Tag Archives: Peristiwa 5 Agustus 1973

The Bad Among The Worst: Soeharto Number One? (2)

UNTUK sebagian besar, perjalanan Orde Baru di bawah rezim Soeharto, memang ditandai dengan pertumbuhan ekonomi terutama berkat peran para teknokrat Widjojo Nitisastro dan kawan-kawan, ditopang stabilitas politik dan keamanan karena kuatnya peran militer. Tapi perlahan namun pasti terasa bahwa ekonomi yang bertumbuh, tidak disertai pemerataan. Kekayaan bertumpuk di tangan segelintir orang sebagai penikmat hasil pembangunan, melalui pola korupsi, kolusi dan nepotisme. Hukum disubordinasi kekuasaan. Namun ‘keberhasilan’ menjaga stabilitas pangan, khususnya keberhasilan mencapai swasembada beras, ditambah efektivitas supresi yang dijalankan militer, bisa mencegah dan meredam meletupnya keresahan sosial dalam kadar tinggi.

Bukannya, tak ada gerakan perlawanan terhadap rezim Soeharto, terutama oleh kelompok mahasiswa maupun kelompok masyarakat lainnya, seperti Peristiwa 5 Agustus 1973 di Bandung, Peristiwa 15 Januari 1974 dan ‘Buku Putih’ Gerakan Mahasiswa 1978, tetapi penguasa selalu mampu mematahkannya. Hanya Peristiwa 15 Januari 1974 yang agak berbeda, bukan murni dari penyebab aspirasi generasi muda, melainkan lebih banyak merupakan hasil pertarungan internal kalangan penguasa yang melibatkan kelompok-kelompok mahasiswa, khususnya di Jakarta, sebagai pemicu peristiwa. Peristiwa Mei 1998 di akhir masa kekuasaan Soeharto, pada satu sisi adalah historical by accident setelah penembakan sejumlah mahasiswa Universitas Trisakti. Tetapi pada sisi lain, seperti halnya Peristiwa 15 Januari 1974, di latar belakang peristiwa itu terjadi pertarungan internal, khususnya di lingkaran kekuasaan Soeharto sendiri. Sejumlah jenderal dan politisi terlibat dalam proses dan jalinan peristiwa persaingan kekuasaan: Jenderal Wiranto dan kawan-kawan, Jenderal Prabowo Subianto dan kawan-kawan, maupun kelompok jenderal abu-abu seperti Sjafrie Sjamsuddin. Terkait pula di dalamnya BJ Habibie yang ada di lingkaran asistensi ICMI, Siti Hardianti Rukmana dan Jenderal Hartono serta tokoh-tokoh yang berada di wilayah abu-abu seperti Ginandjar Kartasasmita, Akbar Tandjung dan kawan-kawan, lalu orang-orang semacam Harmoko.

Tatkala di belakang panggung politik dan kekuasaan kekecewaan mulai terarah ke diri Soeharto, seringkali ada pembandingan-pembandingan dengan masa Soekarno. Dikatakan bahwa Soekarno tidak memperkaya diri dan keluarga, seperti halnya Soeharto. Padahal, baik di masa Soekarno maupun di masa Soeharto korupsi terjadi. Bedanya, di masa Soekarno ‘kue’ yang digerogoti memang lebih kecil dan terbatas, sesuai situasi ekonomi saat itu, sedang di masa Soeharto ‘kue-nya besar dan cukup berlimpah. Menurut almarhum Prof. Dr Soemitro, setidaknya sepertiga hasil dan biaya pembangunan raib karena korupsi. Dikatakan pula bahwa Soekarno lebih memiliki nasionalisme dan harga diri di depan pihak asing, sedangkan di masa Soeharto para pengelola negara cenderung tak punya harga diri dan bahkan bisa menggadaikan diri bagi kepentingan asing. Terhadap cara-cara otoriter Jenderal Soeharto dalam melumpuhkan dan mengeliminasi lawan politik dan lawan kepentingannya, banyak yang menganggap Soekarno lebih baik karena meski menangkapi lawan-lawan politiknya, Soekarno memperlakukan mereka lebih baik. Padahal, dua-duanya memiliki esensi ‘kejahatan’ politik dan kekuasaan yang sama buruknya pada kurun waktu tertentu.

Kita bisa melihat, bahwa di awal Orde Baru, Soekarno digambarkan sangat buruk, dan Soeharto lebih baik. Di akhir Orde Baru, giliran Soeharto digambarkan serba buruk, dan sosok Soekarno mulai dirindukan kembali. Kerinduan terhadap sosok Soekarno, di tengah dan akibat otoriterisme Jenderal Soeharto, memberi peluang Megawati Soekarnoputeri bersama partainya masuk ke dalam dunia politik dan kekuasaan. Peranan diam-diam sejumlah jenderal di belakang layar –entah karena idealisme, entah karena kepentingan khusus, entah karena kepandaian membaca arah angin– menjadi faktor lainnya.

KURSI DWI-FUNGSI ABRI. “Jenderal Soeharto adalah pelopor penggunaan dwi-fungsi ABRI dan memformulasikannya secara berbeda dengan gagasan awal Jenderal AH Nasution, dalam praktek kekuasaan negara (1967-1998). Dengan dwi-fungsi, perwira-perwira militer menduduki hampir seluruh posisi penting dan strategis di negara ini”. Karikatur 1967, T. Sutanto.

SEKARANG, pembandingan dilakukan lagi, tampaknya terutama antara Jenderal Soeharto dan Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono. Jenderal Soeharto adalah Presiden RI ke-2 dengan masa kekuasaan 6 periode lebih, sedang Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono adalah Presiden RI ke-6 dengan masa kekuasaan yang kini memasuki periode ke-2. Soeharto adalah produk perjuangan bersenjata mempertahankan kemerdekaan 1945-1950, Susilo Bambang Yudhoyono, produk baru hasil akademi militer. Jenderal Soeharto adalah pelopor penggunaan dwi-fungsi ABRI dan memformulasikannya secara berbeda dengan gagasan awal Jenderal AH Nasution, dalam praktek kekuasaan negara (1967-1998). Dengan dwi-fungsi, perwira-perwira militer menduduki hampir seluruh posisi penting dan strategis di negara ini. Sementara itu, Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono adalah hasil pendidikan akademi militer masa dwi-fungsi, dan menjalani karir di masa dwi-fungsi itu, namun ketika berkuasa tak dapat menggunakannya lagi secara formal. Tapi, secara faktual, tokoh-tokoh militer tetap berada pada posisi-posisi strategis dalam kekuasaan, khususnya di masa kepresidenan SBY.

Pada hakekatnya Jenderal Soeharto dan Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono berasal dari sumber yang sama, hanya berbeda tahun produksi. Banyak pihak, khususnya para akademisi, melihat Susilo Bambang Yudhoyono dalam hal tertentu adalah jelmaan baru dari Soeharto. Survey Indo Barometer, menempatkan mereka berdua sebagai number one dan number two. Meskipun memiliki banyak perbedaan, cukup banyak pula persamaan yang bisa ditemukan di antara keduanya. Hanya saja, memang Soeharto lebih menonjol kecepatan dan ketegasannya, melebihi Susilo Bambang Yudhoyono yang dianggap agak kurang tegas dan lamban.

Dalam mengatur kekuasaan, Susilo Bambang Yudhoyono, banyak menggunakan formula Soeharto. Untuk tulang punggung dukungan politik kekuasaannya, SBY memiliki Partai Demokrat. Penentu utama kebijakan partai adalah dirinya, selaku Ketua Dewan Pembina, tak berbeda jauh dengan Soeharto yang selaku Ketua Dewan Pembina mengendalikan Golkar dari belakang. Tetapi karena Partai Demokrat tak berhasil memperoleh angka mayoritas untuk kursi DPR, sementara dalam Pemilihan Umum Presiden yang baru lalu SBY menginginkan kemenangan satu putaran –dan memperoleh sekitar 60 persen suara– maka SBY melakukan koalisi. Tetapi koalisi itu ternyata tak menjamin sepenuhnya bagi SBY mencapai keberhasilan ‘memenangkan’ kehendak-kehendaknya melalui DPR. Sebaliknya, seringkali digoyang-goyang lebih dulu, sebelum mendapat persetujuan DPR. Pendukungnya di DPR cenderung kalah suara, seperti misalnya dalam kaitan kasus Bank Century, tetapi satu kali menang juga, meskipun betul-betul tipis, dalam voting angket perpajakan.

Last but not least, seperti halnya dengan apa yang terjadi dengan Golkar zaman Soeharto, ada juga ‘pembonceng-pembonceng’ yang bergabung dengan partai(-partai) pendukung SBY, untuk berbagai kepentingan pribadi, termasuk soal dana. Saat ini, Partai Demokrat makin disorot, antara lain dengan mencuatnya kasus suap Sesmenpora, dan pemberian ‘uang persahabatan’ kepada Sekjen KPK Janedjri M. Gaffar, yang dikaitkan dengan Bendahara partai, Muhammad Nazaruddin. Lalu, setelah diberhentikan oleh Dewan Kehormatan PD, ia balik melontarkan tuduhan-tuduhan kepada beberapa tokoh partainya sendiri sebagai pelaku permainan busuk.

Terpatri di kepala orang bahwa pada zaman Soeharto, ekonomi pada umumnya cemerlang dan sarat dengan angka-angka pertumbuhan, serta lebih berhasil menjaga kestabilan harga-harga. Tapi orang lupa bahwa pada tahun-tahun terakhir masa kekuasaan Soeharto, ekonomi Indonesia hampir kolaps. Untuk mengatasi krisis moneter dan krisis ekonomi pada umumnya, Presiden Soeharto mengambil kebijakan pengucuran BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) dalam jumlah hampir mencapai 1000 triliun rupiah. Namun ternyata kebijakan BLBI itu menjadi ajang penjarahan uang negara secara besar-besaran oleh para konglomerat perbankan, yang para pelakunya terbanyak adalah kroni Soeharto, yang untuk sebagian terbesar tak bisa lagi dikembalikan ke negara.

Ratusan triliun rupiah dana BLBI raib hingga kini. Banyak aset jaminan bagi dana talangan itu ternyata under value – entah karena rekayasa sejak awal, entah rekayasa kemudian saat bergulir ke ranah hukum, entah kombinasi kedua-duanya. Orang tahu siapa para pelakunya, tapi orang tak tahu cara menariknya kembali. Dua Jaksa Agung masa kepresidenan Abdurrahman Wahid yang concern mengupayakan pengembalian BLBI, Marzuki Darusman dan Baharuddin Lopa, dipatahkan. Satu dihentikan di tengah jalan, satu lainnya terhenti karena ajalnya tiba masih pada awal-awal masa jabatannya. Satu persatu tersangka BLBI terselamatkan dengan aneka cara. Terakhir, Syamsu Nursalim ‘terselamatkan’ di masa Jaksa Agung Hendarman Supandji, zaman kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono, meski  agak ‘berbau’ dengan adanya skandal suap Arthalita Suryani dan Jaksa Urip.

Berlanjut ke Bagian 3

Menemui Kematian Karena Kekerasan (3)

ANTARA BANDUNG DAN JAKARTA

ANTARA BANDUNG DAN JAKARTA. Tidak selalu harmonis: Hatta Albanik (DM-UNPAD), Hariman Siregar (DM-UI) dan Komarudin (DM-ITB).

Pada bulan-bulan terakhir tahun 1973, setelah Peristiwa 5 Agustus 1973 di Bandung, aktivitas mahasiswa yang berbasis kampus makin meningkat. Banyak pertemuan antar kampus dilakukan. Baik itu di antara kampus-kampus Bandung sendiri, maupun dengan kampus-kampus kota lain seperti Surabaya, Yogya, Bogor dan Jakarta. Selain mahasiswa, kerap hadir eksponen-eksponen gerakan kritis lainnya yang ada di masyarakat, baik itu kalangan budayawan maupun kaum intelektual.

Satu diantara pertemuan yang mendapat perhatian kalangan penguasa adalah pertemuan di kampus ITB yang diberitakan pers sebagai ‘Pertemuan Orang-orang Tidak Puas’. Pertemuan mahasiswa lainnya yang diamati kalangan kekuasaan adalah pertemuan-pertemuan menjelang Peristiwa 15 Januari 1974, di kampus Universitas Padjadjaran, yang dihadiri oleh pimpinan dewan-dewan mahasiswa yang sangat tidak diharapkan penguasa untuk ‘terkonsolidasi’ yakni ITB, UI dan Unpad. Dalam pertemuan itu hadir Hariman Siregar dari DM-UI, Komarudin dari DM-ITB dan Hatta Albanik dari DM-Unpad selaku tuan rumah. Hadir pula beberapa pimpinan DM lainnya dari Bandung maupun luar Bandung. Namun yang paling diamati kalangan intelejen adalah tiga orang itu.

MAHASISWA 1974 DAN JENDERAL SOEHARTO. Guntingan berita foto Suara Karya, pertemuan mahasiswa se-Indonesia dengan Presiden Soeharto, 11 Januari 1974.

Pada dasarnya seluruh kegiatan kritis mahasiswa itu digerakkan oleh suatu idealisme yang sama. Karena itu, gerakan mahasiswa di satu kota dengan cepat diapresiasi oleh mahasiswa dari kota lain dalam bentuk gerakan serupa. Tetapi perilaku dan perlakuan dari para penguasa militer di setiap kota seringkali tidak sama. Semakin jauh dari Jakarta, semakin represip.

Gerakan-gerakan mahasiswa kerapkali diekspresikan oleh gerakan mahasiswa di Jakarta sebagai mengandung nuansa politik praktis, yang di masa lalu sering diartikan sebagai power struggle di antara elite politik nasional. Gerakan mahasiswa di Bandung lebih terlihat mengandung muatan politik praktis yang berkadar lebih rendah dibandingkan dengan gerakan mahasiswa di Jakarta yang karena kedudukan mereka di ibukota dengan mudah diberikan cap sebagai gerakan politik praktis. Umumnya gerakan mahasiswa yang dianggap berhasil menumbangkan rezim kekuasaan, adalah bilamana gerakan mahasiswa itu memadukan gerakan-gerakan mahasiswa power struggle praktis di Jakarta dengan kekuatan-kekuatan pemikiran dan idealisme yang biasanya dilahirkan gerakan mahasiswa di Bandung.

GERAKAN MAHASISWA YANG TERGELINCIR MENJADI KERUSUHAN. Headline terakhir Mingguan Mahasiswa Indonesia mengenai Peristiwa 15 Januari 1974, menjelang pembreidelan oleh penguasa.

Penguasa sebenarnya justru sangat memahami hal ini, sehingga selalu berusaha meruntuhkan jalinan rantai yang menghubungkan Bandung dengan Jakarta. Kota-kota perguruan tinggi lainnya seperti Yogya, Surabaya, Medan, Makassar dan Bogor dengan sendirinya juga memiliki ciri-ciri tertentu yang bila berhasil dihubungkan dengan poros Jakarta-Bandung, juga akan menjadi kekuatan dahsyat yang mampu merobohkan kekuatan kekuasaan manapun yang menghalangi idealisme mahasiswa.

Kegagalan gerakan mahasiswa pada 15 Januari 1974 di Jakarta untuk mengganti kekuasaan Soeharto terjadi karena putusnya jalinan rantai yang menghubungkan gerakan mahasiswa Jakarta dan Bandung, sehingga dengan sendirinya memutuskan pula hubungan dengan gerakan mahasiswa kota-kota utama perguruan tinggi lainnya. Satu dan lain hal, itu terjadi karena timbulnya ‘kecurigaan’ yang besar terhadap figur Hariman Siregar yang ‘permainan’ politiknya seringkali membingungkan pihak lawan maupun kawan. Timbul pertanyaan atas dirinya: Bermain untuk siapakah dia ? Kesan seperti ini yang tampaknya melatarbelakangi sikap tokoh-tokoh mahasiswa Bandung, Hatta Albanik dan kawan-kawan di Bandung dan luar Jakarta, tak terkecuali Muslim Tampubolon (Ketua Umum DM-ITB) yang terkesan tidak selalu ‘harmonis’ dengan Hatta. Menarik bahwa saat itu, Ketua DM-ITB Komarudin, lebih banyak mewakili DM-ITB dalam komunikasi maupun kegiatan bersama dengan DM-UNPAD dibandingkan Muslim Tampubolon.

Tidak bisa dipungkiri, pelbagai tuntutan mahasiswa Bandung, sangat mewarnai keputusan politik yang dibuat pemerintah, seperti misalnya pembubaran Aspri, kebijakan kredit untuk pengusaha dan investasi kecil, serta pembatasan gaya hidup mewah – seperti yang antara lain dijadikan sindiran kontingen mahasiswa Bandung tentang banyaknya bangunan tembok tinggi seperti penjara di Jakarta tetapi di dalamnya adalah istana, tatkala berlangsung pertemuan 11 januari 1974 dengan Presiden Soeharto di Bina Graha. Bahkan pemerintah Jepang sendiri pernah mengutus seorang pejabat dari OECF (Overseas Economic Cooperative Fund) untuk menemui Hatta Albanik dan kawan-kawan yang dianggap representan gerakan mahasiswa anti modal Jepang, guna memastikan bentuk bantuan dan kerjasama kebudayaan apa yang harus diberikan Jepang agar mengurangi kesan buruk ‘economic animal’nya. Setelah penjajagan seperti itu, Jepang kemudian melahirkan program-program bantuan dan kerjasama kebudayaan Jepang-Indonesia. Bahkan program serupa kemudian diperluas, meliputi sejumlah negara Asean lainnya, terutama Philipina dan Thailand yang gerakan mahasiswanya juga kuat mengekspresikan sikap anti Jepang. Gerakan-gerakan anti Jepang memang berawal dari mahasiswa Bandung yang banyak menerima keluhan pengusaha-pengusaha tekstil di sekitar Bandung yang terpuruk oleh kehadiran modal Jepang. Gerakan ini kemudian diekspresikan dengan ekstrim, radikal dan cukup vulgar oleh mahasiswa Jakarta, sehingga terjadi huru hara besar 15 Januari 1974 –yang kemudian dijuluki sebagai Malapetaka 15 Januari atau Malari, terutama oleh kalangan penguasa.

Memang tak bisa dipungkiri bahwa tangan-tangan kekuasaan ikut pula bermain dalam menciptakan situasi yang radikal dan ekstrim pada peristiwa itu. Apalagi dalam dimensi waktu dan ruang yang sama terjadi pertarungan internal unsur kekuasaan –terutama antara kelompok Jenderal Ali Moertopo dengan kelompok Jenderal Soemitro. Provokasi dari kalangan kekuasaan yang terlibat pertarungan internal telah menyebabkan pecahnya kerusuhan (yang direncanakan) pada tanggal 15 Januari 1974. Jakarta hari itu dilanda huru hara besar. Peristiwa tersebut telah cukup menjadi alasan bagi penguasa untuk menindaki seluruh gerakan kritis, terutama yang dilancarkan para mahasiswa, sebagai gerakan makar yang berniat menggulingkan Presiden Soeharto dan pemerintahannya. Dan, pada masa-masa berikutnya penguasa ‘memiliki’ alasan menjalankan tindakan-tindakan supresi untuk menekan dan ‘menjinakkan’ kampus-kampus perguruan tinggi seluruh Indonesia. Penguasa ingin menjadikan kampus sekedar ‘campo vaccino’ atau padang penggembalaan lembu, tempat memelihara mahluk yang berfaedah namun tak pandai melawan, layaknya para bangsawan Medici memperlakukan rakyatnya sesuai isi kitab Niccolo  Machiavelli.

Berlanjut ke Bagian 4

Perjalanan Politik dan Kekuasaan Jenderal Soeharto: Pahlawan atau Bukan? (2)

“Di bawah penanganan Gubernur Ali Sadikin, agak di luar dugaan semula, ibukota melesat ke depan dalam penampilan kemajuan kasat mata”. “Bangunan baru dan perumahan-perumahan mewah yang menjadi kebutuhan golongan kaya menyebabkan tergusurnya rakyat kecil ini dari tanah mereka…. Bahkan, lebih dari itu, pembebasan tanah kerap juga harus mengalirkan darah dan merenggut nyawa kalangan bawah, karena digunakannya kekerasan oleh para penguasa. Untuk berbagai hal lain, Ali Sadikin berhasil, tetapi untuk yang satu ini, terkait ketidakadilan terhadap rakyat kecil dan terbiarkannya rakyat kalangan bawah tertindas demi pembangunan fisik Jakarta, rapor jenderal marinir ini merah”.

Wabah korupsi pun semakin mendapat perkuatan untuk melaju. Berbagai BUMN, seperti antara lain Pertamina dan Bulog, seakan-akan menjadi ‘centre of excellence’ bagi perilaku korupsi dan aneka penyalahgunaan kekuasaan lainnya dalam perlombaan untuk kepentingan pengumpulan    dana. Dan semakin terjalin pula persahabatan birokrasi dengan korupsi yang bahkan memasuki ‘perspektif keabadian’ dalam sejarah Indonesia.

Mahasiswa Bandung membaca dan mencermati fenomena ini dan terdorong untuk melakukan perlawanan-perlawanan. Gerakan-gerakan kritis anti korupsi yang dilancarkan oleh para mahasiswa itu memang tidak mencakup kasus demi kasus. Beberapa kasus terlewatkan dalam sorotan gerakan kritis mahasiswa, seperti misalnya kasus-kasus di beberapa BUMN diluar Pertamina maupun Bulog, kasus CV Haruman versus P&K, beberapa skandal ekspor dan perbankan, dan kasus-kasus korupsi di Departemen Agama. Tetapi secara garis besar, pola korupsi disorot secara argumentatif, dan beberapa ‘centre of excellence’ perilaku korupsi mendapat sorotan tajam mereka.

Cukup terlihat pula adanya kontinuitas dan konsistensi gerakan anti korupsi ini dari waktu ke waktu. Sekalipun sesekali terbersit pula rasa skeptis, bahwa dengan cara penguasa merespons kritik mengenai korupsi –yang upaya pemberantasannya oleh beberapa pengamat luar negeri disebutkan sekedar pertunjukan pura-pura Soeharto– mungkin saja takkan ada hasil yang signifikan dalam pemberantasan korupsi. Atau bahkan bukan mustahil pada akhirnya korupsi akan masuk ke dalam satu perspektif keabadian di Indonesia. Apalagi disadari pula oleh para mahasiswa, dengan melihat beberapa gejala empiris yang tak jauh-jauh dari mereka, betapa angkatan yang lebih senior dari mereka mulai ada yang terkikis. Ternyata, virus korupsi yang berjalan sejajar dan bersahabat dengan birokrasi yang menjalankan kekuasaan secara tidak benar, bisa menular, termasuk kepada yang pernah menentangnya. Maka sikap anti korupsi tidak bisa dilepaskan dari gerakan kritis secara menyeluruh terhadap penyimpangan penguasa dalam menjalankan pengendalian negara dan seluruh sektor kehidupan bangsa, serta perlawanan terhadap sikap anti demokrasi dan kemanusiaan.

Makin menderasnya hasrat ‘kekuasaan demi kekuasaan semata’ di kalangan penguasa Orde Baru pada tahun 1970-an, takkan bisa dilepaskan dari kepastian mencuatnya ekses-ekses ikutan berupa korupsi, penyalahgunaan hukum, sikap anti demokrasi dan kemanusiaan, yang memang melekat pada kecenderungan kekuasaan yang dijalankan di luar jalur demokratis. Pada gilirannya, ekses-ekses itu sendiri jalin berjalin lagi memperkokoh kekuasaan secara salah dan berdampak ke bawah ke masyarakat dalam bentuk-bentuk peningkatan penderitaan.

Korupsi yang tetap merupakan estafet dari masa-masa sebelumnya, terasa sangat menguat menjelang hingga masa-masa awal 1970-an, telah memunculkan kelompok-kelompok kaya baru dan para cukong. Dan pada akhirnya menciptakan kesenjangan sosial yang berupa jurang antara kaum kaya dengan kaum miskin dalam bentuk-bentuk yang amat menyolok. Etalase besar kesenjangan sosial itu adalah Jakarta sendiri, ibukota negara.

Ali Sadikin dan jurang sosial. Di bawah penanganan Gubernur Ali Sadikin, agak di luar dugaan semula, ibukota melesat ke depan dalam penampilan kemajuan kasat mata. Bangunan-bangunan baru menjulang ke atas dengan megah, jalan-jalan utama diperlebar, banyak gang dan lorong-lorong becek dirubah menjadi gang-gang beton. Keberhasilan Ali Sadikin dalam membangun Jakarta secara fisik itu, ditopang oleh keberhasilannya menggali dana inkonvensional melalui legalisasi perjudian-perjudian resmi, mulai dari kasino-kasino untuk pengunjung eksklusif, tempat perjudian kelas menengah yang lebih terbuka untuk umum, hingga kepada judi massal toto dan kupon hwa-hwee yang menciptakan Jakarta sebagai kasino besar dengan ratusan ribu penjudi setiap malam. Dilematis. Hasilnya dimaksudkan untuk membangun Jakarta dan tentunya juga untuk menyejahterakan rakyat, tapi pada sisi lain terjadi proses pemiskinan akibat tersedotnya uang masyarakat ke tangan para cukong perjudian dalam epidemi demam judi massal. Biaya sosial psikologisnya pun tak terhitung lagi. Mungkin Ali Sadikin tak cermat menghitung aspek yang satu ini.

Pada saat yang bersamaan, dengan terciptanya kelompok kaya baru akibat cipratan rezeki awal pembangunan ekonomi, kebutuhan-kebutuhan baru golongan baru itu telah mendorong  dan  menjepit  kalangan rakyat bawah.

Bangunan baru dan perumahan-perumahan mewah yang menjadi kebutuhan golongan kaya menyebabkan tergusurnya rakyat kecil ini dari tanah mereka. Semestinya ini bisa menjadi sarana pemerataan rezeki bagi rakyat yang tanahnya terpakai, tetapi dalam realita menurut angka-angka yang ada, ganti rugi adalah amat tidak layak. Bahkan, lebih dari itu, pembebasan tanah kerap juga harus mengalirkan darah dan merenggut nyawa kalangan bawah, karena digunakannya kekerasan oleh para penguasa. Untuk berbagai hal lain, Ali Sadikin berhasil, tetapi untuk yang satu ini, terkait ketidakadilan terhadap rakyat kecil dan terbiarkannya rakyat kalangan bawah tertindas demi pembangunan fisik Jakarta, rapor jenderal marinir ini merah.

Dan apa yang terjadi di Jakarta ini, mulai dari praktek perjudian hingga gaya konsumtif dan kesenjangan sosial, tak terhindarkan lagi menjalar ke seluruh penjuru tanah air, terutama di kota-kota besar seperti Bandung, Surabaya hingga kota-kota besar luar Jawa. Menjadi persoalan nasional yang baru dan berkepanjangan hingga kini.

Kesenjangan sosial akibat ketidak adilan menyebabkan keresahan sosial. Dan keresahan sosial adalah pintu masuk menuju kerusuhan sosial. Kritik-kritik dan peringatan para mahasiswa yang menyadari dan memahami situasi, tak mendapat respon yang layak dari kalangan kekuasaan. Penguasa yang terlalu sensitif terhadap kritik dan bagaikan berkaca mata kuda dalam memandang persoalan, senantiasa menafsirkan peringatan-peringatan dini yang bernada kritik sebagai bagian dari konspirasi untuk mendiskreditkan kekuasaan dan bahkan dianggap sebagai bagian dari pergulatan politik ataupun pergulatan dalam tubuh kekuasaan sendiri dalam rangka perebutan posisi kekuasaan.

Salah satu kerusuhan sosial yang terjadi adalah Peristiwa 5 Agustus 1973 di Bandung, yang sepintas seakan peristiwa rasial, tetapi esensinya menurut para mahasiswa kritis dari kampus-kampus Bandung, merupakan akibat dari kepincangan-kepincangan sosial yang tercipta di tengah masyarakat. “Di satu pihak lapisan terbesar masyarakat luas masih berada dalam keadaan hidup prihatin, tapi di pihak lain lapisan kecil yang menjadi penikmat hasil-hasil pembangunan menunjukkan rasa mewah yang berkelebihan dalam sikap hidup yang tak menggambarkan rasa senasib sebangsa”. Pernyataan mahasiswa Bandung itu pada hakekatnya menunjukkan betapa tujuan pembangunan bagi rakyat banyak, sejauh ini belum lah tercapai.

Setelah terjadinya Peristiwa 5 Agustus 1973, seakan terjadi suatu proses ‘pemanasan’ di tengah masyarakat maupun dalam kehidupan sosial politik. Selain karena adanya penangkapan-penangkapan terhadap tokoh-tokoh organisasi kepemudaan (non mahasiswa) di Bandung sebagai ekor peristiwa, kalangan penguasa militer bersama birokrasi pemerintahan dalam negeri melakukan beberapa tindakan-tindakan absurd baru.

Permusuhan dengan generasi muda. Kembali, yang menjadi sasaran tindakan absurd baru itu, adalah kalangan generasi muda, khususnya terhadap mahasiswa. Seolah untuk mencari-cari cara untuk menjelekkan mahasiswa dan generasi muda, kalau bukan malah mencari gara-gara, kembali para penguasa –kali ini tanpa pihak kepolisian– menjalankan razia rambut gondrong dengan alasan pelaku-pelaku kerusuhan sosial 5 Agustus kebanyakan pemuda-pemuda berambut gondrong. Lalu pihak P&K juga melancarkan razia anti rambut gondrong dengan sasaran siswa-siswa SLTA di Bandung. Ini kembali menyulut reaksi dan kritik mahasiswa Bandung. Ternyata kampanye anti gondrong dengan alasan-alasan yang sekaligus merendahkan gambaran moral generasi muda, berlangsung di berbagai kota di Indonesia. Menteri Dalam Negeri Amirmahmud –seorang jenderal di posisi birokrasi sipil– yang sejak tahun 1972 sudah mencanangkan permusuhan kepada rambut gondrong, mengulangi ucapan-ucapan keras mengenai rambut gondrong di tahun 1973 yang disusul kelatahan aparat di bawahnya untuk mewujudkan kebencian itu dalam tindakan-tindakan pemberantasan. Di Surabaya 12 Oktober 1973, giliran Angkatan Laut menampilkan sikap permusuhan dengan menggunting rambut gondrong dua mahasiswa ITS yang bertamu sebagai undangan Akabri Laut, Morokrembangan, dan menyulut protes.

Bukannya tak ada usaha untuk merajut kembali hubungan partnership Perguruan Tinggi dengan ABRI. Upaya semacam itu terutama datang dari kalangan tentara Angkatan 45 dan generasi muda mahasiswa yang berwawasan masa depan kehidupan  bangsa berporoskan manajemen bangsa yang kuat dipadu intelektualisme idealistik dan profesional. Tapi tampaknya usaha itu masih sia-sia.

Secara simultan, suatu rasa anti Jepang yang sudah terasa tanda-tandanya sejak bulan-bulan awal tahun 1973, lebih mengkristal dan meningkat di akhir Agustus, di Bandung maupun di Jakarta. Sikap anti Jepang ini sebenarnya tak terlepas dari kritik masyarakat yang disepakati oleh para mahasiswa dengan menempatkan diri di depan dalam barisan pengeritik, terhadap kebijaksanaan pemerintah dalam masalah penanaman modal asing yang begitu longgar terhadap pihak asing namun tak adil terhadap pengusaha domestik. Dan di antara pihak asing, para pengusaha Jepang lah yang paling disorot karena dalam kenyataan mereka betul-betul berperilaku murni sebagai ‘economic animal’. Hubungan mereka dengan Indonesia, betul-betul hubungan ekonomi belaka tanpa ada hubungan lain seperti hubungan pertukaran kebudayaan dan pendidikan seperti yang dilakukan  negara-negara Barat. Tapi beberapa kalangan pengusaha Jepang justru menganggap kritik-kritik terhadap mereka di Indonesia terlalu politis, sehingga ada cetusan balik bahwa orang Indonesia itu ‘politic animal’.

Berlanjut ke Bagian 3

Kisah Hariman Siregar dan Pertarungan Internal Kekuasaan (2)

“Dengan cara apakah mahasiswa menjalankan tuntutan hati nurani bangsa itu? Dengan gerakan-gerakan power struggle on the street yang bersentuhan dengan politik praktis atau dengan gerakan-gerakan yang mengandalkan kekuatan pemikiran dan konsep sebagai kekuatan moral sesuai hakekat peran mereka sebagai intelektual muda? Ataukah campuran yang cerdas dan arif dari semua cara itu?”

Antara Bandung-Jakarta. Pada bulan-bulan terakhir tahun 1973, setelah Peristiwa 5 Agustus 1973 di Bandung, aktivitas mahasiswa yang berbasis kampus makin meningkat. Banyak pertemuan antar kampus dilakukan. Baik itu di antara kampus-kampus Bandung sendiri, maupun dengan kampus-kampus kota lain seperti Surabaya, Yogya, Bogor dan Jakarta. Selain mahasiswa, kerap hadir eksponen-eksponen gerakan kritis lainnya yang ada di masyarakat, baik itu kalangan budayawan maupun kaum intelektual.

Satu diantara pertemuan yang mendapat perhatian kalangan penguasa adalah pertemuan di kampus ITB yang diberitakan pers sebagai ‘Pertemuan Orang-orang Tidak Puas’. Pertemuan mahasiswa lainnya yang diamati kalangan kekuasaan adalah pertemuan-pertemuan menjelang Peristiwa 15 Januari 1974, di kampus Universitas Padjadjaran, yang dihadiri oleh pimpinan dewan-dewan mahasiswa yang sangat tidak diharapkan penguasa untuk ‘terkonsolidasi’ yakni ITB, UI dan Unpad. Dalam pertemuan itu hadir Hariman Siregar dari DM-UI, Komarudin dari DM-ITB dan Hatta Albanik dari DM-Unpad selaku tuan rumah. Hadir pula beberapa pimpinan DM lainnya dari Bandung maupun luar Bandung. Namun yang paling diamati kalangan intelejen kala itu adalah tiga orang tersebut.

Pada dasarnya seluruh kegiatan kritis mahasiswa itu digerakkan oleh suatu idealisme yang sama. Karena itu, gerakan mahasiswa di satu kota dengan cepat diapresiasi oleh mahasiswa dari kota lain dalam bentuk gerakan serupa. Tetapi perilaku dan perlakuan dari para penguasa militer di setiap kota seringkali tidak sama. Semakin jauh dari Jakarta, semakin represip.

Gerakan-gerakan mahasiswa kerapkali diekspresikan oleh gerakan mahasiswa di Jakarta sebagai mengandung nuansa politik praktis, yang di masa lalu sering diartikan sebagai power struggle di antara elite politik nasional. Gerakan mahasiswa di Bandung –dan umumnya gerakan-gerakan mahasiswa luar Jakarta lainnya– lebih terlihat mengandung muatan politik praktis yang berkadar lebih rendah dibandingkan dengan gerakan mahasiswa di Jakarta yang karena kedudukan mereka di ibukota dengan mudah diberikan cap sebagai gerakan politik praktis. Umumnya gerakan mahasiswa yang dianggap berhasil menumbangkan rezim kekuasaan, adalah bilamana gerakan mahasiswa itu memadukan gerakan-gerakan mahasiswa power struggle praktis di Jakarta dengan kekuatan-kekuatan pemikiran dan idealisme yang biasanya dilahirkan gerakan mahasiswa di Bandung.

Penguasa sebenarnya justru sangat memahami hal ini, sehingga selalu berusaha meruntuhkan jalinan rantai yang menghubungkan Bandung dengan Jakarta. Kota-kota perguruan tinggi lainnya seperti Yogya, Surabaya, Medan, Makassar dan Bogor dengan sendirinya juga memiliki ciri-ciri tertentu yang bila berhasil dihubungkan dengan poros Jakarta-Bandung, juga akan menjadi kekuatan dahsyat yang mampu merobohkan kekuatan kekuasaan manapun yang menghalangi idealisme mahasiswa.

Kegagalan gerakan mahasiswa pada 15 Januari 1974 di Jakarta untuk mengganti kekuasaan Soeharto terjadi karena putusnya jalinan rantai yang menghubungkan gerakan mahasiswa Jakarta dan Bandung, sehingga dengan sendirinya memutuskan pula hubungan dengan gerakan mahasiswa kota-kota utama perguruan tinggi lainnya. Satu dan lain hal, itu terjadi karena timbulnya ‘kecurigaan’ yang besar terhadap figur Hariman Siregar yang ‘permainan’ politiknya seringkali membingungkan pihak lawan maupun kawan. Timbul pertanyaan atas dirinya: Bermain untuk siapakah dia ? Kesan seperti ini yang tampaknya melatarbelakangi sikap tokoh-tokoh mahasiswa Bandung, Hatta Albanik (Unpad) dan kawan-kawan di Bandung dan luar Jakarta, tak terkecuali Muslim Tampubolon (ITB) yang terkesan tidak selalu ‘harmonis’ dengan Hatta.

Tidak bisa dipungkiri, pelbagai tuntutan mahasiswa Bandung, sangat mewarnai keputusan politik yang dibuat pemerintah, seperti misalnya pembubaran Aspri, kebijakan kredit untuk pengusaha dan investasi kecil, serta pembatasan gaya hidup mewah –seperti yang antara lain dijadikan sindiran kontingen mahasiswa Bandung tentang banyaknya bangunan tembok tinggi seperti penjara di Jakarta tetapi di dalamnya adalah istana, tatkala berlangsung pertemuan 11 januari 1974 dengan Presiden Soeharto di Bina Graha. Bahkan pemerintah Jepang sendiri pernah mengutus seorang pejabat dari OECF (Overseas Economic Cooperative Fund) untuk menemui Hatta Albanik dan kawan-kawan yang dianggap representan gerakan mahasiswa anti modal Jepang, guna memastikan bentuk bantuan dan kerjasama kebudayaan apa yang harus diberikan Jepang agar mengurangi kesan buruk ‘economic animal’nya. Setelah penjajagan seperti itu, Jepang kemudian melahirkan program-program bantuan dan kerjasama kebudayaan Jepang-Indonesia. Bahkan program serupa kemudian diperluas, meliputi sejumlah negara Asean lainnya, terutama Philipina dan Thailand yang gerakan mahasiswanya juga kuat mengekspresikan sikap anti Jepang. Gerakan-gerakan anti Jepang memang berawal dari mahasiswa Bandung yang banyak menerima keluhan pengusaha-pengusaha tekstil di sekitar Bandung yang terpuruk oleh kehadiran modal Jepang. Gerakan ini kemudian diekspresikan dengan ekstrim, radikal dan cukup vulgar oleh mahasiswa Jakarta, sehingga terjadi huru hara besar 15 Januari 1974 –yang kemudian dijuluki sebagai Malapetaka 15 Januari atau Malari, terutama oleh kalangan penguasa.

Memang tak bisa dipungkiri bahwa tangan-tangan kekuasaan ikut pula bermain dalam menciptakan situasi yang radikal dan ekstrim pada peristiwa itu. Apalagi dalam dimensi waktu dan ruang yang sama terjadi pertarungan internal unsur kekuasaan –terutama antara kelompok Jenderal Ali Moertopo dengan kelompok Jenderal Soemitro. Provokasi dari kalangan kekuasaan yang terlibat pertarungan internal telah menyebabkan pecahnya kerusuhan (yang sudah diskenariokan) pada tanggal 15 Januari 1974. Jakarta hari itu dilanda huru hara besar. Peristiwa tersebut telah cukup menjadi alasan bagi penguasa untuk menindaki seluruh gerakan kritis, terutama yang dilancarkan para mahasiswa, sebagai gerakan makar yang berniat menggulingkan Presiden Soeharto dan pemerintahannya. Dan, pada masa-masa berikutnya penguasa ‘memiliki’ alasan menjalankan tindakan-tindakan supresi untuk menekan dan ‘menjinakkan’ kampus-kampus perguruan tinggi seluruh Indonesia. Penguasa ingin menjadikan kampus sekedar ‘campo vaccino’ atau padang penggembalaan lembu, tempat memelihara mahluk yang berfaedah namun tak pandai melawan, layaknya para bangsawan Medici memperlakukan rakyatnya sesuai isi kitab Niccolo  Machiavelli.

Tatkala supresi masuk kampus. Dengan terjadinya Peristiwa 15 Januari 1974, memang terbuka jalan bagi rezim Soeharto untuk ‘menindaki’ kampus yang selama ini menjadi sarang kebebasan dan gerakan kritis. Cukup banyak yang mempersalahkan Hariman Siregar dan mahasiswa Jakarta yang di satu pihak memilih posisi dalam kelompok Jenderal Soemitro dalam pertarungan kekuasaan yang terjadi, dan pada pihak lain kurang berhati-hati dalam melakukan gerakan-gerakannya, sehingga gerakan mahasiswa tanggal 15 Januari itu berhasil digiring oleh kelompok Ali Moertopo berkobar menjadi kerusuhan sosial. Seperti yang pernah dikatakan Dr Kusnadi Hardjasumantri, mantan Rektor UGM, bila Peristiwa 15 Januari 1974, tidak terprovokasi untuk meletup, Soeharto telah jatuh lebih awal, dengan sendirinya. Karena, pada akhir tahun 1973 dan awal 1974 itu sebenarnya Soeharto berada dalam titik nadir, kehilangan dukungan mayoritas di militer dan pada waktu yang sama kehilangan dukungan kaum teknokrat serta kekuatan mahasiswa.

Tetapi pada sisi lain, Hariman dan kawan-kawan juga dielu-elukan sebagai simbol perlawanan terhadap rezim Soeharto. Pergerakan gaya power struggle ala Hariman dan kawan-kawan dari Jakarta banyak dijadikan model bagi sejumlah pergerakan mahasiswa pada masa berikutnya. Gerakan ini bisa juga disebut gerakan mahasiswa on the street, yang lebih mengandalkan kekuatan otot dalam aksi-aksi turun ke jalan, yang dengan sendirinya juga bisa sarat dengan berbagai ekses seperti keterlibatan mahasiswa dalam aksi kekerasan. Adanya aksi-aksi kekerasan yang tak jarang menampilkan aroma anarkis, mengundang kritik bahwa mahasiswa juga telah terjangkit gaya premanisme.

Bila gerakan mahasiswa di tahun 1966 hingga untuk sebagian di tahun 1974 maupun 1978, masih selalu mengutamakan gerakan dengan kekuatan pemikiran atau konsep, yang dikombinasikan dengan beberapa gerakan mahasiswa on the street, maka pada masa-masa berikutnya terjadi pembalikan. Kini, tampaknya power struggle on the street menjadi pilihan utama, sementara gerakan berdasarkan kekuatan pemikiran dan konsep makin ditinggalkan. Bersamaan dengan itu, intra kampus sebagai basis kekuatan gerakan mahasiswa seperti halnya di tahun 1967-1974 bahkan sampai 1978, telah bergeser pula kembali ke luar kampus seperti halnya dengan periode 1960-1965, dengan organisasi-organisasi ekstra kampus onderbouw partai sebagai pemegang peran utama. BEM dari berbagai kampus saat ini dalam aneka pergerakan cenderung menjadi sekedar subordinasi organisasi-organisasi luar kampus seperti Kammi misalnya. Terlepasnya kendali inisiatif pergerakan ke luar pagar kampus, dengan sendirinya membuka peluang kontaminasi kepentingan politik praktis ke dalam pergerakan mahasiswa. Dengan kata lain, sangat terbuka peluang pemanfaatan mahasiswa dalam berbagai pertarungan politik intra kekuasaan.

SETELAH Peristiwa 15 Januari 1974, sejumlah tindakan supresi diterapkan di kampus-kampus. Selain oleh tentara, tindakan supresi itu terutama juga melalui tangan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang diangkat setelah Peristiwa 15 Januari oleh Soeharto, yakni Mayjen Dr Sjarif Thajeb. Gaya supresi ini selanjutnya menjadi mode bagi penguasa dalam menghadapi kampus hingga tahun 1978. Puncaknya berupa pendudukan kampus yang berani ‘melawan’ Soeharto seperti ITB dan beberapa perguruan tinggi lainnya di seluruh Indonesia, oleh kesatuan-kesatuan tentara di tahun 1978.

Semula, Dr Sjarif Thajeb, yang pernah duduk sebagai Menteri Perguruan Tinggi Ilmu Pengetahuan di kabinet transisi Soekarno pada tahun 1965-1966, sempat menjadi ‘harapan’ bagi para mahasiswa, mengingat track recordnya sebagai orang yang ikut menyokong lahirnya KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) –yang pada akhirnya menjadi ujung tombak penggulingan rezim Soekarno. Akan tetapi, kata-kata baiknya yang senantiasa dilontarkannya dalam pertemuan-pertemuan dengan para mahasiswa, ternyata terbukti omong kosong belaka, karena bahkan ia menjadi salah satu mata pedang tindakan supresi di kampus-kampus. Belakangan ia sering melontarkan kata-kata keras yang menekan mahasiswa dalam pelbagai pertemuan. Karena itu, berkali-kali ia sempat bersitegang dengan para mahasiswa. Bahkan tidak ada yang bisa menduga suasana pertemuan bapak-anak yang pernah terjadi pada mulanya, di kemudian hari hampir berkembang jadi duel adu jotos tatkala ia ingin memaksakan kehendaknya.

Tapi kampus memang tak pernah benar-benar bisa ditundukkan oleh kekuasaan semata. Gerakan-gerakan kritis mahasiswa dengan berbagai cara tetap saja bisa berlangsung, diantaranya dengan penyelenggaraan diskusi-diskusi ‘ilmiah’ di bawah payung Tri Dharma Perguruan Tinggi. Sementara itu, sumber (daya) manusia bagi kampus tak pernah habis, setiap tahun kampus memperoleh ‘darah segar’ berupa mengalir masuknya mahasiswa baru yang pada waktunya membawakan lagi aspirasi-aspirasi baru. Kampus perguruan tinggi adalah bagaikan sebuah sungai, airnya tak pernah berhenti mengalir. Suatu proses yang tak kenal henti. Sejarah mencatat, bahwa setelah gerakan-gerakan kritis mahasiswa 1970-1974, kemudian muncul lagi gerakan perlawanan mahasiswa 1978 dan berikutnya gerakan mahasiswa 1998 yang menjadi penyulut utama kejatuhan Soeharto.

AGAKNYA memang hingga sejauh ini hati nurani bangsa selalu terlihat benang merahnya pada gerakan-gerakan mahasiswa. Merupakan hal yang jelas bahwa semakin penguasa mengambil tempat berjauhan dengan gerakan mahasiswa, maka itu berarti umur kekuasaan di tangan sang penguasa, siapa pun dia, dalam kurun waktu yang mana pun juga, telah semakin pendek. Akan tetapi, menjadi pertanyaan yang menarik, dengan cara apakah mahasiswa menjalankan tuntutan hati nurani bangsa itu? Dengan gerakan-gerakan power struggle on the street yang bersentuhan dengan politik praktis atau dengan gerakan-gerakan yang mengandalkan kekuatan pemikiran dan konsep sebagai kekuatan moral sesuai hakekat peran mereka sebagai intelektual muda? Ataukah campuran yang cerdas dan arif dari semua cara itu?

Catatan Lama: Ketidakadilan Sosial dan Peristiwa 5 Agustus 1973 (2)

“Isu-isu keadilan hanya dijadikan bagian dari politik pencitraan, kalau bukan sekedar tipu daya mengelabui rakyat pemilih pada setiap penyelenggaraan pemilihan umum. Betul-betul bagaikan menghidangkan kerak basi saja. Menjelang pemilihan umum, BLT dengan tergesa-gesa dikucurkan. Begitu pemilu usai, program itu menguap bersama berbagai janji-janji politik lainnya. Bersamaan dengan itu, pemerintah justru menjadi pelit mengeluarkan uang untuk perbaikan sekolah-sekolah yang rusak bahkan roboh sebelum waktunya karena memang dikerjakan dengan pola pembiayaan beraroma kolusi”.

KORBAN yang jatuh dalam Peristiwa 5 Agustus 1973 menurut catatan resmi hanyalah 1 orang yang tewas. Ia mati oleh linggis yang ditusukkan menembus kaca depan mobil pickup yang dikendarainya. Ia bukan keturunan cina, hanya wajahnya mirip. Tapi sebenarnya masih terdapat korban tewas lainnya yang tidak didata, antara lain karena telah dikuburkan diam-diam di pekuburan cina di pinggiran kota Bandung oleh sanak keluarga masing-masing. Selain yang tewas, menurut keterangan resmi, ada 51 orang yang luka berat dan luka ringan yang semuanya dirawat di rumah-rumah sakit. Tapi sebenarnya, diluar itu masih terdapat tak sedikit korban lainnya yang tak tercatat karena tidak pernah ke rumah sakit untuk berobat.

Kerugian materil seperti yang diumumkan secara resmi oleh instansi-instansi keamanan, ada 1535 rumah dan toko yang dirusakkan, 129 mobil dirusak dan dibakar, 169 kendaraan bermotor roda dua juga dirusak dan dibakar. Kerusakan dan kerugian lain adalah pembakaran benda-benda seperti sepeda, televisi, kulkas, beca. Ada satu gereja dirusak, yaitu di Jalan Lengkong Kecil. Perusakan juga terjadi terhadap paling tidak tiga pabrik tekstil dan showroom mobil milik PT Astra dan PT Permorin. Sebenarnya ada juga kasus perkosaan dan pelecehan wanita, namun skalanya tidak sebesar yang terjadi pada Peristiwa Mei 1998.

Gagap, lamban dan kambing hitam. Kelambanan dan ‘kegagalan’ aparat dalam mengatasi kerusuhan merupakan catatan tersendiri. Para penguasa bagai orang-orang bingung menghadapi Peristiwa 5 Agustus 1973 ini. Kebingungan dan sikap ‘gagap’ yang sama juga seringkali ditunjukkan oleh pemerintah dan para pengendali keamanan dan ketertiban yang sekarang, seperti misalnya yang terlihat dalam kerusuhan dalam kasus Makam Mbah Priok beberapa waktu yang lalu.

Pada saat peristiwa di Bandung itu bergejolak sejak pukul setengah enam petang di hari Minggu 5 Agustus 1973, yang berwajib bagai mati kutu. Tangan para penjaga keamanan dan ketertiban terasa ‘kendor dan lepas’ sepanjang berlangsungnya peristiwa. Petugas-petugas di mobil-mobil patroli dan petugas-petugas Skogar (Staf Komando Garnisun) lainnya tak dapat berbuat apa-apa selain melaporkan terus ‘pandangan mata’ mereka ke markas komando lewat hubungan radio. “Kami hanya diejek-ejek massa” bunyinya satu laporan radio mereka. Demikian pula petugas mobil-mobil pemadam kebakaran yang harus bekerja dibawah tempik sorak massa yang untuk sebagian terbesar adalah anak-anak muda berusia belasan tahun. Sehingga tidaklah mengherankan bahwa kemudian huru-hara berlangsung sampai berjam-jam lamanya. Makin malam, makin meluas. Petugas-petugas yang diturunkan pun rupanya tanpa instruksi yang cukup pasti sehingga ragu-ragu melakukan suatu usaha meredakan keadaan. Belum lagi hingga pukul sembilan malam jumlah petugas amat terbatas.

Rupanya koordinasi penanganan masalah macet. Nanti setelah pasukan-pasukan Kujang Siliwangi datang, keadaan mereda untuk beberapa saat, yaitu sekitar pukul sembilan itu. Namun setelah ternyata bahwa kebanyakan para petugas keamanan toh tetap memperlihatkan keragu-raguan dalam bertindak, meskipun telah bertambah jumlahnya, suhu huru hara meningkat lagi. Dan terutama selewat pukul sembilan malam lah justru ekses penjarahan barang-barang di toko-toko mulai terjadi, bertambah merajalela setelah pukul 12 tengah malam dan berlangsung hingga subuh hari Senin. Memang, agaknya telah terjadi sesuatu di tingkat komando. Hingga kini, masalah dan duduk perkara sebenarnya belum pernah diungkapkan, kecuali terdapatnya suatu informasi samar-samar tentang latar belakangnya.

Lepas dari suasana ‘bingung’nya –atau dari suatu latar belakang lain– barulah para pejabat tinggi mulai ‘meledak’ dengan aneka pernyataan bersuara lantang, terutama pada hari Senin. Gubernur Jawa Barat Solihin GP sebagaimana lazimnya yang kerap dilakukan para pejabat kala itu, melontarkan tuduhan kepada gerilya politik PKI dibelakang peristiwa ini. Ia menyatakan merasa kecolongan oleh gerpol (gerilya politik) PKI itu disamping kecolongan oleh para pencoleng dan brandalan. Enam hari kemudian Solihin GP tampil memberikan penjelasan mengenai peristiwa itu di DPRD Jawa Barat. Untuk sebagian laporannya, tampak cukup akurat, sesuai fakta di lapangan. Hanya bagian analisanya yang menyebutkan bahwa itu semua termasuk ke dalam pola-pola PKI yang telah diatur dan dipersiapkan, banyak yang menganggapnya sekedar pengkambinghitaman dan ‘memudah’kan masalah.

‘Kemarahan’ kepada sisa-sisa G30S/PKI juga ditunjukkan oleh Jenderal Soemitro yang saat peristiwa itu terjadi sudah berubah status menjadi Panglima Kopkamtib. Ia mengatakan dengan nada keras “Kami mencintai bangsa kami, baik yang benar maupun yang salah. Tapi kalau cinta kami itu disalahgunakan dan menusuk kami dari belakang, maka kehancuran bagi mereka adalah jawabannya”. Adapun sisa-sisa PKI, tak ada yang menjawab. Sejumlah kaum kritis menyindir, semoga pesan itu sampai kepada tokoh-tokoh PKI yang bersembunyi. “Menunjuk PKI dengan segera sebagai penggerak suatu huru-hara seperti Peristiwa 5 Agustus ini memang adalah jalan pintas yang paling gampang”. Sejak beberapa tahun sebelumnya hingga saat itu dan masih berlanjut untuk beberapa lama, cara tersebut ampuh untuk menyiram keberanian dan emosi masyarakat yang terlibat dalam suatu huru-hara seperti perusakan mesjid, perusakan gereja dan sebagainya, karena tak ada manusia Indonesia kala itu yang mau dicurigai sebagai PKI. Tapi cara tersebut, menurut pengalaman, untuk jangka panjang tak pernah menyelesaikan persoalan, kecuali membuat orang bungkam.

Seraya menyerukan harapan kepada masyarakat agar menanggapi segala kondisi dan situasi yang ada secara obyektif dan rasional dan menghindarkan hal-hal yang berdasarkan emosi semata, kelompok gerakan kritis mahasiswa dari organisasi-organisasi intra kampus, Badan Kerja Sama DM-SM se Bandung, melancarkan kecaman-kecaman keras ke alamat penguasa. “Betapa pun juga haruslah disadari bahwa peristiwa 5 Agustus adalah merupakan refleksi dan ledakan yang tidak terlepas dari kondisi sosial yang melingkupi masyarakat dan bangsa Indonesia”. Kondisi dan situasi sosial tersebut membawa masyarakat pada suatu posisi yang memaksanya mengambil sikap yang teredam tanpa suatu penyaluran yang memuaskan. “Kondisi dan situasi masyarakat yang berada dalam taraf pembangunan, dihadapkan dengan kenyataan-kenyataan yang menunjukkan adanya kepincangan-kepincangan yang digambarkan dalam bentuk sikap, tindak dan situasi kontradiktif yang menyentuh rasa keadilan sosial masyarakat”.

Kenyataan itu, menurut para mahasiswa tersebut, “di satu pihak menunjukkan bahwa lapisan terbesar masyarakat luas masih berada dalam keadaan hidup yang prihatin, di lain pihak lapisan kecil yang menjadi ‘penikmat’ hasil-hasil pembangunan, menunjukkan penampilan rasa mewah yang berkelebihan dalam sikap hidup yang tidak menggambarkan rasa senasib sebangsa”. Adalah patut disesalkan bahwa sikap-sikap negatif yang dipertontonkan secara menyolok tersebut, dinilai seolah sebagai suatu kewajaran yang di’angin’i oleh kalangan penguasa tertentu. “Adalah sangat disesalkan pula bahwa jurang sosial yang semakin melebar ini, secara sadar atau tidak, kurang memperoleh pemahaman dan perhatian yang intensif. Jelaslah bahwa betapa pun juga kondisi dan situasi ini akan lebih memburuk bilamana kondisi tersebut di atas tidak segera memperoleh perhatian-perhatian yang wajar dalam penanggulangannya”.

Lalu mahasiswa menegaskan, “Dalam kerangka ini, sudahlah jelas bahwa diperlukan langkah-langkah tindakan korektif ke dalam, terhadap kebijaksanaan penguasa sendiri, sehingga mampu menggambarkan wajah simpatik yang menunjukkan adanya kesungguhan akan usaha perbaikan yang dilakukan dalam meningkatkan taraf hidup rakyat banyak”. Kepada wakil-wakil rakyat para mahasiswa menyerukan untuk berfungsi sebagaimana mestinya untuk dapat menyalurkan segala kehendak rakyat.

Sebuah organisasi mahasiswa ekstra, PMKRI, yang dikenal sebagai organisasi yang sebagian anggotanya berasal dari warganegara keturunan ini, tanpa segan-segan melakukan koreksi dan kritik kepada kalangan etnis cina sebagai salah satu unsur dalam masyarakat yang kerap ikut mempertajam kesenjangan sosial yang ada. Organisasi itu mengecam perilaku sementara pengusaha yang kebetulan keturunan cina yang masih bersifat monopolistis, kapitalistis dan bersikap eksklusif.

Terhadap Peristiwa 5 Agustus 1973, banyak pihak yang mengasosiasikannya dengan peristiwa sepuluh tahun sebelumnya di Bandung juga, Peristiwa 10 Mei 1963, yang dianggap peristiwa rasial karena korbannya adalah keturunan cina. Namun Peristiwa 5 Agustus ini menurut hakekatnya titik beratnya bukanlah semata peristiwa rasial melainkan jalin berjalinnya berbagai masalah sosial. Peristiwa ini seperti yang dapat dibaca dari keadaan, harus diakui ada kaitannya dengan penderitaan masyarakat yang pada waktu-waktu belakangan kala itu memang makin memberat. Agaknya itu membangun sikap agresif, sehingga hanya dengan sebuah insiden, ekornya jadi luar biasa. Bahwa sasaran kemarahan terutama tertuju kepada warga negara Indonesia yang kebetulan keturunan cina, sehingga warna rasialisme menyolok dalam peristiwa ini, agaknya tak lain karena dalam tata masyarakat kita golongan ini adalah mata rantai ‘terlemah’ di segala segi terkecuali dalam segi ekonomi dan keuangan.

Hal lain yang amat penting untuk diperhatikan adalah sasaran kemarahan di tanggal 5 Agustus 37 tahun lampau itu. Selain beberapa pabrik tekstil besar yang ikut jadi sasaran, juga showroom PT Astra dan PT Permorin yang memajang beberapa mobil baru. Bahkan tempat perbelanjaan Sarinah di jalan Braga yang nyata-nyata adalah milik negara. Ini semua menunjukkan, sesuai dengan psikologi massa, bahwa setiap kali terjadi huru-hara, sasaran akan gampang meluas dan melampaui  batasan-batasan. Gejala ingin merusakkan apa yang tampak mentereng –lampu-lampu reklame sebagai lambang, mobil-mobil mentereng, termasuk beberapa yang milik bukan keturunan cina, barang-barang luks seperti televisi dan sebagainya– cukup terlihat selama beberapa jam sepanjang berlangsungnya huru-hara. Tapi terlepas dari itu, tentu saja dari sudut hukum peristiwa itu tidak bisa dibenarkan.

Bukan kerak basi. Mengungkap kembali cerita-cerita lama tentang kerusuhan sosial karena keresahan sosial akibat ketidakadilan, meminjam ucapan seorang tokoh yang pernah berada dalam kekuasaan dan mungkin saja hingga kini masih punya pengaruh dalam kekuasaan itu, bisa saja dianggap seakan menghidangkan kerak basi. Tetapi sebenarnya yang merupakan kerak basi itu bukanlah dambaan terhadap keadilan sosial, melainkan retorika politik tentang keadilan sosial yang dari masa ke masa hingga kini tak henti-hentinya dilontarkan mereka yang ada di dalam maupun mereka yang sedang mencoba ‘masuk’ ke dalam kekuasaan. Tanpa pernah bersungguh-sungguh mengupayakannya.

Isu-isu keadilan hanya dijadikan bagian dari politik pencitraan, kalau bukan sekedar tipu daya mengelabui rakyat pemilih pada setiap penyelenggaraan pemilihan umum. Betul-betul bagaikan menghidangkan kerak basi saja. Menjelang pemilihan umum, BLT dengan tergesa-gesa dikucurkan. Begitu pemilu usai, program itu menguap bersama berbagai janji-janji politik lainnya. Bersamaan dengan itu, pemerintah justru menjadi pelit mengeluarkan uang untuk perbaikan sekolah-sekolah yang rusak bahkan roboh sebelum waktunya karena memang dikerjakan dengan pola pembiayaan beraroma kolusi. Secara umum, pemerintah memang cenderung pelit dalam membiayai program-program yang menyangkut kepentingan akar rumput, tetapi antusias dalam mengeluarkan anggaran untuk kegiatan yang bukan-bukan, entah merenovasi gedung-gedung pemerintahan atau gedung parlemen, entah, entah membiayai  perjalanan dinas yang makin intensif melebihi keperluan, bahkan membiayai panggung dan iklan pencitraan pejabat. Sekedar menyebut contoh, setiap departemen punya program pengiklanan lewat televisi –dengan para menteri sebagai bintang iklannya– yang selalu menyebutkan ‘kepentingan’ rakyat di dalamnya, namun tak pernah ada program sebenarnya untuk kepentingan rakyat itu. Serba kerak basi.

Catatan Lama: Ketidakadilan Sosial dan Peristiwa 5 Agustus 1973 (1)

“Terlihat gejala keputusasaan yang makin meluas karena deraan kesulitan ekonomi dan penghancuran harkat dan martabat sebagai manusia yang merupakan bagian dari suatu proses kegagalan sosiologis yang panjang. Ada ibu yang minum racun tikus dengan mengajak anak-anaknya. Ada anak-anak usia sekolah yang bunuh diri ketika berhadapan dengan kenyataan bahwa orangtuanya tak mampu membiayai mereka bersekolah. Ada suami yang menggorok leher isterinya lalu mencoba membunuh dirinya sendiri karena merasa tak mampu lagi bertahan secara ekonomis. Karena tekanan yang sama, ada satu keluarga membakar diri bersama. Tersedia daftar contoh yang panjang untuk ini”.

WAKTU boleh berjalan, berbagai perubahan mungkin saja telah terjadi dan membuat tampilan luar wajah Indonesia –yang sebentar lagi memasuki usia kemerdekaan 65 tahun– juga banyak berubah. Tetapi selama puluhan tahun ada yang secara esensial tetap saja tidak berubah: Keadilan sosial yang dinanti-nantikan seluruh rakyat belum juga kunjung tercapai. Beberapa pemerintahan yang silih berganti di Indonesia ini, tak satu pun hingga sejauh ini berhasil mendekati cita-cita yang tercantum dalam pembukaan undang-undang dasar itu.

Berkali-kali beberapa pemerintahan memang sempat cukup berhasil menjalankan pembangunan ekonomi, di antaranya ada yang bisa mencapai tingkat pertumbuhan yang memadai. Ada kenaikan GNP karena beberapa jenis ekspor meningkat, tetapi pertumbuhan itu tak pernah berhasil meneteskan ke bawah rezeki yang bisa dinikmati mayoritas rakyat banyak. Pola pertumbuhan ekonomi yang tak adil di negara berkembang seperti gambaran Rostow terjadi di sini. Delapan puluh persen hasil pembangunan dinikmati oleh dua puluh persen golongan atas, sementara delapan puluh persen kalangan akar rumput hanya bisa menikmati dua puluh persen dari hasil pembangunan itu.

Kebijakan elitis.Kenyataan empiris menunjukkan bahwa penyebab dari kegagalan distribusi kenikmatan pembangunan itu adalah karena tak sedikit kebijakan elitis yang dijalankan pemerintahan-pemerintahan Indonesia dari waktu ke waktu itu “cenderung senantiasa lebih menguntungkan golongan berpunya daripada kebijakan yang berorientasi pemerataan kepada golongan terjepit”. Kecenderungan yang sama kembali terjadi pada banyak kebijakan pemerintahan yang sekarang. Maka, situasi akhir pengaruhnya di masyarakat, juga tak berbeda banyak, untuk tidak mengatakannya dalam beberapa hal lebih buruk ketika terakumulasi dengan hasil kegagalan-kegagalan warisan masa lampau. Pelaku-pelaku ekonomi akar rumput yang berdagang di pasar-pasar tradisional tetap bergelimpangan karena serbuan persaingan jaringan supermarket atau hypermarket yang juga ikut menjual kebutuhan sehari-hari seperti sayur kangkung, cabe, terasi dan sebagainya. Secara teoritis, para petani atau nelayan penghasil bahan makanan kebutuhan pokok sehari-hari bisa tetap tertolong bilamana produksi mereka ikut dipasarkan di jaringan pasar-pasar modern itu, tetapi faktanya para produsen itu harus menjual melalui pemasok-pemasok yang bisa menarik keuntungan jauh di atas para produsen itu sendiri. Itu sekedar satu contoh bagaimana kita ‘harus’ menerima mekanisme pasar yang elitis bekerja. Apalagi, diakui atau tidak, mayoritas pelaku utama ekonomi kita yang memegang kendali terbesar porsi ekonomi, adalah kaum fundamentalis pasar bebas.

Kita ingin meminjam catatan berusia 37 tahun lampau seraya melakukan beberapa perbandingan dengan apa yang terjadi pada masa-masa terbaru saat ini. Pada tahun 1970-an, berbalikan dengan ucapan-ucapan bagus yang dilontarkan, para penguasa menunjukkan sifat kanibal terhadap rakyatnya sendiri, di pedesaan maupun diperkotaan. Di wilayah perkotaan, dengan bersemangat para penguasa, dengan berbagai alasan, tak segan-segan ‘membersihkan’ kota dari mereka, kalangan akar rumput, yang kerap dikategorikan sampah masyarakat. Semangat ini lebih dominan daripada itikad memberikan mereka kesempatan hidup yang lebih layak. Kalangan akar rumput yang dimaksud di sini tak lain adalah para pedagang kaki lima, pedagang kecil di pasar-pasar, gelandangan dan tuna susila.

Dalam beberapa segi, dengan sekedar melihat gejala permukaan, kalangan penguasa ibukota atau kota-kota besar lainnya di Indonesia masih bisa dianggap benar, bahwa pedagang-pedagang kaki lima mengganggu kebersihan kota dan bahkan kelancaran lalu lintas di bagian-bagian kota yang tertentu. Bahwa gelandangan, wanita tuna susila kelas murah, tidak baik untuk dipertontonkan. Bahwa pasar-pasar kota yang jorok, kotor dan sebagainya, harus dipermodern menuju gaya metropolitan, menjadi pasar-pasar bertingkat. Tapi apa daya, yang dilakukan para penguasa itu adalah jalan pintas dengan melikwidir manusia yang dianggap sampah itu, bukannya membenahi sumber-sumber keterbelakangan sosial ekonominya. Para pedagang kaki lima lebih kerap sekedar diusir dan tak diberi penampungan berupa lapangan nafkah baru. Daerah Bebas Becak diterapkan begitu saja tanpa persiapan yang matang tentang nasib selanjutnya dari mereka yang dipojokkan. Pedagang-pedagang kecil di pasar-pasar yang dipermodern pada prakteknya  takkan mengecap kembali pasar modern yang selesai dibangun karena modal mereka memang belum sepadan dengan standar pasar modern itu. Gelandangan dan wanita tuna susila kelas murah diperlakukan bagai sampah, yaitu dijaring lalu dimasukkan ‘bak sampah’ yang berupa tempat-tempat penampungan dengan jaminan makan minum yang amat minim. Bandingkan dengan kenyataan empiris yang terjadi saat ini untuk persoalan-persoalan yang sama.

Sejak 30-40 tahun lampau telah muncul kerisauan, kemungkinan apa yang bisa lahir dari penderitaan atau frustrasi yang timbul di dalam masyarakat akibat kebijakan-kebijakan yang tidak adil? Ada beberapa reaksi negatif yang dapat muncul. Misalnya agresi, yaitu menyerang terhadap yang menghalangi atau dianggap menyebabkan penderitaan mereka, seperti petugas-petugas yang terlalu keras dan menindas, pihak-pihak yang dianggap menyukarkan keadaan pangan, dan sebagainya. Atau, mencari ‘kambing hitam’ bilamana mereka tak tahu siapa yang sebenarnya bersalah, berupa rasialisme, huru hara sosial dan sebagainya. Atau reaksi ‘pengunduran diri’, seakan-akan nrimo, namun akan menggunakan peluang yang muncul dalam keterjepitan mereka, seperti mencuri dan perbuatan-perbuatan kriminal lainnya. Atau ‘rasionalisasi’ yaitu berpura-pura tak mengharapkan sesuatu lagi namun dalam hati kecil tetap menginginkan, suatu sikap yang tak menguntungkan bagi satu bangsa yang tetap ingin memajukan diri. Atau regresi, yaitu sikap-sikap destruktif terhadap dirinya sendiri, atau marah terhadap sesamanya yang senasib, menjadi asosial terhadap lingkungan, yang jelas merupakan kemunduran sebagai manusia.

Sampai kini pola reaksi serupa masih berlaku di masyarakat, antara lain dalam berbagai bentuk tindakan anarkis, yang satu dan lain sebab terkait pula dengan makin galak dan bahkan makin ganasnya aparat penertiban tatkala menangani aksi-aksi masyarakat. Pada sisi lain, terlihat gejala keputusasaan yang makin meluas karena deraan kesulitan ekonomi dan penghancuran harkat dan martabat sebagai manusia yang merupakan bagian dari suatu proses kegagalan sosiologis yang panjang. Ada ibu yang minum racun tikus dengan mengajak anak-anaknya. Ada anak-anak usia sekolah yang bunuh diri ketika berhadapan dengan kenyataan bahwa orangtuanya tak mampu membiayai mereka bersekolah. Ada suami yang menggorok leher isterinya lalu mencoba membunuh dirinya sendiri karena merasa tak mampu lagi bertahan secara ekonomis. Karena tekanan yang sama, ada satu keluarga membakar diri bersama. Tersedia daftar contoh yang panjang untuk ini.

Meskipun tak jarang terseret dalam arus ‘radikalisasi’ maupun ‘anarki’, petani-petani yang hidup di pedesaan secara umum cenderung bersikap nrimo, meskipun di tahun 1970-an misalnya beras mereka dibeli paksa oleh pemerintah. Dan dari antara mereka inilah yang setelah merasa kehidupannya makin terjepit di desa lalu lari ke kota-kota dan menjadi penganggur, gelandangan dan sebagainya. Kecuali satu kasus agressivitas berupa pengeroyokan seorang pamong desa di Jawa Timur oleh sejumlah petani pada tahun 1970-an dan radikalisasi karena pengaruh politik sebelum tahun 1965, pada umumnya rakyat pada lapisan akar rumput di perkotaan maupun pedesaan ‘memilih’ bersikap apatis dan atau maksimal sikap pelampiasan horizontal. Salah satu contohnya, tukang-tukang becak yang menggerutu lalu bersikap asosial kepada para penumpangnya atau melanggar peraturan setiap ada kesempatan. Sekali-sekali bahkan sempat melakukan kerusuhan. Pedagang-pedagang kaki lima yang main kucing-kucingan dengan petugas, bahkan menempuh jalan ‘suap’ kecil-kecilan agar tak dilabrak. Dan sebagainya yang mustahil untuk dihadapi dengan cara tambal sulam.

Sebenarnya pada hakekatnya manusia itu punya pula reaksi-reaksi positif disamping yang negatif. Reaksi positif itu mampu menghilangkan ketegangan, yang bisa terjadi bila masyarakat bisa dibimbing untuk rela menunggu sebelum keinginannya dipenuhi, dapat dibuat mengerti dan memahami sebab-sebab objektif yang menghalangi pencapaian suatu tujuan. Sedang sebaliknya, reaksi-reaksi negatif tidak mampu menyalurkan ketegangan. “Di sinilah peranan sikap terbuka pemerintah dalam berkomunikasi, jujur mengakui kekeliruan-kekeliruan, bersedia membersihkan unsur-unsur tidak beres dalam dirinya, seperti korupsi atau pejabat-pejabat yang tidak kapabel dan lain-lain”. Demikian sebuah media pers generasi muda telah memberi peringatan tentang kemungkinan terjadinya letupan-letupan yang bersumber pada keresahan sosial seperti itu, melalui tajuk rencananya di bulan Agustus 1973. Peringatan itu berlaku hingga kini, karena di situlah justru kelemahan pemerintah dari waktu ke waktu.

Hanya sehari setelah edisi tersebut beredar, pada hari Minggu 5 Agustus 1973, apa yang dikhawatirkan benar-benar terjadi dalam bentuk huru-hara besar di Bandung yang oleh banyak pihak juga dianggap berbau rasial karena korban-korban dan sasaran utamanya adalah harta dan juga beberapa nyawa warga keturunan cina. Peristiwa itu dikenal sebagai peristiwa 5 Agustus 1973. Kerusuhan sosial ini diberitakan secara lengkap oleh media generasi muda tersebut pada penerbitan pertama sesudah kejadian. Tetapi hal yang sama tidak dilakukan media pers lainnya saat itu karena adanya ‘himbauan’ kalangan penguasa untuk membatasi pemberitaan. Peristiwa tersebut, yang pernah dimuat pada blog ini, dipaparkan kembali di sini sekedar sebagai contoh kasus yang bisa dipelajari.

Refleksi ketidakadilan sosial. Seluruh rangkaian peristiwa ini bermula dari satu ‘api’ kecil berupa insiden Minggu sore 5 Agustus 1973 di Jalan Astanaanyar, Bandung Barat sebelah Selatan. Sebuah pedati yang dikendarai oleh pemuda 17 tahun bernama Asep Tosin, yang didampingi Sobandi adiknya yang berusia 11 tahun, menyerempet mobil VW (Volks Wagen) yang dikendarai tiga pemuda keturunan cina. Ketiga pemuda itu adalah Tan Kiong Hoat yang beralamat di Jalan Mohammad Toha 35, bersama dua temannya A Kiong dan Goan Chong. Satu diantaranya, menurut keterangan adalah semacam ‘reserse’ ekonomi dari salah satu instansi keamanan, naik pitam dan menyuruh Asep berhenti. Asep tidak berhenti, lalu dikejar dan dipukul. Dia pingsan, lalu ditolong oleh para pemuda pengendara VW itu sendiri, dibawa ke salah satu rumah dekat tempat itu, Kalipah Apo 77. Waktu itu, jalan Astanaanyar dan sekitarnya dikenal sebagai salah satu daerah dengan deretan toko yang banyak diantaranya dimiliki oleh pedagang cina. Ini menimbulkan salah tafsir penduduk yang menyaksikan, bahwa Asep ‘dilanjutkan’ dikeroyok di dalam rumah. Takut akan kemarahan penduduk, para pengendara VW itu meninggalkan tempat kejadian cepat-cepat. Sedang Asep yang pingsan ditolong orang lain, dibawa ke rumah sakit. Ini pun menambah salah tafsir, Asep mungkin telah meninggal, padahal ternyata sehat walafiat dan menurut pihak rumah sakit hanya mengalami perdarahan di hidung.

Disebut-sebutnya salah satu kesatuan ABRI –Komando Pasukan Gerak Cepat TNI AU, Kopasgat TNI-AU, yang kini dikenal sebagai Paskhas (Pasukan Khas) AU– turut serta mengobarkan kemarahan penduduk sebagaimana berita yang cepat tersebar. Ternyata berita itu tidak sepenuhnya benar, karena yang ada hanyalah keterlibatan dua oknum ABRI, seorang Sersan Mayor dan seorang Kapten. Sang Sersan Mayor terlibat karena ia adalah ketua lingkungan di kampung  Asep Tosin, di kampung Manglid desa Margahayu kecamatan Dayeuhkolot tak jauh dari lapangan udara Margahayu milik TNI-AU, kabupaten Bandung. Sedang keterlibatan sang Kapten adalah karena emosi setelah mendengar laporan sang Sersan Mayor. Mereka berdua yang mendengar bahwa Asep meninggal segera berangkat bersama beberapa penduduk kampung Asep. Tujuannya seperti yang kemudian diakui dalam pemeriksaan yang berwajib hanyalah untuk mencari pemuda-pemuda yang menganiaya Asep Tosin dan dianggap oleh mereka telah membunuhnya. Berita bahwa Asep Tosin telah mati teraniaya ternyata menebar dengan cepat dari mulut ke mulut. Inilah kemudian yang meletuskan huru hara pada kurang lebih pukul 17.30 tak begitu jauh dari tempat terjadinya senggolan pedati Asep dengan VW pada pukul 15.15.  Menjalarnya isu dengan cepat juga antara lain disebabkan kekurangcekatan aparat pemerintah mengumumkan bahwa Asep Tosin tidak meninggal, sehingga masyarakat percaya bahwa memang Asep telah tewas.

Sasaran kemarahan terarah pada awalnya kepada keturunan cina. Dengan berputarnya jarum jam huru hara perusakan makin meluas ke berbagai penjuru kota. Kualitas perusakan pun meningkat dari menit ke menit. Jika pada mulanya hanya berupa pelemparan batu terhadap kaca-kaca dan lampu-lampu, maka kemudian ia berubah menjadi pendobrakan serta penganiayaan kepada beberapa keturunan cina dan atau yang mirip cina, baik yang di rumah-rumah atau mereka yang dihadang di jalan-jalan. Kendaraan-kendaraan bermotor roda empat maupun dua yang ditumpangi oleh keturunan cina dihadang. Orangnya dianiaya, kendaraannya dirusakkan dan pada saat berikutnya dibakari. Begitu pula terhadap benda-benda yang dikeluarkan dari bangunan-bangunan atau toko-toko, dirusak dan dibakar. Hingga kurang lebih pukul sembilan malam kecenderungan pokok hanyalah perusakan atau pelampiasan emosi kemarahan. Tapi setelahnya mulai ada ekses berupa pengambilan barang-barang, sekalipun ada yang memperingatkan “Jangan ambil barang!”.  Barang-barang yang diambil, mulai dari yang kecil-kecil seperti perhiasan sampai kepada jam tangan, bahkan tape recorder. Lewat tengah malam, mulailah penunggangan-penunggangan kriminal yang berupa kelompok-kelompok yang mendobrak rumah, toko dan sebagainya yang kemudian menguras barang-barang. Kelompok-kelompok seperti ini bahkan beroperasi ke tempat-tempat yang ‘menyendiri’ di bagian Utara kota, dan bergerak hingga subuh hari. Apalagi memang waktu itu tidak diberlakukan jam malam.

Berlanjut ke Bagian 2

Pada Wilayah Kesenjangan Sosial Ekonomi: Peristiwa 10 Mei 1963 (2)

Sepanjang perjalanan sejarah Indonesia hingga kini, tercatat betapa kesenjangan sosial ekonomi ini menjadi satu masalah yang belum berhasil tertangani dengan baik dan dengan sendirinya belum berhasil terselesaikan. Berita-berita terakhir menunjukkan betapa di tengah retorika tentang apa yang disebut keberhasilan pembangunan ekonomi, ternyata masih terdapat kalangan akar rumput yang masih morat-marit hidupnya dan harus memasukkan nasi aking ke dalam menu sehari-harinya”.

Peristiwa telah berkembang mengagetkan. “Akan tetapi, yang lebih mengherankan lagi di luar kampus ITB telah berkumpul banyak sekali mahasiswa, pelajar dan pemuda”. Massa campuran ini kemudian bergerak ke arah Bandung bagian bawah melalui Jalan Dago (kini Jalan Ir H. Juanda), ke Jalan Braga yang merupakan daerah pertokoan dan berbelok ke Asia Afrika. Bagian Barat jalan ini, setelah Alun-alun Bandung, penuh dengan pertokoan hingga ke Jalan Raya Barat (kini Jalan Jenderal Sudirman) dan berpotongan dengan Jalan Otto Iskandardinata yang juga adalah daerah pertokoan. Toko-toko yang diketahui milik etnis china dirusak, lebih dari seratus mobil dibakar, dan lebih banyak lagi sepeda motor. Beberapa bagian lain kota Bandung juga terjalar kerusuhan. Bahkan, rentetan peristiwa serupa merambat ke sejumlah kota lain di Jawa Barat seperti Sumedang dan Tasikmalaya di arah Timur Bandung dan Cianjur serta Sukabumi di arah Barat Bandung. Cirebon, yang terletak di pantai Utara Jawa Barat, kembali mengalami kerusuhan, padahal pada 27 Maret sebelumnya suatu kerusuhan rasial yang menimpa etnis china di sana telah pecah lebih dulu.

Peristiwa di Cirebon inilah, sepanjang pengakuan beberapa mahasiswa asal Cirebon, seperti Dedi Krishna dan Tari Pradeksa, yang menjadi pemacu mereka untuk dengan cepat mengambil peranan dalam Peristiwa 10 Mei 1963 di Bandung itu. Menjalar dan membesarnya peristiwa yang semula direncanakan oleh aktivis kampus yang apolitis, tak terlepas dari peran aktivis seperti Soeripto dan kawan-kawan dari Gemsos, serta aktivis anti komunis dan anti Soekarno seperti Rahman Tolleng –yang sebenarnya adalah seorang pengecam sikap dan perilaku rasialis sebagaimana yang terlihat kelak dalam berbagai sepak terjang politiknya.

Mereka inilah yang menambahkan dimensi politik ke dalam peristiwa, sehingga membesar, meluas dan bermakna politis yang mengusik kekuasaan Soekarno. Secara politis, peristiwa ini mendapat sofistikasi sebagai gerakan penolakan masyarakat terhadap peranan politik Baperki yang bergandengan dengan PKI dan serangan terhadap kedekatan politik Soekarno dengan Peking (kini, ditulis Beijing). Kelompok inilah yang juga menyebarkan psywar tentang keterlibatan Guntur Soekarnoputera dalam peristiwa, yang isunya dengan cepat merambat, sehingga sempat muncul semacam keraguan bertindak di kalangan aparat. Namun selang beberapa waktu kemudian, isu keterlibatan Guntur itu berputar balik dan tiba ke telinga para penyebar awal isu tersebut dan sempat mereka percayai kebenarannya tanpa menyadari bahwa isu itu tak lain adalah pengembangan dari isu yang mereka lontarkan sebelumnya. Tetapi terlepas dari itu, tampaknya memang sejumlah perwira di Kodam Siliwangi memang sedikit membiarkan peristiwa terjadi dan membesar. Bahkan beberapa penggerak peristiwa kemudian hari mengungkapkan adanya jaminan takkan ada penangkapan yang disampaikan oleh beberapa perwira sebelum terjadinya peristiwa.

Di wilayah abu-abu

Peristiwa 10 Mei 1963 ini memang ada di wilayah abu-abu. Ia adalah satu peristiwa politik dengan beberapa tujuan politik dari sebagian para pelakunya. Sekaligus ia adalah pula satu peristiwa yang bagaimana pun termasuk sebagai suatu kerusuhan berdasar rasial, yang menunjukkan betapa pada waktu itu secara objektif sentimen ras memang kuat adanya di tengah masyarakat. Sebagian pelakunya, dengan terus terang mengakui bahwa sentimen ras lah yang telah memicu keterlibatan mereka, seperti Siswono misalnya, karena sebagai anggota GMNI yang mengidolakan tokoh Soekarno, tak mungkin ia bermaksud melakukan kegiatan politik menentang Soekarno. Namun tak urung Siswono mendapat sorotan juga dari internal organisasinya, GMNI, atas keterlibatannya dalam peristiwa tersebut. Dan adapun Soekarno, memang menunjukkan kemarahannya terhadap peristiwa di Bandung ini dan menyebutnya sebagai gerakan subversif yang dilakukan oleh kaum kontra revolusi. PKI menuduh eks PSI dan eks Masjumi berada di belakang peristiwa ini.

Tuduhan-tuduhan serupa pun berseliweran melalui beberapa organisasi mahasiswa ekstra universiter berhaluan kiri, termasuk dari GMNI. Di tengah arus kecaman, muncul satu nada pembelaan atas keterlibatan sejumlah mahasiswa dalam peristiwa itu, melalui pernyataan PPMI (Perserikatan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia) Konsulat Bandung yang ditandatangani oleh Ketua Awan Karmawan Burhan dan Sekretaris FX Djoko Sudibyo. Awan adalah tokoh mahasiswa yang juga adalah Ketua CSB (Corpus Studiosorum Bandungense), sedang Djoko Sudibjo –mahasiswa ITB asli Jawa yang sering dianggap beretnis Cina karena penampilannya yang mirip– adalah dari PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia), dua organisasi rival bagi organisasi ekstra kelompok kiri yang bergabung dalam PPMI. Hanya sehari sesudahnya, muncul pernyataan tandingan, juga mengatasnamakan PPMI, namun tanpa tandatangan, yang isinya mengutuk Peristiwa 10 Mei dan keterlibatan mahasiswa kontrev dalam peristiwa tersebut.

Dalam tempo yang tak lama pula, menyusul tindakan pimpinan pusat PPMI di Jakarta, Bambang Kusnohadi yang juga adalah Ketua Umum GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia), membekukan PPMI Konsulat Bandung. Tindakan ini dibalas oleh mahasiswa Bandung dengan membentuk Majelis Permusyawaratan Mahasiswa Indonesia atau Mapemi. Ke dalam Mapemi bergabung PPMI Konsulat Bandung dan MMI (Majelis Mahasiswa Indonesia) Konsulat Bandung. Mahasiswa ITB, pimpinan Imaba (Ikatan Mahasiswa Bandung) yang juga adalah seorang perwira cadangan AD jalur Wamil (Wajib Militer) berpangkat Letnan Dua, Mangaradja Odjak Edward Siagian, dipilih sebagai Ketua Mapemi. MMI adalah sebuah wadah nasional yang menghimpun institusi-institusi student government intra kampus seperti dewan-dewan mahasiswa dan senat-senat mahasiswa. Sehingga, dengan penggabungan itu, Mapemi menjadi organisasi pertama dalam sejarah kemahasiswaan di Indonesia yang menghimpun organisasi-organisasi mahasiswa intra dan organisasi-organisasi ekstra. Pola ini dipakai pula kelak dalam pembentukan KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) di tahun 1966.

Sepuluh tahun setelah Peristiwa 10 Mei 1963, di Bandung terjadi lagi satu peristiwa bias politik yang juga terpacu oleh aspek rasial yang berpadu dengan fakta kesenjangan sosial akibat kegagalan penanganan penguasa terhadap aspek sosial dan ekonomi, yakni Peristiwa 5 Agustus 1973. Setiap kali ada ketidakpuasan dalam masyarakat dan penguasa gagal mengelolanya, hanya bertindak sebatas membendung dan meredam sindrom belaka, akan terjadi penyaluran ketidakpuasan dengan mendobrak beberapa mata rantai sosial yang terlemah yaitu sentimen berdasar perbedaan ras, agama dan kesukuan. Kelompok etnis yang berada paling depan dalam sentimen-sentimen itu, adalah keturunan china, karena faktor historis sejak masa kolonial dan beberapa hal yang melekat, yakni perbedaan ras itu sendiri, dan biasanya pula mereka menganut agama-agama yang berbeda dengan mayoritas anggota masyarakat. Ini semua lebih diperkuat lagi karena kesan keunggulan mereka dalam peranan-peranan ekonomi, dan dengan demikian mereka pun lalu berada di hadapan jurang perbedaan sosial. Sepanjang perjalanan sejarah Indonesia hingga kini, tercatat betapa kesenjangan sosial ekonomi ini menjadi satu masalah yang belum berhasil tertangani dengan baik dan dengan sendirinya belum berhasil terselesaikan. Berita-berita terakhir menunjukkan betapa di tengah retorika tentang apa yang disebut keberhasilan pembangunan ekonomi, ternyata masih terdapat kalangan akar rumput yang masih morat-marit hidupnya dan harus memasukkan nasi aking ke dalam menu sehari-harinya. Terdapat masih begitu banyaknya orang yang tak berkemampuan membiayai pendidikan anak-anak mereka. Sebagian lainnya lagi masih menghuni gubuk-gubuk liar di tanah negara, untuk menyambung hidup sementara yang lainnya lagi mencari nafkah sebagai pedagang kaki lima di lapak terlarang dan harus sewaktu-waktu ‘bertempur’ melawan Pasukan Satpol PP yang akan menggusurnya.

Akhir dari Peristiwa 10 Mei 1963 bagi para pencetus awalnya di kampus dan kemudian perluasannya di luar kampus adalah proses peradilan dan penjatuhan hukuman penjara. Secara khusus, Soekarno menginstruksikan kepada Jaksa Agung, agar para mahasiswa pelaku Peristiwa 10 Mei itu dituntut dengan hukuman tinggi. Dedi Krishna, tokoh PMB, yang peranannya menjadi sorotan utama dalam pers kala itu, dijatuhi hukuman penjara paling berat, yaitu 6 tahun. Selain peranannya, salah satu sebab yang membuat Dedi Krishna menjadi pusat perhatian, adalah namanya yang terasosiasikan dengan nama seorang tokoh pewayangan, paman para Pandawa lima. Pada masa Soekarno, analogi dengan dunia pewayangan selalu menimbulkan minat khas di tengah masyarakat. Selain itu, profil tubuhnya yang cukup tinggi besar, sepertinya dianggap ‘memenuhi’ syarat sebagai pemimpin gerakan massa. Terlibatnya nama kampus ternama ITB, sebagai titik cetus awal peristiwa, juga menjadi faktor penting lainnya.  Di urutan ketiga dengan hukuman 3 tahun penjara adalah Siswono Judohusodo, Muslimin Nasution, Qoyum Tjandranegara, Djoko Santoso, Tari Pradeksa, Theo Pieterz. Soeripto yang menjadi salah satu matarantai peristiwa merambat ke luar pagar kampus, ada di level kedua, dengan hukuman 4 tahun penjara. Iwan Zoechra dalam pada itu, dijatuhi hukuman penjara 2 tahun. Rahman Tolleng, yang sudah berstatus buronan sebelum peristiwa terjadi, tercium keterlibatannya namun tak tertangkap dan memperpanjang masa buronannya sampai ia kemudian muncul ke permukaan setelah Peristiwa 30 September 1965. Beberapa nama itu kelak dikenal lebih luas karena peranannya baik dalam pergerakan 1966 maupun sesudahnya, di dalam ataupun di luar kekuasaan pemerintahan.

‘Lapisan Akar Rumput’: Pemerintah Tak Selalu ‘Hadir’ Untuk Mereka (2)

“Akan tetapi bukankah para pemimpin negara seperti Presiden, Wakil Presiden, Menteri-menteri dan Pemimpin-pemimpin Partai terlihat berkali-kali menghampiri mereka para akar rumput ini? Ya, betul. Bahkan para ‘wakil’ akar rumput ini bisa berdialog langsung dengan Presiden atau Wakil Presiden. Bisa pula sama-sama menonton sepakbola”. “Sekali dalam lima tahun, menjelang Pemilihan Umum, akar rumput bertubi-tubi disapa oleh para pemimpin, dibuat kenyang dengan berbagai janji. Tapi, jarang-jarang ada pemenuhan janji oleh mereka yang menang pemilihan umum, apalagi oleh mereka yang kalah dalam pemilihan umum itu! Itulah nasib kalangan akar rumput”.

KEMUNGKINAN apa yang bisa lahir dari penderitaan atau frustrasi yang timbul di dalam masyarakat ? Ada beberapa reaksi negatif yang dapat muncul. Misalnya agresi, yaitu menyerang terhadap yang menghalangi atau dianggap menyebabkan penderitaan mereka, seperti petugas-petugas yang terlalu keras dan menindas, pihak-pihak yang dianggap menyukarkan keadaan pangan, dan sebagainya. Atau, mencari ‘kambing hitam’ bilamana mereka tak tahu siapa yang sebenarnya bersalah, berupa rasialisme, huru hara sosial dan sebagainya.  Atau reaksi ‘pengunduran diri’, seakan-akan nrimo, namun akan menggunakan peluang yang muncul dalam keterjepitan mereka, seperti mencuri dan perbuatan-perbuatan kriminal lainnya. Atau ‘rasionalisasi’ yaitu berpura-pura tak mengharapkan sesuatu lagi namun dalam hati kecil tetap menginginkan, suatu sikap yang tak menguntungkan bagi satu bangsa yang tetap ingin memajukan diri. Atau regresi, yaitu sikap-sikap destruktif terhadap dirinya sendiri, atau marah terhadap sesamanya yang senasib apalagi yang lebih ‘baik’ nasibnya, menjadi asosial terhadap lingkungan, yang jelas merupakan kemunduran sebagai manusia.

Gejala-gejala seperti itulah semua yang terlihat waktu itu. Petani-petani nrimo meskipun beras mereka dibeli paksa. Dan dari antara mereka inilah yang setelah merasa kehidupannya makin terjepit di desa lalu lari ke kota-kota dan menjadi penganggur, gelandangan dan sebagainya. Kecuali satu kasus agresif berupa pengeroyokan seorang pamong desa di Jawa Timur oleh sejumlah petani, pada umumnya rakyat ‘memilih’ bersikap apatis dan atau sikap pelampiasan horizontal.

Kisah kesewenang-wenangan aparat dan para petugas pemerintah di daerah, bisa diwakili dengan satu contoh dari Nganjuk. Sebuah laporan pers di bulan Agustus 1970 memaparkan bahwa di sekitar lereng dan kaki Gunung Wilis, kecamatan Brebeg dan Sawahan yang termasuk kawasan kabupaten Nganjuk program Keluarga Berencana (KB) telah dijalankan secara tidak terpuji dan menakutkan rakyat. Para petugas KB mendatangi rumah-rumah penduduk dengan kawalan petugas-petugas berbaju hijau. Lalu mereka memaksa rakyat tani di sana untuk menjalankan Keluarga Berencana, baik dengan spiral maupun alat KB lainnya.

Untuk melengkapi penderitaan dan penindasan, dengan pola yang serupa, petugas-petugas BUUD (Badan Usaha Unit Desa) yang dibentuk untuk membantu petani telah berubah juga menjadi monster baru di pedesaan. Petugas-petugas BUUD melakukan praktek beli paksa terhadap padi rakyat. Petugas Koramil, Polisi, Camat, Lurah dan Hansip bersama petugas BUUD datang beramai-ramai menggeledah rumah-rumah petani, memeriksa lumbung-lumbung. Bila mereka menemukan padi di dalam lumbung, dengan paksa mereka membelinya dengan harga di bawah pasaran. Jika pada waktu itu harga pasaran adalah Rp.32,50 per kilogram maka BUUD membeli hanya dengan harga Rp.26 per kilogram. Itu pun pembayarannya dilakukan dalam bentuk nota bon yang baru 15 hari kemudian bisa dicairkan. Para petugas itu menciptakan pula suatu peraturan baru. Bahwa barangsiapa memiliki padi lebih dari 1000 kilogram harus lapor ke kecamatan setiap minggu. Pemilik padi harus mempertanggungjawabkan jika jumlah padi mereka ternyata berkurang. Yang lebih parah ialah apa yang terjadi di sebelah utara kota Nganjuk yang tandus. Di sana petugas tidak mempedulikan apakah 1000 kilogram atau lebih atau kurang, pokoknya ada padi di lumbung petani diharuskan menjualnya ke BUUD. Petani-petani yang gemetaran melihat petugas pembeli datang dengan kawalan baju hijau dan camat yang galak, tak berdaya lagi. Padi mereka serahkan tanpa syarat lagi. Bisa diperkirakan bahwa pada akhitnya terjadi keengganan petani untuk menanam padi lagi karena menghasilkan lebih banyak padi hanya akan mengundang celaka. Dan memang para petani kemudian memproduksi pada secukupnya saja, sesuai dengan kebutuhan mereka sehari-hari.

Tukang-tukang becak yang merasa tersudutkan di wilayah perkotaan, mulanya memilih sekedar menggerutu pada mulanya, namun pada waktu berikutnya mulai bersikap asosial kepada para penumpangnya atau melanggar peraturan setiap ada kesempatan. Sekali-sekali bahkan sempat melakukan kerusuhan. Pedagang-pedagang kaki lima yang main kucing-kucingan dengan petugas, bahkan menempuh jalan ‘suap’ kecil-kecilan agar tak dilabrak. Dan sebagainya yang mustahil untuk dihadapi dengan cara tambal sulam. Lalu media generasi muda tersebut mengingatkan “Sebenarnya pada hakekatnya manusia itu punya pula reaksi-reaksi positif disamping yang negatif”. Reaksi positif itu mampu menghilangkan ketegangan, yang bisa terjadi bila masyarakat bisa dibimbing untuk rela menunggu sebelum keinginannya dipenuhi, dapat dibuat mengerti dan memahami sebab-sebab objektif yang menghalangi pencapaian suatu tujuan. Sedang sebaliknya, reaksi-reaksi negatif tidak mampu menyalurkan ketegangan. “Di sinilah peranan sikap terbuka pemerintah dalam berkomunikasi, jujur mengakui kekeliruan-kekeliruan, bersedia membersihkan unsur-unsur tidak beres dalam dirinya, seperti korupsi atau pejabat-pejabat yang tidak kapabel dan lain-lain”. Namun media generasi muda itu menunjuk bahwa di situlah justru kelemahan pemerintah selama ini. Hanya sehari setelah edisi tersebut beredar, pada hari Minggu 5 Agustus 1973, apa yang dikhawatirkan benar-benar terjadi dalam bentuk huru-hara besar di Bandung yang oleh banyak pihak juga dianggap berbau rasial karena korban-korban dan sasaran utamanya adalah harta dan juga beberapa nyawa warga keturunan cina. Peristiwa itu dikenal sebagai Peristiwa 5 Agustus 1973.

SELAIN dalam kehidupan sosial-ekonomi, lapisan akar rumput juga merasa ditinggalkan, dalam kaitan hak-hak dan keadilan hukum. Penegak hukum menghampiri mereka tatkala akan menindaki dengan tegas perbuatan kriminal ‘kecil-kecilan’ yang mereka lakukan, seperti mencuri tiga butir biji kakao, beberapa kilogram kapuk, mencuri semangka, mengutil kacang ijo di mini market, dan sebagainya. Sebaliknya, para penegak hukum enggan mengurusi mereka dari kalangan akar rumput tatkala menjadi korban premanisme, pemerasan terorganisasi, penganiayaan dari tukang pukul para cukong atau yang semacamnya. Malah menjadi korban pungli atau pungutan liar.

Akan tetapi bukankah para pemimpin negara seperti Presiden, Wakil Presiden, Menteri-menteri dan Pemimpin-pemimpin Partai terlihat berkali-kali menghampiri mereka para akar rumput ini? Ya, betul. Bahkan para ‘wakil’ akar rumput ini bisa berdialog langsung dengan Presiden atau Wakil Presiden. Bisa pula sama-sama menonton sepakbola. Namun itu semua lebih bersifat seremonial, karena kenyataan empiris menunjukkan bahwa keluhan akar rumput dalam berbagai dialog itu cenderung hanya ditampung dan takkan pernah jelas bagaimana lanjutannya. Bantuan Langsung Tunai (BLT) mengalir hanya sekitar masa kampanye pemilihan umum. Sekali dalam lima tahun, menjelang Pemilihan Umum, akar rumput bertubi-tubi disapa oleh para pemimpin, dibuat kenyang dengan berbagai janji. Tapi, jarang-jarang ada pemenuhan janji oleh mereka yang menang pemilihan umum, apalagi oleh mereka yang kalah dalam pemilihan umum itu! Itulah nasib kalangan akar rumput.

Keadilan Sosial Nan Tak Kunjung Tiba (9)

“Perilaku berlebihan bisa dilakukan etnis mana pun, tak terkecuali oleh etnis asli Indonesia, dalam perilaku sehari-hari dalam pola konsumtif misalnya. Tapi bila berbicara mengenai pemberian kesempatan yang tidak adil dan tidak seimbang, masalahnya memang menjadi lain dan bisa terjadi pembelokan ke arah yang tak terduga-duga. Justru dalam berkolusi, ternyata para pelaku dari kalangan kekuasaan memang lebih memilih pengusaha etnis tertentu karena merasa lebih secure”.

TATKALA nasionalisme Indonesia sudah muncul pada tahun 1900-an, terutama semenjak Boedi Oetomo dan Sarekat Dagang Islam makin luas pengaruhnya, Belanda melihatnya sebagai bahaya baru. Belanda yang agak terdesak, memerlukan orang-orang cina untuk menekan arus nasionalisme ini. Terciptalah kerjasama ekonomi antara Belanda dan keturunan cina untuk menghambat nasionalisme ekonomi Indonesia yang mulai tumbuh.

Pada tahun 1918 Volksraad didirikan. Sepuluh persen dari anggota Volksraad adalah orang-orang keturunan cina. Sebenarnya ada sejumlah keturunan cina yang tidak mau berpihak kepada Belanda namun jumlah mereka kecil saja. Mayoritas dari keturunan cina ini beranggapan bahwa jika nasionalisme Indonesia berhasil menciptakan pada akhirnya suatu pemerintahan oleh orang-orang Indonesia, kepentingan ekonomi keturunan cina akan terenggut. Merupakan pula masalah bahwa banyak keturunan cina memiliki superioritas kompleks. Ini ditunjukkan oleh kata-kata seorang tokoh organisasi masyarakat Cina bernama Tjen Tje Som dalam suatu kesempatan di Leiden: “Orang-orang Cina memiliki kebanggaan yang bukan berdasarkan bayangan kosong belaka, karena mereka merupakan putera-putera dari suatu kebudayaan besar yang tak tertandingi dalam sejarah umat manusia. Mereka dilahirkan oleh sejarah yang penuh kegemilangan, keindahan dan kebijaksanaan hingga tak aneh bila putera-puteranya, kapan saja dan dimana saja, memiliki kemungkinan besar yang tak ada batasnya dalam masa yang akan datang”. Tapi harus tetap dicatat bahwa banyak juga orang-orang keturunan cina yang berpihak pada nasionalisme Indonesia setelah mereka sepenuhnya sadar bahwa mereka dilahirkan di Indonesia.

Sejarah ternyata tidak selamanya menyenangkan. Beberapa peristiwa berdarah menyadarkan akan hal tersebut. Sebelum Indonesia diduduki Jepang, kekuatan keturunan cina sebagai masyarakat yang memiliki modal sangat terasa dan diakui. Berkat kesempatan yang diperoleh dari pemerintah Belanda mereka tampil sebagai kekuatan yang demikian besar. Mereka mulai menguasai bank-bank dan berhasil membangun benteng perekonomian yang ampuh yang kadangkala berhasil mendesak orang-orang Eropa. Mereka menjadi kelompok kapitalis yang berdiri di tengah arus tumbuhnya nasionalisme Indonesia. Tidak mengherankan bahwa ketika Jepang menduduki Jawa dan Belanda angkat kaki, maka korban utama pelampiasan kemarahan terpendam adalah orang-orang keturunan cina itu. Pembunuhan atas orang-orang keturunan cina yang disertai berbagai perkosaan digambarkan sebagai suatu tragedi yang sungguh menyedihkan, karena pada waktu itu keadaan sedang vakum. Maka mereka mengharapkan Indonesia segera bebas dari pendudukan Jepang.

Tatkala Jepang bertekuk lutut banyak dari keturunan cina ini mengharapkan tentara pembebasan yang datang adalah tentara Kuomintang dari Tiongkok daratan sebagaimana yang banyak diberitakan sebelumnya. Tapi yang datang ke Indonesia ternyata adalah tentara Inggris dan India yang disusul tentara Belanda. Waktu itu Indonesia sudah memproklamasikan kemerdekaan, dan banyak nasionalis Tiongkok merasa kecewa. Karena sudah meluas anggapan dan prasangka bahwa mereka berpihak kepada Belanda, maka terjadilah berbagai insiden. Insiden pertama meletus bulan Juni tahun 1946 di Tangerang. Dalam suatu peristiwa yang mengerikan, 600 orang keturunan cina terpenggal kepalanya pada waktu itu, sementara rumah-rumah mereka habis dibakar. Maka 25.000 orang keturunan cina di Tangerang mengungsi ke Jakarta setelah 1268 rumah mereka musnah terbakar. Peristiwa itu disusul oleh pembunuhan atas keturunan cina pada tanggal 18 September di Bagansiapi-api. Korbannya mencapai 200 orang keturunan. Peristiwa serupa terjadi di Bangka, Palembang, dan Jember.

Bila di zaman Jepang mereka banyak ditahan karena kegiatannya di pasar-pasar gelap maka di zaman revolusi fisik mereka menjadi korban insiden. Dua hal utama menjadi penyebab. Pertama, karena mereka dicurigai bekerjasama dengan kolonial Belanda. Kedua, superioritas kompleks yang mereka tunjukkan, telah menimbulkan salah paham. Untunglah setelah itu sejarah berjalan dengan lebih ‘damai’. Akan tetapi tak urung pada saat nasionalisme Indonesia menunjukkan penguatan eksklusivisme di tahun-tahun 1960-an, kembali terjadi insiden. Di Bandung 10 Mei 1963, terjadi lagi insiden yang cukup besar yang dianggap beraroma rasial. Lalu sekali lagi meletus sebagai Peristiwa 5 Agustus 1973, meskipun dalam suatu nuansa dengan tali temali sosial yang lebih complicated.

Vreemde Oosterlingen lainnya, keturunan arab, bukannya pula tanpa masalah sama sekali. Beberapa insiden yang mengaitkan etnis ini juga terjadi beberapa kali, kendati tak terlalu mendapat perhatian sebesar bilamana itu menimpa etnis cina. Ini terutama karena posisi ekonomi mereka yang lebih minor ditambah faktor menguntungkan yang berupa ‘kesamaan agama’ dengan mayoritas penduduk. Tercatat suatu peristiwa yang terjadi di Solo yang dipaparkan berikut ini dengan bersumber pada tulisan dan telaah Fuad Hashem dalam Mingguan Mahasiswa Indonesia, 19 September 1971.

Ketika Abdillah yang keturunan arab memukul seorang tukang becak yang ‘mengganggu’ anaknya –sampai-sampai sang tukang becak itu harus masuk rumah sakit– ia barangkali tidak menyangka bahwa ia akan dibalas oleh kawanan tukang becak yang solider. Selesai membawa kawan mereka ke rumah sakit para tukang becak bersama penduduk datang merusak rumah Abdillah. Bahkan mereka membakar pabrik Abdillah dan menghalang-halangi kedatangan petugas pemadam kebakaran. Pihak yang berwajib terpaksa mengerahkan banyak anggota aparat keamanan guna menertibkan suasana. Mengapa gerangan peristiwa kecil itu bisa demikian cepat menjalar dan menjadi masalah besar? Mengapa sampai sedemikian spontannya penduduk bereaksi atas pemukulan oleh Abdillah terhadap tukang becak bernama Gimin yang sebenarnya adalah langganannya sendiri? Mungkin ini bukan sekedar kebetulan, melainkan suatu cetusan rasa permusuhan kelompok yang telah sedemikian lamanya terpendam bagaikan api dalam sekam menunggu hembusan angin.

Sepintas lalu, gerakan yang ditujukan kepada sasaran kelompok keturunan arab, bagai dicari-cari saja. Bukankah mereka adalah rekan seagama yang semestinya bercampur erat dengan penduduk? Kedudukan mereka agak berbeda dengan keturunan cina yang telah berbilang kali mendapat cetusan rasa tak puas sebagian masyarakat dalam aneka bentuk perusakan bernuansa rasialisme. Keturunan arab tercatat jauh lebih jarang dikutik-kutik, bahkan di beberapa tempat tak pernah diganggu sama sekali. Namun penelitian yang lebih dalam mengenai ini, tulis Fuad, menunjukkan lain.

Semenjak Solo menjadi kota industri batik beberapa ratus tahun yang lampau, keturunan arab dan keturunan cina telah membentuk ‘koloni-koloni’ di sana. Pemerintah Belanda membiarkan bahkan memelihara adanya ‘Kampung Arab’ dan ‘Kampung Cina’. Dalam perjalanan masa, sedikit saja yang berubah. Mereka tetap mengasingkan diri, mata pencaharian tradisional terus berlangsung turun temurun. Hampir seluruh anggota masyarakat keturunan arab di Solo adalah pedagang atau pengusaha. Beberapa hasil usaha mereka dalam industri batik, tekstil tenun dan printing, cukup besar dan menjangkau pemasaran  yang luas di seluruh Indonesia. Kedudukan mereka sebagai majikan berhadapan dengan tatanan masyarakat yang dalam jangka waktu panjang ada dalam cengkeraman feodalistis yang serba minus, tempat ber‘sarang’nya rakyat pekerja miskin yang dulu dieksploitir PKI secara politis. Perbedaan tingkat hidup sangat menyolok. Di sebalik tembok belakang rumah-rumah mewah, terdapat pemukiman kumuh tempat hidup penduduk miskin yang semakin miskin karena penghasilan sebagai buruh yang rendah. Hubungan ini berlangsung sedemikian spesifik untuk jangka waktu yang lama: Majikan dengan buruh, pedagang dengan pembeli, pemberi pinjam uang dengan peminjam uang, yang tak pernah dekat hubungannya selain hubungan formal yang seadanya dalam pola antar level.

Kontak sosial sedikit saja berlangsung diantara kelompok suku. Perkawinan sangat jarang terjadi diantara pria keturunan arab dengan pribumi asli. Antara wanita keturunan arab dengan pribumi asli, suatu perkawinan malahan dianggap ‘pantangan keras’ dengan sanksi sosial berat bagi yang melanggarnya. “Hal ini penting dikemukakan”, tulis Fuad Hashem yang adalah orang Indonesia keturunan arab, lebih jauh, “karena masalah rasialisme pada umumnya diselubungi oleh latar belakang sosial ekonomi antara kelompok eksklusif yang tak saling mengenal”. Sekalipun demikian, sebenarnya orang arab tak pernah datang dari negeri leluhurnya dengan isteri mereka. Selain kontak keagamaan sebagai sesama penganut agama Islam, kontak dengan pribumi amat terbatas. Penduduk Solo yang sedikit ‘mengaduk’ kepercayaan warisannya dengan agama Islam yang relatif ‘lebih baru’ usianya, tidaklah cenderung mengidentikkan keturunan arab ini dengan agama yang dibawa Nabi. Terlebih pula, kelompok keturunan arab ini membangun rumah-rumah ibadatnya sendiri dan tidak seluruhnya adalah penganut-penganut yang taat.

“Banyak keturunan mereka adalah hamba-hamba yang tak terdidik, dengan kalangan muda yang menghisap ganja atau minum minuman keras, seperti orang-orang biasa lainnya”. Keterbatasan hubungan dengan dunia luar kelompok mereka, membangkitkan masalah ethnosentrisme –suatu hal yang sebenarnya ‘lumrah’ bagi tiap minoritas. Sikap ini menilai kultur sendiri sebagai yang terbaik dan malahan dijadikan neraca pengukur kebudayaan luar. Pembagian manusia seperti orang Romawi membagi ‘civilized’ dan ‘barbarian’, atau Inggeris menamakan ‘native’ atau Jahudi dengan ‘goyyim’, juga berlaku di kalangan masyarakat arab. ‘Jamaah’ yang artinya ‘kumpulan kita’ adalah istilah untuk kelompok sendiri (ingroup) versus ‘ahwal’. Juga ada ‘hurufi’ atau saudara dari pihak ibu, yang kemudian mendapatkan konotasi jelek. Orang cina pun menamakan orang luar mereka ‘khe’ yang artinya ‘orang gila’ atau barbarian. ‘Ahwal’ diidentikkan dengan jelek, rendah, hina, sedang ‘jamaah’ adalah yang baik dan bagus. Akibatnya, tembok isolasi semakin tebal dan menara ethnosentrisme semakin tinggi.

Namun bila membandingkan ‘peranan’ atau ‘posisi’ politik mereka, anggapan yang dianut dan diyakini itu nampaknya merupakan paradoks. Di negeri leluhur mereka, tidak ada tempat bagi mereka. Di negeri Saudi misalnya, keturunan ini dianggap sebagai ‘Jawiah’ atau ‘Indonesiah’ dan rintangan kultural terlalu besar bagi mereka untuk bersatu kembali. Dengan demikian maka banyak sarjana dari kalangan ‘jamaah’ yang hanya bekerja sementara di sana untuk kemudian pulang lagi ke Indonesia. Hal ini terlihat di Indonesia di dalam sikap mereka ‘yang asli’ dari negeri leluhur cenderung bersikap pro Belanda, sedang mereka yang peranakan tergabung dalam Partai Arab Indonesia yang aktif memperjuangkan kemerdekaan.

Namun, tradisi politik Partai Arab Indonesia ini tak mewaris. Kebanyakan keturunan arab adalah pulau terasing dalam samudera rakyat Indonesia. Dalam masa setelah merdeka, mereka terpecah dalam gerakan-gerakan eksklusif. Kenyataannya mereka terpecah dalam kelompok-kelompok kesukuan berdasar keturunan dari negeri leluhurnya. Ada yang merasa dirinya tinggi sebagai keturunan Nabi dan memandang sebelah mata yang lainnya. Pemisahan antara golongan ini malahan amat kentara dalam perkawinan yang dilarang di kalangan mereka, malahan sampai-sampai terdapat pemisahan di antara lembaga pendidikannya. Namun dalam hubungan keluar, mereka adalah monolitik, yaitu masyarakat ethnosentrisme yang eksklusif. Sebagai konsekuensinya mereka terasing dan tanpa sadar membangun kelompoknya menjadi minoritas. Dan sampai di sini mereka pun bertemu dengan dunia luar yang juga belum siap menerimanya karena berbagai ‘ketidaksiapan sosial’.

Banyak yang telah mencoba melepaskan diri dari lumpur ethnosentrisme ini, dan ada juga yang berhasil. Sampai di mana usaha-usaha membina akulturasi bagi tercapainya harmoni hubungan antar ras lebih banyak bergantung pada masyarakat kelompok eksklusif itu. “Tanpa adanya kesadaran bermasyarakat itu, ancaman goncangan sosial oleh hubungan ketegangan rasial akan tetap laten. Hanya dengan demikian keturunan arab ini dapat menghilangkan rasa asing dalam negeri sendiri karena setidak-tidaknya mereka secara formal adalah anggota keluarga besar Indonesia yang telah dilahirkan, mencari nafkah dan dibesarkan di Indonesia”.

MASALAH-MASALAH sosial yang terkait dengan kepekaan-kepekaan suku, ras dan agama senantiasa menjadi wacana di kalangan mahasiswa di Bandung. Ketidakpuasan-ketidakpuasan terhadap perilaku etnis tertentu juga sering dinyatakan, namun tidak dalam nada yang rasialistis. Perilaku berlebihan bisa dilakukan etnis mana pun, tak terkecuali oleh etnis asli Indonesia, dalam perilaku sehari-hari dalam pola konsumtif misalnya. Tapi bila berbicara mengenai pemberian kesempatan yang tidak adil dan tidak seimbang, masalahnya memang menjadi lain dan bisa terjadi pembelokan ke arah yang tak terduga-duga. Justru dalam berkolusi, ternyata para pelaku dari kalangan kekuasaan memang lebih memilih pengusaha etnis tertentu karena merasa lebih ‘secure’. Persoalannya memang akhirnya terutama terletak pada kebijaksanaan-kebijaksanaan yang dijalankan pemerintah sendiri yang harus memenuhi prinsip keadilan.

Dengan tidak menutup mata terhadap fakta ekses yang banyak dilakukan pengusaha etnis tertentu, maka mahasiswa Bandung dalam berbagai pernyataannya menanggapi kebijaksanaan pemerintah yang tidak adil, tidak pernah tergelincir mempersalahkan pihak mana pun dengan alasan-alasan yang rasialistis. Termasuk dalam menanggapi kerusuhan sosial dalam Peristiwa 5 Agustus 1973. Demikian pula dalam suasana anti Jepang yang mencuat di tahun 1973 itu juga, mahasiswa Bandung tidak pernah menampilkan semangat anti ras, melainkan membatasi diri kepada kecaman terhadap perilaku ekonomi pengusaha-pengusaha Jepang di Indonesia yang sedikit banyaknya memang juga terjadi karena kelonggaran-kelonggaran dalam kebijaksanaan penanaman modal pemerintah yang kurang melindungi kepentingan dalam negeri. Termasuk perlindungan bagi para pengusaha domestik, yang banyak datang menyampaikan keluhan-keluhan kepada para mahasiswa di kampus-kampus utama Bandung.

-Rum Aly

Keadilan Sosial Nan Tak Kunjung Tiba (8)

“Keturunan arab diuntungkan oleh persamaan agama dengan kebanyakan penduduk. Tapi keturunan cina biasanya lebih luwes dan ulet. Meski, tak urung seringkali ada diantara mereka tercatat sebagai ‘tidak mempunyai nama baik di kalangan kulit putih dan pribumi inlander’. Namun tak ada cara yang sanggup mengutik-ngutik peran mereka yang demikian ‘jlimet’ itu”.

SEHARI setelah peristiwa, pada tanggal 6 Agustus, BKS DM/SM se Bandung berkumpul dan bersidang membahas peristiwa tersebut. Pertemuan yang dihadiri oleh Dewan-dewan dan Senat-senat mahasiswa itu –antara lain dari Universitas Padjadjaran,  Universitas Parahyangan,  Institut Teknologi Bandung, Institut Agama Islam Negeri, Akademi Geologi dan Pertambangan dan AIN– menghasilkan suatu pernyataan yang keras dengan pendekatan yang jauh berbeda dengan pernyataan-pernyataan penguasa. Perlu dicatat, sejak bagian awal tahun 1973 ini, di lingkungan Dewan-dewan Mahasiswa dan Senat-senat mahasiswa ini telah terjadi banyak pergantian yang memunculkan wajah baru dengan aspirasi intra yang amat kuat serta lebih vokal. Maka pernyataan-pernyataan mereka umumnya tajam dan keras. Dua perguruan tinggi Bandung yang terkemuka Universitas Padjadjaran dan ITB misalnya, Dewan Mahasiswa-nya telah mengalami pembaharuan. DM Universitas Padjadjaran dipimpin oleh Ketua Umum Hatta Albanik, mahasiswa Fakultas Psikologi angkatan tahun 1967, berkacamata minus dengan ucapan-ucapan yang sangat sering tajam dan keras. Sedang DM-ITB dipimpin oleh Muslim Tampubolon yang dalam kepengurusannya diperkuat oleh aktivis-aktivis yang dinamis seperti Komaruddin, Kemal Taruc dan Hafiz Sawawi.

Seraya menyerukan harapan kepada masyarakat agar menanggapi segala kondisi dan situasi yang ada secara obyektif dan rasional dan menghindarkan hal-hal yang berdasarkan emosi semata, BKS DM/SM se Bandung melancarkan kecaman-kecaman keras ke alamat penguasa. “Betapa pun juga haruslah disadari bahwa peristiwa 5 Agustus 1973 adalah merupakan refleksi dan ledakan yang tidak terlepas dari kondisi sosial yang melingkupi masyarakat dan bangsa Indonesia”. Kondisi dan situasi sosial tersebut membawa masyarakat pada suatu posisi yang memaksanya mengambil sikap yang teredam tanpa suatu penyaluran yang memuaskan. “Kondisi dan situasi masyarakat yang berada dalam taraf pembangunan, dihadapkan dengan kenyataan-kenyataan yang menunjukkan adanya kepincangan-kepincangan yang digambarkan dalam bentuk sikap, tindak dan situasi kontradiktif yang menyentuh rasa keadilan sosial masyarakat”.

Kenyataan itu, menurut para mahasiswa tersebut, “di satu pihak menunjukkan bahwa lapisan terbesar masyarakat luas masih berada dalam keadaan hidup yang prihatin, di lain pihak lapisan kecil yang menjadi ‘penikmat’ hasil-hasil pembangunan, menunjukkan penampilan rasa mewah yang berkelebihan dalam sikap hidup yang tidak menggambarkan rasa senasib sebangsa. Adalah patut disesalkan bahwa sikap-sikap negatif yang dipertontonkan secara menyolok tersebut, dinilai seolah sebagai suatu kewajaran yang di’angin’i oleh kalangan penguasa tertentu. “Adalah sangat disesalkan pula bahwa jurang sosial yang semakin melebar ini, secara sadar atau tidak, kurang memperoleh pemahaman dan perhatian yang intensif. Jelaslah bahwa betapa pun juga kondisi dan situasi ini akan lebih memburuk bilamana kondisi tersebut di atas tidak segera memperoleh perhatian-perhatian yang wajar dalam penanggulangannya”. Lalu BKS DM/SM menegaskan, “Dalam kerangka ini, sudahlah jelas bahwa diperlukan langkah-langkah tindakan korektif ke dalam, terhadap kebijaksanaan penguasa sendiri, sehingga mampu menggambarkan wajah simpatik yang menunjukkan adanya kesungguhan akan usaha perbaikan yang dilakukan dalam meningkatkan taraf hidup rakyat banyak”. Kepada wakil-wakil rakyat para mahasiswa menyerukan untuk berfungsi sebagaimana mestinya untuk dapat menyalurkan segala kehendak rakyat.

PMKRI cabang Bandung memperkuat tudingan BKS DM/SM kepada kalangan kekuasaan, dengan menyatakan “Masih kurang adanya kepemimpinan yang berorientasi pada pembangunan sosial”. PMKRI menganggap Peristiwa 5 Agustus 1973 adalah pencerminan dan akibat dari terdapatnya ketidak adilan sosial di masyarakat. Organisasi mahasiswa extra ini yang dikenal sebagai organisasi yang sebagian anggotanya berasal dari warganegara keturunan ini, tanpa segan-segan melakukan koreksi dan kritik kepada kalangan etnis cina sebagai salah satu unsur dalam masyarakat yang kerap ikut mempertajam kesenjangan sosial yang ada. PMKRI mengecam perilaku sementara pengusaha yang kebetulan keturunan cina yang masih bersifat monopolistis, kapitalistis dan bersikap eksklusif6).

Terhadap Peristiwa 5 Agustus 1973, banyak pihak yang mengasosiasikannya dengan peristiwa sepuluh tahun sebelumnya di Bandung juga, 10 Mei 1963, yang dianggap peristiwa rasial karena korbannya adalah keturunan cina. Namun bagi Mingguan Mahasiswa Indonesia, Peristiwa 5 Agustus ini menurut hakekatnya titik beratnya bukanlah semata peristiwa rasial melainkan jalin berjalinnya berbagai masalah sosial. “Peristiwa ini seperti yang dapat dibaca dari keadaan, harus diakui ada kaitannya dengan penderitaan masyarakat yang pada waktu-waktu belakangan ini memang makin memberat”. Agaknya itu membangun sikap agresif, sehingga hanya dengan sebuah insiden, ekornya jadi luar biasa. Bahwa sasaran kemarahan terutama tertuju kepada warga negara Indonesia yang kebetulan keturunan cina, sehingga warna rasialisme menyolok dalam peristiwa ini, agaknya tak lain karena dalam tata masyarakat kita golongan ini adalah mata rantai ‘terlemah’ di segala segi terkecuali dalam segi ekonomi dan keuangan.

“Hal lain yang amat penting untuk diperhatikan adalah sasaran kemarahan di tanggal 5 Agustus itu”. Selain beberapa pabrik tekstil besar yang ikut jadi sasaran, juga showroom PT Astra dan PT Permorin yang memajang beberapa mobil baru. “Bahkan tempat perbelanjaan Sarinah di jalan Braga yang nyata-nyata adalah milik negara”. Ini semua menunjukkan, sesuai dengan psikologi massa, bahwa setiap kali terjadi huru-hara, sasaran akan gampang meluas dan melampaui  batasan-batasan. Gejala ingin merusakkan apa yang tampak mentereng –lampu-lampu reklame sebagai lambang, mobil-mobil mentereng, termasuk beberapa yang milik bukan keturunan cina, barang-barang luks seperti televisi dan sebagainya– cukup terlihat selama beberapa jam sepanjang berlangsungnya huru-hara. Bagaimana pun menurut Mingguan Mahasiswa Indonesia, dari sudut hukum peristiwa itu tidak bisa dibenarkan “karena kita nyata-nyata tak menghendaki anarki”, maka harus ada penyelesaian secara hukum. Tapi diingatkan untuk mengambil pelajaran, “kita tidak cukup dengan sekedar memerangi symptom, sebab musababnya sendiri harus diperangi”.

Kalau PKI hanya terkena getah dengan sekedar tudingan dalam kata-kata para penguasa, termasuk dari Presiden Soeharto, maka beberapa tokoh AMS (Angkatan Muda Siliwangi) justru terkena langsung dan dikenakan penahanan dengan tuduhan terlibat dalam Peristiwa 5 Agustus 1973. Beberapa tokoh pimpinan AMS di tingkat distrik Bandung-Cimahi ditangkap di bulan September. Koran-koran ibukota bahkan sempat memberitakan penangkapan terhadap pengurusnya di tingkat pusat.  Tak kurang dari Ketua Umum AMS Tjetje Hidajat Padmadinata sendiri yang diberitakan terkena penahanan dan harus mendekam dalam tahanan Laksus Kopkamtibda di Kodam Siliwangi. Berita itu ternyata keliru. Tapi bahwa memang ada tokoh-tokoh pimpinan organisasi tersebut ditangkap, dibenarkan sendiri oleh Panglima Siliwangi Mayjen Wahyu Hagono. Namun, “sampai sekarang saya masih menganggap sebagai oknum, belum organisasi yang terlibat dalam Peristiwa 5 Agustus”. Wakil Ketua Umum AMS Tatto Prajamanggala membantah adanya penahanan Ketua Umum AMS, melainkan sejumlah tokoh AMS sebagai perorangan dan memberikan jaminan bahwa “AMS tidak terlibat secara organisatoris dalam peristiwa itu”.  Menurut Tatto, kalau secara organisatoris AMS dianggap terlibat, maka “pemimpin-pemimpinnyalah yang harus ditangkap”.

Meski Mingguan Mahasiswa Indonesia tidak selalu disenangi oleh beberapa kalangan pimpinan AMS, namun mingguan itu menampilkan pembelaan-pembelaan yang kuat dengan mengeritik penangkapan-penangkapan yang dilakukan terhadap tokoh-tokoh AMS, termasuk pada saat pers lain sudah memilih untuk ‘diam’.

Ethnosentrisme dan Prasangka Sosial

SAMPAI bagian-bagian awal tahun 1970-an telah terlihat betapa prasangka sosial menjadi sumber dari banyak masalah, mulai dari kecemburuan ekonomi hingga kepada terjadi kerusuhan-kerusuhan yang berbau rasial. Memang, yang lebih menonjol adalah yang terkait dengan etnis cina, tetapi sesungguhnya masalah juga muncul dengan etnis lain seperti etnis keturunan arab, disamping yang terkait masalah kesukuan. Semua itu digolongkan sebagai faktor-faktor des-integrasi. Perbedaan-perbedaan itu lebih menajam tatkala makin terasa mulai terjadi pelebaran jurang sosial antara kaum kaya baru di masyarakat dengan rakyat banyak yang masih tertinggal dalam kemiskinan.

Semua ini satu dan lain hal berakar dalam sejarah. Sebuah tulisan yang dirangkum oleh salah seorang kontributor tetap Mingguan Mahasiswa Indonesia, Syamsir Alam, bersama redaksi, mencoba memaparkannya sebagai referensi pada edisi tanggal 24 September 1972.

Pada tahun 1855, Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan sebuah undang-undang sipil di tanah jajahannya dan dikenallah istilah ‘Vreemde Oosterlingen’. Hindia Belanda adalah sebuah negeri yang makmur, maka kepentingan ekonomi dan politik Belanda harus diperkuat, terutama setelah terjadinya berbagai pemberontakan melawan usaha penjajahan mereka. Setelah Gubernur Jenderal Van den Bosch berkuasa undang-undang sipil baru dilemparkan sebagai alat menentukan status dan posisi penduduk yang menempati bumi Indonesia. Pada saat itu pemerintah Hindia Belanda sangat memerlukan peran orang-orang Tionghwa atau Cina dan Arab sebagai perantara kepentingannya terhadap penduduk-penduduk pribumi. Oleh karena itu kedudukan mereka ditingkatkan oleh Belanda sebagai “kelas menengah”, sementara orang-orang kulit putih berada di puncak atas. Vreemde Oosterlingen berarti orang Timur Asing yang berdiri di lapisan tengah. Yang besar peranannya dalam kelompok Timur Asing ini adalah keturunan cina, sedang keturunan arab di tempat berikutnya. Pada lapisan bawah adalah penduduk pribumi yang disebut kaum inlander, yang bergerak pada lapangan kehidupan agraris dengan kebudayaan agraris mereka dan tentu saja dengan kemampuan entrepreneurs yang lemah pula.

Bila posisi orang-orang keturunan cina di tahun 1855 itu telah menanjak sedemikian rupa, ini bukanlah tanpa perjuangan yang penuh susah payah. Pada tahun 1740 jumlah mereka di Batavia atau Jakarta saja telah mencapai 80.000 kepala dan masih menganut agama Kong Hu Cu dengan klenteng-klenteng mereka yang indah dan megah. Sebelum 1740, mereka sudah menguasai perdagangan gula. Gautier Schouten (1638-1704) menulis “Mereka adalah orang-orang yang aneh dan mirip orang-orang Yahudi”. Dan kecemasan orang-orang Belanda pun mulai semenjak tahu bahwa mereka itu bisa sangat ‘memusingkan’. Gubernur Jenderal Valckenir waktu itu berusaha mengirim orang-orang cina ini ke Ceylon untuk dijadikan buruh di sana. Tapi ketika beberapa kapal telah diberangkatkan, di kalangan orang-orang cina itu terdengar desas-desus bahwa kawan-kawan mereka ternyata dibuang ke laut. Semenjak itu kegelisahan memuncak diantara mereka, lalu mereka berkumpul untuk mengadakan suatu pemberontakan. Namun malang, pemerintah Belanda ternyata telah siap untuk membersihkan Batavia dari orang-orang cina, dengan cara paksa sekalipun, yang berakhir dengan pembunuhan massal yang mengerikan di tahun 1740. Ratusan orang cina menggeletak tanpa nyawa.

Banyak diantara mereka kemudian melarikan diri ke Jawa Tengah dan Jawa Timur. Mereka mengadakan kerjasama dengan raja Solo dan Yogya untuk menentang Belanda. Pada 1742 peristiwa yang mengerikan itu berakhir. Orang-orang cina kembali meluaskan dan mengambil posisi di bidang perdagangan. Bersamaan dengan itu pendatang-pendatang baru mengalir lagi dari Kanton, Hakka, Fuking, Hainan, Shanghai maupun Kwangsi dan Yunan, kedatangan mereka di negeri ini benar-benar tanpa modal yang cukup. Tapi berkat usaha mereka yang keras pada akhirnya mereka mendapatkan kegiatan hidup dan tingkat kehidupan yang menyenangkan. Sejak itu mereka terus berjaya dan berhasil memaksa Belanda untuk lebih kompromistis. Pada tahun 1811 William Daendels (sewaktu Belanda dikuasai Perancis) misalnya telah mempercayakan seluruh Besuki yang kaya dengan tebu, tembakau, kopi dan beras, kepada seorang Kapitan Cina dari Surabaya. Sejak permulaan abad ke-19 Jakarta, Cirebon, Semarang, dan Surabaya sudah merupakan pusat bisnis mereka yang utama. Dari sana mereka mengendalikan perdagangannya ke daerah-daerah lain. Sewaktu Gubernur Jenderal Inggeris Thomas Stamford Raffles memerintah Jawa tahun 1811-1816, ia menggelindingkan kultuurstelsel dimana semua pajak harus dibayar dengan uang. Petani-petani Jawa yang biasanya menyimpan barang-barang non produktif sebagai tumbal kekayaan mereka, tidak mempunyai uang cukup. Dalam kebingungan, mereka menjual tanah-tanah mereka kepada orang-orang cina yang lebih kuat modalnya. Ketika kultuurstelsel dicabut, rentenir-rentenir cina telah merajalela.

Sewaktu Belanda kembali berkuasa di Indonesia, Belanda memikirkan cara baru untuk memperkecil peran orang-orang cina. Tetapi usahawan-usahawan cina itu sudah berpengaruh luas. Jumlah orang cina pada tahun 1830 hingga 1855 telah mencapai 150.000 di pulau Jawa saja dan masyarakat mereka telah terjalin demikian kuat dengan tradisi yang tak mudah dijebol. Undang-undang sipil yang dikeluarkan pada tahun 1855 sebenarnya adalah bukti bahwa pemerintah Belanda memerlukan orang-orang cina dan arab sebagai “Perantara kepentingan mereka”. Orang-orang kulit putih tidak bisa langsung berurusan dengan kehidupan pribumi yang penuh lumpur dan keringat. Hanya orang-orang cina dan arab lah yang sanggup. Maka diberikanlah pada mereka status sosial sebagai Vreemde Oosterlingen yang mapan. Dan ternyata mereka memang bisa bergaul secara bebas dengan pribumi, menguasai bahasa daerah dan beberapa ada yang mampu berasimilasi.

Keturunan arab diuntungkan oleh persamaan agama dengan kebanyakan penduduk. Tapi keturunan cina biasanya lebih luwes dan ulet. Meski, tak urung seringkali ada diantara mereka tercatat sebagai “tidak mempunyai nama baik di kalangan kulit putih dan pribumi inlander”. Namun tak ada cara yang sanggup mengutik-ngutik peran mereka yang demikian ‘jlimet’ itu. Malahan justru pada tahun 1892, orang-orang cina mulai menguasai industri-industri batik dan mulai menjadikan banyak orang-orang pribumi sebagai ‘kuli-kuli’ mereka yang patuh. Bahkan mereka telah dicatat di abad ke-19 itu, berhasil menggantikan peran raja-raja dan bupati-bupati Jawa di sepanjang pesisir yang sebelumnya menguasai perekonomian di abad-abad 14 dan 15. Pada beberapa tempat lain sejumlah keturunan arab juga berhasil masuk dan menguasai industri batik.

Berlanjut ke Bagian 9