada siapa pun dalam struktur kepemimpinan Angkatan Bersenjata. Tapi dalam batas tertentu ini dianggap ‘wajar’ saja, karena Soekarno memang adalah Pangti. Perwira-perwira tinggi yang masuk kategori de beste zonen ini, namun kemudian berperanan dalam proses perubahan kemudian hari pada masa pasca Soekarno, antara lain adalah Letnan Jenderal Muhammad Jusuf, Letnan Jenderal Basuki Rahmat, Mayor Jenderal Amirmahmud, Mayor Jenderal Ibrahim Adjie dan Mayor Jenderal Mashudi.

Jenderal Jusuf dikenal sebagai salah satu tokoh Peristiwa Tiga Selatan. Ketika masih menjadi Panglima Daerah Militer di Sulawesi Selatan di tahun 1960, berpangkat Kolonel, ia dengan wewenang SOB-nya melakukan pelarangan kegiatan PKI di wilayah komandonya. Dua komando wilayah militer Selatan lainnya, yakni Kalimantan Selatan di bawah Kolonel Jusi dan Sumatera Selatan di bawah Kolonel Harun Sohar melakukan tindakan serupa. Dalam suatu momentum peristiwa lainnya, tahun 1965, Soekarno pernah akan menjadikan Brigjen M. Jusuf sebagai Waperdam IV bidang ekonomi. Letnan Jenderal Yani menyatakan ketidaksetujuannya kepada Soekarno, dengan alasan yang bersangkutan masih muda dan tak cukup punya pengalaman politik. Jusuf sendiri, digambarkan cukup kaget, namun tak diketahui bagaimana apresiasinya terhadap ketidaksetujuan Yani itu. Sikap keras militer terhadap PKI itu masih serentetan dengan penangkapan tokoh tingkat pusat dari PKI, Ir Sakirman, sebulan sebelumnya oleh Garnisun Ibukota, justru karena suatu kritik terhadap Demokrasi Terpimpin. Bersama Sakirman, sejumlah tokoh CC PKI lainnya juga diperiksa, sementara Harian Rakjat milik PKI diberangus penguasa militer. Salah satu tindakan keras militer yang lebih mutakhir, di bulan Mei tahun 1965, dilakukan oleh Panglima Daerah Militer Mulawarman di Kalimantan Timur, Brigadir Jenderal Soemitro, berupa penangkapan terhadap sejumlah tokoh organisasi Komunis dari Pemuda Rakyat maupun Gerwani, karena ucapan-ucapan provokatifnya terhadap Angkatan Darat. Pada waktu bersamaan Soemitro juga memecat seorang Komandan Kodim dan Komandan Batalion serta beberapa perwira staf yang dianggapnya punya hubungan dengan PKI. Di luar Angkatan Darat, tercatat pula beberapa nama, antara lain Laksamana Madya Udara Omar Dhani dan Letnan Jenderal Hartono dari Korps Komando AL (KKO) sebagai de beste zonen van Soekarno yang umumnya lebih toleran untuk tidak menyebutnya dekat dengan golongan politik komunis.

Dari sisi sebaliknya, bukannya tak ada upaya penyusupan militer ke dalam tubuh PKI dan organisasi mantelnya. Jenderal Nasution misalnya, pernah menugaskan beberapa perwira melakukan tugas ‘pendekatan’ agar ‘masuk’ lingkaran kepercayaan PKI. Pimpinan Angkatan Darat juga melakukan hal serupa. Umumnya, penugasan dilakukan secara lisan tanpa dokumen tertulis demi kerahasiaan. Sungguh malang, bahwa di kemudian hari setelah angin kekuasaan berubah, perwira-perwira penyusup ini ikut ditangkap karena ‘kasat mata’ memiliki jalinan kedekatan dengan PKI. Hanya sedikit di antara mereka, yaitu mereka yang ditugaskan Nasution, dapat diselamatkan dari pembersihan. Tidak demikian halnya dengan yang kebetulan mendapat penugasan menyusup dari pimpinan Angkatan Darat yang kemudian tewas dalam Peristiwa 30 September 1965.

Kemampuan PKI menginfiltrasi militer, teristimewa Angkatan Darat, memang terlihat masih sejak awal kemerdekaan. Tatkala melakukan pemberontakan di tahun 1948, PKI di bawah Muso bisa mengerahkan dukungan kuat pasukan bersenjata dari kalangan Angkatan Darat melalui perwira-perwira yang bisa dipengaruhi mereka, seperti Kolonel Sungkono yang diangkat PKI sebagai Gubernur Militer, Letnan Kolonel Dahlan dan Mayor Sudigdo. Perwira-perwira ini mengerahkan sebagian batalion-batalion dari Resimen Panembahan Senopati. Mayor Slamet Riyadi –yang kemudian hari gugur dalam operasi penumpasan RMS di Ambon– adalah salah satu komandan batalion di Panembahan Senopati ini, namun tak ikut serta dalam peristiwa. Komandan resimen ini sendiri, Kolonel Suadi, tampil dengan suatu peran abu-abu dalam rangkaian Peristiwa Madiun ini. Bahkan Letnan Kolonel Soeharto yang kala itu bertugas di Yogyakarta sempat dipertanyakan ‘peranan’nya karena diketahui, dengan diantar Kolonel Suadi, pernah menemui Muso menjelang peristiwa. Soal ini kemudian diklarifikasi, bahwa Soeharto menemui Kolonel Suadi untuk menyampaikan pesan Panglima Soedirman agar pasukan Panembahan Senopati tidak terpengaruh oleh PKI/FDR (Front Demokrasi Rakyat), dan Suadi lah yang membawanya kepada Muso supaya bisa tahu duduk perkara lebih jauh. Kepada Soeharto, Muso menyatakan kekecewaannya terhadap Soekarno dan Hatta yang mau berunding dengan Belanda. “Ada perbedaan cara dalam perjuangan”, ujar Muso,“ pokoknya, saya tidak percaya Belanda dan akan terus melawan Belanda”. Tapi karena perbedaan itu, “Soekarno dan Hatta tidak senang dan mencurigai saya. Bahkan saya akan dihancurkan”. Dan Muso menegaskan, “kalau saya akan dihancurkan, saya akan melawan” Dengan ini, Muso mencoba menerangkan bahwa perlawanannya bukanlah semata-mata karena masalah ideologi.

Muso ini mengalami akhir yang tragis setelah Peristiwa Madiun. Ia dikejar-kejar oleh massa rakyat, terutama yang diorganisir oleh Masjumi, tertangkap dan kemudian dibunuh begitu saja oleh massa yang marah. Beberapa tokoh pemberontakan lainnya, tertangkap oleh pasukan militer dan kemudian dijatuhi hukuman mati dan dieksekusi secara resmi oleh pihak militer.

Jakarta-Kuala Lumpur: Operasi Bawah Tanah. SETELAH perjuangan Trikora membebaskan Irian Barat, setidaknya ada dua ‘peristiwa politik’ yang cukup memojokkan Letnan Jenderal Ahmad Yani selaku pimpinan Angkatan Darat maupun Jenderal AH Nasution yang memimpin berbagai versi Departemen Pertahanan Keamanan pada 5 kabinet Soekarno antara Juli 1959 hingga 1966, yakni Operasi Dwikora (Dwi Komando Rakyat) yang dicanangkan Soekarno 3 Mei 1964 dan manuver PKI yang melontarkan gagasan Angkatan Kelima Januari 1965.

Operasi Dwikora adalah operasi yang dimaksudkan sebagai konfrontasi terhadap Malaysia, sebuah negara federasi yang didirikan 16 September 1963, mencakup Malaya (Persekutuan Tanah Melayu) yang terletak di Semenanjung dan Singapura yang adalah sebuah pulau di sebelah Selatannya serta Sabah dan Serawak yang terletak di Kalimantan Bagian Utara. Semula, Brunai juga akan bergabung, namun batal dan kemudian hari menjadi Kesultanan Brunai Darussalam yang merdeka dan berdiri sendiri. Pada waktu itu, Sabah, Serawak dan Brunai masih merupakan koloni Inggeris. Gagasan pembentukan Federasi Malaysia adalah bagian dari rencana Inggeris memenuhi permintaan memerdekakan ketiga wilayah yang terletak di bagian Utara Kalimantan tersebut. Namun Inggeris mensyaratkan agar bekas koloninya itu setelah bergabung dalam Federasi Malaysia tetap menjadi anggota Negara-negara Persemakmuran, dan dengan demikian berada dalam payung perlindungan ekonomi dan keamanan dari Inggeris. Satu dan lain hal, ini semua masih terkait dengan suasana Perang Dingin antara blok Barat dengan blok Timur kala itu. Soekarno melontarkan tuduhan bahwa federasi itu adalah bentukan Inggeris dan tak lain merupakan proyek Nekolim (Neo Kolonialisme). Hanya selang sehari setelah pengumuman pembentukan Federasi Malaysia, massa yang dipelopori kelompok politik kiri –namun diikuti pula oleh kelompok politik yang tak berpendirian jelas dan opportunistik, meskipun tidak merupakan barisan PKI dan onderbouwnya– melakukan demonstrasi besar-besaran ke Kedutaan Besar Inggeris dan Persekutuan Tanah Melayu. Kedutaan Besar Inggeris dirusak dan dibakar. Bersamaan dengan itu, Departemen Luar Negeri yang dipimpin Dr Soebandrio mengumumkan pemutusan hubungan diplomatik dengan Kuala Lumpur (Persekutuan Tanah Melayu).

Soebandrio yang juga membawahi BPI (Badan Pusat Intelejen) adalah pendorong utama bagi Soekarno dalam konfrontasi terhadap Malaysia. Beberapa kegiatan ‘bawah tanah’ yang dijalankannya dengan kelompok politik kiri Indonesia dan kaum komunis di Malaya, Singapura, Brunai dan Serawak maupun Sabah, telah menutup peluang tercapainya suatu hasil ‘damai’ jangka panjang melalui diplomasi. Padahal suatu pembicaraan mengenai rencana Federasi Malaysia telah dilakukan oleh Presiden Soekarno dengan Perdana Menteri Persekutuan Tanah Melayu (PTM) Tunku Abdul Rahman di Tokyo 31 Mei – 1Juni 1963 dan sebenarnya sempat menciptakan peredaan ketegangan. Pertemuan di Tokyo itu disusul pertemuan segitiga tingkat Menteri Luar Negeri antara Jakarta, Kuala Lumpur dan Manila (yang berkepentingan ada penyelesaian ‘damai’ karena mempunyai klaim terhadap Sabah) yang mencari solusi mengenai rencana Federasi Malaysia tersebut pada 7-11 Juni 1963 di Manila. Manuver Soebandrio, berupa operasi intelejen dan sejumlah operasi bawah tanah lainnya yang dijalankan sejak awal 1963, tinggal menunggu waktu untuk menjadi batu sandungan, begitu manuver-manuver dan operasi intelejen itu yang mengarah sebagai subversi menurut sudut pandang Malaya, terungkap ke permukaan.

Ketika manuver-manuver Soebandrio tetap melanjut selama sebulan berikutnya, dan tercium, Tunku Abdur Rahman ‘membalas’ dalam bentuk tindakan menandatangani perjanjian awal dengan Inggeris di London tentang pembentukan Federasi Malaysia yang akan dilaksana 31 Agustus 1963. Tindakan Tunku ini memicu kemarahan Soekarno yang baru saja di awal Juni berunding dengan pemimpin Malaya itu, “Saya telah dikentuti”, ujar Soekarno ketus tanpa menggunakan lagi istilah yang lebih ‘halus’. Tetapi rencana KTT (Konferensi Tingkat Tinggi) tiga negara di Manila tetap dilangsungkan pada bulan Juli-Agustus dan berhasil menetapkan sejumlah kesepakatan serta berhasil mengajak Sekertaris Jenderal PBB U-Thant menjadi penengah dan membentuk tim pengumpul pendapat mengenai aspirasi rakyat wilayah itu mengenai gagasan Federasi Malaysia. Tim ini dipimpin oleh seorang diplomat Amerika Serikat yang belum berhasil merampungkan tugasnya tatkala pembentukan Federasi Malaysia diumumkan pertengahan September 1963. Bahkan pada tahun 1964 setelah Soekarno mencanangkan Dwikora, perundingan tingkat tinggi tiga negara tetap dicoba dilaksanakan namun tanpa hasil.

Cukup menarik untuk mengetahui bahwa bahkan Soebandrio pun pada mulanya sebenarnya tidak bersikap memusuhi tatkala gagasan pembentukan Federasi Malaysia dicetuskan. Pemimpin-pemimpin Malaya dan Inggeris menyampaikan proposal mengenai Malaysia itu 27 Mei 1961. Baik Soekarno maupun Soebandrio masih menunjukkan sikap tidak keberatan terhadap konsep Federasi Malaysia, dan jelas jauh lebih memperhatikan masalah Irian Barat yang masih sedang dihadapi. Sikap ‘baik’ ini bertahan hingga setahun lebih. Dalam suatu pernyataannya di Jakarta, Oktober 1962, Soebandrio malah mengatakan bahwa Indonesia samasekali tidak punya masalah dan klaim terhadap wilayah-wilayah di Utara Kalimantan itu. Sabah dan Serawak memiliki garis perbatasan dengan wilayah Kalimantan Indonesia yang membentang berlekak-liku dari Timur Laut menuju Barat Daya, sepanjang kurang lebih 1780 kilometer dan memiliki ‘bersama’ Pegunungan Iban dan Pegunungan Kapuas. Akan tetapi semua ini berubah dalam sekejap dua bulan kemudian.

Menjelang akhir 1962, seorang tokoh politik beraliran kiri dari Brunai, AM Azahari Bin Sjech Mahmud –yang pernah menjadi Kapten Angkatan Darat Indonesia di masa lampau dan pernah ikut dalam revolusi kemerdekaan– mencoba mengobarkan perlawanan terhadap Inggeris, namun dipatahkan. Tadinya, Partai Rakyat Brunai pimpinan Azahari berhasil memenangkan pemilihan umum pertama tahun 1962 di Kesultanan Brunai ini dengan merebut 16 kursi perwakilan, dan sudah bersiap-siap menyusun pemerintahan baru. Akan tetapi Sultan Brunai Sir Omar Ali Syaifuddin menolak meresmikan parlemen lalu membatalkan hasil pemilihan umum, karena mendengar bahwa sang pemenang pemilihan umum merencanakan akan menghapuskan kesultanan. Terjadilah pemberontakan yang berhasil dipadamkan dengan bantuan militer Inggeris. PKI yang mempunyai solidaritas kuat terhadap gerakan kiri itu, berhasil menjalin suatu ‘persamaan’ bawah permukaan dengan Soebandrio untuk mengorganisir dukungan bagi Azahari dan kawan-kawan. Sebenarnya, Azahari pun sempat meminta dukungan Jenderal Nasution, namun supportasi yang bisa diberikan Nasution agak terbatas. Salah satu dukungan Nasution adalah berupa pengiriman tiga instruktur, perwira muda dari RPKAD, untuk melatih pasukan Azahari di perbatasan.

Belakangan terlihat bahwa Soebandrio lah yang lebih antusias dan memberikan dukungan yang lebih besar. Awal 1963, mendadak Soebandrio gencar memberi masukan dan dorongan kepada Soekarno untuk menjalankan politik konfrontasi terhadap rencana pembentukan Federasi Malaysia tersebut. Menurut beberapa analisis, terdapat sejumlah alasan mengapa suatu politik konfrontasi ‘perlu’ dijalankan terhadap Malaysia. Bagi PKI, tentunya gerakan kiri Azahari itu memang merupakan ‘keharusan’ untuk didukung, namun yang lebih penting lagi perlu pengalihan perhatian terhadap keberhasilan militer –khususnya Angkatan Darat dan para jenderal– menjalankan fungsi tekanan kekuatan militer dalam penyelesaian masalah Irian Barat. Soebandrio mempunyai kepentingan yang sama, selain ia banyak bersilang jalan dan kepentingan dengan para jenderal AD selama operasi Trikora berlangsung, juga karena upayanya untuk membentuk opini bahwa penyelesaian Irian Barat adalah terutama hasil diplomasi luar negeri telah gagal. Bila tergalang solidaritas dan terjadi konfrontasi terbuka terhadap rencana Federasi Malaysia, akan tercipta momentum politik bagi PKI, sekaligus terciptanya situasi fait accompli bagi militer, khususnya Angkatan Darat yang melihat tak adanya alasan spesifik –seperti halnya dengan masalah Irian Barat– dan masuk akal untuk suatu konfrontasi dengan tetangga serumpun itu dan Inggeris.

Berlanjut ke Bagian 3

Perspektif Sejarah dan Sudut Pandang Baru Mengenai Kekuasaan

-Rum Aly. Tulisan dari rangkaian catatan tentang problematika Socio-Politica Indonesia, menjelang 64 Tahun Indonesia Merdeka.

 

SETIDAKNYA ada empat kurun waktu kekuasaan negara yang ‘penting’ telah dilalui dan dijalani bangsa Indonesia setelah masa transisi kemerdekaan, khususnya antara tahun 1955 hingga 2006. Kurun waktu yang pertama, adalah masa demokrasi parlementer yang liberal setelah Pemilihan Umum 1955. Kedua, masa demokrasi terpimpin di bawah kekuasaan otoriter sipil Soekarno yang didukung oleh kekuatan partai Nasakom dan militer. Ketiga, masa demokrasi Pancasila di bawah kekuasaan otoriter militer Soeharto yang didukung oleh struktur politik Orde Baru dengan tiga partai. Keempat, masa reformasi yang diawali beberapa pemerintahan yang bernuansa transisional sebelum akhirnya menampilkan pemerintahan baru hasil pemilihan umum presiden secara langsung.

Pada masa Demokrasi Terpimpin di bawah Soekarno dan masa Demokrasi Pancasila di bawah Soeharto, kepastian dan jaminan –untuk mencapai suatu stabilitas kekuasaan– merupakan nilai politik tertinggi. Kini, pada masa yang disebutkan sebagai masa reformasi, bukan lagi kepastian dan jaminan seperti itu yang menjadi nilai politik tertinggi, melainkan peluang dan kemerdekaan menjalankan hak dan kewajiban sebagai nilai politik tertinggi. Situasi bergeser menjadi situasi di mana ketidakpastian sebagai norma, namun tanpa perlu menghilangkan kepastian dasar yang berupa jaminan negara terhadap hak azasi manusia, yang merupakan salah satu tujuan dasar demokrasi. Jaminan dasar itu adalah untuk melindungi warganegara dari pasar yang sangat kejam terhadap orang-orang berposisi lemah dalam sistem yang bebas.

Tampilnya Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Presiden hasil pemilihan umum 2004 secara langsung, bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla, dengan demikian menjadi simbol dari situasi dengan ketidakpastian sebagai norma. Situasi dengan ketidakpastian sebagai norma seperti itu kerap menimbulkan kesan berjalannya satu kekuasaan yang ragu-ragu. Terutama bila dilakukan perbandingan secara tidak adil dengan dua kekuasaan masa lampau yang ‘kuat’ karena memang dijalankan secara otoriter. Sementara itu, saat ini dengan amandemen terhadap UUD 1945, kekuasaan memang lebih dimaksudkan untuk dijalankan secara kolektif dan bukan dalam kualitas tunggal. Setidaknya semua ini dapat menjadi catatan bagi SBY dan JK yang kini sedang ‘bertarung’ memperebutkan posisi nomor satu bersama Mega.

Setiap kualitas kekuasaan tersebut, tentu saja memiliki dilema. Di masa lampau, kekuasaan yang otoriter, memang lebih menjamin stabilitas untuk jangka waktu tertentu, namun pada sisi lain membenamkan aspek hak azasi manusia. Kini, aspek hak azasi manusia itu relatif mendapat ruang yang lebih lapang, meskipun belum sepenuhnya bersih dari sisa karakter masa lampau. Tetapi, pada sisi lain muncul kecemasan sebagai akibat penampilan kekuasaan yang terkesan ragu-ragu, sehingga dianggap lamban dan menimbulkan tanda tanya akan kemampuannya justru di tengah meningkatnya ekspektasi masyarakat dalam berbagai masalah. Pengertian kekuasaan di sini, tidak hanya menyangkut Presiden dengan kabinetnya, melainkan juga mencakup kekuasaan legislatif maupun judikatif.

Pemahaman dan kesepahaman apa yang bisa dicapai terhadap perkembangan ini ?

Sebagai kekuatan, tiga unsur dalam demokrasi itu, yang kerapkali juga menyebutkan pers sebagai kekuatan keempat, dengan sendirinya berkaitan dengan aspek kekuasaan. Kekuasaan itu sendiri adalah alat terbaik dan paling efektif dalam mengatur kepentingan-kepentingan, yang bila digunakan dalam keteraturan dengan cara dan tujuan bersama yang baik, akan menghasilkan output yang terbaik pula untuk kepentingan bersama sebagaimana yang diinginkan dalam berdemokrasi. Namun sepanjang catatan pengalaman empiris, segala yang bersifat dan berbentuk kekuasaan itu cenderung untuk korup. Makin besar kekuasaan makin besar kecenderungan koruptif itu. Ini menjadi pula pengalaman Indonesia, sejak awal masa kemerdekaan hingga kini, dan bahkan bila dirunut ke masa lampau, fenomena keburukan kekuasaan memiliki akar-akar yang kuat dalam tata feodalisme Nusantara yang kemudian lebih diperkuat dalam pertemuan dengan nilai yang bersumber pada praktek colonialism crime yang dijalankan oleh bangsa-bangsa kuat dari barat maupun timur.

Nusantara, meminjam pandangan Clifford Geertz, seperti disebutkan pada bagian lain rangkaian tulisan ini, adalah tempat persilangan kultural yang paling rumit di dunia. Persilangan rumit itu menghasilkan suatu kegagalan sosiologis yang berkepanjangan di Nusantara hingga ke masa Indonesia merdeka. Kegagalan sosiologis yang disertai semacam agnosia atau loss of perception.

Kendati menjelang proklamasi kemerdekaan para the founding fathers telah berhasil menyusun suatu falsafah dan ideologi dasar yang dipetik dari bagian paling luhur akar budaya Indonesia yang telah diperkaya dengan pikiran baru dengan nilai-nilai universal yang diadaptasi dari alam pemikiran barat, namun sesudahnya tak pernah dilakukan suatu proses ideologisasi lanjut sepanjang masa Indonesia merdeka. Padahal ideologisasi lanjut diperlukan dalam kehidupan politik dalam rangka pembentukan dan penyelenggaraan negara selanjutnya. Tanpa falsafah dan ideologi bangsa yang memadai, pembangunan politik –dengan berbagai derivatnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, seperti pembangunan ekonomi dan kesejahteraan yang bertujuan untuk menciptakan bangsa yang punya harkat dan martabat lahir maupun batin– dan secara lebih luas, pembangunan sosiologis bangsa ini, tak mampu dilakukan. Indonesia menjadi suatu bangsa yang gagal secara sosiologis, menjadi bangsa yang sakit secara sosiologis, dalam jangka panjang, hingga kini.

Demikian peta masalah yang kita hadapi sebagai bangsa: Dalam masa perang mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan 1945-1949; masa percobaan kehidupan politik liberalistik 1950-1959; masa kekuasaan demokrasi terpimpin di bawah Soekarno 1960-1965; masa kekuasaan Soeharto dengan demokrasi Pancasila yang kualitatif tak berbeda esensinya dengan demokrasi terpimpin; maupun masa pasca Soeharto yang dikenal dengan masa reformasi namun tanpa transformasi nilai-nilai baru. Esensi permasalahan berputar-putar pada pola dan lakon yang sama, di atas panggung yang sama dan hanya dengan pelakon yang berganti-ganti secara transisional.

Catatan sejarah politik dan kekuasaan Indonesia menunjukkan bahwa pada saat-saat tertentu tercipta titik kulminasi kejenuhan dengan letupan-letupan. Titik jenuh pertama, yang berupa kejenuhan terhadap kegagalan percobaan kehidupan politik yang liberalistik, terjadi 5 Juli 1959 saat Soekarno dengan dukungan AD di bawah Jenderal AH Nasution, mengumumkan dekrit kembali ke UUD 1945 sambil membubarkan konstituante. Tetapi hanya dalam tempo 5 tahun Soekarno berubah menjadi seorang pemimpin diktatorial dengan dukungan kuat dari Partai Komunis Indonesia yang menganut ideologi totaliter, telah menciptakan titik jenuh baru dan meletup sebagai Peristiwa Gerakan 30 September 1965. Peristiwa ini disusul dengan pergerakan kritis 1966 yang dipelopori kaum intelektual dengan kelompok mahasiswa sebagai tulang-punggung gerakan perubahan dan pembaharuan politik dan kekuasaan. Masa kekuasaan Soeharto yang tampil menggantikan Soekarno, ditandai beberapa kecelakaan politik sebagai akibat pertarungan internal di tubuh kekuasaan, yang beberapa di antaranya melibatkan kelompok-kelompok intelektual dan mahasiswa, seperti Peristiwa 15 Januari 1974 dan Peristiwa 1978 yang berupa kekerasan dan pendudukan beberapa kampus. Terakhir, Peristiwa Mei 1998, yang menyebabkan Soeharto meninggalkan kekuasaannya. Keterlibatan kelompok-kelompok kaum intelektual dan mahasiswa dalam peristiwa-peristiwa tersebut, ada dalam konotasi yang satu sama lain bisa berbeda-beda: Terbanyak sebagai gerakan moral yang kritis yang mempunyai tujuan ideal pelurusan keadaan, tetapi tak jarang pula keterlibatan yang berupa bagian dari pertarungan kekuasaan antar faksi dalam kekuasaan dalam posisi pemicu atau bahkan sekedar alat. Atau peranan pelopor atas dasar idealisme dan moral kebenaran-keadilan namun kemudian benefitnya dipungut oleh kekuatan-kekuatan politik praktis dalam rangka perebutan hegemoni kekuasaan.

Kehidupan politik dan kekuasaan sebagai bagian dari kegagalan sosiologis Indonesia, belum juga berada dalam suatu situasi ideal. Peranan kaum intelektual, akan selalu diperlukan dalam situasi yang menyimpang. Meskipun, pada sisi lain harus juga diakui adanya gejala intellectual prostitution akibat erosi mental karena situasi sosiologis yang sakit dan kuatnya godaan kenikmatan kekuasaan dan hedonisme di masa tak menentu ini. Dalam suatu situasi antusiasme yang berlebihan ketika menjadi partisan, seperti yang tampak di tahun 2009 ini, kaum intelektual (tua maupun muda) kembali bisa tergelincir ke dunia prostitusi jenis khusus ini. Persaingan keras secara internal untuk mendapat posisi ‘lingkaran dalam’ di seputar tokoh puncak (atau kandidat tokoh puncak) kekuasaan, menjadi salah satu faktor pendorong bagi terjadinya aksi ‘antusiasme’ berlebihan itu.

Karena pers pada saat ini, dengan hanya sedikit pengecualian, juga tidak bebas dari penularan kesakitan kegagalan pembangunan sosiologis, maka pada waktu yang sama pers pun menjadi tidak sepenuhnya reliable dalam menyuarakan kepentingan  kebenaran. Aspirasi dan suara kritis kaum intelektual serta mahasiswa sebagai kelompok intelektual muda, dengan demikian takkan mungkin memperoleh kanal yang normal, apalagi bila itu akan mengganggu kepentingan kekuasaan politik ataupun kekuasaan ekonomi –yang umumnya kini menjadi pemilik media massa. Apalagi pers Indonesia saat ini pada umumnya memang lebih merupakan komoditi bisnis daripada institusi idealistik. Harus ada penyadaran agar pers kembali mengambil peran sebagai saluran aspirasi untuk menjangkau dan membawa pemikiran-pemikiran jujur dan objektif ke tengah masyarakat.