Tag Archives: Janedjri M. Gaffar

The Bad Among The Worst: Soeharto Number One? (2)

UNTUK sebagian besar, perjalanan Orde Baru di bawah rezim Soeharto, memang ditandai dengan pertumbuhan ekonomi terutama berkat peran para teknokrat Widjojo Nitisastro dan kawan-kawan, ditopang stabilitas politik dan keamanan karena kuatnya peran militer. Tapi perlahan namun pasti terasa bahwa ekonomi yang bertumbuh, tidak disertai pemerataan. Kekayaan bertumpuk di tangan segelintir orang sebagai penikmat hasil pembangunan, melalui pola korupsi, kolusi dan nepotisme. Hukum disubordinasi kekuasaan. Namun ‘keberhasilan’ menjaga stabilitas pangan, khususnya keberhasilan mencapai swasembada beras, ditambah efektivitas supresi yang dijalankan militer, bisa mencegah dan meredam meletupnya keresahan sosial dalam kadar tinggi.

Bukannya, tak ada gerakan perlawanan terhadap rezim Soeharto, terutama oleh kelompok mahasiswa maupun kelompok masyarakat lainnya, seperti Peristiwa 5 Agustus 1973 di Bandung, Peristiwa 15 Januari 1974 dan ‘Buku Putih’ Gerakan Mahasiswa 1978, tetapi penguasa selalu mampu mematahkannya. Hanya Peristiwa 15 Januari 1974 yang agak berbeda, bukan murni dari penyebab aspirasi generasi muda, melainkan lebih banyak merupakan hasil pertarungan internal kalangan penguasa yang melibatkan kelompok-kelompok mahasiswa, khususnya di Jakarta, sebagai pemicu peristiwa. Peristiwa Mei 1998 di akhir masa kekuasaan Soeharto, pada satu sisi adalah historical by accident setelah penembakan sejumlah mahasiswa Universitas Trisakti. Tetapi pada sisi lain, seperti halnya Peristiwa 15 Januari 1974, di latar belakang peristiwa itu terjadi pertarungan internal, khususnya di lingkaran kekuasaan Soeharto sendiri. Sejumlah jenderal dan politisi terlibat dalam proses dan jalinan peristiwa persaingan kekuasaan: Jenderal Wiranto dan kawan-kawan, Jenderal Prabowo Subianto dan kawan-kawan, maupun kelompok jenderal abu-abu seperti Sjafrie Sjamsuddin. Terkait pula di dalamnya BJ Habibie yang ada di lingkaran asistensi ICMI, Siti Hardianti Rukmana dan Jenderal Hartono serta tokoh-tokoh yang berada di wilayah abu-abu seperti Ginandjar Kartasasmita, Akbar Tandjung dan kawan-kawan, lalu orang-orang semacam Harmoko.

Tatkala di belakang panggung politik dan kekuasaan kekecewaan mulai terarah ke diri Soeharto, seringkali ada pembandingan-pembandingan dengan masa Soekarno. Dikatakan bahwa Soekarno tidak memperkaya diri dan keluarga, seperti halnya Soeharto. Padahal, baik di masa Soekarno maupun di masa Soeharto korupsi terjadi. Bedanya, di masa Soekarno ‘kue’ yang digerogoti memang lebih kecil dan terbatas, sesuai situasi ekonomi saat itu, sedang di masa Soeharto ‘kue-nya besar dan cukup berlimpah. Menurut almarhum Prof. Dr Soemitro, setidaknya sepertiga hasil dan biaya pembangunan raib karena korupsi. Dikatakan pula bahwa Soekarno lebih memiliki nasionalisme dan harga diri di depan pihak asing, sedangkan di masa Soeharto para pengelola negara cenderung tak punya harga diri dan bahkan bisa menggadaikan diri bagi kepentingan asing. Terhadap cara-cara otoriter Jenderal Soeharto dalam melumpuhkan dan mengeliminasi lawan politik dan lawan kepentingannya, banyak yang menganggap Soekarno lebih baik karena meski menangkapi lawan-lawan politiknya, Soekarno memperlakukan mereka lebih baik. Padahal, dua-duanya memiliki esensi ‘kejahatan’ politik dan kekuasaan yang sama buruknya pada kurun waktu tertentu.

Kita bisa melihat, bahwa di awal Orde Baru, Soekarno digambarkan sangat buruk, dan Soeharto lebih baik. Di akhir Orde Baru, giliran Soeharto digambarkan serba buruk, dan sosok Soekarno mulai dirindukan kembali. Kerinduan terhadap sosok Soekarno, di tengah dan akibat otoriterisme Jenderal Soeharto, memberi peluang Megawati Soekarnoputeri bersama partainya masuk ke dalam dunia politik dan kekuasaan. Peranan diam-diam sejumlah jenderal di belakang layar –entah karena idealisme, entah karena kepentingan khusus, entah karena kepandaian membaca arah angin– menjadi faktor lainnya.

KURSI DWI-FUNGSI ABRI. “Jenderal Soeharto adalah pelopor penggunaan dwi-fungsi ABRI dan memformulasikannya secara berbeda dengan gagasan awal Jenderal AH Nasution, dalam praktek kekuasaan negara (1967-1998). Dengan dwi-fungsi, perwira-perwira militer menduduki hampir seluruh posisi penting dan strategis di negara ini”. Karikatur 1967, T. Sutanto.

SEKARANG, pembandingan dilakukan lagi, tampaknya terutama antara Jenderal Soeharto dan Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono. Jenderal Soeharto adalah Presiden RI ke-2 dengan masa kekuasaan 6 periode lebih, sedang Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono adalah Presiden RI ke-6 dengan masa kekuasaan yang kini memasuki periode ke-2. Soeharto adalah produk perjuangan bersenjata mempertahankan kemerdekaan 1945-1950, Susilo Bambang Yudhoyono, produk baru hasil akademi militer. Jenderal Soeharto adalah pelopor penggunaan dwi-fungsi ABRI dan memformulasikannya secara berbeda dengan gagasan awal Jenderal AH Nasution, dalam praktek kekuasaan negara (1967-1998). Dengan dwi-fungsi, perwira-perwira militer menduduki hampir seluruh posisi penting dan strategis di negara ini. Sementara itu, Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono adalah hasil pendidikan akademi militer masa dwi-fungsi, dan menjalani karir di masa dwi-fungsi itu, namun ketika berkuasa tak dapat menggunakannya lagi secara formal. Tapi, secara faktual, tokoh-tokoh militer tetap berada pada posisi-posisi strategis dalam kekuasaan, khususnya di masa kepresidenan SBY.

Pada hakekatnya Jenderal Soeharto dan Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono berasal dari sumber yang sama, hanya berbeda tahun produksi. Banyak pihak, khususnya para akademisi, melihat Susilo Bambang Yudhoyono dalam hal tertentu adalah jelmaan baru dari Soeharto. Survey Indo Barometer, menempatkan mereka berdua sebagai number one dan number two. Meskipun memiliki banyak perbedaan, cukup banyak pula persamaan yang bisa ditemukan di antara keduanya. Hanya saja, memang Soeharto lebih menonjol kecepatan dan ketegasannya, melebihi Susilo Bambang Yudhoyono yang dianggap agak kurang tegas dan lamban.

Dalam mengatur kekuasaan, Susilo Bambang Yudhoyono, banyak menggunakan formula Soeharto. Untuk tulang punggung dukungan politik kekuasaannya, SBY memiliki Partai Demokrat. Penentu utama kebijakan partai adalah dirinya, selaku Ketua Dewan Pembina, tak berbeda jauh dengan Soeharto yang selaku Ketua Dewan Pembina mengendalikan Golkar dari belakang. Tetapi karena Partai Demokrat tak berhasil memperoleh angka mayoritas untuk kursi DPR, sementara dalam Pemilihan Umum Presiden yang baru lalu SBY menginginkan kemenangan satu putaran –dan memperoleh sekitar 60 persen suara– maka SBY melakukan koalisi. Tetapi koalisi itu ternyata tak menjamin sepenuhnya bagi SBY mencapai keberhasilan ‘memenangkan’ kehendak-kehendaknya melalui DPR. Sebaliknya, seringkali digoyang-goyang lebih dulu, sebelum mendapat persetujuan DPR. Pendukungnya di DPR cenderung kalah suara, seperti misalnya dalam kaitan kasus Bank Century, tetapi satu kali menang juga, meskipun betul-betul tipis, dalam voting angket perpajakan.

Last but not least, seperti halnya dengan apa yang terjadi dengan Golkar zaman Soeharto, ada juga ‘pembonceng-pembonceng’ yang bergabung dengan partai(-partai) pendukung SBY, untuk berbagai kepentingan pribadi, termasuk soal dana. Saat ini, Partai Demokrat makin disorot, antara lain dengan mencuatnya kasus suap Sesmenpora, dan pemberian ‘uang persahabatan’ kepada Sekjen KPK Janedjri M. Gaffar, yang dikaitkan dengan Bendahara partai, Muhammad Nazaruddin. Lalu, setelah diberhentikan oleh Dewan Kehormatan PD, ia balik melontarkan tuduhan-tuduhan kepada beberapa tokoh partainya sendiri sebagai pelaku permainan busuk.

Terpatri di kepala orang bahwa pada zaman Soeharto, ekonomi pada umumnya cemerlang dan sarat dengan angka-angka pertumbuhan, serta lebih berhasil menjaga kestabilan harga-harga. Tapi orang lupa bahwa pada tahun-tahun terakhir masa kekuasaan Soeharto, ekonomi Indonesia hampir kolaps. Untuk mengatasi krisis moneter dan krisis ekonomi pada umumnya, Presiden Soeharto mengambil kebijakan pengucuran BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) dalam jumlah hampir mencapai 1000 triliun rupiah. Namun ternyata kebijakan BLBI itu menjadi ajang penjarahan uang negara secara besar-besaran oleh para konglomerat perbankan, yang para pelakunya terbanyak adalah kroni Soeharto, yang untuk sebagian terbesar tak bisa lagi dikembalikan ke negara.

Ratusan triliun rupiah dana BLBI raib hingga kini. Banyak aset jaminan bagi dana talangan itu ternyata under value – entah karena rekayasa sejak awal, entah rekayasa kemudian saat bergulir ke ranah hukum, entah kombinasi kedua-duanya. Orang tahu siapa para pelakunya, tapi orang tak tahu cara menariknya kembali. Dua Jaksa Agung masa kepresidenan Abdurrahman Wahid yang concern mengupayakan pengembalian BLBI, Marzuki Darusman dan Baharuddin Lopa, dipatahkan. Satu dihentikan di tengah jalan, satu lainnya terhenti karena ajalnya tiba masih pada awal-awal masa jabatannya. Satu persatu tersangka BLBI terselamatkan dengan aneka cara. Terakhir, Syamsu Nursalim ‘terselamatkan’ di masa Jaksa Agung Hendarman Supandji, zaman kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono, meski  agak ‘berbau’ dengan adanya skandal suap Arthalita Suryani dan Jaksa Urip.

Berlanjut ke Bagian 3