Tag Archives: Nunu

‘Campur Sari’ Arogansi, Despotisme dan Playgroup Politik (2)

Despotisme ala PSSI. Tak salah lagi, PSSI di bawah Nurdin Khalid –yang di masa jabatan keduanya sebagai Ketua Umum didampingi eks aktivis 1966 Nugraha Besoes sebagai Sekertaris Jenderal– kini telah menjelma menjadi semacam laboratorium despotisme alias memimpin dan memerintah dengan sewenang-wenang. Nurdin Khalid yang kini namanya sering di’pleset’kan di dunia maya sebagai Nurdin Khadafy Khalid, adalah lulusan Institut Keguruan Ilmu Pendidikan (IKIP) Makassar.

Baru lulus, Nurdin yang tampaknya enggan menjadi guru (sebagaimana harusnya lulusan IKIP) menerima tawaran menjadi pengurus KUD (Koperasi Unit Desa) di pedalaman Sulawesi Selatan. Rupanya Nurdin kuat juga tekanan adrenalinnya, sehingga ia cepat menapak ke atas dan akhirnya menjadi Ketua INKUD. Bertepatan waktu dengan kehadiran BPPC Tommy Soeharto yang menguasai perdagangan cengkeh. Kerjasama BPPC dengan INKUD antara lain memberi hasil akhir bagi pribadi Nurdin sebagai milyarder rupiah. Tetapi posisi di induk koperasi itu juga membawa Nurdin Khalid ke pengelolaan komoditi bahan pokok lain seperti minyak goreng yang membawa Nurdin ke balik jeruji sel penjara. Menurut kabar, masih ada proses penanganan perkara korupsi lainnya yang sedang menunggu Nurdin Khalid.

MENGHINDARI SOCIAL CONTROL. “Kalau anda menduduki jabatan publik… perbuatan dan perkataan anda harus memperhitungkan pikiran, etika dan rasa kepantasan publik serta memahami tanggungjawab berdasarkan nilai-nilai kebenaran umum. Jangan berbuat dan berbicara semata-mata sesuai kehendak anda sendiri” (Karikatur Harjadi S, 1967)

Sama-sama pernah (dan masih) berkiprah di Golkar, Nugraha Besoes yang pernah menjadi Komandan Resimen Mahasiswa Mahawarman di Bandung (Universitas Padjadjaran) masih memiliki satu-dua perbedaan dengan Nurdin Khalid. Nugraha Besoes masih lebih ‘miskin’ dari Nurdin Khalid, tetapi Nunu belum punya catatan hitam dunia hukum sebagai pelaku pidana korupsi. Selain itu, Nunu pasti lebih banyak ‘bergaul’ dengan kalangan aktivis yang menentang kekuasaan dan kekuatan anti demokrasi di masa lampau, zaman Nunu masih muda belia. Kini, tampaknya Nugraha Besoes terbawa bersama Nurdin ke alam despotisme, dan telah menjadikan organisasi olahraga PSSI sebagai laboratorium praktek. Entah juga orang kaya seperti Nirwan Bakrie. Tak boleh tidak, kehadiran tiga nama ini, telah membuat nama organisasi politik, Golkar, terbawa-bawa dan pada gilirannya membawa nuansa politik ke dalam PSSI. Apalagi, Nurdin Khalid sendiri pernah mengatakan bahwa prestasi PSSI adalah prestasi Golkar. Padahal, belum tentu Golkar diuntungkan dengan kasus-kasus PSSI, malah bisa sebaliknya. Bodoh betul, bila Golkar membiarkan nama partai dibawa-bawa, apalagi merestui.

Mungkin tak perlu diceritakan ulang di sini, tetapi terlihat kini betapa PSSI telah menjadi ajang despotisme, cara-cara memanipulasi statuta dihalalkan, pertanggungjawaban keuangan yang tidak jelas, tempat praktek orang-orang yang ngotot mempertahankan kedudukan dengan berbagai cara. Statuta FIFA yang menyebutkan syarat pimpinan organisasi yang ‘tak pernah terlibat’ pidana, dipelintir menjadi ‘tidak sedang’ menghadapi atau menjalani pidana. Oleh pers, PSSI tergambarkan sebagai sarang manipulasi uang dan suap menyuap, intrik, praktek money politics, korupsi APBD dan mungkin juga APBN, dan lain sebagainya.

Nurdin mungkin sudah dari awal mendisain dirinya untuk mengoptimalkan setiap kesempatan dan ‘kekuasaan’ menjadi benefit dengan segala cara. Tapi apakah kesempatan dan kekuasaan –di lingkup manapun kekuasaan itu, besar atau kecil– juga berhasil merubah orang-orang seperti Nugraha Besoes atau Dipo Alam? Bisa saja orang mengalami perubahan, bukan hanya Nunu atau Dipo, apalagi bila pernah mengalami pengalaman traumatik, dengan kalangan kekuasaan di masa lampau misalnya, dan merespon trauma itu secara keliru.

Anarki. Ini semua –boikot Dipo, drama hak angket DPR, maupun kisruh PSSI– terjadi ketika masyarakat belum sempat pulih nafasnya karena baru saja disuguhi tindakan anarki dan kekerasan dengan mengatasnamakan agama di Cikeusik dan kota kabupaten Temanggung. Diwarnai tantangan dan ancaman FPI untuk menggulingkan Presiden SBY, dan pada sisi sebaliknya perintah SBY kepada para bawahannya mencari jalan untuk bisa membubarkan organisasi-organisasi massa yang seringkali melakukan kekerasan dan anarki tak lagi terdengar kabar lanjutnya. Bagaikan semangkuk sup, kini sudah dingin dan sebentar lagi akan basi. Tinggal menunggu organisasi-organisasi anarkis itu kembali melakukan aksi, karena menghitung bahwa 9 dari 10 kemungkinan pemerintah takkan berani bertindak, sebagaimana telah terbukti dengan ‘uji coba’ selama ini. Kapolri Timur Pradopo mengatakan bahwa wewenang pembubaran ormas ada di tangan Menteri Dalam Negeri. Tetapi Mendagri Gamawan Fauzi memperlihatkan sikap ‘bingung’, dalam kaitan FPI misalnya, ia mengatakan bahwa organisasi itu tak bisa dibubarkan karena tak terdaftar di Kementerian Dalam Negeri.

Akan tetapi terlepas dari itu, pelajaran anarki dan kesewenang-wenangan, seringkali juga datang dari aparat kekuasaan sendiri. Perhatikan saja keganasan satuan Polri dalam beberapa peristiwa tatkala menghadapi unjuk rasa. Dalam pada itu, Satpol PP yang berada di bawah kendali komando jajaran Kementerian Dalam Negeri di berbagai daerah, tak kalah dalam menunjukkan sikap anarki dan keganasan tatkala ‘menumpas’ para pedagang kaki lima, para gelandangan, pelacur dan waria maupun kalangan akar rumput lainnya yang barangkali mereka anggap sekedar sebagai sampah masyarakat. Belum lagi kalau memang betul bahwa ada sejumlah organisasi massa di pusat maupun di daerah, yang biasa melakukan tindakan anarki, justru adalah ‘peliharaan’ oknum-oknum kekuasaan politik dan pemerintahan sendiri. Misalnya, bila di suatu daerah ada pengusaha tempat hiburan ‘lalai’ membayar upeti, maka ormas tertentu dikerahkan melakukan ‘razia’ atau ‘sweeping’, untuk bikin kapok sehingga nanti takkan berani lagi melalaikan kewajiban setoran khusus.

Dalam segi tertentu, sekedar sebagai contoh, sikap Sekertaris Kabinet yang memerintahkan boikot kepada dua stasiun TV dan satu media cetak, juga bernuansa anarkis. Padahal, ada begitu banyak pilihan cara yang layak, misalnya melalui jalan hukum. Satu dua kali, sebagian anggota DPR juga memberi pelajaran anarki melalui pertengkaran vulgar, saling teriak, saling ejek, dorong mendorong, bahkan ada anggota yang pernah mendatangi anggota lainnya dengan sikap ancang-ancang memukul, yang kesemuanya terjadi dalam persidangan yang disiarkan langsung oleh media televisi. Belum pelontaran kata-kata dengan meminjam nama-nama khewan di kebun binatang maupun khewan peliharaan di rumah. Mereka pikir masyarakat yang menonton ulah mereka tidak perlu dihormati lagi?

Kalau anda menduduki jabatan publik –di lembaga eksekutif, legislatif, judikatif maupun institusi masyarakat– perbuatan dan perkataan anda harus memperhitungkan pikiran, etika dan rasa kepantasan publik serta memahami tanggungjawab berdasarkan nilai-nilai kebenaran umum. Jangan berbuat dan berbicara semata-mata sesuai kehendak anda sendiri (intentio auctoris). Kalau anda tak sudi dengan pembatasan moral dan etika seperti itu, segera berhenti dari jabatan publik yang sedang anda duduki saat ini.