Keadilan Sosial Nan Tak Kunjung Tiba (9)

“Perilaku berlebihan bisa dilakukan etnis mana pun, tak terkecuali oleh etnis asli Indonesia, dalam perilaku sehari-hari dalam pola konsumtif misalnya. Tapi bila berbicara mengenai pemberian kesempatan yang tidak adil dan tidak seimbang, masalahnya memang menjadi lain dan bisa terjadi pembelokan ke arah yang tak terduga-duga. Justru dalam berkolusi, ternyata para pelaku dari kalangan kekuasaan memang lebih memilih pengusaha etnis tertentu karena merasa lebih secure”.

TATKALA nasionalisme Indonesia sudah muncul pada tahun 1900-an, terutama semenjak Boedi Oetomo dan Sarekat Dagang Islam makin luas pengaruhnya, Belanda melihatnya sebagai bahaya baru. Belanda yang agak terdesak, memerlukan orang-orang cina untuk menekan arus nasionalisme ini. Terciptalah kerjasama ekonomi antara Belanda dan keturunan cina untuk menghambat nasionalisme ekonomi Indonesia yang mulai tumbuh.

Pada tahun 1918 Volksraad didirikan. Sepuluh persen dari anggota Volksraad adalah orang-orang keturunan cina. Sebenarnya ada sejumlah keturunan cina yang tidak mau berpihak kepada Belanda namun jumlah mereka kecil saja. Mayoritas dari keturunan cina ini beranggapan bahwa jika nasionalisme Indonesia berhasil menciptakan pada akhirnya suatu pemerintahan oleh orang-orang Indonesia, kepentingan ekonomi keturunan cina akan terenggut. Merupakan pula masalah bahwa banyak keturunan cina memiliki superioritas kompleks. Ini ditunjukkan oleh kata-kata seorang tokoh organisasi masyarakat Cina bernama Tjen Tje Som dalam suatu kesempatan di Leiden: “Orang-orang Cina memiliki kebanggaan yang bukan berdasarkan bayangan kosong belaka, karena mereka merupakan putera-putera dari suatu kebudayaan besar yang tak tertandingi dalam sejarah umat manusia. Mereka dilahirkan oleh sejarah yang penuh kegemilangan, keindahan dan kebijaksanaan hingga tak aneh bila putera-puteranya, kapan saja dan dimana saja, memiliki kemungkinan besar yang tak ada batasnya dalam masa yang akan datang”. Tapi harus tetap dicatat bahwa banyak juga orang-orang keturunan cina yang berpihak pada nasionalisme Indonesia setelah mereka sepenuhnya sadar bahwa mereka dilahirkan di Indonesia.

Sejarah ternyata tidak selamanya menyenangkan. Beberapa peristiwa berdarah menyadarkan akan hal tersebut. Sebelum Indonesia diduduki Jepang, kekuatan keturunan cina sebagai masyarakat yang memiliki modal sangat terasa dan diakui. Berkat kesempatan yang diperoleh dari pemerintah Belanda mereka tampil sebagai kekuatan yang demikian besar. Mereka mulai menguasai bank-bank dan berhasil membangun benteng perekonomian yang ampuh yang kadangkala berhasil mendesak orang-orang Eropa. Mereka menjadi kelompok kapitalis yang berdiri di tengah arus tumbuhnya nasionalisme Indonesia. Tidak mengherankan bahwa ketika Jepang menduduki Jawa dan Belanda angkat kaki, maka korban utama pelampiasan kemarahan terpendam adalah orang-orang keturunan cina itu. Pembunuhan atas orang-orang keturunan cina yang disertai berbagai perkosaan digambarkan sebagai suatu tragedi yang sungguh menyedihkan, karena pada waktu itu keadaan sedang vakum. Maka mereka mengharapkan Indonesia segera bebas dari pendudukan Jepang.

Tatkala Jepang bertekuk lutut banyak dari keturunan cina ini mengharapkan tentara pembebasan yang datang adalah tentara Kuomintang dari Tiongkok daratan sebagaimana yang banyak diberitakan sebelumnya. Tapi yang datang ke Indonesia ternyata adalah tentara Inggris dan India yang disusul tentara Belanda. Waktu itu Indonesia sudah memproklamasikan kemerdekaan, dan banyak nasionalis Tiongkok merasa kecewa. Karena sudah meluas anggapan dan prasangka bahwa mereka berpihak kepada Belanda, maka terjadilah berbagai insiden. Insiden pertama meletus bulan Juni tahun 1946 di Tangerang. Dalam suatu peristiwa yang mengerikan, 600 orang keturunan cina terpenggal kepalanya pada waktu itu, sementara rumah-rumah mereka habis dibakar. Maka 25.000 orang keturunan cina di Tangerang mengungsi ke Jakarta setelah 1268 rumah mereka musnah terbakar. Peristiwa itu disusul oleh pembunuhan atas keturunan cina pada tanggal 18 September di Bagansiapi-api. Korbannya mencapai 200 orang keturunan. Peristiwa serupa terjadi di Bangka, Palembang, dan Jember.

Bila di zaman Jepang mereka banyak ditahan karena kegiatannya di pasar-pasar gelap maka di zaman revolusi fisik mereka menjadi korban insiden. Dua hal utama menjadi penyebab. Pertama, karena mereka dicurigai bekerjasama dengan kolonial Belanda. Kedua, superioritas kompleks yang mereka tunjukkan, telah menimbulkan salah paham. Untunglah setelah itu sejarah berjalan dengan lebih ‘damai’. Akan tetapi tak urung pada saat nasionalisme Indonesia menunjukkan penguatan eksklusivisme di tahun-tahun 1960-an, kembali terjadi insiden. Di Bandung 10 Mei 1963, terjadi lagi insiden yang cukup besar yang dianggap beraroma rasial. Lalu sekali lagi meletus sebagai Peristiwa 5 Agustus 1973, meskipun dalam suatu nuansa dengan tali temali sosial yang lebih complicated.

Vreemde Oosterlingen lainnya, keturunan arab, bukannya pula tanpa masalah sama sekali. Beberapa insiden yang mengaitkan etnis ini juga terjadi beberapa kali, kendati tak terlalu mendapat perhatian sebesar bilamana itu menimpa etnis cina. Ini terutama karena posisi ekonomi mereka yang lebih minor ditambah faktor menguntungkan yang berupa ‘kesamaan agama’ dengan mayoritas penduduk. Tercatat suatu peristiwa yang terjadi di Solo yang dipaparkan berikut ini dengan bersumber pada tulisan dan telaah Fuad Hashem dalam Mingguan Mahasiswa Indonesia, 19 September 1971.

Ketika Abdillah yang keturunan arab memukul seorang tukang becak yang ‘mengganggu’ anaknya –sampai-sampai sang tukang becak itu harus masuk rumah sakit– ia barangkali tidak menyangka bahwa ia akan dibalas oleh kawanan tukang becak yang solider. Selesai membawa kawan mereka ke rumah sakit para tukang becak bersama penduduk datang merusak rumah Abdillah. Bahkan mereka membakar pabrik Abdillah dan menghalang-halangi kedatangan petugas pemadam kebakaran. Pihak yang berwajib terpaksa mengerahkan banyak anggota aparat keamanan guna menertibkan suasana. Mengapa gerangan peristiwa kecil itu bisa demikian cepat menjalar dan menjadi masalah besar? Mengapa sampai sedemikian spontannya penduduk bereaksi atas pemukulan oleh Abdillah terhadap tukang becak bernama Gimin yang sebenarnya adalah langganannya sendiri? Mungkin ini bukan sekedar kebetulan, melainkan suatu cetusan rasa permusuhan kelompok yang telah sedemikian lamanya terpendam bagaikan api dalam sekam menunggu hembusan angin.

Sepintas lalu, gerakan yang ditujukan kepada sasaran kelompok keturunan arab, bagai dicari-cari saja. Bukankah mereka adalah rekan seagama yang semestinya bercampur erat dengan penduduk? Kedudukan mereka agak berbeda dengan keturunan cina yang telah berbilang kali mendapat cetusan rasa tak puas sebagian masyarakat dalam aneka bentuk perusakan bernuansa rasialisme. Keturunan arab tercatat jauh lebih jarang dikutik-kutik, bahkan di beberapa tempat tak pernah diganggu sama sekali. Namun penelitian yang lebih dalam mengenai ini, tulis Fuad, menunjukkan lain.

Semenjak Solo menjadi kota industri batik beberapa ratus tahun yang lampau, keturunan arab dan keturunan cina telah membentuk ‘koloni-koloni’ di sana. Pemerintah Belanda membiarkan bahkan memelihara adanya ‘Kampung Arab’ dan ‘Kampung Cina’. Dalam perjalanan masa, sedikit saja yang berubah. Mereka tetap mengasingkan diri, mata pencaharian tradisional terus berlangsung turun temurun. Hampir seluruh anggota masyarakat keturunan arab di Solo adalah pedagang atau pengusaha. Beberapa hasil usaha mereka dalam industri batik, tekstil tenun dan printing, cukup besar dan menjangkau pemasaran  yang luas di seluruh Indonesia. Kedudukan mereka sebagai majikan berhadapan dengan tatanan masyarakat yang dalam jangka waktu panjang ada dalam cengkeraman feodalistis yang serba minus, tempat ber‘sarang’nya rakyat pekerja miskin yang dulu dieksploitir PKI secara politis. Perbedaan tingkat hidup sangat menyolok. Di sebalik tembok belakang rumah-rumah mewah, terdapat pemukiman kumuh tempat hidup penduduk miskin yang semakin miskin karena penghasilan sebagai buruh yang rendah. Hubungan ini berlangsung sedemikian spesifik untuk jangka waktu yang lama: Majikan dengan buruh, pedagang dengan pembeli, pemberi pinjam uang dengan peminjam uang, yang tak pernah dekat hubungannya selain hubungan formal yang seadanya dalam pola antar level.

Kontak sosial sedikit saja berlangsung diantara kelompok suku. Perkawinan sangat jarang terjadi diantara pria keturunan arab dengan pribumi asli. Antara wanita keturunan arab dengan pribumi asli, suatu perkawinan malahan dianggap ‘pantangan keras’ dengan sanksi sosial berat bagi yang melanggarnya. “Hal ini penting dikemukakan”, tulis Fuad Hashem yang adalah orang Indonesia keturunan arab, lebih jauh, “karena masalah rasialisme pada umumnya diselubungi oleh latar belakang sosial ekonomi antara kelompok eksklusif yang tak saling mengenal”. Sekalipun demikian, sebenarnya orang arab tak pernah datang dari negeri leluhurnya dengan isteri mereka. Selain kontak keagamaan sebagai sesama penganut agama Islam, kontak dengan pribumi amat terbatas. Penduduk Solo yang sedikit ‘mengaduk’ kepercayaan warisannya dengan agama Islam yang relatif ‘lebih baru’ usianya, tidaklah cenderung mengidentikkan keturunan arab ini dengan agama yang dibawa Nabi. Terlebih pula, kelompok keturunan arab ini membangun rumah-rumah ibadatnya sendiri dan tidak seluruhnya adalah penganut-penganut yang taat.

“Banyak keturunan mereka adalah hamba-hamba yang tak terdidik, dengan kalangan muda yang menghisap ganja atau minum minuman keras, seperti orang-orang biasa lainnya”. Keterbatasan hubungan dengan dunia luar kelompok mereka, membangkitkan masalah ethnosentrisme –suatu hal yang sebenarnya ‘lumrah’ bagi tiap minoritas. Sikap ini menilai kultur sendiri sebagai yang terbaik dan malahan dijadikan neraca pengukur kebudayaan luar. Pembagian manusia seperti orang Romawi membagi ‘civilized’ dan ‘barbarian’, atau Inggeris menamakan ‘native’ atau Jahudi dengan ‘goyyim’, juga berlaku di kalangan masyarakat arab. ‘Jamaah’ yang artinya ‘kumpulan kita’ adalah istilah untuk kelompok sendiri (ingroup) versus ‘ahwal’. Juga ada ‘hurufi’ atau saudara dari pihak ibu, yang kemudian mendapatkan konotasi jelek. Orang cina pun menamakan orang luar mereka ‘khe’ yang artinya ‘orang gila’ atau barbarian. ‘Ahwal’ diidentikkan dengan jelek, rendah, hina, sedang ‘jamaah’ adalah yang baik dan bagus. Akibatnya, tembok isolasi semakin tebal dan menara ethnosentrisme semakin tinggi.

Namun bila membandingkan ‘peranan’ atau ‘posisi’ politik mereka, anggapan yang dianut dan diyakini itu nampaknya merupakan paradoks. Di negeri leluhur mereka, tidak ada tempat bagi mereka. Di negeri Saudi misalnya, keturunan ini dianggap sebagai ‘Jawiah’ atau ‘Indonesiah’ dan rintangan kultural terlalu besar bagi mereka untuk bersatu kembali. Dengan demikian maka banyak sarjana dari kalangan ‘jamaah’ yang hanya bekerja sementara di sana untuk kemudian pulang lagi ke Indonesia. Hal ini terlihat di Indonesia di dalam sikap mereka ‘yang asli’ dari negeri leluhur cenderung bersikap pro Belanda, sedang mereka yang peranakan tergabung dalam Partai Arab Indonesia yang aktif memperjuangkan kemerdekaan.

Namun, tradisi politik Partai Arab Indonesia ini tak mewaris. Kebanyakan keturunan arab adalah pulau terasing dalam samudera rakyat Indonesia. Dalam masa setelah merdeka, mereka terpecah dalam gerakan-gerakan eksklusif. Kenyataannya mereka terpecah dalam kelompok-kelompok kesukuan berdasar keturunan dari negeri leluhurnya. Ada yang merasa dirinya tinggi sebagai keturunan Nabi dan memandang sebelah mata yang lainnya. Pemisahan antara golongan ini malahan amat kentara dalam perkawinan yang dilarang di kalangan mereka, malahan sampai-sampai terdapat pemisahan di antara lembaga pendidikannya. Namun dalam hubungan keluar, mereka adalah monolitik, yaitu masyarakat ethnosentrisme yang eksklusif. Sebagai konsekuensinya mereka terasing dan tanpa sadar membangun kelompoknya menjadi minoritas. Dan sampai di sini mereka pun bertemu dengan dunia luar yang juga belum siap menerimanya karena berbagai ‘ketidaksiapan sosial’.

Banyak yang telah mencoba melepaskan diri dari lumpur ethnosentrisme ini, dan ada juga yang berhasil. Sampai di mana usaha-usaha membina akulturasi bagi tercapainya harmoni hubungan antar ras lebih banyak bergantung pada masyarakat kelompok eksklusif itu. “Tanpa adanya kesadaran bermasyarakat itu, ancaman goncangan sosial oleh hubungan ketegangan rasial akan tetap laten. Hanya dengan demikian keturunan arab ini dapat menghilangkan rasa asing dalam negeri sendiri karena setidak-tidaknya mereka secara formal adalah anggota keluarga besar Indonesia yang telah dilahirkan, mencari nafkah dan dibesarkan di Indonesia”.

MASALAH-MASALAH sosial yang terkait dengan kepekaan-kepekaan suku, ras dan agama senantiasa menjadi wacana di kalangan mahasiswa di Bandung. Ketidakpuasan-ketidakpuasan terhadap perilaku etnis tertentu juga sering dinyatakan, namun tidak dalam nada yang rasialistis. Perilaku berlebihan bisa dilakukan etnis mana pun, tak terkecuali oleh etnis asli Indonesia, dalam perilaku sehari-hari dalam pola konsumtif misalnya. Tapi bila berbicara mengenai pemberian kesempatan yang tidak adil dan tidak seimbang, masalahnya memang menjadi lain dan bisa terjadi pembelokan ke arah yang tak terduga-duga. Justru dalam berkolusi, ternyata para pelaku dari kalangan kekuasaan memang lebih memilih pengusaha etnis tertentu karena merasa lebih ‘secure’. Persoalannya memang akhirnya terutama terletak pada kebijaksanaan-kebijaksanaan yang dijalankan pemerintah sendiri yang harus memenuhi prinsip keadilan.

Dengan tidak menutup mata terhadap fakta ekses yang banyak dilakukan pengusaha etnis tertentu, maka mahasiswa Bandung dalam berbagai pernyataannya menanggapi kebijaksanaan pemerintah yang tidak adil, tidak pernah tergelincir mempersalahkan pihak mana pun dengan alasan-alasan yang rasialistis. Termasuk dalam menanggapi kerusuhan sosial dalam Peristiwa 5 Agustus 1973. Demikian pula dalam suasana anti Jepang yang mencuat di tahun 1973 itu juga, mahasiswa Bandung tidak pernah menampilkan semangat anti ras, melainkan membatasi diri kepada kecaman terhadap perilaku ekonomi pengusaha-pengusaha Jepang di Indonesia yang sedikit banyaknya memang juga terjadi karena kelonggaran-kelonggaran dalam kebijaksanaan penanaman modal pemerintah yang kurang melindungi kepentingan dalam negeri. Termasuk perlindungan bagi para pengusaha domestik, yang banyak datang menyampaikan keluhan-keluhan kepada para mahasiswa di kampus-kampus utama Bandung.

-Rum Aly

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s