Tag Archives: Kuomintang

Keadilan Sosial Nan Tak Kunjung Tiba (9)

“Perilaku berlebihan bisa dilakukan etnis mana pun, tak terkecuali oleh etnis asli Indonesia, dalam perilaku sehari-hari dalam pola konsumtif misalnya. Tapi bila berbicara mengenai pemberian kesempatan yang tidak adil dan tidak seimbang, masalahnya memang menjadi lain dan bisa terjadi pembelokan ke arah yang tak terduga-duga. Justru dalam berkolusi, ternyata para pelaku dari kalangan kekuasaan memang lebih memilih pengusaha etnis tertentu karena merasa lebih secure”.

TATKALA nasionalisme Indonesia sudah muncul pada tahun 1900-an, terutama semenjak Boedi Oetomo dan Sarekat Dagang Islam makin luas pengaruhnya, Belanda melihatnya sebagai bahaya baru. Belanda yang agak terdesak, memerlukan orang-orang cina untuk menekan arus nasionalisme ini. Terciptalah kerjasama ekonomi antara Belanda dan keturunan cina untuk menghambat nasionalisme ekonomi Indonesia yang mulai tumbuh.

Pada tahun 1918 Volksraad didirikan. Sepuluh persen dari anggota Volksraad adalah orang-orang keturunan cina. Sebenarnya ada sejumlah keturunan cina yang tidak mau berpihak kepada Belanda namun jumlah mereka kecil saja. Mayoritas dari keturunan cina ini beranggapan bahwa jika nasionalisme Indonesia berhasil menciptakan pada akhirnya suatu pemerintahan oleh orang-orang Indonesia, kepentingan ekonomi keturunan cina akan terenggut. Merupakan pula masalah bahwa banyak keturunan cina memiliki superioritas kompleks. Ini ditunjukkan oleh kata-kata seorang tokoh organisasi masyarakat Cina bernama Tjen Tje Som dalam suatu kesempatan di Leiden: “Orang-orang Cina memiliki kebanggaan yang bukan berdasarkan bayangan kosong belaka, karena mereka merupakan putera-putera dari suatu kebudayaan besar yang tak tertandingi dalam sejarah umat manusia. Mereka dilahirkan oleh sejarah yang penuh kegemilangan, keindahan dan kebijaksanaan hingga tak aneh bila putera-puteranya, kapan saja dan dimana saja, memiliki kemungkinan besar yang tak ada batasnya dalam masa yang akan datang”. Tapi harus tetap dicatat bahwa banyak juga orang-orang keturunan cina yang berpihak pada nasionalisme Indonesia setelah mereka sepenuhnya sadar bahwa mereka dilahirkan di Indonesia.

Sejarah ternyata tidak selamanya menyenangkan. Beberapa peristiwa berdarah menyadarkan akan hal tersebut. Sebelum Indonesia diduduki Jepang, kekuatan keturunan cina sebagai masyarakat yang memiliki modal sangat terasa dan diakui. Berkat kesempatan yang diperoleh dari pemerintah Belanda mereka tampil sebagai kekuatan yang demikian besar. Mereka mulai menguasai bank-bank dan berhasil membangun benteng perekonomian yang ampuh yang kadangkala berhasil mendesak orang-orang Eropa. Mereka menjadi kelompok kapitalis yang berdiri di tengah arus tumbuhnya nasionalisme Indonesia. Tidak mengherankan bahwa ketika Jepang menduduki Jawa dan Belanda angkat kaki, maka korban utama pelampiasan kemarahan terpendam adalah orang-orang keturunan cina itu. Pembunuhan atas orang-orang keturunan cina yang disertai berbagai perkosaan digambarkan sebagai suatu tragedi yang sungguh menyedihkan, karena pada waktu itu keadaan sedang vakum. Maka mereka mengharapkan Indonesia segera bebas dari pendudukan Jepang.

Tatkala Jepang bertekuk lutut banyak dari keturunan cina ini mengharapkan tentara pembebasan yang datang adalah tentara Kuomintang dari Tiongkok daratan sebagaimana yang banyak diberitakan sebelumnya. Tapi yang datang ke Indonesia ternyata adalah tentara Inggris dan India yang disusul tentara Belanda. Waktu itu Indonesia sudah memproklamasikan kemerdekaan, dan banyak nasionalis Tiongkok merasa kecewa. Karena sudah meluas anggapan dan prasangka bahwa mereka berpihak kepada Belanda, maka terjadilah berbagai insiden. Insiden pertama meletus bulan Juni tahun 1946 di Tangerang. Dalam suatu peristiwa yang mengerikan, 600 orang keturunan cina terpenggal kepalanya pada waktu itu, sementara rumah-rumah mereka habis dibakar. Maka 25.000 orang keturunan cina di Tangerang mengungsi ke Jakarta setelah 1268 rumah mereka musnah terbakar. Peristiwa itu disusul oleh pembunuhan atas keturunan cina pada tanggal 18 September di Bagansiapi-api. Korbannya mencapai 200 orang keturunan. Peristiwa serupa terjadi di Bangka, Palembang, dan Jember.

Bila di zaman Jepang mereka banyak ditahan karena kegiatannya di pasar-pasar gelap maka di zaman revolusi fisik mereka menjadi korban insiden. Dua hal utama menjadi penyebab. Pertama, karena mereka dicurigai bekerjasama dengan kolonial Belanda. Kedua, superioritas kompleks yang mereka tunjukkan, telah menimbulkan salah paham. Untunglah setelah itu sejarah berjalan dengan lebih ‘damai’. Akan tetapi tak urung pada saat nasionalisme Indonesia menunjukkan penguatan eksklusivisme di tahun-tahun 1960-an, kembali terjadi insiden. Di Bandung 10 Mei 1963, terjadi lagi insiden yang cukup besar yang dianggap beraroma rasial. Lalu sekali lagi meletus sebagai Peristiwa 5 Agustus 1973, meskipun dalam suatu nuansa dengan tali temali sosial yang lebih complicated.

Vreemde Oosterlingen lainnya, keturunan arab, bukannya pula tanpa masalah sama sekali. Beberapa insiden yang mengaitkan etnis ini juga terjadi beberapa kali, kendati tak terlalu mendapat perhatian sebesar bilamana itu menimpa etnis cina. Ini terutama karena posisi ekonomi mereka yang lebih minor ditambah faktor menguntungkan yang berupa ‘kesamaan agama’ dengan mayoritas penduduk. Tercatat suatu peristiwa yang terjadi di Solo yang dipaparkan berikut ini dengan bersumber pada tulisan dan telaah Fuad Hashem dalam Mingguan Mahasiswa Indonesia, 19 September 1971.

Ketika Abdillah yang keturunan arab memukul seorang tukang becak yang ‘mengganggu’ anaknya –sampai-sampai sang tukang becak itu harus masuk rumah sakit– ia barangkali tidak menyangka bahwa ia akan dibalas oleh kawanan tukang becak yang solider. Selesai membawa kawan mereka ke rumah sakit para tukang becak bersama penduduk datang merusak rumah Abdillah. Bahkan mereka membakar pabrik Abdillah dan menghalang-halangi kedatangan petugas pemadam kebakaran. Pihak yang berwajib terpaksa mengerahkan banyak anggota aparat keamanan guna menertibkan suasana. Mengapa gerangan peristiwa kecil itu bisa demikian cepat menjalar dan menjadi masalah besar? Mengapa sampai sedemikian spontannya penduduk bereaksi atas pemukulan oleh Abdillah terhadap tukang becak bernama Gimin yang sebenarnya adalah langganannya sendiri? Mungkin ini bukan sekedar kebetulan, melainkan suatu cetusan rasa permusuhan kelompok yang telah sedemikian lamanya terpendam bagaikan api dalam sekam menunggu hembusan angin.

Sepintas lalu, gerakan yang ditujukan kepada sasaran kelompok keturunan arab, bagai dicari-cari saja. Bukankah mereka adalah rekan seagama yang semestinya bercampur erat dengan penduduk? Kedudukan mereka agak berbeda dengan keturunan cina yang telah berbilang kali mendapat cetusan rasa tak puas sebagian masyarakat dalam aneka bentuk perusakan bernuansa rasialisme. Keturunan arab tercatat jauh lebih jarang dikutik-kutik, bahkan di beberapa tempat tak pernah diganggu sama sekali. Namun penelitian yang lebih dalam mengenai ini, tulis Fuad, menunjukkan lain.

Semenjak Solo menjadi kota industri batik beberapa ratus tahun yang lampau, keturunan arab dan keturunan cina telah membentuk ‘koloni-koloni’ di sana. Pemerintah Belanda membiarkan bahkan memelihara adanya ‘Kampung Arab’ dan ‘Kampung Cina’. Dalam perjalanan masa, sedikit saja yang berubah. Mereka tetap mengasingkan diri, mata pencaharian tradisional terus berlangsung turun temurun. Hampir seluruh anggota masyarakat keturunan arab di Solo adalah pedagang atau pengusaha. Beberapa hasil usaha mereka dalam industri batik, tekstil tenun dan printing, cukup besar dan menjangkau pemasaran  yang luas di seluruh Indonesia. Kedudukan mereka sebagai majikan berhadapan dengan tatanan masyarakat yang dalam jangka waktu panjang ada dalam cengkeraman feodalistis yang serba minus, tempat ber‘sarang’nya rakyat pekerja miskin yang dulu dieksploitir PKI secara politis. Perbedaan tingkat hidup sangat menyolok. Di sebalik tembok belakang rumah-rumah mewah, terdapat pemukiman kumuh tempat hidup penduduk miskin yang semakin miskin karena penghasilan sebagai buruh yang rendah. Hubungan ini berlangsung sedemikian spesifik untuk jangka waktu yang lama: Majikan dengan buruh, pedagang dengan pembeli, pemberi pinjam uang dengan peminjam uang, yang tak pernah dekat hubungannya selain hubungan formal yang seadanya dalam pola antar level.

Kontak sosial sedikit saja berlangsung diantara kelompok suku. Perkawinan sangat jarang terjadi diantara pria keturunan arab dengan pribumi asli. Antara wanita keturunan arab dengan pribumi asli, suatu perkawinan malahan dianggap ‘pantangan keras’ dengan sanksi sosial berat bagi yang melanggarnya. “Hal ini penting dikemukakan”, tulis Fuad Hashem yang adalah orang Indonesia keturunan arab, lebih jauh, “karena masalah rasialisme pada umumnya diselubungi oleh latar belakang sosial ekonomi antara kelompok eksklusif yang tak saling mengenal”. Sekalipun demikian, sebenarnya orang arab tak pernah datang dari negeri leluhurnya dengan isteri mereka. Selain kontak keagamaan sebagai sesama penganut agama Islam, kontak dengan pribumi amat terbatas. Penduduk Solo yang sedikit ‘mengaduk’ kepercayaan warisannya dengan agama Islam yang relatif ‘lebih baru’ usianya, tidaklah cenderung mengidentikkan keturunan arab ini dengan agama yang dibawa Nabi. Terlebih pula, kelompok keturunan arab ini membangun rumah-rumah ibadatnya sendiri dan tidak seluruhnya adalah penganut-penganut yang taat.

“Banyak keturunan mereka adalah hamba-hamba yang tak terdidik, dengan kalangan muda yang menghisap ganja atau minum minuman keras, seperti orang-orang biasa lainnya”. Keterbatasan hubungan dengan dunia luar kelompok mereka, membangkitkan masalah ethnosentrisme –suatu hal yang sebenarnya ‘lumrah’ bagi tiap minoritas. Sikap ini menilai kultur sendiri sebagai yang terbaik dan malahan dijadikan neraca pengukur kebudayaan luar. Pembagian manusia seperti orang Romawi membagi ‘civilized’ dan ‘barbarian’, atau Inggeris menamakan ‘native’ atau Jahudi dengan ‘goyyim’, juga berlaku di kalangan masyarakat arab. ‘Jamaah’ yang artinya ‘kumpulan kita’ adalah istilah untuk kelompok sendiri (ingroup) versus ‘ahwal’. Juga ada ‘hurufi’ atau saudara dari pihak ibu, yang kemudian mendapatkan konotasi jelek. Orang cina pun menamakan orang luar mereka ‘khe’ yang artinya ‘orang gila’ atau barbarian. ‘Ahwal’ diidentikkan dengan jelek, rendah, hina, sedang ‘jamaah’ adalah yang baik dan bagus. Akibatnya, tembok isolasi semakin tebal dan menara ethnosentrisme semakin tinggi.

Namun bila membandingkan ‘peranan’ atau ‘posisi’ politik mereka, anggapan yang dianut dan diyakini itu nampaknya merupakan paradoks. Di negeri leluhur mereka, tidak ada tempat bagi mereka. Di negeri Saudi misalnya, keturunan ini dianggap sebagai ‘Jawiah’ atau ‘Indonesiah’ dan rintangan kultural terlalu besar bagi mereka untuk bersatu kembali. Dengan demikian maka banyak sarjana dari kalangan ‘jamaah’ yang hanya bekerja sementara di sana untuk kemudian pulang lagi ke Indonesia. Hal ini terlihat di Indonesia di dalam sikap mereka ‘yang asli’ dari negeri leluhur cenderung bersikap pro Belanda, sedang mereka yang peranakan tergabung dalam Partai Arab Indonesia yang aktif memperjuangkan kemerdekaan.

Namun, tradisi politik Partai Arab Indonesia ini tak mewaris. Kebanyakan keturunan arab adalah pulau terasing dalam samudera rakyat Indonesia. Dalam masa setelah merdeka, mereka terpecah dalam gerakan-gerakan eksklusif. Kenyataannya mereka terpecah dalam kelompok-kelompok kesukuan berdasar keturunan dari negeri leluhurnya. Ada yang merasa dirinya tinggi sebagai keturunan Nabi dan memandang sebelah mata yang lainnya. Pemisahan antara golongan ini malahan amat kentara dalam perkawinan yang dilarang di kalangan mereka, malahan sampai-sampai terdapat pemisahan di antara lembaga pendidikannya. Namun dalam hubungan keluar, mereka adalah monolitik, yaitu masyarakat ethnosentrisme yang eksklusif. Sebagai konsekuensinya mereka terasing dan tanpa sadar membangun kelompoknya menjadi minoritas. Dan sampai di sini mereka pun bertemu dengan dunia luar yang juga belum siap menerimanya karena berbagai ‘ketidaksiapan sosial’.

Banyak yang telah mencoba melepaskan diri dari lumpur ethnosentrisme ini, dan ada juga yang berhasil. Sampai di mana usaha-usaha membina akulturasi bagi tercapainya harmoni hubungan antar ras lebih banyak bergantung pada masyarakat kelompok eksklusif itu. “Tanpa adanya kesadaran bermasyarakat itu, ancaman goncangan sosial oleh hubungan ketegangan rasial akan tetap laten. Hanya dengan demikian keturunan arab ini dapat menghilangkan rasa asing dalam negeri sendiri karena setidak-tidaknya mereka secara formal adalah anggota keluarga besar Indonesia yang telah dilahirkan, mencari nafkah dan dibesarkan di Indonesia”.

MASALAH-MASALAH sosial yang terkait dengan kepekaan-kepekaan suku, ras dan agama senantiasa menjadi wacana di kalangan mahasiswa di Bandung. Ketidakpuasan-ketidakpuasan terhadap perilaku etnis tertentu juga sering dinyatakan, namun tidak dalam nada yang rasialistis. Perilaku berlebihan bisa dilakukan etnis mana pun, tak terkecuali oleh etnis asli Indonesia, dalam perilaku sehari-hari dalam pola konsumtif misalnya. Tapi bila berbicara mengenai pemberian kesempatan yang tidak adil dan tidak seimbang, masalahnya memang menjadi lain dan bisa terjadi pembelokan ke arah yang tak terduga-duga. Justru dalam berkolusi, ternyata para pelaku dari kalangan kekuasaan memang lebih memilih pengusaha etnis tertentu karena merasa lebih ‘secure’. Persoalannya memang akhirnya terutama terletak pada kebijaksanaan-kebijaksanaan yang dijalankan pemerintah sendiri yang harus memenuhi prinsip keadilan.

Dengan tidak menutup mata terhadap fakta ekses yang banyak dilakukan pengusaha etnis tertentu, maka mahasiswa Bandung dalam berbagai pernyataannya menanggapi kebijaksanaan pemerintah yang tidak adil, tidak pernah tergelincir mempersalahkan pihak mana pun dengan alasan-alasan yang rasialistis. Termasuk dalam menanggapi kerusuhan sosial dalam Peristiwa 5 Agustus 1973. Demikian pula dalam suasana anti Jepang yang mencuat di tahun 1973 itu juga, mahasiswa Bandung tidak pernah menampilkan semangat anti ras, melainkan membatasi diri kepada kecaman terhadap perilaku ekonomi pengusaha-pengusaha Jepang di Indonesia yang sedikit banyaknya memang juga terjadi karena kelonggaran-kelonggaran dalam kebijaksanaan penanaman modal pemerintah yang kurang melindungi kepentingan dalam negeri. Termasuk perlindungan bagi para pengusaha domestik, yang banyak datang menyampaikan keluhan-keluhan kepada para mahasiswa di kampus-kampus utama Bandung.

-Rum Aly

Indonesia: Satu Masa Pada Suatu Wilayah Merah (2)

“Inisiatif politik Aidit, melontarkan gagasan Angkatan Kelima, sebenarnya adalah semacam take over atas suatu gagasan yang muncul sebelumnya pada kwartal terakhir tahun 1964”. “Terkesan pada mulanya Soekarno tertarik sedikit saja meskipun memperlihatkan sikap cukup menyambut baik gagasan itu dan untuk seberapa lama belum menunjukkan sikap persetujuan yang jelas”.

KARENA meninggal dunia di tahun 1925, Dr Sun Yat-sen tak berhasil menyaksikan rencana-rencananya rampung terwujud. Ia meninggalkan dua kelompok kekuatan di belakangnya, yakni Chiang Kai-shek bersama sayap kanan Kuomintang-nya dengan tentara yang sudah lebih kuat di satu sisi dan pada sisi lain Partai Komunis Tjina yang juga sudah memiliki sejumlah besar manusia yang terlatih sebagai militer. Pada dasarnya sejak awal kedua kelompok ini tak pernah cocok, dan terpaksa ‘bersatu’ dalam satu belanga hanya karena mengikuti kemauan Dr Sun Yat-sen. Setelah Sun Yat-sen meninggal dunia, Jenderal Chiang Kai-shek agaknya sudah merencanakan untuk pada waktunya mengusir para instruktur Rusia kembali ke negerinya dan membersihkan militer dan pemerintahan dari unsur-unsur komunis. Namun sebelum itu, ia memanfaatkan pasukan tentara –termasuk orang-orang komunis di dalam tentara– untuk suatu operasi militer penaklukan, tidak sekedar mengertak seperti rencana semula almarhum Sun Yat-sen, terhadap para panglima militer terutama di bagian utara daratan Cina, satu persatu.

Chiang Kai-shek berhasil karena masing-masing warlord itu berdiri sendiri, tidak punya hubungan satu sama lain. Chiang pun menundukkan yang terkuat, rezim Shih-kai yang menguasai Peking dan sekitarnya. Chiang lalu menjadi yang paling kuat untuk saat itu, karena selain menguasai militer dan telah mempersatukan seluruh kekuatan militer se-Cina melalui penaklukan, ia pun seperti halnya Sun Yat-sen mengawini seorang puteri keluarga Soong dari Shanghai, keluarga pedagang amat kaya dan memiliki akar pengaruh yang kuat di Cina pada masa itu. Setelah berhasil mengkonsolidasikan kekuasaannya, yang mulai terpetakan sejak 1928 dan menuntaskannya di sekitar tahun 1930, Chiang lalu mulai menjalankan rencananya sejak lama, mengusir orang-orang Rusia dan melakukan pembersihan terhadap orang-orang Partai Komunis Tjina.

Kaum komunis ini terpaksa mengundurkan diri ke bagian tengah dan selatan. Dari daerah-daerah terpencil di sana mereka melancarkan perlawanan dengan pasukan gerilya, dan itulah cikal bakal Tentara Merah. Tahun 1931, Mao Zedong, salah satu pendiri Partai Komunis Tjina dan kemudian menjadi pemimpinnya, dari provinsi Kiangshi memproklamirkan berdirinya Republik Sovjet Cina. Di wilayah-wilayah yang dikuasainya Partai menata ulang tanah-tanah pertanian. Mereka merampas tanah milik para tuan tanah, membagikannya kepada para petani untuk digarap sebagai sumber penghasilan partai. Tapi Chiang Kai-shek yang tak mau mengambil risiko lebih besar kelak di kemudian hari, pada tahun 1935 segera menyerang wilayah yang dikuasai kaum komunis. Mao dan pengikutnya terpukul dan lari ke arah barat untuk kemudian berputar ke utara menuju pangkalan yang mereka telah bangun beberapa tahun sebelumnya di Cina Utara sebelum ‘perang’.

Mao dan lebih dari 300.000 ribu Tentara Merah serta sejumlah kader partai dan pengikut, menempuh hampir dua puluh ribu kilometer pada daerah-daerah yang sulit dan berbahaya keadaan alamnya. Berkali-kali berhadapan pula dengan suku-suku terpencil yang curiga sehingga tak jarang melakukan serangan bersenjata yang menewaskan banyak dari mereka. Bahkan menghadapi serangan gabungan di wilayah Tibet dan Mantzu. Dihujani batu dari lereng-lereng gunung, dan tersiksa oleh serangan-serangan malam yang mendadak dan mematikan, tatkala kebanyakan dari mereka lelap karena keletihan.

Selain karena pertempuran sepanjang jalan, korban-korban di kalangan Tentara Merah berjatuhan pula karena keganasan alam, pemangsaan khewan liar hingga pada kematian tertelan rawa dan kubangan lumpur hisap. Tapi mereka akhirnya berhasil tiba di tujuan. Peristiwa perjalanan panjang menempuh belasan ribu kilometer dan memakan waktu berbulan-bulan yang penuh penderitaan dan kematian inilah yang dikenal sebagai Peristiwa Long March yang bersejarah. Di tempat tujuan, mereka langsung menghadapi pula babak baru Perang Saudara Cina, yang sempat jeda di tahun 1937, karena harus ikut menghadapi serbuan tentara Jepang ke daratan Cina. Setelah jeda, perang saudara diteruskan dan dimenangkan kaum komunis. Chiang Kai-shek bersama pengikutnya lalu melarikan diri menyeberang laut ke arah Timur ke pulau-pulau Taiwan.

Pengalaman Cina Komunis dan Tentara Merah, menjadi salah satu sumber inspirasi kaum komunis di Asia, termasuk bagi Partai Komunis Indonesia. Peristiwa Madiun tahun 1948, memakai model perjuangan Cina Komunis dengan Tentara Merah-nya. Di Madiun, PKI menggunakan kekuatan militer bersenjata dan memproklamirkan suatu Republik Sovjet Madiun. Tapi tak berusia panjang.

Model Tentara Merah sebagai sayap militer partai, menjadi semacam obsesi bagi para tokoh PKI yang menguasai kendali partai. Ketika sudah berada di atas angin pada tahun 1964-1965 gagasan sayap militer kembali dikembangkan, melalui infiltrasi ke tubuh tentara. Cukup memadai tetapi belum mencukupi untuk suatu orientasi kekuasaan. Dan pada awal 1965, Aidit melontarkan gagasan pembentukan Angkatan Kelima. Gagasan itu pertama kali dilontarkan oleh Dipa Nusantara Aidit, Kamis pagi 14 Januari, ketika akan dan sewaktu menghadap Presiden Soekarno di Istana Merdeka.

Inisiatif politik Aidit, melontarkan gagasan Angkatan Kelima, sebenarnya adalah semacam take over atas suatu gagasan yang muncul sebelumnya pada kwartal terakhir tahun 1964. Sewaktu Soekarno berkunjung ke Cina, dalam suatu percakapan, Mao Zedong dan kemudian Chou En-lai, mengusulkan agar Soekarno mempersenjatai buruh dan tani bila ingin memperkokoh diri dan memenangkan perjuangan melawan kaum imperialis, khususnya dalam konfrontasi terhadap Malaysia. Mao yang merasa punya pengalaman historis dengan Tentara Merah yang revolusioner yang menopang berdirinya Republik Rakyat Tjina (RRT), berkata tak cukup bila Soekarno hanya mengandalkan tentaranya yang sekarang. Percakapan yang lebih terperinci terjadi antara Soekarno dengan Perdana menteri Chou En-lai. Sang perdana menteri menyampaikan pendapatnya dengan  ungkapan-ungkapan terus terang kepada Soekarno, bahwa Soekarno tak bisa seratus persen mempercayai tentaranya, terutama Angkatan Darat, karena banyak perwiranya yang pernah dididik di Amerika Serikat sampai sekarang masih punya hubungan-hubungan khusus dengan Amerika Serikat. Banyak pimpinan tentara Indonesia adalah termasuk kaum reaksioner, bukan kaum progresif revolusioner yang bisa diandalkan melawan kaum imperialis. Maka kaum buruh dan tani yang dipersenjatai itu, harus dibentuk di luar koordinasi tentara, sebagai Angkatan Kelima yang berdiri sendiri.

Sejak awal pula, Chou En-lai sudah membayangkan kesediaan RRT membantu bila gagasan itu mau diwujudkan. Belakangan muncul angka bantuan awal yang akan diberikan dan katanya disetujui Mao, berupa 100.000 pucuk senjata Tjung, sejenis senapan ringan buatan RRT. Dengan jumlah senjata itu saja, setidaknya bisa terbentuk sedikitnya 10 divisi bersenjata. Terkesan pada mulanya Soekarno tertarik sedikit saja meskipun memperlihatkan sikap cukup menyambut baik gagasan itu dan untuk seberapa lama belum menunjukkan sikap persetujuan yang jelas. Agaknya, Presiden Soekarno masih memperhitungkan juga faktor reaksi dan sikap Angkatan Darat nantinya.

ADALAH Aidit yang dengan gesit  mengambil alih gagasan itu dan merubahnya menjadi suatu inisiatif politik. Dan sebenarnya, ketika pembicaraan Soekarno dengan para pimpinan Cina itu terjadi, Aidit pun dengan cepat pada waktu yang hampir bersamaan telah diinformasikan oleh Duta Besar RRT di Jakarta mengenai adanya pembicaraan tentang gagasan Angkatan Kelima tersebut. Aidit pun tampil dengan gagasan itu. Tatkala tampil terbuka pertama kali dengan gagasan itu, bersama Aidit pada 14 Januari 1965 di Istana Merdeka itu hadir Ketua Umum Barisan Tani Indonesia (BTI) Asmu serta dua tokoh unsur Nasakom lainnya, yakni Idham Chalid Ketua Umum NU dan Hardi SH Ketua I PNI/Front Marhaenis.

Masih sebelum menghadap kepada Presiden, Aidit dicegat oleh Bernhard Kalb wartawan Columbia Broadcasting System, Amerika Serikat. “Saya akan mengusulkan kepada Presiden Soekarno agar kaum buruh dan tani segera dipersenjatai”, ujar Aidit kepada Bernhard. ”Seluruhnya lima belas juta orang, siap dipersenjatai !”. Sepuluh juta buruh, lima juta petani.  Tetapi kemudian sempat terjadi pertukaran kata yang keras antara sang wartawan dengan sang pemimpin partai, setelah Kalb melontarkan beberapa pertanyaan yang tampaknya dianggap menyebalkan oleh Aidit. Setelah pertemuan dengan Soekarno, Aidit menegaskan kembali kepada para wartawan, bahwa ia memang mengajukan tuntutan kepada Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata RI, kaum buruh dan kaum tani yang merupakan sokoguru revolusi, segera dipersenjatai. Menurut Aidit, Soekarno menyambut baik tuntutan PKI itu. Maka pada petang harinya, Harian Warta Bhakti, organ pers Baperki, menurunkan berita dengan judul besar “PKI usulkan 15 djuta massa tani dan buruh dipersendjatai”.

Selang tiga hari, agaknya PKI berhasil menciptakan kesan bahwa tuntutan itu telah menjadi tuntutan seluruh kekuatan politik yang ada. Lembaga Kantor Berita Nasional ‘Antara’ menurunkan berita tentang adanya kebulatan tekad bersama yang menuntut agar sokogurusokoguru revolusi segera dilatih dan dipersenjatai. Menurut berita bertanggal 18 Januari 1965 itu, “Sidang bersama Pengurus Besar Front Nasional dan Pucuk Pimpinan Partai-partai Politik, Organisasi Massa, Golongan Karya serta lembaga-lembaga persahabatan, hari Minggu malam (17 Januari) dalam kebulatan tekad dan instruksi bersamanya, mendesak kepada pemerintah dan alat-alatnya yang berwenang untuk segera  melatih dan mempersenjatai sokoguru-sokoguru revolusi, sebagai jaminan utama guna mencegah dan mengalahkan tiap bentuk agresi Inggeris dan agresi Nekolim pada umumnya”.

Sidang bersama menurut berita itu lebih jauh, berlangsung di Gedung BPI (Badan Pusat Intelejen) dipimpin Wakil Sekertaris Jenderal PB Front Nasional AM Rachman. Berita itu menyebutkan secara jelas beberapa nama yang berperan dan turut serta dalam sidang yang mengambil keputusan mengenai Kebulatan Tekad. Nama-nama itu, yang adalah tokoh-tokoh kelompok komunis, antara lain Anwar Sanusi, Mohammad Munir, dan Ir Surachman yang dikenal sebagai Sekertaris Jenderal PNI. Satu nama lain yang disebutkan adalah Menteri Koordinator/Ketua DPRGR (Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong) Arudji Kartawinata seorang tokoh unsur A dalam Nasakom.

Kehadiran beberapa nama tokoh partai politik, organisasi-organisasi massa dan Golongan Karya disebutkan dalam berita, namun tanpa pencantuman nama orang dengan jelas. Dan memang, belakangan beberapa pihak menyangkal keikutsertaannya dalam kebulatan tekad. Tapi ada pula yang tak terberitakan lagi pembenaran atau sangkalan keterlibatannya di media mana pun. Selain tuntutan mempersenjatai para sokoguru revolusi, kebulatan tekad itu menyatakan pula mendukung sepenuhnya kebijaksanaan dan keputusan Presiden/Pemimpin Besar Revolusi untuk keluar dari PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa). Sepuluh hari sebelumnya, Soekarno memang mengambil tindakan drastis menyatakan Indonesia keluar dari PBB. Keluarnya Indonesia ini adalah sebagai reaksi atas terpilihnya Malaysia –yang justru menjadi sasaran konfrontasi Indonesia kala itu– sebagai anggota Dewan Keamanan PBB. Bagi Soekarno, tentu saja keberhasilan Malaysia menduduki kursi dalam Dewan Keamanan PBB dan kegagalan Indonesia mencegahnya, merupakan kejadian yang menjengkelkan.

Berlanjut ke Bagian 3

Indonesia: Satu Masa Pada Suatu Wilayah Merah (1)

“Berbeda dengan Angkatan Darat, sumber dana politik PKI sedikit lebih terselubung dan nyaris tak terbuktikan, karena tak ada pihak yang betul-betul memiliki bukti-bukti hitam putih aliran dana PKI”.

ADALAH menarik bahwa dalam kurun waktu Nasakom, PKI yang menempatkan perjuangan kelas sebagai kegiatan politik ideologisnya, boleh dikatakan tak pernah menyentuh wilayah persoalan kesenjangan sosial yang terkait dengan kelompok etnis Cina. Hubungan PKI di bawah Aidit dengan Cina Komunis –Aidit dianggap sebagai kelompok sayap Peking– dan keberadaan Baperki sebagai organisasi kaum peranakan Cina di Indonesia yang berkiblat kiri, dapat menjelaskan mengapa PKI relatif menjauhi masalah kesenjangan sosial dan ekonomi yang terkait dengan etnis Cina di Indonesia. Terdapat pula unsur pragmatis dalam hal ini.

Secara umum, sumber dana untuk segala kegiatan politik PKI tak banyak disinggung. Ini berbeda dengan kelompok jenderal yang memegang kendali Angkatan Darat yang berhadapan dalam pertarungan politik dan kekuasaan dengan PKI. Sumber dana ‘non budgetair’ para jenderal saat itu senantiasa dikaitkan dengan perilaku korupsi, terutama karena posisi sejumlah jenderal atau perwira tentara dalam berbagai badan usaha milik negara, yang sebagian adalah bekas perusahaan Belanda yang dinasionalisir pada tahun 1957. Termasuk di sini adalah Pertamin dan Permina yang kemudian hari dilebur menjadi Pertamina, dan diserahkan penanganannya kepada seorang dokter yang juga adalah perwira Angkatan Darat, Ibnu Sutowo, yang berpangkat kolonel kemudian naik ke jenjang jenderal. Beberapa posisi penting di bawahnya umumnya juga dipegang kalangan tentara. Konsesi di perusahaan perminyakan ini diberikan sebagai bagian dari semacam deal politik maupun saling pengertian –yang mungkin saja tak pernah diucapkan dengan cara yang betul-betul terus terang– antara Presiden Soekarno dengan pihak militer di bawah Mayor Jenderal Nasution sebelum Dekrit 1959.

Berbeda dengan Angkatan Darat, sumber dana politik PKI sedikit lebih terselubung dan nyaris tak terbuktikan, karena tak ada pihak yang betul-betul memiliki bukti-bukti hitam putih aliran dana PKI. Sumber dana utama PKI di masa-masa awal sebelum Pemilihan Umum 1955 adalah dari gerakan dan jaringan komunis internasional. Selanjutnya, sumber dana itu bergeser yang mulanya terutama datang dari Moskow menjadi lebih banyak berasal dari Peking, tatkala Aidit secara kasat mata membawa PKI lebih berkiblat ke Peking. Namun Moskow tak pernah sepenuhnya menghentikan bantuan keuangan, karena pemimpin blok Timur itu masih tetap mengalirkan dana ke kelompok PKI sayap Moskow yang masih eksis sebagai faksi ‘urutan kedua’ di tubuh partai tersebut. Apalagi, di balik yang terlihat, ada gambaran bahwa Aidit tidak pernah betul-betul meninggalkan Moskow. Menurut Muhammad Achadi –Menteri Transmigrasi dan Koperasi pada Kabinet Soekarno– hingga dekat-dekat saat terjadinya Peristiwa 30 September 1965, Aidit tetap menjalin hubungan dengan Moskow. Aidit pun –tanpa banyak diketahui pihak lain– berkali-kali datang ke Moskow sekitar waktu tersebut.

Sumber dana dalam negeri PKI, termobilisasi melalui Jusuf Muda Dalam yang memegang kendali Bank Sentral. Tapi sumber keuangan PKI lainnya yang tak kecil juga berasal dari kelompok-kelompok pengusaha bidang perdagangan dan industri beretnis Cina yang berhaluan kiri dan atau punya alasan ataupun kepentingan lain. Bandingkan dengan Masjumi, yang sebelum menjadi partai terlarang memperoleh aliran dananya antara lain dari satu dua ‘pengusaha’ anggota Masjumi yang mendapat fasilitas lisensi –di zaman bermunculannya pengusaha aktentas yang sekedar memperjualbelikan lisensi tersebut– melalui suatu program yang sebenarnya dimaksudkan untuk membantu ‘pengusaha nasional’  pada masa tokoh PSI Soemitro Djojohadikoesoemo menjadi Menteri Perdagangan dalam kabinet Natsir di tahun 1950-1951. Suatu ‘ladang’ yang sempit dan ringkas. Pengusaha aktentas memang bukan jenis yang bisa sepenuhnya diandalkan.

Sebaliknya, pada tahun lima puluhan, menteri-menteri yang berasal dari Masjumi juga banyak membantu pengusaha nasional. Jusuf Wibisono, Menteri Keuangan dalam Kabinet Sukiman-Suwirjo (1951-1952) dan Kabinet Ali Sastroamidjojo II (1956-1957) selama setahun-setahun, pernah antara lain membantu TD Pardede, pengusaha asal Sumatera Utara beragama Kristen dan anggota PNI. Hal serupa dilakukan pula sebelumnya oleh Sjafruddin Prawiranegara yang menjadi Menteri Keuangan dalam Kabinet Natsir (1950-1951) dan pada dua kabinet lain pada masa-masa sebelumnya. Menurut penuturan Pardede (kepada Professor Deliar Noer), suatu kali ketika usahanya menjadi besar dan sukses ia mendatangi keduanya, serta M. Sanusi tokoh Masjumi yang juga seorang pejabat di Departemen Perindustrian, untuk memberikan ‘amplop’ sebagai tanda terima kasih. Dengan cara yang baik-baik dan menyenangkan, ketiga tokoh Masjumi itu menolak menerimanya.

Selain karena faktor militansi tinggi yang dimiliki massa PKI, kelancaran aliran dana yang dikelola lebih efektif dan efisien –dan harus diakui relatif tak ‘tergigit’ oleh pengelola partai, seperti yang terjadi pada beberapa partai politik lain waktu itu– menjadikan manuver-manuver politik PKI lebih mobile dan efektif pula. Maka PKI muncul menonjol di berbagai lini medan pertarungan politik dan kekuasaan.

Hanya satu obsesi PKI yang belum juga tercapai, yaitu keberhasilan menciptakan sayap bersenjata yang tangguh, yang dengan gemilang dicapai oleh Partai Komunis Tjina di bawah Mao Zedong (Mao Tsetung) masih sejak tahun-tahun awal sejak kelahirannya. Sebagai ganti dari belum terpenuhinya obsesi tersebut adalah keberhasilan dalam kadar tertentu dari PKI menginfiltrasi dan menyusupkan pengaruhnya ke tubuh militer, khususnya Angkatan Darat, yang menjadi lebih intensif setelah terbentuknya Biro Khusus PKI di tahun 1964. Kelak akan ternyata bahwa pada saat dibutuhkan sayap PKI dalam militer, meskipun mencapai tingkat yang cukup signifikan, tidaklah bisa mencapai hasil optimum.

Partai Komunis Tjina yang lahir tahun 1921, meskipun lebih muda setahun dari PKI, dalam banyak hal dijadikan PKI sebagai percontohan dari waktu ke waktu, termasuk dalam obsesi memiliki sayap bersenjata yang andal. Pintu masuk untuk memenuhi obsesi tersebut, di luar dugaan dibuka oleh Dr Sun Yat-sen pemimpin Republik (Nasionalis) Cina yang pada sekitar tahun 1920 mengalami akumulasi kekecewaan terhadap pihak barat. Melihat keberhasilan Revolusi Bolsjewik dan berbagai keberhasilan Lenin setelahnya, Sun Yat-sen yang memiliki sikap dan pandangan yang sosialistis, terangsang untuk berhubungan dengan Uni Sovjet dan berharap bahwa dari hubungan itu nantinya ia bisa mendapat apa yang tidak didapatnya dari barat sekaligus bisa mengakhiri beberapa perlakuan buruk pihak barat pada Cina. Lenin, pemimpin Sovjet, ternyata tanggap dan segera mengalirkan banyak bantuan kepada Cina yang dipandangnya dapat bergeser ke kiri di bawah Sun Yat-sen yang juga memahami Marxisme dan Sosialisme dengan baik. Salah satunya adalah pengiriman sejumlah penasehat politik dan militer.

Satu di antara program prioritas Sun Yat-sen kala itu adalah memperbesar militer Kuomintang dengan bantuan para penasehat militer Sovjet itu. Memperbesar militer menjadi kebutuhan objektif bagi Sun Yat-sen, karena pada masa itu sebagian besar panglima militer di berbagai wilayah cenderung menciptakan diri sebagai warlord di daerah kekuasaannya masing-masing dan banyak menunjukkan ketidakpatuhan kepada pemerintah pusat. Sun Yat-sen mendengar banyak laporan mengenai perilaku seenaknya dari para panglima wilayah itu, yang bekerjasama dengan tuan-tuan tanah dan orang-orang kaya setempat, memeras dan menindas rakyat dengan berbagai tindak kekerasan. Mereka pun mengorganisir kegiatan kriminal dan premanisme untuk tujuan ‘komersial’ serta pengumpulan keuntungan materil, mulai dari pelacuran, permadatan hingga berbagai macam pemerasan. Kelompok ‘kriminal’ ini juga bersenjata dan berlaku sewenang-wenang. Para panglima dan perwira-perwiranya, bahkan sampai prajurit lapisan bawah, sangat koruptif.

Situasi ini dianggap Sun Yat-sen sangat melemahkan Cina dan bisa membawa Cina ke ambang kehancuran. Untuk mengatasinya, Sun Yat-sen membutuhkan militer Kuomintang yang diperbarui dan diperbesar, sehingga akan lebih disegani dan mampu menundukkan para warlords itu. Sun Yat-sen bertindak ‘radikal’ dengan membuka pintu bagi Partai Komunis Tjina turut serta sebagai sumber daya manusia ‘baru’ dalam pengembangan militer itu serta mengakomodir para kader partai komunis ke dalam institusi-institusi pemerintahan. Sejumlah besar kader Partai Komunis mengalir ke sekolah militer baru yang didirikan dan ditopang instruktur-instruktur militer dari Rusia (negara ‘induk’ Uni Sovjet). Ia mengangkat seorang perwira kepercayaannya, Chiang Kai-shek, sebagai pimpinan sekolah militer itu.

Suatu program lain, yang menyenangkan bagi Partai Komunis Tjina dipimpin Mao Zedong adalah program penataan ulang tanah –land reform– bagi para petani kecil di daratan Cina yang pada masa itu menjadi salah satu kelompok masyarakat sasaran pemerasan dan penindasan fisik dari para tuan tanah yang bekerja di bawah topangan dan lindungan para tentara korup. Para petani dijadikan sebagai ‘kuda’ yang diperas tenaganya, sementara anak-anak gadis mereka dijadikan sebagai objek seks bagi lapisan berkuasa beserta para kaki-tangan mereka dan setelah puas menikmatinya dijadikan pelacur di rumah-rumah hiburan. Program land reform diharapkan Sun Yat-sen menjadi jalan menyelamatkan petani dan karenanya akan memperoleh dukungan petani sebagai lapisan akar rumput guna menundukkan para warlord.

Berlanjut ke Bagian 2