Tag Archives: Fuad Hashem

Gema Adzan: Soal Cara Berkomunikasi Dengan Tuhan dan Sesama

KETIKA Gus Dur melontarkan kritik (maupun humor) tentang alat pengeras suara di masjid-masjid, boleh dikatakan tak ada yang ‘berani’ dan mampu berargumentasi untuk menolak atau menyatakan ketidaksenangan. Gus Dur kok mau dilawan, mana bisa sih? Tetapi tatkala Dr Budiono, Wakil Presiden Indonesia saat ini, dalam Muktamar Dewan Masjid Indonesia 27 April lalu ikutan memberi saran kepada Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengatur pengeras suara di masjid-masjid, agar sayup-sayup saja dan tidak terlalu keras menyentak di telinga, reaksi menentang bermunculan.

MENUNAIKAN SHALAT DI GURUN PASIR. “Pastilah, bersama kita bisa memilih cara yang paling indah dan terbaik dalam berkomunikasi dengan Tuhan dan dengan sesama umat”. (download artvalue.com/lukisan felix michal).

Apa yang menjadi konteks utama saran Budiono –yaitu jangan sampai masjid-masjid jatuh ke tangan mereka penyebar gagasan radikalisme, fanatisme sektarian dan permusuhan terhadap agama lain, dan provokator kekerasan serta terorisme– menjadi tenggelam tak diperhatikan. Isu mengenai keinginan pengaturan pengeras suara di masjid-masjid itu yang justru lebih dikedepankan. Dan dikerucutkan secara tajam seolah-olah yang dipersoalkan adalah gema adzan itu sendiri. Padahal yang barangkali dimaksud Budiono, utamanya bukan mengenai adzan, melainkan penggunaan pengeras suara di masjid untuk berbagai macam hal yang kadang kala memang eksesif.

Kenapa saran Budiono ditentang, sementara kritik langsung maupun humor KH Abdurrahman Wahid tidak? Budiono bukan seorang Kiyai Haji, dan secara politis dia tak dikategorikan ‘golongan Islam’ meskipun ia penganut agama Islam. Dianggap tidak ‘kompeten’. Maka ucapannya mengenai Islam akan dianggap intervensi atau serangan. Seorang tokoh eks Partai Bulan Bintang yang kini mendekatkan diri ke Golkar, Ali Mochtar Ngabalin, yang sering tampil berjubah dan selalu bersorban besar, menyatakan keberatan terhadap pernyataan Wapres Budiono. ”Tidak cocok jika beliau bicara di Muktamar Dewan Masjid Indonesia”. Lengkapnya, di depan muktamar tersebut, Budiono mengatakan “Kita semua berkepentingan agar masjid dijaga jangan sampai jatuh ke tangan mereka yang menyebarkan gagasan yang tidak Islami seperti radikalisme, fanatisme sektarian, permusuhan terhadap agama dan kepercayaan orang lain, dan anjuran-anjuran provokatif yang bisa berujung kepada tindak kekerasan dan terorisme. Islam adalah agama yang sangat toleran. Islam mengajarkan kepada kita bahwa jalan terbaik adalah jalan tengah”.

Sebaliknya, sekeras-kerasnya kritik Gus Dur, tetap dianggap kritik internal, meskipun di tubuh penganut Islam ada sekte-sekte dan perbedaan aliran cara beragama yang bisa sangat tajam. Continue reading Gema Adzan: Soal Cara Berkomunikasi Dengan Tuhan dan Sesama

Kisah Seorang Nabi Yang Lahir di Sebuah ‘Republik Jahiliyah’

KELAHIRAN Muhammad –yang di kemudian hari dikenal sebagai Nabi terakhir di muka bumi ini– bukan suatu peristiwa yang menarik perhatian di zamannya. Ia lahir dari rahim seorang janda miskin yang beberapa waktu sebelumnya ditinggal mati sang suami, di sebuah rumah yang letaknya sekitar 1 kilometer di sebelah Timur Laut sebuah bangunan yang kelak dikenal sebagai Ka’bah, di Makkah bagian Timur. Sebenarnya Muhammad masih tergolong ‘bangsawan’, namun kakeknya yang bernama Abdul Muththalib berasal dari sebuah klan yang lemah di tengah klan-klan kuat dan kaya, dan banyak tergantung kepada satu di antaranya, yakni klan Hasyim.

PENUNGGANG KUDA DARI LANGIT. “Sayang bahwa berabad-abad lamanya manusia, termasuk dunia Islam, memilih banyak jalan kekerasan”… “Seringkali dengan retorika ‘langit’, membawa-bawa namaNya”. (Source: jihadprincess)

Kota Makkah kala itu memang dihuni dan dikuasai oleh klan-klan kaya, para konglomerat dan bankir-bankir. Pemerintahan kota Makkah mirip sebuah Republik, tapi bukan dari rakyat untuk rakyat, melainkan dari, oleh dan untuk klan-klan kaya. Rakyat biasa dari kalangan ekonomi bawah, hanya peserta yang tak penting dalam himpitan ketidakadilan sosial. Menurut Fuad Hashem dalam bukunya Sirah Muhammad Rasulullah (Penerbit Mizan, 1989), pemerintahan di Kota Makkah pada zaman sebelum Islam itu dipegang oleh para pemimpin Quraisy, yaitu ‘mala’ sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Quran. Mereka, para Quraisy ini, merupakan orang paling kaya dan terkemuka, berusia 40 tahun ke atas. Al-Quran tak banyak memberikan keterangan yang bisa menjelaskan agak rinci mengenai pemerintahan kota Makkah. Tetapi dari catatan sumber sejarah lainnya, “kita dapat menarik kesimpulan bahwa pemerintahan dilaksanakan secara bersama oleh para saudagar itu –mungkin mirip dengan kota sezaman seperti Verona dan Venesia di Laut Tengah”.

“Pemerintahan kota adalah gabungan ‘pusaka’ gurun dengan kapitalisme kota. Sifat berani, dendam dan keramahan Badui, bergabung dengan nilai kota yang menginginkan ketenangan, bersatu, aman dan stabil. Yang lahir dari ‘kawin’ silang ini adalah blasteran tak bernama: suatu nilai gurun yang ditumpulkan oleh kecanggihan kota internasional, tepatnya bisnis rumit yang disepuh keliaran Badui. Unsur polos Arab-kuno dipoles dengan kecerdikan pengusaha. Suatu hasil silang antara kepemimpinan Badui yang mengedepankan balas dendam, kekerasan dan perampokan, dengan semacam walikota yang cinta damai untuk mengamankan harta, transaksi dagang dan perjanjian internasional. Karena ketiadaaan istilah untuk nama bentuk pemerintahan ini, maka Lammens menggunakan istilah ‘Republik Saudagar’….”.

SEBENARNYA, suatu nama lain mungkin lebih tepat bagi kota Makkah, yakni ‘Republik Jahiliyah’. Terminologi jahiliyah seringkali dikaitkan sebagai suatu zaman, yakni zaman menjelang diperkenalkannya Islam oleh Muhammad SAW. Padahal, sepanjang referensi dari yang bisa diikuti dari pandangan Nabi Muhammad sendiri, jahiliyah merujuk pada suatu pengertian mengenai pola perilaku yang bisa terjadi pada zaman yang manapun dan bukan pada satu kurun waktu tertentu saja. Sifat jahiliyah mencakup berbagai perilaku seperti men-Tuhan-kan berhala, kecongkakan, kesukuan yang sempit, kekerasan, semangat balas dendam yang tak berkesudahan, perbudakan, pengumbaran nafsu tak terkendali dan berbagai perbuatan yang bertentangan dengan moral. “Ini bisa saja terjadi dalam zaman setelah kedatangan Islam dan keluar dari pribadi seorang Muslim sekalipun”.

Kota Makkah sebagai ‘Republik Jahiliyah’ di sekitar masa kelahiran bayi Muhammad itu, adalah wilayah yang penuh hedonisme dan maksiat di tengah kelimpahruahan harta kaum kaya. Setiap minggu ada hari pasaran penuh kesukariaan. Seringkali ada deklamasi sajak di Ka’bah. “Tiap bulan purnama, orang berduyun-duyun berkumpul di lapangan mengelilingi patung Al-Lat, ‘puteri Tuhan’ berlambang bulan. Di sana, muda mudi bersyair, bercinta dan minum-minum nabidz yang terbuat dari Kurma dan memabukkan”. Setiap tahun di musim dingin, ada festival.

Di zaman itu pula judi adalah sebagian dari agama. Orang bermain judi bukan sekedar memuaskan nafsu adu untung duniawi, melainkan bagian dari ibadah dan pengabdian kepada dewa. Paling terkenal adalah permainan panah dewata. “Selain itu, judi dalam bentuk populer juga dimainkan dengan cara membeli unta secara patungan, misalnya oleh sepuluh orang. Hewan itu lalu disembelih dan dagingnya dibagi dalam lima tumpuk. Nama peserta ditulis pada setiap sisi mata panah-dewata, lalu sepuluh mata panah itu dikocok dalam sebuah kantong kulit dan diambil satu persatu sebanyak lima kali. Hanya yang namanya tercantum yang mendapat bagian. Seorang yang bernama Asyi’ bin Hisyam kalah main judi melawan Abu Lahab. Rumah dan seluruh hartanya disita, dirinya pun dijadikan budak, membersihkan kandang hewan Abu Lahab, dan sewaktu terjadi Perang Badr ia dikirim berperang mewakili ‘tuan’nya. Dalam perjudian segala macam bisa dipertaruhkan, dari budak sampai isteri dan anak.

Selain judi, minuman keras yang memabukkan menjadi bagian dari kehidupan di ‘Republik Jahiliyah”. Pelacuran mendapat tempat istimewa. Rumah maupun kemah pelacuran ditandai dengan panji atau bendera. Bila ada pelacur yang hamil, kelak saat melahirkan ia mengundang para langganannya dan dengan dihadiri saksi, ia menunjuk siapa sebenarnya ayah sang bayi. Posisi kaum perempuan dalam perkawinan lemah. Bila terjadi perceraian atau sang suami meninggal, para keluarga datang menyita harta-harta dari tangan sang isteri. Anak perempuan seringkali tak diinginkan. Pada masa sebelumnya, kerapkali anak perempuan dikuburkan hidup-hidup. Perkawinan juga bisa berbau incest. Seorang lelaki sering menikahi saudara kandung, mertua, ipar, keponakan, atau bibi maupun ibu tiri. Kebiasaan ini tak mudah terhapus, termasuk oleh kedatangan Islam. Fuad Hashem menulis dalam bukunya, “Semasa kedatangan Islam, ada perkawinan dengan ibu tiri (antara Zayd bin ‘Amr dengan ibu tirinya, yaitu ibu dari ‘Umar bin Khaththab). ‘Abdullah bin Jud’an kawin dengan dua saudara perempuan Al Walid bin Al-Mughirah, yaitu Hindun dan Syafiyah, bersama-sama”. Tapi Al-Quran, Surat An-Nisa’, mengingatkan bahwa hal-hal seperti ini yang terjadi di masa lampau, tak boleh lagi terjadi.

Bagian lain dari kebiasaan jahiliyah yang tidak bisa segera dihapuskan adalah perbudakan, meskipun Nabi Muhammad berkali-kali memberi teladan dengan memerdekakan para budak. Kaum budak menjadi bagian dari kepentingan ekonomi (tenaga kerja) serta prestise, dan juga kesenangan seksual (menggunakan budak-budak perempuan). Kesenangan seksual ini seringkali menimbulkan ‘kekacauan sosial’ tatkala lahir anak-anak. Umumnya anak-anak itu tetap berstatus budak, tetapi sering ada pengecualian bagi anak-anak yang disukai sang ayah, statusnya menjadi manusia merdeka namun kedudukannya kelas dua di masyarakat. Tak jarang anak-anak dengan status marginal ini menjadi sumber berbagai penyakit sosial maupun kerusuhan sosial karena perilaku buruk sebagai akibat psikologis dari status mereka. Eksistensi soal hamba sahaya perempuan disebutkan dalam Surat An-Nisa’ ayat 3, sebagai ‘pengganti’ kebutuhan dalam konteks lelaki yang ingin beristeri lebih dari satu namun sangsi takkan mampu berlaku adil kepada para isterinya. Adalah peranan para cendekiawan Islam masa kini untuk memberi penafsiran baru terhadap ayat ini dan menjaga agar tak ada penyalahgunaan yang bersifat jahiliyah dan merusak Islam.

MASIH dari buku Fuad Hashem, kita meminjam pemaparan sebuah peristiwa pada pertengahan Januari tahun 630, dalam penaklukan kota Makkah. Ibn Ishaq bercerita: Rasul mengirim pasukan ke daerah sekitar Makkah untuk mengajak mereka ke dalam Islam. Beliau tidak memerintahkan mereka bertempur. Di antara yang dikirim adalah Khalid bin Walid yang diperintahkannya ke kawasan datar sekitar perbukitan Makkah menjalankan misi… . Mulanya klan Jadzimah, penghuni wilayah itu ragu, tetapi Khalid mengatakan, “Letakkan senjata, karena setiap orang telah menerima Islam”. Ada pertukaran kata, karena curiga akan Khalid. Seorang anggota suku itu berkata, “Apakah anda akan menumpahkan darah kami? Semua telah memeluk Islam dan meletakkan senjata”. “Perang telah usai dan semua orang aman”. Begitu mereka meletakkan senjata, Khalid memerintahkan tangan mereka diikat ke belakang dan memancung leher mereka dengan pedangnya sampai sejumlah orang mati. Tatkala berita ini sampai kepada Rasulullah, ia menyuruh Ali ke sana untuk menyelidiki dan memerintahkan “hapus semua tindakan jahiliyah”. Ali berangkat membawa uang –yang dipinjam Rasul dari beberapa saudagar Makkah– untuk membayar tebusan darah dan kerugian lain, termasuk kerugian berupa sebuah wadah tempat makan anjing yang rusak. Ketika semua sudah lunas dan masih ada uang sisa, Ali bertanya apakah masih ada yang belum dihitung, mereka menjawab “tidak”. Ali memberikan semua sisa uang sebagai hadiah, atas nama Rasulullah. Saat Ali kembali dan melapor, Rasulullah sedang berada di Ka’bah menghadap kiblat. Rasulullah menengadahkan tangannya setinggi-tingginya sehingga ketiaknya tampak, seraya berseru, “Ya Allah, saya tak bersalah atas apa yang dilakukan Khalid”, sampai tiga kali. Artinya, Rasulullah tak membenarkan perbuatan Khalid yang bertindak atas nama Islam namun di atas jalan yang bertentangan dengan Islam. Abdurrahman bin Awf lalu mengatakan kepada Khalid bin Walid, “Anda telah melakukan perbuatan jahiliyah di dalam Islam”.

KENDATI di masa lampau pada zamannya, kelahiran bayi bernama Muhammad, bukan peristiwa yang menarik perhatian, kini kelahiran Sang Nabi pada 12 Rabiul-Awwal yang bertepatan dengan 20 April tahun 571 M, menjadi penanda penting dalam konteks pencerahan peradaban umat manusia yang telah dimulai para nabi sebelumnya. Meski pernah memimpin peperangan, Muhammad SAW tidak mengajarkan kekerasan. Ucapannya yang paling sejuk adalah “Bila engkau dilempar dengan batu, balaslah olehmu dengan kapas”. Mungkin ucapan seperti itu secara harfiah bisa diartikan banyak orang sebagai ‘kelemahan’, tetapi sebagai suatu filosofi, sesungguhnya itulah suatu ‘kekuatan’: Bahwa kekerasan tak bisa menyelesaikan masalah, melainkan dialog untuk mempertemukan pikiran.

Sayang bahwa berabad-abad lamanya manusia, termasuk dunia Islam, memilih banyak jalan kekerasan. Setidaknya ada tiga Khalifah yang terbunuh oleh sesama pada abad-abad pertama dalam sejarah Islam, dan ada ribuan bahkan jutaan Muslim terbunuh oleh sesama karena arogansi yang lahir dari fanatisme dari masa ke masa di berbagai penjuru muka bumi, termasuk di Indonesia. Seringkali dengan retorika ‘langit’, membawa-bawa namaNya. Berapa korban ‘perang saudara’ yang dikobarkan DI-TII di Jawa Barat, Jawa Tengah, Aceh, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan? Berapa pula korban yang mati sia-sia dalam konflik-konflik terbaru di Aceh, Ambon dan Poso? Dan akan ada berapa lagi korban berjatuhan dalam peristiwa-peristiwa semacam di Cikeusik hanya beberapa hari sebelum Maulid Nabi yang diperingati hari ini?

Jangan Sekedar Menjadi Riwayat Sapi dan Kambing

“Kalau tidak siap memikul amanah, paling tidak, janganlah berbuat keburukan yang bisa mengorbankan orang lain, dan cukup menyembelih sapi atau kambing atau domba sebagai khewan kurban. Jangan malah melakukan politik dagang sapi, pengkambinghitaman dan adu domba masyarakat”. “Sebagai penganjur agar umat berbuat kebaikan untuk merintis jalan ke surga, janganlah justru menjadi penyalahguna yang seakan-akan sangsi sendiri terhadap surga di hari akhir yang dikhotbahkannya, dan karena tak sabar menanti lalu menciptakan sendiri surga dunia melalui harta dan tubuh wanita, seperti yang dilakukan beberapa tokoh belakangan ini”.

SAPI dan kambing atau domba menjadi khewan-khewan pilihan (khususnya di Indonesia) setiap kali manusia berkurban di hari raya Idul Adha. Tradisi ini memiliki inspirasi awal dari peristiwa kesediaan berkorban Nabi Ibrahim AS atas milik yang paling berharga, yakni nyawa putera kesayangannya yang bernama Ismail, menjawab ujian Allah. Ujian Allah datang melalui sebuah mimpi. Tatkala Ibrahim tanpa ragu menebaskan pedangnya ke leher sang putera, sang kurban tertukar dengan domba, sementara seluruh tubuh Ismail tetap utuh tanpa cedera sedikitpun. Ribuan tahun setelahnya ritual kurban menjadi bagian dari ibadah dalam agama Islam, suatu agama yang diperkenalkan Muhammad SAW dari negeri Arab.

Ada yang memperkirakan masa hidup nabi Ibrahim adalah pada abad 18 sebelum Masehi. Tetapi mengacu kepada temuan arkeologi di awal tahun 1950-an atas kota kuno bernama Ur –yang disebut dalam Kitab Kejadian (Genesis) secara tersirat sebagai kampung halaman Ibrahim AS– yang menyebutkan kota itu sudah eksis pada 2500 tahun sebelum Masehi, ada kemungkinan masa hidup Ibrahim AS lebih awal dari abad 18 sebelum Masehi. Ibrahim menurut Genesis (11:31) dibawa oleh ayahnya bernama Teraah (dalam kepustakaan Islam disebut sebaga Aazar bin Taheer) meninggalkan kota Ur di Kaldea ke negeri Kanaan (yang kemudian dikenal sebagai tanah bangsa Yahudi) tetapi ketika tiba di Haran mereka menetap di sana. Ur sempat disangka berada di wilayah negeri bangsa Yahudi, tetapi temuan arkeologi tahun 1950-an itu membuktikan bahwa Ur adalah sebuah kota niaga yang megah yang terletak 900 kilometer dari Baghdad, 3 kilometer di sisi Sungai Eufrat. Saat penggalian arkeologi, Ur berada 250 kilometer dari pantai Teluk Persia, tetapi diperhitungkan bahwa semula ia adalah kota pelabuhan pada pertemuan muara Sungai Eufrat dengan Teluk Persia. Ur ‘menjauh’ dari pantai akibat pembentukan daratan baru akibat lumpur yang dibawa Sungai Eufrat. Rumah-rumah yang ditemukan di Ur besar-besar, bertingkat, mewah yang masing-masing memiliki kamar-kamar dalam jumlah belasan lengkap dengan kamar mandi dan jamban yang ‘beradab’.

Menurut Fuad Hashem dalam buku Sirah Muhammad Rasulullah (Mizan, 1989), Ibrahim adalah seorang yang leluhurnya berasal dari jazirah Arab. “Selama masa pra-sejarah, suku-suku Badui telah mendesak ke daerah pinggiran yang subur dari Mesopotamia sampai Sinai dan Syria”. Sebagian menetap seperti antara lain para leluhur Ibrahim. Para ahli membuktikan bahwa keseluruhan dari apa yang disebut bangsa Semit berasal dari gurun pasir Arabia yang kemudian menetap dan menumbuhkan cabang peradaban baru di sana. “Orang Arab sendiri mengenal moyang mereka sebagai Al-Arab al ba’idah yang artinya ‘orang Arab yang telah sirna’. Tak ayal lagi, yang hilang ini adalah suku-suku nomaden Arab dari Gurun Arabia” yang sejak 4000 tahun sebelum Masehi, dalam suatu proses yang berlangsung 2000 tahun lamanya seakan tak berkesudahan, telah menyerbu ke daerah pinggiran sebelah barat laut, utara dan timur laut. Wilayah ini membentuk bagaikan bulan sabit. “Di tempat-tempat baru itu mereka membaur dengan peradaban yang ada dan meninggalkan mata kehidupan berkelana dan mengembara, sekaligus menanggalkan sifat suka menyamun dan berperang”. Salah satu suku ini, yang masih meninggalkan jejak kearaban adalah suku Nabatea yang berbahasa Aramaik yang kala itu digunakan di seluruh kawasan ‘bulan sabit subur’. Suku-bangsa Nabatea ini hidup sebagai petani. Ketika peradaban Islam memasuki wilayah ini pada abad ke-7 Masehi, kata nabati diartikan sebagai petani yang berbahasa Arab”.

Sejumlah penelitian yang lebih baru, setelah tahun 1950-an, antara lain oleh Professor James A. Montgomery dan Duncan Black MacDonald, menyimpulkan bangsa Yahudi pun sebenarnya adalah salah satu cabang keturunan kaum nomaden dari Gurun Arabia. Kesimpulan ini diperkuat oleh Wellhausen (Jerman) dan Robertson Smith (Skotlandia). Werner Keller (1957) menulis, “salah satu nomaden Semit ini ditakdirkan akan mempengaruhi jutaan manusia yang berserakan di seluruh dunia hingga kini. Mereka cuma sekelompok kecil, mungkin hanya satu keluarga, yang sebenarnya tak terkenal dan tidak penting, bagai segenggam pasir dari badai gurun: itulah keluarga Ibrahim, leluhur pendiri bangsa Yahudi”.

BERTAHUN-TAHUN lamanya Ibrahim bermukim di Kanaan. Namun tak diketahui berapa lama persisnya, ia datang ke Kanaan setelah mengelana ke utara melalui Assyria, dan masih ada di sana dalam usia yang uzur. Sebagai penganjur monotheisme melawan polytheisme dan paganisme (penyembahan berhala) di wilayah aliran Eufrat dan Tigris ia berhadapan dengan Raja Namrud (QS 21: 68-69-70), bahkan dengan ayahnya sendiri (QS 19:41-48). Ia mempunyai isteri bernama Sarah, namun hingga usia lanjut, belum memperoleh keturunan. Sarah mengizinkan Ibrahim mengawini seorang perempuan bernama Hajar, budaknya sendiri yang berbangsa Abyssinia, berasal dari kota kuno di Mesir, Pebusium. Hajar adalah budak perempuan yang dihadiahkan oleh Fir’aun yang pernah menginginkan Sarah yang terkenal kecantikannya menjadi pengisi haremnya. Perkawinan Ibrahim dan Hajar ternyata bisa menghasilkan seorang putera, yakni Ismail. Setelah itu, barulah pula Sarah di usia tua bisa memberi seorang putera lain bagi Ibrahim, yakni Ishaq, saat Ismail telah berusia 13 tahun.

Ishaq ini di kemudian hari menjadi penerus suatu ‘dinasti’ kenabian di kalangan bangsa Yahudi, dari Yacub, Yahya, Zakaria hingga Musa dan akhirnya tampil Nabi Isa penganjur ajaran Kristen. Sementara itu, Ismail yang dibawa Ibrahim bersama Hajar jauh lebih ke Selatan lagi hingga jazirah Arab, menjadi pelanjut kelangsungan bangsa Arab yang pada akhirnya memunculkan kenabian Muhammad SAW sebagai penganjur agama Islam. Kedua agama ini ibarat cabang dari sebuah paham Ketuhanan Yang Maha Esa yang dirintis Ibrahim AS. Maka sungguh ironis bila umat kedua agama tak sanggup untuk hidup saling berdampingan dalam kerukunan yang penuh tenggang rasa. Tentu lebih ironis lagi, bila dalam agama-agama itu sendiri timbul perpecahan satu sama lain yang kerapkali berakhir dengan pertumpahan darah. Fenomena menyedihkan, tak terkecuali di Indonesia, antar agama dan intra agama yang berkali-kali berujung pada kekerasan yang jauh dari sifat-sifat keilahian.

UJIAN Tuhan terjadi di Kanaan sebelum kelahiran Ishaq. Bahkan masyarakat di lingkungannya sendiri tak mampu memahami jalan pikiran yang melatarbelakangi rencana dan tindakan Ibrahim menjadikan putera kesayangannya sebagai kurban. Butuh waktu panjang untuk meyakinkan manusia tentang makna mulia di balik keputusan itu. Muhammad SAW melalui agama yang diajarkannya, Islam, berperan besar memperluas makna ritual kurban dan pengertian pengorbanan itu bagi umat manusia.

Berbeda dengan Ibrahim, kini manusia tidak dihadapkan pada suatu ujian berat untuk mengorbankan anak dan isteri guna membuktikan kesetiaan kepadaNya. Namun sebaliknya, tanpa sadar, seringkali manusia tergelincir untuk tanpa sadar melakukan berbagai perbuatan yang justru mengorbankan manusia lain, demi kesejahteraan anak-isteri, misalnya dengan melakukan korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Atau paling tidak, melanggar ketertiban yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain.

Tuntutan Tuhan kini jauh lebih lunak, cukup anda menyembelih khewan kurban, sapi dan kambing/domba kalau ada kemampuan untuk itu, sekali setahun, agar dagingnya bisa dibagi-bagikan kepada mereka yang membutuhkan karena sedang berada dalam ketidakberuntungan. Tetapi sebenarnya, makna utama dibalik tuntutan sederhana dari Tuhan itu, adalah suatu tanggungjawab moral untuk menghilangkan kemiskinan dan penderitaan dengan meratakan keadilan ekonomi, keadilan hukum dan keadilan hak-hak politik, bagi sebanyak-banyaknya orang. Terutama bagi mereka yang sedang mendapat amanah sebagai pemimpin dan pengelola negara, menjadi wakil-wakil rakyat dan menjadi penegak hukum. Tak kalah penting adalah mereka yang kini menjadi para pemimpin atau pemuka agama dan atau pemimpin kelompok-kelompok yang mengatasnamakan agama.

Kalau tidak siap memikul amanah, paling tidak, janganlah berbuat keburukan yang bisa mengorbankan orang lain, dan cukup menyembelih sapi atau kambing atau domba sebagai khewan kurban. Jangan malah melakukan politik dagang sapi, pengkambinghitaman dan adu domba masyarakat. Mereka yang menjadi pemuka agama, punya tanggungjawab moral memelihara kedamaian hati manusia, bukan malah menjadi penganjur kekerasan atas nama agama. Sebagai penganjur agar umat berbuat kebaikan untuk merintis jalan ke surga, janganlah justru menjadi penyalahguna yang seakan-akan sangsi sendiri terhadap surga di hari akhir yang dikhotbahkannya, dan karena tak sabar menanti lalu menciptakan sendiri surga dunia melalui harta dan tubuh wanita, seperti yang dilakukan beberapa tokoh belakangan ini.

Jangan sampai riwayat kita dalam hidup ini, menjadi sekedar riwayat sapi dan kambing

Kisah Nabi Muhammad: Dalam Sejarah dan Mitos (2)

Seringkali Islam tak bisa dikenali lagi dalam bentuknya yang murni namun universal pada saat ini. Perilaku para penganut, orang per orang, sekte per sekte, sempalan demi sempalan, belum lagi pengatasnamaan agama dalam kehidupan politik yang amat duniawi, telah membentuk citra baru yang tak selalu bisa dipahami.

Hasyim beristerikan perempuan bernama Salmah, puteri ‘Amr dari klan Najj’ar, seorang janda kaya dan perempuan yang cerdas dengan sifat yang independen. Hasyim berjumpa dengannya ketika singgah di Yatsrib (Madinah) dalam perjalanan pulang dari Syria, dan terpesona pada pandangan pertama. Ketika Hasyim menyampaikan niat, Salmah mengatakan ia telah bertekad untuk tidak menikah lagi kalau tidak diberi kebebasan yang cukup. Ia bisa minta cerai bilamana merasa tidak kerasan. Hasyim setuju dan merekapun menikah.

Sifat independen Salmah ini amat menarik di tengah suasana sosial kala itu, di mana kaum perempuan, terutama di kalangan akar rumput, selalu ada dalam posisi lemah di bawah hegemoni kaum lelaki. Bahkan kehadiran bayi lelaki selalu disambut gembira, sementara kelahiran bayi perempuan tidak diharapkan. Malahan pernah terjadi seorang lelaki menguburkan bayi perempuannya hidup-hidup tak berapa lama setelah dilahirkan. Pangeran Munzir pernah mempersembahkan anak perempuannya sebagai kurban di depan Ka’bah. Di masyarakat berlaku anggapan bahwa seorang anak perempuan tak berguna karena tak kuat bekerja dan menjadi beban dalam kemiskinan. Bila ada perang, ia hanya memalukan, tak bisa ikut berperang dan juga hanya akan menjadi sasaran seksual serdadu musuh. Perempuan tak diinginkan sebagai anak dalam keluarga sendiri, tetapi kaum lelaki selalu ‘membutuhkan’ anak perempuan orang lain. Beberapa lelaki mengoleksi lebih dari satu perempuan sebagai isteri atau budak untuk tambahan berbagai ‘kebutuhan’.

Tetapi merupakan fenomena menarik bahwa di tengah ketidaksetaraan gender, di kalangan atas banyak ditemukan perempuan-perempuan yang perkasa. Beberapa nama selain Salmah bisa disebutkan, yakni Hindun serta beberapa perempuan peniaga ulung seperti Ummi Hanzaliah yang juga dikenal sebagai Asma’ binti Mukharriba, pedagang parfum. Dan Siti Khadidjah seorang janda yang kemudian hari menjadi isteri pertama Muhammad.

“Salmah mengikuti Hasyim ke Makkah, tetapi kemudian kembali ke Yatsrib. Hasyim sering berkunjung”. Anak pertama mereka seorang perempuan bernama Ruqayyah. Pada tahun 497 H, lahir seorang putera, Syaibah, yang berarti Si Uban. “Dinamakan demikian, karena ada segumpal rambut putih di kepalanya”.

“Dalam perjalanan terakhir ke Syria, Hasyim mampir di Gazza, jatuh sakit dan memberi wasiat. Kalau ia mati hendaknya seluruh kekayaannya diwariskan kepada puteranya Syaibah di Yatsrib”. Hasyim yang relatif masih berusia muda, memang meninggal di Gazza. Al-Muthalib, kakaknya, menggantikan posisinya karena saudaranya yang lain ‘Abdu Syam dianggap tak seberapa berpengaruh. Al-Muthalib memelihara dengan baik apa yang telah dicapai Hasyim, “dan konon ia kaya raya sampai dijuluki Al-Faydh –yang melimpah”. Suatu ketika seseorang mengingatkan padanya tentang Syaibah putera Hasyim. Dengan segera ia ke Yatsrib untuk menjemput. Semula Salmah tak mau melepas sang putera ikut ke Makkah, tetapi demi masa depan Syaibah akhirnya ia mengalah. Tatkala Al-Muthalib tiba di Makkah, dan masyarakat melihat ia memboncengkan Syaibah di untanya, orang-orang yang sedikit terpesona kepada tampilan Syaibah, bersorak “Abd Al-Muthalib!” yang artinya abdi atau hamba Al-Muthalib. Sang paman segera menjelaskan bahwa Syaibah adalah keponakannya, putera Hasyim, bukan seorang hamba. Tetapi entah kenapa, hingga di kemudian hari tetap saya orang-orang memanggil Syaibah sebagai Abdul Muthalib. Nama itupun melekat kepada kakek Muhammad ini untuk seumur hidup.

Abdul Muthalib menggantikan posisi yang pernah dipangku ayah dan pamannya dalam pengaturan kota Makkah. Abdul Muthalib adalah orang yang berhasil menemukan dan menggali kembali mata air zam-zam yang telah tertimbun dan menemukan pedang emas dan pelana emas saat penggalian. Ketika ia berhasil, banyak kalangan keluarga di klan itu memintanya untuk berbagi. Namun melalui upacara panah dewa, semacam ‘undian’ dengan memilih anak-anak panah yang ditulisi ‘ya’ atau ‘tidak’ di depan Ka’bah dengan pengawasan hakam, Abdul Muthalib dinyatakan tetap berhak untuk pengaturan air itu serta berhak menyimpan emas yang ditemukan.

Ada satu kisah lagi mengenai Abdul Muthalib, yang memperlihatkan betapa memang Muhammad ditakdirkan untuk lahir di muka bumi ini. Ketika Abdul Muthalib baru memiliki seorang putera, ia bernazar, bila dianugerahi sepuluh putera ia akan merelakan satu di antaranya sebagai korban kepada Dewa Hubal (yang kala itu disembah penghuni Makkah). Ternyata akhirnya ia memperoleh sepuluh orang putera. Sebagai orang yang teguh kepada janji, Abdul Muthalib dengan hati berat menemui penjaga patung Dewa Hubal. Disiapkan sepuluh batang anak panah dan pada setiap batang dituliskan masing-masing nama anak-anaknya. Ketika anak panah diambil dari kain putih pembungkus, muncul nama Abdullah. “Dengan iba tapi rela, ia menggiring Abdullah ke dekat sumur zam-zam, antara patung Iza’f dan Na’ilah tempat menyembelih kurban”. Menurut cerita, “banyak hadirin gelisah dan mengusulkan supaya ganti saja dengan kurban harta, mungkin dewa mau menerima”. Apalagi memang sudah lama tak ada kurban manusia. Orang-orang berembuk dan datang menemui kahin (juru ramal) perempuan yang termasyhur kala itu di Yatsrib. Kahin mengatakan kurban boleh diganti dengan unta melalui cara mengundi dengan panah dewa di depan Hubal. Digunakan anak panah yang bertuliskan nama Abdullah sedang yang lainnya ‘unta’. Bila nama Abdullah muncul, undian dilanjutkan dengan menambah unta kurban. Nama Abdullah muncul sampai seratus kali, berarti perlu kurban 100 unta. Barulah kemudian muncul panah dengan tulisan ‘unta’. Abdul Muthalib meminta anak panah dikocok lagi untuk meyakinkan, dan sampai tiga kali berturut-turut selalu muncul anak panah bertulisan ‘unta’. Artinya dewa memang meminta hanya 100 unta. Lalu 100 ekor unta pun disembelih.

Kalau dewa ‘memilih’ Abdullah, Muhammad takkan ada di dunia ini karena Abdullah kelak merupakan ayah dari Muhammad. Hanya saja Abdullah berusia cukup ringkas. Ia meninggal dunia saat Muhammad masih dalam kandungan. Saat itu, Abdul Muthalib sudah tua renta, dan kejayaan keluarga sudah pudar. Muhammad pun lahir di masa pudar itu.

Sebuah kisah lainnya, sering dikaitkan dengan ‘takdir’ Muhammad. Saat Abdul Muthalib berusia 73 tahun, pasukan Yaman yang dipimpin Abrahah menyerbu hingga Tha’if dan Makkah. Tujuan penyerbuan itu sebenarnya hanyalah sasaran antara untuk memutuskan jalur kafilah, sebagai bagian dari rencana menyerbu Persia. Tetapi selain motif politik itu, terdapat juga motif ekonomi dan agama. Abrahah yang sedang giat ikut ‘mengembangkan’ agama Kristen, berpretensi membersihkan Makkah yang kala itu dianggap merupakan pusat penyembahan berhala. Ia masuk ke wilayah orang-orang Badui dan kaum Quraisy untuk membebaskan negeri itu. Tujuan utamanya menghancurkan Ka’bah yang menjadi tempat penyimpanan berhala. Ketika masuk ke Tha’if, orang-orang di sana yang ketakutan menyebutkan bahwa tempat penyimpanan berhala mereka Al-Lat bukanlah Ka’bah, lalu menunjukkan bahwa Ka’bah itu adanya di Makkah. Dalam perjalanan ke Makkah bala tentara Abrahah yang membawa gajah sebagai pendobrak menyita harta-harta orang Badui, termasuk 100 ekor unta milik Abdul Muthalib. Sewaktu pasukan gajah itu sudah diambang Makkah seorang utusan bernama Hunatah dikirim menemui Abdul Muthalib menyampaikan pesan bahwa para penyerbu tak ingin mengobarkan perang melainkan hanya akan menghancurkan Ka’bah. Abdul Muthalib menawarkan harta dan wilayah Tihamah, asalkan Ka’bah dan isinya tidak dihancurkan. Tetapi tawaran itu ditolak Abrahah.

Penduduk segera mengungsi meninggalkan Makkah. Penggunaan gajah sangat menakutkan penduduk. Abdul Muthalib dan sejumlah pemuka menyempatkan diri berdoa di depan Ka’bah untuk terakhir kalinya. Tetapi tiba-tiba terjadi suatu peristiwa tak disangka-sangka, para serdadu Abrahah terserang wabah penyakit pes yang gejalanya memuncak persis pada momen yang genting. Para serdadu itu ganti berganti jatuh tersungkur di jalan-jalan kota Makkah. Bahkan gajah yang akan dipakai untuk mendobrak dan menghancurkan Ka’bah, duduk tak mau berdiri. Sang gajah baru mau pulang ketika ia diperintahkan ke arah selatan menuju jalan pulang. Dengan terseok-seok para serdadu Abrahah beriringan meninggalkan Makkah. Kota ini terhindar dari malapetaka pendudukan. Dalam bukunya A History of Medieval Islam, 1965, Professor JJ Saunders menulis, “Andai saja Abrahah menduduki Makkah, maka seluruh jazirah Arab ini akan diterobos oleh penyebaran Kristen, tanda salib akan menjulang di Makkah dan Muhammad mungkin akan mati sebagai pastur atau pendeta”. Namun, pada sisi lain, lolosnya Ka’bah dari penghancuran pasukan gajah Abrahah telah memberi angin kepada kaum penyembah berhala untuk melanjutkan kepercayaan mereka.

DARI sejarah menjelang kenabian Muhammad, terlihat sejumlah fakta sosial yang menarik. Sementara suku-suku Badui hidup dalam pengembaraan dengan fakta kehidupan yang keras, masyarakat perkotaan seperti di Makkah dan Tha’if, penuh kepincangan sosial. Kekayaan terkumpul di tangan klan-klan penguasa saja. Klan-klan penguasa umumnya tak mampu menjamin keamanan masyarakat dari berbagai gangguan penyamun dan penjarahan. Kalaupun kemudian ada pengaturan-pengaturan itu lebih merupakan untuk kepentingan ekonomi, seperti misalnya pengaturan pengamanan kafilah-kafilah perdagangan. Kehidupan tidak sakinah hingga di keluarga sebagai satuan terkecil masyarakat. Intrik selalu terjadi di antara klan-klan. Tak ada keadilan gender. Perbudakan berjalan tanpa halangan.

Dalam masa kenabiannya, Muhammad SAW banyak melakukan pembaharuan untuk merubah keburukan-keburukan dalam kehidupan sosial. Keadilan gender lebih diperbaiki namun sampai nabi berpulang masih banyak permasalahan belum sempat dituntaskan dan atau kembali memburuk sepeninggal nabi. Nabi Muhammad misalnya berhasil meredam kecenderungan poligami kaum lelaki. Bila sebelumnya seorang lelaki bisa mengambil isteri dan gundik-gundik dalam jumlah tak terbatas, Nabi Muhammad menyederhanakannya dari tak terbatas menjadi maksimal empat yang itupun disertai syarat-syarat keadilan bagi para isteri. Seandainya, masih punya kesempatan, sifat kenabian kemungkinan besar akan membawa Muhammad kepada penghapusan poligami. Muhammad juga menganjurkan pernikahan-pernikahan dilakukan terbuka tidak diam-diam (nikah siri) demi kepentingan silsilah dan kejelasan hak waris. Nikah siri punya pengertian harfiah diam-diam. Siri berasal dari kata Arab sir yang berarti diam-diam.

Muhammad juga menegaskan keadilan sosial dalam masyarakat, persaudaraan, dan mengajarkan sikap tidak rasialis yang terbukti dengan kehadiran Bilal yang mendapat tempat terhormat, serta penghapusan perbudakan. Muhammad adalah termasuk orang yang sangat menganjurkan penghormatan kepada hak azasi manusia. Nabi Muhammad juga adalah seorang yang pluralis dalam konteks agama. “Bagimu adalah agamamu, bagiku adalah agamaku”. Ia tak pernah menjelekkan agama lain, mengajarkan untuk juga menghormati kita-kitab suci lain, selalu bersikap bersahabat dengan para pemeluk agama lain. Nabi Muhammad tak pernah punya pretensi tentang kenabiannya, karena dengan rendah hati ia hanya memposisikan diri sekedar sebagai pembawa pesan, sebagai ‘pemberi ingat’ kepada sesama manusia.

TERDAPAT jarak waktu lima belas abad lamanya yang memisahkan kita yang hidup di masa ini dengan masa kenabian Muhammad SAW. Banyak yang terjadi dalam jangka masa yang begitu panjangnya itu, dalam konteks citra dan kebenaran agama yang diturunkan olehNya melalui Muhammad. Tetapi jangankan seribu lima ratus tahun, dalam dua puluh lima tahun pertama sepeninggal Muhammad, meminjam alur catatan almarhum Fuad Hashem, berbagai warna kepentingan politik mulai menodai cerita-cerita penegakan Islam yang bersih melalui aneka kekerasan dan pertumpahan darah. “Sudah menjadi rahasia umum bahwa dalam pertumpahan darah dan perang saudara, panji-panji standar moral yang ditegakkan agama, untuk sementara diturunkan”. Kepentingan politik zaman itu dapat membingungkan kita sekarang. Tetapi ternyata apa yang terjadi dalam dua puluh lima tahun pertama itu, senantiasa berulang dan berulang, entah dalam siklus limapuluh tahunan, entah dalam siklus abad. Seringkali Islam tak bisa dikenali lagi dalam bentuknya yang murni namun universal pada saat ini. Perilaku para penganut, orang per orang, sekte per sekte, sempalan demi sempalan, belum lagi pengatasnamaan agama dalam kehidupan politik yang amat duniawi, telah membentuk citra baru yang tak selalu bisa dipahami. Berbagai legenda dan mitos yang adalah buatan para penganut sendiri telah bercampur aduk dengan berbagai perilaku ekses dari masa ke masa. Padahal seperti dikatakan pada bagian-bagian awal Muhammad adalah seorang Nabi yang lahir dalam sorotan sejarah yang terang benderang, seorang tokoh historis yang eksistensi dirinya dan dasar-dasar pesan pengingat yang dibawakannya sangat jelas.

Kisah Nabi Muhammad: Dalam Sejarah dan Mitos (1)

“Sebenarnya Muhammad berasal dari kalangan keluarga yang turun temurun, setidaknya sepuluh lapis di atas Muhammad, adalah klan-klan Quraisy yang terkemuka dan berkuasa di wilayah lembah Makkah setelah menyingkirkan suku Khuza”ah di abad ke-5”. “Tetapi sejalan dengan kecenderungan ‘tabiat kekuasaan’, klan-klan Quraisy yang menjadi kakek moyang Muhammad, penuh dengan intrik dan pertarungan internal memperebutkan hegemoni”.

MASA kehidupan seorang lelaki bernama Muhammad, nabi dari seribu juta lebih umat Islam di dunia, telah berlalu tak kurang dari lima belas abad lamanya. Dan selama lima belas abad itu, Islam telah berumbuh sebagai agama besar di muka bumi ini, namun selama masa yang panjang itu umat yang yang besar ini belum juga berhasil menyelesaikan keterbelahan pemahaman untuk berbagai masalah. Suatu situasi yang pada hakekatnya juga dialami oleh berbagai agama lainnya.

Keterbelahan utama di kalangan umat Islam hingga kini adalah menyangkut eksistensi Islam. Pada belahan yang satu adalah mereka yang menganggap eksistensi Islam sedang terancam dan memilih jalan radikal, bila perlu dengan pertumpahan darah, untuk mempertahankannya. Dan pada belahan yang lain adalah mereka yang tidak melihat sesuatu yang mengancam dan memilih untuk hidup berdampingan secara damai dengan umat beragama lainnya. Tak ada lagi ancaman seperti di masa lampau saat ideologi yang memusuhi agama dan Tuhan masih eksis. Kalaupun ada ancaman, itu justru berasal dari sikap radikal dengan perilaku agresif dari dalam Islam sendiri dan memilih jalan-jalan kekerasan.

Kekerasan adalah sesuatu yang tak sesuai dengan ajaran Muhammad SAW. Dalam khutbah terakhirnya, di Padang Arafat, saat ia melaksanakan ibadah hajinya yang terakhir, tahun 10 Hijriah, Nabi Muhammad menyerukan, “Kupermaklumkan kepadamu sekalian, bahwa darah dan nyawamu, harta benda dan kehormatan satu dengan yang lain, haram atas engkau sekalian, sampai engkau bertemu dengan Tuhanmu kelak”. Pada bagian lain khutbahnya, ia mengingatkan “Engkau sekalian, wahai manusia, hendaklah paham bahwa semua orang-orang yang beriman adalah bersaudara…… Setelah aku meninggal, janganlah engkau sekalian kembali menjadi kafir, dan sebagian dari engkau sekalian menggunakan senjata kalian untuk menebas leher sesamamu”. KH Firdaus AN dalam bukunya tentang Detik-detik Terakhir Kehidupan Rasulullah,  mengutip ucapan lain Muhammad SAW dalam khutbah terakhir itu, “Hari ini haruslah dihapuskan semua bentuk pembalasan dendam pembunuhan Jahiliyah, dan penuntutan darah seperti Jahiliyah yang mula pertama aku hapuskan adalah atas tuntutan darah Amir bin Harits”.

Namun merupakan kenyataan di depan mata, bahwa kini di berbagai penjuru muka bumi ini, sejumlah kaum radikal angkat senjata, tak sebatas angkat bicara atau angkat pena saja, untuk mengibarkan panji-panji Islam. Sejumlah kelompok ‘sempalan’ yang ekstrim memilih jalan terorisme, tidak hanya membunuh mereka yang berbeda agama, namun juga sesama umat. Seorang pelaku teroris di Indonesia, menjawab pertanyaan tentang kenyataan jatuhnya korban terorisme di kalangan sesama agama, dengan tenang dan dingin mengatakan “Siapa suruh mereka bergaul bersama kaum kafir…”. Jawaban seperti ini berulang-ulang diucapkan oleh simpatisan jalan kekerasan. Jalan kekerasan memang telah menjadi pilihan sebagian umat di Afghanistan dan Pakistan, bagian selatan Filipina, di Libanon dan di berbagai tempat lainnya. Politik garis keras menjadi pilihan di Iran maupun di berbagai negara di sekitar wilayah Timur Tengah.

BERBEDA dengan nabi-nabi lain yang terdahulu, menurut Fuad Hashem dalam bukunya Sirah Muhammad Rasulullah (Mizan, 1989), Muhammad lahir dalam sorotan sejarah yang terang benderang. “Ia adalah tokoh historis yang eksistensinya jelas ada. Orang mencatat riwayat hidupnya secara rinci, mulai dari siapa dukun bayi yang membantu kelahirannya, berapa utas ubannya di hari tua, bagaimana ia menghembuskan nafasnya yang terakhir, serta segala sesuatu yang terjadi di antara kedua ufuk hidup itu”.

Sebaliknya kelahiran Muhammad di tahun 570 Masehi terjadi tanpa banyak perhatian orang. Dalam suatu masyarakat dengan kehidpan yang didomimasi sejumlah konglomerat dan bankir besar, tentu saja kelahiran seorang anak dari seorang janda miskin takkan menarik perhatian. Ayahnya yang bernama Abdullah sudah wafat, sedang kakeknya, Abdul Muthalib, yang di masa lampau adalah anggota masyarakat terpandang, sudah tua renta. Orang tak mencatat jam, hari dan tanggal kelahiran Muhammad yang tepat di tahun 570 M –yang dikenal sebagai tahun Gajah itu. Ini berbeda dengan saat kematiannya. Ia meninggal dalam usia 63 tahun, di pangkuan isterinya Siti Aisyah, lewat tengah hari Senin 12 Rabiul Awal  tahun 11 Hijriah yang bertepatan dengan 3 Juni 1932 (Sementara menurut Muhammad Khodari Bey, hari wafat nabi itu adalah Senin 13 Rabiul Awal tahun 11 H, atau 28 Juni tahun 633 M).

Sebenarnya Muhammad berasal dari kalangan keluarga yang turun temurun, setidaknya sepuluh lapis di atas Muhammad, adalah klan-klan Quraisy yang terkemuka dan berkuasa di wilayah lembah Makkah setelah menyingkirkan suku Khuza”ah di abad ke-5. Secara harfiah Quraisy berarti ‘hiu’ sejenis ikan ganas di laut. Orang Badui nomaden sekitar lembah menggunakan sebutan kepada penghuni lembah ini sebagai Quraisy atau para ikan hiu sebagai ejekan akan kerakusan para Quraisy mencari untung dalam berdagang. Sebaliknya, tulis Fuad Hashem, para Quraisy ini memanggil para Badui pengembara itu sebagai a’rab atau ‘orang yang lewat’.

Tetapi sejalan dengan kecenderungan ‘tabiat kekuasaan’, klan-klan Quraisy yang menjadi kakek moyang Muhammad, penuh dengan intrik dan pertarungan internal memperebutkan hegemoni. Lapis kelima di atas Muhammad adalah Qushay yang dikenal sebagai tokoh pelopor pembangunan kota Makkah. Qushay memiliki empat putera, yakni ‘Abd Qushay, ‘Abdu Dar, ‘Abdu Manaf dan ‘Abdul ‘Uzza. Sebelum meninggal Qushay berpesan kepada para puteranya agar sepeninggalnya nanti, hendaknya ‘Abdu Dar menjadi penggantinya selaku administrator kota Makkah.

Pada tahun 464 M, isteri ‘Abdu Manaf melahirkan sepasang putera kembar, Hasyim dan ‘Abdu Syam. Jari salah satu bayi menempel di dahi bayi yang lain. Saat dukun melepaskannya, darah bercucuran. Darah ini dianggap pertanda bahwa kelak akan ada perpecahan melalui pertumpahan darah dalam keluarga besar keturunan Qushay ini. Merupakan kebetulan, setelah puluhan tahun berlangsung damai, muncul gugatan terhadap ‘Abdu Dar dari turunan saudara-saudaranya yang lain. Keputusan Qushay tempo hari dianggap keliru, dan ada kesepakatan untuk mengambil kekuasaan dari tangan ‘Abdu Dar. Keluarga ‘Abdu Dar lalu berkumpul dan bertekad akan mempertahankan kekuasaan di tangan mereka. Klan Qushay terbelah dua dan hampir saja terjadi pertumpahan darah bila tak ditengahi pihak lain. Dicapai kesepakatan untuk suatu pembagian tugas baru dalam kekuasaan. ‘Abdu Dar diserahi kewenangan mengatur pertemuan tahunan, upacara perang dan memegang kunci Ka’bah yang kali itu masih berisikan berbagai patung berhala para dewa. Jabatan ini sebenarnya lebih simbolistik. Kekuasaan strategis ada pada ‘Abdu Manaf, yaitu mengatur makan dan minum para pesiarah. Soal minum yang berkaitan dengan penguasaan sumber-sumber air adalah masalah sangat penting dalam suatu wilayah gurun seperti Makkah dan sekitarnya.

Salah satu putera ‘Abdu Manaf yang menonjol adalah Hasyim (kakek buyut Muhammad). Ia dikenal sebagai tokoh pembangunan dan pembaharu seperti Qushay, kakeknya. “Puncak karir Hasyim adalah menentukan rencana perjalanan kafilah, dua kali dalam setahun. Ke selatan di musim dingin dan ke utara di musim panas. Perdagangan jadi aman, teratur dan ramai, karena orang berangkat sekaligus dalam satu kafilah yang besar. Makkah sebagai kota transit kini menyaingi Tha’if dan berkembang lebih pesat. Keempat putera ‘Abdu Manaf ini punya peranan penting bagi pembangunan ekonomi Makkah. Hasyim berdagang ke Syria, Al-Muthalib ke Abyssinia, Nawfal ke Persia dan ‘Abdu Syam ke Yaman”. Tapi keretakan terjadi beberapa tahun kemudian. Hasyim mendapat tantangan dari Umayyah keponakannya sendiri, putera ‘Abdu Syam, tentang siapa yang lebih berhak mengatur kepentingan Makkah. Sengketa diselesaikan melalui hakam, semacam hakim penengah. Sang penengah memutuskan Hasyim yang lebih berhak. Sesuai perjanjian, siapa yang kalah harus menyembelih lima puluh ekor unta dan meninggalkan Makkah selama sepuluh tahun. Umayyah memilih untuk pergi ke Syria selama sepuluh tahun.

Berlanjut ke Bagian 2

Keadilan Sosial Nan Tak Kunjung Tiba (9)

“Perilaku berlebihan bisa dilakukan etnis mana pun, tak terkecuali oleh etnis asli Indonesia, dalam perilaku sehari-hari dalam pola konsumtif misalnya. Tapi bila berbicara mengenai pemberian kesempatan yang tidak adil dan tidak seimbang, masalahnya memang menjadi lain dan bisa terjadi pembelokan ke arah yang tak terduga-duga. Justru dalam berkolusi, ternyata para pelaku dari kalangan kekuasaan memang lebih memilih pengusaha etnis tertentu karena merasa lebih secure”.

TATKALA nasionalisme Indonesia sudah muncul pada tahun 1900-an, terutama semenjak Boedi Oetomo dan Sarekat Dagang Islam makin luas pengaruhnya, Belanda melihatnya sebagai bahaya baru. Belanda yang agak terdesak, memerlukan orang-orang cina untuk menekan arus nasionalisme ini. Terciptalah kerjasama ekonomi antara Belanda dan keturunan cina untuk menghambat nasionalisme ekonomi Indonesia yang mulai tumbuh.

Pada tahun 1918 Volksraad didirikan. Sepuluh persen dari anggota Volksraad adalah orang-orang keturunan cina. Sebenarnya ada sejumlah keturunan cina yang tidak mau berpihak kepada Belanda namun jumlah mereka kecil saja. Mayoritas dari keturunan cina ini beranggapan bahwa jika nasionalisme Indonesia berhasil menciptakan pada akhirnya suatu pemerintahan oleh orang-orang Indonesia, kepentingan ekonomi keturunan cina akan terenggut. Merupakan pula masalah bahwa banyak keturunan cina memiliki superioritas kompleks. Ini ditunjukkan oleh kata-kata seorang tokoh organisasi masyarakat Cina bernama Tjen Tje Som dalam suatu kesempatan di Leiden: “Orang-orang Cina memiliki kebanggaan yang bukan berdasarkan bayangan kosong belaka, karena mereka merupakan putera-putera dari suatu kebudayaan besar yang tak tertandingi dalam sejarah umat manusia. Mereka dilahirkan oleh sejarah yang penuh kegemilangan, keindahan dan kebijaksanaan hingga tak aneh bila putera-puteranya, kapan saja dan dimana saja, memiliki kemungkinan besar yang tak ada batasnya dalam masa yang akan datang”. Tapi harus tetap dicatat bahwa banyak juga orang-orang keturunan cina yang berpihak pada nasionalisme Indonesia setelah mereka sepenuhnya sadar bahwa mereka dilahirkan di Indonesia.

Sejarah ternyata tidak selamanya menyenangkan. Beberapa peristiwa berdarah menyadarkan akan hal tersebut. Sebelum Indonesia diduduki Jepang, kekuatan keturunan cina sebagai masyarakat yang memiliki modal sangat terasa dan diakui. Berkat kesempatan yang diperoleh dari pemerintah Belanda mereka tampil sebagai kekuatan yang demikian besar. Mereka mulai menguasai bank-bank dan berhasil membangun benteng perekonomian yang ampuh yang kadangkala berhasil mendesak orang-orang Eropa. Mereka menjadi kelompok kapitalis yang berdiri di tengah arus tumbuhnya nasionalisme Indonesia. Tidak mengherankan bahwa ketika Jepang menduduki Jawa dan Belanda angkat kaki, maka korban utama pelampiasan kemarahan terpendam adalah orang-orang keturunan cina itu. Pembunuhan atas orang-orang keturunan cina yang disertai berbagai perkosaan digambarkan sebagai suatu tragedi yang sungguh menyedihkan, karena pada waktu itu keadaan sedang vakum. Maka mereka mengharapkan Indonesia segera bebas dari pendudukan Jepang.

Tatkala Jepang bertekuk lutut banyak dari keturunan cina ini mengharapkan tentara pembebasan yang datang adalah tentara Kuomintang dari Tiongkok daratan sebagaimana yang banyak diberitakan sebelumnya. Tapi yang datang ke Indonesia ternyata adalah tentara Inggris dan India yang disusul tentara Belanda. Waktu itu Indonesia sudah memproklamasikan kemerdekaan, dan banyak nasionalis Tiongkok merasa kecewa. Karena sudah meluas anggapan dan prasangka bahwa mereka berpihak kepada Belanda, maka terjadilah berbagai insiden. Insiden pertama meletus bulan Juni tahun 1946 di Tangerang. Dalam suatu peristiwa yang mengerikan, 600 orang keturunan cina terpenggal kepalanya pada waktu itu, sementara rumah-rumah mereka habis dibakar. Maka 25.000 orang keturunan cina di Tangerang mengungsi ke Jakarta setelah 1268 rumah mereka musnah terbakar. Peristiwa itu disusul oleh pembunuhan atas keturunan cina pada tanggal 18 September di Bagansiapi-api. Korbannya mencapai 200 orang keturunan. Peristiwa serupa terjadi di Bangka, Palembang, dan Jember.

Bila di zaman Jepang mereka banyak ditahan karena kegiatannya di pasar-pasar gelap maka di zaman revolusi fisik mereka menjadi korban insiden. Dua hal utama menjadi penyebab. Pertama, karena mereka dicurigai bekerjasama dengan kolonial Belanda. Kedua, superioritas kompleks yang mereka tunjukkan, telah menimbulkan salah paham. Untunglah setelah itu sejarah berjalan dengan lebih ‘damai’. Akan tetapi tak urung pada saat nasionalisme Indonesia menunjukkan penguatan eksklusivisme di tahun-tahun 1960-an, kembali terjadi insiden. Di Bandung 10 Mei 1963, terjadi lagi insiden yang cukup besar yang dianggap beraroma rasial. Lalu sekali lagi meletus sebagai Peristiwa 5 Agustus 1973, meskipun dalam suatu nuansa dengan tali temali sosial yang lebih complicated.

Vreemde Oosterlingen lainnya, keturunan arab, bukannya pula tanpa masalah sama sekali. Beberapa insiden yang mengaitkan etnis ini juga terjadi beberapa kali, kendati tak terlalu mendapat perhatian sebesar bilamana itu menimpa etnis cina. Ini terutama karena posisi ekonomi mereka yang lebih minor ditambah faktor menguntungkan yang berupa ‘kesamaan agama’ dengan mayoritas penduduk. Tercatat suatu peristiwa yang terjadi di Solo yang dipaparkan berikut ini dengan bersumber pada tulisan dan telaah Fuad Hashem dalam Mingguan Mahasiswa Indonesia, 19 September 1971.

Ketika Abdillah yang keturunan arab memukul seorang tukang becak yang ‘mengganggu’ anaknya –sampai-sampai sang tukang becak itu harus masuk rumah sakit– ia barangkali tidak menyangka bahwa ia akan dibalas oleh kawanan tukang becak yang solider. Selesai membawa kawan mereka ke rumah sakit para tukang becak bersama penduduk datang merusak rumah Abdillah. Bahkan mereka membakar pabrik Abdillah dan menghalang-halangi kedatangan petugas pemadam kebakaran. Pihak yang berwajib terpaksa mengerahkan banyak anggota aparat keamanan guna menertibkan suasana. Mengapa gerangan peristiwa kecil itu bisa demikian cepat menjalar dan menjadi masalah besar? Mengapa sampai sedemikian spontannya penduduk bereaksi atas pemukulan oleh Abdillah terhadap tukang becak bernama Gimin yang sebenarnya adalah langganannya sendiri? Mungkin ini bukan sekedar kebetulan, melainkan suatu cetusan rasa permusuhan kelompok yang telah sedemikian lamanya terpendam bagaikan api dalam sekam menunggu hembusan angin.

Sepintas lalu, gerakan yang ditujukan kepada sasaran kelompok keturunan arab, bagai dicari-cari saja. Bukankah mereka adalah rekan seagama yang semestinya bercampur erat dengan penduduk? Kedudukan mereka agak berbeda dengan keturunan cina yang telah berbilang kali mendapat cetusan rasa tak puas sebagian masyarakat dalam aneka bentuk perusakan bernuansa rasialisme. Keturunan arab tercatat jauh lebih jarang dikutik-kutik, bahkan di beberapa tempat tak pernah diganggu sama sekali. Namun penelitian yang lebih dalam mengenai ini, tulis Fuad, menunjukkan lain.

Semenjak Solo menjadi kota industri batik beberapa ratus tahun yang lampau, keturunan arab dan keturunan cina telah membentuk ‘koloni-koloni’ di sana. Pemerintah Belanda membiarkan bahkan memelihara adanya ‘Kampung Arab’ dan ‘Kampung Cina’. Dalam perjalanan masa, sedikit saja yang berubah. Mereka tetap mengasingkan diri, mata pencaharian tradisional terus berlangsung turun temurun. Hampir seluruh anggota masyarakat keturunan arab di Solo adalah pedagang atau pengusaha. Beberapa hasil usaha mereka dalam industri batik, tekstil tenun dan printing, cukup besar dan menjangkau pemasaran  yang luas di seluruh Indonesia. Kedudukan mereka sebagai majikan berhadapan dengan tatanan masyarakat yang dalam jangka waktu panjang ada dalam cengkeraman feodalistis yang serba minus, tempat ber‘sarang’nya rakyat pekerja miskin yang dulu dieksploitir PKI secara politis. Perbedaan tingkat hidup sangat menyolok. Di sebalik tembok belakang rumah-rumah mewah, terdapat pemukiman kumuh tempat hidup penduduk miskin yang semakin miskin karena penghasilan sebagai buruh yang rendah. Hubungan ini berlangsung sedemikian spesifik untuk jangka waktu yang lama: Majikan dengan buruh, pedagang dengan pembeli, pemberi pinjam uang dengan peminjam uang, yang tak pernah dekat hubungannya selain hubungan formal yang seadanya dalam pola antar level.

Kontak sosial sedikit saja berlangsung diantara kelompok suku. Perkawinan sangat jarang terjadi diantara pria keturunan arab dengan pribumi asli. Antara wanita keturunan arab dengan pribumi asli, suatu perkawinan malahan dianggap ‘pantangan keras’ dengan sanksi sosial berat bagi yang melanggarnya. “Hal ini penting dikemukakan”, tulis Fuad Hashem yang adalah orang Indonesia keturunan arab, lebih jauh, “karena masalah rasialisme pada umumnya diselubungi oleh latar belakang sosial ekonomi antara kelompok eksklusif yang tak saling mengenal”. Sekalipun demikian, sebenarnya orang arab tak pernah datang dari negeri leluhurnya dengan isteri mereka. Selain kontak keagamaan sebagai sesama penganut agama Islam, kontak dengan pribumi amat terbatas. Penduduk Solo yang sedikit ‘mengaduk’ kepercayaan warisannya dengan agama Islam yang relatif ‘lebih baru’ usianya, tidaklah cenderung mengidentikkan keturunan arab ini dengan agama yang dibawa Nabi. Terlebih pula, kelompok keturunan arab ini membangun rumah-rumah ibadatnya sendiri dan tidak seluruhnya adalah penganut-penganut yang taat.

“Banyak keturunan mereka adalah hamba-hamba yang tak terdidik, dengan kalangan muda yang menghisap ganja atau minum minuman keras, seperti orang-orang biasa lainnya”. Keterbatasan hubungan dengan dunia luar kelompok mereka, membangkitkan masalah ethnosentrisme –suatu hal yang sebenarnya ‘lumrah’ bagi tiap minoritas. Sikap ini menilai kultur sendiri sebagai yang terbaik dan malahan dijadikan neraca pengukur kebudayaan luar. Pembagian manusia seperti orang Romawi membagi ‘civilized’ dan ‘barbarian’, atau Inggeris menamakan ‘native’ atau Jahudi dengan ‘goyyim’, juga berlaku di kalangan masyarakat arab. ‘Jamaah’ yang artinya ‘kumpulan kita’ adalah istilah untuk kelompok sendiri (ingroup) versus ‘ahwal’. Juga ada ‘hurufi’ atau saudara dari pihak ibu, yang kemudian mendapatkan konotasi jelek. Orang cina pun menamakan orang luar mereka ‘khe’ yang artinya ‘orang gila’ atau barbarian. ‘Ahwal’ diidentikkan dengan jelek, rendah, hina, sedang ‘jamaah’ adalah yang baik dan bagus. Akibatnya, tembok isolasi semakin tebal dan menara ethnosentrisme semakin tinggi.

Namun bila membandingkan ‘peranan’ atau ‘posisi’ politik mereka, anggapan yang dianut dan diyakini itu nampaknya merupakan paradoks. Di negeri leluhur mereka, tidak ada tempat bagi mereka. Di negeri Saudi misalnya, keturunan ini dianggap sebagai ‘Jawiah’ atau ‘Indonesiah’ dan rintangan kultural terlalu besar bagi mereka untuk bersatu kembali. Dengan demikian maka banyak sarjana dari kalangan ‘jamaah’ yang hanya bekerja sementara di sana untuk kemudian pulang lagi ke Indonesia. Hal ini terlihat di Indonesia di dalam sikap mereka ‘yang asli’ dari negeri leluhur cenderung bersikap pro Belanda, sedang mereka yang peranakan tergabung dalam Partai Arab Indonesia yang aktif memperjuangkan kemerdekaan.

Namun, tradisi politik Partai Arab Indonesia ini tak mewaris. Kebanyakan keturunan arab adalah pulau terasing dalam samudera rakyat Indonesia. Dalam masa setelah merdeka, mereka terpecah dalam gerakan-gerakan eksklusif. Kenyataannya mereka terpecah dalam kelompok-kelompok kesukuan berdasar keturunan dari negeri leluhurnya. Ada yang merasa dirinya tinggi sebagai keturunan Nabi dan memandang sebelah mata yang lainnya. Pemisahan antara golongan ini malahan amat kentara dalam perkawinan yang dilarang di kalangan mereka, malahan sampai-sampai terdapat pemisahan di antara lembaga pendidikannya. Namun dalam hubungan keluar, mereka adalah monolitik, yaitu masyarakat ethnosentrisme yang eksklusif. Sebagai konsekuensinya mereka terasing dan tanpa sadar membangun kelompoknya menjadi minoritas. Dan sampai di sini mereka pun bertemu dengan dunia luar yang juga belum siap menerimanya karena berbagai ‘ketidaksiapan sosial’.

Banyak yang telah mencoba melepaskan diri dari lumpur ethnosentrisme ini, dan ada juga yang berhasil. Sampai di mana usaha-usaha membina akulturasi bagi tercapainya harmoni hubungan antar ras lebih banyak bergantung pada masyarakat kelompok eksklusif itu. “Tanpa adanya kesadaran bermasyarakat itu, ancaman goncangan sosial oleh hubungan ketegangan rasial akan tetap laten. Hanya dengan demikian keturunan arab ini dapat menghilangkan rasa asing dalam negeri sendiri karena setidak-tidaknya mereka secara formal adalah anggota keluarga besar Indonesia yang telah dilahirkan, mencari nafkah dan dibesarkan di Indonesia”.

MASALAH-MASALAH sosial yang terkait dengan kepekaan-kepekaan suku, ras dan agama senantiasa menjadi wacana di kalangan mahasiswa di Bandung. Ketidakpuasan-ketidakpuasan terhadap perilaku etnis tertentu juga sering dinyatakan, namun tidak dalam nada yang rasialistis. Perilaku berlebihan bisa dilakukan etnis mana pun, tak terkecuali oleh etnis asli Indonesia, dalam perilaku sehari-hari dalam pola konsumtif misalnya. Tapi bila berbicara mengenai pemberian kesempatan yang tidak adil dan tidak seimbang, masalahnya memang menjadi lain dan bisa terjadi pembelokan ke arah yang tak terduga-duga. Justru dalam berkolusi, ternyata para pelaku dari kalangan kekuasaan memang lebih memilih pengusaha etnis tertentu karena merasa lebih ‘secure’. Persoalannya memang akhirnya terutama terletak pada kebijaksanaan-kebijaksanaan yang dijalankan pemerintah sendiri yang harus memenuhi prinsip keadilan.

Dengan tidak menutup mata terhadap fakta ekses yang banyak dilakukan pengusaha etnis tertentu, maka mahasiswa Bandung dalam berbagai pernyataannya menanggapi kebijaksanaan pemerintah yang tidak adil, tidak pernah tergelincir mempersalahkan pihak mana pun dengan alasan-alasan yang rasialistis. Termasuk dalam menanggapi kerusuhan sosial dalam Peristiwa 5 Agustus 1973. Demikian pula dalam suasana anti Jepang yang mencuat di tahun 1973 itu juga, mahasiswa Bandung tidak pernah menampilkan semangat anti ras, melainkan membatasi diri kepada kecaman terhadap perilaku ekonomi pengusaha-pengusaha Jepang di Indonesia yang sedikit banyaknya memang juga terjadi karena kelonggaran-kelonggaran dalam kebijaksanaan penanaman modal pemerintah yang kurang melindungi kepentingan dalam negeri. Termasuk perlindungan bagi para pengusaha domestik, yang banyak datang menyampaikan keluhan-keluhan kepada para mahasiswa di kampus-kampus utama Bandung.

-Rum Aly