Tag Archives: ICMI

Mengejar ‘Mandat Langit’, Kisah Prabowo Subianto

HINGGA sejauh ini, memasuki pekan ketiga setelah pemungutan suara pemilihan umum legislatif, terkesan kuat bahwa Letnan Jenderal (Purnawirawan) Prabowo Subianto berbagi peluang fifty-fifty dengan Jokowi untuk memenangkan kursi RI-1. Meskipun, tetap tak tertutup peluang bagi tokoh lainnya yang juga ikut ‘berburu’ mandat di medan yang sama. Apalagi, saat ini kegiatan negosiasi politik –tepatnya, mungkin aksi dagang sapi– untuk mencari pasangan koalisi berlangsung setengah rasional saja. Pertimbangan apa yang terbaik bagi bangsa dan negara, cenderung dikalahkan oleh semata kalkulasi keuntungan subjektif partai dan kelompok politik masing-masing. Maka pencapaian pasangan Presiden-Wakil Presiden terbaik dan paling ideal –berdasarkan kemampuan dan kualitas tokoh– misalnya, sulit bahkan mustahil tercapai, karena perbedaan subjektivitas (kepentingan sempit) partai-partai pendukung.

LETNAN JENDERAL PRABOWO SUBIANTO. "Di antara ‘beban’ sejarah yang tak mudah dilepas dari pundak Prabowo Subianto, adalah kasus penculikan dan penghilangan aktivis kritis di masa kekuasaan mertuanya, Jenderal Soeharto. Peristiwa itu, sejauh ini masih separuh jelas separuh gelap. Kenyataannya, masih terdapat sejumlah orang yang dianggap diculik atas perintah Jenderal Prabowo Subianto, hingga kini belum jelas keberadaannya. Kemungkinan besar sudah tewas, namun tak pernah ditemukan jasadnya... Namun, ‘beban’ sejarah yang paling berat, tentu adalah ‘percobaan kudeta’ yang sempat akan dilakukannya terhadap Presiden BJ Habibie masih di hari pertama setelah dilantik sebagai Presiden, 22 Mei 1998." (Sumber foto, Tempo)
LETNAN JENDERAL PRABOWO SUBIANTO. “Di antara ‘beban’ sejarah yang tak mudah dilepas dari pundak Prabowo Subianto, adalah kasus penculikan dan penghilangan aktivis kritis di masa kekuasaan mertuanya, Jenderal Soeharto. Peristiwa itu, sejauh ini masih separuh jelas separuh gelap. Kenyataannya, masih terdapat sejumlah orang yang dianggap diculik atas perintah Jenderal Prabowo Subianto, hingga kini belum jelas keberadaannya. Kemungkinan besar sudah tewas, namun tak pernah ditemukan jasadnya… Namun, ‘beban’ sejarah yang paling berat, tentu adalah ‘percobaan kudeta’ yang sempat akan dilakukannya terhadap Presiden BJ Habibie masih di hari pertama setelah dilantik sebagai Presiden, 22 Mei 1998.” (Sumber foto, Tempo)

            Walau memiliki peluang yang relatif sama, Jokowi dan Prabowo, memiliki perbedaan ketokohan yang diametral berbeda. Prabowo masih cukup beraroma tentara dan tergolong agresif, sementara Jokowi masih ‘cukup Jawa’. Dan ada lagi satu perbedaan yang sangat menonjol di antara keduanya. Bila Prabowo Subianto memiliki begitu banyak ‘sejarah’ –baik yang menguntungkan maupun yang kontroversial dan bisa menjadi beban– maka sebaliknya, Jokowi minim ‘sejarah’ yang diketahui publik. Orang hanya mengetahui bahwa Jokowi pernah menjadi Walikota Solo yang prestasinya sempat diapresiasi oleh sebuah lembaga internasional sebagai salah satu walikota yang termasuk terbaik di dunia.

Di Jakarta, orang masih harus menunggu bukti prestasi Jokowi sebagai Gubernur DKI yang baru seumur jagung. Tetapi kedekatan dan pendekatannya terhadap rakyat dalam tempo singkat bisa cukup mempesona, karena dianggap banyak berbeda dengan gaya kepemimpinan (yang menjemukan, menjengkelkan dan mengecewakan) para penguasa selama ini. Namun pesona itu juga sekaligus membangkitkan ekspektasi yang luar biasa tinggi, sehingga juga dibayangi oleh kemungkinan kekecewaan yang juga luar biasa besarnya nanti bila ia salah langkah. Katakanlah, ia berhasil memenangkan ‘mandat langit’ dari rakyat –yang secara retoris digambarkan sebagai penyampai suara Tuhan di bumi– tetapi kemudian tidak bisa segera memenuhi tuntutan ekspektasi rakyat, bisa diperkirakan apa yang terjadi. Mungkin ia akan menghadapi gelombang ‘kemarahan’ yang lebih besar, karena ini merupakan kekecewaan kedua rakyat terhadap pemimpin yang berhasil merangsang ekspektasi tinggi. Belum lagi manuver dari partai politik lainnya, bahkan manuver akrobatik internal partai pendukung utamanya sendiri, PDIP.

Susilo Bambang Yudhoyono adalah tokoh pertama pemicu ekspektasi tinggi berkat ‘keberhasilan’ politik pencitraannya. Terhadap periode pertama kepresidenannya, rakyat masih mendua sikap. Tapi terhadap periode keduanya, ia memicu kekecewaan lebih besar. Untuk sebagian, tercermin dari nyaris gagalnya Partai Demokrat mempertahankan eksistensi. Hanya faktor x di tengah pelaksanaan pemilihan umum 2014 ini yang menolong partai tersebut untuk tidak terbanting jauh ke bawah. Apakah faktor x juga akan berhasil menolong partai SBY ini dalam keikutsertaan bermain pada arena pemilihan presiden mendatang ini, merupakan suatu tanda tanya tersendiri yang menarik dan perlu dicermati.

Prabowo dan Soemitro Djojohadikoesoemo. Di antara ‘beban’ sejarah yang tak mudah dilepas dari pundak Prabowo Subianto, adalah kasus penculikan dan penghilangan aktivis kritis di masa kekuasaan mertuanya, Jenderal Soeharto. Peristiwa itu, sejauh ini masih separuh jelas separuh gelap. Kenyataannya, masih terdapat sejumlah orang yang dianggap diculik atas perintah Jenderal Prabowo Subianto, hingga kini belum jelas keberadaannya. Kemungkinan besar sudah tewas, namun tak pernah ditemukan jasadnya, seperti misalnya Dedi Hamdun suami artis film Eva Arnaz. Para keluarga korban penculikan dan penghilangan orang di masa-masa akhir kekuasaan Soeharto itu, bisa bersiap-siap untuk acara penguburan kasus kejahatan atas HAM itu, bila Prabowo Subianto yang berhasil menjadi Presiden RI mendatang.

            Upacara ‘penguburan’ yang sama juga akan terjadi untuk upaya pengungkapan teka-teki kejahatan kemanusiaan berupa kekerasan fisik dan perkosaan dalam Peristiwa Mei 1998. Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang diketuai Marzuki Darusman, yang melakukan penelusuran segera setelah peristiwa terjadi, antara lain memunculkan dugaan keterlibatan Prabowo Subianto dalam rangkaian peristiwa tahun 1998 itu. Bersama Prabowo, beberapa nama lain juga sejauh ini belum formal terungkap peranannya dalam kerusuhan Mei 1998 itu, meski telah disebut-sebut dalam laporan TGPF, yakni Mayor Jenderal (waktu itu) Sjafrie Sjamsuddin dan Jenderal Wiranto. Nama mereka, dalam konteks peristiwa tahun 1998 itu, juga sempat disinggung Letnan Jenderal (Purnawirawan) Sintong Panjaitan dalam buku biografinya, Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando (Hendro Subroto, Penerbit Buku Kompas, 2009).

            Namun, ‘beban’ sejarah yang paling berat, tentu adalah ‘percobaan kudeta’ yang sempat akan dilakukannya terhadap Presiden BJ Habibie masih di hari pertama setelah dilantik sebagai Presiden, 22 Mei 1998. (Baca juga, Indonesia 2014: Dari Anomali ke Anomali, socio-politica.com, March 4, 2014). Sejak Habibie bertambah dekat dengan Soeharto –yang sering dipujinya sebagai SGS, Super Genius Soeharto– ia banyak ‘dimusuhi’ lingkaran Soeharto lainnya, termasuk kalangan arus utama militer. Tetapi Letnan Jenderal Prabowo –menantu Soeharto– justru memberikan dukungan di tengah kelangkaan kepada kehadiran Habibie di lingkaran Soeharto. Untuk ini Prabowo menjadi bagian dari hanya sedikit kalangan jenderal yang bersedia menjalin kedekatan dengan teknolog pesawat terbang itu. Dukungan Prabowo dan sedikit saja dari kalangan jenderal itu, toh cukup memadai untuk keberlangsungan gagasan-gagasan bidang iptek BJ Habibie di tahun-tahun terakhir masa Soeharto. Lebih dari itu, secara menakjubkan, BJ Habibie yang juga memiliki sayap pendukung utama lainnya, yakni Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) bisa memenangkan kesempatan dalam kompetisi calon Wakil Presiden bagi Soeharto untuk masa jabatan 1998-2003.

Semula berita upaya kudeta Mei 1998 dibantah Prabowo, tetapi setelah sekian tahun, mulai diakuinya meskipun sebagian dengan gaya bercanda. Kenapa akhirnya kudeta tak jadi dilakukan? Selain soal perhitungan taktis, agaknya peranan ayahandanya, Professor Soemitro Djojohadikoesoemo, sebagai faktor pencegah amat besar. Begawan ekonomi dengan pengalaman internasional itu pasti tahu betul bahwa bilamana puteranya yang Letnan Jenderal itu melakukan kudeta, ia akan ditolak dan dimusuhi oleh negara-negara barat yang suka atau tidak suka merupakan kekuatan penentu secara global. Dan mungkin saja, tindakan seperti itu bertentangan dengan hati nurani sang professor yang berlatarbelakang politik sosialis ‘kanan’ itu.

KERUSUHAN MEI 1998. "Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang diketuai Marzuki Darusman, yang melakukan penelusuran segera setelah peristiwa terjadi, antara lain memunculkan dugaan keterlibatan Prabowo Subianto dalam rangkaian peristiwa tahun 1998 itu. Bersama Prabowo, beberapa nama lain juga sejauh ini belum formal terungkap peranannya dalam kerusuhan Mei 1998 itu, meski telah disebut-sebut dalam laporan TGPF, yakni Mayor Jenderal (waktu itu) Sjafrie Sjamsuddin dan Jenderal Wiranto." (foto download)
KERUSUHAN MEI 1998. “Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang diketuai Marzuki Darusman, yang melakukan penelusuran segera setelah peristiwa terjadi, antara lain memunculkan dugaan keterlibatan Prabowo Subianto dalam rangkaian peristiwa tahun 1998 itu. Bersama Prabowo, beberapa nama lain juga sejauh ini belum formal terungkap peranannya dalam kerusuhan Mei 1998 itu, meski telah disebut-sebut dalam laporan TGPF, yakni Mayor Jenderal (waktu itu) Sjafrie Sjamsuddin dan Jenderal Wiranto.” (foto download)

            Tentu menjadi pertanyaan, apakah seorang yang berlatarbelakang militer agresif, dan pernah mencoba melakukan kudeta, bisa merubah dan membentuk kembali dirinya sebagai seorang Presiden di suatu negara yang berkeinginan membangun supremasi sipil berdasarkan sistem demokrasi? Apalagi dengan belajar dari ketidakberhasilan seorang militer seperti Susilo Bambang Yudhoyono yang untuk berubah menjadi pemimpin sipil memerlukan terlalu banyak kompromi dan persuasi yang  sering salah tempat dan salah waktu?

            Kecemasan BJ Habibie, Mei 1998. Menurut Letnan Jenderal Sintong Panjaitan, Prabowo datang ke Istana pukul 15.00 Jumat 22 Mei 1998, setelah mendengar dari Fanny Habibie –adik kandung BJ Habibie– bahwa dirinya dicopot dari jabatan Panglima Kostrad. Prabowo datang ke Istana mengendarai tiga mobil Landrover bersama 12 orang pengawalnya. “Bagi Prabowo masuk ke Istana tidak menjadi masalah, karena cukup banyak perwira Pasukan Pengamanan Presiden yang mengenal dirinya. Namun pada waktu Prabowo masuk, para petugas agak tegang.” Berdasarkan prosedur, para tamu presiden harus menunggu dulu di lantai dasar, untuk diperiksa dan ‘disterilkan’. Tapi, Prabowo langsung naik lift menuju lantai 4, tanpa ada petugas yang berani mencegahnya.

Mendengar laporan mengenai apa yang dilakukan Prabowo, penasehat militer presiden, Letnan Jenderal Sintong Panjaitan memberi perintah kepada petugas agar mencegah Prabowo yang bersenjata lengkap masuk ke ruang presiden sebelum dirinya memberi izin. Sintong dengan cepat menganalisis kedatangan Prabowo siang itu, terkait dengan pencopotan dari jabatan Panglima Kostrad. Menurut Sintong, “terdapat tiga kemungkinan; yaitu pertama, Prabowo akan menerima; Kedua, ia akan menawar; Dan ketiga, ia akan menolak perintah.” Padahal, dalam kamus militer sebenarnya hanya ada satu pilihan, yaitu siap melaksanakan perintah. Sintong juga menganggap sangat janggal bila dalam situasi semacam itu Presiden BJ Habibie harus berhadapan dengan Prabowo yang bersenjata lengkap.

Sintong memerintahkan perwira petugas agar meminta dengan sopan dan hormat pada Prabowo untuk menyerahkan senjatanya. Dalam waktu yang sama disiapkan petugas berpakaian preman tapi bersenjata lengkap di lantai 4 untuk menurunkan Prabowo dengan paksa ke lantai dasar seandainya ia menolak menyerahkan senjatanya. Ternyata, Prabowo tidak berkeberatan menyerahkan senjatanya –pistol yang tertambat di kopelrimnya, magasen peluru, pisau rimba dan beberapa peralatan lainnya– kepada petugas.

Baik BJ Habibie maupun Sintong Panjaitan, kelak di kemudian hari menceritakan dalam bukunya masing-masing, apa yang terjadi dan apa yang dibicarakan dalam pertemuan di ruang presiden sore itu. Namun penuturan-penuturan itu tidak cukup lengkap menggambarkan beberapa momen penting yang terjadi, dan bagaimana sesungguhnya BJ Habibie ‘memahami’ dan memaknai esensi insiden itu. Akan tetapi, mungkin tidak banyak diketahui, bahwa hanya dalam hitungan satu atau dua jam sesudahnya Presiden BJ Habibie meminta waktu bertemu di suatu tempat dengan seorang duta besar negara barat (Eropa) yang cukup penting, yang saat itu bertugas di Indonesia.

Dalam pertemuan dengan duta besar itu, BJ Habibie menyampaikan kecemasan-kecemasannya tentang apa yang telah dan mungkin akan dilakukan Letnan Jenderal Prabowo pasca peristiwa sore itu di Istana. Agaknya, BJ Habibie menyampaikan sejumlah curahan hati, serta, katakanlah semacam permintaan terkait keamanan dan keselamatannya. Sang duta besar menangkap adanya kecemasan yang cukup berkadar tinggi dari BJ Habibie, terhadap ancaman yang diucapkan maupun tersirat dari bahasa tubuh Prabowo Subianto kala itu. Sang duta besar bisa memahami dan menganggap pantas bila BJ Habibie sangat cemas setelah pertemuan dengan Prabowo itu.

Tapi bagaimana sesungguhnya, tingkat kecemasan BJ Habibie dan bagaimana ia menilai tingkat potensi bahaya yang ada saat itu, tentu hanya BJ Habibie sendiri yang paling mengetahui. Mungkin BJ Habibie perlu membagi informasi peristiwa 22 Mei 1998 itu, dan bagaimana ia menilai sosok Prabowo Subianto sebagai seorang pemimpin yang kini menjadi salah satu tokoh yang berkemungkinan menjadi seorang Presiden melalui Pemilihan Umum Presiden 9 Juli mendatang. Itu akan menjadi masukan berharga bagi para calon pemilih, terkait masa depan bangsa dan negara ini. Tanpa informasi dan konfirmasi yang lebih lengkap dan terbuka, mungkin publik hanya bisa meraba-raba apa yang dimaksud BJ Habibie dengan kriteria Presiden Indonesia mendatang, yang menurutnya sebaiknya adalah tokoh muda. Apakah BJ Habibie sedang mengisyaratkan suatu bahaya bila tokoh-tokoh ‘senior’  tertentu yang ada saat ini dibiarkan menjadi Presiden, termasuk Prabowo? Prabowo memang masih berpenampilan muda, namun usiaya jelas bukan muda lagi. (socio-politica.com)

*Tulisan ini samasekali tidak terkait dengan tujuan pendiskreditan tokoh. Dasar utama semata-mata menggali informasi yang benar tentang tokoh. Tulisan berikutnya, mengenai tokoh-tokoh lainnya yang sedang disiapkan atau mempersiapkan diri dalam proses mencari ‘mandat langit’ dari rakyat, baik sebagai presiden maupun sebagai wakil presiden.

Orang-orang Jakarta di Balik Tragedi Maluku (4)

George J. Aditjondro*

TOKOH selanjutnya, H. Rusdi Hassanusi, mungkin merupakan satu-satunya perwira polisi aktif yang memimpin sebuah cabang Majelis Ulama Indonesia. Pada bulan Juli 1999, ketua MUI Maluku itu pergi ke Makassar untuk merekrut enampuluh orang anggota Muhammadiyah dan mengapalkan mereka ke Ambon untuk bergabung dengan milisi Muslim lokal (TPG, 1999). Secara ironis, ia kehilangan anaknya, Alfian (“Eki”) Hassanusi (10), sersan polisi yang secara fatal dilukai oleh penembak gelap pada hari Rabu, 17 Mei, 2000.

Dengan begitu banyak tokoh militer yang terlibat dalam menghasut kekacauan di Maluku, maka tidaklah mengherankan jika para serdadu itu dapat beroperasi dengan bebas di kedua provinsi kembar itu, di mana sampai Mei 2000, 70% dari para korban di kedua belah pihak dibunuh atau dilukai dari tembakan senjata organik militer dan polisi. Pada dasarnya, tiga kesatuan tentara dan satu kesatuan polisi telah mengambil bagian dalam pembunuhan besar-besaran itu, yakni pasukan-pasukan Kostrad, Brawijaya, Kopassus dan Brimob. Keterlibatan Kopassus tidak begitu kentara sebagaimana tiga kesatuan lain, yang telah didokumentasikan dengan baik oleh para jurnalis asing. Para tentara Kopassus sering menyamarkan dengan menggunakan jubah Arab dan jenggot palsu sebagai ciri Lasykar Jihad, atau menggunakan kaos-kaos Lasykar Maluku sebagai ciri dari milisi Kristen.

KERUSUHAN AMBON 1999. "Dilihat dari langgengnya pembunuhan antaragama di Kepulauan Maluku, penyebaran Lasykar Jihad yang cepat di kedua provinsi kembar itu, keberfihakan sejumlah besar anggota TNI dan Polri dengan fihak-fihak yang bertikai, serta ketegaran para perwira dari faksi Wiranto, di mana tidak seorang pun telah diajukan ke pengadilan atau bahkan diselidiki keterkaitannya dengan konflik berkepanjangan di Maluku, orang tidak dapat lagi mempercayai retorika resmi di Indonesia bahwa yang terlibat hanyalah "oknum-oknum pembangkang" (rogue elements)." (foto download, AP)
KERUSUHAN AMBON 1999. “Dilihat dari langgengnya pembunuhan antaragama di Kepulauan Maluku, penyebaran Lasykar Jihad yang cepat di kedua provinsi kembar itu, keberfihakan sejumlah besar anggota TNI dan Polri dengan fihak-fihak yang bertikai, serta ketegaran para perwira dari faksi Wiranto, di mana tidak seorang pun telah diajukan ke pengadilan atau bahkan diselidiki keterkaitannya dengan konflik berkepanjangan di Maluku, orang tidak dapat lagi mempercayai retorika resmi di Indonesia bahwa yang terlibat hanyalah “oknum-oknum pembangkang” (rogue elements).” (download, AP)

Beberapa orang dari mereka ditangkap sebelum mencapai Ambon, sebagaimana terjadi ketika empat orang tentara Kopassus berambut panjang ditahan di atas kapal KM Lambelu, pada 5 Agustus 2000, kira-kira 70 orang perwira Kopassus dilihat oleh para jurnalis dan para relawan kemanusiaan meninggalkan Ambon dengan menumpang pesawat terbang militer Hercules, dengan mendorong sebuah peti kayu besar yang berisi perlengkapan mereka ke dalam pesawat terbang. Mereka memakai seragam loreng, lengkap dengan lencana Kopassusnya. Kehadiran para anggota Kopassus di Ambon itu sudah diketahui oleh para jurnalis sejak Januari 1999.

Kehadiran Kopassus di antara Lasykar Jihad dapat disimpulkan dari ketrampilan tempur mereka yang khas –seperti menembak dan melempar granat dari dalam drum minyak yang kosong yang digelindingkan oleh anggota Lasykar Jihad ketika menyerang kampus UKIM (Universitas Kristen Indonesia Maluku)– atau dengan kelaziman dari para penembak gelap, yang sering bertindak secara tenang dan berhati-hati untuk menetapkan jumlah korban yang setara bagi kedua komunitas, dalam setiap konfrontasi antaragama. Memang tembakan kepala yang fatal tidak merupakan monopoli anggota Kopassus, dan telah dikuasai pula oleh pasukan-pasukan khusus Angkatan Darat memiliki waktu dan kesempatan yang lebih lama untuk mengembangkan keterampilan yang mematikan ini selama masa tugas mereka di Timor Lorosa’e dan berkat latihan bersama para penembak jitu SAS di Australia.

Tanpa dukungan militer ini, Lasykar Jihad sendiri pada tanggal 21-22 juni 2000 tidak mungkin menghancurkan markas Brimob di Tantui, Ambon, membakar asrama yang dihuni kira-kira 2.000 orang anggota Polri dan anggota keluarga mereka, menghancurkan dua gudang amunisi, dan mencuri 832 pucuk senjata, 8.000 butir peluru, dan lusinan seragam Brimob.

Jaringan Muslim

Berbicara tentang Lasykar Jihad membawa kita pada jaringan Muslim militan, yang bekerjasama dengan jaringan militer yang diuraikan sebelumnya, untuk mengirimkan enam ribu orang pemuda Muslim ke Kepulauan Maluku diharapkan dapat ‘membebaskan saudara laki-laki dan perempuan Muslim mereka dari para penindas Kristen mereka’.

Kebanyakan pemimpin massa yang direkrut untuk mengobarkan Jihad di Maluku berasal dari arus kaum militan Muslim baru, yang mengikuti ajaran gerakan Wahhabi. Gerakan internasional ini bertujuan untuk kembali kepada Islam dari generasi awal yang didanai oleh para anggota dinasti Saud. Gerakan itu dinamai dengan nama pendirinya, Muhammad bin Abdul-Wahab (1705-1787), yang ajarannya diterapkan oleh Ibnu Saud, ketika ia mendirikan monarki Saudi pada tahun 1925. Di Indonesia, mereka berkembang pesat di luar dua organisasi Muslim yang paling besar –Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah– dalam gerakan Tarbiyah, yang membentuk jamaah salaf di kalangan mahasiswa di beberapa universitas negeri yang bergengsi, seperti ITB. Tujuannya adalah untuk mendirikan negara Islam, karena itu mereka juga dikenal sebagai gerakan ‘neo-NII’, untuk membedakan mereka dari gerakan bawah tanah yang pernah dihubungkan dengan operasi intelijen almarhum Jendral Ali Murtopo.

Seorang aktivis ‘neo NII’ adalah Al-Chaidar, berasal dari Aceh, yang mengorganisir tabligh akbar yang dihadiri antara 40.000 sampai 10.000 Orang di Monumen Nasional Jakarta pada tanggal 7 Januari 2000. Tabligh akbar yang menghimbau agar orang Muslim berjihad ke Ambon dihadiri oleh Amien Rais, ketua MPR, Hamzah Haz, mantan menteri dalam kabinet Wahid, Fuad Bawazier, mantan menteri dalam kabinet Soeharto, serta 22 organisasi Muslim militan, termasuk KISDI, PPMI, FPI dan Asosiasi Muslim Maluku yang dipimpin oleh Ongen Sangaji.

Keterlibatan dari tokoh-tokoh politisi Poros Tengah seperti Amien Rais, Hamzah Haz, dan Fuad Bawazier itu, tidak terlepas dari perbedaan pendapat mereka dengan Presiden Abdurrahman Wahid soal peranan Islam dalam kehidupan bernegara di Indonesia. Dirintis melalui ICMI di bawah pimpinan BJ Habibie, para politisi Islam itu mengkampanyekan “demokrasi proporsional” dalam sistem politik dan ekonomi Indonesia. Maksudnya, karena umat Islam merupakan mayoritas penduduk Indonesia, maka mereka harus mendominasi pemerintahan, tentara, parlemen, dan ekonomi Indonesia, yang menurut mereka saat itu masih didominasi oleh golongan minoritas Kristen dan Tionghoa (Hefner 2000: 141-142., 147-148. 150, 212).

Sikap itu justru bertolakbelakang dengan sikap politik Abdurrahman Wahid. Makanya ia menampik tawaran masuk ICMI dan sebaliknya ikut mendirikan Forum Demokrasi (Fordem) bersama sejumlah cendekiawan non-Muslim (Hefner 2000: 162). Sikap itu dilanjutkannya setelah dipilih menjadi Presiden dengan dukungan Poros Tengah, Golkar dan militer. Tak ketinggalan, Wahid pun menganjurkan rekonsiliasi dengan kaum kiri di Indonesia dengan mengusulkan pencabutan Ketetapan MPR No. 25 Tahun 1966 yang melarang penyebaran faham Marxisme-Leninisme di Indonesia. Berbagai ‘penyimpangan’ ini – di mata para politisi Poros Tengah, Golkar dan militer – mendorong munculnya aliansi untuk mendongkel Wahid dari kursi kepresidenannya dengan antara lain menggunakan kerusuhan Maluku sebagai tongkat pendongkel.

Kembali ke mereka yang bergerak di garis depan, patut digarisbawahi bahwa komandan Lasykar Jihad di Maluku, Ustadz Ja’far Umar Thalib, juga berasal dari gerakan Wahhabi. Ia adalah imam gerakan Salafi di Indonesia yang berkiblat ke Arab Saudi. Alumnus pesantren Persis di Bangil itu melanjutkan sekolah ke Maududi Institute di Lahore, Pakistan, dan dari sana bergabung dengan gerilyawan Taliban di Afghanistan (1987-1989). Keterlibatan Lasykar Jihad berperang melawan kaum Kristen di Maluku itu karena turunnya sebuah fatwa, awal 2000 yang lalu, dari salah seorang Imam Salafi di Yaman yaitu Syaikh Muqbil Bin Had Al Wadi’. Fatwa itu dikeluarkan khusus untuk berjihad di Maluku, tidak di seluruh Indonesia.

Di Maluku Utara yang dominan Muslim, ada ikatan yang kuat antara Lasykar Jihad dan Partai Keadilan, melalui ideolog partai itu, Drs. H. Abdi Sumaiti alias Abu Rido. Mantan dosen agama Islam ITB itu, yang kini Wakil Ketua Majelis Pertimbangan Partai Keadilan, pernah kuliah di Universitas Madinah, di mana ia bergabung dengan gerakan Wahhabi. Abu Rido juga menentang sekte-sekte Islam lain yang dirasakannya tidak mengajarkan doktrin yang benar. Majalah Sabili yang dimulainya ketika gerakan ‘neo-NII’-nya masih di bawah tanah, merupakan salah satu corong Lasykar Jihad.

Sementara itu, dukungan politis bagi Lasykar Jihad di dalam Angkatan Bersenjata tidak hanya berasal dari faksi Wiranto di TNI/AD. Gerakan militan Muslim ini juga menikmati dukungan diam-diam dari berbagai faksi di Polri dan Angkatan Laut. Meskipun Presiden Wahid memerintahkan seluruh jajaran TNI dan Polri untuk mencegah pasukan Lasykar Jihad meninggalkan Jawa, namun Kapolda Jawa Timur waktu itu, Mayjen Da’i Bahtiar, membiarkan saja mereka berlayar dengan kapal Pelni, KM Rinjani, dari Surabaya ke Ambon. Ini barangkali ada hubungannya dengan pernyataan komandan Lasykar Jihad, Ja’far Umar Thalib, yang mengklaim punya ‘hotline’ langsung ke Panglima TNI, Laksamana Widodo (Fealy 2001).

Kenyataannya, para anggota Lasykar Jihad juga dibiarkan mengapalkan senjata mereka dengan kapal lain, KM Tanto Sakti, yang disembunyikan dalam kotak-kotak sabun dalam 200 buah peti kemas, yang mencapai Ambon setelah kedatangan pasukan itu. Di Ambon, aparat keamanan membiarkan saja peti-peti kemas penuh senjata itu diturunkan di pelabuhan Yos Sudarso yang dikuasai komunitas Muslim di Waihoang, bukan di pelabuhan Angkatan Laut di Halong.

Agenda Militer

Dilihat dari langgengnya pembunuhan antaragama di Kepulauan Maluku, penyebaran Lasykar Jihad yang cepat di kedua provinsi kembar itu, keberfihakan sejumlah besar anggota TNI dan Polri dengan fihak-fihak yang bertikai, serta ketegaran para perwira dari faksi Wiranto, di mana tidak seorang pun telah diajukan ke pengadilan atau bahkan diselidiki keterkaitannya dengan konflik berkepanjangan di Maluku, orang tidak dapat lagi mempercayai retorika resmi di Indonesia bahwa yang terlibat hanyalah “oknum-oknum pembangkang” (rogue elements). Makanya, penjelasan mengenai kerusuhan yang berkesinambungan di Kepulauan Maluku harus ditemukan dalam kepentingan-kepentingan militer yang lebih sistemik.

(socio-politica.com) – Berlanjut ke Bagian 5

PAN: Terkungkung di Bawah Bayang-bayang Amien Rais (2)

Amien Rais sebagai kekuatan sekaligus kelemahan

NAMA Amien Rais (lahir di Solo, Jawa Tengah, 26 April 1944) mencuat ke kancah perpolitikan Indonesia pada saat-saat akhir pemerintahan Presiden Soeharto sebagai salah satu orang yang kritis terhadap kebijakan-kebijakan Pemerintah. Setelah partai-partai politik dihidupkan lagi pada masa pemerintahan Presiden BJ Habibie, Amien Rais yang ikut mendeklarasikan PAN, dan menjabat sebagai Ketua Umum PAN dari saat PAN berdiri sampai tahun 2005, ternyata salah menilai momentum untuk menghantarkannya ke jabatan presiden.

HATTA RAJASA-AMIEN RAIS. “Amien Rais bukanlah tokoh populis yang mempunyai massa pendukung fanatik yang loyal, walaupun banyak yang kagum akan pemikirannya yang menginsiprasi mengenai reformasi untuk memperbaiki kondisi Indonesia yang terpuruk di akhir era Orde Baru. Nama besar Amien Rais tidak cukup kuat untuk mengangkat popularitas PAN, bahkan sekarang malah menjadi hambatan, sehingga nampak adanya usaha untuk melepaskan diri dari ketergantungan terhadap sosok Amien Rais”. (Foto Antara).

Dengan perolehan suara partainya, PAN, yang tak sampai 10 persen dalam pemilu 1999, Amien Rais mampu bermain cantik untuk berhasil menjadi ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Namun, dengan jabatannya sebagai Ketua MPR periode 1999-2004 yang sangat strategis waktu itu sebagai penentu pimpinan baru Era Reformasi (http://id.wikipedia.org), harapannya menjadi presiden tertutup sudah. Ia berhasil menghantarkan dua rekannya dari trio tokoh kelompok Ciganjur (Gus Dur dan Megawati) menjadi presiden. Sebuah majalah pernah menjulukinya sebagai “King Maker“, julukan yang merujuk pada besarnya peran Amien Rais dalam menentukan jabatan presiden pada Sidang Umum MPR tahun 1999 dan Sidang Istimewa tahun 2001.

Juga terjadi kesalahan perhitungan oleh Amien Rais ketika memilih Siswono Judohusodo sebagai pendampingnya, saat maju sebagai calon presiden untuk dipilih secara langsung pada Pemilu 2009. Pasangan ini tersisih dalam putaran pertama. Ironisnya, Amien Rais dikalahkan oleh SBY, sang pendatang baru dalam dunia politik, namun dengan penampilan yang penuh pesona, berpasangan dengan Jusuf Kalla.

Banyak orang menyebut Amien Rais sebagai pemikir yang baik, bukan sebagai politisi Continue reading PAN: Terkungkung di Bawah Bayang-bayang Amien Rais (2)

‘Konspirasi’ Mei 1998: Kisah Para ‘Brutus’ di Sekitar Jenderal Soeharto (1)

SEPERTI nasib Julius Caesar 15 Maret 44 SM, Jenderal Soeharto ‘kehilangan’ kekuasaan 21 Mei 1998 melalui rangkaian konspirasi dari mereka yang untuk sebagian adalah orang-orang yang pernah dibesarkan dan diikutkan dalam rezimnya. Meski, pengakhiran kekuasaan itu tidak ekstrim dalam wujud suatu drama pembunuhan.

INTREPRETASI PEMBUNUHAN JULIUS CAESAR, LUKISAN VINCENZO CAMUCCINI, 1798. “Situasi konspirasi terhadap Julius Caesar, lebih jelas dan lebih hitam-putih. Maka Marcus Antonius dan Lepidus bisa mengejar para konspiran yang lebih jelas apa dan siapanya. Sedangkan situasi menuju kejatuhan Soeharto dari kekuasaannya pada bulan Mei tahun 1998, lebih abu-abu. Tidak terlalu jelas, siapa mengkhianati siapa, dan siapa membela siapa. Anatomi konspirasinya serba samar-samar”. (Download Wikipedia)

Menjadi tepat juga ‘firasat’ yang tersirat dalam ucapan Siti Suhartinah Soeharto, ketika mengomentari kejatuhan Presiden Ferdinand Marcos di Filipina, dalam suatu wawancara dengan Sarwono Kusumaatmadja dan Rum Aly untuk ‘Media Karya’ 10 Maret 1986. Nyonya Tien waktu itu, dalam suatu percakapan ‘samping’ yang di luar konteks pertanyaan wawancara, kurang lebih menyiratkan ‘pikiran’ dan ‘pengetahuan’ pribadinya tentang keterlibatan ‘orang dalam’ sekitar Marcos sendiri dalam kejatuhan itu. “Kasian yaa…, tapi begitulah…., mau diapakan lagi”.Lalu Ibu Tien menyambung, ia telah meminta Pak Harto untuk tak lagi mencalonkan diri sebagai Presiden, dan untuk itu  sudah ada yang disiapkan, katanya sambil menoleh ke arah Sudharmono SH yang ikut mendampingi wawancara. Percakapan ‘samping’ itu tidak berlanjut. Sudharmono SH  pun diam saja.

Persamaan dan perbedaan. PERJALANAN Jenderal Soeharto menuju kekuasaan pun banyak kemiripannya dengan jenjang yang dilalui Caesar. Sepulang ke Roma dari ‘ekspedisi’ militer di Mesir, Julius Caesar mengalahkan Pompeius yang memiliki dukungan Senat. Sekaligus Julius mengungguli baik Pompeius maupun Senat, sehingga praktis ia menjadi penguasa tunggal. Tetapi pada sisi tertentu Julius Caesar adalah diktator yang menampilkan beberapa kebaikan. Ia menciptakan lapangan kerja yang lebih luas bagi kalangan miskin. Administrasi negara yang lebih efisien dan efektif. Memberantas kaum lintah darat. Menegakkan hukum dengan ketat untuk memberantas kejahatan. Mencoba mengendalikan gaya komsumtif, sikap pamer dan boros dari kaum kaya. Mengekang hasrat pembangunan yang sekedar monumental, dan mengutamakan Continue reading ‘Konspirasi’ Mei 1998: Kisah Para ‘Brutus’ di Sekitar Jenderal Soeharto (1)

Perintah Presiden Soeharto Kepada Jenderal Wiranto, Mei 1998

MENJADI host dalam sebuah talk show di sebuah stasiun televisi swasta, dua hari setelah lebaran, Dr Tanri Abeng MBA memberikan penilaian bahwa Jenderal (Purn) Wiranto telah bertindak tidak cerdas karena tak menggunakan Instruksi Presiden (Soeharto) No. 16, Mei 1998, untuk ‘mengambilalih’ kendali kekuasaan. Sementara pada masa sesudah itu, Wiranto berjuang mati-matian dalam kancah pemilihan Presiden dan Wakil Presiden pada dua kesempatan. Padahal, isi Inpres di tahun 1998 tersebut, katanya, sangat memungkinkan digunakan untuk meraih kekuasaan. Tanri agaknya menganalogikan posisi Jenderal Wiranto tahun 1998 itu dengan posisi Mayor Jenderal Soeharto yang mengambialih kekuasaan setelah mendapat Surat Perintah 11 Maret 1966 dari Presiden/Panglima Tertinggi ABRI Soekarno.

Instruksi nomor 16 itu diambil Presiden Soeharto 16 Mei 1998, sehari sepulangnya dari Kairo, dalam rangka pembentukan ‘Komando Operasi Kewaspadaan dan Keselamatan Nasional’ (KOPKKN) yang berwenang mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mengatasi keamanan dan ketertiban. Kala itu, Jakarta dilanda kerusuhan –pembakaran, kekerasan dan perkosaan berbau etnis– menyusul insiden 13 Mei 1998 yang menewaskan 4 mahasiswa di depan kampus Universitas Trisakti Grogol Jakarta. KOPKKN ini meniru model lembaga keamanan extra ordinary ‘Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban’ (Kopkamtib) yang pertama kali dibentuk oleh Presiden Soekarno namun justru efektif digunakan ABRI sebagai alat pembasmi seluruh gerakan anti kekuasaan di separuh lebih masa kekuasaan Soeharto.

POLISI VERSUS MAHASISWA DI DEPAN KAMPUS TRISAKTI. “Sembilan dari sepuluh kemungkinan, Jenderal Wiranto akan tergilas sebagai tumbal bila ia menggunakan Inpres 16 mengambil alih kekuasaan negara” – (Dokumentasi foto Wikipedia).

Panglima ABRI –yang Mei 1998 itu dijabat Jenderal Wiranto– ditunjuk sebagai Panglima KOPKKN dan KSAD Jenderal Subagyo HS menjadi wakilnya. Menjawab Tanri, menurut Wiranto, substansi surat berisi instruksi Presiden itu, “memungkinkan saya mengambilalih negara”. Namun, baik Wiranto maupun Subagyo HS, tampaknya diliputi ‘keraguan’ dan tidak berani menggunakan Inpres tersebut dalam konteks pengambilalihan negara. ‘Keraguan’ kedua jenderal itu, disebabkan oleh alasan berbeda satu dengan yang lainnya, khususnya Jenderal Wiranto yang agaknya saat itu sudah punya agenda politik sendiri. “Permasalahannya adalah bukan berani atau tidak berani, bukan mau atau tidak mau”, ujar Wiranto, tetapi berdasarkan suatu kesadaran dan pertimbangan apakah mengambilalih itu mempunyai manfaat atau tidak bagi negara dan rakyat. “Kalau saya ambil alih, negara ini saya umumkan dalam keadaan darurat dengan pengendalian militer”. Wiranto memaparkan hitung-hitungannya, “Bila saya mengambil alih negara berdasarkan sepucuk surat saja, berarti rakyat merasa belum ada reformasi”.

Pada tahun 1998 itu, sepanjang yang bisa dicatat, ketidakpuasan terhadap rezim Soeharto yang telah berkuasa 32 tahun lamanya cukup meluas, dan banyak yang menginginkan perubahan. Apa yang terjadi bila Wiranto menggunakan Inpres 16 dengan cara ala Super Semar? “Saya akan melanjutkan menghadapi rakyat yang tidak puas. Saya bisa menggunakan Angkatan Bersenjata saya, yang berarti akan mengadu rakyat dengan Angkatan Bersenjata. Itu, jahat sekali”. Tanri Abeng yang sempat sejenak menjadi menteri dalam masa kepresidenan BJ Habibie pasca lengsernya Soeharto 1998, secara akrobatik ‘mengapresiasi’ sikap Jenderal Wiranto di bulan Mei 1998 itu sebagai suatu sikap kenegarawanan.

Sementara itu, bagi Letnan Jenderal Sintong Panjaitan yang ketika itu menjadi Penasehat Wakil Presiden bidang Pertahanan Keamanan –setelah tergusur dari karir militernya– apapun alasannya, penolakan Jenderal Wiranto untuk melaksanakan Inpres 16 adalah suatu subordinasi. “Selambat-lambatnya ia harus mengundurkan diri dalam jangka waktu delapan hari”. Bahkan, saat menolak perintah Panglima Tertinggi, Jenderal Wiranto “pada saat itu juga harus langsung mengundurkan diri” (Hendro Subroto, Sintong Panjaitan, Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando, Penerbit Buku Kompas, 2009). Faktanya, Jenderal Wiranto tidak melakukan kedua-duanya: Tidak melaksanakan perintah Presiden/Panglima Tertinggi, tapi tidak juga mengundurkan diri.

Sewaktu Presiden Soeharto mengeluarkan Inpres 16 itu, sebenarnya posisinya tidak lagi powerful seperti halnya pada beberapa masa sebelumnya. Praktis dukungan internal ABRI terhadap dirinya jauh melemah, setelah untuk beberapa lama para jenderal dan sejumlah petinggi ABRI merasa telah ditinggalkan dalam pengambilan beberapa keputusan penting maupun dalam hal pembagian rezeki. Selain itu, melalui berbagai benturan kepentingan politik maupun kepentingan ekonomi, sejak beberapa lama tubuh ABRI sendiri tidak cukup padu, terpecah-pecah atas berbagai faksi dari waktu ke waktu. Dalam beberapa tahun terakhir basis dukungan bagi kekuasaan Soeharto telah bergeser ke wilayah kalangan politik Islam, yang diorganisir dan direpresentasikan oleh ICMI maupun tokoh politik Islam yang oportunis. Tetapi pada sisi lain, Soeharto pun tak sepenuhnya berhasil menghilangkan syak wasangka sejumlah kelompok kekuatan politik Islam lainnya atas dirinya. Mereka yang disebut terakhir ini tetap tak bisa melupakan sikap dan tindakan politik Soeharto selama ini yang dianggap selalu memojokkan kekuatan politik Islam.

Tokoh-tokoh ABRI generasi baru pada umumnya tidak lagi memiliki kaliber tertentu seperti pada masa-masa sebelumnya, khususnya bila dibandingkan dengan jenderal-jenderal pra regenerasi, antara lain karena terbuai dalam kenikmatan kekuasaan –ikut bergelimang dalam KKN– hasil warisan dwifungsi yang sudah berubah arah dan tujuan. Mereka yang masih berada di lingkaran Soeharto, termasuk tokoh-tokoh sipil, adalah mereka yang masih bisa ikut menikmati rezeki-rezeki kekuasaan. Dan karena ukurannya adalah faktor porsi kenikmatan kekuasaan, maka mereka pun cenderung oportunis. Itu sebabnya tatkala kapal Soeharto oleng, banyak yang duluan berloncatan meninggalkan kapal sebelum karam, seperti misalnya eksodus yang dilakukan Ginandjar Kartasasmita dan rombongannya di kabinet terakhir Soeharto, maupun ayunan bandul kesetiaan Harmoko dan kawan-kawan di lembaga perwakilan rakyat. Kesetiaan sejumlah jenderal lainnya sudah lebih berwarna-warni, sebagaimana pikiran dan perilaku politiknya pun menjadi lebih beraroma campur sari –seperti yang antara lain terlihat dalam keterlibatan sejumlah jenderal dalam politik ‘memberi angin’ bagi PDIP dan Megawati Soekarnoputeri maupun kedekatan jenderal tertentu kepada kelompok politik Islam yang tidak pro penguasa.

Last but not least, selain basis dukungan yang makin menyempit, Soeharto juga menghadapi kejenuhan sebagian besar rakyat terhadap dirinya, yang telah terlampau lama berkuasa. Praktek KKN di lingkungan kalangan kekuasaan beserta keluarga dan kerabat, menciptakan ketidakadilan sosial-ekonomi, ketidakadilan politik dan ketidakadilan hukum. Republik menjadi hanya milik segelintir orang yang menikmati porsi terbesar hasil pembangunan, sementara mayoritas rakyat menikmati porsi terkecil hasil pembangunan tersebut.

Jadi, apabila Jenderal Wiranto memilih untuk menjadi pengemban Inpres 16, tidak boleh tidak ia akan dianggap membela dan mempertahankan Soeharto –yang pada bulan-bulan terakhir di awal 1998 makin kuat tanda-tanda kejatuhannya. Konotasinya berbeda diametral dengan posisi Jenderal Soeharto selaku pengemban Surat Perintah 11 Maret 1966, yang dianggap menyelamatkan negara dengan mengambil alih kekuasaan dari seorang tiran. Dengan melaksanakan Inpres 16, Jenderal Wiranto akan mengambil seluruh beban dosa Soeharto dan harus membayar seluruh tagihan. Ia takkan kuat, karena ABRI yang dipimpinnya kala itu bukan lagi suatu ABRI yang padu, melainkan ABRI yang terpecah-pecah dalam berbagai faksi yang berbeda kemauan. Apakah ia punya kemampuan kualitatif dan apakah ia akan sanggup menjalankan wewenangnya sesuai Inpres 16 Mei 1998, sementara di luar kendalinya ada misalnya kelompok Letnan Jenderal Prabowo yang berposisi sebagai Panglima Kostrad, dan ada Kopassus yang di luar rentang kendalinya? Selain itu, apakah saat itu ia bisa memastikan ke mana kiblat Panglima Kodam Jaya Mayjen Sjafrie Sjamsuddin, dan mengetahui persis sikap politik dan kepentingan angkatan-angkatan lain –Angkatan Udara, Angkatan Lau/Marinir dan Kepolisian– selain memastikan kiblat KSAD Jenderal Subagyo HS? Di lingkaran jenderal istana pun ada alur-alur berbeda. Jenderal Hartono yang dekat dengan puteri presiden Siti Hardiyanti Rukmana misalnya, tak sama kemauan politiknya dengan Letnan Jenderal Prabowo Subianto yang adalah menantu Soeharto.

Sembilan dari sepuluh kemungkinan, Jenderal Wiranto akan tergilas sebagai tumbal bila ia memilih untuk menggunakan Inpres 16 mengambil alih kekuasaan negara. Mungkin benar Wiranto tidak ‘cerdas’ seperti dikatakan Tanri Abeng, tapi ia bukan orang yang begitu tolol. Wiranto bahkan cukup cerdik dengan mencoba mendekati BJ Habibie sang Wakil Presiden. Tapi dalam kasus Wiranto dan Inpres 16 ini tampaknya faktor kenegarawanan tak ikut berperan. Pengelu-eluan Tanri Abeng terhadap Wiranto sebagai negarawan dalam kaitan ini, terlalu akrobatik. Sebagai host, Tanri agaknya merasa perlu sedikit akrobatik, meskipun menjadi tidak objektif dan akurat.

Terlepas dari itu, terminologi cerdas dan tidak cerdas yang digunakan Tanri Abeng dalam konteks Wiranto, kemana-mana juga takkan pernah tepat. Terasa menganggu, terlebih karena digunakan oleh seseorang yang dikenal tokoh profesional berpendidikan tinggi. Lebih tepat menggunakan terminologi cerdik dan tidak cerdik, lihai dan tidak lihai, atau paling tidak to the point menggunakan kata bodoh atau tidak pintar. Kata cerdas mengacu pada suatu keadaan kepintaran yang dilekati unsur  akal sehat, etika dan moral. Kepintaran tanpa lekatan akal sehat, etika dan moral, bukanlah cerdas, melainkan sekedar kecerdikan atau bahkan sekedar kelihaian dan kelicikan. Seorang penguasa yang menyalahgunakan wewenang dan melakukan korupsi, bukan seorang cerdas, tetapi licik dan culas, kalau bukan psikopat.

The Bad Among The Worst: Soeharto Number One? (2)

UNTUK sebagian besar, perjalanan Orde Baru di bawah rezim Soeharto, memang ditandai dengan pertumbuhan ekonomi terutama berkat peran para teknokrat Widjojo Nitisastro dan kawan-kawan, ditopang stabilitas politik dan keamanan karena kuatnya peran militer. Tapi perlahan namun pasti terasa bahwa ekonomi yang bertumbuh, tidak disertai pemerataan. Kekayaan bertumpuk di tangan segelintir orang sebagai penikmat hasil pembangunan, melalui pola korupsi, kolusi dan nepotisme. Hukum disubordinasi kekuasaan. Namun ‘keberhasilan’ menjaga stabilitas pangan, khususnya keberhasilan mencapai swasembada beras, ditambah efektivitas supresi yang dijalankan militer, bisa mencegah dan meredam meletupnya keresahan sosial dalam kadar tinggi.

Bukannya, tak ada gerakan perlawanan terhadap rezim Soeharto, terutama oleh kelompok mahasiswa maupun kelompok masyarakat lainnya, seperti Peristiwa 5 Agustus 1973 di Bandung, Peristiwa 15 Januari 1974 dan ‘Buku Putih’ Gerakan Mahasiswa 1978, tetapi penguasa selalu mampu mematahkannya. Hanya Peristiwa 15 Januari 1974 yang agak berbeda, bukan murni dari penyebab aspirasi generasi muda, melainkan lebih banyak merupakan hasil pertarungan internal kalangan penguasa yang melibatkan kelompok-kelompok mahasiswa, khususnya di Jakarta, sebagai pemicu peristiwa. Peristiwa Mei 1998 di akhir masa kekuasaan Soeharto, pada satu sisi adalah historical by accident setelah penembakan sejumlah mahasiswa Universitas Trisakti. Tetapi pada sisi lain, seperti halnya Peristiwa 15 Januari 1974, di latar belakang peristiwa itu terjadi pertarungan internal, khususnya di lingkaran kekuasaan Soeharto sendiri. Sejumlah jenderal dan politisi terlibat dalam proses dan jalinan peristiwa persaingan kekuasaan: Jenderal Wiranto dan kawan-kawan, Jenderal Prabowo Subianto dan kawan-kawan, maupun kelompok jenderal abu-abu seperti Sjafrie Sjamsuddin. Terkait pula di dalamnya BJ Habibie yang ada di lingkaran asistensi ICMI, Siti Hardianti Rukmana dan Jenderal Hartono serta tokoh-tokoh yang berada di wilayah abu-abu seperti Ginandjar Kartasasmita, Akbar Tandjung dan kawan-kawan, lalu orang-orang semacam Harmoko.

Tatkala di belakang panggung politik dan kekuasaan kekecewaan mulai terarah ke diri Soeharto, seringkali ada pembandingan-pembandingan dengan masa Soekarno. Dikatakan bahwa Soekarno tidak memperkaya diri dan keluarga, seperti halnya Soeharto. Padahal, baik di masa Soekarno maupun di masa Soeharto korupsi terjadi. Bedanya, di masa Soekarno ‘kue’ yang digerogoti memang lebih kecil dan terbatas, sesuai situasi ekonomi saat itu, sedang di masa Soeharto ‘kue-nya besar dan cukup berlimpah. Menurut almarhum Prof. Dr Soemitro, setidaknya sepertiga hasil dan biaya pembangunan raib karena korupsi. Dikatakan pula bahwa Soekarno lebih memiliki nasionalisme dan harga diri di depan pihak asing, sedangkan di masa Soeharto para pengelola negara cenderung tak punya harga diri dan bahkan bisa menggadaikan diri bagi kepentingan asing. Terhadap cara-cara otoriter Jenderal Soeharto dalam melumpuhkan dan mengeliminasi lawan politik dan lawan kepentingannya, banyak yang menganggap Soekarno lebih baik karena meski menangkapi lawan-lawan politiknya, Soekarno memperlakukan mereka lebih baik. Padahal, dua-duanya memiliki esensi ‘kejahatan’ politik dan kekuasaan yang sama buruknya pada kurun waktu tertentu.

Kita bisa melihat, bahwa di awal Orde Baru, Soekarno digambarkan sangat buruk, dan Soeharto lebih baik. Di akhir Orde Baru, giliran Soeharto digambarkan serba buruk, dan sosok Soekarno mulai dirindukan kembali. Kerinduan terhadap sosok Soekarno, di tengah dan akibat otoriterisme Jenderal Soeharto, memberi peluang Megawati Soekarnoputeri bersama partainya masuk ke dalam dunia politik dan kekuasaan. Peranan diam-diam sejumlah jenderal di belakang layar –entah karena idealisme, entah karena kepentingan khusus, entah karena kepandaian membaca arah angin– menjadi faktor lainnya.

KURSI DWI-FUNGSI ABRI. “Jenderal Soeharto adalah pelopor penggunaan dwi-fungsi ABRI dan memformulasikannya secara berbeda dengan gagasan awal Jenderal AH Nasution, dalam praktek kekuasaan negara (1967-1998). Dengan dwi-fungsi, perwira-perwira militer menduduki hampir seluruh posisi penting dan strategis di negara ini”. Karikatur 1967, T. Sutanto.

SEKARANG, pembandingan dilakukan lagi, tampaknya terutama antara Jenderal Soeharto dan Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono. Jenderal Soeharto adalah Presiden RI ke-2 dengan masa kekuasaan 6 periode lebih, sedang Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono adalah Presiden RI ke-6 dengan masa kekuasaan yang kini memasuki periode ke-2. Soeharto adalah produk perjuangan bersenjata mempertahankan kemerdekaan 1945-1950, Susilo Bambang Yudhoyono, produk baru hasil akademi militer. Jenderal Soeharto adalah pelopor penggunaan dwi-fungsi ABRI dan memformulasikannya secara berbeda dengan gagasan awal Jenderal AH Nasution, dalam praktek kekuasaan negara (1967-1998). Dengan dwi-fungsi, perwira-perwira militer menduduki hampir seluruh posisi penting dan strategis di negara ini. Sementara itu, Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono adalah hasil pendidikan akademi militer masa dwi-fungsi, dan menjalani karir di masa dwi-fungsi itu, namun ketika berkuasa tak dapat menggunakannya lagi secara formal. Tapi, secara faktual, tokoh-tokoh militer tetap berada pada posisi-posisi strategis dalam kekuasaan, khususnya di masa kepresidenan SBY.

Pada hakekatnya Jenderal Soeharto dan Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono berasal dari sumber yang sama, hanya berbeda tahun produksi. Banyak pihak, khususnya para akademisi, melihat Susilo Bambang Yudhoyono dalam hal tertentu adalah jelmaan baru dari Soeharto. Survey Indo Barometer, menempatkan mereka berdua sebagai number one dan number two. Meskipun memiliki banyak perbedaan, cukup banyak pula persamaan yang bisa ditemukan di antara keduanya. Hanya saja, memang Soeharto lebih menonjol kecepatan dan ketegasannya, melebihi Susilo Bambang Yudhoyono yang dianggap agak kurang tegas dan lamban.

Dalam mengatur kekuasaan, Susilo Bambang Yudhoyono, banyak menggunakan formula Soeharto. Untuk tulang punggung dukungan politik kekuasaannya, SBY memiliki Partai Demokrat. Penentu utama kebijakan partai adalah dirinya, selaku Ketua Dewan Pembina, tak berbeda jauh dengan Soeharto yang selaku Ketua Dewan Pembina mengendalikan Golkar dari belakang. Tetapi karena Partai Demokrat tak berhasil memperoleh angka mayoritas untuk kursi DPR, sementara dalam Pemilihan Umum Presiden yang baru lalu SBY menginginkan kemenangan satu putaran –dan memperoleh sekitar 60 persen suara– maka SBY melakukan koalisi. Tetapi koalisi itu ternyata tak menjamin sepenuhnya bagi SBY mencapai keberhasilan ‘memenangkan’ kehendak-kehendaknya melalui DPR. Sebaliknya, seringkali digoyang-goyang lebih dulu, sebelum mendapat persetujuan DPR. Pendukungnya di DPR cenderung kalah suara, seperti misalnya dalam kaitan kasus Bank Century, tetapi satu kali menang juga, meskipun betul-betul tipis, dalam voting angket perpajakan.

Last but not least, seperti halnya dengan apa yang terjadi dengan Golkar zaman Soeharto, ada juga ‘pembonceng-pembonceng’ yang bergabung dengan partai(-partai) pendukung SBY, untuk berbagai kepentingan pribadi, termasuk soal dana. Saat ini, Partai Demokrat makin disorot, antara lain dengan mencuatnya kasus suap Sesmenpora, dan pemberian ‘uang persahabatan’ kepada Sekjen KPK Janedjri M. Gaffar, yang dikaitkan dengan Bendahara partai, Muhammad Nazaruddin. Lalu, setelah diberhentikan oleh Dewan Kehormatan PD, ia balik melontarkan tuduhan-tuduhan kepada beberapa tokoh partainya sendiri sebagai pelaku permainan busuk.

Terpatri di kepala orang bahwa pada zaman Soeharto, ekonomi pada umumnya cemerlang dan sarat dengan angka-angka pertumbuhan, serta lebih berhasil menjaga kestabilan harga-harga. Tapi orang lupa bahwa pada tahun-tahun terakhir masa kekuasaan Soeharto, ekonomi Indonesia hampir kolaps. Untuk mengatasi krisis moneter dan krisis ekonomi pada umumnya, Presiden Soeharto mengambil kebijakan pengucuran BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) dalam jumlah hampir mencapai 1000 triliun rupiah. Namun ternyata kebijakan BLBI itu menjadi ajang penjarahan uang negara secara besar-besaran oleh para konglomerat perbankan, yang para pelakunya terbanyak adalah kroni Soeharto, yang untuk sebagian terbesar tak bisa lagi dikembalikan ke negara.

Ratusan triliun rupiah dana BLBI raib hingga kini. Banyak aset jaminan bagi dana talangan itu ternyata under value – entah karena rekayasa sejak awal, entah rekayasa kemudian saat bergulir ke ranah hukum, entah kombinasi kedua-duanya. Orang tahu siapa para pelakunya, tapi orang tak tahu cara menariknya kembali. Dua Jaksa Agung masa kepresidenan Abdurrahman Wahid yang concern mengupayakan pengembalian BLBI, Marzuki Darusman dan Baharuddin Lopa, dipatahkan. Satu dihentikan di tengah jalan, satu lainnya terhenti karena ajalnya tiba masih pada awal-awal masa jabatannya. Satu persatu tersangka BLBI terselamatkan dengan aneka cara. Terakhir, Syamsu Nursalim ‘terselamatkan’ di masa Jaksa Agung Hendarman Supandji, zaman kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono, meski  agak ‘berbau’ dengan adanya skandal suap Arthalita Suryani dan Jaksa Urip.

Berlanjut ke Bagian 3

Kisah HMI: 63 Tahun di Luar Jalur Raison d’Etre Kelahirannya (1)

WAKTU telah berjalan 63 tahun lamanya sejak Lafran Pane dan kawan-kawan mendirikan HMI pada 5 Februari 1947 di Yogyakarta. Menurut catatan Drs Syamsir Alam, yang di masa mahasiswa menjadi aktivis Masjid Salman ITB 1969-1974, “Raison d’etre HMI pada awalnya adalah usaha pemberdayaan dan pencerahan umat Islam dan bangsa secara luas” yang tak terlepas dari tujuan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bila dipertegas, “Tujuannya adalah menciptakan intelektual yang berwawasan agama” dan dalam hal ini “kegiatan politik hanyalah salah satu pelengkap program pendidikan yang menjadi kegiatan utamanya”. Tetapi, ternyata sebagian besar dari sejarah perjalanannya sebagai sebuah organisasi kaum intelektual muda, diisi dengan kegiatan yang agaknya tak bisa dihindari bersinggungan dengan kegiatan politik praktisdan bahkan kancah pergulatan kekuasaan. Berikut ini, kita lebih jauh akan meminjam pemaparan Syamsir Alam, sebagai bagian utama tulisan ini yang di sana-sini disertai beberapa catatan tambahan yang diangkat dari buku Rum Aly, Menyilang Jalan Kekuasaan Militer Otoriter.

SETELAH  surutnya Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia menjelang dan awal tahun 1970, peranan organisasi-organisasi ekstra umumnya ikut surut, terkecuali HMI yang menunjukkan perbedaan tersendiri. Dengan surutnya peran organisasi ekstra, sebagai gantinya, peran beralih kepada mahasiswa intra kampus dalam melancarkan gerakan-gerakan kritis terhadap kekuasaan. Peran organisasi intra kampus yang makin menonjol tampak pada kampus-kampus di Bandung, terutama di tiga perguruan tinggi terkemuka yakni Institut Teknologi Bandung, Universitas Padjadjaran dan Universitas Parahyangan.

Bila beberapa organisasi ekstra tampaknya berusaha kuat mensejajarkan diri dengan arus utama aspirasi kampus dan para aktivisnya lebur sebagai aktivis kampus tanpa banyak membawa atribut organisasi ekstranya, HMI sebaliknya masih kuat menunjukkan garis-garis organisasinya. Di beberapa kampus lainnya di Bandung seperti IKIP misalnya, HMI memang masih cukup dominan. Karena perbedaannya dengan aspirasi umum kekuatan intra di kampus-kampus utama Bandung, HMI tampaknya tidak turut serta dalam gerakan-gerakan kritis mahasiswa Bandung –menentang korupsi dan sikap anti demokrasi di kalangan kekuasaan– dan juga kemudian di beberapa kota perguruan tinggi lainnya. Hingga akhirnya terkesan bahwa HMI memang sedang menjalankan peran-peran dan agendanya sendiri untuk sesuatu tujuan yang tersendiri pula. Maka sejumlah tanda tanya terlontar terhadap HMI, terutama dalam kurun waktu 1970 hingga 1974 dan bahkan hingga tahun-tahun sesudahnya. Nyatanya memang HMI mempunyai masalah sendiri, baik terhadap kekuatan politik Islam maupun terhadap kekuasaan, yang satu dan lain hal berakar pada aspek historis organisasinya sendiri.

Di mana sebenarnya kekuatan HMI ?

Walau senantiasa dicurigai –baik oleh pemerintah Orde Baru dan Orde Lama maupun sesekali pada masa reformasi– sebagai wadah perhimpunan mahasiswa tahun 1960-1970an, HMI tetap menjadi kebanggaan bagi banyak mahasiswa Islam.

Program HMI yang popular bagi mahasiswa baru, terutama yang berasal dari daerah, adalah bimbingan test masuk perguruan tinggi secara gratis. Kemudian dilanjutkan dengan program bimbingan belajar  oleh senior satu fakultas atau jurusan. Dengan sistem mentoring tersebut terbentuk kaderisasi (tarbiyah) yang efektif menjadi mahasiswa teladan (dalam pelajaran) dan popular (banyak kegiatan ekstra kurikuler), sehingga mudah meraih posisi di senat mahasiswa.

Dalam tingkat perguruan tinggi terdapat pula kelompok diskusi (halqah) membahas masalah-masalah non-akademis sebagai bekal profesi mereka nanti setelah lulus. Kelompok diskusi ini kemudian berkembang menjadi perkumpulan studi yang membahas masalah kemasyarakatan secara lebih luas, termasuk politik. Dengan kelompok studi antar kampus inilah terbentuk jaringan mahasiswa Islam yang lebih besar lagi sebagai basis HMI di kampus.

Yang membuat kelompok ini menjadi lebih kompak adalah melalui pengajian di mushola dan masjid kampus, yang membuka wawasan intelektual mereka menjadi lebih terarah. Juga termasuk wawasan politik, yang dibina melalui latihan kepemimpinan secara intensif. Karena itulah pada tahun 1970an, kekuatan HMI sebenarnya berada di masjid-masjid kampus, bukan lagi di kantor cabangnya yang berfungsi formalitas alamat belaka. Apalagi, kantor-kantor cabang itu diawasi ketat pemerintah.

Salah satu masjid kampus yang menjadi kekuatan HMI di Bandung waktu itu adalah Masjid Salman ITB. Di sana ada Sakib Mahmud, tokoh pemikir yang bersama dengan Nurcholis Madjid dan Endang Saifuddin Anshari (dari Masjid Unpad), ikut merumuskan NDP (Nilai Dasar Perjuangan) HMI. Di Salman juga ada Ir Imaduddin Abdurrahim MSc, dosen ITB alumni HMI dan menjadi pembina Masjid tersebut. Imaduddin yang sapaan akrabnya Bang Imad ini berseberangan dengan Nurcholis Madjid dalam strategi perjuangan HMI. Sejak tahun 1970, Imaduddin merintis suatu latihan kepemimpinan intensif  yang dikenal sebagai LMD (Latihan Mujahid Dakwah), yang kemudian menjadi dasar dari latihan serupa di masjid-masjid kampus lainnya. Bang Imad ini pula lah yang kemudian menjadi salah satu dari pendiri ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia). Bergabung di ICMI juga adalah Adi Sasono mantan mahasiswa ITB –cucu Moehammad Roem, tokoh Masjumi yang ditolak Presiden Soeharto menjadi pemimpin Parmusi. Adi merupakan tokoh penggerak lapangan yang low profile. Banyak lagi aktivis-aktivis HMI lainnya pernah bergerak di masjid-masjid dan kini ikut berkiprah di Golkar bersama Akbar Tanjung.

Mengapa masjid-masjid kampus itu seakan tidak terperhatikan oleh kalangan pemerintah dan kekuasaan ?  Pasti ada, tetapi tidak ada kegiatan politik di sana, bahkan banyak tokoh mahasiswa non HMI yang juga menjadi pengurus. Pencerahan politik justru berlangsung pada acara-acara diskusi atau studi kemasyarakatan di kampus dengan mengundang tokoh-tokoh dari luar termasuk mantan Masjumi.

Kekuatan HMI yang lain, adalah hubungan emosional dengan KAHMI (Keluarga Alumni HMI) yang banyak berhasil masuk dalam lingkaran kekuasaan, termasuk jalur ABRI. Selain itu, HMI juga menjadi ajang perjodohan sehingga ikatan kekeluargaan HMI menjadi lebih kuat. Dari ikatan pengalaman pernah di Kawah Candradimuka yang sama, mungkin persepsi lain mengenai HMI dapat ditambahkan dengan ‘HMI Connection’, kelompok penekan yang banyak diperhitungkan oleh lawan-lawan politik mereka, terutama dari pihak NU yang menjadi rival utama bagi kelompok Islam moderat.

Beradaptasi untuk bisa selamat ?

Raison d’etre HMI pada awalnya adalah usaha pemberdayaan dan pencerahan umat Islam dan bangsa secara luas. Tak lama setelah proklamasi Indonesia, Lafran Pane dan kawan-kawan 5 Februari 1947 di Yogyakarta mendirikan HMI dengan tujuan untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia, mempertinggi derajat rakyat Indonesia, menegakkan dan mengembangkan ajaran agama Islam. Tujuannya adalah menciptakan intelektual yang berwawasan agama. Kegiatan politik  hanyalah salah satu pelengkap program pendidikan yang menjadi kegiatan utamanya. Dengan tujuan itulah HMI dapat mengakomodasikan mahasiswa dari berbagai latar belakang, termasuk mantan TP (Tentara Pelajar) yang sudah kenyang bergerilya dan meneruskan pelajarannya di perguruan tinggi, seperti misalnya Ahmad Tirtosudiro yang juga merupakan salah satu anggota pendiri HMI.

Menurut gambaran Clifford Geertz –dalam trikotomi masyarakat Jawa– dapat dikatakan bahwa HMI menghimpun mahasiswa kelompok Islam yang beragam, dari kelompok keluarga santri (NU yang Islam tradisional dan Muhammadiyah yang Islam modernis) serta keluarga abangan (priyayi dengan tradisi Jawa dan yang sekuler berpendidikan Belanda). Karena pluralitas itu pulalah muncul benturan-benturan pemikiran di kalangan anggota HMI sebagai dialektika pemikiran, sehingga organisasi mahasiswa ini menjadi dinamis dan sekaligus moderat dalam pandangan politiknya. Hal itu tampak pada hubungan HMI dengan Masjumi (Majelis Sjuro Muslimin Indonesia), yang walaupun secara ideologis politik sejalan, namun terjadi pula perbedaan pendapat yang tegas. Misalnya, Masjumi menolak hasil perundingan Linggardjati (Nopember 1946), justru HMI dapat menerimanya sebagai jalan damai dengan Belanda. Sedangkan mengenai Perjanjian Renville (Januari 1948) setelah Aksi Militer I Belanda (Desember 1947), HMI dan Masjumi sependirian menolak di saat pihak komunis dan sayap kiri lainnya justru menerima. HMI dan Masjumi sama-sama melihat kelemahan hasil perundingan tersebut, karena Republik Indonesia diciutkan menjadi sebagian kecil wilayah Jawa dan Sumatera saja, selebihnya dikuasai Belanda. Republik Indonesia menjadi bagian dari RIS (Republik Indonesia Serikat).

Dari banyaknya kesamaan pendapat politik dengan Masjumi, HMI dianggap sebagai onderbouw (terikat secara resmi sebagai bagian dari organisasi) Masjumi. Apalagi, adalah kenyataan bahwa banyak anggota HMI yang berasal dari keluarga Masjumi. Muhammadiyah dan NU kala itu masih bergabung dengan Masjumi yang merupakan satu-satunya partai Islam.

Dalam perjalanannya, tujuan organisasi HMI pun mengalami ‘dinamika’ sesuai dengan perubahan situasi politik di Indonesia, sehingga sampai pada tujuan “Terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi, yang bernapaskan Islam, dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil dan makmur yang diridhai oleh Allah SWT” (Pasal 4 AD HMI).

Pergeseran tujuan tersebut adalah sebagai penegasan dari tujuan semula untuk lebih terlibat dalam kegiatan intelektual, daripada ikut berpolitik. Hal itu terjadi setelah mereka meyimpulkan bahwa percuma saja mengkritisi pemerintah yang maunya menang sendiri berdasarkan pendapat para penguasa sendiri. Bukankah bahkan sikap kritis HMI di zaman Orde Lama terhadap kekuasaan Soekarno yang menerapkan Nasakom, hampir berakibat fatal karena dimanfaatkan oleh PKI menuntut pembubaran HMI yang dianggap sebagai organisasi kontra revolusi ? Begitu pula di zaman Orde Baru, sikap represif yang diterapkan Soeharto  terhadap kelompok Islam tidak memberi ruang gerak bagi HMI untuk berpartisipasi dalam kegiatan politik (struggle from within).

Menyadari sikap pemerintah, baik Orde Lama maupun Orde Baru, yang secara tegas menempatkan Islam sebagai pihak yang berseberangan tanpa memilah-milah lagi, HMI mencoba mencairkan kebekuan agar pemerintah mau menerima Islam di jalur kekuasaan. Slogan ‘Partai Islam No, Islam Yes’ yang dideklarasikan oleh Nurcholis Madjid –Ketua Umum HMI dua periode 1966-1969 dan 1969-1971– ternyata tidak mendapat tanggapan positif dari Soeharto. Malah pada sisi lain, sikap tersebut justru disalahartikan dan dikecam keras sejumlah tokoh Islam senior, karena dinilai sebagai tindakan meninggalkan Islam. Padahal saat itu, jelas-jelas bagi yang berlabel Islam telah tertutup pintu untuk masuk jalur kekuasaan. Parmusi yang didukung HMI sebagai wadah bagi politisi Islam mantan Masjumi, meski disetujui Soeharto (17 April 1967) tetap mendapat kontrol ketat juga. Karena itulah, sebagian tokoh HMI berpendapat bahwa peluang untuk ikut berpartisipasi dalam kancah politik hanyalah terbuka bila masuk ke jalur Golkar.

Setelah HMI bersikap sebagai massa mengambang pada Pemilihan Umum 1977, pada saat bersamaan Golkar berhasil memenangkan pemilihan umum dengan telak. Walaupun kemudian partai-partai Islam digabungkan menjadi satu wadah dalam PPP (Partai Persatuan Pembangunan), partai baru ini pun tidak berkembang karena sepenuhnya di bawah kekangan pemerintah.

HMI mencoba mengambil posisi moderat dengan melibatkan diri pada banyak program pemerintah secara perorangan –tanpa membawa bendera HMI. Misalnya, pada awal dibentuk KNPI (Komite Nasional Pemuda Indonesia) tahun 1973, yang semula sebagai badan penasehat pemuda untuk menggalakkan program Keluarga Berencana, HMI memanfaatkan peluang tersebut dengan baik. KNPI kemudian berkembang pada berbagai kegiatan lain dalam bidang politik pembangunan sebagai jalur ke pusat pemerintahan. Celah peluang itu ‘tidak sempat’ dimanfaatkan oleh organisasi mahasiswa lain, antara lain karena keterbatasan mereka pada ketersediaan kader siap pakai.

Sejak 1974, HMI telah berpandangan politik yang membantu pemerintah melaksanakan program pembangunan. “Kalau kita hendak membagi-bagikan kue pembangunan, harus buat dulu kuenya”, ujar Nurcholis Madjid. Tahun 1975, HMI mengusulkan terbentuknya MUI (Majelis Ulama Indonesia) sebagai wadah baru untuk ke jalur kekuasaan. Kemudian tampak bahwa organisasi itu banyak membantu pemerintah dalam mengeluarkan fatwa pembenaran untuk kebijakan yang kontroversial bagi umat Islam. Karena  itu, orang luar mulai melihat HMI telah mengalami penurunan dalam sikap kritis terhadap pemerintah, yang biasanya selalu muncul dengan pemikiran-pemikiran ideologis yang rasional. HMI telah berjalan mengikuti kebijakan pemerintah, dan akhirnya menerima asas tunggal Pancasila (10 April 1985). Setelah itu semakin banyak mantan aktivis HMI yang masuk ke jajaran pemerintah dan Golkar pun tampak ‘semakin hijau’ (Pada pengertian lain, ada pula ‘hijau’ yang terkait dengan jalur A  dari ABRI). Dan terasa pula sikap pemerintah yang semakin condong pada Islam.

Namun, walau HMI berhasil ‘menguasai’ Golkar, ternyata Orde Baru hanya berubah warna belaka dan bahkan berhasil merubah tokoh-tokoh HMI tersebut menjadi Golkar. Ternyata, yang mau merubah Golkar justru dirubah oleh Golkar. Virus korupsi produk Orde Baru yang bertentangan dengan tujuan HMI membina intelektual berwawasan Islam, telah menjangkiti mereka yang dekat dengan kekuasaan. “Mau cari koruptor sekarang ini, banyak di HMI”, kata Nurcholis Madjid yang menilai money politics sudah digunakan pula dalam pemilihan pengurus HMI (‘Media Indonesia’, 14 Juli 2002).

Tahun-tahun 1970-1980an dapat dikatakan sebagai ‘kebangkitan’ kelompok Islam kelas menengah hasil kaderisasi HMI tahun 1960an. Juga dari NU dengan dibukanya IAIN yang melahirkan kader-kadernya dengan pemikiran lebih terbuka terhadap perubahan. Bersamaan dengan pertumbuhan ekonomi yang pesat waktu itu, mereka dimungkinkan mendapatkan peran strategis di pemerintahan.

Ternyata, setelah melalui jalan berliku penuh hambatan, akhirnya banyak mantan tokoh HMI yang memilih jalan selamat sebagai kader Golkar.

Berlanjut ke Bagian 2

Golkar: Perjalanan Dari Masa Lampau ke Titik Nadir 2009 (2)

“Kelompok Ali menjadi amat unggul dalam mengembangkan isu-isu pengarah maupun pemancing ke arah perubahan situasi yang dikehendaki dalam skenario politik. Golkar menjadi salah satu bagian dalam rancangan skenario politik Ali Moertopo kala itu”.

DEMIKIANLAH, tatkala kekuasaan Soeharto pudar dan ia akhirnya mundur oleh situasi politik dari jabatan kekuasaan negara, maka sendi-sendi kekuatan dalam Golkar juga ikut rubuh. Dalam suasana tertekan oleh gerakan-gerakan reformasi, Golkar memperbaharui diri dan sesuai ketentuan perundangan-undangan merubah diri menjadi Partai Golongan Karya. Terpilihnya Akbar Tanjung seorang politisi sipil sebagai Ketua Umum –yang tak terlepas dari campur tangan penguasa transisi di bawah Presiden BJ Habibie– lebih banyak merupakan pilihan the bad among the worst. Dia lah yang paling sedikit ‘cacad’ keterkaitannya dengan Soeharto, punya jam terbang memadai dalam Golkar, dan itupun terutama karena ‘kegesitan’nya turut serta dalam gerakan pengunduran diri dari Kabinet Soeharto bersama sejumlah menteri lainnya di bawah pimpinan dan inisiatif Ginandjar Kartasasmita. Sementara saingannya sebagai kandidat Ketua Umum Golkar, Adjat Sudradjat, adalah seorang jenderal tentara dan tentara saat itu merupakan institusi yang juga sedang dalam sorotan kelompok kekuatan era reformasi.

Akbar Tanjung kemudian membawakan satu ‘tema’ baru yang disebut ‘Paradigma Baru Golkar’ yang untuk sejenak bisa meredakan serangan kelompok politik lain atas nama reformasi. Namun bersamaan dengan itu, Akbar Tanjung juga membawa serta ke dalam tubuh Golkar kelompok-kelompok eks tokoh dan anggota HMI serta unsur ICMI (atas kemauan Habibie) untuk menduduki posisi-posisi strategis diberbagai tingkat kepengurusan.

Secara umum pembawaan dan perilaku serta persepsi politik para eks HMI ini adalah asing bagi karakter dan idealisme dasar Golkar sejak mula. Golkar menjadi ibarat cangkang siput yang kemudian diisi dengan species baru. Bagi kebanyakan pendukung tradisional Golkar –kalau memang bisa dikatakan demikian– adalah canggung untuk tiba-tiba dipimpin oleh orang-orang yang relatif tergolong baru dan hanya selang beberapa tahun sebelumnya ada di luar Golkar dengan membawakan suara-suara yang sangat anti  Golkar dengan nada penuh hujatan.

Bahwa Partai Golkar di bawah Akbar Tanjung masih bisa meraih suara di atas 20 persen dan memperoleh 120 dari 496 kursi DPR-RI, itu pun tak terlepas dari faktor masih ditopangnya Golkar oleh unsur birokrasi pemerintahan Presiden Habibie. Dengan topangan kekuasaan saja, perolehan suara Golkar bisa begitu mengecil dibandingkan sebelumnya. Bagaimana nantinya dalam Pemilihan Umum 2004 atau pemilu-pemilu berikutnya di masa datang dengan kecenderungan tanpa topangan birokrasi, terkecuali sisa-sisa Gubernur dan Bupati yang dikatakan ‘masih’ kader Golkar ? Belum lagi tumbuh berkembangnya kecenderungan yang amat pragmatis yang kadangkala amat opportunistik, bahwa Golkar –dan begitu pula partai-partai pada umumnya– hanya dijadikan sekedar kendaraan (sewaan) bagi mereka yang berambisi menjadi bupati atau gubernur di masa pasca Soeharto. Dan ketika sudah ada di kursi jabatan bisa saja melakukan akomodasi kepada pemegang hegemoni kekuasaan negara untuk keamanan posisinya.

Partai Politik Islam: Harapan yang Kandas

TAMPILNYA Golkar sebagai pemenang dengan skor yang mencengangkan pada Pemilihan Umum 1971, memperkuat legitimasi kekuasaan Soeharto. Meskipun DPR  hasil Pemilu 1971 baru dilantik dan berfungsi 28 Oktober 1971, tetapi corak, langgam dan lalu lintas politik telah berubah, dan terasa sekali betapa pemerintahan menjadi ‘lebih kokoh’ dan lebih berkuasa segera setelah usainya pemilihan umum. Apalagi setelah 28 Oktober 1971. Betapa tidak, Fraksi Karya Pembangunan yang mewakili Golkar berkekuatan 236 orang, ditambah dengan Fraksi ABRI dan anggota non ABRI yang diangkat sebanyak 100 orang, menjadi 336 orang dari 460 ‘wakil rakyat’, yang berarti 73 persen lebih.

Akan tetapi dibalik kemenangan ini, sesungguhnya terpendam kekecewaan yang mendalam dari partai-partai politik ideologi Islam terhadap tentara. Tatkala ada dalam ‘kebersamaan’ dengan ABRI pada saat menghadapi kaum Komunis hingga tumbangnya Soekarno, sejumlah pemimpin partai politik Islam telah berharap bahwa cepat atau lambat mereka akan dipilih oleh ABRI untuk bermitra dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan pasca Soekarno.

Lebih dari sekedar berharap, mereka secara optimistik menghitung bahwa dalam Pemilihan Umum 1971, dengan tidak hadirnya lagi PKI dan melemahnya PNI, kemenangan dengan sendirinya jatuh ke tangan mereka. Mengacu kepada Pemilihan Umum 1955, secara kumulatif partai-partai Islam memperoleh 119 kursi parlemen dari 272 kursi hasil pemilu, yang berarti 43,75 persen. Dua besar partai Islam, Masjumi memperoleh 60 kursi dan NU 47, sisanya dari Perti dan PSII. Sementara itu, PNI memperoleh 58 kursi dan PKI 32 kursi di luar 7 orang yang dicalonkan PKI dan masuk ke parlemen sebagai Fraksi Pembangunan. Dibubarkannya PKI dan melemahnya PNI (PNI yang tampil pada awal Orde Baru adalah PNI Osa Usep yang dipimpin oleh Osa Maliki dan Usep Ranuwihardja yang berseberangan dengan kelompok Ali Sastroamidjojo SH dan Ir Surachman. PNI kemudian bersiap menghadapi Pemilu 1971 di bawah pimpinan Hadisubeno –namun meninggal di tahun 1970– bersama antara lain Isnaeni SH, Sunawar Sukawati SH dan Hardjanto, didukung oleh Hardi SH) diperhitungkan setidak-tidaknya memberi peluang tambahan kursi dan atau peluang berupa prosentase besar dari kursi 1971, diyakini akan bisa melampaui 50 persen. Dengan demikian keikutsertaan dalam pengendalian pemerintahan pasca 1971 bisa dalam genggaman.

Harapan dan perhitungan tersebut, membuat partai-partai Islam lebih antusias untuk diselenggarakannya suatu pemilihan umum yang lebih cepat setelah Soekarno jatuh. Sementara sebaliknya, kelompok independen, partai-partai non ideologi Islam dan juga tentara, meskipun sama-sama menghendaki pemilihan umum, cenderung untuk tidak terburu-buru. Suatu pemilihan umum yang lebih cepat dan terburu-buru dianggap hanya akan menguntungkan partai-partai ideologistis yang berasal dari struktur politik lama warisan Orde Lama dalam sistim Demokrasi Terpimpin ala Soekarno.

Kekecewaan pertama sebenarnya telah sempat menyentak kelompok politik Islam, tatkala pada Desember 1966 pihak militer –melalui pernyataan salah seorang jenderal utama–  mengeluarkan penilaian yang sama dengan ‘vonnis’ yang pernah dijatuhkan Soekarno, bahwa Masjumi adalah partai terlarang dan termasuk partai yang menyimpang dari Pancasila. Pada waktu-waktu berikutnya, makin jelas bahwa tentara menghalangi kembali tampilnya Masjumi. Melalui liku-liku proses yang berkepanjangan dan penuh trik dan intrik yang berlaku timbal balik, titik kompromi tercapai. Dikeluarkan persetujuan berdiri bagi satu partai Islam yang ‘seolah-olah’ untuk menyalurkan pengikut-pengikut Masjumi, namun dengan syarat tak boleh menampilkan tokoh-tokoh utama Masjumi seperti Mohammad Roem dan kawan-kawan dalam kepengurusan dan struktur partai. Sehingga, roh Masjumi tidak dapat melakukan reinkarnasi sempurna. Tokoh kompromi yang muncul memimpin partai baru yang bernama Parmusi itu adalah Mintaredja SH.

Salah seorang Jenderal yang dianggap penasehat politik utama Soeharto yang sangat menentang comebacknya Masjumi adalah Mayjen Ali Moertopo. Penulis-penulis Barat seperti Richard Robinson dan Robert Heffner, menggambarkan Ali Moertopo yang merupakan seorang pembantu terdekat Soeharto pada tahun-tahun pertama Orde Baru, sebagai tokoh kekuasaan anti partai politik Islam. Ali Moertopo yang “berhubungan erat dengan masyarakat Indonesia-Tionghoa dan Katolik” adalah tokoh “teknokrat militer yang berpandangan politik nasional sekuler”, sehingga sikapnya itu tidak mengherankan. Moertopo berpandangan bahwa untuk membatasi pengaruh politisi Islam dan peran partai ideologis lainnya, harus dicegah terulangnya persaingan politik yang sengit dan menggoyahkan kehidupan bernegara seperti pada tahun 1950-an. Menurut uraian para penulis asing ini, Ali Moertopo dan para petinggi rezim Soeharto yang lain sepenuhnya yakin bahwa Indonesia akan mencapai kestabilan hanya bila politik dijalankan untuk dan berdasarkan keterwakilan kepentingan yang rasional, dan bukannya kepentingan emosional berdasarkan sentimen agama atau kesukuan yang primordial.

Namun dapat dicatat bahwa sikap Ali Moertopo ini, dalam perkembangan situasi berikutnya, tampak mengalami perubahan karena pertimbangan taktis. Setelah beberapa kegagalan dalam mengantisipasi Pemilihan Umum 1971, kelompok militan Islam mulai tidak sabar untuk mengambil alih permainan dan muncul dengan gerakan-gerakan sistimatis yang kelihatannya bisa semakin membahayakan rezim. Menyadari bahwa bahaya terbesar bagi eksistensi jangka panjang rezim Soeharto adalah dari kelompok Islam yang menurut jumlahnya adalah mayoritas, maka pilihannya adalah merangkul kalau tidak mungkin ‘dihancurkan’. Atau bisa juga, merangkul di sisi kiri dan menghancurkan di sisi kanan. Apalagi, kelompok politik dan kepentingan yang membawakan nama Islam pun sebenarnya terbelah antara mereka yang bergaris keras dan mereka yang bergaris lunak.

Dengan cerdik Ali Moertopo bersama Jenderal Benny Moerdani memanfaatkan keadaan. Pada satu sisi mereka merekrut kelompok Islam garis keras yang sebelumnya terpinggirkan dan terlibat kasus DI-TII (Darul Islam-Tentara Islam Indonesia), dan memunculkan gerakan Komando Jihad, yang menciptakan opini negatif terhadap gerakan Islam garis keras. Pada sisi yang lain mereka merekrut tokoh-tokoh politik Islam yang moderat maupun yang opportunis ke dalam jaringan-jaringan. Sejak Ali Moertopo, dengan posisi sebagai Aspri (Asisten Pribadi) Presiden dan pimpinan Opsus (Operasi Khusus), semakin kuat dan semakin masuk ke jalur kendali eksekutif, polarisasi kekuasaan di sekitar Soeharto mulai tampak makin menajam. Dengan CSIS (Centre for Strategic & International Studies) –pusat studi dan kajian strategis yang didirikan pada tahun 1971– Ali Moertopo dan kelompoknya makin tajam dalam membaca dan merancang situasi, sehingga Opsus bahkan mulai menggeser fungsi Bakin (Badan Koordinasi Intelijen Negara) yang dipimpin Mayor Jenderal Sutopo Juwono. Kelompok Ali menjadi amat unggul dalam mengembangkan isu-isu pengarah maupun pemancing ke arah perubahan situasi yang dikehendaki dalam skenario politik. Golkar menjadi salah satu bagian dalam rancangan skenario politik Ali Moertopo kala itu.

Sebagai referensi yang berkaitan, uraian Professor R. William Liddle –seorang Indonesianis dari Ohio State University– tentang ide pemilihan umum tahun 1971 cukup relevan untuk dikutip di sini.

Menurut Liddle (dalam buku Partisipasi & Partai Politik, 1992, Grafiti), sejak dari permulaan Orde Baru, ide pemilihan umum nasional mendapat dukungan dari berbagai sumber. “Dalam pemilihan umum ini para pemimpin partai melihat kesempatan untuk memperbaiki kedudukan mereka sebagai wakil rakyat dan membuat parlemen sekali lagi menjadi lembaga pemerintahan yang utama”. Dalam pada itu, “beberapa kelompok mahasiswa dan kekuatan-kekuatan lain yang pro Orde Baru, baik sipil maupun militer, ingin memanfaatkan pemilihan umum sebagai alat untuk memulai penyusunan kembali sistim kepartaian secara menyeluruh”. Tetapi, demikian lebih jauh diuraikan, “bagi Presiden Soeharto dan orang-orang yang sangat dekat dengannya, pemilihan umum tidaklah dimaksudkan untuk mengacaukan sistim politik –dengan membiarkan partai-partai bersaing untuk memperoleh dukungan rakyat seperti pada 1955, atau dengan menciptakan saluran-saluran komunikasi baru antara elite dan massa– melainkan untuk menyelamatkan kendali kekuasaan parlemen, MPR, dan lembaga-lembaga legislatif daerah yang tidak dapat ditentang”.

Untuk tujuan ini, “diciptakanlah sebuah organisasi politik baru, Golkar (Golongan Karya), di bawah pimpinan Jenderal Soemitro, Amir Moertono dan Darjatmo dari Departemen Pertahanan”. Juga, “Mayor Jenderal Amirmahmud dari Departemen Dalam Negeri (dengan tanggung jawab atas pegawai negeri daerah)”. Dan, “Brigadir Jenderal Ali Moertopo, asisten pribadi Presiden Soeharto, yang sangat berpengalaman dalam operasi politik dan pengendalian partai-partai politik”.

Berlanjut ke Bagian 3