Tag Archives: Cikeusik

Kaum Ahmadiyah dan Politik Menteri Agama (1)

“Ya, Ahmadiyah memiliki kedekatan, namun saya tidak setuju dengan pengkramatan Mirza Ahmad. Tetapi kita seharusnya mengagumi Ahmadiyah dengan cara mereka menyebarkan agama di India yang terus berkembang”, Bung Karno (Di Bawah Bendera Revolusi).

SETAHUN lebih sudah peristiwa kerusuhan penyerangan yang menewaskan tiga orang warga Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang Banten (6 Februari 2011) berlalu, tapi hingga kini mereka yang terusir belum dapat pulang ke kampung halamannya. Tim pendamping warga Ahmadiyah, Firdaus Mubarik, mengatakan kepada wartawan di kantor YLBHI, hingga saat ini pemerintah tidak dapat memberikan keadilan dan perlindungan kepada para korban. Selain intimidasi, ketakutan warga Ahmadiyah bertambah dengan kabar, bahwa tanah dan bangunan milik mereka akan dijual oleh oknum tanpa persetujuan mereka. (VoaNews.com, Jakarta, Senin, 06 Februari 2012).

MIRZA GHULAM AHMAD. “..dia mengklaim bahwa dirinya adalah seorang mujaddid (pembaru), dan pada tahap berikutnya dia mengklaim lagi dirinya sebagai Mahdi Al-Muntazhar (Imam Mahdi yang ditunggu) dan Masih Al-Maud (Nabi Isa yang dijanjikan akan turun ke bumi). Lalu setelah itu, lebih jauh lagi ia mengaku sebagai nabi, dan menyatakan bahwa kenabiannya lebih tinggi dan agung dari kenabian Nabi Muhammad SAW”. (gambar download)

Untuk kejadian itu, para pelaku serangan tersebut divonis hanya antara tiga hingga enam bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Banten, dengan dakwaan membawa senjata tajam dan mengganggu ketertiban umum. Karena pembunuhan itu tidak dianggap sebagai kejahatan, tidak heran bila penyerangan terhadap warga Ahmadiyah terus berlangsung di tempat lain. Inilah salah satu dari sekian banyak fenomena kekerasan beragama yang terjadi di Indonesia, yang sebelumnya konon dikenal sebagai contoh Islam yang santun.

Hilangnya kemerdekaan beragama tanpa proses pengadilan yang benar, karena membiarkan keinginan sekelompok orang yang mengaku lebih berhak menentukan nasib seeorang dalam beragama, bisa berakibat fatal. Di mana fungsi Menteri Agama, yang seharusnya melindungi umat?

Pembaru dari India
Ahmadiyah adalah gerakan pembaruan agama Islam di India, yang dirintis oleh Mirza Ghulam Ahmad Al-Qadiyani (1835-1908) yang dilahirkan di Desa Qadian, di wilayah Punjab, India, dengan tujuan mengatasi krisis sosial umat Islam akibat tekanan penjajahan Inggris. Qadian terletak 57 km sebelah Timur kota Lahore, dan 24 km dari kota Amritsar di provinsi Punjab. Pada awalnya, ia berdakwah sebagaimana para dai yang lain, tetapi ditambah dengan cara yang lebih kreatif melalui buku yang menyebar lagi lebih luas, sehingga terkumpul di sekelilingnya orang-orang yang mendukungnya. Continue reading Kaum Ahmadiyah dan Politik Menteri Agama (1)

Sebuah Permainan Bernama ‘Divide et Impera’

SEBENARNYA ini permainan orang Belanda zaman dulu, mulai dipraktekkan VOC di Indonesia. Namanya divide et impera, ‘pecah belah dan kuasai’. Akar ilmunya mungkin datang dari Niccolo Machiavelli yang mengajarkan kalangan penguasa untuk memelihara konflik di lingkaran pendukungnya sendiri maupun di kalangan rakyat. Jangan biarkan tercipta kesatupaduan, agar mudah melakukan pengendalian.

Dalam memperluas pengaruh dan wilayah kekuasaannya di Nusantara atau Hindia Belanda ini, kaum kolonial memanfaatkan segala sifat buruk yang dimiliki para ‘pribumi’, seperti sifat dengki, khianat, tamak, mudah diadu-domba dan mudah disuap. Bersamaan dengan itu segala faktor disintegrasi yang dimiliki manusia Indonesia selalu dikobar-kobarkan, baik perbedaan suku, maupun agama dan ras. Itulah sebabnya, dengan personil serdadu yang sedikit, kaum kolonial selalu bisa mengendalikan kekuatan pribumi, selama 350 tahun lamanya di berbagai wilayah Nusantara. Untuk memerangi Aceh, kolonial Belanda menggunakan pasukan ‘marsose’ hasil rekrutmen dari berbagai suku luar Aceh, sedang untuk Sumatera Barat mereka menggunakan tenaga-tenaga bukan Sumatera Barat. Sehingga, pada hakekatnya, yang terjadi adalah rakyat Nusantara memerangi sesama rakyat Nusantara.

ATRAKSI ADU DOMBA. “Belum lagi berbagai taktik adu domba dan pembiaran terjadinya konflik fisik antar kelompok masyarakat seperti dalam sengketa-sengketa tanah di Sumatera Utara, Sumatera Selatan dan Lampung (Mesuji). Dalam peristiwa-peristiwa tersebut, masyarakat berhadapan dengan barisan satuan pengamanan (Pam Swakarsa) yang notabene juga adalah masyarakat, untuk berbunuh-bunuhan”. (download klinik fotografi Kompas).

Permainan ala kolonial Belanda itu, berkali-kali digunakan kalangan penguasa di masa Indonesia merdeka, hingga kini. Para penguasa Indonesia seakan telah bermutasi dan menjelma sebagai penjajah baru bagi bangsanya sendiri. Beberapa hari yang lalu, dua barisan massa yang berbeda sikap dan kepentingan dalam kasus sengketa agraria di Lampung, diberi izin polisi melakukan unjuk rasa di tempat dan jam yang sama. Satu barisan massa datang dengan tuntutan diberi dan diakui haknya atas lahan di wilayah yang disebut Register 45, sementara kelompok lainnya datang dengan dukungan kepada pemda dan menyampaikan tuntutan agar mereka yang menempati Register 45 itu diusir. Memang, kedua kelompok dipagari dan dipisahkan oleh barisan petugas, namun tercipta situasi saling gertak dan saling ancam.

Tahun lalu, ketika mahasiswa Makassar melakukan rangkaian unjuk rasa dalam kaitan kasus Bank Century, berkali-kali kepolisian setempat memperhadapkan mahasiswa dengan massa kontra yang katanya merasa jengkel dan terganggu oleh aksi-aksi mahasiswa. Seakan-akan polisi ‘melepaskan’ massa kontra itu untuk melakukan serangan balik kepada mahasiswa. Massa sempat merangsek dan memukul mundur barisan mahasiswa kembali ke dalam kampus. Terjadi perang batu di antara dua kelompok.

Untuk menghadapi barisan mahasiswa sekitar tahun 1998, seperti dalam Peristiwa Semanggi I dan II, penguasa mengerahkan barisan Pam Swakarsa yang adalah semacam kelompok milisi, hasil rekrut dari sejumlah ormas.

Berkali-kali, dalam dua tahun terakhir, polisi memberi izin unjuk rasa di tempat dan waktu yang sama pada dua kelompok yang nyata-nyata berbeda tujuan dan kemauan, seperti misalnya di depan gedung KPK atau di Bundaran HI. Agaknya ini sudah menjadi salah satu pola polisi dan penguasa dalam menghadapi massa pemrotes, selain menggunakan kekerasan fisik langsung. Saksikan saja di televisi berbagai adegan keganasan polisi terhadap pelaku unjuk rasa yang dibekuknya: menampar, menendang, menginjak dan menghajar dengan popor senjata. Bila perlu menembakkan peluru tajam langsung ke arah kerumunan massa. Terbaru, kasus Bima. Menurut beberapa tokoh sepuh, polisi kolonial Belanda pun kalah ganas, dan setanding dengan Kenpeitai tentara pendudukan Jepang 1942-1945.

Belum lagi berbagai taktik adu domba dan pembiaran terjadinya konflik fisik antar kelompok masyarakat seperti dalam sengketa-sengketa tanah di Sumatera Utara, Sumatera Selatan dan Lampung (Mesuji). Dalam peristiwa-peristiwa tersebut, masyarakat berhadapan dengan barisan satuan pengamanan (Pam Swakarsa) yang notabene juga adalah anggota masyarakat, untuk berbunuh-bunuhan. Entah pula dalam bentrokan antar masyarakat di kota Palu pekan-pekan lalu ini. Apakah kasus semacam penyerangan terhadap kelompok Ahmadiyah di Cikeusik oleh massa lainnya, atau penyerangan pesantren beraliran Syiah di Madura beberapa waktu lalu, juga termasuk dalam pembiaran?

Kebijakan-kebijakan pengamanan yang berbau divide et impera ini, yang memperhadapkan rakyat melawan rakyat, perlu menjadi perhatian. Ada apa sebenarnya? Apakah kalangan penguasa negara ini sudah sampai pada fase menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan? Lalu apa yang sesungguhnya ada di dalam kepala para penentu kebijakan –tepatnya taktik– bidang keamanan itu?

‘Campur Sari’ Arogansi, Despotisme dan Playgroup Politik (2)

Despotisme ala PSSI. Tak salah lagi, PSSI di bawah Nurdin Khalid –yang di masa jabatan keduanya sebagai Ketua Umum didampingi eks aktivis 1966 Nugraha Besoes sebagai Sekertaris Jenderal– kini telah menjelma menjadi semacam laboratorium despotisme alias memimpin dan memerintah dengan sewenang-wenang. Nurdin Khalid yang kini namanya sering di’pleset’kan di dunia maya sebagai Nurdin Khadafy Khalid, adalah lulusan Institut Keguruan Ilmu Pendidikan (IKIP) Makassar.

Baru lulus, Nurdin yang tampaknya enggan menjadi guru (sebagaimana harusnya lulusan IKIP) menerima tawaran menjadi pengurus KUD (Koperasi Unit Desa) di pedalaman Sulawesi Selatan. Rupanya Nurdin kuat juga tekanan adrenalinnya, sehingga ia cepat menapak ke atas dan akhirnya menjadi Ketua INKUD. Bertepatan waktu dengan kehadiran BPPC Tommy Soeharto yang menguasai perdagangan cengkeh. Kerjasama BPPC dengan INKUD antara lain memberi hasil akhir bagi pribadi Nurdin sebagai milyarder rupiah. Tetapi posisi di induk koperasi itu juga membawa Nurdin Khalid ke pengelolaan komoditi bahan pokok lain seperti minyak goreng yang membawa Nurdin ke balik jeruji sel penjara. Menurut kabar, masih ada proses penanganan perkara korupsi lainnya yang sedang menunggu Nurdin Khalid.

MENGHINDARI SOCIAL CONTROL. “Kalau anda menduduki jabatan publik… perbuatan dan perkataan anda harus memperhitungkan pikiran, etika dan rasa kepantasan publik serta memahami tanggungjawab berdasarkan nilai-nilai kebenaran umum. Jangan berbuat dan berbicara semata-mata sesuai kehendak anda sendiri” (Karikatur Harjadi S, 1967)

Sama-sama pernah (dan masih) berkiprah di Golkar, Nugraha Besoes yang pernah menjadi Komandan Resimen Mahasiswa Mahawarman di Bandung (Universitas Padjadjaran) masih memiliki satu-dua perbedaan dengan Nurdin Khalid. Nugraha Besoes masih lebih ‘miskin’ dari Nurdin Khalid, tetapi Nunu belum punya catatan hitam dunia hukum sebagai pelaku pidana korupsi. Selain itu, Nunu pasti lebih banyak ‘bergaul’ dengan kalangan aktivis yang menentang kekuasaan dan kekuatan anti demokrasi di masa lampau, zaman Nunu masih muda belia. Kini, tampaknya Nugraha Besoes terbawa bersama Nurdin ke alam despotisme, dan telah menjadikan organisasi olahraga PSSI sebagai laboratorium praktek. Entah juga orang kaya seperti Nirwan Bakrie. Tak boleh tidak, kehadiran tiga nama ini, telah membuat nama organisasi politik, Golkar, terbawa-bawa dan pada gilirannya membawa nuansa politik ke dalam PSSI. Apalagi, Nurdin Khalid sendiri pernah mengatakan bahwa prestasi PSSI adalah prestasi Golkar. Padahal, belum tentu Golkar diuntungkan dengan kasus-kasus PSSI, malah bisa sebaliknya. Bodoh betul, bila Golkar membiarkan nama partai dibawa-bawa, apalagi merestui.

Mungkin tak perlu diceritakan ulang di sini, tetapi terlihat kini betapa PSSI telah menjadi ajang despotisme, cara-cara memanipulasi statuta dihalalkan, pertanggungjawaban keuangan yang tidak jelas, tempat praktek orang-orang yang ngotot mempertahankan kedudukan dengan berbagai cara. Statuta FIFA yang menyebutkan syarat pimpinan organisasi yang ‘tak pernah terlibat’ pidana, dipelintir menjadi ‘tidak sedang’ menghadapi atau menjalani pidana. Oleh pers, PSSI tergambarkan sebagai sarang manipulasi uang dan suap menyuap, intrik, praktek money politics, korupsi APBD dan mungkin juga APBN, dan lain sebagainya.

Nurdin mungkin sudah dari awal mendisain dirinya untuk mengoptimalkan setiap kesempatan dan ‘kekuasaan’ menjadi benefit dengan segala cara. Tapi apakah kesempatan dan kekuasaan –di lingkup manapun kekuasaan itu, besar atau kecil– juga berhasil merubah orang-orang seperti Nugraha Besoes atau Dipo Alam? Bisa saja orang mengalami perubahan, bukan hanya Nunu atau Dipo, apalagi bila pernah mengalami pengalaman traumatik, dengan kalangan kekuasaan di masa lampau misalnya, dan merespon trauma itu secara keliru.

Anarki. Ini semua –boikot Dipo, drama hak angket DPR, maupun kisruh PSSI– terjadi ketika masyarakat belum sempat pulih nafasnya karena baru saja disuguhi tindakan anarki dan kekerasan dengan mengatasnamakan agama di Cikeusik dan kota kabupaten Temanggung. Diwarnai tantangan dan ancaman FPI untuk menggulingkan Presiden SBY, dan pada sisi sebaliknya perintah SBY kepada para bawahannya mencari jalan untuk bisa membubarkan organisasi-organisasi massa yang seringkali melakukan kekerasan dan anarki tak lagi terdengar kabar lanjutnya. Bagaikan semangkuk sup, kini sudah dingin dan sebentar lagi akan basi. Tinggal menunggu organisasi-organisasi anarkis itu kembali melakukan aksi, karena menghitung bahwa 9 dari 10 kemungkinan pemerintah takkan berani bertindak, sebagaimana telah terbukti dengan ‘uji coba’ selama ini. Kapolri Timur Pradopo mengatakan bahwa wewenang pembubaran ormas ada di tangan Menteri Dalam Negeri. Tetapi Mendagri Gamawan Fauzi memperlihatkan sikap ‘bingung’, dalam kaitan FPI misalnya, ia mengatakan bahwa organisasi itu tak bisa dibubarkan karena tak terdaftar di Kementerian Dalam Negeri.

Akan tetapi terlepas dari itu, pelajaran anarki dan kesewenang-wenangan, seringkali juga datang dari aparat kekuasaan sendiri. Perhatikan saja keganasan satuan Polri dalam beberapa peristiwa tatkala menghadapi unjuk rasa. Dalam pada itu, Satpol PP yang berada di bawah kendali komando jajaran Kementerian Dalam Negeri di berbagai daerah, tak kalah dalam menunjukkan sikap anarki dan keganasan tatkala ‘menumpas’ para pedagang kaki lima, para gelandangan, pelacur dan waria maupun kalangan akar rumput lainnya yang barangkali mereka anggap sekedar sebagai sampah masyarakat. Belum lagi kalau memang betul bahwa ada sejumlah organisasi massa di pusat maupun di daerah, yang biasa melakukan tindakan anarki, justru adalah ‘peliharaan’ oknum-oknum kekuasaan politik dan pemerintahan sendiri. Misalnya, bila di suatu daerah ada pengusaha tempat hiburan ‘lalai’ membayar upeti, maka ormas tertentu dikerahkan melakukan ‘razia’ atau ‘sweeping’, untuk bikin kapok sehingga nanti takkan berani lagi melalaikan kewajiban setoran khusus.

Dalam segi tertentu, sekedar sebagai contoh, sikap Sekertaris Kabinet yang memerintahkan boikot kepada dua stasiun TV dan satu media cetak, juga bernuansa anarkis. Padahal, ada begitu banyak pilihan cara yang layak, misalnya melalui jalan hukum. Satu dua kali, sebagian anggota DPR juga memberi pelajaran anarki melalui pertengkaran vulgar, saling teriak, saling ejek, dorong mendorong, bahkan ada anggota yang pernah mendatangi anggota lainnya dengan sikap ancang-ancang memukul, yang kesemuanya terjadi dalam persidangan yang disiarkan langsung oleh media televisi. Belum pelontaran kata-kata dengan meminjam nama-nama khewan di kebun binatang maupun khewan peliharaan di rumah. Mereka pikir masyarakat yang menonton ulah mereka tidak perlu dihormati lagi?

Kalau anda menduduki jabatan publik –di lembaga eksekutif, legislatif, judikatif maupun institusi masyarakat– perbuatan dan perkataan anda harus memperhitungkan pikiran, etika dan rasa kepantasan publik serta memahami tanggungjawab berdasarkan nilai-nilai kebenaran umum. Jangan berbuat dan berbicara semata-mata sesuai kehendak anda sendiri (intentio auctoris). Kalau anda tak sudi dengan pembatasan moral dan etika seperti itu, segera berhenti dari jabatan publik yang sedang anda duduki saat ini.

FPI dan SBY: Sekedar ‘Revolusi’ Angin Lalu

KETIKA dua tokoh Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab dan Munarman, bergantian menggertak dan mengancam akan menggulingkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bilamana tak membubarkan Ahmadiyah, banyak yang menyangka akan terjadi reaksi dan tindakan yang keras dari sang penguasa. Apalagi, karena memang setelah terjadinya insiden berdarah di Cikeusik, sang Presiden langsung meminta aparatnya untuk segera mencari jalan membubarkan organisasi-organisasi massa yang selama ini terlibat kekerasan. Terlepas dari terlibat-tidaknya FPI dalam dua tindakan kekerasan terbaru dengan pengatasnamaan agama di Cikeusik maupun Temanggung, sepanjang kriteria kekerasan, FPI memang termasuk di antara organisasi massa yang berada pada urutan teratas selama ini.

MILITAN ISLAM BERSENJATA, BUKAN SEKEDAR REVOLUSI SOSIAL. “Apakah FPI bisa mengobarkan suatu revolusi sosial? Ini tanda tanya besar, karena ia bukan suatu organisasi yang punya akar kuat di tengah umat…” (Source: jihadprincess)

Ancaman menggulingkan Presiden yang disampaikan secara terbuka oleh kedua tokoh FPI berkonotasi makar. Pernyataan dari seorang tokoh FPI lainnya, Misbahul Anam, memperkuat konotasi makar, bukan sekedar penyampaian dalam konteks kebebasan berbicara yang diperbolehkan dalam sistem demokrasi. Misbahul Anam dikutip pers mengatakan jika SBY tidak juga membubarkan Ahmadiyah paling lambat 1 Maret 2011, FPI akan melakukan revolusi sosial, seraya menyebutkan adanya dukungan sejumlah jenderal aktif maupun jenderal purnawirawan. Paling tidak ucapan dan perbuatan para tokoh FPI itu telah melanggar beberapa pasal KUHP, Buku Kedua, tentang kejahatan terhadap keamanan negara. Belum dalam kaitan dengan beberapa undang-undang lainnya. Bila ketiga tokoh FPI itu membatasi diri dengan menyatakan akan turut serta dalam upaya pemakzulan Presiden melalui jalan yang diatur dalam konstitusi, masih bisa dikatakan bahwa keduanya sekedar menggunakan haknya untuk berpendapat sebagai warganegara.

Paling tidak, sudah lima hari berlalu sejak ancaman penggulingan, namun SBY yang biasanya cepat curhat masih diam seribu bahasa, dan Kapolri Jenderal Timur Pradopo pun tak terdengar suaranya. Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi sementara itu, memilih berbaik-baik dan mengadakan pertemuan ramah tamah dengan sejumlah tokoh MUI dan Ormas termasuk FPI. Rupanya Menteri Dalam Negeri lebih takut kepada Habib Rizieq daripada kepada Sultan Hamengku Buwono X. Sewaktu kepada sang menteri ditanyakan kenapa FPI misalnya, tidak dibubarkan, dijawab bahwa organisasi itu tak bisa dibubarkan karena tidak terdaftar secara resmi di Kementerian Dalam Negeri. Kalau begitu, FPI organisasi liar, yang dibiarkan berjalan begitu saja? Mestinya, dengan demikian, FPI lebih mudah ditangkal dan ditindaki bila berkegiatan, apalagi yang bernuansa kekerasan dan main hakim sendiri. Nyatanya, pemerintah terkesan lalai, kalau bukannya justru takut. Jadi, kemungkinan besar takkan ada tindak lanjut secara hukum terhadap FPI. Semua dibiarkan terbawa angin lalu.

SIKAP cenderung gentar yang diperlihatkan Presiden maupun Kapolri dan Menteri Dalam Negeri, memperkuat anggapan publik –yang entah benar, entah setengah benar– bahwa FPI itu kuat karena selama ini ia menjadi perpanjangan tangan sejumlah jenderal (polisi, khususnya) untuk berbagai kepentingan. Tentu, semua orang masih ingat, betapa dramatis penggrebegan markas FPI beberapa tahun lalu usai Insiden Monas, saat polisi mengerahkan personil dalam jumlah berlebihan menghadapi massa FPI yang kecil saja. Akhirnya Habib Rizieq menyerah, diproses secara hukum, untuk selanjutnya tak begitu jelas lagi bagaimana penyelesaian sesungguhnya. Ibarat pentas satu babak saja. Terlihat bahwa setelah berkali-kali lolos dari jeratan hukum dan tindakan tegas pemerintah, sikap FPI pun mengalami eskalasi, semakin hari semakin berani dan militan. Ucapan terang-terangan untuk menggulingkan Presiden SBY, dan akan mengobarkan suatu revolusi sosial, menunjukkan betapa score keberanian FPI telah lebih meningkat.

Akan tetapi apakah FPI bisa mengobarkan satu revolusi sosial? Ini tanda tanya besar, karena ia bukan suatu organisasi yang punya akar kuat di tengah umat seperti halnya beberapa ormas Islam lainnya yang punya sejarah panjang, yang beberapa di antaranya bahkan lebih panjang dari sejarah Indonesia merdeka sendiri. FPI hanya sebuah organisasi ‘pendatang baru’ yang menonjol karena kemampuan (dan memiliki/diberi keleluasaan) melakukan tindakan yang fors dengan pengatasnamaan membela Islam. Terhadap tindakan kekerasan dengan mengatasnamakan Islam, umat Islam Indonesia yang pada umumnya cintai damai cenderung merasa serba salah, sebenarnya tak setuju namun enggan menyatakan ketidaksetujuannya itu. Tapi tak urung, selama beberapa kali, bisa terlihat adanya benturan antara kelompok umat yang hilang kesabaran melawan massa FPI, manakala merasa tingkah laku massa FPI itu sudah berlebihan.

MUNGKIN saja, pada sisi sebaliknya, banyak kalangan internal FPI memang punya kecintaan terhadap Islam. Mungkin pula sebagian orang-orang yang bergabung ke FPI, seperti halnya dengan kalangan akar rumput yang lain, adalah orang-orang yang resah oleh serba ketidakadilan dalam kenyataan hidup sehari-hari di negeri ini. Tetapi, janganlah tergelincir menjadi merasa benar sendiri dalam mewujudkan kecintaan kepada agama itu, lalu berpretensi menghakimi sendiri apa yang dianggapnya tidak benar dan tidak adil. Bukalah pintu hati, dengar dan baca pula pandangan sesama umat dan sesama bangsa. Muhammad SAW sendiri suatu ketika menyesali perilaku kekerasan berdarah di sekitar perbukitan Makkah yang dilakukan Khalid bin Walid atas nama Islam pada pertengahan Januari 630. Melihat dan mendengar kata-kata Nabi Muhammad SAW saat memohon ampun kepadaNya di depan Ka’bah, lalu Abdurrahman bin Awf berkata kepada Khalid bin Walid, “Anda telah melakukan perbuatan jahiliyah di dalam Islam”.

Kisah Seorang Nabi Yang Lahir di Sebuah ‘Republik Jahiliyah’

KELAHIRAN Muhammad –yang di kemudian hari dikenal sebagai Nabi terakhir di muka bumi ini– bukan suatu peristiwa yang menarik perhatian di zamannya. Ia lahir dari rahim seorang janda miskin yang beberapa waktu sebelumnya ditinggal mati sang suami, di sebuah rumah yang letaknya sekitar 1 kilometer di sebelah Timur Laut sebuah bangunan yang kelak dikenal sebagai Ka’bah, di Makkah bagian Timur. Sebenarnya Muhammad masih tergolong ‘bangsawan’, namun kakeknya yang bernama Abdul Muththalib berasal dari sebuah klan yang lemah di tengah klan-klan kuat dan kaya, dan banyak tergantung kepada satu di antaranya, yakni klan Hasyim.

PENUNGGANG KUDA DARI LANGIT. “Sayang bahwa berabad-abad lamanya manusia, termasuk dunia Islam, memilih banyak jalan kekerasan”… “Seringkali dengan retorika ‘langit’, membawa-bawa namaNya”. (Source: jihadprincess)

Kota Makkah kala itu memang dihuni dan dikuasai oleh klan-klan kaya, para konglomerat dan bankir-bankir. Pemerintahan kota Makkah mirip sebuah Republik, tapi bukan dari rakyat untuk rakyat, melainkan dari, oleh dan untuk klan-klan kaya. Rakyat biasa dari kalangan ekonomi bawah, hanya peserta yang tak penting dalam himpitan ketidakadilan sosial. Menurut Fuad Hashem dalam bukunya Sirah Muhammad Rasulullah (Penerbit Mizan, 1989), pemerintahan di Kota Makkah pada zaman sebelum Islam itu dipegang oleh para pemimpin Quraisy, yaitu ‘mala’ sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Quran. Mereka, para Quraisy ini, merupakan orang paling kaya dan terkemuka, berusia 40 tahun ke atas. Al-Quran tak banyak memberikan keterangan yang bisa menjelaskan agak rinci mengenai pemerintahan kota Makkah. Tetapi dari catatan sumber sejarah lainnya, “kita dapat menarik kesimpulan bahwa pemerintahan dilaksanakan secara bersama oleh para saudagar itu –mungkin mirip dengan kota sezaman seperti Verona dan Venesia di Laut Tengah”.

“Pemerintahan kota adalah gabungan ‘pusaka’ gurun dengan kapitalisme kota. Sifat berani, dendam dan keramahan Badui, bergabung dengan nilai kota yang menginginkan ketenangan, bersatu, aman dan stabil. Yang lahir dari ‘kawin’ silang ini adalah blasteran tak bernama: suatu nilai gurun yang ditumpulkan oleh kecanggihan kota internasional, tepatnya bisnis rumit yang disepuh keliaran Badui. Unsur polos Arab-kuno dipoles dengan kecerdikan pengusaha. Suatu hasil silang antara kepemimpinan Badui yang mengedepankan balas dendam, kekerasan dan perampokan, dengan semacam walikota yang cinta damai untuk mengamankan harta, transaksi dagang dan perjanjian internasional. Karena ketiadaaan istilah untuk nama bentuk pemerintahan ini, maka Lammens menggunakan istilah ‘Republik Saudagar’….”.

SEBENARNYA, suatu nama lain mungkin lebih tepat bagi kota Makkah, yakni ‘Republik Jahiliyah’. Terminologi jahiliyah seringkali dikaitkan sebagai suatu zaman, yakni zaman menjelang diperkenalkannya Islam oleh Muhammad SAW. Padahal, sepanjang referensi dari yang bisa diikuti dari pandangan Nabi Muhammad sendiri, jahiliyah merujuk pada suatu pengertian mengenai pola perilaku yang bisa terjadi pada zaman yang manapun dan bukan pada satu kurun waktu tertentu saja. Sifat jahiliyah mencakup berbagai perilaku seperti men-Tuhan-kan berhala, kecongkakan, kesukuan yang sempit, kekerasan, semangat balas dendam yang tak berkesudahan, perbudakan, pengumbaran nafsu tak terkendali dan berbagai perbuatan yang bertentangan dengan moral. “Ini bisa saja terjadi dalam zaman setelah kedatangan Islam dan keluar dari pribadi seorang Muslim sekalipun”.

Kota Makkah sebagai ‘Republik Jahiliyah’ di sekitar masa kelahiran bayi Muhammad itu, adalah wilayah yang penuh hedonisme dan maksiat di tengah kelimpahruahan harta kaum kaya. Setiap minggu ada hari pasaran penuh kesukariaan. Seringkali ada deklamasi sajak di Ka’bah. “Tiap bulan purnama, orang berduyun-duyun berkumpul di lapangan mengelilingi patung Al-Lat, ‘puteri Tuhan’ berlambang bulan. Di sana, muda mudi bersyair, bercinta dan minum-minum nabidz yang terbuat dari Kurma dan memabukkan”. Setiap tahun di musim dingin, ada festival.

Di zaman itu pula judi adalah sebagian dari agama. Orang bermain judi bukan sekedar memuaskan nafsu adu untung duniawi, melainkan bagian dari ibadah dan pengabdian kepada dewa. Paling terkenal adalah permainan panah dewata. “Selain itu, judi dalam bentuk populer juga dimainkan dengan cara membeli unta secara patungan, misalnya oleh sepuluh orang. Hewan itu lalu disembelih dan dagingnya dibagi dalam lima tumpuk. Nama peserta ditulis pada setiap sisi mata panah-dewata, lalu sepuluh mata panah itu dikocok dalam sebuah kantong kulit dan diambil satu persatu sebanyak lima kali. Hanya yang namanya tercantum yang mendapat bagian. Seorang yang bernama Asyi’ bin Hisyam kalah main judi melawan Abu Lahab. Rumah dan seluruh hartanya disita, dirinya pun dijadikan budak, membersihkan kandang hewan Abu Lahab, dan sewaktu terjadi Perang Badr ia dikirim berperang mewakili ‘tuan’nya. Dalam perjudian segala macam bisa dipertaruhkan, dari budak sampai isteri dan anak.

Selain judi, minuman keras yang memabukkan menjadi bagian dari kehidupan di ‘Republik Jahiliyah”. Pelacuran mendapat tempat istimewa. Rumah maupun kemah pelacuran ditandai dengan panji atau bendera. Bila ada pelacur yang hamil, kelak saat melahirkan ia mengundang para langganannya dan dengan dihadiri saksi, ia menunjuk siapa sebenarnya ayah sang bayi. Posisi kaum perempuan dalam perkawinan lemah. Bila terjadi perceraian atau sang suami meninggal, para keluarga datang menyita harta-harta dari tangan sang isteri. Anak perempuan seringkali tak diinginkan. Pada masa sebelumnya, kerapkali anak perempuan dikuburkan hidup-hidup. Perkawinan juga bisa berbau incest. Seorang lelaki sering menikahi saudara kandung, mertua, ipar, keponakan, atau bibi maupun ibu tiri. Kebiasaan ini tak mudah terhapus, termasuk oleh kedatangan Islam. Fuad Hashem menulis dalam bukunya, “Semasa kedatangan Islam, ada perkawinan dengan ibu tiri (antara Zayd bin ‘Amr dengan ibu tirinya, yaitu ibu dari ‘Umar bin Khaththab). ‘Abdullah bin Jud’an kawin dengan dua saudara perempuan Al Walid bin Al-Mughirah, yaitu Hindun dan Syafiyah, bersama-sama”. Tapi Al-Quran, Surat An-Nisa’, mengingatkan bahwa hal-hal seperti ini yang terjadi di masa lampau, tak boleh lagi terjadi.

Bagian lain dari kebiasaan jahiliyah yang tidak bisa segera dihapuskan adalah perbudakan, meskipun Nabi Muhammad berkali-kali memberi teladan dengan memerdekakan para budak. Kaum budak menjadi bagian dari kepentingan ekonomi (tenaga kerja) serta prestise, dan juga kesenangan seksual (menggunakan budak-budak perempuan). Kesenangan seksual ini seringkali menimbulkan ‘kekacauan sosial’ tatkala lahir anak-anak. Umumnya anak-anak itu tetap berstatus budak, tetapi sering ada pengecualian bagi anak-anak yang disukai sang ayah, statusnya menjadi manusia merdeka namun kedudukannya kelas dua di masyarakat. Tak jarang anak-anak dengan status marginal ini menjadi sumber berbagai penyakit sosial maupun kerusuhan sosial karena perilaku buruk sebagai akibat psikologis dari status mereka. Eksistensi soal hamba sahaya perempuan disebutkan dalam Surat An-Nisa’ ayat 3, sebagai ‘pengganti’ kebutuhan dalam konteks lelaki yang ingin beristeri lebih dari satu namun sangsi takkan mampu berlaku adil kepada para isterinya. Adalah peranan para cendekiawan Islam masa kini untuk memberi penafsiran baru terhadap ayat ini dan menjaga agar tak ada penyalahgunaan yang bersifat jahiliyah dan merusak Islam.

MASIH dari buku Fuad Hashem, kita meminjam pemaparan sebuah peristiwa pada pertengahan Januari tahun 630, dalam penaklukan kota Makkah. Ibn Ishaq bercerita: Rasul mengirim pasukan ke daerah sekitar Makkah untuk mengajak mereka ke dalam Islam. Beliau tidak memerintahkan mereka bertempur. Di antara yang dikirim adalah Khalid bin Walid yang diperintahkannya ke kawasan datar sekitar perbukitan Makkah menjalankan misi… . Mulanya klan Jadzimah, penghuni wilayah itu ragu, tetapi Khalid mengatakan, “Letakkan senjata, karena setiap orang telah menerima Islam”. Ada pertukaran kata, karena curiga akan Khalid. Seorang anggota suku itu berkata, “Apakah anda akan menumpahkan darah kami? Semua telah memeluk Islam dan meletakkan senjata”. “Perang telah usai dan semua orang aman”. Begitu mereka meletakkan senjata, Khalid memerintahkan tangan mereka diikat ke belakang dan memancung leher mereka dengan pedangnya sampai sejumlah orang mati. Tatkala berita ini sampai kepada Rasulullah, ia menyuruh Ali ke sana untuk menyelidiki dan memerintahkan “hapus semua tindakan jahiliyah”. Ali berangkat membawa uang –yang dipinjam Rasul dari beberapa saudagar Makkah– untuk membayar tebusan darah dan kerugian lain, termasuk kerugian berupa sebuah wadah tempat makan anjing yang rusak. Ketika semua sudah lunas dan masih ada uang sisa, Ali bertanya apakah masih ada yang belum dihitung, mereka menjawab “tidak”. Ali memberikan semua sisa uang sebagai hadiah, atas nama Rasulullah. Saat Ali kembali dan melapor, Rasulullah sedang berada di Ka’bah menghadap kiblat. Rasulullah menengadahkan tangannya setinggi-tingginya sehingga ketiaknya tampak, seraya berseru, “Ya Allah, saya tak bersalah atas apa yang dilakukan Khalid”, sampai tiga kali. Artinya, Rasulullah tak membenarkan perbuatan Khalid yang bertindak atas nama Islam namun di atas jalan yang bertentangan dengan Islam. Abdurrahman bin Awf lalu mengatakan kepada Khalid bin Walid, “Anda telah melakukan perbuatan jahiliyah di dalam Islam”.

KENDATI di masa lampau pada zamannya, kelahiran bayi bernama Muhammad, bukan peristiwa yang menarik perhatian, kini kelahiran Sang Nabi pada 12 Rabiul-Awwal yang bertepatan dengan 20 April tahun 571 M, menjadi penanda penting dalam konteks pencerahan peradaban umat manusia yang telah dimulai para nabi sebelumnya. Meski pernah memimpin peperangan, Muhammad SAW tidak mengajarkan kekerasan. Ucapannya yang paling sejuk adalah “Bila engkau dilempar dengan batu, balaslah olehmu dengan kapas”. Mungkin ucapan seperti itu secara harfiah bisa diartikan banyak orang sebagai ‘kelemahan’, tetapi sebagai suatu filosofi, sesungguhnya itulah suatu ‘kekuatan’: Bahwa kekerasan tak bisa menyelesaikan masalah, melainkan dialog untuk mempertemukan pikiran.

Sayang bahwa berabad-abad lamanya manusia, termasuk dunia Islam, memilih banyak jalan kekerasan. Setidaknya ada tiga Khalifah yang terbunuh oleh sesama pada abad-abad pertama dalam sejarah Islam, dan ada ribuan bahkan jutaan Muslim terbunuh oleh sesama karena arogansi yang lahir dari fanatisme dari masa ke masa di berbagai penjuru muka bumi, termasuk di Indonesia. Seringkali dengan retorika ‘langit’, membawa-bawa namaNya. Berapa korban ‘perang saudara’ yang dikobarkan DI-TII di Jawa Barat, Jawa Tengah, Aceh, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan? Berapa pula korban yang mati sia-sia dalam konflik-konflik terbaru di Aceh, Ambon dan Poso? Dan akan ada berapa lagi korban berjatuhan dalam peristiwa-peristiwa semacam di Cikeusik hanya beberapa hari sebelum Maulid Nabi yang diperingati hari ini?