Tag Archives: Guntur Soekarnoputera

The Stories Ever Told: Soeharto dan Para Presiden Indonesia (4)

KEHADIRAN Ibas Edhie Baskoro, putera bungsu Susilo Bambang Yudhoyono, dalam kancah politik menjadi salah satu titik masuk bagi serangan-serangan terhadap sang Presiden. Karena Ibas tak punya rekam jejak yang mengesankan sebelum ini dalam dunia aktivisme, maka kemajuan pesatnya dalam dunia politik, khususnya melalui Partai Demokrat ‘milik’ sang ayahanda, tak bisa tidak dikaitkan orang dengan posisinya sebagai anak Presiden/Ketua Dewan Pembina. Selain itu, Partai Demokrat adalah partai yang baru berusia 10 tahun, dan Ibas sudah ikut di belakang lokomotif sang ayah sejak mulai partai itu berdiri, jadi tak ada halangan dalam hubungan ‘usia’ keikutsertaan dalam partai. Bedanya dengan tokoh Partai Demokrat lainnya, adalah bahwa yang lain itu, selain lebih tua dalam usia, kebanyakan adalah kaum migran dari partai politik lainnya, khususnya dari Partai Golkar. Dalam pada itu, Anas Urbaningrum yang relatif masih cukup muda dalam usia, sudah ‘tua’ dalam aktivisme, pernah menjadi Ketua Umum PB HMI dan pernah pula menjadi anggota KPU (Komisi Pemilihan Umum) sebelum langsung direkrut ke dalam partai.

SEBUAH GAMBAR SBY. Sambil memuat gambar ini dalam blognya, 2009, seorang blogger dari Samarinda, Charles Siahaan, mengutip pesan seorang temannya di FB “Lihat, lama-lama wajah SBY mirip Soeharto”.

 Dari soal uang hingga posisi politik. Ibas telah beberapa kali menjadi fokus sorotan. Dalam isu bagi-bagi sedan mewah Jaguar oleh Harry Tanusudibyo, nama Ibas disebut sebagai salah satu penerima. Ketika Eggi Sudjana SH mengangkat isu itu secara terbuka ke publik, semua yang disebut sebagai penerima ramai-ramai membantah dan bahkan mengadukan Eggi telah mencemarkan nama baik. Kasus ini selesai dengan ‘happy ending’, namun meninggalkan ketidakjelasan tentang benar tidaknya isu itu. Dalam pemilu legislatif 2009 yang lalu, ada keraguan tentang suara perolehan Ibas, yang berakhir dengan diprosesnya sang penuduh di jalur hukum oleh Polri.

Tuduhan serius terbaru, adalah disebutnya keterlibatan Ibas bersama Anas Urbaningrum dan sejumlah tokoh lainnya dalam permainan dana politik ex korupsi anggaran belanja negara, yang dilontarkan Mohammad Nazaruddin. Apakah karena merasa telah menyerang putera Presiden, lalu Mohammad Nazaruddin menjadi ‘ketakutan’ bahwa akan ada ‘pembalasan’ terhadap anak dan isterinya, sehingga ia merasa perlu memohon mengiba-iba agar SBY melindungi keselamatan anak-isterinya? Dan berjanji takkan menyebut-nyebut lagi nama tokoh-tokoh –termasuk Ibas tentunya– dan nama Partai Demokrat seperti yang dilakukannya tatkala berada di luar negeri. Akan diam, dan bersedia dihukum tanpa perlu diperiksa dan diadili. Sebenarnya, itu merupakan suatu permintaan yang tidak masuk akal dari seorang yang sudah merasa atau mengesankan diri ‘tertekan’. Ataukah jangan-jangan Nazaruddin justru mengajukan deal kepada SBY: Tolong jamin keselamatan anak-isteriku, dan saya juga akan tutup mulut mengenai Ibas?

SEBAGAI manusia biasa, semua Presiden yang pernah memimpin Indonesia, punya kecenderungan untuk ‘sayang anak’. Dan tak sedikit pula kesulitan yang pernah timbul dari sikap ‘sayang anak’ maupun sikap ‘sayang isteri’ itu. Dalam konteks kekuasaan negara, sikap sayang anak atau sayang isteri yang berlebihan-lebihan umumnya melahirkan nepotisme. Dulu, Presiden Soekarno seringkali disorot karena terlalu ‘banyak’ isteri. Soekarno juga sering disorot karena Guntur Soekarnoputera, anak sulungnya, saat ia ini masih mahasiswa di ITB, karena suka kebut-kebutan dengan mobil sportnya, Carman Ghia yang mewah untuk ukuran zamannya. Tapi saat itu, Guntur belum ikut-ikutan bisnis memanfaatkan kedudukan ayahandanya, dan hanya aktif di organisasi mahasiswa GMNI namun belum sempat masuk ke DPR misalnya.

Mode berbisnis di kalangan anak pejabat, baru marak di masa Soeharto. Saat putera-puteri Soeharto beranjak dewasa dan berbisnis, sorotan muncul –meskipun lebih banyak berlangsung di bawah permukaan dan dalam pembicaraan masyarakat sehari-hari. Soeharto cukup berang mendengar adanya sorotan itu. Keberangan serupa berkali-kali ditunjukkannya sebelumnya, saat isterinya disorot kiprahnya dalam konteks kaitan bisnis. Beberapa pejabat tinggi tampil membela dan bertanya apakah karena ayahnya menjadi pejabat lalu seorang anak harus “kehilangan haknya menjadi pengusaha?”. Padahal yang menjadi persoalan di sini adalah soal fatsoen untuk menghindari konflik kepentingan. Selama seseorang menjadi Presiden, ada konsekuensi bahwa keluarganya kehilangan peluang sementara untuk berkiprah di bidang-bidang yang bisa menimbulkan conflict of interest itu. Setelah tidak menjadi presiden lagi, silahkan. Dan bila tidak ingin menghambat ‘karir’ anak atau keluarga, jangan menjadi Presiden atau pejabat tinggi. Seorang hakim misalnya, tak boleh mengadili perkara yang melibatkan anak-isteri atau keluarga dekatnya sebagai terdakwa.

Tapi memang, di Indonesia, semua masih serba tidak jelas, atau tepatnya dibuat tidak jelas. Di zaman Soeharto, semua anak pejabat memang seakan berlomba menjadi pengusaha, dan menarik keuntungan dari jabatan ayah mereka. Meminjam terminologi Jawa, disebut aji mumpung. Bila sang ayah menjadi Menteri Pariwisata Pos dan Telekomunikasi misalnya, maka anaknya menjadi pengusaha besar di bidang telekomunikasi dengan kecenderungan monopolistik. Bila sang ayah memimpin Pertamina, anak-anaknya bergerak di bidang usaha yang ‘menyusu’ ke Pertamina. Makin tinggi posisi hirarkis sang ayah dalam pemerintahan, makin luas pula jangkauan usaha sang anak. Dalam kaitan ini ada satu kisah menarik, antara Jenderal Benny Murdani dan Jenderal Soeharto, yang diangkat dari buku Julius Pour “Benny: Tragedi Seorang Loyalis” (Kata Hasta, 2007). Suatu hari Benny dan Soeharto bermain bilyar di Jalan Cendana. Benny berkata kepada Soeharto, bahwa untuk menjaga keamanan pribadi presiden memang sudah cukup dengan satu batalyon Paspampres. Tetapi, untuk pengamanan politik presiden, mutlak harus didukung oleh keterlibatan keluarga dan juga presidennya sendiri. Benny menuturkan, “Begitu saya angkat masalah tentang anak-anaknya tersebut, Pak harto langsung berhenti main. Segera masuk kamar tidur, meninggalkan saya di ruang bilyar…. sendirian”.

Apakah dengan turunnya Soeharto dari kekuasaan, permainan nepotisme pun berakhir? Menurut George Junus Aditjondro, tidak. Dalam buku “Korupsi Kepresidenan”, seraya menyebut nama Thariq Kemal Habibie, Junus Aditjondro menulis bahwa di bawah Presiden BJ Habibie, keluarga Habibie dengan cepat berusaha menggeser peranan keluarga Soeharto dalam ekspansi bisnis oligarki. Terkait Presiden Abdurrahman Wahid, Junus Aditjondro mengapresiasi upaya pembersihan bisnis kalangan militer melalui peranan Jenderal Agus Wirahadikusumah, dan memberi kredit point terhadap pengajuan mantan Presiden Soeharto ke pengadilan oleh Jaksa Agung Marzuki Darusman. “Namun, dalam hal membiarkan nepotisme keluarga Wahid serta kroniisme para pendukungnya dari lingkungan NU dan PKB, Gus Dur belum banyak bergeser dari tradisi Soeharto”. Hasilnya, skandal Bulog-gate I dan Brunei-gate. Di zaman Megawati Soekarnoputeri menjadi Wakil Presiden dan kemudian menjadi Presiden, Junus Aditjondro menyoroti bisnis-bisnis Taufiq Kiemas sang suami dan “Happy” Hapsoro sang menantu (suami Puan Maharani). Disebut-sebut antara lain isu komisi Rp. 426,4 miliar dalam pembelian jet tempur Sukhoi, dan kedekatan dengan keluarga Syamsul Nursalim. Adapun tentang Susilo Bambang Yudhoyono, Junus memaparkannya melalui buku Gurita Cikeas, disusul Cikeas Makin Menggurita –yang tampaknya menghilang dari peredaran maupun pembicaraan dan ulasan pers.

Keberhasilan Ibas Edhie Baskoro Yudhoyono dalam kancah politik, menjadi anggota DPR-RI dan Sekertaris Jenderal Partai Demokrat, barangkali hanya penerusan kebiasaan selama ini di Indonesia, bahwa kekuasaan adalah berkah. Di zaman Soeharto, anak-anak pejabat sipil maupun militer berduyun-duyun dan masuk dengan mudah ke posisi anggota DPR dan MPR. Anak Gubernur maupun anak Panglima Kodam menggeser peluang para kader muda Golkar yang tidak ‘berdarah biru’ kekuasaan. Para isteri petinggi –Gubernur, Pangdam dan Menteri– juga mendominasi kursi-kursi DPR dan MPR, sementara para suami dengan sendirinya menjadi anggota MPR. Ada jenderal yang berposisi Panglima ABRI, Jenderal Wiranto, bisa memasukkan anak dan isterinya sekaligus ke lembaga-lembaga legislatif, sementara ia dengan sendirinya juga adalah anggota MPR Fraksi ABRI. Maka ada plesetan arti AMPI –sebuah organisasi kepemudaan Golkar– menjadi Anak-Menantu-Ponakan-Isteri/ipar, yakni mereka yang berhak masuk lembaga-lembaga perwakilan rakyat. Anak-anak Soeharto pun pada umumnya mendapat kursi legislatif di masa Harmoko menjadi pimpinan DPR dan Golkar. Dalam kabinet terakhir pemerintahannya, Presiden Soeharto malah mengangkat salah seorang puterinya, Siti Hardiyanti Rukmana, menjadi Menteri Sosial RI. Tapi sang menantu, Letnan Jenderal Prabowo Subianto, belum sempat diangkat menjadi KSAD atau Panglima ABRI.

Di masa Abdurrahman Wahid, Yenni Wahid puterinya ikut berkegiatan dalam partai. Selain itu terbawa pula beberapa ponakan seperti Muhaimin Iskandar. Rupanya, di sini ada faktor rasa aman bila melibatkan anak-ponakan. Tapi ternyata, tidak betul-betul aman. Muhaimin Iskandar sang ponakan ternyata ‘meninggalkan’ sang paman dan berhasil ‘mengambil-alih’ kepemimpinan PKB tanpa keikutsertaan Gus Dur. Di masa Megawati Soekarnoputeri berkuasa sebagai pemimpin negara maupun pemimpin partai, PDIP, Guruh Soekarnoputera sang adik dan Puan Maharani sang puteri terbawa serta ke dalam kekuasaan. Puan malahan sempat disebut-sebutkan sebagai pewaris politik dan mungkin pewaris tahta Mega.

Kisah dua jenderal idealis. UNTUK menutup tulisan The Stories Ever Told ini, berikut adalah kisah dua jenderal idealis yang menjadi idola kaum pergerakan mahasiswa dan generasi muda di tahun 1966 hingga awal 1970-an: Letnan Jenderal Sarwo Edhie Wibowo dan Letnan Jenderal Hartono Rekso Dharsono. Kedua-duanya, bersama Letnan Jenderal Kemal Idris, adalah para jenderal idealis yang dengan berbagai cara telah dijauhkan dari posisi-posisi kekuasaan oleh Jenderal Soeharto. Pangkopkamtib Jenderal Soemitro berperan dalam penyingkiran itu, namun pada akhirnya mengalami nasib yang serupa. Pada gilirannya, Jenderal Soemitro tersingkir karena kalah dalam percaturan kekuasaan melalui tangan Letnan Jenderal Ali Moertopo. Dan pada akhirnya, Ali Moertopo sendiri pun disingkirkan Soeharto ketika dianggap berambisi untuk naik lebih ke atas.

Selepas dari jabatan Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus (1964-1967), Mayor Jenderal Sarwo Edhie Wibowo, yang bersama Mayjen HR Dharsono  populer di kalangan generasi muda 1966, seakan-akan dijauhkan dari Jakarta. Ia ditempatkan pada pos Panglima Kodam II Bukit Barisan di Medan. Banyak orang yang menganggap bahwa posisi baru itu merupakan ‘perangkap’ bagi Sarwo Edhie. Banyak kalangan kekuasaan yang diam-diam mengharap Sarwo tergoda dan tergelincir di sana. Sembilan dari sepuluh pejabat, terbukti tergelincir di sana. Sumatera Utara kala itu dianggap daerah yang penuh ujian moral bagi para pejabat, penuh godaan sogokan uang (termasuk sogokan menggunakan perempuan). Asal para pejabat, khususnya Panglima Kodam, Panglima Kepolisian dan Gubernur, bersedia tutup mata terhadap praktek penyelundupan maupun kejahatan ekonomi dan kriminalitas lainnya, ia akan segera kaya raya. Di antara para pejabat daerah masa itu, seorang Panglima Kodam adalah yang paling powerful. Sebelum berangkat ke sana, Sarwo Edhie memberikan janji kepada kelompok perjuangan generasi muda, takkan mempan godaan. “Saya berangkat ke sana dengan satu koper, dan akan kembali dengan satu koper yang sama”, ujarnya. Mayor Jenderal Sarwo Edhie berhasil membuktikan kebersihan dirinya. Setelah Sumatera Utara, berturut-turut Sarwo Edhie tetap dijauhkan dari Jakarta, menjadi Pangdam Trikora Irian Jaya 2 Juli 1968 – 20 Februari 1970 dan ditugaskan ke tempat lebih jauh lagi sebagai Duta Besar RI di Korea. Saat itu, pos duta besar selalu dikonotasikan sebagai pos ‘pembuangan’.

Letnan Jenderal HR Dharsono, juga adalah militer idealis yang belum pernah tercatat terlibat skandal berbau uang. Ia juga dijauhkan dari pusat kekuasaan, setelah begitu populer sebagai Panglima Kodam Siliwangi, terutama setelah melontarkan gagasan dwi-partai dalam rangka perombakan struktur politik Indonesia. Ia ditugaskan sebagai Duta Besar RI di Bangkok lalu Pnompenh Kamboja yang sedang bergolak. HR Dharsono pernah mendamprat seorang Menteri Kabinet Soeharto yang juga adalah seorang jenderal karena sebelumnya anak dan isteri sang menteri membuat masalah dengan bea-cukai pemerintah Thailand saat singgah di airport Bangkok. “Tertibkan keluarga anda kalau ke luar negeri, jangan bawa-bawa kebiasaan jelek dari tanah air”, tegur Dharsono. Sang menteri hanya bisa diam dimarah-marahi sang Dubes. Sewaktu bertugas di Pnompenh yang sedang dilanda demo anti Lon Nol, tutur seorang mantan stafnya, mobil Duta Besar HR Dharsono berpapasan dengan demonstran. HR Dharsono, membuka jendela mobil, lalu menyodorkan uang sumbangan kepada para demonstran. Di tanah airnya sendiri sang jenderal selama perjuangan 1966 dan sesudahnya memang punya kedekatan dengan mahasiswa pelaku demonstran. Kedekatan semacam itulah yang antara lain tak disukai Soeharto pada dirinya.

Selain persamaan sebagai jenderal idealis, Letnan Jenderal Sarwo Edhie Wibowo, Letnan Jenderal HR Dharsono maupun juga Letnan Jenderal Kemal Idris, adalah jenderal-jenderal yang gagah, menarik perhatian kaum perempuan. Tak heran, kalau ada saja gosip asmara melanda mereka, tapi tak sekalipun mereka melakukan kejahatan seksual –pelecehan, tipu daya, pemaksaan dan sebagainya– terhadap kaum Hawa semacam yang kerap dilakukan oleh sejumlah jenderal lain. Di masa militer dominan dalam kekuasaan negara, memang tak sedikit terjadi kisah buruk penyalahgunaan kekuasaan terkait masalah seksual. Seorang jenderal yang berkuasa dalam pemulihan keamanan, sebagai salah satu contoh, pernah ‘merampas’ isteri seorang petinggi sipil bidang hukum setelah menjebloskan sang suami ke tahanan dengan tuduhan terlibat PKI. Lainnya, seorang jenderal yang duduk dalam posisi basah di pemerintahan, ketika jumpa di airport saat akan melawat ke luar negeri,  dititipi oleh seorang jenderal purnawirawan agar melihat-lihat dan membantu menjaga keselamatan anak perempuannya yang ikut dalam penerbangan yang sama karena akan bersekolah di luar negeri. Tapi yang dititipi menjadi pagar makan tanaman, dengan tipu daya berhasil melakukan pelecehan di negara tujuan. Sang ayah yang dilapori anaknya, dengan berang pergi menemui Soeharto untuk mengadukan perbuatan sang menteri. Soeharto hanya manggut-manggut, tapi tak ada tindak lanjut yang sepantasnya dilakukan. Entah ada atau tidak hubungannya, sang jenderal purnawirawan di kemudian hari tercatat namanya dalam barisan tokoh anti Soeharto yang secara tak langsung ikut berperan dalam ‘kejatuhan’ sang penguasa 32 tahun itu….

The Stories Ever Told: Soeharto dan Para Presiden Indonesia (2)

TUDINGAN bahwa mahasiswa pergerakan 1966 terperangkap jalan pikiran barat –tepatnya jalan pikiran imperialis dan neo kolonialisme– sehingga tidak memahami revolusi, antara lain dinyatakan langsung Soekarno dalam suatu pertemuan dengan tokoh-tokoh KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) 18 Januari 1966. Bung Karno marah-marah karena ada corat-coret yang menyebut salah satu isterinya, Hartini Soekarno, sebagai “Gerwani Agung”. Gerwani adalah organisasi perempuan onderbouw PKI yang kala itu dilekati dengan berbagai konotasi buruk, termasuk perilaku a-susila dalam peristiwa di Lubang Buaya 1 Oktober 1965. Wajar kalau Soekarno begitu marah bila isterinya disebut ‘Gerwani Agung’. Salah satu anggota KAMI dari Jakarta menjelaskan kepada Soekarno bahwa kalau ada ekses-ekses yang terjadi dalam aksi-aksi mahasiswa, semisal corat-coret dengan kata-kata kotor, itu adalah pekerjaan tangan-tangan kotor yang menyusup ke dalam barisan mahasiswa. Tokoh-tokoh KAMI yang hadir kala itu antara lain, Cosmas Batubara, Mar’ie Muhammad, David Napitupulu, Lim Bian koen, Elyas, Abdul Gafur, Firdaus Wajdi dan Djoni Sunarja.

Meski mahasiswa waktu itu sudah sangat berani melawan Soekarno melalui gerakan-gerakan turun ke jalan, yang kerap kali disebut ‘parlemen jalanan’, tak urung menurut salah seorang tokoh KAMI, David Napitupulu, tokoh-tokoh mahasiswa itu sempat juga agak ciut nyalinya ketika berhadapan langsung dengan Soekarno. Padahal itu pertemuan yang sudah kedua kali. David bercerita, Soekarno masih berhasil menunjukkan wibawa dan membuat beberapa tokoh mahasiswa ‘melipatkan’ dan merapatkan tangan di depan bagian bawah perut dengan santun.

KEMARAHAN SOEHARTO. Suatu ketika ia pernah menanggapi ucapan kritis dari Adnan Buyung Nasution dari KASI, dengan emosional, dalam pertemuan di Gedung Presidium Kabinet 13 Juni 1967. Buyung menggambarkan bahwa di mata rakyat saat itu, ABRI itu rakus. Soeharto menjawab dengan keras “kalau bukan saudara yang mengatakan hal ini, pasti sudah saya tempeleng”. Karikatur 1967, Hariyadi S.

Kala musim mulai berganti. Masih pada awal masa kekuasaannya, Jenderal Soeharto sudah mulai terbiasa marah-marah kepada mahasiswa dan kalangan kesatuan aksi, ‘partner’ penopangnya menuju kekuasaan. Suatu ketika ia pernah menanggapi ucapan kritis dari Adnan Buyung Nasution dari KASI, dengan emosional, dalam pertemuan di Gedung Presidium Kabinet 13 Juni 1967. Buyung menggambarkan bahwa di mata rakyat saat itu, ABRI itu rakus. Soeharto menjawab dengan keras “kalau bukan saudara yang mengatakan hal ini, pasti sudah saya tempeleng”. Dan pada kesempatan lain, 8 Nopember 1967, sekali lagi ia menunjukkan sikap yang telah berubah ketika menghadapi demonstrasi massa KAMI, KAPI dan KAPPI di depan Gedung Presidium Kabinet Jalan Merdeka Barat, yang meminta perhatiannya selaku Pejabat Presiden mengenai makin melonjaknya harga beras. Ia membiarkanmassa menunggu dulu dua jam lamanya, sebelum menemui mereka. Dengan nada yang terasa agak ketus, ia berkata kepadamassa yang dulu ikut mendukungnya menuju istana dengan menjatuhkan Soekarno, “Kalau kesatuan aksi bermaksud menindak orang yang bertanggungjawab atas kesukaran hidup dewasa ini, maka sayalah orangnya yang harus ditindak”.

Reaksi Soeharto yang biasanya tenang dan murah senyum kepada massa mahasiswa dan pelajar di tahun sebelumnya itu, cukup mengejutkan banyak orang. Arief Budiman, salah seorang tokoh terkemuka perjuangan 1966, kemudian menanggapi ‘insiden’ itu dengan nada pahit. “Dia seakan-akan menghadapi para demonstran sebagai ‘pemuda-pemuda iseng’ yang mengganggu kerjanya”, kata Arief. “Dan sikapnya yang menantang para pemuda itu, sungguh-sungguh tidak simpatik. Parapemuda itu datang karena penderitaan yang tak teratasi lagi”. Mereka tahu bahwa pak Harto berusaha untuk mengatasi kesulitan-kesulitan itu, “tapi mereka juga tahu banyak para pembantu pak Harto hidup bermewah-mewah dari hasil korupsinya. Barangkali mereka tak tahu bagaimana orang-orang itu berkorupsi, mereka tak punya dokumen-dokumennya. Tapi dengan logika yang elementer saja, melihat kehidupan pribadi mereka dengan rumah yang mewah, dengan mobil berbiji-biji dan membandingkannya dengan gaji yang mereka seharusnya terima, segera dapat disimpulkan bahwa di balik semua ini pasti ada apa-apanya”.

Panglima Kodam Jaya, Brigjen Amirmahmud, yang dari dulu, sejak zaman Soekarno belum jatuh, memang kurang bersimpati kepada gerakan-gerakan ekstra parlementer mahasiswa dan pelajar gerakan 1966, dengan gesit mengeluarkan larangan berdemonstrasi. Ia agaknya lupa bahwa larangan berdemonstrasi yang pernah dikeluarkannya setahun sebelumnya belum dicabut. Tapi kali ini, larangan demonstrasi yang dikeluarkannya betul-betul njlimet memperinci sampai kepada apa saja yang tidak boleh dilakukan: menyetop kendaraan dan mengambil kendaraan pemerintah maupun milik pribadi secara paksa, main hakim sendiri, pengeroyokan, penyerbuan dan pendudukan tempat kediaman maupun tempat kerja dan sebagainya yang semua mengarah kepada contoh-contoh yang lazim terjadi dalam masa demonstrasi tahun 1966. Tanpa larangan ala Amirmahmud pun, sebenarnya, para mahasiswa juga sepakat bahwa apa yang sering dilakukan sebagai ‘ekses’ di masa lampau itu hendaknya sudah diakhiri, dan ekses seperti itu kerapkali dilontarkan sebagai kritik internal.

Mahasiswa pun sering mengeritik perilaku tentara yang juga punya ‘kebiasaan’ meminjam dan menyetop kendaraan umum untuk dipinjam guna kepentingan ‘dinas’, sementara sebaliknya mobil-mobil tentara sendiri justru digunakan untuk ‘ngobjek’ mengangkut barang-barang milik swasta. Tetapi cara merumuskan larangan-larangan itu dalam pengumuman Kodam Jaya itu ‘berhasil’ menggambarkan perbuatan-perbuatan itu bukan sekedar ‘ekses’, melainkan sebagai perbuatan yang berkonotasi pidana, yang menurut Arief adalah penggambaran sebagai perampokan. Sikap Soeharto dan antisipasi Amirmahmud yang betul-betul menunjukkan karakter militer itu, sekaligus menunjukkan bahwa kini setelah berkuasa mereka tak membutuhkan lagi gerakan ekstra parlementer sebagai alat yang setahun sebelumnya dimanfaatkan dan diprovokasi dari belakang layar untuk menekan Soekarno. Bahkan Soeharto mulai menempatkan kaum muda ini sebagai onak duri yang harus mulai disingkirkan. Dan ini semua akan terbukti dengan apa yang dilakukannya pada tahun 1970-an, terutama di tahun 1974 dan 1978.

Terlepas dari insiden-insiden tersebut, hingga tahun 1970, pada hakekatnya tingkat kepercayaan kepada Jenderal Soeharto masih cukup tinggi. Ada beberapa kisah kecil yang menunjukkan dirinya masih patut diteladani pada tahun-tahun awal penampilannya sebagai pemimpin bangsa dan negara. Sebuah sketsa peristiwa disajikan di pertengahan 1968 oleh Mingguan Mahasiswa Indonesia, sebagai berikut ini. “Kini anak-anak penggede Orde Baru mulai banyak tingkah”. Tiap hari koran-koran Jakarta mengecam aksi ngebut di jalan. Dulu, Guntur Soekarnoputera juga senang ngebut dengan mobilnya di Bandung, tanpa ada yang berani menegur. Polisi lalu-lintas pasca Soekarno ini dikecam karena tidak berani bertindak. Suatu hari seorang wartawan datang pada perwira tinggi polisi dan bertanya tentang soal ini. “Bagaimana anak buah saya berani bertindak? Suatu kali polisi lalu lintas menegur salah seorang pemuda yang melanggar lalu lintas. Apa jawabnya? ‘Kamu tidak tahu? Saya anak menteri luar negeri!’….”, demikian sang perwira menuturkan. Diceritakan seterusnya, “Anak Jenderal Soeharto juga ditangkap polisi lalu lintas. Tetapi sang ayah bersikap tegas.  Anaknya tetap dibiarkan diadili. Dan di rumah, ia dimarahi oleh ayahnya”. Bahkan ada yang menyaksikan bahwa ‘rebewijs’ (SIM atau Surat Izin Mengemudi) anaknya itu disobek. “Tindakan Jenderal Soeharto terhadap anaknya patut dicontoh oleh penggede-penggede Orde Baru yang lain”, demikian dituliskan. Dianjurkan agar putera para pembesar, “jangan menyalahgunakan kekuasaan bapaknya”.

Sekitar tiga puluh tahun kemudian, kala musim telah berganti, Presiden Soeharto ‘memerintahkan’ Fuad Bawazier, Dirjen Pajak yang kemudian naik menjadi Menteri Keuangan, untuk membebaskan bea masuk (pajak) bagi mobil-mobil buildup yang diimpor dari Korea Selatan sebagai ‘modal dan percontohan awal’ salah seorang puteranya atas nama proyek mobil nasional. Dengan patuh, sang menteri melaksanakan perintah, yang di kemudian hari menjadi persoalan yang sulit diselesaikan. Mobil nasional itu sendiri tak pernah terwujud diproduksi. Adapun Fuad Bawazier, kini menjadi tokoh penting salah satu partai, dan kerap kali berbicara cukup vokal juga.

Bila sang Presiden marah. Kemarahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono beberapa pekan lalu, ketika menanggapi SMS yang dianggapnya fitnah –termasuk serangan terhadap kehidupan pribadinya maupun keluarganya– mengingatkan kepada kemarahan serupa yang pernah ditunjukkan Jenderal Soeharto di tahun 1972 saat memasuki tahun ke-6 kekuasaannya.

Menanggapi gerakan-gerakan mahasiswa yang memprotes pembangunan Proyek Taman Mini Indonesia Indah, Presiden Soeharto melontarkan ucapan-ucapan keras, tatkala berpidato tanpa teks pada peresmian Rumah Sakit Pertamina yang modern, 6 Januari 1972. Sama dengan Susilo Bambang Yudhoyono yang sering mengeluhkan penggunaan demokrasi yang kebablasan, kala itu Soeharto juga mengecam hak demokrasi yang dikatakannya dilakukan secara berlebih-lebihan. Bukan sekedar mengecam, Jenderal Soeharto juga sekaligus memperingatkan akan menghantam dan menindak. “Perbedaan pendapat memang merupakan bumbu demokrasi”, ujar Soeharto, “Tetapi, harus dalam batas-batas keserasian dan jangan hanya ingin menggunakannya sehingga timbul kekacauan. Khususnya, dalam menghadapi proyek Miniatur Indonesia”. Mereka yang berada tak jauh dari presiden, bisa melihat dengan jelas betapa pada waktu itu wajah Soeharto tampak berkeringat. Pada pokoknya, menurut buku Menyilang Jalan Kekuasaan Militer Otoriter (Rum Aly, Penerbit Buku Kompas, 2004), Presiden Soeharto sebagai suami pemrakarsa TMII, Siti Suhartinah Soeharto, katanya  sangat mengetahui secara jelas tentang rencana TMII dan membenarkan pembangunan proyek itu.

Beberapa waktu sebelumnya, kepada Pangkopkamtib Jenderal Soemitro, yang bertanya kepadanya, Soeharto menegaskan bahwa TMII bukan proyek pemerintah, tak ada bantuan dari APBN “karena kita tak ada uang”. Itu proyek swasta, yang bisa saja dibantu secara sukarela oleh para pengusaha. Jenderal Soemitro bertanya, apakah pengusaha-pengusaha swasta itu perlu diberi fasilitas khusus? Soeharto menjawab, “Tidak. Tidak perlu”. Soemitro bertanya lagi, apakah para gubernur diwajibkan membantu Proyek Mini? “Tidak, tidak bisa. Provinsi tidak punya uang. Mereka punya banyak masalah. Uang mereka terbatas”, tegas Soeharto. Nyatanya, para gubernur atas arahan akrobatik Menteri Dalam Negeri Amirmahmud, berkecenderungan kuat untuk membantu dengan segala cara. Dan itu diikrarkan hanya beberapa waktu sebelumnya di bulan Desember 1971. Inilah yang antara lain diprotes para mahasiswa.

Berlanjut ke Bagian 3.

Pada Wilayah Kesenjangan Sosial Ekonomi: Peristiwa 10 Mei 1963 (2)

Sepanjang perjalanan sejarah Indonesia hingga kini, tercatat betapa kesenjangan sosial ekonomi ini menjadi satu masalah yang belum berhasil tertangani dengan baik dan dengan sendirinya belum berhasil terselesaikan. Berita-berita terakhir menunjukkan betapa di tengah retorika tentang apa yang disebut keberhasilan pembangunan ekonomi, ternyata masih terdapat kalangan akar rumput yang masih morat-marit hidupnya dan harus memasukkan nasi aking ke dalam menu sehari-harinya”.

Peristiwa telah berkembang mengagetkan. “Akan tetapi, yang lebih mengherankan lagi di luar kampus ITB telah berkumpul banyak sekali mahasiswa, pelajar dan pemuda”. Massa campuran ini kemudian bergerak ke arah Bandung bagian bawah melalui Jalan Dago (kini Jalan Ir H. Juanda), ke Jalan Braga yang merupakan daerah pertokoan dan berbelok ke Asia Afrika. Bagian Barat jalan ini, setelah Alun-alun Bandung, penuh dengan pertokoan hingga ke Jalan Raya Barat (kini Jalan Jenderal Sudirman) dan berpotongan dengan Jalan Otto Iskandardinata yang juga adalah daerah pertokoan. Toko-toko yang diketahui milik etnis china dirusak, lebih dari seratus mobil dibakar, dan lebih banyak lagi sepeda motor. Beberapa bagian lain kota Bandung juga terjalar kerusuhan. Bahkan, rentetan peristiwa serupa merambat ke sejumlah kota lain di Jawa Barat seperti Sumedang dan Tasikmalaya di arah Timur Bandung dan Cianjur serta Sukabumi di arah Barat Bandung. Cirebon, yang terletak di pantai Utara Jawa Barat, kembali mengalami kerusuhan, padahal pada 27 Maret sebelumnya suatu kerusuhan rasial yang menimpa etnis china di sana telah pecah lebih dulu.

Peristiwa di Cirebon inilah, sepanjang pengakuan beberapa mahasiswa asal Cirebon, seperti Dedi Krishna dan Tari Pradeksa, yang menjadi pemacu mereka untuk dengan cepat mengambil peranan dalam Peristiwa 10 Mei 1963 di Bandung itu. Menjalar dan membesarnya peristiwa yang semula direncanakan oleh aktivis kampus yang apolitis, tak terlepas dari peran aktivis seperti Soeripto dan kawan-kawan dari Gemsos, serta aktivis anti komunis dan anti Soekarno seperti Rahman Tolleng –yang sebenarnya adalah seorang pengecam sikap dan perilaku rasialis sebagaimana yang terlihat kelak dalam berbagai sepak terjang politiknya.

Mereka inilah yang menambahkan dimensi politik ke dalam peristiwa, sehingga membesar, meluas dan bermakna politis yang mengusik kekuasaan Soekarno. Secara politis, peristiwa ini mendapat sofistikasi sebagai gerakan penolakan masyarakat terhadap peranan politik Baperki yang bergandengan dengan PKI dan serangan terhadap kedekatan politik Soekarno dengan Peking (kini, ditulis Beijing). Kelompok inilah yang juga menyebarkan psywar tentang keterlibatan Guntur Soekarnoputera dalam peristiwa, yang isunya dengan cepat merambat, sehingga sempat muncul semacam keraguan bertindak di kalangan aparat. Namun selang beberapa waktu kemudian, isu keterlibatan Guntur itu berputar balik dan tiba ke telinga para penyebar awal isu tersebut dan sempat mereka percayai kebenarannya tanpa menyadari bahwa isu itu tak lain adalah pengembangan dari isu yang mereka lontarkan sebelumnya. Tetapi terlepas dari itu, tampaknya memang sejumlah perwira di Kodam Siliwangi memang sedikit membiarkan peristiwa terjadi dan membesar. Bahkan beberapa penggerak peristiwa kemudian hari mengungkapkan adanya jaminan takkan ada penangkapan yang disampaikan oleh beberapa perwira sebelum terjadinya peristiwa.

Di wilayah abu-abu

Peristiwa 10 Mei 1963 ini memang ada di wilayah abu-abu. Ia adalah satu peristiwa politik dengan beberapa tujuan politik dari sebagian para pelakunya. Sekaligus ia adalah pula satu peristiwa yang bagaimana pun termasuk sebagai suatu kerusuhan berdasar rasial, yang menunjukkan betapa pada waktu itu secara objektif sentimen ras memang kuat adanya di tengah masyarakat. Sebagian pelakunya, dengan terus terang mengakui bahwa sentimen ras lah yang telah memicu keterlibatan mereka, seperti Siswono misalnya, karena sebagai anggota GMNI yang mengidolakan tokoh Soekarno, tak mungkin ia bermaksud melakukan kegiatan politik menentang Soekarno. Namun tak urung Siswono mendapat sorotan juga dari internal organisasinya, GMNI, atas keterlibatannya dalam peristiwa tersebut. Dan adapun Soekarno, memang menunjukkan kemarahannya terhadap peristiwa di Bandung ini dan menyebutnya sebagai gerakan subversif yang dilakukan oleh kaum kontra revolusi. PKI menuduh eks PSI dan eks Masjumi berada di belakang peristiwa ini.

Tuduhan-tuduhan serupa pun berseliweran melalui beberapa organisasi mahasiswa ekstra universiter berhaluan kiri, termasuk dari GMNI. Di tengah arus kecaman, muncul satu nada pembelaan atas keterlibatan sejumlah mahasiswa dalam peristiwa itu, melalui pernyataan PPMI (Perserikatan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia) Konsulat Bandung yang ditandatangani oleh Ketua Awan Karmawan Burhan dan Sekretaris FX Djoko Sudibyo. Awan adalah tokoh mahasiswa yang juga adalah Ketua CSB (Corpus Studiosorum Bandungense), sedang Djoko Sudibjo –mahasiswa ITB asli Jawa yang sering dianggap beretnis Cina karena penampilannya yang mirip– adalah dari PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia), dua organisasi rival bagi organisasi ekstra kelompok kiri yang bergabung dalam PPMI. Hanya sehari sesudahnya, muncul pernyataan tandingan, juga mengatasnamakan PPMI, namun tanpa tandatangan, yang isinya mengutuk Peristiwa 10 Mei dan keterlibatan mahasiswa kontrev dalam peristiwa tersebut.

Dalam tempo yang tak lama pula, menyusul tindakan pimpinan pusat PPMI di Jakarta, Bambang Kusnohadi yang juga adalah Ketua Umum GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia), membekukan PPMI Konsulat Bandung. Tindakan ini dibalas oleh mahasiswa Bandung dengan membentuk Majelis Permusyawaratan Mahasiswa Indonesia atau Mapemi. Ke dalam Mapemi bergabung PPMI Konsulat Bandung dan MMI (Majelis Mahasiswa Indonesia) Konsulat Bandung. Mahasiswa ITB, pimpinan Imaba (Ikatan Mahasiswa Bandung) yang juga adalah seorang perwira cadangan AD jalur Wamil (Wajib Militer) berpangkat Letnan Dua, Mangaradja Odjak Edward Siagian, dipilih sebagai Ketua Mapemi. MMI adalah sebuah wadah nasional yang menghimpun institusi-institusi student government intra kampus seperti dewan-dewan mahasiswa dan senat-senat mahasiswa. Sehingga, dengan penggabungan itu, Mapemi menjadi organisasi pertama dalam sejarah kemahasiswaan di Indonesia yang menghimpun organisasi-organisasi mahasiswa intra dan organisasi-organisasi ekstra. Pola ini dipakai pula kelak dalam pembentukan KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) di tahun 1966.

Sepuluh tahun setelah Peristiwa 10 Mei 1963, di Bandung terjadi lagi satu peristiwa bias politik yang juga terpacu oleh aspek rasial yang berpadu dengan fakta kesenjangan sosial akibat kegagalan penanganan penguasa terhadap aspek sosial dan ekonomi, yakni Peristiwa 5 Agustus 1973. Setiap kali ada ketidakpuasan dalam masyarakat dan penguasa gagal mengelolanya, hanya bertindak sebatas membendung dan meredam sindrom belaka, akan terjadi penyaluran ketidakpuasan dengan mendobrak beberapa mata rantai sosial yang terlemah yaitu sentimen berdasar perbedaan ras, agama dan kesukuan. Kelompok etnis yang berada paling depan dalam sentimen-sentimen itu, adalah keturunan china, karena faktor historis sejak masa kolonial dan beberapa hal yang melekat, yakni perbedaan ras itu sendiri, dan biasanya pula mereka menganut agama-agama yang berbeda dengan mayoritas anggota masyarakat. Ini semua lebih diperkuat lagi karena kesan keunggulan mereka dalam peranan-peranan ekonomi, dan dengan demikian mereka pun lalu berada di hadapan jurang perbedaan sosial. Sepanjang perjalanan sejarah Indonesia hingga kini, tercatat betapa kesenjangan sosial ekonomi ini menjadi satu masalah yang belum berhasil tertangani dengan baik dan dengan sendirinya belum berhasil terselesaikan. Berita-berita terakhir menunjukkan betapa di tengah retorika tentang apa yang disebut keberhasilan pembangunan ekonomi, ternyata masih terdapat kalangan akar rumput yang masih morat-marit hidupnya dan harus memasukkan nasi aking ke dalam menu sehari-harinya. Terdapat masih begitu banyaknya orang yang tak berkemampuan membiayai pendidikan anak-anak mereka. Sebagian lainnya lagi masih menghuni gubuk-gubuk liar di tanah negara, untuk menyambung hidup sementara yang lainnya lagi mencari nafkah sebagai pedagang kaki lima di lapak terlarang dan harus sewaktu-waktu ‘bertempur’ melawan Pasukan Satpol PP yang akan menggusurnya.

Akhir dari Peristiwa 10 Mei 1963 bagi para pencetus awalnya di kampus dan kemudian perluasannya di luar kampus adalah proses peradilan dan penjatuhan hukuman penjara. Secara khusus, Soekarno menginstruksikan kepada Jaksa Agung, agar para mahasiswa pelaku Peristiwa 10 Mei itu dituntut dengan hukuman tinggi. Dedi Krishna, tokoh PMB, yang peranannya menjadi sorotan utama dalam pers kala itu, dijatuhi hukuman penjara paling berat, yaitu 6 tahun. Selain peranannya, salah satu sebab yang membuat Dedi Krishna menjadi pusat perhatian, adalah namanya yang terasosiasikan dengan nama seorang tokoh pewayangan, paman para Pandawa lima. Pada masa Soekarno, analogi dengan dunia pewayangan selalu menimbulkan minat khas di tengah masyarakat. Selain itu, profil tubuhnya yang cukup tinggi besar, sepertinya dianggap ‘memenuhi’ syarat sebagai pemimpin gerakan massa. Terlibatnya nama kampus ternama ITB, sebagai titik cetus awal peristiwa, juga menjadi faktor penting lainnya.  Di urutan ketiga dengan hukuman 3 tahun penjara adalah Siswono Judohusodo, Muslimin Nasution, Qoyum Tjandranegara, Djoko Santoso, Tari Pradeksa, Theo Pieterz. Soeripto yang menjadi salah satu matarantai peristiwa merambat ke luar pagar kampus, ada di level kedua, dengan hukuman 4 tahun penjara. Iwan Zoechra dalam pada itu, dijatuhi hukuman penjara 2 tahun. Rahman Tolleng, yang sudah berstatus buronan sebelum peristiwa terjadi, tercium keterlibatannya namun tak tertangkap dan memperpanjang masa buronannya sampai ia kemudian muncul ke permukaan setelah Peristiwa 30 September 1965. Beberapa nama itu kelak dikenal lebih luas karena peranannya baik dalam pergerakan 1966 maupun sesudahnya, di dalam ataupun di luar kekuasaan pemerintahan.

Korupsi di Indonesia: Kisah Nan Tak Kunjung Usai (4)

Korupsi: Dalam Perspektif Keabadian

HINGGA tahun 1970, tingkat kepercayaan kepada Soeharto sebenarnya masih cukup tinggi. Ada beberapa kisah kecil yang menunjukkan dirinya masih patut diteladani, pada tahun-tahun awal penampilannya sebagai pemimpin bangsa dan negara. Sebuah sketsa peristiwa disajikan di pertengahan 1968 (Mingguan Mahasiswa Indonesia, 21 Juli 1968) sebagai berikut ini: “Kini anak-anak penggede-penggede Orde Baru mulai banyak tingkah”. Tiap hari koran-koran Jakarta mengecam ngebut (Dulu, Guntur Soekarnoputera juga senang ngebut dengan mobilnya di Bandung tanpa ada yang berani menegur). Polisi lalu lintas dikecam karena tidak berani bertindak. Suatu hari seorang wartawan datang pada perwira tinggi polisi dan bertanya tentang soal ini. “Bagaimana anak buah saya berani bertindak ? Suatu kali polisi lalu lintas menegur salah seorang pemuda yang melanggar lalu lintas. Apa jawabnya ? ‘Kamu tidak tahu ? Saya anak menteri luar negeri !’…”, demikian sang perwira menuturkan. Diceritakan seterusnya, “anak Jenderal Soeharto juga ditangkap polisi lalu lintas. Tetapi ayahnya tegas. Anaknya tetap diadili. Dan di rumah ia dimarahi oleh ayahnya”. Bahkan ada yang menyaksikan bahwa ‘rebewijs’ (SIM atau Surat Izin Mengemudi) anaknya itu disobek. “Tindakan Jenderal Soeharto terhadap anaknya patut dicontoh oleh penggede-penggede Orde Baru yang lain”, demikian dituliskan. “Jangan menyalahgunakan kekuasaan bapaknya”.

Demikianlah, di mata mahasiswa misalnya, dengan berbagai fakta dan data empiris Soeharto dianggap masih bisa diharapkan membawa perbaikan setelah jatuhnya Soekarno dari panggung kekuasaan. Tapi ada beberapa kritik yang diajukan kepadanya. Dalam menjawab kritik, sebaliknya kepada mahasiswa –dalam beberapa kesempatan pertemuan dengan sejumlah tokoh mahasiswa– ia mengajarkan pentingnya bersabar, dan menyitir pepatah Jawa alon-alon waton kelakon. Ia pun menampilkan banyak “tepa slira”, suatu sikap yang senantiasa berusaha menempatkan diri dalam posisi orang lain, berusaha mengerti mengapa sampai terjadi suatu perbuatan  dan tak buru-buru menindaki. Tetapi secara bertolak belakang, pada waktu yang bersamaan banyak kalangan kekuasaan yang dekat dengan Soeharto menjawab kritik-kritik mahasiswa dengan cara yang lebih ketus dan sering vulgar.

Sifat-sifat Soeharto yang lekat dengan budaya Jawa ini, bagi sebagian besar mahasiswa dianggap mulai ketinggalan zaman. Tentang prinsip alon-alon ini, Mingguan Mahasiswa Indonesia yang terbit di Bandung namun memiliki pengaruh secara nasional itu, menulis pada salah satu terbitan di bulan Agustus 1970 –dua tahun setelah memuat sketsa teladan kecil Soeharto– sebagai berikut. “Alonalon asal kelakon, adalah petuah kakek-kakek dan nenek-nenek Jawa, yang terjemahannya dalam bahasa Indonesia ‘Lambat-lambat sajalah, pokoknya terlaksana’. Di balik pemeo ini tersimpan sikap yang cermat dan hati-hati (‘nistiti lan ngatiati’), menerima (‘narima’), rendah hati (‘andapasor’) – diletakkan dalam tempo hidup yang ‘nguler kambang’ (seperti ulat berenang di air, sangat lambat). Dapat dibayangkan ‘pegangan hidup’ semacam itu dipetuahkan oleh seorang bangsawan tua sambil duduk di kursi goyang, menikmati teh kental lambat-lambat, satu teguk setiap lima menit. Diiringi suara perkutut dan gending ‘Pangkur Palaran laras Pelog patet Barang’ yang mengalun gemulai seperti padang bunga tertiup angin dan membentang sayup-sayup seakan tak bertepi –surga yang ‘terdengar’ di bumi itu– yang dapat membawa seorang ‘priyantun Jawi’ (bangsawan Jawa) ke dalam ‘liyep layaping ngaluyup’ (keadaan jiwa yang melayap sayup, antara tidur dan jaga)”. Tapi, “Sedikitnya sejak dua generasi yang lalu, alonalon waton kelakon mulai kurang populer. Orang-orang Jawa mulai meninggalkan hidup ‘sub specie aeternitatis’ (dalam perspektif keabadian) dan membeli arloji. Waktu telah mulai menjadi pertimbangan. Seorang ahli musik mengeluh bahwa gending-gending Jawa klasik yang bernafas panjang-panjang mulai menghilang dan digantikan oleh gending yang bertempo lebih cepat”. Maka sesungguhnya mengherankan jawaban “alonalon waton kelakon’ yang diberikan Presiden Indonesia di abad 20 ini kepada kampanye anti korupsi dalam sebuah negara yang sedang memodernkan masyarakatnya. Dikaitkan dengan pemberantasan korupsi itu, mingguan tersebut mengingatkan “Pemberantasan korupsi harus dimulai dengan proses pengadilan dan dengan perbaikan-perbaikan organisasi, administrasi dan manajemen. Ia harus dimulai karena waktu di zaman Apollo lebih bengis dan lebih cekatan dari di zaman Mahabharata. Sang Batara Kala di zaman sekarang telah menemukan pemeo internasional: Now or never”.

Apapun yang dikemukakan Soeharto, kelambanan adalah kelambanan bagi mahasiswa. Mereka mengajukan “sekarang atau tidak pernah”. Kelambanan ini sebenarnya telah dikeluhkan sejak tahun 1967. Amien Rais dari Universitas Gadjah Mada pernah mengingatkan “Orde Lama telah memprodusir kaum koruptor dan kelompok profiteur di mana-mana. Oleh karena itu, tanpa berani menggulung benalu-benalu yang telah difabrisir oleh Orde Lama itu, Orde Baru sulit akan melaksanakan rehabilitasi dan stabilisasi ekonomi” (Mingguan Mahasiswa Indonesia, Minggu ke-II Mei 1967). Amien menggambarkan kabinet Soeharto saat itu dihadapkan pada korupsi tingkat tinggi. “Kita tahu justru, koruptor-koruptor kaliber besar adalah mereka yang mempunyai kedudukan dan jabatan tinggi, baik dari kalangan sipil ataupun militer”. Soeharto harus berani menanggulangi korupsi secara wajar, ujar Amien. Sedang menurut Mingguan Mahasiswa Indonesia sendiri dalam edisi yang sama, “Soekarno-soekarno kecil  yang korup  dan kaum vested interest pada umumnya masih dibiarkan berkeliaran dan memegang jabatan-jabatan kenegaraan”. Dan pada waktu yang bersamaan telah muncul debutan-debutan baru pelaku korupsi baru.

Nyatanya, seruan “sekarang atau tidak” memberantas korupsi tidak cukup bergema bagi penguasa baru pasca Soekarno. Sejarah memang membuktikan kemudian, bahwa bahkan hingga kini pemberantasan korupsi kenyataannya tidak pernah dilakukan sungguh-sungguh. Perspektif keabadian tidak berhasil ditinggalkan, khususnya dalam memberantas korupsi, sehingga mungkin saja kelak kita tercengang bahwa perilaku korupsi menempati posisi keabadian dalam kehidupan bangsa ini. Bahkan setelah Indonesia berganti presiden beberapa kali.

Tidak sabar menunggu-nunggu hasil Komisi 4, sejak Juni 1970 sejumlah tokoh mahasiswa di Bandung telah melakukan tukar pikiran yang intensif untuk merancang suatu gerakan baru anti korupsi, karena mereka kurang yakin terhadap peluang keberhasilan Komisi 4. Maka tanpa menunggu lama-lama mahasiswa Bandung dan juga mahasiswa Jakarta sejak Juli mulai bergerak kembali melakukan aksi anti korupsi. Di Bandung, muncul ‘Bandung Bergerak’ yang dimotori oleh aktivis-aktivis Dewan Mahasiswa seperti Marzuki Darusman, Sjarif Tando dan Boy Musbar Nurmawan. Selain itu tercatat pula nama-nama lain seperti Erna Walinono (kini Erna Witoelar), Agus Dipo Subagyo, Hernanto, A. Razak Manan, Arifin Panigoro, Muhidin, Oberlin Batubara, Seto Harianto, Paulus Harli, Achmad Buchari Saleh, Piet Tuanakotta, Lili Asdjudiredja, Surjana Nataadikusuma dan Jajun Wahju. Selain aktivis dewan mahasiswa dari ITB, Universitas Padjadjaran dan Universitas Parahyangan, sebagian dari mereka adalah fungsionaris-fungsionaris organisasi-organisasi ekstra seperti PMB, Imaba, CSB, Damas, PMKRI dan GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia). Pada saat-saat berikutnya datang dukungan dari HMI Bandung. Aktivis-aktivis HMI ini menggabungkan diri dan secara aktif turut serta dalam gerakan-gerakan mahasiswa Bandung anti korupsi tersebut.  ‘Bandung Bergerak’ (BB) mendatangi sejumlah pejabat yang dianggap bertanggung jawab pada berbagai kementerian, menggugat dan meminta pertanggungjawaban terhadap apa yang mereka anggap korupsi dan penghamburan uang negara. Selain mendatangi beberapa kementerian yang lebih lazim disebut departemen, mahasiswa ‘Bandung Bergerak’ mendatangi kantor Pertamina di Jalan Perwira Jakarta dan Kejaksaan Agung di Jalan Sisingamangaraja. Di sana mereka menempelkan poster-poster anti korupsi. Kelompok ‘Bandung Bergerak’ ini diterima oleh Ketua DPR-GR dan kemudian menemui Presiden Soeharto. Kepada kedua pucuk pimpinan lembaga tinggi negara itu, mereka menyampaikan sepucuk surat terbuka yang menyangkut masalah korupsi. Pada waktu yang hampir bersamaan, sejumlah tokoh mahasiswa yang umumnya dari Universitas Indonesia, Arief Budiman, Marsilam Simandjuntak dan Sjahrir, melakukan kegiatan yang sama di bawah nama ‘Komite Anti Korupsi’ (KAK). KAK ini sebenarnya gabungan dari ‘Mahasiswa Menggugat’ dengan aktivis KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia) sisa-sisa 1966.

Meski memiliki pola yang mirip, sebenarnya ada ganjalan yang terjadi antara mahasiswa Bandung dengan mahasiswa Jakarta kala itu. Mahasiswa Bandung mencurigai sebagian dari gerakan-gerakan mahasiswa di Jakarta itu diperalat oleh partai-partai – waktu itu ada 9 partai yang eksis dan siap mengikuti Pemilihan Umum 1971 bersama Sekber Golkar (Sekretariat Bersama Golongan Karya). Memang, isu-isu dan penyampaian yang dilontarkan mahasiswa Jakarta saat itu terasa amat paralel dengan suara-suara sejumlah partai. Apalagi fakta menunjukkan tercampurbaurnya sejumlah tokoh mahasiswa organisasi ekstra universiter yang dikenali sebagai ‘mereka yang dekat dengan kalangan partai’ dalam gerakan-gerakan mahasiswa Jakarta. Ditambah pula adanya satu dua tokoh yang diragukan integritasnya karena kedekatan dengan beberapa kalangan penguasa –dengan tentara maupun Opsus Ali Moertopo– dan atau punya tujuan-tujuan tertentu memanfaatkan gerakan di luar tujuan-tujuan idealistis. Bagi mahasiswa Bandung, partai-partai adalah kekuatan-kekuatan kepentingan sempit dan ideologistis yang merupakan penghambat modernisasi kehidupan politik dan bernegara. Sedangkan mahasiswa-mahasiswa Bandung yang berbasis kampus di tahun 1970 itu dengan tegas menyatakan diri “tetap berpegang kepada strategi modernisasi” dalam menjalankan aksi-aksi mereka.

Jadi, sepanjang ada bau partai, tak ada kompromi bagi mahasiswa Bandung, kecuali partai-partai mau memperbaharui diri atau diperbaharui. Sikap tidak mau berkompromi dengan segala yang berbau partai politik ini pula, yang membuat banyak organisasi mahasiswa ekstra universiter yang secara langsung atau tidak langsung punya kaitan dengan partai, tersisih di kampus-kampus Bandung. Dalam pemilihan senat dan dewan mahasiswa di kampus-kampus utama perguruan tinggi yang ada di Bandung, secara umum tokoh-tokoh mahasiswa yang tercium punya afiliasi ekstra langsung tersisih. Yang masih agak menonjol adalah HMI, tapi organisasi yang dianggap punya kaitan dengan neo Masjumi dan ikut menopang kelahiran Parmusi (Partai Muslimin Indonesia) ini dalam banyak hal kehilangan pengaruh di kampus terkemuka di Bandung, terkecuali di IKIP (Institut Keguruan Ilmu Pendidikan) dan sedikit kampus kecil-kecil. Komisariat-komisariat mereka di berbagai kampus antara ada dan tiada dalam kegiatan. Tapi mereka yang secara perorangan menunjukkan kesamaan persepsi dalam menanggapi berbagai permasalahan sosial politik aktual tetap diterima dalam kegiatan sehari-hari. Rekan-rekannya di kampus memahami bahwa meskipun memiliki kesamaan persepsi, anggota-anggota HMI ini terkendala untuk ikut serta dalam kegiatan kritis yang sama dengan mahasiswa lain. Termasuk dalam gerakan anti korupsi. Karena, segala sesuatunya, sepanjang menyangkut soal pergerakan kala itu, keputusannya ada di tangan PB HMI di Jakarta.

Berlanjut ke Bagian 5