Tag Archives: Majelis Ulama Indonesia

Orang-orang Jakarta di Balik Tragedi Maluku (4)

George J. Aditjondro*

TOKOH selanjutnya, H. Rusdi Hassanusi, mungkin merupakan satu-satunya perwira polisi aktif yang memimpin sebuah cabang Majelis Ulama Indonesia. Pada bulan Juli 1999, ketua MUI Maluku itu pergi ke Makassar untuk merekrut enampuluh orang anggota Muhammadiyah dan mengapalkan mereka ke Ambon untuk bergabung dengan milisi Muslim lokal (TPG, 1999). Secara ironis, ia kehilangan anaknya, Alfian (“Eki”) Hassanusi (10), sersan polisi yang secara fatal dilukai oleh penembak gelap pada hari Rabu, 17 Mei, 2000.

Dengan begitu banyak tokoh militer yang terlibat dalam menghasut kekacauan di Maluku, maka tidaklah mengherankan jika para serdadu itu dapat beroperasi dengan bebas di kedua provinsi kembar itu, di mana sampai Mei 2000, 70% dari para korban di kedua belah pihak dibunuh atau dilukai dari tembakan senjata organik militer dan polisi. Pada dasarnya, tiga kesatuan tentara dan satu kesatuan polisi telah mengambil bagian dalam pembunuhan besar-besaran itu, yakni pasukan-pasukan Kostrad, Brawijaya, Kopassus dan Brimob. Keterlibatan Kopassus tidak begitu kentara sebagaimana tiga kesatuan lain, yang telah didokumentasikan dengan baik oleh para jurnalis asing. Para tentara Kopassus sering menyamarkan dengan menggunakan jubah Arab dan jenggot palsu sebagai ciri Lasykar Jihad, atau menggunakan kaos-kaos Lasykar Maluku sebagai ciri dari milisi Kristen.

KERUSUHAN AMBON 1999. "Dilihat dari langgengnya pembunuhan antaragama di Kepulauan Maluku, penyebaran Lasykar Jihad yang cepat di kedua provinsi kembar itu, keberfihakan sejumlah besar anggota TNI dan Polri dengan fihak-fihak yang bertikai, serta ketegaran para perwira dari faksi Wiranto, di mana tidak seorang pun telah diajukan ke pengadilan atau bahkan diselidiki keterkaitannya dengan konflik berkepanjangan di Maluku, orang tidak dapat lagi mempercayai retorika resmi di Indonesia bahwa yang terlibat hanyalah "oknum-oknum pembangkang" (rogue elements)." (foto download, AP)
KERUSUHAN AMBON 1999. “Dilihat dari langgengnya pembunuhan antaragama di Kepulauan Maluku, penyebaran Lasykar Jihad yang cepat di kedua provinsi kembar itu, keberfihakan sejumlah besar anggota TNI dan Polri dengan fihak-fihak yang bertikai, serta ketegaran para perwira dari faksi Wiranto, di mana tidak seorang pun telah diajukan ke pengadilan atau bahkan diselidiki keterkaitannya dengan konflik berkepanjangan di Maluku, orang tidak dapat lagi mempercayai retorika resmi di Indonesia bahwa yang terlibat hanyalah “oknum-oknum pembangkang” (rogue elements).” (download, AP)

Beberapa orang dari mereka ditangkap sebelum mencapai Ambon, sebagaimana terjadi ketika empat orang tentara Kopassus berambut panjang ditahan di atas kapal KM Lambelu, pada 5 Agustus 2000, kira-kira 70 orang perwira Kopassus dilihat oleh para jurnalis dan para relawan kemanusiaan meninggalkan Ambon dengan menumpang pesawat terbang militer Hercules, dengan mendorong sebuah peti kayu besar yang berisi perlengkapan mereka ke dalam pesawat terbang. Mereka memakai seragam loreng, lengkap dengan lencana Kopassusnya. Kehadiran para anggota Kopassus di Ambon itu sudah diketahui oleh para jurnalis sejak Januari 1999.

Kehadiran Kopassus di antara Lasykar Jihad dapat disimpulkan dari ketrampilan tempur mereka yang khas –seperti menembak dan melempar granat dari dalam drum minyak yang kosong yang digelindingkan oleh anggota Lasykar Jihad ketika menyerang kampus UKIM (Universitas Kristen Indonesia Maluku)– atau dengan kelaziman dari para penembak gelap, yang sering bertindak secara tenang dan berhati-hati untuk menetapkan jumlah korban yang setara bagi kedua komunitas, dalam setiap konfrontasi antaragama. Memang tembakan kepala yang fatal tidak merupakan monopoli anggota Kopassus, dan telah dikuasai pula oleh pasukan-pasukan khusus Angkatan Darat memiliki waktu dan kesempatan yang lebih lama untuk mengembangkan keterampilan yang mematikan ini selama masa tugas mereka di Timor Lorosa’e dan berkat latihan bersama para penembak jitu SAS di Australia.

Tanpa dukungan militer ini, Lasykar Jihad sendiri pada tanggal 21-22 juni 2000 tidak mungkin menghancurkan markas Brimob di Tantui, Ambon, membakar asrama yang dihuni kira-kira 2.000 orang anggota Polri dan anggota keluarga mereka, menghancurkan dua gudang amunisi, dan mencuri 832 pucuk senjata, 8.000 butir peluru, dan lusinan seragam Brimob.

Jaringan Muslim

Berbicara tentang Lasykar Jihad membawa kita pada jaringan Muslim militan, yang bekerjasama dengan jaringan militer yang diuraikan sebelumnya, untuk mengirimkan enam ribu orang pemuda Muslim ke Kepulauan Maluku diharapkan dapat ‘membebaskan saudara laki-laki dan perempuan Muslim mereka dari para penindas Kristen mereka’.

Kebanyakan pemimpin massa yang direkrut untuk mengobarkan Jihad di Maluku berasal dari arus kaum militan Muslim baru, yang mengikuti ajaran gerakan Wahhabi. Gerakan internasional ini bertujuan untuk kembali kepada Islam dari generasi awal yang didanai oleh para anggota dinasti Saud. Gerakan itu dinamai dengan nama pendirinya, Muhammad bin Abdul-Wahab (1705-1787), yang ajarannya diterapkan oleh Ibnu Saud, ketika ia mendirikan monarki Saudi pada tahun 1925. Di Indonesia, mereka berkembang pesat di luar dua organisasi Muslim yang paling besar –Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah– dalam gerakan Tarbiyah, yang membentuk jamaah salaf di kalangan mahasiswa di beberapa universitas negeri yang bergengsi, seperti ITB. Tujuannya adalah untuk mendirikan negara Islam, karena itu mereka juga dikenal sebagai gerakan ‘neo-NII’, untuk membedakan mereka dari gerakan bawah tanah yang pernah dihubungkan dengan operasi intelijen almarhum Jendral Ali Murtopo.

Seorang aktivis ‘neo NII’ adalah Al-Chaidar, berasal dari Aceh, yang mengorganisir tabligh akbar yang dihadiri antara 40.000 sampai 10.000 Orang di Monumen Nasional Jakarta pada tanggal 7 Januari 2000. Tabligh akbar yang menghimbau agar orang Muslim berjihad ke Ambon dihadiri oleh Amien Rais, ketua MPR, Hamzah Haz, mantan menteri dalam kabinet Wahid, Fuad Bawazier, mantan menteri dalam kabinet Soeharto, serta 22 organisasi Muslim militan, termasuk KISDI, PPMI, FPI dan Asosiasi Muslim Maluku yang dipimpin oleh Ongen Sangaji.

Keterlibatan dari tokoh-tokoh politisi Poros Tengah seperti Amien Rais, Hamzah Haz, dan Fuad Bawazier itu, tidak terlepas dari perbedaan pendapat mereka dengan Presiden Abdurrahman Wahid soal peranan Islam dalam kehidupan bernegara di Indonesia. Dirintis melalui ICMI di bawah pimpinan BJ Habibie, para politisi Islam itu mengkampanyekan “demokrasi proporsional” dalam sistem politik dan ekonomi Indonesia. Maksudnya, karena umat Islam merupakan mayoritas penduduk Indonesia, maka mereka harus mendominasi pemerintahan, tentara, parlemen, dan ekonomi Indonesia, yang menurut mereka saat itu masih didominasi oleh golongan minoritas Kristen dan Tionghoa (Hefner 2000: 141-142., 147-148. 150, 212).

Sikap itu justru bertolakbelakang dengan sikap politik Abdurrahman Wahid. Makanya ia menampik tawaran masuk ICMI dan sebaliknya ikut mendirikan Forum Demokrasi (Fordem) bersama sejumlah cendekiawan non-Muslim (Hefner 2000: 162). Sikap itu dilanjutkannya setelah dipilih menjadi Presiden dengan dukungan Poros Tengah, Golkar dan militer. Tak ketinggalan, Wahid pun menganjurkan rekonsiliasi dengan kaum kiri di Indonesia dengan mengusulkan pencabutan Ketetapan MPR No. 25 Tahun 1966 yang melarang penyebaran faham Marxisme-Leninisme di Indonesia. Berbagai ‘penyimpangan’ ini – di mata para politisi Poros Tengah, Golkar dan militer – mendorong munculnya aliansi untuk mendongkel Wahid dari kursi kepresidenannya dengan antara lain menggunakan kerusuhan Maluku sebagai tongkat pendongkel.

Kembali ke mereka yang bergerak di garis depan, patut digarisbawahi bahwa komandan Lasykar Jihad di Maluku, Ustadz Ja’far Umar Thalib, juga berasal dari gerakan Wahhabi. Ia adalah imam gerakan Salafi di Indonesia yang berkiblat ke Arab Saudi. Alumnus pesantren Persis di Bangil itu melanjutkan sekolah ke Maududi Institute di Lahore, Pakistan, dan dari sana bergabung dengan gerilyawan Taliban di Afghanistan (1987-1989). Keterlibatan Lasykar Jihad berperang melawan kaum Kristen di Maluku itu karena turunnya sebuah fatwa, awal 2000 yang lalu, dari salah seorang Imam Salafi di Yaman yaitu Syaikh Muqbil Bin Had Al Wadi’. Fatwa itu dikeluarkan khusus untuk berjihad di Maluku, tidak di seluruh Indonesia.

Di Maluku Utara yang dominan Muslim, ada ikatan yang kuat antara Lasykar Jihad dan Partai Keadilan, melalui ideolog partai itu, Drs. H. Abdi Sumaiti alias Abu Rido. Mantan dosen agama Islam ITB itu, yang kini Wakil Ketua Majelis Pertimbangan Partai Keadilan, pernah kuliah di Universitas Madinah, di mana ia bergabung dengan gerakan Wahhabi. Abu Rido juga menentang sekte-sekte Islam lain yang dirasakannya tidak mengajarkan doktrin yang benar. Majalah Sabili yang dimulainya ketika gerakan ‘neo-NII’-nya masih di bawah tanah, merupakan salah satu corong Lasykar Jihad.

Sementara itu, dukungan politis bagi Lasykar Jihad di dalam Angkatan Bersenjata tidak hanya berasal dari faksi Wiranto di TNI/AD. Gerakan militan Muslim ini juga menikmati dukungan diam-diam dari berbagai faksi di Polri dan Angkatan Laut. Meskipun Presiden Wahid memerintahkan seluruh jajaran TNI dan Polri untuk mencegah pasukan Lasykar Jihad meninggalkan Jawa, namun Kapolda Jawa Timur waktu itu, Mayjen Da’i Bahtiar, membiarkan saja mereka berlayar dengan kapal Pelni, KM Rinjani, dari Surabaya ke Ambon. Ini barangkali ada hubungannya dengan pernyataan komandan Lasykar Jihad, Ja’far Umar Thalib, yang mengklaim punya ‘hotline’ langsung ke Panglima TNI, Laksamana Widodo (Fealy 2001).

Kenyataannya, para anggota Lasykar Jihad juga dibiarkan mengapalkan senjata mereka dengan kapal lain, KM Tanto Sakti, yang disembunyikan dalam kotak-kotak sabun dalam 200 buah peti kemas, yang mencapai Ambon setelah kedatangan pasukan itu. Di Ambon, aparat keamanan membiarkan saja peti-peti kemas penuh senjata itu diturunkan di pelabuhan Yos Sudarso yang dikuasai komunitas Muslim di Waihoang, bukan di pelabuhan Angkatan Laut di Halong.

Agenda Militer

Dilihat dari langgengnya pembunuhan antaragama di Kepulauan Maluku, penyebaran Lasykar Jihad yang cepat di kedua provinsi kembar itu, keberfihakan sejumlah besar anggota TNI dan Polri dengan fihak-fihak yang bertikai, serta ketegaran para perwira dari faksi Wiranto, di mana tidak seorang pun telah diajukan ke pengadilan atau bahkan diselidiki keterkaitannya dengan konflik berkepanjangan di Maluku, orang tidak dapat lagi mempercayai retorika resmi di Indonesia bahwa yang terlibat hanyalah “oknum-oknum pembangkang” (rogue elements). Makanya, penjelasan mengenai kerusuhan yang berkesinambungan di Kepulauan Maluku harus ditemukan dalam kepentingan-kepentingan militer yang lebih sistemik.

(socio-politica.com) – Berlanjut ke Bagian 5

‘Pertengkaran’ Eyang Subur-Adi Bing Slamet Sebagai ‘Kasus Sampah’ di Media dan MUI

SEHARUSNYA, begitu Adi Bing Slamet –selebriti, putera pelawak terkenal di masa lampau– ‘sadar’ telah dirugikan, dibodohi, atau entah ditipu bertahun-tahun lamanya oleh Eyang Subur, tindakan pertamanya mestilah menempuh jalur hukum. Bukannya malah mencari panggung publikasi. Tapi bisa jadi para selebrities memang lebih percaya –kalau bukan lebih suka– mencari ‘penyelesaian’ heboh melalui media (infotainmen) daripada melalui jalan hukum yang sering dipersepsi serba rumit dengan sampingan ‘macam-macam’.

            Pilihan Adi Bing Slamet ‘memerangi’ Eyang Subur melalui media, ternyata berkembang sebagai polemik antar pihak yang juga mengundang keikutsertaan pihak ketiga, yang untuk sebagian terasa sangat vulgar. Sedemikian vulgar, sehingga banyak kalangan masyarakat yang meminta Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk meminta media, khususnya media televisi, menghentikan penayangan yang terkait dengan kasus itu. Tapi, dalam situasi itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) justru tergesa-gesa masuk ke tengah persoalan yang belum terlalu jelas ujung pangkalnya tersebut dan terkesan segera berpihak karena kepekaan alergisnya terhadap terminologi ‘sesat’.

PLESETAN EYANG SUBUR DALAM SERAGAM KOPASSUS. "Karena kasus perseteruan Eyang Subur dan Adi Bing Slamet merebak hampir bersamaan waktu dengan penyerangan LP Cebongan di Sleman oleh 11 personil Kopassus, entah mengapa, gambar Eyang ditampilkan berpakaian seragam kesatuan tersebut. Mungkin ada kandungan kritiknya juga. Tapi seloroh ini hendaknya diterima saja sebagai intermezzo untuk mengurangi ketegangan di dalam kepala kita semua." (copy gambar yangberedar melalui BB)
PLESETAN EYANG SUBUR DALAM SERAGAM KOPASSUS. “Karena kasus perseteruan Eyang Subur dan Adi Bing Slamet merebak hampir bersamaan waktu dengan penyerangan LP Cebongan di Sleman oleh 11 personil Kopassus, entah mengapa, gambar Eyang ditampilkan berpakaian seragam kesatuan tersebut. Mungkin ada kandungan kritiknya juga. Tapi seloroh ini hendaknya diterima saja sebagai intermezzo untuk mengurangi ketegangan di dalam kepala kita semua.” (copy gambar yang beredar melalui BB)

            Permintaan masyarakat itu cukup masuk akal. Di dalam ‘lajur frekuensi dan kolom’ yang digunakan media terdapat hak masyarakat. ‘Kolom’ dan ‘lajur’ itu tak bisa digunakan semena-mena dan seenaknya oleh para penyelenggara siaran. Tak layak untuk menjejalkan informasi-informasi sampah atau format-format komunikasi lainnya yang bersifat membodohkan, menyesatkan, tak beradab, saling mempermalukan secara tak pantas dan tak etis, atau bahkan sadistis.

Penyelenggara media menurut kriteria komunikasi maupun jurnalistik yang sehat, dalam konteks penghargaannya terhadap demokrasi, berkewajiban setidaknya secara moral, untuk melindungi masyarakat dari polusi pemberitaan yang tak bisa dipertanggungjawabkan. Memang tak perlu ada kekuasaan dan atau penguasa seperti halnya Departemen Penerangan dan Kopkamtib di masa lampau, yang merasa berhak dan berwenang menentukan mana yang pantas dan mana yang tak pantas disiarkan. Akan tetapi, bila media atau pers pada umumnya tak mampu menggunakan kebebasannya secara baik dan benar, termasuk dalam menentukan mana yang pantas dan mana yang tak pantas dilontarkan ke tengah masyarakat, pada waktunya akan muncul antitesa untuk menindakinya, entah dari kalangan kekuasaan, entah dari masyarakat yang jenuh dengan polusi yang disalurkan media.

Dan antitesa itu memang lahir juga di masyarakat, tapi dalam bentuk lain, gambar plesetan yang bersifat seloroh. Karena kasus perseteruan Eyang Subur dan Adi Bing Slamet merebak hampir bersamaan waktu dengan penyerangan LP Cebongan di Sleman oleh 11 personil Kopassus, entah mengapa, gambar Eyang ditampilkan berpakaian seragam kesatuan tersebut. Mungkin ada kandungan kritiknya juga. Tapi seloroh ini hendaknya diterima saja sebagai intermezzo untuk mengurangi ketegangan di dalam kepala kita semua.

TELEVISI swasta yang mengkhususkan diri sebagai televisi berita dan penyaji talking news, tvOne, Sabtu 20 April 2013, menampilkan 4 narasumber untuk membahas perkembangan terakhir perseteruan Eyang Subur-Adi Bing Slamet. Semua pihak, seakan terwakili dalam wawancara yang lebih mirip ajang pertengkaran ala pokrol bambu tersebut. Ada penasehat hukum Adi Bing Slamet, ada penasehat hukum Eyang Subur, ada seorang ustadz dari MUI dan seorang lainnya yang diperkenalkan sebagai pengamat. Kedua penasehat hukum tak hentinya saling melecehkan secara tak pantas dan sudah mengarah saling serang dan saling hina secara pribadi. Sang pengamat, terkesan tak kompeten, lebih mirip pembela dan pembenar bagi segala pendapat MUI. Sementara itu, ustadz yang ‘mewakili’ MUI di forum itu, meskipun berulang-ulang mengatakan MUI belum memberi kesimpulan tentang Eyang Subur, sudah mendahului institusinya untuk memberi kesimpulan pribadi bahwa Eyang Subur sesat dan karenanya harus mengaku bersalah dan bertobat.

‘Pertengkaran’ antara Eyang Subur dan Adi Bing Slamet, tak akan diulas banyak dalam tulisan ini. Toh kedua-duanya sudah mengadu ke mana-mana, termasuk ke kalangan penegak hukum. Jadi, biarkan masalahnya diselesaikan secara hukum, semoga dengan cara yang baik, benar dan masuk akal. Namun, campur tangan MUI barangkali perlu diberi beberapa catatan.

SEPANJANG yang disampaikan ustadz yang mewakili MUI dalam wawancara segi empat di tvOne itu, terkesan bahwa Eyang Subur telah diadili kedalaman keyakinan dan atau pengetahuan agamanya oleh MUI. Eyang Subur antara lain dites kemampuannya menghafal Surat Al Fatihah. Karena dianggap tak menghafal surat yang selalu dilafalkan ketika melakukan shalat 5 waktu itu, tampaknya muncul anggapan bahwa ke-Islam-an yang bersangkutan pantas diragukan, dan karenanya bisa dianggap sesat. Karena sesat, harus mengaku bersalah dan dengan demikian mesti melakukan pertobatan.

Apakah MUI tidak melangkah terlalu jauh? Mengadili pengetahuan agama dan keyakinan agama orang lain orang per orang? Dari mana MUI memperoleh hak untuk melakukan peradilan seperti itu? MUI jangan sampai tergelincir menjadi seperti organisasi kemasyarakatan tertentu yang berpretensi seolah-olah menjadi wakil Tuhan di dunia untuk mengadili moral maupun keyakinan agama orang lain. Lalu, dengan berani memutuskan seseorang atau sekelompok orang telah sesat dan ingkar kepadaNya, sekaligus melaksanakan eksekusinya.

Menurut konstruksi negara hukum yang kita anut, dalam batas tertentu beberapa masalah kesesatan keagamaan, dengan sangat berhati-hati bisa diadili oleh lembaga peradilan negara. Bilamana peradilan itu dilakukan juga, MUI hanya berposisi sebagai kelompok saksi ahli, katakanlah saksi ahli yang penting.

BAGAIMANA dan dengan apa kaum cerdik cendekiawan Islam sebaiknya menghadapi orang-orang yang dianggap tipis iman dan rasa keagamaannya, bahkan berbeda keyakinannya? Hanya satu, kearifan yang ditopang kecerdasan.

Sebagai catatan penutup, kita meminjam sepenggal kalimat dalam kata pengantar seorang anak muda, Taufiq Djamidin, dalam buku “Tragedi Pembunuhan 3 Khalifah – Awal Perpecahan Islam” (2009). Buku itu ditulis sang anak muda –yang lahir dan dibesarkan di sudut tenggara negara kita, Kupang– empat tahun lalu saat berusia 28 tahun.

“Bahwa Islam adalah bahasa persatuan, bahasa kedamaian, bahasa indah nan tegas, yang memperbaiki, bukan menghancurkan, merangkul dan bukan mencekik, bahasa yang tidak mengenal pihak lain sebagai musuh melainkan semata karena belum tahu.”

(socio-politica.com/sociopolitica.wordpress.com)

Gema Adzan: Soal Cara Berkomunikasi Dengan Tuhan dan Sesama

KETIKA Gus Dur melontarkan kritik (maupun humor) tentang alat pengeras suara di masjid-masjid, boleh dikatakan tak ada yang ‘berani’ dan mampu berargumentasi untuk menolak atau menyatakan ketidaksenangan. Gus Dur kok mau dilawan, mana bisa sih? Tetapi tatkala Dr Budiono, Wakil Presiden Indonesia saat ini, dalam Muktamar Dewan Masjid Indonesia 27 April lalu ikutan memberi saran kepada Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengatur pengeras suara di masjid-masjid, agar sayup-sayup saja dan tidak terlalu keras menyentak di telinga, reaksi menentang bermunculan.

MENUNAIKAN SHALAT DI GURUN PASIR. “Pastilah, bersama kita bisa memilih cara yang paling indah dan terbaik dalam berkomunikasi dengan Tuhan dan dengan sesama umat”. (download artvalue.com/lukisan felix michal).

Apa yang menjadi konteks utama saran Budiono –yaitu jangan sampai masjid-masjid jatuh ke tangan mereka penyebar gagasan radikalisme, fanatisme sektarian dan permusuhan terhadap agama lain, dan provokator kekerasan serta terorisme– menjadi tenggelam tak diperhatikan. Isu mengenai keinginan pengaturan pengeras suara di masjid-masjid itu yang justru lebih dikedepankan. Dan dikerucutkan secara tajam seolah-olah yang dipersoalkan adalah gema adzan itu sendiri. Padahal yang barangkali dimaksud Budiono, utamanya bukan mengenai adzan, melainkan penggunaan pengeras suara di masjid untuk berbagai macam hal yang kadang kala memang eksesif.

Kenapa saran Budiono ditentang, sementara kritik langsung maupun humor KH Abdurrahman Wahid tidak? Budiono bukan seorang Kiyai Haji, dan secara politis dia tak dikategorikan ‘golongan Islam’ meskipun ia penganut agama Islam. Dianggap tidak ‘kompeten’. Maka ucapannya mengenai Islam akan dianggap intervensi atau serangan. Seorang tokoh eks Partai Bulan Bintang yang kini mendekatkan diri ke Golkar, Ali Mochtar Ngabalin, yang sering tampil berjubah dan selalu bersorban besar, menyatakan keberatan terhadap pernyataan Wapres Budiono. ”Tidak cocok jika beliau bicara di Muktamar Dewan Masjid Indonesia”. Lengkapnya, di depan muktamar tersebut, Budiono mengatakan “Kita semua berkepentingan agar masjid dijaga jangan sampai jatuh ke tangan mereka yang menyebarkan gagasan yang tidak Islami seperti radikalisme, fanatisme sektarian, permusuhan terhadap agama dan kepercayaan orang lain, dan anjuran-anjuran provokatif yang bisa berujung kepada tindak kekerasan dan terorisme. Islam adalah agama yang sangat toleran. Islam mengajarkan kepada kita bahwa jalan terbaik adalah jalan tengah”.

Sebaliknya, sekeras-kerasnya kritik Gus Dur, tetap dianggap kritik internal, meskipun di tubuh penganut Islam ada sekte-sekte dan perbedaan aliran cara beragama yang bisa sangat tajam. Continue reading Gema Adzan: Soal Cara Berkomunikasi Dengan Tuhan dan Sesama

Kaum Ahmadiyah dan Politik Menteri Agama (2)

NAMUN, pergerakan Ahmadiyah sebagai pembaruan kehidupan beragama di India yang terus berkembang, memang mengagumkan seperti yang diakui Bung Karno dalam bukunya Di Bawah Bendera Revolusi. Secara demografis, pergerakan Jemaat Ahmadiyah (aliran Qadian) telah menyebar ke beberapa negara. Ahmadiyah mengaku memiliki cabang di 174 negara yang tersebar di Afrika, Amerika Utara, Amerika Selatan,Asia,Australia, dan Eropa. Dalam situs Ahmadiyah tertulis, saat ini jumlah anggota mereka di seluruh dunia lebih dari 150 juta orang. Jemaat ini membangun proyek-proyek sosial, lembaga-lembaga pendidikan, pelayanan kesehatan, penerbitan literatur-literatur Islam, dan pembangunan masjid-masjid.

MIRZA GHULAM AHMAD DAN KELOMPOKNYA. “Kehadiran Ahmadiyah aliran Qadian ini kemudian menjadi polemik, yang dimulai dari pendapat Buya Hamka, ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) waktu itu, yang mengatakan jemaat itu adalah di luar Islam”. (foto download)

Gerakan ini menganjurkan perdamaian, toleransi, kasih, dan saling pengertian di antara para pengikut agama yang berbeda. Menurut Ahmadiyah, gerakan ini sebenar-benarnya percaya dan bertindak berdasarkan ajaran Al Quran: “Tidak ada paksaan dalam agama” (2:257) serta menolak kekerasan dan teror dalam bentuk apa pun untuk alasan apa pun. Pergerakan ini menawarkan nilai-nilai Islami, falsafah, moral dan spiritual yang diperoleh dari Al Quran dan sunnah Nabi Suci Islam, Muhammad SAW. Beberapa orang Ahmadi, seperti almarhum Sir Muhammad Zafrullah Khan (Menteri Luar Negeri pertama dariPakistan; Presiden Majelis Umum UNO yang ke-17; Presiden dan Hakim di Mahkamah Internasional di Hague), dan Dr Abdus Salam (peraih hadiah Nobel Fisika tahun 1979), telah dikenal karena prestasi dan jasa-jasanya oleh masyarakat dunia.

Bersalahkah warga Ahmadiyah? Dan yang mana?

Sebelum tahun 1980-an di Indonesia, Ahmadiyah, yang dari semula memang dianggap sebagai mazhab yang berbeda, dapat hidup rukun berdampingan dengan umat Islam. Awalnya, yang datang adalah Ahmadiyah Lahore sejak tahun 1927, dikenal dengan Gerakan Ahmadiyah Indonesia yang berpusat di Yogyakarta, dan berbadan hukum sejak tahun 1929. Setelah itu, muncul Ahmadiyah Qadian, dikenal dengan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang berpusat di Bogor, dan diakui Pemerintah Republik Indonesia cq Menteri Kehakiman Republik Indonesia pula dengan badan hukum pada tahun 1953. Hal itu tercantum dalam ketetapan menteri tertanggal 13 Maret 1953, nomor JA.5/23/13 yang dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia Nomor 22 tanggal 31 Maret 1953. Ketetapan ini kemudian diubah dengan akta perubahan yang telah diumumkan di dalam Berita Negara Nomor 3 tahun 1989; dan Tambahan Berita Negara Nomor 65 tanggal 15 Agustus 1989. Continue reading Kaum Ahmadiyah dan Politik Menteri Agama (2)