Tag Archives: Satpol PP

Politik Indonesia, No Amigos Para Siempre

SEBUAH telenovela Mexico, Amigos X Siempre yang tayang 115 episode di salah satu televisi swasta, sungguh berhasil memikat penonton anak-anak Indonesia usia sekitar 10-15 di tahun 2000. Meski telenovela itu begitu panjang penuh liku cerita, darinya tetap bisa ditelusuri benang merah tentang nilai kesetiaan pertemanan yang kuat dan tulus. Dengan kekuatan kesetiaan pertemanan seperti itu –amigos para siempre, friends forever– sejumlah anak sekolahan usia 10 dan belasan tahun di Instituto Vidal mengatasi berbagai permasalahan. Bahkan mematahkan persekongkolan bertujuan merebut penguasaan dan kepemilikan sekolah mereka.

            Generasi anak Indonesia penonton telenovela itu, saat ini sudah berusia sekitar 25 hingga 30 tahun. Beberapa di antara mereka, cukup banyak, hingga kini tetap mengingat dan meresapi nilai-nilai moral kekuatan pertemanan model Amigos X Siempre. Itu bisa dibaca dari catatan memori beberapa di antara mereka yang bisa ditemui dalam media sosial, yang selalu mendapat banyak comment  dan berbagai bentuk apresiasi lainnya dari kalangan seusia. “Pasti kalian semua yang lahir tahun 90-an, tau dong sama telenovela ini,” tulis Femi Nurhana, “telenovela yang mampu buat anak-anak jadi ogah tidur siang, les, atau main keluar.” Menurut Wa Ode S. Hawani, “Cerita berkembang menjadi pertempuran antara yang baik dan yang jahat, penindasan dan kebebasan, serta serangkaian petualangan dan percintaan….” Betapa indahnya persahabatan yang mereka jalin, tulis Fitri Chairil. “Kisah mereka membuat saya rindu. Karena serial ini, saya mendapat banyak pelajaran tentang arti persahabatan. Meski mereka tak sama, tapi semua itu tak mampu menghalangi mereka untuk tetap bersahabat. Amigos X Siempre.” Sementara Reza Hakimi Harahap yang saat menonton serial ini masih duduk di kelas 6 SD, menyebut betapa Amigos X Siempre, sempat jadi imajinasi semua anak yang pernah menontonnya. “Tak terkecuali saya.”

JOKO WIDODO DAN JUSUF KALLA. "Dalam enam bulan, agaknya situasi mereka berdua sudah tiba pada tanda-tanda no amigos para siempre. Sampai enam bulan yang lalu mereka masih mengikat diri dalam persekutuan untuk berjuang meraih posisi kepemimpinan negara. Tapi menjadi berbeda saat kekuasaan negara sudah di tangan. Mungkin ini mengikuti adagium bahwa dalam politik tak ada kawan atau lawan yang abadi karena yang ada hanya kepentingan abadi."
JOKO WIDODO DAN JUSUF KALLA. “Dalam enam bulan, agaknya situasi mereka berdua sudah tiba pada tanda-tanda no amigos para siempre. Sampai enam bulan yang lalu mereka masih mengikat diri dalam persekutuan untuk berjuang meraih posisi kepemimpinan negara. Tapi menjadi berbeda saat kekuasaan negara sudah di tangan. Mungkin ini mengikuti adagium bahwa dalam politik tak ada kawan atau lawan yang abadi karena yang ada hanya kepentingan abadi.”

Realitas di panggung kehidupan. Tak pernah diukur seberapa dalam pengaruh moral serial itu, dan seberapa luas ia meresap ke dalam pikiran dan sanubari generasi kelompok usia tersebut kala itu. Akan tetapi bila mereka –seperti yang dituliskan– mampu menghayati dan menjadikan nilai-nilai ketulusan pertemanan itu sebagai bagian penting dalam keyakinan menjalani hidup ini, mereka adalah manusia yang beruntung. Tentu saja ‘beruntung’ karena dalam ruang dan waktu yang sama, masih di awal-awal reformasi pasca Soeharto, tersaji pula berbagai jenis tontonan lain, berbagai buku, sejumlah produk cetak lainnya dan produk pers, serta tak kalah pentingnya beraneka contoh nyata dalam kehidupan sosial sehari-hari, yang tak selalu menghadirkan nilai positif. Berarti mereka berhasil tumbuh dengan akal sehat yang memberi kemampuan memilah nilai-nilai baik di antara tumpukan nilai yang ada sebagai realitas. Ini menjadi secercah harapan.

NAMUN dalam realitas di panggung kehidupan yang sama beberapa tahun terakhir hingga kini, terlihat betapa kehidupan sosial-politik-ekonomi bangsa ini telah terisi dengan aneka pertunjukan suram. Generasi di atas usia 40 atau 50 yang kini menjadi para pemegang kendali kehidupan politik dan penegakan hukum, kehidupan ekonomi, dan kehidupan sosial, adalah kelompok-kelompok dengan pengalaman berbeda. Memiliki sumber-sumber ‘teladan’ serta percontohan praktek kehidupan yang berbeda, dan tentu saja simpulan-simpulan tentang nilai dan cara menempuh kehidupan yang di sana-sini berbeda. Sejumlah etika yang terkait dasar kebenaran yang bersifat universal, bisa mendapat tafsiran berbeda, kalau tidak malah ditinggalkan samasekali. Dan, dengan sendirinya dijalankan dalam wujud akhir yang berbeda tatkala menjalankan peran dalam fungsi-fungsi politik dan hukum, serta fungsi ekonomi maupun fungsi sosial. Tak kecuali dalam fungsi ‘kekuasaan’ keagamaan.

Bahkan etika keilahian sekali pun –yang menempatkan kebenaran sebagai sumber keadilan– seringkali direlatifkan. Suatu pemaknaan yang artifisial disodorkan ‘paksa’ kepada khalayak sehingga menciptakan ‘realitas baru’ bahwa kebenaran ditentukan oleh siapa yang berkuasa. Di sini, masyarakat diperlakukan bagai anjing-anjing Pavlov. Untuk sebagian berhasil, untuk sebagian lainnya memicu perlawanan –yang bila membesar, dipadamkan dengan patron pembasmian anarki. Di masa lampau, untuk membendung kemungkinan perlawanan, militer digunakan sebagai kekuatan represif. Kini, pada dua rezim terakhir untuk menghadapi gerakan kritis, seringkali digunakan aksi polisionil. Banyak pengamat menuduh, terhadap mereka yang terlalu ‘rewel’ –mengenai pemberantasan korupsi misalnya– terjadi kriminalisasi. Tetapi sebaliknya, petinggi institusi penegakan hukum, terutama kepolisian, bersikeras menyebutnya sebagai tindakan penegakan hukum.

No amigos para siempre. Dalam konflik KPK-Polri, Presiden Joko Widodo berkali-kali menyampaikan teguran agar penegak hukum, khususnya Polri, jangan melakukan kriminalisasi. Tetapi Wakil Presiden Jusuf Kalla berkali-kali pula menyanggah, apanya yang kriminalisasi? Artinya, sementara Presiden menganggap terjadi kriminalisasi, Wakil Presiden menganggap tak ada kriminalisasi. Untuk hal yang satu ini –dan untuk berbagai persoalan– ada perbedaan membaca realitas. Dalam masalah lain, meski mengakui bahwa reshuffle kabinet adalah hak prerogatif Presiden, toh Jusuf Kalla tak henti-hentinya seakan menyorongkan faitaccompli agar Presiden segera melakukan reshuffle. Sementara itu Jokowi sendiri praktis tak banyak menyebutkannya. Dalam berbagai perbincangan kalangan politik, Jusuf Kalla diperkirakan sudah siap memasukkan tambahan all vice president’s men ke kabinet.

Selama enam bulan ini, Jokowi amat banyak meminjam retorika Soekarno yang bernuansa sosialistis dan berkecenderungan mempererat pertemanan dengan RRT (Republik Rakyat Tiongkok). Pokoknya secara retoris, serba untuk kepentingan rakyat. Tapi sementara itu Jusuf Kalla lebih banyak menampilkan pandangan-pandangan bernuansa kapitalistik liberalistik. Jusuf Kalla terkesan banyak tampil melawan mainstream terkait opini, pandangan dan kepentingan rakyat. Baik itu mengenai subsidi BBM, mengenai pemberantasan korupsi, maupun pembelaan kepemilikan kekayaan pribadi atau rekening gendut di kalangan pejabat, dan sebagainya.

Apakah sudah bisa diartikan bahwa di antara JKW dan JK tak ada lagi ikatan amigos para siempre yang justru merupakan salah satu kebutuhan pokok dalam duet kepemimpinan negara? Dalam enam bulan, agaknya situasi mereka berdua sudah tiba pada tanda-tanda no amigos para siempre. Sampai enam bulan yang lalu mereka masih mengikat diri dalam persekutuan untuk berjuang meraih posisi kepemimpinan negara. Tapi menjadi berbeda saat kekuasaan negara sudah di tangan. Mungkin ini mengikuti adagium bahwa dalam politik tak ada kawan atau lawan yang abadi karena yang ada hanya kepentingan abadi. Adagium ini disadur dari Lord Palmerston (1785-1865) ketika menjadi Perdana Menteri Inggeris dua periode sejak usia 70 selama 10 tahun terakhir hidupnya: Nations have no permanent friends or allies, they only have permanent interests.

JKW dan JK memang seakan sudah berbeda jalan dan pandangan, kendati mereka –terutama JK– masih selalu mengatakan tak ada pertentangan antara mereka berdua. Bagi JK agaknya sudah merupakan tradisi untuk ‘menyempal’ terhadap presidennya, seperti yang terjadi saat berduet dengan SBY. Dalam pencalonan untuk masa kepresidenannya yang kedua SBY tak mau lagi berpasangan dengan JK. Lagipula sementara itu, membaca gelagat takkan diajak SBY lagi, JK meluncur mencalonkan diri sebagai Presiden di tahun 2009. Sebelum menjadi pasangan kandidat bersama JKW tahun 2014, bahkan JK sudah sempat memberi pendapat lain, “hancur negara ini” kalau JKW yang masih minim jam terbang menjadi Presiden.

            Amigos para siempre (friends forever) memang bukan pilihan para tokoh dan pelaku politik masa kini di Indonesia. ’Pertemanan’ yang ada hanyalah pertemanan taktis sesuai kepentingan, dan itu bisa berakhir setiap saat. Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Golkar terbelah dua di hadapan godaan, apakah ikut gerbong pemenang kekuasaan pemerintahan yang baru, atau bertahan di luar kekuasaan. Partai politik juga bisa saling ‘makan’ dengan menggunakan ‘petugas partai’ yang ada dalam kekuasaan. Partai yang dulu sering bernasib malang digigit-gigit oleh penguasa, bisa bermutasi menjadi predator juga terhadap partai lain. Mungkin masih akan begitu untuk beberapa periode ke depan.

            Ganteng-ganteng seringgila. Fenomena saling gigit lalu menjadi saling mangsa, juga merupakan realita dalam kehidupan ekonomi Indonesia. Pebisnis memangsa sesama pebisnis adalah realita sehari-hari dalam berbagai bentuk. Akhirnya memunculkan sekelompok pemenang –yang jumlahnya sedikit saja, tapi kekuasaan ekonomisnya besar– berkategori ‘ganteng-ganteng serigala’. Seringkali juga, meminjam olok-olok di berbagai media sosial, berubah kategori menjadi ‘ganteng-ganteng seringgila’. Perilaku bisnis seringkali memang sudah gila-gilaan dalam pelanggaran norma, etika, bahkan hukum. Merupakan realita lanjut, pebisnis makin intensif menggunakan tokoh-tokoh dalam kekuasaan untuk menguras uang negara dan uang rakyat. Apalagi memang cukup banyak petugas negara bisa dan mau dibeli, karena ia sendiri punya program memperkaya diri, untuk pada gilirannya menggunakan uang itu guna memperkokoh posisi dalam kekuasaan. Sebuah buku tentang taipan atau konglomerasi di Indonesia –ditulis seorang penulis Indonesia– mengungkap bahwa ekonomi dan keuangan Indonesia dikuasai oleh hanya sekitar 200 keluarga (atau kelompok). Dalam pada itu, sekitar 94-96 persen hutan di Indonesia dikelola para konglomerat, dan hanya 4-6 persen yang bisa disebut hutan rakyat.

            Dalam tubuh militer Indonesia kesetiaan korps sangat dipelihara. Namun seringkali semangat korsa itu dijalankan dalam wujud solidaritas sempit. Dan karena solidaritas korps jenis ini dipelihara, tak jarang terjadi benturan fisik antar angkatan dan Polri. Ada gurauan politik, bahwa militer Indonesia melepas dwifungsi –yang pada masa tertentu bernuansa kenikmatan kekuasaan– tapi sekarang seolah-olah dwifungsi itu justru diambilalih oleh polisi.

Kini medan konflik meluas di tengah masyarakat. Selain bentrokan horizontal fisik karena provokasi berdasar agama dan kesukuan, tak jarang terjadi benturan fisik vertikal antara masyarakat dengan Polri dan dengan militer –penyerbuan markas Polsek atau Polres, dan markas Koramil atau Kodim. Penyebabnya entah soal tanah, entah karena salah tembak. Atau dengan pemerintahan sipil yang tak segan-segan menggunakan Satpol PP mereka untuk menghadapi ekses di masyarakat secara keras, tapi dalam pada itu tak mampu berbuat sesuatu mencegah sumber ekses berupa kemiskinan yang nyaris laten karena tak teratasi. Konsep saling menghargai, saling melindungi dan saling mengayomi telah berlalu.

Sesungguhnya, untuk menghadapi dan mengatasi semua persoalan Indonesia yang makin pelik, teristimewa di tengah kesuraman situasi global saat ini, dibutuhkan kepemimpinan bersama yang kuat. Tapi banyak yang ragu dengan kapasitas dan kapabilitas dua tokoh pimpinan negara saat ini, termasuk kemampuan objektif mereka memilih dan bekerja bersama anggota kabinet. Sudah mencapai ceiling, orang per orang atau bersama-sama. (socio-politica.com)

Menuju ‘Indonesia Tanpa FPI’?

DALAM berbagai peristiwa selama ini FPI (Front Pembela Islam) di bawah pimpinan Habib Rizieq tersohor sebagai pelaku kekerasan –fisik maupun non fisik– di tengah masyarakat. FPI menjadi pelaku penggrebegan dan razia di tempat-tempat hiburan yang mereka anggap maksiat, serangan terhadap kegiatan unsur masyarakat lainnya yang mengekspresikan hak berserikat dan hak berpendapat seperti dalam Insiden Monas 1 Juni 2008 sampai serangan-serangan terhadap pengikut Ahmadiyah. Sesekali, FPI pun ambil peran sebagai ‘penengah’ dalam bentrokan fisik antara sekelompok masyarakat melawan Satpol PP akibat sengketa ‘makam’ Mbah Priok, April 2010.

DEMO INDONESIA TANPA FPI. “Sikap tidak tegas para pemimpin pemerintahan itu, hanya memperkuat kesimpulan bahwa FPI memang adalah bagian dari ‘permainan’ politik kekuasaan, dulu maupun sekarang. FPI lahir, besar dan menjadi kuat melalui binaan tangan-tangan penguasa dari masa Habibie hingga kini, ganti berganti dari tangan Jenderal Wiranto ke tangan jenderal lainnya, tak terkecuali perwira-perwira tinggi Polri sendiri”. (Foto download: jpnn.com)

Akan tetapi beberapa waktu belakangan ini, angin seakan berbalik arah menerpa FPI. Massa Barisan Pertahanan Adat Dayak Kalimantan Tengah, bergerak mencegah kedatangan pemimpin FPI Habib Rizieq Shihab Sabtu 11 Februari 2012 ke kota Palangkaraya. Sejumlah besar massa dengan pakaian adat khas Dayak berjaga-jaga di berbagai tempat. Sementara itu sebagian lainnya sempat ‘menduduki’ Bandar Udara Tjilik Riwut dan siap mengusir Habib Rizieq bila mendarat di sana, namun pimpinan FPI itu batal datang untuk melantik cabang FPI di Kalimantan Tengah. Petinggi adat Dayak setempat menyatakan, Kalimantan Tengah tak memerlukan kehadiran FPI yang hanya akan membawa perilaku kekerasan di daerah itu.

Senin keesokan harinya, berlangsung pula unjuk rasa dalam suatu aksi damai ratusan massa di Jakarta, bertema ‘Indonesia tanpa FPI’ yang sempat mengalami kericuhan karena adanya sejumlah provokator. Beberapa peserta aksi damai diserang sejumlah orang yang belum dikenali identitasnya, namun sempat disangka anggota atau setidaknya ‘simpatisan’ FPI.

Pencegahan dan penolakan FPI pernah juga terjadi di Jombang, Jawa Timur, April 2011, yang dilakukan GP Ansor bersama 15 organisasi massa anti kekerasan.

Dengan adanya penolakan terhadap FPI, tokoh NU Sholahuddin Wahid, mengharapkan FPI bisa mawas diri dan tak memaksakan diri.

Apakah FPI akan mawas diri dengan adanya penolakan keras seperti di Palangkaraya dan Jakarta? Agaknya sulit diharapkan. FPI yang tak pernah sadar bahwa dirinya adalah pelaku kekerasan dalam berbagai peristiwa, termasuk penyerbuan gedung Kementerian Dalam Negeri belum lama berselang, bereaksi cukup keras, menganggap dirinya dizalimi. Tokoh FPI Munarman, misalnya menuding Gubernur Kalimantan Tengah Teras Narang berada di belakang penolakan FPI di Palangkaraya. FPI mengatakan akan mengadukan Gubernur dan Kapolda setempat ke Mabes Polri. FPI juga mengadu ke Komisi III DPR. Tokoh FPI lainnya, Habib Mukhsin Hamid Alatas dua hari berturut-turut tampil melontarkan pernyataan–pernyataan keras seraya menggambarkan betapa FPI telah dizalimi. Tak terbersit sedikit pun tanda mawas diri, bahwa selama ini justru FPI adalah pelaku berbagai kekerasan dengan mengatasnamakan Islam. Padahal, pada hakekatnya Islam adalah sebuah agama dengan ajaran damai. Bahwa Islam kemudian tertampilkan sebagai agama dengan ajaran kekerasan, bahkan sering kali terasa bengis, tak lain karena perilaku beragama sekelompok orang yang mendasarkan diri kepada penafsiran-penafsiran sesat.

Bila FPI tak segera bisa mawas diri, mungkin takkan terelakkan bahwa pada suatu waktu, entah cepat entah lambat, akan diterpa oleh kemarahan massal masyarakat yang telah habis kesabarannya. Dan tak mustahil FPI pulalah yang akan memulai persoalan, saat merasa otoritasnya sebagai ‘polisi’ agama terganggu.

Apakah, sebelum kemarahan massal itu menggelinding, pemerintah akan terlebih dulu menindaki FPI dan atau membubarkannya, untuk mencegah konflik horizontal besar antara masyarakat dengan FPI? Itu tampaknya sesuatu yang sulit diharapkan. Pemerintah selama ini terkesan ‘takut’ bertindak. Terlihat dari pernyataan serba ragu dan berputar-putar tak jelas, baik dari Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi yang kaca jendela ruangan kantornya hancur disambit batu massa FPI beberapa waktu lalu, maupun dari Kapolri Timur Pradopo. Menteri Dalam Negeri mengatakan Polri kurang tegas menindaki ormas anarki. Sebaliknya, Polri menyalahkan Kementerian Dalam Negeri yang tidak melakukan pembinaan kepada ormas. Lalu menteri membela diri, ‘menyalahkan’ undang-undang keormasan yang dianggapnya lemah. Saat FPI mengancam akan mengobarkan gerakan penggulingan terhadap Presiden SBY, pun tak terlihat adanya keberanian bertindak, padahal nyata-nyata itu sudah merupakan pernyataan niat penggulingan kepala pemerintahan, yang tak lagi sekedar berada dalam lingkup kebebasan menyatakan pendapat. Para penguasa berlindung di belakang pernyataan, bahwa ancaman FPI itu hanyalah sebatas kata-kata, belum merupakan suatu tindakan.

Sikap tidak tegas para pemimpin pemerintahan itu, hanya memperkuat kesimpulan bahwa FPI memang adalah bagian dari ‘permainan’ politik kekuasaan, dulu maupun sekarang. FPI lahir, besar dan menjadi kuat melalui binaan tangan-tangan penguasa dari masa kepresidenan Habibie hingga kini, ganti berganti dari tangan Jenderal Wiranto ke tangan para jenderal lainnya, tak terkecuali perwira-perwira tinggi Polri sendiri. Mulai sebagai bagian dari Pam Swakarsa yang diciptakan penguasa untuk menghadapi kelompok mahasiswa di masa awal reformasi, sampai wujud sebagai ormas FPI yang bisa menghadapi kelompok masyarakat mana pun sesuai kepentingan para pembina. Akan tetapi sekarang, pada akhirnya, “tak seorang pun di luar FPI bisa mengontrol Habib Rizieq yang kini telah menjadi tuan bagi dirinya sendiri” (Baca, “FPI: Dengan Laskar Paramiliter, Menentukan Otoritas Sendiri”, sociopolitica.me/ sociopolitica.wordpress.com, 11 dan 15 Januari 2012).

Menuju Indonesia tanpa FPI?

‘Campur Sari’ Arogansi, Despotisme dan Playgroup Politik (2)

Despotisme ala PSSI. Tak salah lagi, PSSI di bawah Nurdin Khalid –yang di masa jabatan keduanya sebagai Ketua Umum didampingi eks aktivis 1966 Nugraha Besoes sebagai Sekertaris Jenderal– kini telah menjelma menjadi semacam laboratorium despotisme alias memimpin dan memerintah dengan sewenang-wenang. Nurdin Khalid yang kini namanya sering di’pleset’kan di dunia maya sebagai Nurdin Khadafy Khalid, adalah lulusan Institut Keguruan Ilmu Pendidikan (IKIP) Makassar.

Baru lulus, Nurdin yang tampaknya enggan menjadi guru (sebagaimana harusnya lulusan IKIP) menerima tawaran menjadi pengurus KUD (Koperasi Unit Desa) di pedalaman Sulawesi Selatan. Rupanya Nurdin kuat juga tekanan adrenalinnya, sehingga ia cepat menapak ke atas dan akhirnya menjadi Ketua INKUD. Bertepatan waktu dengan kehadiran BPPC Tommy Soeharto yang menguasai perdagangan cengkeh. Kerjasama BPPC dengan INKUD antara lain memberi hasil akhir bagi pribadi Nurdin sebagai milyarder rupiah. Tetapi posisi di induk koperasi itu juga membawa Nurdin Khalid ke pengelolaan komoditi bahan pokok lain seperti minyak goreng yang membawa Nurdin ke balik jeruji sel penjara. Menurut kabar, masih ada proses penanganan perkara korupsi lainnya yang sedang menunggu Nurdin Khalid.

MENGHINDARI SOCIAL CONTROL. “Kalau anda menduduki jabatan publik… perbuatan dan perkataan anda harus memperhitungkan pikiran, etika dan rasa kepantasan publik serta memahami tanggungjawab berdasarkan nilai-nilai kebenaran umum. Jangan berbuat dan berbicara semata-mata sesuai kehendak anda sendiri” (Karikatur Harjadi S, 1967)

Sama-sama pernah (dan masih) berkiprah di Golkar, Nugraha Besoes yang pernah menjadi Komandan Resimen Mahasiswa Mahawarman di Bandung (Universitas Padjadjaran) masih memiliki satu-dua perbedaan dengan Nurdin Khalid. Nugraha Besoes masih lebih ‘miskin’ dari Nurdin Khalid, tetapi Nunu belum punya catatan hitam dunia hukum sebagai pelaku pidana korupsi. Selain itu, Nunu pasti lebih banyak ‘bergaul’ dengan kalangan aktivis yang menentang kekuasaan dan kekuatan anti demokrasi di masa lampau, zaman Nunu masih muda belia. Kini, tampaknya Nugraha Besoes terbawa bersama Nurdin ke alam despotisme, dan telah menjadikan organisasi olahraga PSSI sebagai laboratorium praktek. Entah juga orang kaya seperti Nirwan Bakrie. Tak boleh tidak, kehadiran tiga nama ini, telah membuat nama organisasi politik, Golkar, terbawa-bawa dan pada gilirannya membawa nuansa politik ke dalam PSSI. Apalagi, Nurdin Khalid sendiri pernah mengatakan bahwa prestasi PSSI adalah prestasi Golkar. Padahal, belum tentu Golkar diuntungkan dengan kasus-kasus PSSI, malah bisa sebaliknya. Bodoh betul, bila Golkar membiarkan nama partai dibawa-bawa, apalagi merestui.

Mungkin tak perlu diceritakan ulang di sini, tetapi terlihat kini betapa PSSI telah menjadi ajang despotisme, cara-cara memanipulasi statuta dihalalkan, pertanggungjawaban keuangan yang tidak jelas, tempat praktek orang-orang yang ngotot mempertahankan kedudukan dengan berbagai cara. Statuta FIFA yang menyebutkan syarat pimpinan organisasi yang ‘tak pernah terlibat’ pidana, dipelintir menjadi ‘tidak sedang’ menghadapi atau menjalani pidana. Oleh pers, PSSI tergambarkan sebagai sarang manipulasi uang dan suap menyuap, intrik, praktek money politics, korupsi APBD dan mungkin juga APBN, dan lain sebagainya.

Nurdin mungkin sudah dari awal mendisain dirinya untuk mengoptimalkan setiap kesempatan dan ‘kekuasaan’ menjadi benefit dengan segala cara. Tapi apakah kesempatan dan kekuasaan –di lingkup manapun kekuasaan itu, besar atau kecil– juga berhasil merubah orang-orang seperti Nugraha Besoes atau Dipo Alam? Bisa saja orang mengalami perubahan, bukan hanya Nunu atau Dipo, apalagi bila pernah mengalami pengalaman traumatik, dengan kalangan kekuasaan di masa lampau misalnya, dan merespon trauma itu secara keliru.

Anarki. Ini semua –boikot Dipo, drama hak angket DPR, maupun kisruh PSSI– terjadi ketika masyarakat belum sempat pulih nafasnya karena baru saja disuguhi tindakan anarki dan kekerasan dengan mengatasnamakan agama di Cikeusik dan kota kabupaten Temanggung. Diwarnai tantangan dan ancaman FPI untuk menggulingkan Presiden SBY, dan pada sisi sebaliknya perintah SBY kepada para bawahannya mencari jalan untuk bisa membubarkan organisasi-organisasi massa yang seringkali melakukan kekerasan dan anarki tak lagi terdengar kabar lanjutnya. Bagaikan semangkuk sup, kini sudah dingin dan sebentar lagi akan basi. Tinggal menunggu organisasi-organisasi anarkis itu kembali melakukan aksi, karena menghitung bahwa 9 dari 10 kemungkinan pemerintah takkan berani bertindak, sebagaimana telah terbukti dengan ‘uji coba’ selama ini. Kapolri Timur Pradopo mengatakan bahwa wewenang pembubaran ormas ada di tangan Menteri Dalam Negeri. Tetapi Mendagri Gamawan Fauzi memperlihatkan sikap ‘bingung’, dalam kaitan FPI misalnya, ia mengatakan bahwa organisasi itu tak bisa dibubarkan karena tak terdaftar di Kementerian Dalam Negeri.

Akan tetapi terlepas dari itu, pelajaran anarki dan kesewenang-wenangan, seringkali juga datang dari aparat kekuasaan sendiri. Perhatikan saja keganasan satuan Polri dalam beberapa peristiwa tatkala menghadapi unjuk rasa. Dalam pada itu, Satpol PP yang berada di bawah kendali komando jajaran Kementerian Dalam Negeri di berbagai daerah, tak kalah dalam menunjukkan sikap anarki dan keganasan tatkala ‘menumpas’ para pedagang kaki lima, para gelandangan, pelacur dan waria maupun kalangan akar rumput lainnya yang barangkali mereka anggap sekedar sebagai sampah masyarakat. Belum lagi kalau memang betul bahwa ada sejumlah organisasi massa di pusat maupun di daerah, yang biasa melakukan tindakan anarki, justru adalah ‘peliharaan’ oknum-oknum kekuasaan politik dan pemerintahan sendiri. Misalnya, bila di suatu daerah ada pengusaha tempat hiburan ‘lalai’ membayar upeti, maka ormas tertentu dikerahkan melakukan ‘razia’ atau ‘sweeping’, untuk bikin kapok sehingga nanti takkan berani lagi melalaikan kewajiban setoran khusus.

Dalam segi tertentu, sekedar sebagai contoh, sikap Sekertaris Kabinet yang memerintahkan boikot kepada dua stasiun TV dan satu media cetak, juga bernuansa anarkis. Padahal, ada begitu banyak pilihan cara yang layak, misalnya melalui jalan hukum. Satu dua kali, sebagian anggota DPR juga memberi pelajaran anarki melalui pertengkaran vulgar, saling teriak, saling ejek, dorong mendorong, bahkan ada anggota yang pernah mendatangi anggota lainnya dengan sikap ancang-ancang memukul, yang kesemuanya terjadi dalam persidangan yang disiarkan langsung oleh media televisi. Belum pelontaran kata-kata dengan meminjam nama-nama khewan di kebun binatang maupun khewan peliharaan di rumah. Mereka pikir masyarakat yang menonton ulah mereka tidak perlu dihormati lagi?

Kalau anda menduduki jabatan publik –di lembaga eksekutif, legislatif, judikatif maupun institusi masyarakat– perbuatan dan perkataan anda harus memperhitungkan pikiran, etika dan rasa kepantasan publik serta memahami tanggungjawab berdasarkan nilai-nilai kebenaran umum. Jangan berbuat dan berbicara semata-mata sesuai kehendak anda sendiri (intentio auctoris). Kalau anda tak sudi dengan pembatasan moral dan etika seperti itu, segera berhenti dari jabatan publik yang sedang anda duduki saat ini.

Ali Sadikin, Si ‘Angkuh’ dari Jakarta (2)

Soal urbanisasi, Ali Sadikin kembali berkomentar, “Dulu rawa-rawa isinya kodok. Kalau hujan tiba terdengar bunyi kook, kook…kook… Kini kalau musim hujan, terdengar juga kook, kook… Tapi bunyinya keluar dari mulut manusia yang sudah menghuni rawa-rawa itu. Menagih agar banjir bisa segera diatasi, menagih bisa dapat listrik…”.

AKAN tetapi, pemimpin dengan type pelopor masa transisi seperti itu sebaliknya harus pula menyadari bahwa langgam dan gayanya berangsur-angsur perlu diarahkan dan disesuaikan dengan keadaan yang makin menjauhi sifat peralihan. Akan halnya Ali Sadikin, sungguh sayang, bahwa setelah bertahun-tahun terbiasa dengan cara transisi –yang dalam banyak hal, bila perlu menggunakan kepalan tinju terhadap yang tak mau tertib dan pada saat yang sama bercenderungan mem-bypass segala sesuatu– maka sikap tersebut tampaknya sudah terlalu melekat kepada dirinya. Cara-cara gertak dan dobrak tidak diusahakan diperbaharui, misalnya dengan cara-cara yang lebih menghargai manusia dan selalu menggunakan pertimbangan hukum dan keadilan.

‘Pujaan’ rakyat ibukota ini, tanpa terasa mulai tergambarkan kadang-kadang ‘menakutkan’, karena bawahan-bawahannya yang terlalu galak dalam menggusur, menguber, melabrak. Sepertinya pola keras tersebut mewaris kepada aparat penertiban Pemerintah DKI (Satpol PP) hingga kini. Kerap muncul kesan bahwa cara-cara Gubernur Ali Sadikin terlalu menekan golongan rakyat kecil. Untuk hal ini pengacara ibukota yang terkemuka, Yap Thiam Hien SH, pernah mengeritik dari sudut hukum. Memang Ali Sadikin dan aparat-aparatnya kadang-kadang terlalu ‘melangkahi’ segalanya, bahkan bagi banyak orang tindakan-tindakan Ali Sadikin dan aparatnya itu dinilai telah melanggar hukum dan hak azasi. Maka tak jarang terjadi konflik antara petugas-petugas penggusur dari pemerintah DKI –apakah itu dalam pengosongan lahan, pengosongan rumah, pembersihan kaki lima, penindakan para pelanggar daerah bebas becak– dengan masyarakat. Ada yang akhirnya dibawa ke pengadilan, dan telah beberapa kali terjadi bahwa Pemerintah DKI diputuskan sebagai pihak yang bersalah.

Marah kepada urbanisasi

Tentu saja memimpin satu kota besar seperti Jakarta memang bukanlah pekerjaan gampang. Namun barangsiapa pun yang mendapat kepercayaan memimpin ibukota negara yang belum kuat ekonominya, dan menerima jabatan itu, tentu pula sudah menghitung segala risiko. Tak perlu ada keluhan, karena memang jelas pekerjaan tersebut kompleks dan memusingkan.

Risiko dalam pengelolaan kota-kota besar di negara yang belum kuat tulang punggung ekonominya, jelas akan banyak dan besar. Salah satu hal adalah soal urbanisasi yang tampaknya akan sukar dihindarkan. Tetapi Ali Sadikin adalah orang yang paling suka marah terhadap kenyataan urbanisasi ini. Ia marah misalnya kepada gubernur lain yang dianggapnya tak mampu menahan arus urbanisasi dari daerahnya ke ibukota. Ia lupa bahwa kegemerlapan yang diciptakannya dengan cepat di Jakarta telah menarik laron-laron berdatangan dari segala penjuru. Kehidupan malam ibukota yang ditandai dengan kehadiran berbagai kelab malam, tempat mandi uap dan berbagai tempat hiburan dan pelesir lainnya, misalnya, merekrut ratusan perempuan muda dari berbagai daerah sebagai tenaga penghibur, dengan cara baik-baik maupun dengan cara penuh tipu daya dan jebakan.

Sebenarnya, Ali Sadikin tak pantas untuk terlalu mengkambinghitamkan urbanisasi, seperti yang berkali-kali dicetuskannya. Sampai-sampai soal banjir yang rutin melanda ibukota, ditimpakan kesalahannya pada urbanisasi yang katanya menyebabkan tanah-tanah kosong penuh padat, apakah itu rawa-rawa bekas tempat bangkong (kodok) atau tempat lainnya. Urbanisasi sudah menjadi salah satu risiko yang harus dihadapi Jakarta. Ibukota negara tak bisa melepaskan diri dari keadaan negara keseluruhan. Tak pantas kalau penguasa-penguasa kota besar, apalagi ibukota, terlalu egois memikirkan kecemerlangan kotanya semata. Jakarta misalnya, jika ia mau berlari tertalu kencang ke depan, akan menimbulkan ketidakseimbangan. Jakarta menjadi metropolitan, sementara di sekelilingnya adalah desa-desa dengan rakyat terkebelakang. Kedengarannya pahit, tetapi demikianlah adanya, karena dalam satu negara daerah per daerah tidak bisa terlepas satu dengan yang lain, jika tidak dikehendaki terciptanya jurang-jurang antar daerah.

Jurang sosial

Dalam pada itu, untuk lingkungan ibukota negeri ini sendiri, banyak pihak mengatakan bahwa makin menonjol fakta terciptanya jurang sosial dalam masyarakat –suatu gejala yang umum sebenarnya di seluruh Indonesia, tetapi lebih terasa di Jakarta. Ali Sadikin pun pernah mengakui bahwa 80 persen penduduk ibukota masih hidup dalam suatu tingkat hidup yang di bawah standar. Ini berarti menyangkut kurang lebih 4 juta jiwa pada tahun 1970.

Ali Sadikin sendiri cenderung menyalahkan urbanisasi dan ketidaksadaran penduduk untuk menjalankan keluarga berencana. Akhir tahun 1972 dengan marah Ali Sadikin menimpakan tuduhan biang keruwetan kepada apa yang disebutnya “oknum-oknum yang beranak banyak”.

Sebaliknya, beberapa pihak lain, misalnya seperti yang antara lain berkali-kali diberitakan beberapa pers luar negeri, menyalahkan Pemerintah DKI menjalankan pembangunan yang arahnya hanya menguntungkan golongan kaya tapi menindas golongan akar rumput. Soal ini dibantah, dan memang mungkin saja agak berlebih-lebihan. Akan tetapi harus pula diakui dengan jujur bahwa gejala ke arah sana bukannya tak tampak sama sekali. Tiap kali ada pembangunan gedung baru –yang berarti untuk kepentingan golongan ekonomi kuat– sejumlah keluarga lapisan bahwa terkena gusur. Dan tak selalu penggusuran dijalankan secara adil dan dengan cara wajar. Banyak kisah yang menunjukkan betapa kadang-kadang para petugas pemerintah kota terlalu petantang-petenteng dalam menjalankan tugas pembersihan terhadap pedagang kaki lima. Golongan pengemudi becak makin dipepetkan dengan kebijakan daerah bebas becak, namun sebaliknya tak cukup diimbangi dengan penyaluran ke lapangan nafkah lain. Benar, penertiban perlu dilakukan, tetapi tidak secara sewenang-wenang.

Seiring dengan itu, ada gejala lain yang terlihat pada kepemimpinan Ali Sadikin sebagai Gubernur DKI Jakarta Raya. Tak lain, laju pertambahan keangkuhannya.

Kelebihan Ali Sadikin sebenarnya memang adalah bahwa ia memiliki sifat arrogan atau keangkuhan itu. Keangkuhan, dalam banyak hal perlu dimiliki oleh seorang pemimpin, karena ini merupakan salah satu motor pendorong untuk tidak mau kalah kepada segala tantangan. Hanya saja, keangkuhan pun tak boleh berlebih-lebihan.

Letnan Jenderal Marinir ini –yang pernah diapresiasi oleh Mingguan Mahasiswa Indonesia dari Bandung sebagai Man of The Year 1967–kadang-kadang berlebihan keangkuhannya hingga tak jarang terpeleset. Misalnya saja dalam berkata-kata. Dalam menanggapi suara-suara yang menyatakan persetujuan terhadap larangan Kopkamtib bagi segala bentuk perjudian di seluruh wilayah Indonesia, dengan serta merta dan emosional Ali Sadikin menyebutnya sebagai suara beo-beo. Kepada pemerintah pusat ia menuntut untuk mengganti 5 milyar rupiah per tahun, setara dengan kehilangan penghasilannya dari perjudian setiap tahun. “Memangnya membangun dengan kentut saja”, ujarnya dengan ketus, “Kalau setiap kali kentut keluar 1 milyar, mari kentut bersama-sama”. Padahal jika ia memang keberatan terhadap larangan judi, semestinya ia langsung saja datang ke Merdeka Barat memprotesnya kepada Panglima Kopkamtib yang mengeluarkan larangan tersebut. Berkali-kali pula bila ada wartawan yang mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tak menyenangkan hatinya, ia segera menyemprot sang wartawan untuk tidak bersikap sok. Dan dalam hal pemberitaan mengenai pernyataan-pernyataannya menanggapi larangan perjudian, ia menyalahkan pers, “Jangan adu domba saya dengan Pangkopkatib”.

Keangkuhan-keangkuhannya dalam menanggapi suara dan pendapat orang lain, sungguh tidak mengesankan untuk tidak mengatakannya sebagai menjengkelkan. “Pada waktunya, jika keangkuhannya ini sudah terlalu berlebih-lebihan”, tulis Mingguan Mahasiswa Indonesia, Mei 1973, “akan makin banyak rasa simpati meninggalkannya”. Terhadap peringatan ini, Ali Sadikin berkomentar, “Kalau ada si Bongkok dari Notre Dame, maka Mahasiswa Indonesia telah menyebut ada Si Angkuh dari Jakarta”. Ia sengaja memilih kesempatan berkomentar di depan mahasiswa saat ia menjadi penceramah dalam sebuah seminar perguruan tinggi se-Indonesia di Denpasar Bali (13 Mei 1973). “Biar saya dibilang angkuh dan sombong, tetapi saya selalu berjalan di atas landasan hukum”. Soal urbanisasi, Ali Sadikin kembali berkomentar, “Dulu rawa-rawa isinya kodok. Kalau hujan tiba terdengar bunyi kook, kook…kook… Kini kalau musim hujan, terdengar juga kook, kook… Tapi bunyinya keluar dari mulut manusia yang sudah menghuni rawa-rawa itu. Menagih agar banjir bisa segera diatasi, menagih bisa dapat listrik…”.

Pada Wilayah Kesenjangan Sosial Ekonomi: Peristiwa 10 Mei 1963 (2)

Sepanjang perjalanan sejarah Indonesia hingga kini, tercatat betapa kesenjangan sosial ekonomi ini menjadi satu masalah yang belum berhasil tertangani dengan baik dan dengan sendirinya belum berhasil terselesaikan. Berita-berita terakhir menunjukkan betapa di tengah retorika tentang apa yang disebut keberhasilan pembangunan ekonomi, ternyata masih terdapat kalangan akar rumput yang masih morat-marit hidupnya dan harus memasukkan nasi aking ke dalam menu sehari-harinya”.

Peristiwa telah berkembang mengagetkan. “Akan tetapi, yang lebih mengherankan lagi di luar kampus ITB telah berkumpul banyak sekali mahasiswa, pelajar dan pemuda”. Massa campuran ini kemudian bergerak ke arah Bandung bagian bawah melalui Jalan Dago (kini Jalan Ir H. Juanda), ke Jalan Braga yang merupakan daerah pertokoan dan berbelok ke Asia Afrika. Bagian Barat jalan ini, setelah Alun-alun Bandung, penuh dengan pertokoan hingga ke Jalan Raya Barat (kini Jalan Jenderal Sudirman) dan berpotongan dengan Jalan Otto Iskandardinata yang juga adalah daerah pertokoan. Toko-toko yang diketahui milik etnis china dirusak, lebih dari seratus mobil dibakar, dan lebih banyak lagi sepeda motor. Beberapa bagian lain kota Bandung juga terjalar kerusuhan. Bahkan, rentetan peristiwa serupa merambat ke sejumlah kota lain di Jawa Barat seperti Sumedang dan Tasikmalaya di arah Timur Bandung dan Cianjur serta Sukabumi di arah Barat Bandung. Cirebon, yang terletak di pantai Utara Jawa Barat, kembali mengalami kerusuhan, padahal pada 27 Maret sebelumnya suatu kerusuhan rasial yang menimpa etnis china di sana telah pecah lebih dulu.

Peristiwa di Cirebon inilah, sepanjang pengakuan beberapa mahasiswa asal Cirebon, seperti Dedi Krishna dan Tari Pradeksa, yang menjadi pemacu mereka untuk dengan cepat mengambil peranan dalam Peristiwa 10 Mei 1963 di Bandung itu. Menjalar dan membesarnya peristiwa yang semula direncanakan oleh aktivis kampus yang apolitis, tak terlepas dari peran aktivis seperti Soeripto dan kawan-kawan dari Gemsos, serta aktivis anti komunis dan anti Soekarno seperti Rahman Tolleng –yang sebenarnya adalah seorang pengecam sikap dan perilaku rasialis sebagaimana yang terlihat kelak dalam berbagai sepak terjang politiknya.

Mereka inilah yang menambahkan dimensi politik ke dalam peristiwa, sehingga membesar, meluas dan bermakna politis yang mengusik kekuasaan Soekarno. Secara politis, peristiwa ini mendapat sofistikasi sebagai gerakan penolakan masyarakat terhadap peranan politik Baperki yang bergandengan dengan PKI dan serangan terhadap kedekatan politik Soekarno dengan Peking (kini, ditulis Beijing). Kelompok inilah yang juga menyebarkan psywar tentang keterlibatan Guntur Soekarnoputera dalam peristiwa, yang isunya dengan cepat merambat, sehingga sempat muncul semacam keraguan bertindak di kalangan aparat. Namun selang beberapa waktu kemudian, isu keterlibatan Guntur itu berputar balik dan tiba ke telinga para penyebar awal isu tersebut dan sempat mereka percayai kebenarannya tanpa menyadari bahwa isu itu tak lain adalah pengembangan dari isu yang mereka lontarkan sebelumnya. Tetapi terlepas dari itu, tampaknya memang sejumlah perwira di Kodam Siliwangi memang sedikit membiarkan peristiwa terjadi dan membesar. Bahkan beberapa penggerak peristiwa kemudian hari mengungkapkan adanya jaminan takkan ada penangkapan yang disampaikan oleh beberapa perwira sebelum terjadinya peristiwa.

Di wilayah abu-abu

Peristiwa 10 Mei 1963 ini memang ada di wilayah abu-abu. Ia adalah satu peristiwa politik dengan beberapa tujuan politik dari sebagian para pelakunya. Sekaligus ia adalah pula satu peristiwa yang bagaimana pun termasuk sebagai suatu kerusuhan berdasar rasial, yang menunjukkan betapa pada waktu itu secara objektif sentimen ras memang kuat adanya di tengah masyarakat. Sebagian pelakunya, dengan terus terang mengakui bahwa sentimen ras lah yang telah memicu keterlibatan mereka, seperti Siswono misalnya, karena sebagai anggota GMNI yang mengidolakan tokoh Soekarno, tak mungkin ia bermaksud melakukan kegiatan politik menentang Soekarno. Namun tak urung Siswono mendapat sorotan juga dari internal organisasinya, GMNI, atas keterlibatannya dalam peristiwa tersebut. Dan adapun Soekarno, memang menunjukkan kemarahannya terhadap peristiwa di Bandung ini dan menyebutnya sebagai gerakan subversif yang dilakukan oleh kaum kontra revolusi. PKI menuduh eks PSI dan eks Masjumi berada di belakang peristiwa ini.

Tuduhan-tuduhan serupa pun berseliweran melalui beberapa organisasi mahasiswa ekstra universiter berhaluan kiri, termasuk dari GMNI. Di tengah arus kecaman, muncul satu nada pembelaan atas keterlibatan sejumlah mahasiswa dalam peristiwa itu, melalui pernyataan PPMI (Perserikatan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia) Konsulat Bandung yang ditandatangani oleh Ketua Awan Karmawan Burhan dan Sekretaris FX Djoko Sudibyo. Awan adalah tokoh mahasiswa yang juga adalah Ketua CSB (Corpus Studiosorum Bandungense), sedang Djoko Sudibjo –mahasiswa ITB asli Jawa yang sering dianggap beretnis Cina karena penampilannya yang mirip– adalah dari PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia), dua organisasi rival bagi organisasi ekstra kelompok kiri yang bergabung dalam PPMI. Hanya sehari sesudahnya, muncul pernyataan tandingan, juga mengatasnamakan PPMI, namun tanpa tandatangan, yang isinya mengutuk Peristiwa 10 Mei dan keterlibatan mahasiswa kontrev dalam peristiwa tersebut.

Dalam tempo yang tak lama pula, menyusul tindakan pimpinan pusat PPMI di Jakarta, Bambang Kusnohadi yang juga adalah Ketua Umum GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia), membekukan PPMI Konsulat Bandung. Tindakan ini dibalas oleh mahasiswa Bandung dengan membentuk Majelis Permusyawaratan Mahasiswa Indonesia atau Mapemi. Ke dalam Mapemi bergabung PPMI Konsulat Bandung dan MMI (Majelis Mahasiswa Indonesia) Konsulat Bandung. Mahasiswa ITB, pimpinan Imaba (Ikatan Mahasiswa Bandung) yang juga adalah seorang perwira cadangan AD jalur Wamil (Wajib Militer) berpangkat Letnan Dua, Mangaradja Odjak Edward Siagian, dipilih sebagai Ketua Mapemi. MMI adalah sebuah wadah nasional yang menghimpun institusi-institusi student government intra kampus seperti dewan-dewan mahasiswa dan senat-senat mahasiswa. Sehingga, dengan penggabungan itu, Mapemi menjadi organisasi pertama dalam sejarah kemahasiswaan di Indonesia yang menghimpun organisasi-organisasi mahasiswa intra dan organisasi-organisasi ekstra. Pola ini dipakai pula kelak dalam pembentukan KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) di tahun 1966.

Sepuluh tahun setelah Peristiwa 10 Mei 1963, di Bandung terjadi lagi satu peristiwa bias politik yang juga terpacu oleh aspek rasial yang berpadu dengan fakta kesenjangan sosial akibat kegagalan penanganan penguasa terhadap aspek sosial dan ekonomi, yakni Peristiwa 5 Agustus 1973. Setiap kali ada ketidakpuasan dalam masyarakat dan penguasa gagal mengelolanya, hanya bertindak sebatas membendung dan meredam sindrom belaka, akan terjadi penyaluran ketidakpuasan dengan mendobrak beberapa mata rantai sosial yang terlemah yaitu sentimen berdasar perbedaan ras, agama dan kesukuan. Kelompok etnis yang berada paling depan dalam sentimen-sentimen itu, adalah keturunan china, karena faktor historis sejak masa kolonial dan beberapa hal yang melekat, yakni perbedaan ras itu sendiri, dan biasanya pula mereka menganut agama-agama yang berbeda dengan mayoritas anggota masyarakat. Ini semua lebih diperkuat lagi karena kesan keunggulan mereka dalam peranan-peranan ekonomi, dan dengan demikian mereka pun lalu berada di hadapan jurang perbedaan sosial. Sepanjang perjalanan sejarah Indonesia hingga kini, tercatat betapa kesenjangan sosial ekonomi ini menjadi satu masalah yang belum berhasil tertangani dengan baik dan dengan sendirinya belum berhasil terselesaikan. Berita-berita terakhir menunjukkan betapa di tengah retorika tentang apa yang disebut keberhasilan pembangunan ekonomi, ternyata masih terdapat kalangan akar rumput yang masih morat-marit hidupnya dan harus memasukkan nasi aking ke dalam menu sehari-harinya. Terdapat masih begitu banyaknya orang yang tak berkemampuan membiayai pendidikan anak-anak mereka. Sebagian lainnya lagi masih menghuni gubuk-gubuk liar di tanah negara, untuk menyambung hidup sementara yang lainnya lagi mencari nafkah sebagai pedagang kaki lima di lapak terlarang dan harus sewaktu-waktu ‘bertempur’ melawan Pasukan Satpol PP yang akan menggusurnya.

Akhir dari Peristiwa 10 Mei 1963 bagi para pencetus awalnya di kampus dan kemudian perluasannya di luar kampus adalah proses peradilan dan penjatuhan hukuman penjara. Secara khusus, Soekarno menginstruksikan kepada Jaksa Agung, agar para mahasiswa pelaku Peristiwa 10 Mei itu dituntut dengan hukuman tinggi. Dedi Krishna, tokoh PMB, yang peranannya menjadi sorotan utama dalam pers kala itu, dijatuhi hukuman penjara paling berat, yaitu 6 tahun. Selain peranannya, salah satu sebab yang membuat Dedi Krishna menjadi pusat perhatian, adalah namanya yang terasosiasikan dengan nama seorang tokoh pewayangan, paman para Pandawa lima. Pada masa Soekarno, analogi dengan dunia pewayangan selalu menimbulkan minat khas di tengah masyarakat. Selain itu, profil tubuhnya yang cukup tinggi besar, sepertinya dianggap ‘memenuhi’ syarat sebagai pemimpin gerakan massa. Terlibatnya nama kampus ternama ITB, sebagai titik cetus awal peristiwa, juga menjadi faktor penting lainnya.  Di urutan ketiga dengan hukuman 3 tahun penjara adalah Siswono Judohusodo, Muslimin Nasution, Qoyum Tjandranegara, Djoko Santoso, Tari Pradeksa, Theo Pieterz. Soeripto yang menjadi salah satu matarantai peristiwa merambat ke luar pagar kampus, ada di level kedua, dengan hukuman 4 tahun penjara. Iwan Zoechra dalam pada itu, dijatuhi hukuman penjara 2 tahun. Rahman Tolleng, yang sudah berstatus buronan sebelum peristiwa terjadi, tercium keterlibatannya namun tak tertangkap dan memperpanjang masa buronannya sampai ia kemudian muncul ke permukaan setelah Peristiwa 30 September 1965. Beberapa nama itu kelak dikenal lebih luas karena peranannya baik dalam pergerakan 1966 maupun sesudahnya, di dalam ataupun di luar kekuasaan pemerintahan.

Mencari Tempat Mbah Priok Dalam Sejarah

“Masyarakat tak semestinya dibiarkan dicengkeram oleh mitos dan legenda maupun nilai-nilai sempit.  Harus dicari cara untuk membuat masyarakat beragama dengan keimanan yang berlandaskan akal sehat, jauh dari mitos dan tahayul yang menurut ajaran Islam –dan agama-agama pada umumnya– sendiri adalah kemusyrikan, kekufuran dan kebodohan karena dusta. Nabi Muhammad sendiri tak pernah mengajarkan mitos, sehingga tak mengizinkan dirinya divisualisasi melalui gambar lukisan diri ataupun patung untuk mencegah ‘pemberhalaan’ baru yang mengatasnamakan dirinya”.

PERISTIWA berdarah di Koja Tanjung Priok 14 April 2010, memiliki begitu banyak segi untuk dibahas. Mulai dari pola kekerasan yang belakangan tampaknya sudah sangat mendarah-daging di lingkungan Satpol PP –sebagai akibat misleading para gubernur dan walikota yang menjadi pengguna– sampai kepada hasil akhir berupa penderitaan yang ternyata ‘hanya’ dipikul oleh lapisan akar rumput. Para santri dan anggota masyarakat sekitar makam Mbah Priok maupun para anggota Satpol PP, yang meninggal, hilang atau terbaring luka di rumah-rumah sakit pasca bentrokan, nyatanya berasal dari lapisan yang sama di masyarakat, yakni kalangan akar rumput.

Kekuranghati-hatian para penentu kebijakan dan pemangku kepentingan perluasan terminal peti kemas Tanjung Priok dalam menghadapi kepekaan terkait kepercayaan lapisan tertentu di masyarakat terhadap suatu mitos bernuansa religius –yang telah diestafetkan puluhan atau bahkan ratusan tahun lamanya– menjadi pemicu ledakan sosiologis di Koja Tanjung Priok ini. Gubernur-Wakil Gubernur dan para bawahannya cenderung memakai kacamata kuda dalam kerangka law enforcement –kalaupun terminologi ini tepat digunakan di sini, dan bukannya sekedar politik kepentingan ataupun kepentingan bisnis– terkait perluasan terminal peti kemas di Koja ini. Karena mereka penguasa, maka tak boleh kalah terhadap rakyat, apalagi ketika menyandang tanggungjawab (retorika) demi kepentingan pembangunan dan negara.

Bahwa dalam jangka panjang gerbang perdagangan internasional ini adalah untuk kepentingan bangsa dan negara, tidak bisa dipungkiri, memang ya. Tapi, jangan katakan bahwa di dalamnya tak ada kepentingan bisnis kelompok-kelompok ekonomi, termasuk kelompok ekonomi bukan nasional. Perusahaan pengelola terminal ini kepemilikan sahamnya dikuasai perusahaan Korea sebesar 51 persen dan negara melalui Pelindo sebesar 49%. Sebagaimana juga tak boleh dikatakan bahwa sebelum Peristiwa Berdarah 14 April, bukannya tak ada sengketa yang menyangkut soal ganti rugi yang bisa bernilai belasan atau mungkin saja puluhan milyar rupiah. Di luar area makam, para ahli waris makam juga memiliki lahan luas yang ingin diambil dengan ‘harga’ murah dan dengan paksaan kekuasaan oleh PT Pelindo. Tentu saja para ahli waris memiliki hak-hak hukum. Namun, agak kurang nyaman juga ketika para ahli waris dan para pengacaranya terlalu banyak menggunakan retorika agama dalam ‘pertempuran’ hukum sebelum dan sesudah peristiwa berdarah ini. Keadaan menjadi tambah tak nyaman lagi manakala kita mengetahui betapa di latar belakang terjadi pula begitu banyak persilangan kepentingan sosial dan politis dari berbagai organisasi sosial-politik dan kemasyarakatan.  Apa tidak bisa sedikit menahan diri dengan penggunaan idiom-idiom agama? Sebagaimana kita juga patut mengingatkan kalangan penguasa untuk tidak membiasakan diri meremehkan nilai-nilai religius yang hidup di masyarakat serta mengabaikan aspek hak azasi kalangan akar rumput.

MASYARAKAT memang tak selalu benar. Masyarakat juga terbiasa melakukan kekerasan selain menjadi korban kekerasan dan pelanggaran hak azasi manusia. Tapi suburnya ketidakbenaran maupun sikap irrasional ataupun kebodohan di tengah masyarakat, serta budaya kekerasan, juga adalah akibat dari kegagalan kepemimpinan dalam kekuasaan, percontohan buruk dari para pemimpin di dalam dan di luar pemerintah, serta berbagai sikap pembodohan akar rumput oleh kalangan kekuasaan negara dan kekuasaan politik. Mereka yang harus membawa masyarakat keluar dari sindrom ‘kesakitan’ secara sosiologis, justru menjadi lebih sakit dari yang mestinya mereka bimbing dan pimpin. Alih-alih mencerdaskan masyarakat, yang terjadi adalah eksploitasi ‘kebodohan’ dan berbagai sentimen sempit serta memanfaatkan rasa ketertindasan di masyarakat.

Ke depan, diperlukan keseriusan mencerdaskan bangsa. Masyarakat tak semestinya dibiarkan dicengkeram oleh mitos dan legenda maupun nilai-nilai sempit.  Harus dicari cara untuk membuat masyarakat beragama dengan keimanan yang berlandaskan akal sehat, jauh dari mitos dan tahayul yang menurut ajaran Islam –dan agama-agama pada umumnya– sendiri adalah kemusyrikan, kekufuran dan kebodohan karena dusta. Nabi Muhammad sendiri tak pernah mengajarkan mitos, sehingga tak mengizinkan dirinya divisualisasi melalui gambar lukisan diri ataupun patung untuk mencegah ‘pemberhalaan’ baru yang mengatasnamakan dirinya. Tak ada makam keramat untuk disembah dengan ritual yang menyesatkan, melainkan makam untuk tafakkur mengenang dengan rasa hormat seseorang karena jasa dan amal ibadahnya untuk kepentingan agama dan umat. Diperlukan pencerahan-pencerahan, paling tidak berupa informasi tentang kebenaran, termasuk kebenaran berdasarkan hayat sejarah.

DI MANAKAH posisi Muhammad Hasan bin Muhammad Al Haddad –yang kemudian dikenal sebagai Mbah Priuk– dalam sejarah, khususnya dalam sejarah penyebaran agama Islam di Nusantara ini? Muhammad Hasan Al Haddad adalah tokoh yang berusia ringkas, lahir tahun 1727 dan wafat 1756, jadi hanya kurang lebih 29 tahun. Ia turut serta dalam syiar Islam, meskipun bukan termasuk penyebar mula-mula Islam di Nusantara atau di Batavia dan sekitarnya, karena Islam sudah dianut di wilayah itu paling tidak sejak dua abad sebelumnya.

Agama Islam telah dianut secara luas  oleh masyarakat Jayakarta dan sekitarnya sejak awal abad ke 15. Islam itu sendiri bahkan mulai dikenal secara berangsur-angsur di wilayah itu sejak abad-abad sebelumnya karena imbas pengaruh kerajaan Islam yang mula-mula, pada abad 13, yakni Samudera Pasai di Aceh, Sumatera bagian Utara. Pada tahun 1297 dikenal raja Islam pertama, Al-Malik As Saleh. Salah satu puncak kejayaan Islam di Jayakarta adalah pada masa Fatahillah, yang oleh sesuai lidah orang Portugis disebut Tagaril yang berasal dari kata asli Fahrillah atau Fathullah yang bermakna ‘kemenangan Allah’. Pada tanggal 22 Juni 1527 Ahmad Fatahillah –yang asal-usulnya seorang muballigh yang berasal dari Samudera Pasai sebelum ke pulau Jawa– atau kemudian lebih dikenal sebagai Falatehan, merebut Sunda Kelapa dari kekuasaan Portugis. Nama Sunda Kelapa dirubah menjadi Jayakarta yang berarti kemenangan. Kemenangan ini dimaknai sebagai kemenangan berkat lindungan Allah. Tanggal 22 Juni hingga kini dianggap hari kelahiran Jakarta. Nama Sunda Kelapa sendiri kini digunakan untuk menamai pelabuhan utama di wilayah ini, sebelum beberapa abad kemudian dibangun pelabuhan baru yang dikenal sebagai Pelabuhan Tanjung Priok.

Sebenarnya, Ahmad Fatahillah ini tak lain adalah Sjarif Hidajatullah. Setelah kedatangannya ke pulau Jawa dari Samudera Pasai, sempat pula menjadi pemimpin pemerintahan kekuasaan Islam yang berpusat di sekitara Cirebon. Sjarif Hidajatullah adalah putera Maulana Ishak –adik Maulana Malik Ibrahim– yang beribukan seorang perempuan keturunan Arab dari keluarga Quraisyi, serta merupakan menantu Raden Patah. Adapun Raden Patah ini adalah keturunan Raja Majapahit terakhir, Sri Kertabumi, yang hanya sempat memerintah 4 tahun, 1474-1478. Penyerbuan Sjarif Hidajatullah atau Faletehan ke barat menaklukkan Portugis yang menguasai Sunda Kelapa dan sekitarnya lalu merubah namanya menjadi Jayakarta, juga sekaligus untuk sepenuhnya meng-Islam-kan wilayah itu.

Sjarif Hidajatullah mengundurkan diri dari dunia pemerintahan yang masih penuh urusan duniawi di usia 95 tahun dan kemudian lebih menekuni kehidupan keagamaan. Setelah wafat dalam usia yang amat lanjut, mungkin seratus tahun lebih, ia digelari sebagai Sunan Gunung Jati.

Muhammad Hasan bin Muhammad Al-Haddad, lahir dan berkiprah tak kurang dari dua ratus tahun setelah Islam berjaya di Jayakarta. Tentu penyampaian catatan ini tidak bertujuan untuk mengecilkan arti dari apa yang telah dilakukannya dalam syiar Islam lanjutan di Nusantara atau di Jayakarta atau Tanjung Priok dan sekitarnya. Mungkin kedatangannya ke wilayah ini tak lain untuk ikut meluruskan cara dan keadaan beragama masyarakat kala itu. Meskipun Islam sudah dianut lebih dari dua ratus tahun di wilayah itu, menurut beberapa catatan sejarah, di kalangan masyarakat masih cukup subur kehidupan beragama yang diwarnai kemusyrikan dan bi’dah di sana sini. Ini persoalan laten dalam kehidupan beragama di Nusantara ini. Tentu Muhammad Hassan Al-Haddad tak pernah mengharapkan bila makamnya dikeramatkan dalam artian untuk menjadi ajang ritual yang tak pada tempatnya, melainkan bahwa makamnya menjadi tempat untuk merenung bagi umat guna lebih mendekatkan diri kepadaNya dengan cara beragama yang baik dan benar.

Sayang sekali, bahwa tak cukup terdapat catatan sejarah mengenai peran dan sepak terjang Muhammad Hasan Al-Haddad. Nama dan perihal dirinya lebih banyak ada dalam wilayah mitos dan legenda. Mungkinkah namanya dicampurbaurkan dengan nama Alwi bin Tahir Al-Haddad seorang saudagar muslim pengembara dari Arab yang juga berperan dalam memperkenalkan Islam beberapa abad sebelumnya di Koromandel (Keling) hingga Nusantara? Nama Tanjung Priok pun agaknya bukan berasal dari dirinya, karena sejak zaman Jayakarta, nama Tanjung Priok sudah digunakan. Dalam peta-peta yang digunakan Belanda sebelum kelahiran Muhammad Hasan Al-Haddad, sudah tertera tempat bernama Priok. Peta-peta yang mencantumkan nama sebuah tempat bernama Priok di sekitar Jayakarta atau Batavia, misalnya, antara lain ditemukan (diselamatkan) dari sebuah kapal Belanda bernama Batavia yang karam di lepas pantai sebelah barat Australia di tahun 1648. Jadi kalaupun ada penamaan Mbah Priok bagi diri Muhammad Hasan Al-Hadad, pasti bukanlah berarti nama tempat itu terkait dengan sejarah kematiannya, melainkan barangkali karena ia wafat ketika akan melakukan syiar agama di wilayah yang bernama Priok ini.

‘Lapisan Akar Rumput’: Pemerintah Tak Selalu ‘Hadir’ Untuk Mereka (1)

“Dalam kultur Jawa masa lampau –yang mungkin saja masih berlaku hingga kini– adalah saru bila seorang Bupati apalagi seorang Raja tidak punya harta benda yang cukup, selain wanito yang ‘cantik’, kukila yang bersuara bagus dan curiga yang bertuah”. “Karena itu, untuk sementara ini masih bisa dianggap cukup ‘aneh’, bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono punya kekayaan hanya sekitar sepersepuluh dari isi rekening-rekening Gayus Tambunan. Untung beliau masih punya rumah yang cukup besar di Puri Cikeas”.

MENCUATNYA kasus Mafia Perpajakan Gayus Tambunan yang bermula dari pengungkapan Komisaris Jenderal Polisi Susno Duadji tentang adanya Makelar Kasus beroperasi di tubuh Kepolisian RI, menjadi contoh terbaru betapa rawannya kekuasaan –besar atau kecil– untuk disalahgunakan. Dan ini bukan situasi baru, sudah mewaris dari satu satu rezim kekuasaan ke rezim kekuasaan lainnya, dari satu pemerintahan ke pemerintahan lainnya. Dalam situasi seperti itu, penderita akhir selalu adalah lapisan akar rumput dalam strata sosial, karena suasana korup di kalangan kekuasaan, dari yang terkecil hingga yang ada di lapisan puncak, akan selalu mengalirkan ke bawah sikap penelantaran kepentingan rakyat banyak.

Sebagai antitese terhadap arus dari atas ke bawah itu, muncul sejumlah arus balik. Mulai dari sikap pasrah dan nrimo, apatis, penolakan terhadap kehadiran kekuasaan hingga kepada pembangkangan dalam berbagai bentuk. Tetapi terselip juga kemunculan ‘sintese’ berupa menguatnya hasrat dari kalangan akar rumput itu untuk masuk ke dalam kekuasaan dalam aneka bentuk maupun pemahaman. Apakah Gayus Tambunan dapat dijadikan salah satu figur contoh? Mungkin. Sepanjang yang bisa dilihat dari penggambaran media massa tentang masa lampaunya, Gayus bukan berasal dari lapisan atas secara ekonomis sampai lima tahun yang lampau. Tetapi keluarganya masih cukup untuk membuatnya memperoleh pendidikan yang minimal layak, bisa menyelesaikan pendidikan di sebuah lembaga pendidikan milik negara, STAN, dan karenanya bisa masuk menjadi pegawai di instansi perpajakan. Dengan hanya ‘sedikit’ kekuasaan yang dimilikinya di sebuah lembaga yang sangat penting dalam kaitan penggalian salah satu sumber pendapatan negara yang terbesar untuk saat, ia sudah bisa ‘merubah’ nasibnya hanya dalam lima tahun bagaikan sulapan.

Tetapi di dalam memori publik, fenomena ala Gayus ini bukan keajaiban besar. Justru yang aneh adalah kalau menemukan pegawai pajak yang hidup melarat, meskipun tentu saja tidak tepat untuk apriori menyatakan seluruh pegawai pajak adalah para pesulap, karena banyak juga yang mampu berperilaku normal dan mencukupkan diri dengan gaji yang relatif memang lebih baik dari pegawai negeri lainnya. Mantan Dirjen Pajak Hadi Purnomo yang kini menjadi Ketua BPK mencantumkan dalam daftar kekayaannya nominal sekitar 38 milyar, pun dihebohkan hanya dalam dua-tiga hari, apalagi beliau menjelaskan bahwa 80 persen dari kekayaannya itu berasal dari hibah keluarga atau warisan. Juga, akan aneh bila misalnya mantan Menteri Keuangan zaman Soeharto yang sebelumnya menjadi Dirjen Pajak, Fuad Bawazier, tidak punya rumah bagus, tidak punya mobil bagus lebih dari satu, tidak punya uang yang banyak. Kalau beliau di masa lampau, saat berada dalam kekuasaan, ikutan melakukan korupsi, mana mungkin kini beliau berani bersuara vokal dan tajam melontarkan kritik, termasuk mengenai masalah korupsi? Sama anehnya, bila kekayaan Wapres kita sekarang, Dr Boediono, hanya 1-2 milyar, dan bukannya 20-an milyar, padahal beliau pernah menjadi menteri perekonomian, Gubernur BI, dan sebagainya. Karena itu, untuk sementara ini masih bisa dianggap cukup ‘aneh’, bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono punya kekayaan hanya sekitar sepersepuluh dari isi rekening-rekening Gayus Tambunan. Untung beliau masih punya rumah yang cukup besar di Puri Cikeas. Dalam kultur Jawa masa lampau –yang mungkin saja masih berlaku hingga kini– adalah saru bila seorang Bupati apalagi seorang Raja tidak punya harta benda yang cukup, selain wanito yang ‘cantik’, kukila yang bersuara bagus dan curiga yang bertuah.

FENOMENA penggunaan kekuasaan dalam skala kecil terjadi pada aparat penertiban berbagai Pemerintah Provinsi maupun Kabupaten/Kotamadya, yang dikenal sebagai Satpol PP (Satuan Polisi Pamong Praja) atau Kamtib (Keamanan Ketertiban) atau Tibum (Ketertiban Umum). Anggota-anggota satuan ketertiban ini umumnya direkrut dari kalangan akar rumput dengan pendidikan menengah. Sebelum menjadi Satpol PP, mereka adalah anggota masyarakat biasa, yang mungkin saja suatu kali pernah kena tindas. Tetapi begitu mereka melakukan aksi penindakan atas dasar kuasa yang bersandar pada berbagai Perda (Peraturan Daerah) –seperti yang kerap kita saksikan langsung maupun melalui tayangan televisi– keganasannya bisa luar biasa mencengangkan. Mereka bisa mengejar para waria, wanita jalanan, anak-anak jalanan dan sebagainya, sampai tercemplung ke sungai berair kotor, dan beberapa dari kejaran itu lalu mati terbenam. Mereka bisa ganas mengobrak-abrik dagangan pedagang kaki lima, menendang para pedagang kaki lima, menjungkirbalikkan gerobak pedagang bakso, tanpa mengingat bahwa yang sedang dihancur-leburkan itu adalah hidup kaum senen-kemis. Merobohkan tanpa ampun gubuk-gubuk di bantaran kali (sungai) atau di tanah-tanah negara dengan wajah beringas.

Tak mengherankan bahwa kini muncul semacam Komite masyarakat menuntut pembubaran Satpol PP atau Kamtib ini, yang dianggap menjalankan tugas Kepolisian dengan cara lebih ganas dari Polisi betulan. Selain itu, tak jarang terjadi perlawanan terbuka secara fisik dari mereka yang merasa tertindas dan tak diberi peluang hak hidup di negerinya sendiri. Benturan ini melahirkan satu situasi anarkis. Tapi tentu saja, penanggungjawab dari semua keganasan ini terutama adalah para penentu dan pengendali kebijakan, yang bila ditarik secara hirarkis ke atas, adalah para walikota, bupati dan gubernur. Di Jakarta misalnya, pada hari-hari belakangan ini berlangsung begitu banyak penertiban yang galak, dalam rangka menyongsong pemilihan Anugerah Adipura bagi kota yang tercantik dan bersih.

Pada saat melakukan apa yang disebut penertiban, semisal ingin mencapai prestasi merebut Adipura, kehadiran pemerintah sebagai penguasa sangat terasa kehadirannya. Kehadiran itu tampil dalam wujud razia penertiban besar-besaran. Namun ketika akar rumput berjuang sehari-hari untuk kehidupannya, kehadiran itu nyaris tak terasa. Bagi para pedagang kaki lima misalnya, kehadiran pemerintah sehari-hari hanya diketahui dari munculnya petugas-petugas pemungut uang kontribusi.

SEBENARNYA ini semua bukan cerita baru. Berikut ini penuturan kembali cerita dari fenomena tahun 1970-an.

Semangat mempercantik dan memperindah kota yang terjadi di berbagai kota besar di Indonesia di tahun 1970-an, tak kurang ‘memakan’ korban kalangan masyarakat kecil, seperti misalnya pedagang kaki lima. Memang betul seringkali para pedagang kaki lima itu sangat tidak tertib, tetapi dalam beberapa kasus penindakan para petugas sangat di luar batas manusiawi. Romo YB Mangunwijaya almarhum, seorang insinyur yang mengajar di Arsitektur di Universitas Gajah Mada, mengomentari penyelesaian pedagang kaki lima dengan mengatakan “Mereka harus ditertibkan dan diberi konsekuensi tapi jangan diusir. Pengusiran terhadap mereka biasanya bahkan mendorong adanya anarki”.

Mengamati gejala di berbagai kota, sebuah media generasi muda menulis, bahwa berbalikan dengan ucapan-ucapan bagus yang dilontarkan para penguasa, tujuan ‘membersihkan’ kota dari mereka yang kerap dikategorikan sampah masyarakat, lebih dominan dari hasrat memberikan mereka kesempatan hidup yang lebih layak. Yang dimaksud di sini tak lain adalah para pedagang kaki lima, pedagang kecil di pasar-pasar, gelandangan dan tuna susila. Dalam beberapa segi, kalangan penguasa ibukota atau kota-kota besar lainnya di Indonesia masih bisa dianggap benar, bahwa pedagang-pedagang kaki lima mengganggu kebersihan kota dan bahkan kelancaran lalu lintas di bagian-bagian kota yang tertentu. Bahwa gelandangan, wanita tuna susila kelas murah, tidak baik untuk dipertontonkan. Bahwa pasar-pasar kota yang jorok, kotor dan sebagainya, harus dipermodern menuju gaya metropolitan, menjadi pasar-pasar bertingkat. Tapi apa daya, yang dilakukan adalah justru melikuidir manusianya, bukannya sumber-sumber keterbelakangan sosial ekonominya. Para pedagang kaki lima lebih kerap sekedar diusir dan tak diberi penampungan berupa lapangan nafkah baru. Daerah Bebas Becak diterapkan begitu saja tanpa persiapan yang matang tentang nasib selanjutnya dari mereka yang dipojokkan. Pedagang-pedagang kecil di pasar-pasar yang dipermodern pada prakteknya  takkan mengecap kembali pasar modern yang selesai dibangun karena modal mereka memang belum sepadan dengan standar pasar modern itu. Gelandangan dan wanita tuna susila kelas murah diperlakukan bagai sampah, yaitu dijaring lalu dimasukkan ‘bak sampah’ yang berupa tempat-tempat penampungan dengan jaminan makan minum yang amat minim. Memang ada kenaikan GNP (Gross National Product) karena beberapa jenis ekspor meningkat kala itu. Tapi apa yang telah dicapai itu tak meresap dikenyam oleh mayoritas rakyat. “Salah satu sebabnya ialah bahwa tak sedikit kebijaksanaan elitis dijalankan oleh pemerintah yang lebih menguntungkan golongan berpunya daripada kebijakan yang berorientasi pemerataan kepada golongan terjepit”.

Berlanjut ke Bagian 2