SETELAH berakhirnya masa kekuasaan formal Jenderal Soeharto, muncul kesempatan untuk menelaah bagian-bagian sejarah –khususnya mengenai Peristiwa 30 September 1965 dan PKI– yang dianggap kontroversial atau mengandung ketidakbenaran. Kesempatan itu memang kemudian digunakan dengan baik, bukan saja oleh para sejarawan dalam batas kompetensi kesejarahan, tetapi juga oleh mereka yang pernah terlibat dengan peristiwa atau terlibat keanggotaan PKI.
PARA PEMIMPIN PKI, DN AIDIT CS, BERSAMA BAPAK BESAR KOMUNIS CHINA MAO-ZEDONG. “Setelah PKI ‘berlalu’ karena pembubaran dan setelah surutnya komunisme secara global, ternyata ideologi dan aliran totaliter lainnya tidaklah ikut berakhir, untuk tidak tidak menyebutnya justru lebih menggejala. Tampilannya beraneka ragam, bisa dalam bentuk-bentuk aksi sepihak yang berkecenderungan kuat ‘menghakimi’ sendiri, bisa dalam bentuk sikap moralisme dengan bermacam-macam pretensi, ataukah sikap ber’demokrasi’ yang hanya mengenal haknya sendiri dan tidak menghargai hak orang lain, dan lain sebagainya”. (gambar asiafinest). BERIKUTNYA DI SOCIOPOLITICA: KISAH KORUPSI PARA JENDERAL
Bila sebelum ini penulisan versi penguasa masa Soeharto banyak dikecam karena di sana sini mengandung unsur manipulasi sejarah, ternyata pada sisi sebaliknya di sebagian kalangan muncul pula kecenderungan manipulatif yang tak kalah buruknya, bertujuan untuk memberi posisi baru dalam sejarah bagi PKI, yakni sebagai korban politik semata. Dalam sorotan terhadap kekerasan kemanusiaan yang terjadi di seputar peristiwa, fakta adanya situasi balas berbalas yang sama kejinya di semua pihak, cenderung diabaikan. Pendulum sejarah kali ini diayunkan terlalu jauh ke kiri, setelah pada masa sebelumnya diayunkan terlalu jauh ke kanan. Dan kali ini, mereka yang selama ini ada di sebelah kanan, cenderung bersifat reaktif bertahan dan sesekali melontarkan tuduhan tentang ‘bangun’nya kembali paham komunis, meski secara global sementara itu kutub ideologi komunis praktis sudah roboh, atau paling tidak, jauh surut mendekati wilayah titik nol.
Terdapat sejumlah nuansa berbeda yang harus bisa dipisahkan satu sama lain dengan cermat dan arif, dalam menghadapi masalah keterlibatan PKI pada peristiwa-peristiwa politik sekitar 1965. Bahwa sejumlah tokoh utama PKI terlibat dalam Gerakan 30 September 1965 dan kemudian melahirkan Peristiwa 30 September 1965 –suatu peristiwa di mana enam jenderal dan satu perwira pertama Angkatan Darat diculik dan dibunuh– sudah merupakan fakta yang tak terbantahkan. Bahwa ada usaha merebut kekuasaan dengan pembentukan Dewan Revolusi yang telah mengeluarkan sejumlah pengumuman tentang pengambilalihan Continue reading Peristiwa 1965: PKI Dalam Perspektif Pembalasan dan Pengampunan (3)→
MENDAPAT arahan akrobatik dari Menteri Dalam Negeri Amirmahmud, sejumlah Gubernur tak kalah akrobatisnya. Pernyataan Soeharto bahwa provinsi banyak masalah, tidak punya uang dan kalau ada, terbatas, dilewatkan saja oleh para Gubernur. Mereka malah berlomba-lomba menjanjikan dukungan untuk proyek yang diprakarsai Ibu Negara itu.
Gubernur Sumatera Selatan Asnawi Mangku Alam berkata, “Sumatera Selatan mampu melaksanakan, soal biaya bisa saya atur”. Gubernur Sulawesi Selatan Ahmad Lamo bilang, “Baik sekali, saya sudah siapkan biaya sepuluh juta rupiah”. Ia menyatakan akan mencicil lima kali ‘kewajiban’ menyumbang Rp. 50 juta yang dibebankan kepada setiap Gubernur. Waktu itu, dengan uang limapuluh juta bisa membangun sepuluh Sekolah Dasar dengan enam kelas. Gubernur Jambi, Atmadibrata, dengan lantang dan gagah berani menegaskan kesanggupannya, “Kalau untuk membangun itu saja”, maksudnya membangun paviliun provinsi di TMII, “Jambi mampu”. Gubernur Sumatera Barat Harun Zain bilang, “Setuju benar”, namun cepat-cepat menyambung “tapi masih perlu menghitung dulu baik-baik”. Tak mau kalah, Gubernur NTT, El Tari, yang minus daerahnya, menyatakan dukungan bersemangat, walau akhirnya mengakui ketidakmampuannya, karena bagi daerah seperti NTT, “50 juta rupiah adalah super mewah dan maxi”. Gubernur Jawa Barat Solihin GP menjanjikan akan mengumpulkan dana, meski sementara itu defisit 2,1 milyar rupiah APBD Jawa Barat tak mampu diatasinya. Hanya Gubernur Aceh Muzakkir Walad yang bersikap wajar dan realistis. Buat Aceh, 50 juta rupiah adalah terlalu besar, ujarnya.
Tapi jangankan para Gubernur, Presiden Soeharto sendiri pun pada akhirnya berubah sikap dengan cepat dalam kaitan TMII. Kritik-kritik terhadap pembangunan TMII yang dilancarkan generasi muda, mulai dianggap Soeharto sebagai serangan terhadap diri dan keluarganya, karena menduga adanya kelompok-kelompok belakang layar yang bermain. Kekuasaan memang bisa membuat seorang pemimpin gampang terjangkit paranoia. Presiden Soeharto sebagai suami pemrakarsa, katanya sangat mengetahui secara jelas tentang rencana TMII. “Sebagai penanggung jawab pembangunan, saya menjamin itu tidak akan mengganggu pembangunan”. Juga takkan mengganggu keuangan negara dan penerimaan negara. “Jadi, saya sampai bertanya-tanya kenapa mesti dihebohkan? Apa landasannya untuk diragukan, apakah mengganggu pembangunan? Apakah karena Bang Ali projectofficernya, ataukah karena pemrakarsanya kebetulan istri saya, lalu dianggap ini proyek mercusuar ?”.
Berkata lagi Presiden Soeharto “Atau apakah dianggap mau mempertahankan terus kursi presiden ?”. Seraya menyampaikan berbagai sinyalamen dan peringatan, Presiden Soeharto menyebut isu-isu itu bertujuan jangka pendek untuk mendiskreditkan pemerintah yang dipimpinnya dan untuk jangka panjang mendepak ABRI dari eksekutif maupun mendepak dwifungsi lalu menggiring ABRI masuk kandang. Bila memang itu soalnya, bukan semata soal TMII, maka ABRI lah yang akan menjawab, “ABRI tidak akan melepaskan dwifungsinya”.
Tentang dirinya sendiri, Soeharto memberikan alternatif bahwa kalau ada yang menghendaki dirinya mundur karena menganggapnya terlalu ke’jawa’an –lamban, alon-alon asal kelakon dan sebagainya– tak perlu ribut-ribut. “Gampang, gunakan kesempatan sidang MPR 1973. Kalau mau lebih cepat lagi adakan Sidang Istimewa MPR”. Syaratnya, semua berjalan secara konstitusional. Kalau tidak, jangan kaget kalau Jenderal Soeharto kembali ke sikap keras seperti 1 Oktober 1965 ketika menghadapi PKI. “Jangan coba-coba melakukan tindakan-tindakan inkonstitusional sebab akan saya hantam, siapa saja”, ujarnya. Yang memakai kedok demokrasi secara berlebih-lebihan akan ditindak. “Kalau ada ahli hukum yang mengatakan tidak ada landasan hukum”, kata Soeharto, “demi kepentingan negara dan bangsa saya akan gunakan Supersemar”.
Kembali kepada kenangan 1 Oktober 1965, Soeharto mengungkap pula dengan kata-kata pahit bahwa “waktu itu tak ada pemuda, tak ada mahasiswa maupun partai politik yang datang mendukung saya”. Terkecuali satu orang, katanya, yakni isterinya, Siti Suhartinah, pemrakarsa Miniatur Indonesia. Dari ucapan-ucapannya itu terlihat Suharto mempunyai konstruksi pemikiran tentang adanya dalang di balik semua peristiwa protes, dan itu semua terkait dengan situasi politik saat itu. Lagi pula seperti dituturkan kemudian oleh seorang mantan pejabat intelejen, saat itu Soeharto telah sempat memperoleh suatu laporan tentang adanya skenario konspirasi yang memanfaatkan kasus TMII untuk mendiskreditkan Presiden Soeharto dan isteri, serta kekuasaannya. Beberapa nama kalangan militer dan sipil serta tokoh-tokoh kritis yang dekat dengan jenderal-jenderal intelektual, disebutkan dalam laporan tersebut lengkap dengan beberapa hal yang detail.
Tapi tak ada langkah lebih jauh dalam kasus konspirasi tersebut, karena Panglima Kopkamtib Jenderal Soemitro sempat memberi masukan yang untuk sementara bisa menetralisir teori konspirasi tersebut. Agaknya, hanya dalam tempo enam tahun Soeharto telah bisa melupakan bahwa dukungan mahasiswa lah, dan sejumlah perwira idealis seperti Sarwo Edhie Wibowo, HR Dharsono dan Kemal Idris, plus Ali Moertopo cs, antara lain yang telah berperan menurunkan Soekarno dan membantunya naik ke kursi kekuasaannya. Ali Moertopo cs telah mendampingi Soeharto sejak hari-hari pertama, sementara tanpa Sarwo Edhie Wibowo sejak 1 Oktober 1965, Soeharto takkan berhasil mengendalikan peristiwa.
Titik peka dan pembentukan dinasti. Kelak, setelah menyampaikan uneg-uneg itu berkali-kali dalam berbagai peristiwa, Jenderal Soeharto ‘menantang’ mereka yang tidak menyukainya untuk menggunakan cara konstitusional melalui MPR bila menghendaki dirinya mundur dari kursi kepresidenan.
Titik peka seperti Soeharto, kini juga mulai diperlihatkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, termasuk dalam hal kecurigaan terhadap adanya pengatur skenario di balik serangan-serangan yang ditujukan pada dirinya. Makin hari memang makin banyak persamaan yang terlihat, antara Soeharto dan Susilo Bambang Yudhoyono, dua Presiden Indonesia yang memiliki latar belakang militer masa Orde Baru. Isteri kedua tokoh ini cukup berperan sebagai Ibu Negara, berbeda dengan isteri-isteri Soekarno. Perilaku para menteri dan lingkaran dalam kedua Presiden itu juga makin mirip. Sorotan yang menerpa keduanya juga menyangkut topik-topik dan bidang yang sama, antara lain masalah pembentukan dinasti politik dan kekuasaan, korupsi, kegagalan penegakan hukum dan penciptaan rasa aman publik.
PERSAMAAN KEGAGALAN PEMBERANTASAN KORUPSI. “Makin hari memang makin banyak persamaan yang terlihat, antara Soeharto dan Susilo Bambang Yudhoyono, dua Presiden Indonesia yang memiliki latar belakang militer masa Orde Baru….. Sorotan yang menerpa keduanya juga menyangkut topik-topik dan bidang yang sama, antara lain masalah pembentukan dinasti politik dan kekuasaan, korupsi, kegagalan penegakan hukum dan penciptaan rasa aman publik”. Karikatur 1968, Harjadi S.
Kehidupan politik pada dua tahun terakhir masa kekuasaan Soeharto diwarnai peristiwa-peristiwa penculikan dan penghilangan aktivis. Pengemplang uang negara sudah mulai melakukan mode kabur ke luar negeri, seperti Eddy Tanzil, satu mode yang berlanjut di masa-masa kepresidenan pasca Soeharto. Banyak pelaku kejahatan keuangan negara, terutama BLBI, meloloskan diri ke luar negeri. Singapura yang sering dijuluki Israel Asia Tenggara, menjadi surga ‘suaka’ paling populer bagi para pencuri. Kalau tak berhasil kabur, dengan gesit menggunakan alasan sakit untuk menghindari hukum, meniru cara-cara Soeharto yang tampaknya ‘diajarkan’ para pengacara senior yang mendampinginya (atau para pengacara itulah yang justru terinspirasi oleh Soeharto?).
Di masa SBY, model alasan sakit dan melarikan diri ke Singapura, juga sangat lazim digunakan. Ada beberapa nama dari lingkaran dekat kekuasaan yang bisa disebut sebagai contoh aktual, seperti Nunun Nurbaeti Adang Daradjatun dan Nazaruddin anggota DPR dan ex Bendahara Partai Demokrat. Sementara itu, para pelaku kasus suap-menyuap dan pelanggaran hukum lainnya yang berasal dari kalangan di luar kelompok kekuasaan negara, lazim menggunakan tangkisan atau alasan politisasi saat ditindaki secara hukum. Model ini misalnya yang dilakukan para politisi PDIP dalam kasus suap sekitar pemilihan Deputi Gubernur Senior BI, Miranda Goeltom.
Dalam soal pembentukan dinasti, Soeharto dianggap mempersiapkan puterinya, Siti Hardiyanti, dan dalam waktu yang sama, menantunya, Letnan Jenderal Prabowo Subianto, juga mempersiapkan diri. Susilo Bambang Yudhoyono dalam pada itu dianggap mempersiapkan isterinya, Ani Yudhoyono sebagai the next president di tahun 2014 seperti yang dilontarkan politisi Partai Demokrat Ruhut Sitompul. Tapi menurut Gatra, Ani Yudhoyono sudah ‘berlalu’ dalam soal ini, dan kemudian terbit Ani Mulyani (Sri Mulyani Indrawati). Sri Mulyani adalah tokoh yang dikambinghitamkan dan dikorbankan dalam skandal Bank Century. Selain mempersiapkan isteri, SBY juga dianggap mempersiapkan para puteranya dalam satu proyeksi masa depan. Salah satu puteranya, Ibas Edhie Baskoro Yudhoyono, telah terjun menjadi anggota DPR-RI dan kini menjabat sebagai Sekjen Partai Demokrat. Tetapi secara formal, Susilo Bambang Yudhoyono, telah membantah mempersiapkan dinasti kekuasaan seperti yang dituduhkan.
Serangan gencar terhadap Presiden SBY belakangan ini, mengingatkan pada kegencaran sorotan yang ditujukan kepada Presiden Soeharto setidaknya pada dua tahun terakhir masa kekuasaannya. Serangan terhadap Soeharto arahnya jelas untuk menjatuhkan Soeharto, dan itu telah terjadi. Adapun serangan kepada SBY, kira-kira arahnya juga sama, namun belum terjadi.
TUDINGAN bahwa mahasiswa pergerakan 1966 terperangkap jalan pikiran barat –tepatnya jalan pikiran imperialis dan neo kolonialisme– sehingga tidak memahami revolusi, antara lain dinyatakan langsung Soekarno dalam suatu pertemuan dengan tokoh-tokoh KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) 18 Januari 1966. Bung Karno marah-marah karena ada corat-coret yang menyebut salah satu isterinya, Hartini Soekarno, sebagai “Gerwani Agung”. Gerwani adalah organisasi perempuan onderbouw PKI yang kala itu dilekati dengan berbagai konotasi buruk, termasuk perilaku a-susila dalam peristiwa di Lubang Buaya 1 Oktober 1965. Wajar kalau Soekarno begitu marah bila isterinya disebut ‘Gerwani Agung’. Salah satu anggota KAMI dari Jakarta menjelaskan kepada Soekarno bahwa kalau ada ekses-ekses yang terjadi dalam aksi-aksi mahasiswa, semisal corat-coret dengan kata-kata kotor, itu adalah pekerjaan tangan-tangan kotor yang menyusup ke dalam barisan mahasiswa. Tokoh-tokoh KAMI yang hadir kala itu antara lain, Cosmas Batubara, Mar’ie Muhammad, David Napitupulu, Lim Bian koen, Elyas, Abdul Gafur, Firdaus Wajdi dan Djoni Sunarja.
Meski mahasiswa waktu itu sudah sangat berani melawan Soekarno melalui gerakan-gerakan turun ke jalan, yang kerap kali disebut ‘parlemen jalanan’, tak urung menurut salah seorang tokoh KAMI, David Napitupulu, tokoh-tokoh mahasiswa itu sempat juga agak ciut nyalinya ketika berhadapan langsung dengan Soekarno. Padahal itu pertemuan yang sudah kedua kali. David bercerita, Soekarno masih berhasil menunjukkan wibawa dan membuat beberapa tokoh mahasiswa ‘melipatkan’ dan merapatkan tangan di depan bagian bawah perut dengan santun.
KEMARAHAN SOEHARTO. Suatu ketika ia pernah menanggapi ucapan kritis dari Adnan Buyung Nasution dari KASI, dengan emosional, dalam pertemuan di Gedung Presidium Kabinet 13 Juni 1967. Buyung menggambarkan bahwa di mata rakyat saat itu, ABRI itu rakus. Soeharto menjawab dengan keras “kalau bukan saudara yang mengatakan hal ini, pasti sudah saya tempeleng”. Karikatur 1967, Hariyadi S.
Kala musim mulai berganti. Masih pada awal masa kekuasaannya, Jenderal Soeharto sudah mulai terbiasa marah-marah kepada mahasiswa dan kalangan kesatuan aksi, ‘partner’ penopangnya menuju kekuasaan. Suatu ketika ia pernah menanggapi ucapan kritis dari Adnan Buyung Nasution dari KASI, dengan emosional, dalam pertemuan di Gedung Presidium Kabinet 13 Juni 1967. Buyung menggambarkan bahwa di mata rakyat saat itu, ABRI itu rakus. Soeharto menjawab dengan keras “kalau bukan saudara yang mengatakan hal ini, pasti sudah saya tempeleng”. Dan pada kesempatan lain, 8 Nopember 1967, sekali lagi ia menunjukkan sikap yang telah berubah ketika menghadapi demonstrasi massa KAMI, KAPI dan KAPPI di depan Gedung Presidium Kabinet Jalan Merdeka Barat, yang meminta perhatiannya selaku Pejabat Presiden mengenai makin melonjaknya harga beras. Ia membiarkanmassa menunggu dulu dua jam lamanya, sebelum menemui mereka. Dengan nada yang terasa agak ketus, ia berkata kepadamassa yang dulu ikut mendukungnya menuju istana dengan menjatuhkan Soekarno, “Kalau kesatuan aksi bermaksud menindak orang yang bertanggungjawab atas kesukaran hidup dewasa ini, maka sayalah orangnya yang harus ditindak”.
Reaksi Soeharto yang biasanya tenang dan murah senyum kepada massa mahasiswa dan pelajar di tahun sebelumnya itu, cukup mengejutkan banyak orang. Arief Budiman, salah seorang tokoh terkemuka perjuangan 1966, kemudian menanggapi ‘insiden’ itu dengan nada pahit. “Dia seakan-akan menghadapi para demonstran sebagai ‘pemuda-pemuda iseng’ yang mengganggu kerjanya”, kata Arief. “Dan sikapnya yang menantang para pemuda itu, sungguh-sungguh tidak simpatik. Parapemuda itu datang karena penderitaan yang tak teratasi lagi”. Mereka tahu bahwa pak Harto berusaha untuk mengatasi kesulitan-kesulitan itu, “tapi mereka juga tahu banyak para pembantu pak Harto hidup bermewah-mewah dari hasil korupsinya. Barangkali mereka tak tahu bagaimana orang-orang itu berkorupsi, mereka tak punya dokumen-dokumennya. Tapi dengan logika yang elementer saja, melihat kehidupan pribadi mereka dengan rumah yang mewah, dengan mobil berbiji-biji dan membandingkannya dengan gaji yang mereka seharusnya terima, segera dapat disimpulkan bahwa di balik semua ini pasti ada apa-apanya”.
Panglima Kodam Jaya, Brigjen Amirmahmud, yang dari dulu, sejak zaman Soekarno belum jatuh, memang kurang bersimpati kepada gerakan-gerakan ekstra parlementer mahasiswa dan pelajar gerakan 1966, dengan gesit mengeluarkan larangan berdemonstrasi. Ia agaknya lupa bahwa larangan berdemonstrasi yang pernah dikeluarkannya setahun sebelumnya belum dicabut. Tapi kali ini, larangan demonstrasi yang dikeluarkannya betul-betul njlimet memperinci sampai kepada apa saja yang tidak boleh dilakukan: menyetop kendaraan dan mengambil kendaraan pemerintah maupun milik pribadi secara paksa, main hakim sendiri, pengeroyokan, penyerbuan dan pendudukan tempat kediaman maupun tempat kerja dan sebagainya yang semua mengarah kepada contoh-contoh yang lazim terjadi dalam masa demonstrasi tahun 1966. Tanpa larangan ala Amirmahmud pun, sebenarnya, para mahasiswa juga sepakat bahwa apa yang sering dilakukan sebagai ‘ekses’ di masa lampau itu hendaknya sudah diakhiri, dan ekses seperti itu kerapkali dilontarkan sebagai kritik internal.
Mahasiswa pun sering mengeritik perilaku tentara yang juga punya ‘kebiasaan’ meminjam dan menyetop kendaraan umum untuk dipinjam guna kepentingan ‘dinas’, sementara sebaliknya mobil-mobil tentara sendiri justru digunakan untuk ‘ngobjek’ mengangkut barang-barang milik swasta. Tetapi cara merumuskan larangan-larangan itu dalam pengumuman Kodam Jaya itu ‘berhasil’ menggambarkan perbuatan-perbuatan itu bukan sekedar ‘ekses’, melainkan sebagai perbuatan yang berkonotasi pidana, yang menurut Arief adalah penggambaran sebagai perampokan. Sikap Soeharto dan antisipasi Amirmahmud yang betul-betul menunjukkan karakter militer itu, sekaligus menunjukkan bahwa kini setelah berkuasa mereka tak membutuhkan lagi gerakan ekstra parlementer sebagai alat yang setahun sebelumnya dimanfaatkan dan diprovokasi dari belakang layar untuk menekan Soekarno. Bahkan Soeharto mulai menempatkan kaum muda ini sebagai onak duri yang harus mulai disingkirkan. Dan ini semua akan terbukti dengan apa yang dilakukannya pada tahun 1970-an, terutama di tahun 1974 dan 1978.
Terlepas dari insiden-insiden tersebut, hingga tahun 1970, pada hakekatnya tingkat kepercayaan kepada Jenderal Soeharto masih cukup tinggi. Ada beberapa kisah kecil yang menunjukkan dirinya masih patut diteladani pada tahun-tahun awal penampilannya sebagai pemimpin bangsa dan negara. Sebuah sketsa peristiwa disajikan di pertengahan 1968 oleh Mingguan MahasiswaIndonesia, sebagai berikut ini. “Kini anak-anak penggede Orde Baru mulai banyak tingkah”. Tiap hari koran-koran Jakarta mengecam aksi ngebut di jalan. Dulu, Guntur Soekarnoputera juga senang ngebut dengan mobilnya di Bandung, tanpa ada yang berani menegur. Polisi lalu-lintas pasca Soekarno ini dikecam karena tidak berani bertindak. Suatu hari seorang wartawan datang pada perwira tinggi polisi dan bertanya tentang soal ini. “Bagaimana anak buah saya berani bertindak? Suatu kali polisi lalu lintas menegur salah seorang pemuda yang melanggar lalu lintas. Apa jawabnya? ‘Kamu tidak tahu? Saya anak menteri luar negeri!’….”, demikian sang perwira menuturkan. Diceritakan seterusnya, “Anak Jenderal Soeharto juga ditangkap polisi lalu lintas. Tetapi sang ayah bersikap tegas. Anaknya tetap dibiarkan diadili. Dan di rumah, ia dimarahi oleh ayahnya”. Bahkan ada yang menyaksikan bahwa ‘rebewijs’ (SIM atau Surat Izin Mengemudi) anaknya itu disobek. “Tindakan Jenderal Soeharto terhadap anaknya patut dicontoh oleh penggede-penggede Orde Baru yang lain”, demikian dituliskan. Dianjurkan agar putera para pembesar, “jangan menyalahgunakan kekuasaan bapaknya”.
Sekitar tiga puluh tahun kemudian, kala musim telah berganti, Presiden Soeharto ‘memerintahkan’ Fuad Bawazier, Dirjen Pajak yang kemudian naik menjadi Menteri Keuangan, untuk membebaskan bea masuk (pajak) bagi mobil-mobil build–up yang diimpor dari Korea Selatan sebagai ‘modal dan percontohan awal’ salah seorang puteranya atas nama proyek mobil nasional. Dengan patuh, sang menteri melaksanakan perintah, yang di kemudian hari menjadi persoalan yang sulit diselesaikan. Mobil nasional itu sendiri tak pernah terwujud diproduksi. Adapun Fuad Bawazier, kini menjadi tokoh penting salah satu partai, dan kerap kali berbicara cukup vokal juga.
Bila sang Presiden marah. Kemarahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono beberapa pekan lalu, ketika menanggapi SMS yang dianggapnya fitnah –termasuk serangan terhadap kehidupan pribadinya maupun keluarganya– mengingatkan kepada kemarahan serupa yang pernah ditunjukkan Jenderal Soeharto di tahun 1972 saat memasuki tahun ke-6 kekuasaannya.
Menanggapi gerakan-gerakan mahasiswa yang memprotes pembangunan Proyek Taman Mini Indonesia Indah, Presiden Soeharto melontarkan ucapan-ucapan keras, tatkala berpidato tanpa teks pada peresmian Rumah Sakit Pertamina yang modern, 6 Januari 1972. Sama dengan Susilo Bambang Yudhoyono yang sering mengeluhkan penggunaan demokrasi yang kebablasan, kala itu Soeharto juga mengecam hak demokrasi yang dikatakannya dilakukan secara berlebih-lebihan. Bukan sekedar mengecam, Jenderal Soeharto juga sekaligus memperingatkan akan menghantam dan menindak. “Perbedaan pendapat memang merupakan bumbu demokrasi”, ujar Soeharto, “Tetapi, harus dalam batas-batas keserasian dan jangan hanya ingin menggunakannya sehingga timbul kekacauan. Khususnya, dalam menghadapi proyek Miniatur Indonesia”. Mereka yang berada tak jauh dari presiden, bisa melihat dengan jelas betapa pada waktu itu wajah Soeharto tampak berkeringat. Pada pokoknya, menurut buku Menyilang Jalan Kekuasaan Militer Otoriter (Rum Aly, Penerbit Buku Kompas, 2004), Presiden Soeharto sebagai suami pemrakarsa TMII, Siti Suhartinah Soeharto, katanya sangat mengetahui secara jelas tentang rencana TMII dan membenarkan pembangunan proyek itu.
Beberapa waktu sebelumnya, kepada Pangkopkamtib Jenderal Soemitro, yang bertanya kepadanya, Soeharto menegaskan bahwa TMII bukan proyek pemerintah, tak ada bantuan dari APBN “karena kita tak ada uang”. Itu proyek swasta, yang bisa saja dibantu secara sukarela oleh para pengusaha. Jenderal Soemitro bertanya, apakah pengusaha-pengusaha swasta itu perlu diberi fasilitas khusus? Soeharto menjawab, “Tidak. Tidak perlu”. Soemitro bertanya lagi, apakah para gubernur diwajibkan membantu Proyek Mini? “Tidak, tidak bisa. Provinsi tidak punya uang. Mereka punya banyak masalah. Uang mereka terbatas”, tegas Soeharto. Nyatanya, para gubernur atas arahan akrobatik Menteri Dalam Negeri Amirmahmud, berkecenderungan kuat untuk membantu dengan segala cara. Dan itu diikrarkan hanya beberapa waktu sebelumnya di bulan Desember 1971. Inilah yang antara lain diprotes para mahasiswa.
SAAT membela rencana pembangunan gedung baru DPR yang berbiaya 1,15 triliun rupiah, berkali-kali pada berbagai kesempatan, anggota DPR yang juga adalah tokoh Partai Demokrat, Prof Dr Mubarok, berargumentasi dengan mengajukan beberapa contoh peristiwa dari masa lampau, tapi duduk persoalannya disederhanakan dan dipahami secara keliru. Mubarok menyebutkan beberapa proyek pembangunan yang di masa lampau dikritik atau ditentang, namun ‘terbukti’ kemudian diterima masyarakat dan berguna: Stadion Utama Gelora Bung Karno, Gedung MPR/DPR (yang sekarang masih digunakan) dan Taman Mini Indonesia Indah. Hampir bersamaan waktu, tokoh Partai Demokrat lainnya yang adalah Ketua DPR-RI, Marzuki Alie, yang mungkin sedang jengkel menghadapi LSM-LSM yang gencar mengeritik pembangunan gedung baru DPR itu, memberi semacam garis batas untuk tahu diri, bahwa kalau anggota DPR jelas mewakili rakyat, LSM mewakili apa?
GEDUNG BARU DPR. “Dengan bergesernya peranan ke DPR untuk ‘menciptakan’ berbagai proyek besar, dan bersamaan dengan itu makin terungkapnya keterlibatan sejumlah anggota DPR dalam berbagai kasus korupsi, terindikasi bahwa pola pencarian dana politik titik berat perannya beralih dilakukan melalui partai-partai politik”.
Perlu membuka beberapa catatan terkait ucapan-ucapan ganjil kedua tokoh politik itu.
STADION Utama Gelora Bung Karno di Senayan Jakarta dibangun rezim Soekarno untuk digunakan dalam penyelenggaraan Asian Games 1962. Bersama Stadion Utama, dibangun pula Istora (Istana Olahraga) Senayan, dan berbagai fasilitas lainnya di Gelanggang Olahraga (Gelora) Senayan itu. Dibangun juga Hotel Indonesia, Wisma Warta (sudah diruntuhkan dan kini di atasnya berdiri tempat belanja mahal Plaza Indonesia), Sarinah Departmen Store, Tugu Selamat Datang di Bundaran HI, Jembatan Semanggi lengkap dengan Boulevard Thamrin dan Jalan Jenderal Sudirman. Dan, Monumen Nasional di lapangan depan Istana Merdeka. Semua dibangun terutama dengan bantuan pinjaman Uni Soviet. Setelah penyelenggaraan Asian Games, Soekarno terobsesi menyelenggarakan Conefo (Conference of the New Emerging Forces), yang dianggapnya tugas revolusi menghadapi Oldefo (Old Establishment Forces) yang menyusun kekuatan Nekolim (Neo Kolonialisme Imperialisme).
Untuk tempat penyelenggaraan Conefo Presiden Soekarno memerintahkan pembangunan sebuah gedung konperensi baru, berdekatan dengan Gelora Senayan. Bangunan itu unik, terutama karena atap kubahnya yang besar dengan perhitungan konstruksi yang berani, untuk tidak menyebutnya berbau vivere pericoloso. Dalam soal pembiayaan, Soekarno pun bervivere-pericoloso, karena situasi keuangan negara saat itu betul-betul buruk di tengah gelombang inflasi yang fantastis yang mencapai ratusan persen. Pada arah sebaliknya, inflasi di tahun-tahun terakhir masa kekuasaan Soekarno itu sendiri, terjadi selain karena Indonesia sedang melakukan konfrontasi politik dan militer terhadap Malaysia, dan gagal pangan, juga terpicu oleh berbagai pembangunan proyek berbiaya tinggi yang dipaksakan seperti antara lain proyek Conefo itu. Istilah Latin vivere pericoloso ini sering digunakan Soekarno untuk menggambarkan keberanian menyerempet-nyerempet bahaya sebagai bagian dari sikap revolusioner. Conefo itu sendiri urung dilaksanakan, tetapi pembangunan gedungnya tetap dilanjutkan meski tersendat-sendat, dengan susah payah. Itulah yang kemudian digunakan sebagai Gedung Sidang Utama MPR/DPR hingga kini.
Adakah yang menentang? Tak ada yang berani menentang pembangunan-pembangunan yang diperintahkan Soekarno, setidaknya, tidak secara terbuka. Partai-partai Nasakom manut-manut saja. Kritik dilakukan justru melalui penyebaran pamflet gelap oleh sejumlah aktivis gerakan bawah tanah anti Soekarno yang umumnya terdiri dari kalangan cendekiawan dan mahasiswa terutama di Bandung dan Jakarta. Kalau pun ada yang ‘menentang’ secara terbuka, itu tak lain adalah fakta kemelaratan rakyat dan keadaan keuangan negara yang buruk. Dalam kritik gerakan 1966, proyek-proyek Bung Karno itu disebut sebagai politik pembangunan mercu suar, membeli dasi padahal belum punya celana.
TAMAN Mini Indonesia Indah (TMII) adalah murni karya bersama penguasa dan pengusaha masa Orde Baru di bawah Jenderal Soeharto. Penggagas dan pendorong utama pelaksanaan pembangunan proyek Taman Mini Indonesia Indah, tak lain dari Ibu Negara kala itu Nyonya Siti Suhartinah Soeharto yang lebih dikenal sebagai Ibu Tien. Gagasan Ibu Tien terpicu oleh keterpesonaannya setelah menyaksikan proyek Thailand in Miniature yang lebih dikenal sebagai Tim Land dan proyek serupa di negara Asean lainnya, Filipina, Philipine in Miniature dengan nama lokal Nayong Philipina yang diprakarsai FirstLady Imelda Marcos. Secara resmi disebutkan TMII hanya akan menelan biaya 10,5 milyar rupiah suatu angka yang cukup besar untuk tahun 1972 saat gagasan yang dilontarkan sejak tahun 1970 itu diniatkan akan dilaksanakan. Tetapi bila dikaitkan dengan rancangan TMII, diperkirakan biaya sebenarnya nanti bisa mencapai 100 juta sampai 300 juta dollar AS, atau sekarang setara dengan 1 hingga 2,5 triliun rupiah.
Semula proyek itu disodorkan untuk dibiayai dengan APBN, tetapi ditentang oleh masyarakat khususnya kalangan perguruan tinggi dan mahasiswa, karena tidak sesuai dengan azas skala prioritas dalam situasi keterbatasan dana. Karena adanya penentangan yang cukup luas, formulanya dirubah bahwa TMII akan dibangun berdasarkan swadaya masyarakat. Bagaimana caranya mengerahkan swadaya masyarakat?
Tatkala berlangsung pertemuan gubernur se-Indonesia di bulan Desember 1971, Ketua Yayasan Harapan Kita Ibu Tien Soeharto meminta waktu untuk tampil melontarkan gagasan TMII itu kepada para gubernur. Ibu Tien meminta keikutsertaan para gubernur untuk membangun rumah-rumah adat khas daerahnya dan mengisinya dengan penggambaran kebudayaan dan kesenian khas, serta penyajian berbagai hasil kerajinan daerah. Menteri Dalam Negeri Amirmahmud yang mendampingi Ibu Negara, langsung bermain akrobat, “Saudara-saudara gubernur, dengan ini saya putuskan bahwa saudara-saudara saya angkat sebagai kepala proyek Miniatur Indonesia Indah di daerah saudara masing-masing”. Para gubernur diperintahkan pula oleh sang Menteri Dalam Negeri, mencari akal untuk menghimpun dana, “termasuk akal supaya dari para pengusaha berhasil dihimpun dana”. Padahal, sehari sebelum itu, di depan forum yang sama Presiden Soeharto sendiri, mengulangi seruan-seruannya sebelumnya, mengatakan “Jangan melakukan pemborosan-pemborosan, karena sebagian besar rakyat masih hidup miskin. Kita masih harus mengeratkan ikat pinggang, masih harus bekerja keras untuk mencapai tujuan dan harapan-harapan kita”. Adalah pula Soeharto sendiri yang memperkenalkan dan tak henti-hentinya ‘mengajarkan’ azas skala prioritas pembangunan.
Ketika perlawanan mahasiswa makin meningkat, DPR-RI ‘mengambilalih’ persoalan melalui sejumlah dengar pendapat dan menghasilkan jalan tengah. Maret 1972 DPR-RI merekomendasikan Proyek Taman Mini Indonesia Indah dapat diteruskan, tetapi tidak boleh menggunakan fasilitas negara dan tak boleh menjalankan sumbangan wajib kepada para pengusaha.
Sebagai kasus, masalah TMII memang dapat dianggap selesai pada bulan Maret 1972 itu. Tetapi, sebagai pola, kasus ini ternyata menjadi awal model bergandengnya kekuasaan dengan swasta secara kolutif, awal model dana non-budgeter, perkuatan model penghimpunan dan penggunaan dana taktis dengan berbagai cara, dan awal model pengerahan dana swasta melalui kharisma kekuasaan. Jelas tak ada transaksi-transaksi nyata dan seketika antara kekuasaan dan swasta yang diminta menyumbangkan ‘sedikit’ keuntungannya pada proyek swasta yang di belakangnya berdiri kerabat kekuasaan. Tetapi pada masa-masa berikutnya terbukti secara empiris bahwa mereka yang berjasa, secara tidak langsung mendapat ‘nama baik’ di mata kalangan kekuasaan dan memperoleh ‘benefit’ dengan berbagai cara dan bentuk. Semua berlangsung ibarat hembusan angin, tak terlihat dan tak dapat dipegang, namun terasa keberadaannya (Rum Aly, Menyilang Jalan Kekuasaan Militer Otoriter, Penerbit Buku Kompas, 2004).
BAHWA semua yang dibangun itu, mulai dari Stadion Utama Gelora Bung Karno, Gedung Conefo alias Gedung Kubah MPR/DPR sampai TMII, meskipun awalnya ditentang, namun akhirnya dipakai dan bisa berguna, jelas dan tentu saja memang harus begitu. Merupakan kebebalan baru plus kebodohan baru bila sesuatu yang dibangun secara fait-accompli dengan mengorbankan rakyat, tidak digunakan semata-mata karena faktor sentimentil. Tetapi merupakan kebebalan lebih baru lagi bila mengulangi cara-cara pembangunan fait-accompli dan menyalahi skala prioritas yang diperlukan dalam suatu negara yang ‘belum’ kaya. Apalagi bila nyata-nyata pembangunan itu ditentang rakyat secara luas. Dalam kaitan pembangunan gedung baru DPR yang bernilai 1,15 triliun rupiah, bila para anggota DPR tak lagi memperhitungkan suara rakyatnya, pertanyaannya menjadi, para anggota DPR itu kini lantas mewakili siapa?
Dengan pembangunan TMII, pada hakekatnya rezim Soeharto telah menciptakan pintu masuk tambahan bagi perbuatan korupsi, kolusi dan nepotisme. Bagaimana kini? Seandainya para pimpinan DPR tetap memaksakan pembangunan Gedung Baru DPR senilai 1,15 triliun rupiah itu, kali ini dengan dana APBN, padahal keuangan negara belum terlalu favourable dan menyalahi skala prioritas yang rasional, tak bisa tidak terindikasi akan terbuka lagi satu pintu masuk baru bagi korupsi melalui pembangunan ‘mega proyek’ di saat cara-cara korupsi yang tradisional mulai sulit dilakukan di bawah sorotan mata pers dan masyarakat. Dengan bergesernya peranan ke DPR untuk ‘menciptakan’ berbagai proyek besar, dan bersamaan dengan itu makin terungkapnya keterlibatan sejumlah anggota DPR dalam berbagai kasus korupsi, terindikasi bahwa pola pencarian dana politik titik berat perannya beralih dilakukan melalui partai-partai politik. Kalau dulu, partai-partai dipasok dananya sepenuhnya dari kalangan kekuasaan pemerintahan, kini arusnya mulai dibalik, untuk sebagian, pengorganisasian dana politik dilakukan partai untuk biaya ‘memenangkan’ dan ‘mempertahankan’ kekuasaan.
Padahal, bukankah selalu tersedia cara membangun sesuatu dengan baik dan benar, dengan cara benar pada waktu yang tepat berdasarkan niat yang baik sesuai kemampuan yang sewajarnya, sebagaimana mestinya ada cara yang lebih pantas dalam mencari dana politik? Haruskah tetap bervivere-pericoloso di zona merah korupsi untuk mencari dana politik?
“Waktu itu, sebagian besar mahasiswa dari organisasi ekstra kampus masih melanjutkan bulan madu partnershipnya dengan kalangan penguasa Orde Soeharto. Banyak di antara mereka yang dianggap masih di’atur’ oleh tokoh-tokoh mahasiswa 66 yang terjun ke dalam permainan politik, bahkan direkrut sebagai agen-agen intelejen tentara serta kekuatan-kekuatan penguasa Orde Soeharto lainnya. Organisasi ekstra universiter kala itu dianggap sudah tidak lagi murni memperjuangkan idealisme mahasiswa yang berbasiskan kepentingan hati nurani rakyat”.
Namun masa inwardlooking yang eksklusif itu ternyata tidak bisa berlangsung lama. Serenta mereka masuk dan duduk sebagai pimpinan studentgovernment kampusnya (istilah monumental dalam pergerakan mahasiswa intra kampus di Indonesia untuk menunjukkan kemerdekaan dan independensi yang kuat dari mahasiswa kampus sehingga mampu menyelenggarakan ‘pemerintahan’nya sendiri, bebas dari pengaruh-pengaruh kekuatan lain di luar mahasiswa) tokoh-tokoh mahasiswa pimpinan studentgovernment itu menghadapi satu situasi ‘baru’.
Mereka dihadapkan pada tuntutan-tuntutan, permintaan-permintaan dan pengaduan-pengaduan yang datang dari masyarakat luas melalui pelbagai jalur komunikasi formal maupun informal akan adanya masalah-masalah sosial yang ditimbulkan oleh tindak perbuatan penguasa Orde Soeharto dalam bentuknya yang tidak terpuji dan menunjukkan mulai terjadinya penyimpangan idealisme perjuangan awal Orde Baru yang ingin mengoreksi kesalahan-kesalahan yang dilakukan Orde Lama. Pengaduan dari pelajar yang dalam perjalanan ke sekolah menjadi korban razia rambut gondrong atau rok ketat. Pengaduan pengusaha-pengusaha pribumi yang usaha industri tekstil tradisionalnya digusur dan terancam bangkrut oleh masuknya modal-modal besar menggantikan usaha-usaha tradisional itu tanpa ada usaha pemerintah meningkatkan kemampuan industri-industri tradisional itu. Pengaduan pengusaha-pengusaha minuman ringan yang gulung tikar karena masuknya para pemodal besar multi nasional. Pengaduan pengusaha-pengusaha kecil pribumi dan menengah yang diperlakukan tidak adil dalam penyaluran kredit perbankan akibat persekongkolan para bankir dengan pengusaha non pri yang dibacking oleh orang-orang di dalam kekuasaan. Pengaduan dari buruh atau karyawan perusahaan modal asing Jepang dan pengusaha non pri, karena mendapat perlakukan diskriminatif dalam pengupahan, karir dan fasilitas. Pengaduan dari korban-korban banjir Ciamis (yang pada waktu itu terjadi hampir setiap tahun) akan korupsi dalam penyaluran bantuan sosial yang diberikan pada mereka. Bahkan pengaduan dosen yang rumah VB-nya digusur oleh oknum yang bekerjasama dengan dinas perumahan.
Pada mulanya mereka masih mampu menahan diri tidak melibatkan diri dalam ‘kegiatan politik’ untuk merespon hal itu. Respon lebih banyak dilakukan oleh kalangan non-kampus melalui cara-cara bergaya mahasiswa Angkatan 66: aksi demonstrasi, publikasi dan lain sebagainya. Mereka belum mau bereaksi dengan modus semacam itu. Terus berusaha menemukan modus dan cara lain dari yang berbau 1966 itu. Tetapi belum sempat mereka menemukan modus dan cara yang ‘sreg’, mereka dipaksa harus segera bereaksi, karena dengan cepatnya para penguasa telah menjadikan mereka sebagai sasaran langsung dari perilaku ‘mabuk-kekuasaan’nya tentara, yang selalu memerlukan ‘musuh’ baru untuk ditempatkan sebagai lawan yang harus dienyahkan.
Disamping itu, kenyataan objektif yang dipersepsikan sehari-hari melalui pergulatan hidup di tengah-tengah masyarakat, pergelutan dengan pengalaman hidup sehari-hari, diperkaya dengan observasi, analisa dan diskusi sebagai tradisi alam kehidupan kampus, mau tidak mau menimbulkan pula suatu keinginan untuk memperbaiki keadaan-keadaan yang menyimpang itu sebagai masukan bagi kalangan berwenang melalui forum dan media yang memungkinkan untuk itu. Sayangnya, pemerintah Orde Soeharto zaman itu pada hampir seluruh tingkatan jajarannya sudah mulai menutup komunikasi bagi kemungkinan memandang hal-hal semacam itu sebagai masukan untuk melakukan perbaikan keadaan. Masukan semacam itu dengan segera dianggap sebagai kritik yang tidak membangun, dianggap tidak berpartisipasi dalam pembangunan, oposisi yang tidak bertanggung jawab, bahkan mulai dipojokkan sebagai usaha menentang kepemimpinan Orde Baru. Usaha-usaha ini dengan serta merta pula diikuti oleh operasi intelejen yang disusul operasi militer untuk memerangi musuh-musuh Orde Soeharto. Dialog menjadi suatu keniscayaan sehingga komunikasi dua arah tidak lagi terjadi.
Pemerintahan Orde Soeharto berikut seluruh jajaran ordenya mulai melihat kegiatan kemahasiswaan sebagai kegiatan yang harus ditumpas berikutnya setelah kekuatan PKI dan G30Snya. Dengan demikian tokoh-tokoh mahasiswa tahun 1970-1974 yang semula bersikap apolitis kemudian digiring menjadi musuh politik, didesak dan didorong masuk ke dalam ring politik, bukan lagi sebagai partner melainkan sebagai musuh tanding. Mahasiswa seakan-akan ingin dijadikan bulan-bulanan dari semua frustrasi dan kegagalan yang ditimbulkan oleh penyimpangan perilaku politik dari Orde Soeharto. Mulai dari tudingan urakan, kebarat-baratan, sarang subversi, hingga newleft dan istilah-istilah seram lainnya. Menteri Dalam Negeri Amirmahmud pada waktu itu bahkan menuding perguruan tinggi –tempat dimana putera-puterinya notabene juga mengikuti pendidikan– sebagai sarang subversi, bahkan melarang dilakukannya penelitian-penelitian ilmiah oleh perguruan tinggi serta lembaga-lembaga penelitian ilmiah lainnya, untuk mengumpulkan data-data penelitian dari masyarakat. Kasus pelarangan PT Suburi merupakan salah satu contoh. Saat itulah awal mulai diberlakukannya izin-izin untuk penelitian ilmiah di Indonesia. Suatu hal yang hanya dapat terjadi di dalam sistim masyarakat negara-negara komunis totaliter pada waktu itu.
Perlawanan dengan sendirinya mulai muncul karena tentunya mahasiswa dan kalangan cendekiawan kampus tidak mau diperlakukan dengan tindakan anti intelektual seperti itu. Mahasiswa 1970-1974 menjadi harus taktis mengatasi ancaman-ancaman semacam itu. Mau tidak mau pikiran dan perbuatan bertendensi politik kekuasaan itu harus pula dilawan. Tentunya dengan konsep, pikiran dan tindakan sesuai dengan kaidah-kaidah keilmuan yang sempat mereka miliki. Alih-alih berusaha mendalami profesi dan keilmuan untuk persiapan masa depan mereka membangun bangsanya, kini mereka terpaksa harus mengurangi kadar backtocampusnya untuk turun gunung sebelum putus ajar, kembali berjuang melawan tirani baru: Soeharto.
Waktu itu, sebagian besar mahasiswa dari organisasi ekstra kampus masih melanjutkan bulan madu partnershipnya dengan kalangan penguasa Orde Soeharto. Banyak di antara mereka yang dianggap masih di’atur’ oleh tokoh-tokoh mahasiswa 66 yang terjun ke dalam permainan politik, bahkan direkrut sebagai agen-agen intelejen tentara serta kekuatan-kekuatan penguasa Orde Soeharto lainnya. Organisasi ekstra universiter kala itu dianggap sudah tidak lagi murni memperjuangkan idealisme mahasiswa yang berbasiskan kepentingan hati nurani rakyat. Bahkan bubarnya Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) terjadi karena perbenturan kepentingan dari organisasi-organisasi mahasiswa ekstra yang semula bersatu sebagai pendukung organisasi KAMI. Benturan terutama terjadi karena organisasi-organisasi mahasiswa ekstra itu bahkan kembali kepada basis-basis ideologi politik mereka semula.
“Di bawah penanganan Gubernur Ali Sadikin, agak di luar dugaan semula, ibukota melesat ke depan dalam penampilan kemajuan kasat mata”. “Bangunan baru dan perumahan-perumahan mewah yang menjadi kebutuhan golongan kaya menyebabkan tergusurnya rakyat kecil ini dari tanah mereka…. Bahkan, lebih dari itu, pembebasan tanah kerap juga harus mengalirkan darah dan merenggut nyawa kalangan bawah, karena digunakannya kekerasan oleh para penguasa. Untuk berbagai hal lain, Ali Sadikin berhasil, tetapi untuk yang satu ini, terkait ketidakadilan terhadap rakyat kecil dan terbiarkannya rakyat kalangan bawah tertindas demi pembangunan fisik Jakarta, rapor jenderal marinir ini merah”.
Wabah korupsi pun semakin mendapat perkuatan untuk melaju. Berbagai BUMN, seperti antara lain Pertamina dan Bulog, seakan-akan menjadi ‘centre of excellence’ bagi perilaku korupsi dan aneka penyalahgunaan kekuasaan lainnya dalam perlombaan untuk kepentingan pengumpulan dana. Dan semakin terjalin pula persahabatan birokrasi dengan korupsi yang bahkan memasuki ‘perspektif keabadian’ dalam sejarah Indonesia.
Mahasiswa Bandung membaca dan mencermati fenomena ini dan terdorong untuk melakukan perlawanan-perlawanan. Gerakan-gerakan kritis anti korupsi yang dilancarkan oleh para mahasiswa itu memang tidak mencakup kasus demi kasus. Beberapa kasus terlewatkan dalam sorotan gerakan kritis mahasiswa, seperti misalnya kasus-kasus di beberapa BUMN diluar Pertamina maupun Bulog, kasus CV Haruman versus P&K, beberapa skandal ekspor dan perbankan, dan kasus-kasus korupsi di Departemen Agama. Tetapi secara garis besar, pola korupsi disorot secara argumentatif, dan beberapa ‘centre of excellence’ perilaku korupsi mendapat sorotan tajam mereka.
Cukup terlihat pula adanya kontinuitas dan konsistensi gerakan anti korupsi ini dari waktu ke waktu. Sekalipun sesekali terbersit pula rasa skeptis, bahwa dengan cara penguasa merespons kritik mengenai korupsi –yang upaya pemberantasannya oleh beberapa pengamat luar negeri disebutkan sekedar pertunjukan pura-pura Soeharto– mungkin saja takkan ada hasil yang signifikan dalam pemberantasan korupsi. Atau bahkan bukan mustahil pada akhirnya korupsi akan masuk ke dalam satu perspektif keabadian di Indonesia. Apalagi disadari pula oleh para mahasiswa, dengan melihat beberapa gejala empiris yang tak jauh-jauh dari mereka, betapa angkatan yang lebih senior dari mereka mulai ada yang terkikis. Ternyata, virus korupsi yang berjalan sejajar dan bersahabat dengan birokrasi yang menjalankan kekuasaan secara tidak benar, bisa menular, termasuk kepada yang pernah menentangnya. Maka sikap anti korupsi tidak bisa dilepaskan dari gerakan kritis secara menyeluruh terhadap penyimpangan penguasa dalam menjalankan pengendalian negara dan seluruh sektor kehidupan bangsa, serta perlawanan terhadap sikap anti demokrasi dan kemanusiaan.
Makin menderasnya hasrat ‘kekuasaan demi kekuasaan semata’ di kalangan penguasa Orde Baru pada tahun 1970-an, takkan bisa dilepaskan dari kepastian mencuatnya ekses-ekses ikutan berupa korupsi, penyalahgunaan hukum, sikap anti demokrasi dan kemanusiaan, yang memang melekat pada kecenderungan kekuasaan yang dijalankan di luar jalur demokratis. Pada gilirannya, ekses-ekses itu sendiri jalin berjalin lagi memperkokoh kekuasaan secara salah dan berdampak ke bawah ke masyarakat dalam bentuk-bentuk peningkatan penderitaan.
Korupsi yang tetap merupakan estafet dari masa-masa sebelumnya, terasa sangat menguat menjelang hingga masa-masa awal 1970-an, telah memunculkan kelompok-kelompok kaya baru dan para cukong. Dan pada akhirnya menciptakan kesenjangan sosial yang berupa jurang antara kaum kaya dengan kaum miskin dalam bentuk-bentuk yang amat menyolok. Etalase besar kesenjangan sosial itu adalah Jakarta sendiri, ibukota negara.
Ali Sadikin dan jurang sosial. Di bawah penanganan Gubernur Ali Sadikin, agak di luar dugaan semula, ibukota melesat ke depan dalam penampilan kemajuan kasat mata. Bangunan-bangunan baru menjulang ke atas dengan megah, jalan-jalan utama diperlebar, banyak gang dan lorong-lorong becek dirubah menjadi gang-gang beton. Keberhasilan Ali Sadikin dalam membangun Jakarta secara fisik itu, ditopang oleh keberhasilannya menggali dana inkonvensional melalui legalisasi perjudian-perjudian resmi, mulai dari kasino-kasino untuk pengunjung eksklusif, tempat perjudian kelas menengah yang lebih terbuka untuk umum, hingga kepada judi massal toto dan kupon hwa-hwee yang menciptakan Jakarta sebagai kasino besar dengan ratusan ribu penjudi setiap malam. Dilematis. Hasilnya dimaksudkan untuk membangun Jakarta dan tentunya juga untuk menyejahterakan rakyat, tapi pada sisi lain terjadi proses pemiskinan akibat tersedotnya uang masyarakat ke tangan para cukong perjudian dalam epidemi demam judi massal. Biaya sosial psikologisnya pun tak terhitung lagi. Mungkin Ali Sadikin tak cermat menghitung aspek yang satu ini.
Pada saat yang bersamaan, dengan terciptanya kelompok kaya baru akibat cipratan rezeki awal pembangunan ekonomi, kebutuhan-kebutuhan baru golongan baru itu telah mendorong dan menjepit kalangan rakyat bawah.
Bangunan baru dan perumahan-perumahan mewah yang menjadi kebutuhan golongan kaya menyebabkan tergusurnya rakyat kecil ini dari tanah mereka. Semestinya ini bisa menjadi sarana pemerataan rezeki bagi rakyat yang tanahnya terpakai, tetapi dalam realita menurut angka-angka yang ada, ganti rugi adalah amat tidak layak. Bahkan, lebih dari itu, pembebasan tanah kerap juga harus mengalirkan darah dan merenggut nyawa kalangan bawah, karena digunakannya kekerasan oleh para penguasa. Untuk berbagai hal lain, Ali Sadikin berhasil, tetapi untuk yang satu ini, terkait ketidakadilan terhadap rakyat kecil dan terbiarkannya rakyat kalangan bawah tertindas demi pembangunan fisik Jakarta, rapor jenderal marinir ini merah.
Dan apa yang terjadi di Jakarta ini, mulai dari praktek perjudian hingga gaya konsumtif dan kesenjangan sosial, tak terhindarkan lagi menjalar ke seluruh penjuru tanah air, terutama di kota-kota besar seperti Bandung, Surabaya hingga kota-kota besar luar Jawa. Menjadi persoalan nasional yang baru dan berkepanjangan hingga kini.
Kesenjangan sosial akibat ketidak adilan menyebabkan keresahan sosial. Dan keresahan sosial adalah pintu masuk menuju kerusuhan sosial. Kritik-kritik dan peringatan para mahasiswa yang menyadari dan memahami situasi, tak mendapat respon yang layak dari kalangan kekuasaan. Penguasa yang terlalu sensitif terhadap kritik dan bagaikan berkaca mata kuda dalam memandang persoalan, senantiasa menafsirkan peringatan-peringatan dini yang bernada kritik sebagai bagian dari konspirasi untuk mendiskreditkan kekuasaan dan bahkan dianggap sebagai bagian dari pergulatan politik ataupun pergulatan dalam tubuh kekuasaan sendiri dalam rangka perebutan posisi kekuasaan.
Salah satu kerusuhan sosial yang terjadi adalah Peristiwa 5 Agustus 1973 di Bandung, yang sepintas seakan peristiwa rasial, tetapi esensinya menurut para mahasiswa kritis dari kampus-kampus Bandung, merupakan akibat dari kepincangan-kepincangan sosial yang tercipta di tengah masyarakat. “Di satu pihak lapisan terbesar masyarakat luas masih berada dalam keadaan hidup prihatin, tapi di pihak lain lapisan kecil yang menjadi penikmat hasil-hasil pembangunan menunjukkan rasa mewah yang berkelebihan dalam sikap hidup yang tak menggambarkan rasa senasib sebangsa”. Pernyataan mahasiswa Bandung itu pada hakekatnya menunjukkan betapa tujuan pembangunan bagi rakyat banyak, sejauh ini belum lah tercapai.
Setelah terjadinya Peristiwa 5 Agustus 1973, seakan terjadi suatu proses ‘pemanasan’ di tengah masyarakat maupun dalam kehidupan sosial politik. Selain karena adanya penangkapan-penangkapan terhadap tokoh-tokoh organisasi kepemudaan (non mahasiswa) di Bandung sebagai ekor peristiwa, kalangan penguasa militer bersama birokrasi pemerintahan dalam negeri melakukan beberapa tindakan-tindakan absurd baru.
Permusuhan dengan generasi muda. Kembali, yang menjadi sasaran tindakan absurd baru itu, adalah kalangan generasi muda, khususnya terhadap mahasiswa. Seolah untuk mencari-cari cara untuk menjelekkan mahasiswa dan generasi muda, kalau bukan malah mencari gara-gara, kembali para penguasa –kali ini tanpa pihak kepolisian– menjalankan razia rambut gondrong dengan alasan pelaku-pelaku kerusuhan sosial 5 Agustus kebanyakan pemuda-pemuda berambut gondrong. Lalu pihak P&K juga melancarkan razia anti rambut gondrong dengan sasaran siswa-siswa SLTA di Bandung. Ini kembali menyulut reaksi dan kritik mahasiswa Bandung. Ternyata kampanye anti gondrong dengan alasan-alasan yang sekaligus merendahkan gambaran moral generasi muda, berlangsung di berbagai kota di Indonesia. Menteri Dalam Negeri Amirmahmud –seorang jenderal di posisi birokrasi sipil– yang sejak tahun 1972 sudah mencanangkan permusuhan kepada rambut gondrong, mengulangi ucapan-ucapan keras mengenai rambut gondrong di tahun 1973 yang disusul kelatahan aparat di bawahnya untuk mewujudkan kebencian itu dalam tindakan-tindakan pemberantasan. Di Surabaya 12 Oktober 1973, giliran Angkatan Laut menampilkan sikap permusuhan dengan menggunting rambut gondrong dua mahasiswa ITS yang bertamu sebagai undangan Akabri Laut, Morokrembangan, dan menyulut protes.
Bukannya tak ada usaha untuk merajut kembali hubungan partnership Perguruan Tinggi dengan ABRI. Upaya semacam itu terutama datang dari kalangan tentara Angkatan 45 dan generasi muda mahasiswa yang berwawasan masa depan kehidupan bangsa berporoskan manajemen bangsa yang kuat dipadu intelektualisme idealistik dan profesional. Tapi tampaknya usaha itu masih sia-sia.
Secara simultan, suatu rasa anti Jepang yang sudah terasa tanda-tandanya sejak bulan-bulan awal tahun 1973, lebih mengkristal dan meningkat di akhir Agustus, di Bandung maupun di Jakarta. Sikap anti Jepang ini sebenarnya tak terlepas dari kritik masyarakat yang disepakati oleh para mahasiswa dengan menempatkan diri di depan dalam barisan pengeritik, terhadap kebijaksanaan pemerintah dalam masalah penanaman modal asing yang begitu longgar terhadap pihak asing namun tak adil terhadap pengusaha domestik. Dan di antara pihak asing, para pengusaha Jepang lah yang paling disorot karena dalam kenyataan mereka betul-betul berperilaku murni sebagai ‘economicanimal’. Hubungan mereka dengan Indonesia, betul-betul hubungan ekonomi belaka tanpa ada hubungan lain seperti hubungan pertukaran kebudayaan dan pendidikan seperti yang dilakukan negara-negara Barat. Tapi beberapa kalangan pengusaha Jepang justru menganggap kritik-kritik terhadap mereka di Indonesia terlalu politis, sehingga ada cetusan balik bahwa orang Indonesia itu ‘politicanimal’.