Seringkali Islam tak bisa dikenali lagi dalam bentuknya yang murni namun universal pada saat ini. Perilaku para penganut, orang per orang, sekte per sekte, sempalan demi sempalan, belum lagi pengatasnamaan agama dalam kehidupan politik yang amat duniawi, telah membentuk citra baru yang tak selalu bisa dipahami.
Hasyim beristerikan perempuan bernama Salmah, puteri ‘Amr dari klan Najj’ar, seorang janda kaya dan perempuan yang cerdas dengan sifat yang independen. Hasyim berjumpa dengannya ketika singgah di Yatsrib (Madinah) dalam perjalanan pulang dari Syria, dan terpesona pada pandangan pertama. Ketika Hasyim menyampaikan niat, Salmah mengatakan ia telah bertekad untuk tidak menikah lagi kalau tidak diberi kebebasan yang cukup. Ia bisa minta cerai bilamana merasa tidak kerasan. Hasyim setuju dan merekapun menikah.
Sifat independen Salmah ini amat menarik di tengah suasana sosial kala itu, di mana kaum perempuan, terutama di kalangan akar rumput, selalu ada dalam posisi lemah di bawah hegemoni kaum lelaki. Bahkan kehadiran bayi lelaki selalu disambut gembira, sementara kelahiran bayi perempuan tidak diharapkan. Malahan pernah terjadi seorang lelaki menguburkan bayi perempuannya hidup-hidup tak berapa lama setelah dilahirkan. Pangeran Munzir pernah mempersembahkan anak perempuannya sebagai kurban di depan Ka’bah. Di masyarakat berlaku anggapan bahwa seorang anak perempuan tak berguna karena tak kuat bekerja dan menjadi beban dalam kemiskinan. Bila ada perang, ia hanya memalukan, tak bisa ikut berperang dan juga hanya akan menjadi sasaran seksual serdadu musuh. Perempuan tak diinginkan sebagai anak dalam keluarga sendiri, tetapi kaum lelaki selalu ‘membutuhkan’ anak perempuan orang lain. Beberapa lelaki mengoleksi lebih dari satu perempuan sebagai isteri atau budak untuk tambahan berbagai ‘kebutuhan’.
Tetapi merupakan fenomena menarik bahwa di tengah ketidaksetaraan gender, di kalangan atas banyak ditemukan perempuan-perempuan yang perkasa. Beberapa nama selain Salmah bisa disebutkan, yakni Hindun serta beberapa perempuan peniaga ulung seperti Ummi Hanzaliah yang juga dikenal sebagai Asma’ binti Mukharriba, pedagang parfum. Dan Siti Khadidjah seorang janda yang kemudian hari menjadi isteri pertama Muhammad.
“Salmah mengikuti Hasyim ke Makkah, tetapi kemudian kembali ke Yatsrib. Hasyim sering berkunjung”. Anak pertama mereka seorang perempuan bernama Ruqayyah. Pada tahun 497 H, lahir seorang putera, Syaibah, yang berarti Si Uban. “Dinamakan demikian, karena ada segumpal rambut putih di kepalanya”.
“Dalam perjalanan terakhir ke Syria, Hasyim mampir di Gazza, jatuh sakit dan memberi wasiat. Kalau ia mati hendaknya seluruh kekayaannya diwariskan kepada puteranya Syaibah di Yatsrib”. Hasyim yang relatif masih berusia muda, memang meninggal di Gazza. Al-Muthalib, kakaknya, menggantikan posisinya karena saudaranya yang lain ‘Abdu Syam dianggap tak seberapa berpengaruh. Al-Muthalib memelihara dengan baik apa yang telah dicapai Hasyim, “dan konon ia kaya raya sampai dijuluki Al-Faydh –yang melimpah”. Suatu ketika seseorang mengingatkan padanya tentang Syaibah putera Hasyim. Dengan segera ia ke Yatsrib untuk menjemput. Semula Salmah tak mau melepas sang putera ikut ke Makkah, tetapi demi masa depan Syaibah akhirnya ia mengalah. Tatkala Al-Muthalib tiba di Makkah, dan masyarakat melihat ia memboncengkan Syaibah di untanya, orang-orang yang sedikit terpesona kepada tampilan Syaibah, bersorak “Abd Al-Muthalib!” yang artinya abdi atau hamba Al-Muthalib. Sang paman segera menjelaskan bahwa Syaibah adalah keponakannya, putera Hasyim, bukan seorang hamba. Tetapi entah kenapa, hingga di kemudian hari tetap saya orang-orang memanggil Syaibah sebagai Abdul Muthalib. Nama itupun melekat kepada kakek Muhammad ini untuk seumur hidup.
Abdul Muthalib menggantikan posisi yang pernah dipangku ayah dan pamannya dalam pengaturan kota Makkah. Abdul Muthalib adalah orang yang berhasil menemukan dan menggali kembali mata air zam-zam yang telah tertimbun dan menemukan pedang emas dan pelana emas saat penggalian. Ketika ia berhasil, banyak kalangan keluarga di klan itu memintanya untuk berbagi. Namun melalui upacara panah dewa, semacam ‘undian’ dengan memilih anak-anak panah yang ditulisi ‘ya’ atau ‘tidak’ di depan Ka’bah dengan pengawasan hakam, Abdul Muthalib dinyatakan tetap berhak untuk pengaturan air itu serta berhak menyimpan emas yang ditemukan.
Ada satu kisah lagi mengenai Abdul Muthalib, yang memperlihatkan betapa memang Muhammad ditakdirkan untuk lahir di muka bumi ini. Ketika Abdul Muthalib baru memiliki seorang putera, ia bernazar, bila dianugerahi sepuluh putera ia akan merelakan satu di antaranya sebagai korban kepada Dewa Hubal (yang kala itu disembah penghuni Makkah). Ternyata akhirnya ia memperoleh sepuluh orang putera. Sebagai orang yang teguh kepada janji, Abdul Muthalib dengan hati berat menemui penjaga patung Dewa Hubal. Disiapkan sepuluh batang anak panah dan pada setiap batang dituliskan masing-masing nama anak-anaknya. Ketika anak panah diambil dari kain putih pembungkus, muncul nama Abdullah. “Dengan iba tapi rela, ia menggiring Abdullah ke dekat sumur zam-zam, antara patung Iza’f dan Na’ilah tempat menyembelih kurban”. Menurut cerita, “banyak hadirin gelisah dan mengusulkan supaya ganti saja dengan kurban harta, mungkin dewa mau menerima”. Apalagi memang sudah lama tak ada kurban manusia. Orang-orang berembuk dan datang menemui kahin (juru ramal) perempuan yang termasyhur kala itu di Yatsrib. Kahin mengatakan kurban boleh diganti dengan unta melalui cara mengundi dengan panah dewa di depan Hubal. Digunakan anak panah yang bertuliskan nama Abdullah sedang yang lainnya ‘unta’. Bila nama Abdullah muncul, undian dilanjutkan dengan menambah unta kurban. Nama Abdullah muncul sampai seratus kali, berarti perlu kurban 100 unta. Barulah kemudian muncul panah dengan tulisan ‘unta’. Abdul Muthalib meminta anak panah dikocok lagi untuk meyakinkan, dan sampai tiga kali berturut-turut selalu muncul anak panah bertulisan ‘unta’. Artinya dewa memang meminta hanya 100 unta. Lalu 100 ekor unta pun disembelih.
Kalau dewa ‘memilih’ Abdullah, Muhammad takkan ada di dunia ini karena Abdullah kelak merupakan ayah dari Muhammad. Hanya saja Abdullah berusia cukup ringkas. Ia meninggal dunia saat Muhammad masih dalam kandungan. Saat itu, Abdul Muthalib sudah tua renta, dan kejayaan keluarga sudah pudar. Muhammad pun lahir di masa pudar itu.
Sebuah kisah lainnya, sering dikaitkan dengan ‘takdir’ Muhammad. Saat Abdul Muthalib berusia 73 tahun, pasukan Yaman yang dipimpin Abrahah menyerbu hingga Tha’if dan Makkah. Tujuan penyerbuan itu sebenarnya hanyalah sasaran antara untuk memutuskan jalur kafilah, sebagai bagian dari rencana menyerbu Persia. Tetapi selain motif politik itu, terdapat juga motif ekonomi dan agama. Abrahah yang sedang giat ikut ‘mengembangkan’ agama Kristen, berpretensi membersihkan Makkah yang kala itu dianggap merupakan pusat penyembahan berhala. Ia masuk ke wilayah orang-orang Badui dan kaum Quraisy untuk membebaskan negeri itu. Tujuan utamanya menghancurkan Ka’bah yang menjadi tempat penyimpanan berhala. Ketika masuk ke Tha’if, orang-orang di sana yang ketakutan menyebutkan bahwa tempat penyimpanan berhala mereka Al-Lat bukanlah Ka’bah, lalu menunjukkan bahwa Ka’bah itu adanya di Makkah. Dalam perjalanan ke Makkah bala tentara Abrahah yang membawa gajah sebagai pendobrak menyita harta-harta orang Badui, termasuk 100 ekor unta milik Abdul Muthalib. Sewaktu pasukan gajah itu sudah diambang Makkah seorang utusan bernama Hunatah dikirim menemui Abdul Muthalib menyampaikan pesan bahwa para penyerbu tak ingin mengobarkan perang melainkan hanya akan menghancurkan Ka’bah. Abdul Muthalib menawarkan harta dan wilayah Tihamah, asalkan Ka’bah dan isinya tidak dihancurkan. Tetapi tawaran itu ditolak Abrahah.
Penduduk segera mengungsi meninggalkan Makkah. Penggunaan gajah sangat menakutkan penduduk. Abdul Muthalib dan sejumlah pemuka menyempatkan diri berdoa di depan Ka’bah untuk terakhir kalinya. Tetapi tiba-tiba terjadi suatu peristiwa tak disangka-sangka, para serdadu Abrahah terserang wabah penyakit pes yang gejalanya memuncak persis pada momen yang genting. Para serdadu itu ganti berganti jatuh tersungkur di jalan-jalan kota Makkah. Bahkan gajah yang akan dipakai untuk mendobrak dan menghancurkan Ka’bah, duduk tak mau berdiri. Sang gajah baru mau pulang ketika ia diperintahkan ke arah selatan menuju jalan pulang. Dengan terseok-seok para serdadu Abrahah beriringan meninggalkan Makkah. Kota ini terhindar dari malapetaka pendudukan. Dalam bukunya A History of Medieval Islam, 1965, Professor JJ Saunders menulis, “Andai saja Abrahah menduduki Makkah, maka seluruh jazirah Arab ini akan diterobos oleh penyebaran Kristen, tanda salib akan menjulang di Makkah dan Muhammad mungkin akan mati sebagai pastur atau pendeta”. Namun, pada sisi lain, lolosnya Ka’bah dari penghancuran pasukan gajah Abrahah telah memberi angin kepada kaum penyembah berhala untuk melanjutkan kepercayaan mereka.
DARI sejarah menjelang kenabian Muhammad, terlihat sejumlah fakta sosial yang menarik. Sementara suku-suku Badui hidup dalam pengembaraan dengan fakta kehidupan yang keras, masyarakat perkotaan seperti di Makkah dan Tha’if, penuh kepincangan sosial. Kekayaan terkumpul di tangan klan-klan penguasa saja. Klan-klan penguasa umumnya tak mampu menjamin keamanan masyarakat dari berbagai gangguan penyamun dan penjarahan. Kalaupun kemudian ada pengaturan-pengaturan itu lebih merupakan untuk kepentingan ekonomi, seperti misalnya pengaturan pengamanan kafilah-kafilah perdagangan. Kehidupan tidak sakinah hingga di keluarga sebagai satuan terkecil masyarakat. Intrik selalu terjadi di antara klan-klan. Tak ada keadilan gender. Perbudakan berjalan tanpa halangan.
Dalam masa kenabiannya, Muhammad SAW banyak melakukan pembaharuan untuk merubah keburukan-keburukan dalam kehidupan sosial. Keadilan gender lebih diperbaiki namun sampai nabi berpulang masih banyak permasalahan belum sempat dituntaskan dan atau kembali memburuk sepeninggal nabi. Nabi Muhammad misalnya berhasil meredam kecenderungan poligami kaum lelaki. Bila sebelumnya seorang lelaki bisa mengambil isteri dan gundik-gundik dalam jumlah tak terbatas, Nabi Muhammad menyederhanakannya dari tak terbatas menjadi maksimal empat yang itupun disertai syarat-syarat keadilan bagi para isteri. Seandainya, masih punya kesempatan, sifat kenabian kemungkinan besar akan membawa Muhammad kepada penghapusan poligami. Muhammad juga menganjurkan pernikahan-pernikahan dilakukan terbuka tidak diam-diam (nikah siri) demi kepentingan silsilah dan kejelasan hak waris. Nikah siri punya pengertian harfiah diam-diam. Siri berasal dari kata Arab sir yang berarti diam-diam.
Muhammad juga menegaskan keadilan sosial dalam masyarakat, persaudaraan, dan mengajarkan sikap tidak rasialis yang terbukti dengan kehadiran Bilal yang mendapat tempat terhormat, serta penghapusan perbudakan. Muhammad adalah termasuk orang yang sangat menganjurkan penghormatan kepada hak azasi manusia. Nabi Muhammad juga adalah seorang yang pluralis dalam konteks agama. “Bagimu adalah agamamu, bagiku adalah agamaku”. Ia tak pernah menjelekkan agama lain, mengajarkan untuk juga menghormati kita-kitab suci lain, selalu bersikap bersahabat dengan para pemeluk agama lain. Nabi Muhammad tak pernah punya pretensi tentang kenabiannya, karena dengan rendah hati ia hanya memposisikan diri sekedar sebagai pembawa pesan, sebagai ‘pemberi ingat’ kepada sesama manusia.
TERDAPAT jarak waktu lima belas abad lamanya yang memisahkan kita yang hidup di masa ini dengan masa kenabian Muhammad SAW. Banyak yang terjadi dalam jangka masa yang begitu panjangnya itu, dalam konteks citra dan kebenaran agama yang diturunkan olehNya melalui Muhammad. Tetapi jangankan seribu lima ratus tahun, dalam dua puluh lima tahun pertama sepeninggal Muhammad, meminjam alur catatan almarhum Fuad Hashem, berbagai warna kepentingan politik mulai menodai cerita-cerita penegakan Islam yang bersih melalui aneka kekerasan dan pertumpahan darah. “Sudah menjadi rahasia umum bahwa dalam pertumpahan darah dan perang saudara, panji-panji standar moral yang ditegakkan agama, untuk sementara diturunkan”. Kepentingan politik zaman itu dapat membingungkan kita sekarang. Tetapi ternyata apa yang terjadi dalam dua puluh lima tahun pertama itu, senantiasa berulang dan berulang, entah dalam siklus limapuluh tahunan, entah dalam siklus abad. Seringkali Islam tak bisa dikenali lagi dalam bentuknya yang murni namun universal pada saat ini. Perilaku para penganut, orang per orang, sekte per sekte, sempalan demi sempalan, belum lagi pengatasnamaan agama dalam kehidupan politik yang amat duniawi, telah membentuk citra baru yang tak selalu bisa dipahami. Berbagai legenda dan mitos yang adalah buatan para penganut sendiri telah bercampur aduk dengan berbagai perilaku ekses dari masa ke masa. Padahal seperti dikatakan pada bagian-bagian awal Muhammad adalah seorang Nabi yang lahir dalam sorotan sejarah yang terang benderang, seorang tokoh historis yang eksistensi dirinya dan dasar-dasar pesan pengingat yang dibawakannya sangat jelas.