Tag Archives: KAPPI

SOEKARNO DALAM RIAK PERISTIWA 19 AGUSTUS 1966 (1)

PERAYAAN 17 Agustus 1966 di Istana Merdeka, tercatat sebagai perayaan Agustusan terakhir bagi Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia. Kemungkinan ke arah kejatuhannya dari kekuasaan, jelas terbaca sejak ia seakan-akan ter-faitaccompli untuk memberikan Surat Perintah 11 Maret 1966 kepada Jenderal Soeharto. Lalu dalam Paripurna hari kedua Sidang Umum IV MPRS Selasa 21 Juni 1966, SP 11 Maret itu disahkan sebagai sebuah Ketetapan MPRS. Dan sementara itu Pidato Pertanggungjawaban Presiden Soekarno, berjudul Nawa Aksara (Sembilan Pokok Tertulis) yang disampaikan Kamis 23 Juni, dinyatakan ditolak di akhir SU-IV 5 Juli 1966. Selain itu, SU-IV MPRS juga menanggalkan beberapa gelar dan wewenang Presiden Soekarno. Antara lain, penghapusan jabatan Presiden Seumur Hidup.

Walaupun Soekarno resmi tetap sebagai Presiden RI, pada hakekatnya sejak waktu-waktu itu separuh kekuasaan sudah berada di tangan Jenderal Soeharto. Namun menjadi fenomena menarik bahwa saat langkah Soekarno semakin tertatih-tatih dalam menjalankan kekuasaannya, Jenderal Soeharto pun tak kalah lamban bagaikan keong dalam menyelesaikan proses peralihan kekuasaan guna mengakhiri apa yang disebut mahasiswa dan cendekiawan yang kritis kala itu sebagai langkah mengakhiri kekuasaan diktatorial Soekarno.

SOEKARNO DAN SOEHARTO. “Walaupun Soekarno resmi tetap sebagai Presiden RI, pada hakekatnya sejak waktu-waktu itu separuh kekuasaan sudah berada di tangan Jenderal Soeharto.”

Dengan mencermati pernyataan-pernyataan Soekarno antara bulan Juni usai SU-IV hingga pertengahan Agustus, menjelang peringatan Proklamasi Kemerdekaan yang ke-21 itu, sejumlah tokoh kesatuan aksi di Bandung –KAMI maupun KASI– telah menduga bahwa Soekarno akan menyampaikan pidato bernada keras pada 17 Agustus 1966 di Istana.

Pada pelantikan Kabinet Ampera sebelumnya, Soekarno melontarkan keinginannya agar konfrontasi terhadap Malaysia tetap dilanjutkan. Lalu mengenai Surat Perintah 11 Maret 1966, Soekarno mengatakan bahwa itu adalah surat perintah biasa, bukan transfer of authority atau pemindahan kekuasaan. Soekarno berkata Surat Perintah 11 Maret itu “bisa saya berikan kepada siapa saja”. Tapi tentu sudah terlambat, karena Surat Perintah 11 Maret itu sudah dikukuhkan melalui suatu Tap MPRS, yang tak bisa lagi dicabut oleh Soekarno. Kecuali bila Soekarno bisa memulihkan kembali kekuatan pendukungnya.

Ternyata Pidato 17 Agustus Soekarno, “Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah”, memang keras dan memancing kontroversi. Soekarno menyebut tahun 1966 sebagai tahun gawat, dan menunjuk adanya gerakan kaum revolusioner palsu sebagai penyebabnya. Presiden Soekarno tetap menyebut-nyebut Pantja Azimat Revolusi dan mengagungkan persatuan berdasarkan Nasakom. Namun bagian yang paling ‘kontroversial’ adalah tuduhan Soekarno bahwa gelombang penentangan terhadap dirinya dan Nasakom adalah sikap revolusioner yang palsu. Pasti yang dimaksudkannya adalah terutama kesatuan-kesatuan aksi. Soekarno menyerukan, “Saudara-saudara kaum revolusioner sejati, kita berjalan terus, ya, kita berjalan terus, kita tidak akan berhenti. Kita berjalan terus, berjuang terus, maju terus pada sasaran tujuan seperti diamanatkan oleh Proklamasi 17 Agustus 1945”. Seruan itu ternyata kemudian dimaknakan sebagai komando oleh para pengikutnya yang masih setia, untuk menghadapi ‘kaum revolusioner palsu’.

Peristiwa 19 Agustus 1966. Dan memang, seakan mengikuti seruan Soekarno dan sekaligus menjawab aksi-aksi anti Soekarno yang diperlihatkan pelajar dan mahasiswa dalam pawai alegoris mahasiswa Senin sore 15 Agustus, pendukung Soekarno bereaksi. Barisan pendukung Soekarno melakukan penyerangan-penyerangan terhadap para penentang Soekarno di berbagai penjuru tanah air. Paling menonjol adalah yang terjadi di Bandung. Rabu 17 Agustus pagi sekelompok orang yang berseragam hitam-hitam melakukan serangan bersenjata api dan tajam ke Markas KAPPI di Jalan Kebon Jati Bandung dan pada sore harinya melakukan teror terhadap barisan KAMI dan KAPI yang ikut dalam pawai 17-an. Kampus ITB yang dijaga Batalion 1 Mahawarman dan kampus Universitas Padjadjaran yang dijaga Batalion 2 Mahawarman juga diserang, tapi bisa diatasi.

Serangan paling besar terjadi 19 Agustus 1966. Dilakukan kelompok hitam-hitam yang diidentifisir sebagai anggota PNI Asu. Sasarannya markas kesatuan aksi selain kampus beberapa perguruan tinggi. Serangan terjadi setelah massa pelajar dan mahasiswa Bandung melakukan aksi menyatakan  sikap dan penolakan mereka terhadap pidato Soekarno, Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah, yang oleh para mahasiswa disingkat menjadi Jas Merah. Di Jakarta, kerap diringkas sebagai Jali-jali Merah. Merah waktu itu senantiasa dihubungkan dengan komunisme. Hari itu, setelah satu gerombolan liar menduduki markas KAPPI pada jam 08.00, dua jam kemudian giliran Markas KAMI dan KAPI di Jalan Lembong diserang tak kurang dari 200 orang yang bersenjata api dan tajam. Seraya meneriakkan yel-yel “Hidup Bung Karno!”, “Ganyang KAMI/KAPI” dan “KAMI/KAPI pelacur” dan sebagainya, mereka merusak markas tersebut. Mereka juga menurunkan bendera-bendera dan papan nama KAMI/KAPI. Menyerang sejumlah anggota KAMI dan KAPI di tempat itu dengan senjata tajam, sehingga beberapa orang luka-luka.

Teror dan penyerangan berlangsung diiringi tembakan-tembakan senjata api, yang mengindikasikan terlibatnya sejumlah anggota kesatuan militer. Setelah penyerangan di Jalan Lembong itu, serangan berlanjut ke kampus Universitas Parahyangan di Jalan Merdeka yang merupakan siku Jalan Lembong. Sejumlah mahasiswa anggota KAMI dan Resimen Mahawarman di kampus itu mencoba mempertahankan kampus. Tembakan peringatan ke atas yang diberikan anggota-anggota Mahawarman, langsung dijawab dengan tembakan mendatar yang terarah sehingga melukai beberapa anggota Mahawarman. Salah seorang anggota Mahawarman, Julius Usman, tewas terkena tembakan.

Seorang reporter Mingguan Mahasiswa Indonesia yang menyaksikan langsung peristiwa, melaporkan bahwa “suatu hal yang sangat menarik ialah sebagian di antara penyerang-penyerang itu adalah anak-anak tanggung dan pada umumnya terdiri dari para gelandangan”. Lebih jauh terungkap, sebagian massa yang dikerahkan adalah kalangan penjahat dan tukang-tukang pukul dari sekitar wilayah Stasiun Bandung, dan dari “daerah basis PKI dan ASU lainnya seperti Babakan Ciparay”. Istilah ASU di sini sudah berkembang dari akronim untuk Ali-Surachman menjadi ‘Aku anak Sukarno’. (socio-politica.com – Berlanjut ke Bagian 2)

Kisah Jenderal Sarwo Edhie Wibowo dan RPKAD 1965-1966 (5)

LATAR belakang ketiga inilah –yakni adanya pembasmian awal pengikut PKI oleh DI/TII– yang membuat PKI tak pernah berkesempatan menanam benih kebencian di pedalaman Jawa Barat melalui aksi-aksi sepihaknya seperti halnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur misalnya. Karena tak menabur banyak benih angin kebencian, maka PKI Jawa Barat pun tak perlu menuai badai pembalasan besar-besaran. Selain itu, PKI dan perwira militer yang dipengaruhi komunis di Jawa Barat, tak melakukan tindakan yang sama dengan yang mereka lakukan di Jawa Tengah dan Jawa Timur. PKI Jawa Barat dan pendukung militernya tidak membentuk Dewan Revolusi secara provokatif, dan juga tak melakukan aksi kekerasan dan gerakan bersenjata pada hari-hari pertama setelah Peristiwa 30 September 1965.

KARIKATUR SOEKARNO KE LUBANG BUAYA HALIM. “Apalagi, pada 1 Oktober ia justru memilih ke Halim Perdanakusuma: Bertemu Laksamana Udara Omar Dhani, Brigjen Soepardjo dan berkomunikasi dengan DN Aidit dari sana, sementara DN Aidit sendiri meninggalkan Jakarta menuju Jawa Tengah dengan pesawat AURI dari pangkalan itu. Ini semua adalah bibit awal dari akumulasi ketidakpercayaan”. (Karikatur Harijadi S, 1966)

Selain itu, cepatnya mahasiswa dan pelajar, khususnya di Bandung, bergerak merebut dan menduduki markas-markas PKI dan mantel-mantel organisasinya, sadar atau tidak telah mengkanalisir kemarahan masyarakat non PKI atas Peristiwa 30 September 1965 dalam gerakan-gerakan yang lebih terarah. Gerakan-gerakan anti PKI di Jawa Barat, menjadi gerakan yang sepantasnya saja, tanpa banyak ekses di luar batas kemanusiaan seperti halnya yang terjadi di berbagai daerah lain di Indonesia. Hal ini pernah diakui Mayor Jenderal HR Dharsono, kepada sejumlah tokoh kesatuan aksi di Jawa Barat, saat masih menjabat sebagai Panglima Kodam VI (waktu itu) Siliwangi.

Bila di Jawa Tengah dan Jawa Timur konflik di akar rumput antara PKI-Non PKI berdasarkan dendam lama berlangsung berlarut-larut dan bertele-tele, maka di Jawa Barat pola konflik dengan cepat beralih ke masalah lebih mendasar tentang pengelolaan negara. Isu anti PKI beralih kepada yang dianggap menjadi pokok masalah bagi terciptanya pertentangan di masyarakat, Continue reading Kisah Jenderal Sarwo Edhie Wibowo dan RPKAD 1965-1966 (5)

Gerakan Mahasiswa = Gerakan Hati Nurani Bangsa (5)

Hatta Albanik*

PADA masa awal perjuangan Angkatan 66, konstelasi ini kemudian berubah dengan tersingkirnya kekuatan-kekuatan yang dianggap dekat dengan PKI pada waktu itu (mungkin juga sampai kini ?) dan dianggap sebagai dalang terjadinya pemberontakan G30S (suatu usaha kudeta terhadap kekuatan pemerintahan yang sah waktu itu): CGMI plus GMNI. Di kalangan PNI pada waktu itu telah terjadi pula usaha pembersihan terhadap tokoh-tokoh PNI yang dipimpin oleh Ali Sastroamidjojo dan Ir Surachman yang dianggap bersimpati terhadap PKI, sehingga terbentuklah GMNI ‘aliran kanan’ PNI yang dipimpin Osa Maliki dan Usep Ranawidjaja. GMNI dari aliran inilah yang dianggap bisa bekerjasama dengan organisasi-organisasi ekstra kampus yang anti komunis dan menjadi kekuatan pendobrak awal dalam usaha ABRI di bawah pimpinan Soeharto dan AH Nasution untuk menggusur kekuatan Orde Soekarno melalui pembentukan KAMI. Pada mulanya KAMI hanya didukung oleh organisasi-organisasi mahasiswa ekstra kampus yang anti komunis tersebut. Terlibatnya mahasiswa melalui organisasi intra kampus kemudian, terjadi oleh karena terdesaknya usaha-usaha pergerakan yang dilakukan oleh KAMI dengan munculnya instruksi pemerintahan Orde Soekarno untuk membubarkan KAMI yang segera disusul instruksi Wakil Perdana Menteri (Waperdam) I Soebandrio untuk membentuk Barisan Soekarno sebagai pengimbang KAMI. Waktu itu terkenal semboyan “teror harus dibalas dengan kontra teror”. Terdesaknya organisasi KAMI yang murni ekstra kampus itu kemudian mendorong munculnya kebutuhan melibatkan mahasiswa secara keseluruhan di kampus-kampus perguruan tinggi untuk juga terlibat dan melibatkan diri dalam perjuangan menghancurkan dalang peristiwa kudeta G30S yang dianggap masih terlalu dilindungi oleh Soekarno. Bersamaan dengan munculnya konsulat-konsulat KAMI di perguruan-perguruan tinggi terkemuka di Indonesia pada waktu itu bersama-sama dengan dilibatkannya pula massa pelajar SMP dan SMA di dalam organisasi KAPI (Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia) dan KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia) maka resmilah para mahasiswa organisasi intra kampus ikut terlibat menjadi anggota KAMI.

AKTIVIS MAHASISWA BANDUNG-JAKARTA MENJELANG MALARI: HATTA ALBANIK, HARIMAN SIREGAR, KOMARUDDIN. Banyak organisasi extra kampus yang “segera setelah peristiwa Malari 1974 meletus di Jakarta buru-buru menyatakan sikap menghujat gerakan mahasiswa 1974 dan menjilat kekuasaan pemerintahan Orde Soeharto untuk kemudian memperoleh konsesi-konsesi politik bahkan konsesi ekonomi tertentu”. (Dokumentasi foto: Pandu)

Dengan penggambaran di atas dapat Continue reading Gerakan Mahasiswa = Gerakan Hati Nurani Bangsa (5)

The Stories Ever Told: Soeharto dan Para Presiden Indonesia (2)

TUDINGAN bahwa mahasiswa pergerakan 1966 terperangkap jalan pikiran barat –tepatnya jalan pikiran imperialis dan neo kolonialisme– sehingga tidak memahami revolusi, antara lain dinyatakan langsung Soekarno dalam suatu pertemuan dengan tokoh-tokoh KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) 18 Januari 1966. Bung Karno marah-marah karena ada corat-coret yang menyebut salah satu isterinya, Hartini Soekarno, sebagai “Gerwani Agung”. Gerwani adalah organisasi perempuan onderbouw PKI yang kala itu dilekati dengan berbagai konotasi buruk, termasuk perilaku a-susila dalam peristiwa di Lubang Buaya 1 Oktober 1965. Wajar kalau Soekarno begitu marah bila isterinya disebut ‘Gerwani Agung’. Salah satu anggota KAMI dari Jakarta menjelaskan kepada Soekarno bahwa kalau ada ekses-ekses yang terjadi dalam aksi-aksi mahasiswa, semisal corat-coret dengan kata-kata kotor, itu adalah pekerjaan tangan-tangan kotor yang menyusup ke dalam barisan mahasiswa. Tokoh-tokoh KAMI yang hadir kala itu antara lain, Cosmas Batubara, Mar’ie Muhammad, David Napitupulu, Lim Bian koen, Elyas, Abdul Gafur, Firdaus Wajdi dan Djoni Sunarja.

Meski mahasiswa waktu itu sudah sangat berani melawan Soekarno melalui gerakan-gerakan turun ke jalan, yang kerap kali disebut ‘parlemen jalanan’, tak urung menurut salah seorang tokoh KAMI, David Napitupulu, tokoh-tokoh mahasiswa itu sempat juga agak ciut nyalinya ketika berhadapan langsung dengan Soekarno. Padahal itu pertemuan yang sudah kedua kali. David bercerita, Soekarno masih berhasil menunjukkan wibawa dan membuat beberapa tokoh mahasiswa ‘melipatkan’ dan merapatkan tangan di depan bagian bawah perut dengan santun.

KEMARAHAN SOEHARTO. Suatu ketika ia pernah menanggapi ucapan kritis dari Adnan Buyung Nasution dari KASI, dengan emosional, dalam pertemuan di Gedung Presidium Kabinet 13 Juni 1967. Buyung menggambarkan bahwa di mata rakyat saat itu, ABRI itu rakus. Soeharto menjawab dengan keras “kalau bukan saudara yang mengatakan hal ini, pasti sudah saya tempeleng”. Karikatur 1967, Hariyadi S.

Kala musim mulai berganti. Masih pada awal masa kekuasaannya, Jenderal Soeharto sudah mulai terbiasa marah-marah kepada mahasiswa dan kalangan kesatuan aksi, ‘partner’ penopangnya menuju kekuasaan. Suatu ketika ia pernah menanggapi ucapan kritis dari Adnan Buyung Nasution dari KASI, dengan emosional, dalam pertemuan di Gedung Presidium Kabinet 13 Juni 1967. Buyung menggambarkan bahwa di mata rakyat saat itu, ABRI itu rakus. Soeharto menjawab dengan keras “kalau bukan saudara yang mengatakan hal ini, pasti sudah saya tempeleng”. Dan pada kesempatan lain, 8 Nopember 1967, sekali lagi ia menunjukkan sikap yang telah berubah ketika menghadapi demonstrasi massa KAMI, KAPI dan KAPPI di depan Gedung Presidium Kabinet Jalan Merdeka Barat, yang meminta perhatiannya selaku Pejabat Presiden mengenai makin melonjaknya harga beras. Ia membiarkanmassa menunggu dulu dua jam lamanya, sebelum menemui mereka. Dengan nada yang terasa agak ketus, ia berkata kepadamassa yang dulu ikut mendukungnya menuju istana dengan menjatuhkan Soekarno, “Kalau kesatuan aksi bermaksud menindak orang yang bertanggungjawab atas kesukaran hidup dewasa ini, maka sayalah orangnya yang harus ditindak”.

Reaksi Soeharto yang biasanya tenang dan murah senyum kepada massa mahasiswa dan pelajar di tahun sebelumnya itu, cukup mengejutkan banyak orang. Arief Budiman, salah seorang tokoh terkemuka perjuangan 1966, kemudian menanggapi ‘insiden’ itu dengan nada pahit. “Dia seakan-akan menghadapi para demonstran sebagai ‘pemuda-pemuda iseng’ yang mengganggu kerjanya”, kata Arief. “Dan sikapnya yang menantang para pemuda itu, sungguh-sungguh tidak simpatik. Parapemuda itu datang karena penderitaan yang tak teratasi lagi”. Mereka tahu bahwa pak Harto berusaha untuk mengatasi kesulitan-kesulitan itu, “tapi mereka juga tahu banyak para pembantu pak Harto hidup bermewah-mewah dari hasil korupsinya. Barangkali mereka tak tahu bagaimana orang-orang itu berkorupsi, mereka tak punya dokumen-dokumennya. Tapi dengan logika yang elementer saja, melihat kehidupan pribadi mereka dengan rumah yang mewah, dengan mobil berbiji-biji dan membandingkannya dengan gaji yang mereka seharusnya terima, segera dapat disimpulkan bahwa di balik semua ini pasti ada apa-apanya”.

Panglima Kodam Jaya, Brigjen Amirmahmud, yang dari dulu, sejak zaman Soekarno belum jatuh, memang kurang bersimpati kepada gerakan-gerakan ekstra parlementer mahasiswa dan pelajar gerakan 1966, dengan gesit mengeluarkan larangan berdemonstrasi. Ia agaknya lupa bahwa larangan berdemonstrasi yang pernah dikeluarkannya setahun sebelumnya belum dicabut. Tapi kali ini, larangan demonstrasi yang dikeluarkannya betul-betul njlimet memperinci sampai kepada apa saja yang tidak boleh dilakukan: menyetop kendaraan dan mengambil kendaraan pemerintah maupun milik pribadi secara paksa, main hakim sendiri, pengeroyokan, penyerbuan dan pendudukan tempat kediaman maupun tempat kerja dan sebagainya yang semua mengarah kepada contoh-contoh yang lazim terjadi dalam masa demonstrasi tahun 1966. Tanpa larangan ala Amirmahmud pun, sebenarnya, para mahasiswa juga sepakat bahwa apa yang sering dilakukan sebagai ‘ekses’ di masa lampau itu hendaknya sudah diakhiri, dan ekses seperti itu kerapkali dilontarkan sebagai kritik internal.

Mahasiswa pun sering mengeritik perilaku tentara yang juga punya ‘kebiasaan’ meminjam dan menyetop kendaraan umum untuk dipinjam guna kepentingan ‘dinas’, sementara sebaliknya mobil-mobil tentara sendiri justru digunakan untuk ‘ngobjek’ mengangkut barang-barang milik swasta. Tetapi cara merumuskan larangan-larangan itu dalam pengumuman Kodam Jaya itu ‘berhasil’ menggambarkan perbuatan-perbuatan itu bukan sekedar ‘ekses’, melainkan sebagai perbuatan yang berkonotasi pidana, yang menurut Arief adalah penggambaran sebagai perampokan. Sikap Soeharto dan antisipasi Amirmahmud yang betul-betul menunjukkan karakter militer itu, sekaligus menunjukkan bahwa kini setelah berkuasa mereka tak membutuhkan lagi gerakan ekstra parlementer sebagai alat yang setahun sebelumnya dimanfaatkan dan diprovokasi dari belakang layar untuk menekan Soekarno. Bahkan Soeharto mulai menempatkan kaum muda ini sebagai onak duri yang harus mulai disingkirkan. Dan ini semua akan terbukti dengan apa yang dilakukannya pada tahun 1970-an, terutama di tahun 1974 dan 1978.

Terlepas dari insiden-insiden tersebut, hingga tahun 1970, pada hakekatnya tingkat kepercayaan kepada Jenderal Soeharto masih cukup tinggi. Ada beberapa kisah kecil yang menunjukkan dirinya masih patut diteladani pada tahun-tahun awal penampilannya sebagai pemimpin bangsa dan negara. Sebuah sketsa peristiwa disajikan di pertengahan 1968 oleh Mingguan Mahasiswa Indonesia, sebagai berikut ini. “Kini anak-anak penggede Orde Baru mulai banyak tingkah”. Tiap hari koran-koran Jakarta mengecam aksi ngebut di jalan. Dulu, Guntur Soekarnoputera juga senang ngebut dengan mobilnya di Bandung, tanpa ada yang berani menegur. Polisi lalu-lintas pasca Soekarno ini dikecam karena tidak berani bertindak. Suatu hari seorang wartawan datang pada perwira tinggi polisi dan bertanya tentang soal ini. “Bagaimana anak buah saya berani bertindak? Suatu kali polisi lalu lintas menegur salah seorang pemuda yang melanggar lalu lintas. Apa jawabnya? ‘Kamu tidak tahu? Saya anak menteri luar negeri!’….”, demikian sang perwira menuturkan. Diceritakan seterusnya, “Anak Jenderal Soeharto juga ditangkap polisi lalu lintas. Tetapi sang ayah bersikap tegas.  Anaknya tetap dibiarkan diadili. Dan di rumah, ia dimarahi oleh ayahnya”. Bahkan ada yang menyaksikan bahwa ‘rebewijs’ (SIM atau Surat Izin Mengemudi) anaknya itu disobek. “Tindakan Jenderal Soeharto terhadap anaknya patut dicontoh oleh penggede-penggede Orde Baru yang lain”, demikian dituliskan. Dianjurkan agar putera para pembesar, “jangan menyalahgunakan kekuasaan bapaknya”.

Sekitar tiga puluh tahun kemudian, kala musim telah berganti, Presiden Soeharto ‘memerintahkan’ Fuad Bawazier, Dirjen Pajak yang kemudian naik menjadi Menteri Keuangan, untuk membebaskan bea masuk (pajak) bagi mobil-mobil buildup yang diimpor dari Korea Selatan sebagai ‘modal dan percontohan awal’ salah seorang puteranya atas nama proyek mobil nasional. Dengan patuh, sang menteri melaksanakan perintah, yang di kemudian hari menjadi persoalan yang sulit diselesaikan. Mobil nasional itu sendiri tak pernah terwujud diproduksi. Adapun Fuad Bawazier, kini menjadi tokoh penting salah satu partai, dan kerap kali berbicara cukup vokal juga.

Bila sang Presiden marah. Kemarahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono beberapa pekan lalu, ketika menanggapi SMS yang dianggapnya fitnah –termasuk serangan terhadap kehidupan pribadinya maupun keluarganya– mengingatkan kepada kemarahan serupa yang pernah ditunjukkan Jenderal Soeharto di tahun 1972 saat memasuki tahun ke-6 kekuasaannya.

Menanggapi gerakan-gerakan mahasiswa yang memprotes pembangunan Proyek Taman Mini Indonesia Indah, Presiden Soeharto melontarkan ucapan-ucapan keras, tatkala berpidato tanpa teks pada peresmian Rumah Sakit Pertamina yang modern, 6 Januari 1972. Sama dengan Susilo Bambang Yudhoyono yang sering mengeluhkan penggunaan demokrasi yang kebablasan, kala itu Soeharto juga mengecam hak demokrasi yang dikatakannya dilakukan secara berlebih-lebihan. Bukan sekedar mengecam, Jenderal Soeharto juga sekaligus memperingatkan akan menghantam dan menindak. “Perbedaan pendapat memang merupakan bumbu demokrasi”, ujar Soeharto, “Tetapi, harus dalam batas-batas keserasian dan jangan hanya ingin menggunakannya sehingga timbul kekacauan. Khususnya, dalam menghadapi proyek Miniatur Indonesia”. Mereka yang berada tak jauh dari presiden, bisa melihat dengan jelas betapa pada waktu itu wajah Soeharto tampak berkeringat. Pada pokoknya, menurut buku Menyilang Jalan Kekuasaan Militer Otoriter (Rum Aly, Penerbit Buku Kompas, 2004), Presiden Soeharto sebagai suami pemrakarsa TMII, Siti Suhartinah Soeharto, katanya  sangat mengetahui secara jelas tentang rencana TMII dan membenarkan pembangunan proyek itu.

Beberapa waktu sebelumnya, kepada Pangkopkamtib Jenderal Soemitro, yang bertanya kepadanya, Soeharto menegaskan bahwa TMII bukan proyek pemerintah, tak ada bantuan dari APBN “karena kita tak ada uang”. Itu proyek swasta, yang bisa saja dibantu secara sukarela oleh para pengusaha. Jenderal Soemitro bertanya, apakah pengusaha-pengusaha swasta itu perlu diberi fasilitas khusus? Soeharto menjawab, “Tidak. Tidak perlu”. Soemitro bertanya lagi, apakah para gubernur diwajibkan membantu Proyek Mini? “Tidak, tidak bisa. Provinsi tidak punya uang. Mereka punya banyak masalah. Uang mereka terbatas”, tegas Soeharto. Nyatanya, para gubernur atas arahan akrobatik Menteri Dalam Negeri Amirmahmud, berkecenderungan kuat untuk membantu dengan segala cara. Dan itu diikrarkan hanya beberapa waktu sebelumnya di bulan Desember 1971. Inilah yang antara lain diprotes para mahasiswa.

Berlanjut ke Bagian 3.

Kisah Tiga Jenderal Dalam Pusaran Peristiwa 11 Maret 1966 (5)

“Semar memiliki tiga putera yakni Bagong, Petruk dan Gareng. Di antara ketiga putera ini, adalah Petruk yang paling terkemuka sebagai simbol kelemahan insan di dunia. Tatkala sempat sejenak menjadi raja, sebagai ujian, ia menjalankan kekuasaannya dalam keadaan ‘benar-benar mabok’. Ungkapan ‘Petruk Dadi Raja’, secara empiris berkali-kali terbukti sebagai cerminan perilaku manusia Indonesia saat berkesempatan menjadi penguasa”.

SETELAH RRI melalui warta berita 06.00 pagi Sabtu 12 Maret 1966 mengumumkan bahwa Letnan Jenderal Soeharto selaku pemegang Surat Perintah 11 Maret membubarkan PKI dan ormas-ormasnya, sejenak Jakarta mendadak diliputi suatu suasana ‘pesta kemenangan’. Ini misalnya tergambarkan dalam catatan Yosar Anwar, bahwa dengan pembubaran PKI itu maka “kemenangan tercapai, hal yang diinginkan dan diperjuangkan generasi muda selama beberapa bulan ini”.

Suasana pesta kemenangan itu, dalam pemaparan Yosar yang hiperbolis, tak kalah dengan ketika rakyat London merayakan kemenangan atas kekejaman Nazi Hitler, sama dengan kegembiraan rakyat Paris menyambut pahlawannya Jenderal de Gaulle kembali ke tanah air. “Begitulah suasana di Jakarta hari ini. Betapa generasi muda berjingkrak-jingkrak menyambut kemenangan dari suatu perjuangan lama dan melelahkan. Semua wajah cerah. Rakyat mengelu-elukan pahlawan dan pejuang Ampera seperti RPKAD, Kostrad, Kujang-Siliwangi, KAMI dan KAPPI. Gembira, tertawa dalam menyambut lahirnya Orde Baru. Suatu kehidupan baru. Hilang kelelahan rapat terus menerus selama ini, atau aksi yang berkepanjangan”. Hari itu memang ada parade yang diikuti oleh pasukan-pasukan RPKAD, Kostrad dan Kujang Siliwangi, massa mahasiswa, pelajar dan berbagai kalangan masyarakat.

Beberapa nama aktivis dicatat dalam ‘memori’ Yosar yang ‘romantis’. “Terbayang kawan-kawan seiring, kawan berdiskusi, kawan dalam rapat, kawan dalam aksi. Beberapa nama muncul selama saya berhubungan dalam aksi ini. KAMI Pusat –Zamroni, Cosmas, Elyas, Mar’ie, Sukirnanto, Djoni Sunarja, Farid, Hakim Simamora, Abdul Gafur, Savrinus, Han Sing Hwie, Ismid Hadad, Nono Makarim. KAMI Jaya –Firdaus Wajdi, Liem Bian Koen, Marsilam Simanjuntak, Sjahrir. Laskar Ampera –Fahmi Idris, Louis Wangge, Albert Hasibuan. KAMI Bandung –Muslimin Nasution, Dedi Krishna, Awan Karmawan Burhan, Soegeng Sarjadi, Adi Sasono, Freddy Hehuwat, Aldi Anwar, Odjak Siagian, Bonar, Robby Sutrisno, Sjarif Tando, Pande Lubis, Anhar, Aburizal Bakrie, Rahman Tolleng. Kolega IMADA –Rukmini Chehab, Zulkarnaen, Boy Bawits, Alex Pangkerego, Asril Aminullah, Sofjan, Piping dan banyak lagi. Juga tempat kami sering berdiskusi, baik sipil maupun militer, seperti Subchan, Harry Tjan, Liem Bian Kie, Lukman Harun, Buyung Nasution, Maruli Silitonga, Soeripto, Anto, Soedjatmoko, Rosihan Anwar, Harsono. Juga dengan dosen saya –Prof Sarbini, Prof Widjojo, Dr Emil Salim, atau orang militer seperti Kemal Idris, Sarwo Edhie, Ali Murtopo, sedangkan di Bandung dengan Ibrahim Adjie, HR Dharsono, Hasan Slamet, Suwarto”.

Tentu saja, masih ada begitu banyak nama aktivis di Jakarta, Bandung dan kota-kota lain yang luput dari catatan Yosar, karena gerakan di tahun 1966 itu melibatkan massa generasi muda dalam jumlah kolosal dan melahirkan begitu banyak nama tokoh gerakan. Setelah menuliskan daftar nama nostalgia perjuangan itu, Yosar juga mengajukan pertanyaan, “Tapi, apakah dengan kemenangan yang tercapai berarti perjuangan telah selesai ? Apakah perjuangan Tritura tamat riwayatnya ?”.

Sebenarnya, cukup banyak mahasiswa Jakarta yang sejenak sempat menganggap ‘perjuangan’ mereka selesai, dan kemenangan telah tercapai, tatkala Soeharto dan tentara tampak makin berperanan dalam kekuasaan negara ‘mendampingi’ Soekarno. Kala itu tak jarang terdapat kenaifan dalam memandang kekuasaan. Bagi beberapa orang, cita-cita tertinggi dalam kekuasaan adalah bagaimana bisa turut serta bersama Soekarno selaku bagian dari kekuasaan. Menggantikan Soekarno yang telah diangkat sebagai Presiden Seumur Hidup, hanyalah semacam hasrat dan ‘cinta terpendam’, tak berani diutarakan dan ditunjukkan, dan hanya dikhayalkan seraya menunggu kematian datang menjemput sang pemimpin. Ketika pada 18 Maret tak kurang dari 16 menteri Kabinet Dwikora yang disempurnakan ditangkap –dengan menggunakan istilah diamankan–  atas perintah Letnan Jenderal Soeharto berdasarkan kewenangan selaku pemegang Surat Perintah 11 Maret, itu dianggap hanya sebagai bagian dari pembersihan kekuasaan dari sisa-sisa bahaya pengaruh kiri. Tak kurang dari Soeharto sendiri selalu menyebutkan bahwa tindakan-tindakan yang diambilnya berdasarkan SP-11-Maret adalah untuk menyelamatkan integritas Presiden yang berada dalam bahaya.

Pembubaran PKI dan penangkapan para menteri itu, seakan telah memenuhi dua tuntutan dalam Tritura, yakni pembubaran PKI dan rituling Kabinet Dwikora. Sedangkan perbaikan ekonomi, diharapkan membaik dengan perubahan susunan kekuasaan, dan untuk jangka pendek Soeharto mengeluarkan himbauan agar para pengusaha membantu ketenangan ekonomi nasional. Namun apakah segala sesuatunya bisa semudah itu? Sebelum tanggal 18 Maret, sewaktu mulai terdengar adanya keinginan Soeharto merubah kabinet, Soekarno bereaksi dengan keras. Suatu pernyataan tertulisnya, 16 Maret malam dibacakan oleh Chairul Saleh –disiarkan RRI dan TVRI– yang isinya menegaskan bahwa dirinya hanya bertanggungjawab kepada MPRS yang telah mengangkatnya sebagai Presiden Seumur Hidup, seraya mengingatkan hak prerogatifnya dalam mengangkat dan memberhentikan menteri.

Jenderal Soeharto menjawabnya dengan penangkapan 16 menteri dengan tuduhan terlibat Peristiwa 30 September dan atau PKI. Sebagian besar penangkapan dilakukan oleh Pasukan RPKAD. Bersamaan dengan itu, diumumkan pembentukan suatu Presidium Kabinet, yang terdiri dari enam orang, yakni Letnan Jenderal Soeharto, Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Adam Malik, KH Idham Chalid, Johannes Leimena dan Roeslan Abdulgani. Dalam praktek sehari-hari kemudian, tiga nama yang disebutkan lebih dulu, menjadi penentu kebijakan sebenarnya dari Presidium Kabinet ini.  Dari 18 menteri yang ditangkap, hanya 5 yang diadili, yakni Dr Soebandrio, Drs Jusuf Muda Dalam, Mayjen Achmadi, Drs Mohammad Achadi dan Oei Tjoe Tat SH. Sisanya, ditahan  tanpa pernah diadili, mereka adalah Dr Chairul Saleh, Ir Setiadi Reksoprodjo, Astrawinata SH, Armunanto, Sudibjo, Drs Soemardjo, Letkol M. Imam Sjafei, Soetomo Martopradoto, JK Tumakaka, Koerwet Kartaadiredja dan Mayjen Soemarno Sosroatmodjo.

Penangkapan 16 orang menteri menyebabkan kekosongan yang harus segera diisi. Untuk sementara kekosongan itu diisi oleh Soeharto dengan mengeluarkan sebuah ‘Keputusan Presiden’ atas nama Soekarno, tentang penunjukan menteri ad interim. Ternyata kemudian, dalam proses selanjutnya, Soeharto tidak ‘mendesak’ Soekarno terlalu jauh untuk mengganti menteri-menteri yang tersisa, kecuali pengisian posisi yang kosong.  Meskipun posisi Soekarno sudah jauh melemah dibandingkan dengan sebelum Peristiwa 30 September terjadi, pada pertengahan Maret 1966 itu bagaimanapun Soekarno masih cukup kuat kalau hanya untuk sekedar bertahan.

Chairul Saleh yang terjepit dalam perubahan pertengahan Maret 1966 itu oleh para  mahasiswa Bandung digolongkan ke dalam kelompok kaum vested interest, yakni yang mempunyai kepentingan tertanam pada suatu keadaan. Ia dikenal sebagai orang yang anti komunis, namun setelah Peristiwa 30 September, ia mengikuti sikap Soekarno yang cenderung membela PKI. Dalam masa kekuasaan Soekarno yang sering disebut masa Orde Lama waktu itu, Chairul telah merasa terjamin kepentingan-kepentingan politis maupun kepentingan ekonomisnya, sehingga ia mendukung statusquo. Padahal, bila ia memiliki keberanian memisahkan keterikatan kepentingan pribadinya terhadap Soekarno, momentum peristiwa September 1965 justru bisa digunakannya untuk tampil di muka rakyat sebagai pemimpin pejuang yang berkarakter seperti pernah ditunjukkan di masa lampau pada masa mudanya.

Tanggal 16 Pebruari, Chairul Saleh malah muncul membacakan pengumuman presiden yang mengecilkan arti Surat Perintah 11 Maret. Karena sikap politiknya yang terkesan sejajar Soekarno itu ia akhirnya ikut ‘diamankan’ bersama 15 menteri lain pada 18 Maret 1966. Tetapi alasan penangkapan dan penahanannya, seperti dikatakan Soeharto selaku Panglima Kopkamtib, tidak terkait keterlibatan dalam Gerakan 30 September, melainkan karena sejumlah tuduhan pidana menyangkut penggunaan uang negara. Ia meninggal 8 Pebruari 1967 dalam usia 50 tahun dalam tahanan, suatu keadaan yang tragis sebenarnya. “Patut disayangkan bahwa Chairul Saleh meninggal dalam tahanan, setelah hampir setahun meringkuk, mengingat kejadian seperti ini bisa mengesankan tidak adanya kepastian hukum dan hak-hak azasi di negeri ini, seperti pernah dipraktekkan rezim Soekarno di zaman Orde Lama”, tulis Mingguan Mahasiswa Indonesia, 12 Pebruari 1967, ketika memberitakan kematiannya.

Sejak Soebandrio dan Chairul Saleh ditangkap, praktis Soekarno kehilangan pendamping politik senior yang tangguh dan hanya tersisa dr Leimena. Tetapi Leimena ini sejak 1 Oktober 1965 memperlihatkan kecenderungan memilih posisi tengah. Dia lah yang menyarankan Soekarno ke Istana Bogor setelah Soeharto mengultimatum sang Presiden untuk meninggalkan Halim Perdanakusumah, yang pesannya disampaikan Soeharto melalui Kolonel KKO Bambang Widjanarko. Sikap ‘tengah’ kembali ditunjukkan Leimena ketika mendampingi Soekarno menghadapi tiga jenderal ‘Super Semar’, pada tanggal 11 Maret 1966 di Istana Bogor. Soeharto cukup mengapresiasi peranan-peranan tengah Leimena, tetapi di kemudian hari, ia tak terbawa serta ke dalam pemerintahan baru di bawah Soeharto.

Meski Soekarno kehilangan sejumlah menteri setianya karena penangkapan yang dilakukan Soeharto, 18 Maret, waktu itu tetap dipercaya bahwa bila terhadap Soekarno pribadi dilakukan tindakan yang ‘berlebih-lebihan’, pendukungnya di Jawa Tengah dan juga di Jawa Timur akan bangkit melakukan perlawanan. Fakta dan anggapan seperti ini membuat Soeharto memilih untuk bersikap hati-hati dalam menjalankan keinginan-keinginannya terhadap Soekarno. Penyusunan kembali kabinet yang dilakukan 27 Maret, dan diumumkan oleh Soekarno, adalah kabinet statusquo yang tidak memuaskan mereka yang menghendaki perombakan total, namun telah memasukkan pula orang-orang yang diinginkan Soeharto.

Pada waktu itu, kendati PNI telah jauh melemah dan terbelah menjadi dua kubu, toh dalam setiap kubu masih terdapat tokoh-tokoh kuat yang tak mungkin meninggalkan Soekarno begitu saja. Belakangan, menjelang SU IV MPRS sampai Sidang Istimewa MPRS tahun 1967, tokoh-tokoh PNI yang bukan kelompok Ali-Surachman (sering diringkas Asu) menjadi lebih dekat dengan Soekarno dan malah “lebih Asu dari PNI-Asu” seperti dikatakan seorang aktivis 1966. Di tubuh Angkatan Darat sendiri pun bahkan masih terdapat jenderal-jenderal pemegang komando teritoral yang meskipun anti komunis, namun adalah pendukung setia Soekarno. Contoh paling menonjol adalah dua Panglima Kodam di wilayah yang amat dekat dengan pusat pemerintahan, yakni Brigjen Amirmahmud yang merangkap sebagai Pepelrada untuk Jakarta dan sekitarnya, serta Mayjen Ibrahim Adjie yang memegang komando di wilayah hinterland Jakarta, yakni Kodam Siliwangi di Jawa Barat.

Di luar Angkatan Darat, Soekarno tetap memiliki dukungan kuat. Seperti misalnya, Panglima KKO-AL Mayor Jenderal Hartono. Menteri Panglima Angkatan Laut Laksamana Muljadi, 7 Oktober 1966, memberikan penghargaan Hiu Kencana kepada Soekarno, yang bisa menunjukkan betapa masih cukup kuatnya pengaruh Soekarno di tubuh Angkatan Laut setidaknya sepanjang tahun 1966. Di tubuh kepolisian, ada Anton Soedjarwo Komandan Resimen Pelopor yang gigih mendukung Soekarno dan siap membasmi semua kekuatan yang mencoba menjatuhkan Soekarno.

Proses penyusunan Kabinet Dwikora yang disempurnakan lagi itu, diakui Soeharto sendiri, suasananya “masih dalam jalur gagasan” Presiden Soekarno. Dengan beberapa perhitungan, Soeharto memilih untuk kompromistis terhadap Soekarno. Atas keinginan Soekarno, Jenderal Abdul Harris Nasution, tak lagi diikutsertakan dalam kabinet. Dan Soeharto tidak merasa perlu terlalu mati-matian mempertahankan seniornya itu dalam pemerintahan, walau menurut Nasution untuk ‘kegagalan’ itu Soeharto sengaja datang ke rumah menyatakan penyesalan. Namun, dalam suatu proses yang berlangsung dengan dukungan kuat dari bawah, dari kelompok-kelompok yang makin terkristal sebagai kekuatan anti Soekarno, Nasution mendapat posisi baru sebagai Ketua MPRS dalam Sidang Umum IV MPRS Juni 1966.

Kemudian hari, Soeharto ternyata ‘menikmati’ juga kehadiran Nasution di MPRS, yang dimulai dengan pengukuhan mandat bagi Soeharto selaku pengemban Surat Perintah 11 Maret, yang lazim diringkas sebagai Super Semar, yang mengacu kepada nama tokoh pewayangan Semar, punakawan kaum Pandawa, yang titisan dewa. Semar memiliki tiga putera yakni Bagong, Petruk dan Gareng. Di antara ketiga putera ini, adalah Petruk yang paling terkemuka sebagai simbol kelemahan insan di dunia. Tatkala sempat sejenak menjadi raja, sebagai ujian, ia menjalankan kekuasaannya dalam keadaan ‘benar-benar mabok’. Ungkapan ‘Petruk Dadi Raja’, secara empiris berkali-kali terbukti sebagai cerminan perilaku manusia Indonesia saat berkesempatan menjadi penguasa.

Berlanjut ke Bagian 6

Kisah Tiga Jenderal dalam Pusaran Peristiwa 11 Maret 1966 (2)

“Saat berlangsungnya sidang kabinet, mahasiswa mengepung istana. Pada waktu itulah ‘pasukan tak dikenal’ itu datang berbaur. Sikap dan penampilan yang baik dari pasukan itu membuat demonstran mahasiswa tak merasa terancam dengan kehadiran mereka. Tetapi sebaliknya, seorang mantan menteri pada kabinet Dwikora yang disempurnakan, mengatakan kehadiran pasukan tanpa tanda pengenal itu memang dimaksudkan untuk menekan Soekarno dan mungkin saja berniat membantu demonstran masuk menerobos istana”.

TERDAPAT sejumlah Panglima Kodam yang memiliki akses langsung dengan Soekarno sebagai Pangti ABRI –suatu situasi yang memang diciptakan oleh Soekarno sendiri. Sementara yang lainnya, hanya bisa bertemu dengan sang Presiden, bila dibawa menghadap oleh Menteri Pangad Ahmad Yani. Ada beberapa diantaranya, yang meskipun punya akses langsung dengan Soekarno, tetap menjalankan tatakrama untuk melapor kepada Yani, sebelum atau sesudahnya. Tetapi ada juga yang sama sekali melangkahi Yani, seperti juga yang dilakukan oleh sejumlah jenderal senior. Salah satu Panglima Kodam yang pada bulan-bulan terakhir sampai September 1965 selalu ‘tembak langsung’ menghadap Soekarno adalah Brigjen Sjafiuddin dari Kodam Udayana. Sementara itu, waktu menjadi Panglima di Kalimantan Selatan, Amirmahmud, ada di antara dua kategori itu. Ia juga termasuk jenderal yang punya akses terhadap Soekarno, dan bahkan dimasukkan dalam kategori de beste zonen van Soekarno. Sesekali ia melapor kepada Yani, dan banyak kali juga tidak.

Dalam momen yang penting, pada masa tak menentu dalam kekuasaan Soekarno setelah Peristiwa 30 September 1965, Brigjen Amirmahmud masuk Jakarta menggantikan Mayjen Umar Wirahadikusumah sebagai Panglima Kodam Jaya. Salah satu reputasi yang diciptakan Amirmahmud adalah bahwa ia termasuk salah satu Panglima Kodam luar Jawa yang melarang semua kegiatan PKI dan ormas-ormasnya pada bulan Oktober tahun 1965, tanggal 19, tetapi masih lebih lambat dibandingkan sejumlah Kodam lainnya. Satu dan lain hal, kedekatannya dengan Presiden Soekarno ikut memperlambat dirinya mengambil keputusan itu. Pada 1 Oktober, ketika Kepala Staf Komando Antar Daerah Kalimantan Brigjen Munadi, mengadakan pertemuan membahas situasi yang terjadi di Jakarta, Panglima Kalimantan Selatan ini menjadi satu-satunya Panglima se Kalimantan yang tidak hadir. Menurut informasi Munadi kepada Jenderal Nasution kemudian, ketidakhadiran itu disebabkan sang panglima didatangi oleh Ketua PKI Kalimantan Selatan, A. Hanafiah, yang memberitahukan bahwa Panglima Kodam itu ditunjuk sebagai anggota Dewan Revolusi Kalimantan Selatan.

Ketika Amirmahmud menjadi Panglima Kodam Jaya, beberapa kali tindakannya menimbulkan tanda tanya para mahasiswa KAMI. Prajurit-prajurit Kodam Jaya kerap bertindak keras dan kasar kepada mahasiswa. Perwira-perwira bawahan Amirmahmud pun umumnya tidak menunjukkan simpati terhadap gerakan-gerakan mahasiswa, untuk tidak menyebutnya bersikap memusuhi. Hanya sedikit perwira Kodam Jaya yang bersimpati kepada mahasiswa, bisa dihitung cukup dengan jari di satu tangan, dan di antara yang sedikit itu tercatat nama Kepala Staf Kodam Kolonel AJ Witono serta Letnan Kolonel Urip Widodo.

Sebagai seorang Soekarnois, berkali-kali pula Amirmahmud  menampilkan lakon kesetiaan kepada Soekarno, diantaranya terkait dengan Barisan Soekarno. Tetapi, agaknya ini justru menjadi hikmah pula baginya, karena sedikitnya ia makin mendapat tempat di hati Soekarno, yang kemudian memudahkannya berperan dalam kelahiran Surat Perintah 11 Maret. Dan adalah karena peranannya pada tanggal 11 Maret, ia kemudian mendapat tempat yang lebih layak di sisi Soeharto dalam kekuasaan, sepanjang hayatnya. Terus menerus menjadi Menteri Dalam Negeri sejak menggantikan Basoeki Rachmat yang meninggal dunia dan kemudian menjadi Ketua MPR/DPR sebagai penutup karirnya yang secara menyeluruh tergolong ‘terang benderang’.

Hal lain yang membuat Amirmahmud bisa dekat dengan Soeharto adalah bahwa ia tidak termasuk di antara para jenderal yang ‘fasih’ berbahasa Belanda dan menggunakan bahasa campuran Belanda-Indonesia dalam percakapan sehari-hari satu sama lain. Soeharto adalah orang yang tak terlalu suka kepada kebiasaan berbahasa Belanda, suatu ketidaksukaan yang umum di kalangan perwira hasil pendidikan kemiliteran Jepang. Namun dari Soekarno, setidaknya dua kali dalam dua waktu yang berbeda, 1946 dan 1965, Soeharto mendapat ‘gelar’ dalam bahasa Belanda dari Soekarno, yakni sebagai jenderal koppig. Amirmahmud tak merasa nyaman dan tak betah bila ada dalam pertemuan yang dihadiri para jenderal berbahasa Belanda ini, seperti misalnya HR Dharsono, Kemal Idris dan kawan-kawan. Ketidaknyamanan yang sama dirasakannya ketika ia masih bertugas di Divisi Siliwangi sebelum bertugas di luar Jawa. Divisi Siliwangi terkenal sebagai satu divisi dengan banyak perwira intelektual dan berlatar belakang pendidikan baik, melebihi divisi yang lain pada umumnya. Percakapan sehari-hari di antara kalangan perwira menengah sampai perwira tingginya sangat lazim menggunakan bahasa Belanda. Amirmahmud yang berasal dari Cimahi, berbeda dengan umumnya koleganya sesama perwira Siliwangi, tidak menggunakan bahasa itu. Jenderal AH Nasution yang juga berasal dari Divisi Siliwangi, Letjen Ahmad Yani dan para perwira terasnya di Mabes AD adalah para jenderal yang juga berbahasa Belanda.

Kebiasaan berbicara dengan bahasa Belanda, merupakan salah satu ciri kelompok perwira intelektual dalam Angkatan Bersenjata Indonesia. Meski demikian, sebagai pengecualian, Amirmahmud bisa juga membuat dirinya ‘betah’ bila hadir dalam pertemuan dengan Bung Karno, kendati sang Presiden banyak menggunakan kata-kata Belanda yang tak semua dipahaminya. Tetapi adalah menarik bahwa Soekarno sendiri nyaris tak pernah menggunakan istilah-istilah bahasa Belanda bila berbicara dengan Amirmahmud dan beberapa jenderal lain yang diketahuinya tidak terbiasa dengan bahasa itu. Brigjen Soepardjo, Kolonel Latief dan Letnan Kolonel Untung termasuk dalam kelompok perwira yang tak berkebiasaan, bahkan jauh dari kebiasaan menggunakan bahasa Belanda.

Sejak pagi hari 11 Maret sebenarnya Presiden Soekarno ada dalam suatu keadaan cemas dan tertekan. Menurut rencana, hari itu akan ada Sidang Kabinet, namun ia was-was akan faktor keamanan bila sidang itu diselenggarakan di Jakarta. Ia menelpon Panglima Kodam Jaya Amirmahmud pukul 07.00 dari Istana Bogor, menanyakan apakah aman bila sidang itu dilakukan di Jakarta. Sang panglima memberikan jaminan dan menjanjikan takkan terjadi apa-apa. Beberapa jam kemudian, ketika sidang itu akan dimulai, sekali lagi Soekarno bertanya kepada Amirmahmud dan mendapat jawaban “Jamin pak, aman”. Soekarno meminta Amirmahmud untuk tetap berada dalam ruang sidang. Namun sewaktu sidang baru berlangsung sekitar sepuluh menit, Komandan Tjakrabirawa terlihat berulang-ulang menyampaikan memo kepada Amirmahmud. Isinya memberitahukan adanya pasukan yang tak jelas identitasnya berada di sekitar istana tempat sidang kabinet berlangsung. Ia meminta Amirmahmud keluar sejenak, tetapi Panglima Kodam ini berulang-ulang menjawab dengan gerak telapak tangan dengan ayunan kiri-kanan seakan isyarat takkan ada apa-apa. Tapi bisa juga sekedar tanda bahwa ia tidak bisa dan tidak mau keluar dari ruang rapat kabinet. Meskipun adegan ini berlangsung tanpa suara, semua itu tak luput dari penglihatan Soekarno dan para Waperdam yang duduk dekatnya.

Tak mendapat tanggapan dan Amirmahmud tak kunjung beranjak dari tempat duduknya, Brigjen Saboer akhirnya menyampaikan langsung satu memo kepada Soekarno. Setelah membaca, tangan Soekarno tampak gemetar dan memberi memo itu untuk dibaca oleh tiga Waperdam yang ada di dekatnya. Soekarno lalu menyerahkan pimpinan sidang kepada Leimena dan meninggalkan ruang sidang dengan tergesa-gesa. Kepada Amirmahmud yang mengikutinya ia bertanya, “Mir, bapak ini mau dibawa ke mana?”. Digambarkan bahwa Amirmahmud, yang tadinya menjamin sidang ini akan berlangsung aman tanpa gangguan, tak menjawab dan hanya menuntun Soekarno menuju helikopter. Dengan helikopter itu, Soekarno dan Soebandrio menuju Istana Bogor.

Sebenarnya, Amirmahmud sendiri, yang ingin menunjukkan kepada Soekarno bahwa ia mampu menjamin keamanan sidang kabinet tersebut, saat itu tak mengetahui mengenai kehadiran pasukan tak dikenal itu. Sepenuhnya, pasukan ini bergerak atas inisiatif Pangkostrad Kemal Idris. Pasukan itu diperintahkan untuk mencopot tanda-tanda satuannya dan bergerak ke sekitar istana. Seorang perwira tinggi AD mengungkapkan di kemudian hari bahwa pasukan tersebut sebenarnya dimaksudkan untuk melindungi demonstran mahasiswa, karena dalam peristiwa sebelumnya para mahasiswa itu berkali-kali menjadi korban kekerasan Pasukan Tjakrabirawa, dan sudah jatuh satu korban jiwa, Arief Rachman Hakim.

Pada 11 Maret pagi hingga petang, sebenarnya terjadi beberapa benturan di berbagai penjuru Jakarta. Catatan harian Yosar Anwar – dibukukan dengan judul ‘Angkatan 66’, Penerbit Sinar Harapan, Jakarta 1981– adalah salah satu sumber yang tepat untuk dikutip guna menggambarkan situasi hari itu. Pagi-pagi, mahasiswa yang berada di kampus UI Salemba, dikejutkan oleh suatu serangan mendadak dari segerombolan orang yang berbaju hitam-hitam. “Gerombolan berseragam hitam pagi itu datang dari arah Jalan Tegalan dan Matraman Raya. Mereka menyerbu pos KAPPI di Jalan Salemba. Seorang luka, karena kena tusuk. Laskar S. Parman dan Laskar A. Yani segera memberikan bantuan. Perang batu terjadi. Perkelahian seru. Akhirnya gerombolan liar ini mengundurkan diri. Pemuda Ansor yang tergabung dalam Banser dari Jalan Pramuka ikut menghadang mereka. Keadaan kacau balau, karena perkelahian pada front luas terbuka”. Tetapi tiba-tiba, sepasukan Tjakrabirawa yang bersenjata lengkap datang menyerbu. Mereka melepaskan tembakan hampir horizontal, peluru mendesing rendah di atas kepala pelajar dan mahasiswa. Para mahasiswa yang bingung, tiarap. Terdengar seorang anggota Tjakrabirawa dengan nyaring mengucapkan “Seratus mahasiswa tidak sanggup melawan seorang anggota Tjakrabirawa”. Tapi Tjakrabirawa yang telah berhasil membuat takut para mahasiswa, akhirnya berlalu dengan membawa empat orang mahasiswa sebagai tawanan. Namun beberapa jam kemudian, para mahasiswa itu dilepaskan.

Biasanya pasukan pengawal presiden itu hanya berada di sekitar istana, tapi hari itu mereka merambah ke mana-mana. Seterusnya, Yosar mencatat bahwa “Di Jalan Salemba terjadi perang pamflet. Helikopter bertanda ALRI menyebarkan fotokopi ‘Pernyataan Kebulatan Tekad Partai-partai Politik’. Sedangkan pelajar membagikan stensilan ‘reaksi pemuda-pelajar-mahasiswa atas sikap partai politik’…”. Peristiwa lain, sepasukan Tjakrabirawa yang lewat dengan kendaraan truk di Pasar Minggu melepaskan tembakan ketika diteriaki dan diejek oleh para pelajar. Mendengar adanya tembakan, satu pasukan Kujang Siliwangi yang ‘bermarkas’ dekat tempat kejadian, keluar ke jalan dan melepaskan tembakan ‘balasan’. Anggota Para Armed (Artileri Medan) dari arah lain, juga melepaskan tembakan.

Pada sore tanggal yang sama, terjadi keributan di Jalan Blitar. Massa menyerbu rumah Oei Tjoe Tat SH dan melakukan perusakan. “Hari ini, situasi sampai pada puncaknya. Demonstrasi kontra demonstrasi. Tembakan kontra tembakan. Teror kontra teror. Culik kontra culik”. Saat berlangsungnya sidang kabinet, mahasiswa mengepung istana. Pada waktu itulah ‘pasukan tak dikenal’ itu datang berbaur. Sikap dan penampilan yang baik dari pasukan itu membuat demonstran mahasiswa tak merasa terancam dengan kehadiran mereka. Tetapi sebaliknya, seorang mantan menteri pada kabinet Dwikora yang disempurnakan, mengatakan kehadiran pasukan tanpa tanda pengenal itu memang dimaksudkan untuk menekan Soekarno dan mungkin saja berniat membantu demonstran masuk menerobos istana. Dan ini semua dikaitkan dengan Soeharto yang selaku Menteri Panglima AD ‘sengaja’ tak hadir dalam sidang kabinet hari itu dengan alasan sakit.

Berlanjut ke Bagian 3

Tatkala Presiden Marah dan Tersinggung (3)

“Bagaimana dengan SBY? Wajah seriusnya yang kelihatan agak dingin, bila sedang menyampaikan uneguneg, sudah cukup sering terlihat di layar televisi. Namun, tata bahasa pidato ‘uneguneg’nya tetap terjaga, tidak seperti Soeharto yang menjadi agak kacau tata bahasanya bila sedang pidato tanpa teks”.

TANDA-tanda Jenderal Soeharto mulai gerah kepada bekas-bekas ‘partner’ pendukungnya, sebenarnya bukan betul-betul baru di tahun 1970 itu. Selain insiden gertak ‘tempiling’ yang ditujukan kepada tokoh 1966 Adnan Buyung Nasution 13 Juni 1967, pada kesempatan lain di tahun yang sama, 8 Nopember, sekali lagi Soeharto menunjukkan sikap yang telah berubah kepada ‘partner’ pendukungnya. Ini terlihat ketika ia menghadapi demonstrasi massa KAMI, KAPI dan KAPPI di depan Gedung Presidium Kabinet Jalan Merdeka Barat, yang meminta perhatiannya selaku Pejabat Presiden mengenai makin melonjaknya harga beras. Ia membiarkan massa menunggu dulu dua jam lamanya, sebelum menemui mereka. Dengan nada yang terasa agak ketus, ia berkata kepada massa yang dulu ikut mendukungnya menuju istana dengan menjatuhkan Soekarno, “Kalau kesatuan aksi bermaksud menindak orang yang bertanggungjawab atas kesukaran hidup dewasa ini, maka sayalah orangnya yang harus ditindak”.

Reaksi Soeharto yang biasanya tenang dan murah senyum kepada massa mahasiswa dan pelajar di masa lampau itu, cukup mengejutkan banyak orang. Arief Budiman kemudian menanggapi ‘insiden’ itu dengan nada pahit. “Dia seakan-akan menghadapi para demonstran sebagai ‘pemuda-pemuda iseng’ yang mengganggu kerjanya”, kata Arief. “Dan sikapnya yang menantang para pemuda itu, sungguh-sungguh tidak simpatik. Para pemuda itu datang karena penderitaan yang tak teratasi lagi”. Mereka tahu bahwa pak Harto berusaha untuk mengatasi kesulitan-kesulitan itu, “tapi mereka juga tahu banyak para pembantu pak Harto hidup bermewah-mewah dari hasil korupsinya. Barangkali mereka tak tahu bagaimana orang-orang itu berkorupsi, mereka tak punya dokumen-dokumennya. Tapi dengan logika yang elementer saja, melihat kehidupan pribadi mereka dengan rumah yang mewah, dengan mobil berbiji-biji dan membandingkannya dengan gaji yang mereka seharusnya terima, segera dapat disimpulkan bahwa di balik semua ini pasti ada apa-apanya.

Panglima Kodam Jaya Mayjen Amirmahmud yang dari dulu, sejak zaman Soekarno belum jatuh, memang kurang bersimpati kepada gerakan-gerakan ekstra parlementer mahasiswa dan pelajar gerakan 1966, dengan gesit mengeluarkan larangan berdemonstrasi. Ia agaknya lupa bahwa larangan berdemonstrasi yang pernah dikeluarkannya setahun sebelumnya belum dicabut. Tapi kali ini, larangan demonstrasi yang dikeluarkannya betul-betul njlimet memperinci sampai kepada apa saja yang tidak boleh dilakukan: menyetop kendaraan dan mengambil kendaraan pemerintah maupun milik pribadi secara paksa, main hakim sendiri, pengeroyokan, penyerbuan dan pendudukan tempat kediaman maupun tempat kerja dan sebagainya yang semua mengarah kepada contoh-contoh yang lazim terjadi dalam masa demonstrasi tahun 1966.

Para mahasiswa sebenarnya juga sepakat bahwa apa yang sering dilakukan sebagai ‘ekses’ di masa lampau itu hendaknya sudah diakhiri, dan ekses seperti itu kerapkali dilontarkan sebagai kritik internal. Mahasiswa pun sering mengeritik perilaku tentara yang meminjam dan menyetop kendaraan umum untuk dipinjam guna kepentingan ‘dinas’, sementara sebaliknya mobil-mobil tentara sendiri justru digunakan untuk ‘ngobjek’ mengangkut barang-barang milik swasta. Tetapi cara merumuskan larangan-larangan itu dalam pengumuman Kodam Jaya itu ‘berhasil’ menggambarkan perbuatan-perbuatan itu bukan sekedar ‘ekses’, melainkan sebagai perbuatan yang berkonotasi pidana, yang menurut Arief Budiman adalah penggambaran sebagai perampokan.

Sikap Jenderal Soeharto dan antisipasi Amirmahmud yang betul-betul menunjukkan karakter militer itu, sekaligus menunjukkan bahwa kini setelah berkuasa mereka tak membutuhkan lagi gerakan ekstra parlementer sebagai alat yang setahun sebelumnya dimanfaatkan dan diprovokasi dari belakang layar untuk menekan Soekarno. Bahkan Soeharto mulai menempatkan kaum muda ini sebagai onak duri yang harus mulai disingkirkan. Dan ini semua akan terbukti dengan apa yang dilakukannya pada tahun 1970-an, terutama di tahun 1974 dan 1978.

TENTU saja, tanda-tanda awal perubahan sikap Jenderal Soeharto ini bisa dianggap termasuk cepat. Beda waktunya sangat tipis dengan masa di mana Soekarno –presiden yang jatuh digantikan tempatnya oleh Soeharto– selalu menunjukkan kegusaran kepada demo-demo mahasiswa dan pelajar di tahun 1966.

Berkali-kali Soekarno mengecam demo-demo mahasiswa melalui berbagai kesempatan tanpa tatap muka. Tapi Selasa 18 Januari 1966, delegasi KAMI bertemu dengan Soekarno. Ini adalah yang kedua kalinya. Cuma, pertemuan pertama dengan Soekarno berlangsung ringkas saja, yaitu saat berlangsung Sidang Paripurna Kabinet 15 Januari. Delegasi mahasiswa menyampaikan tuntutan-tuntutan pembubaran PKI, reshufle kabinet dan penurunan harga. Pertemuan 18 Januari adalah pertemuan yang terjadwal. Dalam pertemuan itu, delegasi KAMI terdiri antara lain dari Cosmas Batubara, David Napitupulu, Zamroni, Mar’ie Muhammad, Elyas, Lim Bian Koen, Firdaus Wajdi, Abdul Gafur dan Djoni Sunarja. Tentang pertemuan ini, David Napitupulu pernah mengisahkan di tahun 1986, betapa Soekarno masih berhasil menunjukkan wibawa dan membuat beberapa tokoh mahasiswa ‘melipatkan’ dan merapatkan tangan di depan perut bawah dengan santun. Menjawab tudingan Soekarno yang disampaikan dengan nada keras, salah satu anggota delegasi menjelaskan kepada Soekarno bahwa kalau ada ekses-ekses yang terjadi dalam aksi-aksi KAMI, semisal corat-coret dengan kata-kata kotor, itu “adalah pekerjaan tangan-tangan kotor” yang menyusup ke dalam “barisan mahasiswa progressif revolusioner”. Soekarno antara lain mempersoalkan corat-coret yang menyebut salah satu isterinya, Nyonya Hartini, sebagai ”Gerwani Agung”. Gerwani adalah organisasi wanita onderbouw PKI.

Delegasi KAMI juga menyampaikan tiga tuntutan rakyat. Dan Soekarno menjawab “Saya mengerti sepenuhnya segala isi hati dan tuntutan para mahasiswa”, dan menyatakan tidak menyangsikan maksud-maksud baik mahasiswa. Tetapi dengan keras Soekarno menyatakan tidak setuju cara-cara mahasiswa yang menjurus ke arah vandalisme materil dan vandalisme mental, yang menurut sang Presiden bisa ditunggangi golongan tertentu dan Nekolim, yang tidak menghendaki persatuan Bung Karno dan mahasiswa. Dalam pertemuan yang disebut dialog ini, yang terjadi adalah Soekarno mengambil kesempatan berbicara lebih banyak daripada para mahasiswa. Tentang pembubaran PKI, kembali Soekarno tidak memberikan jawaban memenuhi tuntutan pembubaran, dan hanya menyuruh mahasiswa menunggu keputusan politik yang akan diambilnya.

Tentang ‘kemarahan’ Soekarno saat pertemuan tersebut, juga diceritakan tokoh 1966 Cosmas Batubara, dalam tulisannya ‘Napak Tilas Gerakan Mahasiswa 1966’ (dalam OC Kaligis – Rum Aly, Simtom Politik 1965, Kata Hasta, 2007). Sebelum kami diterima Presiden, tulis Cosmas, ajudan Presiden yaitu Mayor KKO Widjanarko mengatakan Presiden “akan marah kepada anda semua”. Karena itu, kata Widjanarko, “saran saya, diam saja dan dengar. Biasanya Presiden itu akan marah-marah selama kurang lebih 30 menit”. Apa yang dikatakan Mayor Widjanarko memang benar. Setengah jam pertama Presiden Soekarno marah dan mengatakan bahwa para mahasiswa sudah ditunggangi oleh Nekolim (Neo Kolonialisme dan Imperialisme). “Kemudian secara khusus Presiden Soekarno marah kepada saya” dengan mengatakan, “saudara Cosmas sebagai orang Katolik, mengapa ikut-ikut demonstrasi dan saya dapat laporan bahwa anggota PMKRI menulis kata-kata yang tidak sopan terhadap Ibu Hartini. Saudara harus tahu bahwa Paus menghargai saya dan memberi bintang kepada saya. Betul kan saudara Frans Seda bahwa Paus baik dengan saya?”. Frans Seda yang ikut hadir dalam pertemuan itu mengangguk.

“Presiden Soekarno tidak sadar bahwa para mahasiswa yang datang masing-masing sangat independen” tulis Cosmas lebih lanjut. “Kalau saya diserang secara pribadi bukan berarti yang lain akan diam”. Setelah Presiden Soekarno marah-marah, para peserta pertemuan satu persatu melakukan reaksi dan akhirnya Presiden Soekarno kewalahan. Lalu sambil menoleh kepada Roeslan Abdoelgani, Soekarno berkata, “Roeslan, mereka ini belum mengerti revolusi. Bawa mereka dan ajar tentang revolusi”. Akhirnya pertemuan selesai tapi belum ada putusan Presiden tentang Tritura. “Seperti hari-hari sebelumnya para mahasiswa mulai lagi demonstrasi. Dalam puncak kejengkelannya terhadap demonstrasi KAMI, maka pada tanggal 25 Februari 1966 Presiden Soekarno mengeluarkan putusan membubarkan KAMI yang diikuti pengumuman tidak boleh berkumpul lebih dari lima orang”.

MENARIK sebenarnya untuk diamati, bahwa agak berbeda dengan Soeharto, bila Soekarno menunjukkan ‘kemarahan’ maka kemarahan itu tidak meletup-letup begitu saja, melainkan lebih merupakan ‘kemarahan’ yang dikendalikan dengan baik. Termasuk, dalam pengaturan intonasi suara yang menggelegar. Soeharto dalam pada itu, bila sedang marah, terlihat jelas bahwa kemarahannya memang datang dari ‘dalam’, meskipun tidak meletup-letup. Dalam bahasa sehari-hari situasi seperti itu mungkin dapat disebut ‘ngambeg’. Dan bila menyampaikan ‘kemarahan’ dari ‘dalam’ itu biasanya Soeharto bicara tanpa teks. Bagaimana dengan SBY? Wajah seriusnya yang kelihatan agak dingin, bila sedang menyampaikan uneguneg, sudah cukup sering terlihat di layar televisi. Namun, tata bahasa pidato ‘uneguneg’nya tetap terjaga, tidak seperti Soeharto yang menjadi agak kacau tata bahasanya bila sedang ‘pidato tanpa teks’.

Kisah Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari 1974 (14)

“Terlihat betapa Soemitro tertegun sejenak, sedikit ‘berubah’ wajahnya dan agak heran, saat melihat kehadiran tokoh-tokoh mahasiswa dari Bandung itu di ruang ‘orang kedua’ Kopkamtib tersebut”. Berbeda dengan Soemitro, Ali Moertopo dengan gesit justru ‘mendahului’ Soedomo, dan berkata “Ini kawan-kawan dari Bandung….” seraya menunjuk ke arah para mahasiswa itu, seolah-olah memperkenalkan. “Koinsidensi di ruang kerja Laksamana Soedomo itu pastilah menyebabkan kesimpulan tertentu dan tersendiri di benak ketiga perwira tinggi yang kebetulan ada dalam pijakan berbeda dalam peta dan positioning ‘kekuasaan aktual’ di pertengahan Januari 1974 itu”.

BERKAITAN dengan perkembangan dan situasi terakhir Dewan Mahasiswa/Senat Mahasiswa se-Bandung merasa perlu menyampaikan kepada penguasa beberapa hal. Kesatu, usaha yang dilakukan untuk mengatasi situasi dan kondisi yang berlangsung saat ini, seharusnyalah didasari akan penghayatan terhadap inti masalah sesungguhnya dan tidak semata-mata diarahkan pada usaha mengatasi reaksi yang timbul sebagai konsekuensi logis dari kenyataan sosial yang ada. Kedua, usaha-usaha penanggulangan masalah, seharusnyalah dilakukan dengan tidak mengorbankan prinsip-prinsip demokrasi berdasarkan Undang-undang Dasar 1945 dan Pancasila, yang telah dengan susah payah ditegakkan dengan darah dan air mata patriot, prajurit-prajurit bangsa dan rakyat Indonesia. Ketiga, dalam menilai dan mengambil sikap terhadap situasi dan kondisi yang ditimbulkan oleh kegiatan-kegiatan mahasiswa, hendaknya penguasa tidak terlampau prematur menjatuhkan vonis; sehingga berakibat semakin meluasnya kegoncangan dan ketidakpastian di dalam masyarakat.

Kepada masyarakat sementara itu, disampaikan hal-hal berikut. Kesatu, gerakan mahasiswa akan terus dilanjutkan, dan diarahkan pada usaha-usaha untuk memperjuangkan tata kehidupan masyarakat yang lebih baik, keadilan yang lebih merata, di dalam negara Indonesia yang berdasarkan Undang-undang Dasar 1945 dan Pancasila. Kedua, gerakan-gerakan mahasiswa akan disesuaikan dengan langkah yang mencoba meletakkan unsur kepentingan dan keamanan masyarakat luas, sejauh hal tersebut dimungkinkan. Adalah merupakan kewajiban kita semua untuk membantu menciptakan situasi tersebut dan memberikan dukungan yang positif.

Lalu kepada mahasiswa diserukan: Kesatu, perjuangan dan gerakan yang kita lakukan, akan semakin berat sehingga dibutuhkan kekompakan serta penghayatan dan pandangan yang lebih luas untuk lebih mengarahkan langkah-langkah yang menampilkan aspirasi masyarakat. Kedua, menghindarkan usaha-usaha yang memungkinkan menodai nama baik mahasiswa, dengan jalan memperkuat tekad bersama untuk tetap menjaga dan membela panji-panji gerakan mahasiswa yang hanya berorientasikan kepada dinamika dari proses perubahan. Ketiga, “perkembangan situasi dewasa ini menunjukkan bahwa solidaritas sesama mahasiswa semakin ditingkatkan; dalam kaitan ini kami anjurkan untuk tetap siaga dan berada di kampus masing-masing”.

Pernyataan itu menambahkan bahwa merupakan keyakinan bersama mahasiswa, “bahwa setiap usaha perubahan ke arah perbaikan akan selalu menghadapi rintangan-rintangan dari pihak-pihak yang tidak menghendaki perubahan itu, karena merasa dirugikan oleh perubahan yang diingini oleh lapisan masyarakat luas. Dalam konstelasi masyarakat Indonesia saat ini, pihak-pihak yang dirugikan tersebut adalah benalu bangsa, penjual negara dan pengkhianat-pengkhianat bangsa”.

Pernyataan sikap Dewan Mahasiswa-Senat Mahasiswa se-Bandung itu ditandatangani oleh pimpinan-pimpinan DM/SM, yakni Muslim Tampubolon (Institut Teknologi Bandung), Hatta Albanik (Universitas Padjajaran), Denny Kailimang (Universitas Parahyangan), Muddin Said (Institut Keguruan Ilmu Pendidikan, Bandung), Djodi Hersusanto (Institut Teknologi Tekstil), Roy Pradana (Universitas Kristen Maranatha), A. Rahman Abbas (Akademi Geologi dan Pertambangan), Binsar Siregar (Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial), Dedeng Z. (Universitas Islam Bandung), Pulung Peranginangin (Akademi Tekstil Berdikari), A. Hamid Puaupa (Universitas Islam Nusantara) dan Tommy E. (Akademi Bahasa Asing).

Tingkat situasi pasca kerusuhan Jakarta tanggal 15 Januari 1974, dengan segera menempatkan posisi mahasiswa Jakarta pada titik yang disudutkan dan terpojok, terutama Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia. Bersama dengan beberapa eksponen non kampus, beberapa aktivis DM/SM Jakarta ditangkap dan dikelompokkan sebagai bagian dari suatu gerakan makar. Setelah peristiwa, Laksus Pangkopkamtibda Jaya memberlakukan maklumat 004/PK/1/74 15 Januari. Seluruh perguruan tinggi se Jakarta dan seluruh sekolah-sekolah diminta untuk ditutup sementara dan tidak melakukan kegiatan apa pun di lingkungan masing-masing. Tapi mulai hari Senin 21 Januari, sekolah-sekolah di Jakarta diizinkan untuk dibuka kembali, terkecuali Universitas dan Perguruan Tinggi serta 11 Sekolah Lanjutan Pertama dan Sekolah Lanjutan Atas (seperti antara lain STM Budi Utomo, STM Penerbangan, SMA VII Jalan Batu, Sekolah Menengah Pembangunan Rawamangun). Wapangkopkamtib Laksamana Soedomo memberi alasan, masih ditutupnya universitas dan 11 sekolah itu adalah untuk mencegah sekolah-sekolah itu digunakan sebagai konsentrasi, diskusi atau rapat-rapat gelap. “Anak-anak itu dihasut”, ujar Soedomo, “Hasutan bisa dilakukan oleh guru sendiri ataupun pihak-pihak luar yang masih sedang dicari”. Soedomo menunjuk salah satu unsur paling berbahaya, yaitu Kappi –suatu koordinasi aksi pelajar yang bertahan sejak perjuangan 1966. “Organisasi-organisasi seperti itu akan dibubarkan”.

Mereka yang ditahan pada kesempatan pertama adalah Hariman Siregar, Gurmilang Kartasasmita, Theo Sambuaga, Bambang Sulistomo (putera Bung Tomo), Purnama dan Salim Hutadjulu. Lalu seorang pengajar UI Drs Dorodjatun Kuntjoro Jakti. Penangkapan terhadap Hariman dan kawan-kawannya di DM-UI, diakui oleh Jenderal Soemitro sebagai perintahnya secara langsung, meskipun Laksamana Soedomo mengingatkan untuk jangan terburu-buru melakukan penangkapan. Ketika penangkapan terhadap Hariman dan kawan-kawan dilakukan 15 Januari malam, DM Universitas Padjadjaran melakukan pembelaan. “Hendaknya dipisahkan antara gerakan mahasiswa dengan gerakan provokasi”, DM Unpad menegaskan.  Pemisahan itu “hanya bisa dilakukan melalui suatu pengadilan yang jujur”. Sehingga, jelas mana yang merupakan perbuatan mahasiswa dan mana yang bukan. Beberapa waktu sebelum 15 Januari, Hatta Albanik sempat mengingatkan kepada rekannya dari DM-UI Eko Djatmiko agar jangan tersusupi provokasi pihak luar mahasiswa. Dengan bercanda Eko menjawab “Kita sudah menyiapkan terong untuk mementung orang-orang seperti itu”. Hatta dan kawan-kawan lain dari Bandung menyimpulkan bahwa kawan-kawan dari Jakarta itu tidak siap. Sewaktu kampus UI dikepung tanggal 15 malam, adalah Eko yang menelpon menyampaikan SOS ke Bandung karena merasa terdesak oleh situasi. Eko dihubungkan dengan dua mahasiswa Bandung, Hertog dan Peter Nelwan yang sedang ada di Jakarta.

Selain aktivis kampus Jakarta, kemudian terdapat nama-nama lain yang ditangkap, yakni beberapa nama yang dikenal sebagai eks pergerakan 1966 seperti Fahmi Idris, Sugeng Sarjadi, Marsillam Simandjuntak, Adnan Buyung Nasution SH dan aktivis HAM Princen. Terdapat juga nama beberapa aktivis non kampus seperti Imam Walujo, Jusuf AR, Yessy Moninca. Bersama mereka ditangkap pula tokoh-tokoh yang dikaitkan dengan ex PSI seperti Prof Sarbini Somawinata, Soebadio Sastrosatomo dan Moerdianto. Pada waktu-waktu berikutnya, berturut ditangkap pula antara lain Sjahrir, Rahman Tolleng, Soemarno, Ramadi.

Belakangan dapat diketahui bahwa usulan atau saran penangkapan terhadap tokoh-tokoh yang dianggap terlibat ini, tidak hanya datang dari satu ‘lijn’ dalam kekuasaan, tetapi berasal dari berbagai jurusan. Sehingga istilah yang paling tepat adalah ‘tangkap menangkap’. Pesanan penangkapan terhadap Rahman Tolleng misalnya datang dari arah berbeda dari yang lainnya. Pangkopkamtib Jenderal Soemitro sendiri merasa tidak pernah menyuruh tangkap tokoh-tokoh ex PSI, dan menunjuk Ali Moertopo sebagai orang yang meminta penangkapan tersebut. Ali Moertopo dan kelompoknya memang sangat pro aktif mengusulkan penangkapan-penangkapan. Ia ini mengadakan rapat-rapat khusus kelompok Tanah Abang, dan dalam rapat-rapat itulah disusun daftar nama siapa-siapa saja yang harus ditangkap. Rapat-rapat itu dihadiri oleh mereka yang dikategorikan tenaga inti Tanah Abang, termasuk dr Abdul Gafur. Tapi Dr Midian Sirait yang selama ini punya kedekatan secara langsung ‘tanpa perantara’ dengan Ali Moertopo tidak hadir dalam rapat-rapat tersebut setelah sejak bulan Desember 1973 memutuskan untuk mengurangi kontak karena adanya beberapa perbedaan pandangan dan tidak menyetujui beberapa tindakan Ali Moertopo. David Napitupulu, juga tak pernah mau menghadiri rapat-rapat penyusunan ‘daftar hitam’ itu.

Disamping penangkapan-penangkapan terhadap orang, salah satu sasaran tindakan segera pasca 15 Januari adalah perintah penutupan terhadap beberapa media pers. Tepat 16 Januari 1974 Departemen Penerangan mencabut Surat Izin Terbit (SIT) Harian Nusantara yang terbit di Jakarta. Pencabutan SIT Harian Nusantara yang dipimpin TD Hafaz ini sebenarnya tidak terkait langsung dengan peristiwa tanggal 15, melainkan akibat-akibat beberapa pemberitaannya sebelumnya. Pelarangan terbit yang dikaitkan langsung dengan Peristiwa 15-16 Januari 1974 justru paling pertama dikenakan kepada Mingguan Mahasiswa Indonesia yang terbit di Bandung dan mulai berlaku 18 Januari 1974. Informasi akan adanya pembreidelan telah diketahui oleh para pengasuh mingguan tersebut pada tanggal 17 dinihari, namun mereka memutuskan untuk tetap menerbitkan edisinya yang terakhir yang bertanggal 20 Januari 1974 tetapi telah dicetak dan beredar pada dini hari Jumat 18 Januari dengan tiras yang beberapa kali lipat dari biasanya. Ini dimungkinkan karena percetakan Golden Web Bandung saat itu menggunakan mesin cetak offset rotary yang berkecepatan tinggi. Untuk wilayah Bandung dan sekitarnya saja beredar dan terjual habis dalam satu hari dengan jumlah yang tampaknya melampaui akumulasi tiras koran Bandung dan Jakarta yang beredar di Bandung pada Jumat itu. Semua hasil cetakan juga sempat terkirim sejak Jumat dinihari ke wilayah peredarannya di Bali, Jawa Timur, Jawa Tengah, Yogyakarta, luar Jawa, Jakarta selain dari Jawa Barat sendiri. Beberapa permintaan tambahan dari para distributor pada Sabtu pagi tak mungkin dipenuhi lagi.

Cara penguasa menghentikan Mingguan Mahasiswa Indonesia adalah unik. Karena di Jawa Barat waktu itu tidak ada mekanisme Surat Ijin Cetak seperti halnya di Jakarta dan beberapa daerah lainnya, maka Laksus Pangkopkamtibda Jawa Barat mengeluarkan terlebih dulu surat keputusan memberlakukan Surat Izin Cetak di wilayahnya. Lalu, menyatakan bahwa semua media massa cetak di wilayah itu mendapat SIC terkecuali Mingguan Mahasiswa Indonesia. Siaran pers Laksus Kopkamtibda Jawa Barat dengan jelas menyebutkan bahwa tindakan terhadap Mingguan Mahasiswa Indonesia ini berdasarkan perintah Pangkopkamtib. “Mingguan tersebut dalam penerbitannya yang terakhir masih terus melakukan penghasutan-penghasutan yang dapat mengganggu keamanan dan ketertiban umum”. Dalam edisi terakhir itu, Mingguan itu menyajikan laporan hasil liputan para reporternya mengenai Peristiwa 15 dan 16 hingga 17 Januari, selain insiden di Halim Perdana Kusuma, sebagaimana adanya di lapangan. Termasuk mengenai adanya massa non mahasiswa yang memulai perusakan di Pecenongan dan Senen. Liputan itu dilengkapi dengan editorial yang berjudul “Di Balik Kerusuhan Jakarta”, tentang terciptanya situasi rawan akibat credibility gap dalam hal rasa percaya masyarakat terhadap pemerintah. Credibility gap terjadi karena pengalaman empiris menunjukkan bahwa apa yang diucapkan kalangan kekuasaan tidak sesuai dengan kenyataan.

Dalam pertemuan dengan pers yang diselenggarakan hari Sabtu 19 Januari, Panglima Siliwangi Brigjen Aang Kunaefi yang baru beberapa hari memangku jabatannya, menegaskan kembali bahwa tidak diberinya Surat Izin Cetak kepada Mingguan Mahasiswa Indonesia adalah “karena sampai penerbitan terakhirnya selalu bersifat menghasut dan tidak bertanggung jawab”. Pembicara dalam pertemuan ini, praktis hanya tiga orang. Pertama adalah Panglima Siliwangi. Lalu, Ketua PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) Jawa Barat Atang Ruswita yang sering dianggap lunak namun hari itu berbicara dengan teguh dan yang ketiga adalah Pemimpin Redaksi Mingguan Mahasiswa Indonesia Rum Aly. Ini terjadi karena agaknya hadirin lainnya –termasuk tokoh pers mahasiswa 1966 dan wartawan senior Alex Rumondor yang biasanya vokal– agaknya ‘tercekam’ situasi. Rum Aly menyanggah beberapa pernyataan sang Panglima. “Hendaknya Panglima menunjukkan dalam hal apa Mingguan Mahasiswa Indonesia menghasut dan tidak bertanggungjawab ?!”. Selama ini, “kami merasa masih punya tanggung jawab, baik kepada undang-undang, negara, kepada masyarakat dan kebenaran”. Panglima menimpali dengan keras, “saya juga masih punya tanggungjawab yang lebih tinggi, yakni kepada Tuhan”. Dijawab balik, “semua orang punya tanggungjawab kepada Tuhan-nya, bukan hanya Panglima. Tapi di dunia, kita punya tanggungjawab kepada masyarakat dalam posisi kita masing-masing”. Panglima akhirnya surut dan berjanji akan memberi penjelasan, “Baiklah, untuk itu kita akan mengadakan pertemuan khusus”. Usai pertemuan, seraya menepuk-nepuk bahu Rum Aly, Panglima Siliwangi itu memberi pernyataan “Sebenarnya kita sama, tapi ada perintah dari atas”. Ditanggapi Rum Aly dengan menarik bahu sambil berkata, “Kalau sama, bapak takkan bertindak seperti sekarang ini”. Sikap keras Rum Aly itu sempat membuat was-was beberapa wartawan muda lainnya yang bersimpati, jangan-jangan berakibat penahanan bagi yang bersangkutan.

Waktu itu, pernyataan Jenderal Aang Kunaefi sepertinya tak berarti apa-apa, kecuali semacam excuse dan persuasi setelah bertindak keras. Tetapi belakangan terungkap betapa sebenarnya Aang Kunaefi itu pada hari-hari berikutnya secara diam-diam telah berbuat banyak untuk mahasiswa Bandung. Ia misalnya pada hari-hari itu menolak permintaan Laksamana Soedomo untuk menangkap beberapa pimpinan Dewan Mahasiswa Bandung –antara lain Hatta Albanik, Paulus Tamzil, Komaruddin dan beberapa lainnya– dan menyatakan bahwa gerakan mahasiswa Bandung bersih dari niat makar. Padahal sebelumnya, 16 Januari 1974, atas inisiatif Marzuki Darusman, beberapa tokoh mahasiswa Bandung –Hatta Albanik, Paulus Tamzil dan Budiono Kusumohamidjojo– yang juga ditemani Pontas Pardede, telah dipertemukan dengan Soedomo untuk menjelaskan sikap dan sifat gerakan mahasiswa Bandung yang murni, dan Soedomo berlaku seakan-akan mengerti. Nyatanya, ia justru menelpon Aang Kunaefi untuk melakukan penangkapan-penangkapan.

Maka, menjadi menarik untuk mengikuti satu kisah di balik cerita dari pertemuan itu, karena terjadi dua peristiwa ‘kebetulan’. Sewaktu para mahasiswa tersebut berada di ruang kerja Laksamana Soedomo di markas Kopkamtib, tiba-tiba Jenderal Soemitro masuk ke ruang itu. Terlihat betapa Soemitro tertegun sejenak, sedikit ‘berubah’ wajahnya dan agak heran, saat melihat kehadiran tokoh-tokoh mahasiswa dari Bandung itu di ruang ‘orang kedua’ Kopkamtib tersebut. Soedomo segera ‘memperkenalkan’, “Ini anak-anak Bandung”. Soemitro hanya mengatakan, “Ya, ya..”. Tampaknya sang Jenderal segera mengenali Paulus Tamzil yang bertubuh besar tinggi, karena ketika mengadakan pertemuan dengan para mahasiswa Bandung beberapa bulan sebelumnya, Paulus lah yang tampil menanyakan kepadanya apakah ia berambisi menjadi Presiden. ‘Kebetulan’ yang kedua terjadi beberapa saat sesudahnya, ketika muncul pula Jenderal Ali Moertopo ke ruangan Soedomo. Berbeda dengan Soemitro, Ali Moertopo dengan gesit justru ‘mendahului’ Soedomo, dan berkata “Ini kawan-kawan dari Bandung….” seraya menunjuk ke arah para mahasiswa itu, seolah-olah memperkenalkan. Koinsidensi di ruang kerja Laksamana Soedomo itu pastilah menyebabkan kesimpulan tertentu dan tersendiri di benak ketiga perwira tinggi yang kebetulan ada dalam pijakan berbeda dalam peta dan positioning ‘kekuasaan aktual’ di pertengahan Januari 1974 itu.

Berlanjut ke Bagian 15

Kisah Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari 1974 (5)

“Tidak semua gerakan-gerakan ekstra parlementer yang beruntun-runtun terjadi belakangan ini mengesankan”. “Ada yang sekedar latah atau karena takut kehilangan peranan atau seperti yang dituduhkan kalangan penguasa ‘sekedar untuk mencari popularitas murah’. Terlepas dari itu, seluruh gerakan menyatakan aspirasi, bagaimana pun adalah sah-sah saja”.

SUATU pertemuan orang-orang tak puas di kampus ITB di Bandung, menjadi lanjutan yang membuat temperatur politik tetap tinggi. Pertemuan Minggu pagi 9 Desember 1973 yang berlangsung hingga sore, menjadi forum dengan campuran hadirin yang menarik. Peserta datang dari kalangan mahasiswa, cendekiawan dan seniman, dan berasal dari lintas kota dan lintas generasi. Ada pengacara vokal dari Bandung ibu Amartiwi Saleh SH dan pengacara vokal lainnya dari Jakarta Adnan Buyung Nasution SH. Ada budayawan ‘tukang protes’ W.S. Rendra, ada deretan cendekiawan dari Jakarta maupun Bandung, seperti Drs Wildan Yatim yang menunjuk dwifungsi ABRI sebagai penyebab kaburnya hukum, Drs Dorodjatun Kuntjoro Jakti yang membahas penggunaan ‘akal sehat’, Professor Deliar Noor yang membicarakan tentang konflik dan penyelesaiannya, serta Dr Taufik Abdullah. Dan tentu saja sejumlah pimpinan berbagai Dewan Mahasiswa dari Bandung, Jakarta maupun Yogya. Pertemuan di ITB ini mengisyaratkan mengentalnya konsolidasi kaum kritis saat itu. Dan adalah memang setelah itu, suhu pergerakan menentang penguasa semakin meninggi hingga akhir Desember 1973.

Amat mencuat dari pertemuan itu penilaian bahwa keadaan negara saat itu telah tiba ke tingkat yang begitu buruk dan harus segera diakhiri, bila perlu dengan gerakan yang lebih berani dan tegas. “Kita ingin merdeka dengan tujuan mencerdaskan bangsa agar tidak bisa diinjak-injak. Setiap kungkungan kebodohan adalah lawan, tidak perduli siapa orangnya yang melakukan dan apa lembaganya” ujar Buyung Nasution dalam forum itu. “Memang tidak jelas siapa yang berkuasa di negara ini. Soeharto? Opsus? Atau Pangkopkamtib? Saya bukannya mengatakan tidak ada yang berkuasa, tetapi terlalu banyak, sehingga kacau !”. Kalau “keadaan begini terus, bagaimana? Kalau yang atur tidak beres, bagaimana dengan yang diatur?”. Lalu ia bertanya “Apakah keadaan ini kita terima atau bagaimana?!”. Hadirin menjawab “Lawan!”. Buyung melanjutkan “Tapi kita jangan naif, siapa yang jadi pemimpin tidak jadi soal. Tapi sebelumnya kita tanya dulu mau ke mana dia, jangan jadi memperkuda kita lagi. Jangan setelah diangkat jadi anggota DPR kemudian tenggelam, jadi menteri tenggelam. Ini orang-orang yang tidak berwatak! Momentum kita kembangkan terus, dari satu kita kembangkan terus. Mari kita bertarung secara jujur, bukan pat gulipat”.

Ketua DM Gajah Mada menyambut dengan ucapan, “Sekarang ini saya juga tidak tahu siapa sebetulnya yang berkuasa di negara kita ini, apakah Jenderal Soeharto, jenderal-jenderal, rektor atau yang lain-lain. Yang pasti hanya untuk menjumpai Jenderal Soemitro saja diperlukan prosedur yang berbelit-belit”. Kemudian ia menambahkan “Saya mau saja berdemonstrasi, tapi saya harus yakin lebih dulu, apakah kalau kita mau membuka front kita pasti menang?”. Untuk pertanyaan ini, datang jawaban dari Ketua Umum DM Universitas Padjadjaran Hatta Albanik. Tokoh kampus yang sudah terjun melakukan gerakan-gerakan ekstra parlementer bersama sejumlah rekannya dari Bandung dan Jakarta ini, menyatakan “Banyak orang mengatakan apa yang dihasilkan generasi muda adalah sia-sia” –dan ini kerap dilontarkan kalangan penguasa yang menilai gerakan ekstra parlementer– “Mungkin ini benar. Tapi masalahnya, kita melihat kepincangan-kepincangan, ada hal-hal yang tidak beres ! Siapa yang mau bicara ? Mau tidak mau, harus kita lagi, generasi muda. Kita harus berkorban lagi ! Ini bukan sekedar pembelaan terhadap apa yang telah kita lakukan, tapi siapa yang berani menentang pemerintah ? Akhirnya kita juga para mahasiswa. Saya melihat semakin lama keadaan semakin buruk. Pemerintah terlalu economic oriented. Inilah yang membuat kita terhambat”. Menurut Hatta Albanik sudah terlalu banyak teori-teori yang dilontarkan. Mereka bukan bertindak untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. “Mereka hanya ingin kekuasaan. Kita sok kerakyatan barangkali, tapi kita ingatkan agar yang berkuasa ingat akan rakyat. Percuma kita banyak ahli, tapi bungkam semuanya”.

Hariman Siregar dari UI mempertegas, “Kalau kita melihat ke atas, pilihan sangat sempit, yaitu apakah pimpinan yang ada dijatuhkan atau tidak ?”. Lalu dijawabnya sendiri, “Kultur orang-orang yang di atas jelas tidak memungkinkan adanya perubahan. Meskipun, mungkin saja tanpa orang-orang muda bergerak mereka akan jatuh”. Barangkali Hariman memaksudkan adanya pertarungan internal yang bisa menghasilkan pergeseran kekuasaan. “Tapi bagaimanapun kita harus mengikuti berjuang dan mengerti suasana, Konflik-konflik dan tantangan adalah risiko ! Lambat atau cepat kita akan ‘mendapat’ konflik”. Komaruddin dari DM-ITB memberikan jawaban atas segala kesangsian, “Kita harus berpikir bagaimana caranya membunuh benalu-benalu yang ada, apakah dengan sangkur atau alat yang lain”. Dengan nada yang memperingatkan untuk bertahan tanpa perpihakan kepada kelompok dalam rivalitas internal dalam kekuasaan, ia menegaskan “Dari pada kita merangkul Kopkamtib atau Aspri dan lain-lain…. lebih baik kita merangkul Miss University”. Sentilan Komaruddin ini menjadi bermakna, karena saat itu sangat kuat terasa adanya percobaan klik-klik kekuasaan yang sedang bersaing satu sama lain untuk menyusupkan pengaruh ke tengah generasi muda dan mahasiswa.

Tak kalah menarik, di tengah suhu tinggi semangat melawan, ada suara salah satu pembicara dari kalangan mahasiswa sendiri, Suroso, yang menyentil “Kita generasi muda terlalu galak kepada yang ada di luar, tetapi terlalu jinak pada kelemahan diri sendiri. Kalau kita inginkan agar pola konsumsi jangan terlalu berlebih-lebihan, janganlah kampus dibikin arena ratu-ratuan”. Salah seorang di antara pemenang kontes ratu-ratuan di tingkat Jawa Barat saat itu tercatat antara lain mahasiswi bernama Tinneke Pondaaga, yang kebetulan sekampus dengan Suroso di Universitas Parahyangan. Sedang Komaruddin yang tergolong radikal dan kampusnya langka akan pemenang kontes kecantikan, tapi pernah sekali melahirkan Miss Indonesia, yakni mahasiswi Seni Rupa ITB Irma Hadisurya, di tahun 1969, lebih senang merangkul Miss University daripada merangkul Kopkamtib dan Aspri. Itulah dinamika kehidupan, hasrat bisa berbeda-beda. Adalah pula Dr Taufik Abdullah yang juga mempunyai hasrat berbeda, ia berkata “Jangan termakan oleh pemuda-pemuda radikal, lalu ikut-ikutan radikal”.

Koreksi-koreksi dan peringatan-peringatan yang bersifat mawas diri, bukannya tak ada gunanya samasekali pada saat-saat terjadi eskalasi ketegangan seperti kala itu. Tokoh wanita pergerakan Amartiwi Saleh SH mengatakan “Saya setuju mahasiswa galak. Tapi yang saya lihat banyak mahasiswa galak, setelah jadi sarjana dan duduk di lembaga-lembaga pemerintah, jadi jinak. Paling sedih, mereka berkompromi dengan kejelekan”. Kritik Amartiwi Saleh ada dasarnya, karena saat itu banyak fakta empiris menunjukkan bahwa di antara kalangan perjuangan 1966 – yang merupakan senior para mahasiswa 1970-an itu– pun telah mencuat adanya perorangan yang terbawa arus kepentingan yang tak terpuji. Menurut Amartiwi, yang muda-muda harus jadi manusia merdeka, “yang harus mampu menciptakan suasana”. Dalam rumusan Syamsu dari Institut Pertanian Bogor, “Bagaimana kita merobah sistim, hingga sistim itu bisa berjalan”. WS Rendra yang baru saja usai selama dua hari berturut-turut mementaskan drama tentang perlawanan terhadap kekuasaan, ‘Mastodon dan Burung Kondor’, tampil berkata “Sudah saatnya orang-orang menyadari penting atau tidaknya radikalisme. Hendaknya radikalisme itu dengan tujuan untuk menciptakan suasana tertentu. Tapi juga diharapkan kesadaran mahasiswa agar rangsangan jangan terlalu banyak, jangan sampai kita muntah, hendaknya ada irama”. Ketika Benny dari Gajah Mada mengingatkan “jangan mau dibeli”, Rendra memberi jawaban, “Saya setuju jangan dibeli, tapi juga jangan diintimidasi”.

Forum menjelang terjadinya gerakan ekstra parlementer besar-besaran itu, juga digunakan oleh Badan Kerja Sama DM/SM se Jakarta –yang terdiri dari Universitas Atmajaya, Universitas Indonesia, Universitas Kristen Indonesia, IKIP Jakarta, Universitas Muhammadiyah, Universitas Pancasila dan Universitas Trisakti– untuk menyampaikan sebuah ikrar bersama yang bertanggal 7 Desember 1973. Mereka berikrar “Meningkatkan solidaritas di antara sesama generasi muda, sebagai konsekuensi rasa tanggung jawab kami, terhadap persoalan-persoalan masa kini”. Dan “Bertekad untuk mengambil langkah-langkah perubahan dalam usaha untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan”.

Di ambang demonstrasi besar-besaran

SETELAH pertemuan ‘orang-orang tak puas’ di Bandung itu, memasuki minggu ketiga Desember, sudah amat membayang akan segera terjadi demonstrasi besar-besaran. Mingguan Mahasiswa Indonesia yang termasuk paling banyak memberi tempat kepada berita pergerakan mahasiswa dan generasi muda, menurunkan judul “Di Ambang Demonstrasi Besar-besaran ?” (23 Desember 1973). Judul ini menjadi semacam penafsiran berdasarkan pembacaan atas situasi dari waktu ke waktu. Menjelang Peristiwa 5 Agustus 1973, suatu penafsiran situasi tentang akan terjadi kerusuhan sosial, juga dilakukan oleh mingguan itu. Karena penafsiran-penafsiran seperti itu –yang kemudian terbukti menjadi kenyataan– mingguan itu mulai dicurigai keterlibatannya dalam perencanaan-perencanaan peristiwa. Suatu kecurigaan yang tidak beralasan samasekali, karena mingguan itu sebenarnya hanya menjalankan satu peranan jurnalistik yang sederhana, memberitakan dan menganalisa apa yang terjadi sebagaimana adanya. Tapi kecurigaan tidak harus memerlukan alasan.

Pada edisi yang terbit di akhir minggu ketiga Desember itu, Mingguan Mahasiswa Indonesia menulis “Tidak semua gerakan-gerakan ekstra parlementer yang beruntun-runtun terjadi belakangan ini mengesankan”. Ada yang sekedar latah atau karena takut kehilangan peranan atau seperti yang dituduhkan kalangan penguasa ‘sekedar untuk mencari popularitas murah’. Terlepas dari itu, seluruh gerakan menyatakan aspirasi, bagaimana pun adalah sah-sah saja.

Namun di antara bermacam-macam gerakan yang muncul, ada satu gerakan yang unik dan sangat menarik perhatian, pada pertengahan Desember. Gerakan itu dilakukan oleh Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), sebagai suatu gerakan ekstra parlementer dengan tujuan Sekretariat Negara, Bappenas, Kopkamtib dan DPR-RI. Unik dan menarik, bukan karena KNPI-nya, melainkan karena tokoh-tokohnya. Ada sembilan tokoh yang turun pada hari pertama. Mereka adalah David Napitupulu anggota DPR/MPR yang juga adalah anggota DPP Golkar, Drs Surjadi anggota DPR Fraksi Demokrasi Pembangunan dan Drs Zamroni anggota DPR dari Fraksi Persatuan Pembangunan. Bersama mereka turut pula Kapten TNI-AU dr Abdul Gafur anggota DPR dari Fraksi Karya serta Hatta Mustafa, Eko Cokroyogo, Hakim Simamora, Nazaruddin dan Letnan Kolonel S Utomo. Seperti David, beberapa lainnya adalah perorangan yang dikenal sebagai aktivis Golkar tingkat pusat yang diasosiasikan sebagai sayap Ali Moertopo. Sedang nama yang disebut terakhir, Utomo, menurut koran ibukota tak lain adalah ajudan Mayjen Ali Moertopo.

Di Bappenas delegasi para senior yang disindir karikatur ‘Sinar Harapan’ pahlawan kesiangan yang takut ketinggalan sepur, melalui David melontarkan tuduhan “kurang bersifat terbuka dalam pelaksanaan tugasnya selama ini dan kurang responsif terhadap keadaan masyarakat”. Tuduhan David itu dijawab keesokan harinya oleh Sumarlin, Menteri PAN merangkap Deputi Bappenas. “Tidak benar kesan bahwa Bappenas menutup diri dan kurang responsif terhadap keadaan masyarakat”, ujar Sumarlin, “Bappenas memperhatikan masalah-masalah maupun gejolak-gejolak yang timbul dalam masyarakat”. Delegasi KNPI sebenarnya tampil cukup vokal, yang terutama diwarnai oleh David Napitupulu tokoh perjuangan 1966 yang memang dikenal temperamental dan kritis. Kepada Sumarlin delegasi ini memberondongkan kecaman mengenai terdesaknya pribumi dan ekses-ekses modal asing. Usai pertemuan David mengatakan tidak puas terhadap jawaban-jawaban Sumarlin. Di DPR delegasi yang untuk sebagian besar terdiri dari anggota DPR, justru menyampaikan tuduhan di depan Wakil Ketua DPR Sumiskum – yang juga adalah petinggi Golkar– bahwa DPR tidak aktif menjalankan fungsinya. Sebagai bukti mereka menunjukkan terjadinya demonstrasi-demonstrasi belakangan itu. “Kalau DPR berfungsi semestinya, tak akan terjadi gejolak-gejolak seperti itu”. Ini ditolak oleh Sumiskum dengan memaparkan beberapa kegiatan yang telah dilakukan DPR, seperti misalnya beberapa kali menerima dan menampung aspirasi kalangan generasi muda.

Betapa pun berulang-ulangnya tokoh-tokoh KNPI itu menyebutkan bahwa aksi ekstra parlementer itu bukan gerakan politis, pers tetap saja menggambarkannya sebagai satu lakon politik yang konyol dan absurd. Bahkan gerakan mereka dicurigai sebagai gerakan silang untuk ‘memotong’ aksi-aksi mahasiswa yang sedang meningkat intensitasnya. Apalagi, nyatanya mereka adalah tokoh-tokoh yang sudah dengan jelas masuk dan berada dalam jalur kekuasaan melalui Golkar ataupun berada dalam partai-partai yang bagaimana pun mempunyai agenda serta kepentingan politik sendiri. Harian Kompas yang amat moderat pun tak tahan untuk tidak menggoda. “Semangat amat nih !” judul editorial yang diturunkannya untuk menanggapi gerakan itu. “Maka orang bertanya-tanya, ikut turunnya KNPI sekedar agar tidak dikatakan ketinggalan kereta atau memang mengajukan persoalan-persoalan baru yang perlu diperhatikan pemerintah?”. Memang ‘demonstrasi’ orang-orang muda yang sudah senior ini mendapat banyak sorotan dan komentar. Soalnya pesertanya dinilai janggal dan ganjil untuk ukuran demonstran. Akan hal ikutnya ajudan Ali Moertopo, penjaga pojok ‘Indonesia Raya’ Mas Kluyur sampai menyentil “Kok aneh, Jenderal Ali Moertopo kirim ajudan ikut demonstrasi ke Bappenas dan Kopkamtib. Kan bisa berdialog dengan angkat telepon saja?”.

Merasa tergugah oleh apa yang diperjuangkan rekan-rekannya di ibukota, sejumlah tokoh eks demonstran 1966 dari KAMI dan KAPPI di Ujung Pandang (Makassar) mencetuskan keresahan melalui Ikrar 17 Desember. Ikrar tersebut mereka keluarkan setelah melihat arah dan perkembangan pembangunan bangsa dan negara kala itu. Mereka menyatakan tekad menegakkan demokrasi, hukum dan konstitusi, serta mengisi kemerdekaan dengan kesejahteraan dan keadilan sosial yang merata bagi seluruh rakyat. Di Surabaya, Ronald dan kawan-kawan menyampaikan cetusan keresahan menjelang akhir tahun. Sedang di Medan, muncul ‘Gerakan Pemuda Menuntut Keadilan’.

Berlanjut ke Bagian 6

Kisah 1966: Dari 10 Januari Menuju 11 Maret (5)

“Tanggal 10 Maret, wakil-wakil partai politik dipanggil Presiden Soekarno ke Istana, dan di sana partai-partai tersebut  untuk kesekian kalinya menampilkan perilaku opportunistik mereka di depan Soekarno, lalu mengikuti perintah Soekarno mengeluarkan pernyataan yang tidak membenarkan tindakan-tindakan yang dilakukan para mahasiswa dan para pelajar serta pemuda”. ”Sejak saat itu, Soeharto bisa melakukan ‘apa’pun yang diinginkannya. Dengan Surat Perintah 11 Maret di tangannya, Soeharto melangkah masuk ke dalam fase kekuasaan sepenuhnya bagi dirinya”.

Setelah insiden berdarah yang merenggut nyawa Arief Rahman Hakim, keesokan harinya, 25 Februari, Laksamana Muda Udara Sri Mujono Herlambang justru mengumumkan Keputusan Kogam tentang pembubaran KAMI. Selain itu, di Jakarta juga diberlakukan jam malam, yang berlaku sejak 21.00 hingga 06.00 pagi dan larangan berkumpul lebih dari lima orang.

Pembubaran KAMI dengan segera ditolak oleh mahasiswa Bandung. Hanya beberapa jam setelah pembubaran diumumkan, pada mahasiswa Bandung ini, yakni jam 24.00 tanggal 25 Februari, mahasiswa Bandung telah mengeluarkan penegasan penolakan tersebut. Penolakan ini memberikan dampak moril bagi para mahasiswa di berbagai kota untuk juga ikut menolak keputusan pembubaran KAMI tersebut. Adalah pula tengah malam menjelang tanggal 25 Pebruari itu, mahasiswa-mahasiswa Bandung yang menilai bahwa rekan-rekannya di Jakarta sedang mengalami tekanan berat dari penguasa memutuskan mengirimkan tenaga bantuan ke Jakarta, jumlahnya ratusan namun dikirim bergelombang dan dilakukan secara diam-diam. Mahasiswa Bandung, telah berpengalaman ketika long march mereka ke Jakarta 17 Januari 1966 sebagai suatu gerakan terbuka dihambat oleh aparat keamanan, maupun karena terjadinya pendudukan kampus ITB oleh Barisan Soekarno –Siswono Judohusodo dan kawan-kawan dari GMNI.

Rombongan pertama mahasiswa Bandung yang berangkat ke Jakarta –belakangan akan dikenal sebagai Kontingen Bandung– terdiri dari empat puluh orang dengan menggunakan dua bus umum. Selama perjalanan, empat puluh mahasiswa yang seluruhnya dari mahasiswa yang dikenal sebagai kelompok Bangbayang, dipimpin oleh Riswanto Ramelan mahasiswa Seni Rupa ITB, berpura-pura untuk tidak saling kenal. Rombongan kedua yang dipimpin oleh mahasiswa Elektro ITB Bernard Mangunsong, menggunakan kereta api pukul enam pagi dan turun di Stasiun Jakarta Kota. Sedang rombongan ketiga yang juga menggunakan kereta api pukul sepuluh pagi, turun di Kramat Sentiong. Rombongan berkereta api ini pada umumnya anggota Batalion I Resimen Mahawarman. Sedangkan rombongan terbesar dan terakhir, yang terdiri dari kurang lebih 150 mahasiswa menggunakan kereta api pukul tiga sore, dipimpin oleh Arifin Panigoro mahasiswa Elektro ITB. Mereka menempuh jarak Bandung-Jakarta Kota dalam tempo empat setengah jam.

Selain mahasiswa yang datang berombongan ini, terdapat pula sejumlah mahasiswa yang datang dengan berbagai cara secara berangsur-angsur selama beberapa hari, belum lagi yang sudah berada di Jakarta sejak beberapa hari sebelumnya, termasuk mahasiswa-mahasiswa penggerak seperti Zaenal Arifin dan kawan-kawan dari kelompok Bangbayang. Sehingga secara keseluruhan kontingen ini berkekuatan 400-an mahasiswa, berasal dari berbagai kampus perguruan tinggi di Bandung, namun terbanyak dari ITB. Jumlah ini sebenarnya tidak terlalu besar di tengah ribuan massa mahasiswa Jakarta, namun militansi dan keunikan Kontingen Bandung ini membuatnya berperan. Pada malam kedua kehadiran mereka di kampus Fakultas Kedokteran, datang perintah dari Kodam Jaya untuk mengosongkan kampus –artinya tak ada mahasiswa yang boleh menginap– dengan alasan ada kemungkinan serangan dari pasukan-pasukan yang pro Soekarno. Terutama setelah terjadinya serangan bersenjata terhadap satu mobil Pasukan Tjakrabirawa.

Hanya satu malam Kontingen Bandung meninggalkan Fakultas Kedokteran di Salemba, karena keesokan harinya berangsur-angsur mereka kembali ke sana. Mereka bertahan seterusnya di sana, sementara sejumlah tokoh mahasiswa Jakarta yang tertekan karena teror dan ancaman, menginap di Kopur (Komando Tempur) Kostrad untuk keselamatan mereka. “Kontingen Mahasiswa Bandung akan terus bertahan di Fakultas Kedokteran UI ini sampai PKI dibubarkan atau Soekarno dilumpuhkan”, ujar Muslimin Nasution, salah seorang pimpinan kontingen –bersama dengan antara lain Rudianto Ramelan dan Fred Hehuwat. Kedatangan Kontingen Bandung itu sendiri, justru pada saat mahasiswa Jakarta sedang ditekan, mempunyai arti tersendiri untuk menaikkan spirit rekan-rekannya mahasiswa Jakarta. Anggota-anggota Kontingen ini juga berinisiatif melakukan gerakan-gerakan mengejutkan ke sasaran-sasaran strategis. Meskipun bisa saja dianggap keterlaluan, mahasiswa-mahasiswa seni rupa ITB –Riswanto Ramelan, T. Soetanto dan kawan-kawan– yang ada di Kontingen itu menciptakan kreasi-kreasi seperti patung besar Soebandrio dengan kepala yang besar bertuliskan Dorna Peking. Patung ini ikut dibawa ketika Kontingen Bandung bersama mahasiswa KAMI Jakarta dan pelajar KAPPI menyerbu, merusak dan mengobrak-abrik ruang kerja Soebandrio di Departemen Luar Negeri. Patung ini lalu dicari-cari untuk disita oleh aparat Kodam Jaya, dan akhirnya ‘terpaksa’ dibakar sendiri oleh para mahasiswa dan pelajar setelah diarak, dalam suatu acara simbolik di kampus Salemba.

Pada hari-hari berikutnya, tak henti-hentinya terjadi konflik fisik antara mahasiswa KAMI dengan anggota-anggota Front Marhaenis Ali Surachman. Ini adalah buah dari pengerahan yang diciptakan oleh para pemimpin partai dan para pendukung Soekarno, terutama dengan pembentukan Barisan Soekarno yang diperhadapkan dengan mahasiswa KAMI dan para pelajar dari KAPPI. Selain menyerbu Departemen Luar Negeri pada tanggal 8 Maret, para mahasiswa juga melakukan penyerbuan ke Kantor Berita RRT Hsin Hua, namun gagal. Tanggal 10 Maret, wakil-wakil partai politik dipanggil Presiden Soekarno ke Istana, dan di sana partai-partai tersebut  untuk kesekian kalinya menampilkan perilaku opportunistik mereka di depan Soekarno, lalu mengikuti perintah Soekarno mengeluarkan pernyataan yang tidak membenarkan tindakan-tindakan yang dilakukan para mahasiswa dan para pelajar serta pemuda.

Pada 11 Maret berlangsung sidang Kabinet Dwikora yang disempurnakan. Sejak pagi-pagi, mahasiswa dan pelajar turun ke jalan dan sekali lagi melakukan aksi pengempesan ban mobil untuk memacetkan jalan. Sengaja atau tidak, peningkatan tekanan yang terjadi akibat demonstrasi besar-besaran mahasiswa ini memperkuat bargaining position Mayjen Soeharto terhadap Soekarno. Ditambah dengan efek kejut yang ditimbulkan oleh kemunculan pasukan tanpa pengenal lengkap –yang sebenarnya digerakkan oleh Brigjen Kemal Idris– yang diisukan sebagai pasukan tak dikenal yang akan mengepung istana, maka Soekarno tiba pada suatu posisi psikologis dan mencapai titik nadir dalam semangat dan keberaniannya. Soekarno dengan tergesa-gesa meninggalkan istana menggunakan helikopter menuju Istana Bogor.

Tentang peristiwa seputar sidang kabinet 11 Maret 1966, Dr Soebandrio mempunyai versi sendiri. Ia menulis “di beberapa buku disebutkan bahwa setelah Presiden Soekarno membuka sidang, beberapa saat kemudian pengawal presiden, Brigjen Saboer, menyodorkan secarik kertas ke meja presiden. Isinya singkat: Di luar banyak pasukan tak dikenal. Beberapa saat kemudian presiden keluar meninggalkan ruang sidang. Pimpinan sidang diserahkan kepada Leimena. Saya lantas menyusul keluar. Banyak ditulis, saat saya keluar sepatu saya copot karena terburu-buru. Memang benar. Dulu saat sidang kabinet biasanya para menteri mencopot sepatu, mungkin karena kegerahan duduk lama menunggu, tetapi sepatu yang dicopot itu tidak kelihatan oleh peserta sidang karena tertutup meja. Saya juga biasa melakukan hal itu. Nah, saat kondisi genting sehingga presiden meninggalkan ruang sidang secara mendadak, saya keluar terburu-buru sehingga tidak sempat lagi memakai sepatu”.

Lebih jauh, Soebandrio menulis, bahwa begitu keluar ruang sidang, yang tidak pernah dituliskan siapa pun, ia merasa bingung, akan ke mana? “Saya mendapat informasi, pasukan tak dikenal itu sebenarnya mengincar keselamatan saya. Padahal begitu keluar ruangan saya tidak melihat Bung Karno yang keluar ruangan lebih dulu. Dalam keadaan bingung saya lihat sebuah sepeda, entah milik siapa. Maka tanpa banyak pikir lagi saya naiki sepeda itu. Toh mobil saya, dan mobil semua menteri, sudah digembosi oleh para demonstran. Dalam kondisi hiruk pikuk di sekitar istana saya keluar naik sepeda. Ternyata tidak ada yang tahu bahwa saya adalah Soebandrio yang sedang diincar tentara. Padahal saya naik sepeda melewati ribuan mahasiswa dan tentara yang meneriakkan yel-yel Tritura dan segala macam kecaman terhadap Bung Karno. Memang, saat menggenjot sepeda saya selalu menunduk, tetapi kalau ada yang teliti pasti saya ketahuan”. Soebandrio mengaku sepedanya meluncur terus ke selatan sampai bundaran Bank Indonesia. Tetapi ia melihat begitu banyak tentara dan mahasiswa sampai jalan Thamrin. Ia ragu apakah bisa lolos.  Maka ia kembali mengayuh sepeda kembali ke istana dan “hebatnya” dia sampai di istana tanpa diketahui para demonstran.

“Begitu tiba kembali di istana, saya lihat ada helikopter. Saya tidak tahu apakah sejak tadi heli itu sudah ada atau baru datang. Atau mungkin karena saya panik, saya tidak melihat heli yang ada di sana sejak tadi. Namun yang melegakan adalah bahwa beberapa saat kemudian saya melihat Bung Karno didampingi para ajudan berjalan menuju heli. Karena itu sepeda saya geletakkan dan saya berlari menuju heli. Mungkin saat itulah, ketika berlari menuju heli tanpa sepatu, saya dilihat banyak orang sehingga ditulis di koran-koran: Dr Soebandrio berlari menyusul Bung Karno menuju heli tanpa sepatu. Akhirnya saya bisa masuk ke dalam heli dan terbang bersama Bung Karno menuju Istana Bogor”.

Apapun yang terjadi dengan Soebandrio dan Soekarno pada siang hari 11 Maret itu, malamnya lahir Surat Perintah 11 Maret, yang dibuat ‘bersama’ tiga jenderal yang sebenarnya dekat dengan Soeharto, yakni Mayjen Basoeki Rachmat, Brigjen Muhamad Jusuf dan Brigjen Amirmahmud. Dan atas dasar Surat Perintah itu, Soeharto kemudian membubarkan PKI pada 12 Maret 1966. Beberapa hari kemudian, 18 Maret, Soeharto melakukan tindakan untuk ‘mengamankan’ 15 Menteri Kabinet Dwikora yang disempurnakan. Sejak saat itu, Soeharto bisa melakukan ‘apa’pun yang diinginkannya.

Dengan Surat Perintah 11 Maret di tangannya, Soeharto melangkah masuk ke dalam fase kekuasaan sepenuhnya bagi dirinya.

(Dari:Rum Aly, Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966 – Mitos dan Dilema, Mahasiswa Dalam Proses Perubahan Politik 1959-1970, Kata Hasta Pustaka, Jakarta 2006).