Tag Archives: Hartini Soekarno

The Stories Ever Told: Soeharto dan Para Presiden Indonesia (2)

TUDINGAN bahwa mahasiswa pergerakan 1966 terperangkap jalan pikiran barat –tepatnya jalan pikiran imperialis dan neo kolonialisme– sehingga tidak memahami revolusi, antara lain dinyatakan langsung Soekarno dalam suatu pertemuan dengan tokoh-tokoh KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) 18 Januari 1966. Bung Karno marah-marah karena ada corat-coret yang menyebut salah satu isterinya, Hartini Soekarno, sebagai “Gerwani Agung”. Gerwani adalah organisasi perempuan onderbouw PKI yang kala itu dilekati dengan berbagai konotasi buruk, termasuk perilaku a-susila dalam peristiwa di Lubang Buaya 1 Oktober 1965. Wajar kalau Soekarno begitu marah bila isterinya disebut ‘Gerwani Agung’. Salah satu anggota KAMI dari Jakarta menjelaskan kepada Soekarno bahwa kalau ada ekses-ekses yang terjadi dalam aksi-aksi mahasiswa, semisal corat-coret dengan kata-kata kotor, itu adalah pekerjaan tangan-tangan kotor yang menyusup ke dalam barisan mahasiswa. Tokoh-tokoh KAMI yang hadir kala itu antara lain, Cosmas Batubara, Mar’ie Muhammad, David Napitupulu, Lim Bian koen, Elyas, Abdul Gafur, Firdaus Wajdi dan Djoni Sunarja.

Meski mahasiswa waktu itu sudah sangat berani melawan Soekarno melalui gerakan-gerakan turun ke jalan, yang kerap kali disebut ‘parlemen jalanan’, tak urung menurut salah seorang tokoh KAMI, David Napitupulu, tokoh-tokoh mahasiswa itu sempat juga agak ciut nyalinya ketika berhadapan langsung dengan Soekarno. Padahal itu pertemuan yang sudah kedua kali. David bercerita, Soekarno masih berhasil menunjukkan wibawa dan membuat beberapa tokoh mahasiswa ‘melipatkan’ dan merapatkan tangan di depan bagian bawah perut dengan santun.

KEMARAHAN SOEHARTO. Suatu ketika ia pernah menanggapi ucapan kritis dari Adnan Buyung Nasution dari KASI, dengan emosional, dalam pertemuan di Gedung Presidium Kabinet 13 Juni 1967. Buyung menggambarkan bahwa di mata rakyat saat itu, ABRI itu rakus. Soeharto menjawab dengan keras “kalau bukan saudara yang mengatakan hal ini, pasti sudah saya tempeleng”. Karikatur 1967, Hariyadi S.

Kala musim mulai berganti. Masih pada awal masa kekuasaannya, Jenderal Soeharto sudah mulai terbiasa marah-marah kepada mahasiswa dan kalangan kesatuan aksi, ‘partner’ penopangnya menuju kekuasaan. Suatu ketika ia pernah menanggapi ucapan kritis dari Adnan Buyung Nasution dari KASI, dengan emosional, dalam pertemuan di Gedung Presidium Kabinet 13 Juni 1967. Buyung menggambarkan bahwa di mata rakyat saat itu, ABRI itu rakus. Soeharto menjawab dengan keras “kalau bukan saudara yang mengatakan hal ini, pasti sudah saya tempeleng”. Dan pada kesempatan lain, 8 Nopember 1967, sekali lagi ia menunjukkan sikap yang telah berubah ketika menghadapi demonstrasi massa KAMI, KAPI dan KAPPI di depan Gedung Presidium Kabinet Jalan Merdeka Barat, yang meminta perhatiannya selaku Pejabat Presiden mengenai makin melonjaknya harga beras. Ia membiarkanmassa menunggu dulu dua jam lamanya, sebelum menemui mereka. Dengan nada yang terasa agak ketus, ia berkata kepadamassa yang dulu ikut mendukungnya menuju istana dengan menjatuhkan Soekarno, “Kalau kesatuan aksi bermaksud menindak orang yang bertanggungjawab atas kesukaran hidup dewasa ini, maka sayalah orangnya yang harus ditindak”.

Reaksi Soeharto yang biasanya tenang dan murah senyum kepada massa mahasiswa dan pelajar di tahun sebelumnya itu, cukup mengejutkan banyak orang. Arief Budiman, salah seorang tokoh terkemuka perjuangan 1966, kemudian menanggapi ‘insiden’ itu dengan nada pahit. “Dia seakan-akan menghadapi para demonstran sebagai ‘pemuda-pemuda iseng’ yang mengganggu kerjanya”, kata Arief. “Dan sikapnya yang menantang para pemuda itu, sungguh-sungguh tidak simpatik. Parapemuda itu datang karena penderitaan yang tak teratasi lagi”. Mereka tahu bahwa pak Harto berusaha untuk mengatasi kesulitan-kesulitan itu, “tapi mereka juga tahu banyak para pembantu pak Harto hidup bermewah-mewah dari hasil korupsinya. Barangkali mereka tak tahu bagaimana orang-orang itu berkorupsi, mereka tak punya dokumen-dokumennya. Tapi dengan logika yang elementer saja, melihat kehidupan pribadi mereka dengan rumah yang mewah, dengan mobil berbiji-biji dan membandingkannya dengan gaji yang mereka seharusnya terima, segera dapat disimpulkan bahwa di balik semua ini pasti ada apa-apanya”.

Panglima Kodam Jaya, Brigjen Amirmahmud, yang dari dulu, sejak zaman Soekarno belum jatuh, memang kurang bersimpati kepada gerakan-gerakan ekstra parlementer mahasiswa dan pelajar gerakan 1966, dengan gesit mengeluarkan larangan berdemonstrasi. Ia agaknya lupa bahwa larangan berdemonstrasi yang pernah dikeluarkannya setahun sebelumnya belum dicabut. Tapi kali ini, larangan demonstrasi yang dikeluarkannya betul-betul njlimet memperinci sampai kepada apa saja yang tidak boleh dilakukan: menyetop kendaraan dan mengambil kendaraan pemerintah maupun milik pribadi secara paksa, main hakim sendiri, pengeroyokan, penyerbuan dan pendudukan tempat kediaman maupun tempat kerja dan sebagainya yang semua mengarah kepada contoh-contoh yang lazim terjadi dalam masa demonstrasi tahun 1966. Tanpa larangan ala Amirmahmud pun, sebenarnya, para mahasiswa juga sepakat bahwa apa yang sering dilakukan sebagai ‘ekses’ di masa lampau itu hendaknya sudah diakhiri, dan ekses seperti itu kerapkali dilontarkan sebagai kritik internal.

Mahasiswa pun sering mengeritik perilaku tentara yang juga punya ‘kebiasaan’ meminjam dan menyetop kendaraan umum untuk dipinjam guna kepentingan ‘dinas’, sementara sebaliknya mobil-mobil tentara sendiri justru digunakan untuk ‘ngobjek’ mengangkut barang-barang milik swasta. Tetapi cara merumuskan larangan-larangan itu dalam pengumuman Kodam Jaya itu ‘berhasil’ menggambarkan perbuatan-perbuatan itu bukan sekedar ‘ekses’, melainkan sebagai perbuatan yang berkonotasi pidana, yang menurut Arief adalah penggambaran sebagai perampokan. Sikap Soeharto dan antisipasi Amirmahmud yang betul-betul menunjukkan karakter militer itu, sekaligus menunjukkan bahwa kini setelah berkuasa mereka tak membutuhkan lagi gerakan ekstra parlementer sebagai alat yang setahun sebelumnya dimanfaatkan dan diprovokasi dari belakang layar untuk menekan Soekarno. Bahkan Soeharto mulai menempatkan kaum muda ini sebagai onak duri yang harus mulai disingkirkan. Dan ini semua akan terbukti dengan apa yang dilakukannya pada tahun 1970-an, terutama di tahun 1974 dan 1978.

Terlepas dari insiden-insiden tersebut, hingga tahun 1970, pada hakekatnya tingkat kepercayaan kepada Jenderal Soeharto masih cukup tinggi. Ada beberapa kisah kecil yang menunjukkan dirinya masih patut diteladani pada tahun-tahun awal penampilannya sebagai pemimpin bangsa dan negara. Sebuah sketsa peristiwa disajikan di pertengahan 1968 oleh Mingguan Mahasiswa Indonesia, sebagai berikut ini. “Kini anak-anak penggede Orde Baru mulai banyak tingkah”. Tiap hari koran-koran Jakarta mengecam aksi ngebut di jalan. Dulu, Guntur Soekarnoputera juga senang ngebut dengan mobilnya di Bandung, tanpa ada yang berani menegur. Polisi lalu-lintas pasca Soekarno ini dikecam karena tidak berani bertindak. Suatu hari seorang wartawan datang pada perwira tinggi polisi dan bertanya tentang soal ini. “Bagaimana anak buah saya berani bertindak? Suatu kali polisi lalu lintas menegur salah seorang pemuda yang melanggar lalu lintas. Apa jawabnya? ‘Kamu tidak tahu? Saya anak menteri luar negeri!’….”, demikian sang perwira menuturkan. Diceritakan seterusnya, “Anak Jenderal Soeharto juga ditangkap polisi lalu lintas. Tetapi sang ayah bersikap tegas.  Anaknya tetap dibiarkan diadili. Dan di rumah, ia dimarahi oleh ayahnya”. Bahkan ada yang menyaksikan bahwa ‘rebewijs’ (SIM atau Surat Izin Mengemudi) anaknya itu disobek. “Tindakan Jenderal Soeharto terhadap anaknya patut dicontoh oleh penggede-penggede Orde Baru yang lain”, demikian dituliskan. Dianjurkan agar putera para pembesar, “jangan menyalahgunakan kekuasaan bapaknya”.

Sekitar tiga puluh tahun kemudian, kala musim telah berganti, Presiden Soeharto ‘memerintahkan’ Fuad Bawazier, Dirjen Pajak yang kemudian naik menjadi Menteri Keuangan, untuk membebaskan bea masuk (pajak) bagi mobil-mobil buildup yang diimpor dari Korea Selatan sebagai ‘modal dan percontohan awal’ salah seorang puteranya atas nama proyek mobil nasional. Dengan patuh, sang menteri melaksanakan perintah, yang di kemudian hari menjadi persoalan yang sulit diselesaikan. Mobil nasional itu sendiri tak pernah terwujud diproduksi. Adapun Fuad Bawazier, kini menjadi tokoh penting salah satu partai, dan kerap kali berbicara cukup vokal juga.

Bila sang Presiden marah. Kemarahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono beberapa pekan lalu, ketika menanggapi SMS yang dianggapnya fitnah –termasuk serangan terhadap kehidupan pribadinya maupun keluarganya– mengingatkan kepada kemarahan serupa yang pernah ditunjukkan Jenderal Soeharto di tahun 1972 saat memasuki tahun ke-6 kekuasaannya.

Menanggapi gerakan-gerakan mahasiswa yang memprotes pembangunan Proyek Taman Mini Indonesia Indah, Presiden Soeharto melontarkan ucapan-ucapan keras, tatkala berpidato tanpa teks pada peresmian Rumah Sakit Pertamina yang modern, 6 Januari 1972. Sama dengan Susilo Bambang Yudhoyono yang sering mengeluhkan penggunaan demokrasi yang kebablasan, kala itu Soeharto juga mengecam hak demokrasi yang dikatakannya dilakukan secara berlebih-lebihan. Bukan sekedar mengecam, Jenderal Soeharto juga sekaligus memperingatkan akan menghantam dan menindak. “Perbedaan pendapat memang merupakan bumbu demokrasi”, ujar Soeharto, “Tetapi, harus dalam batas-batas keserasian dan jangan hanya ingin menggunakannya sehingga timbul kekacauan. Khususnya, dalam menghadapi proyek Miniatur Indonesia”. Mereka yang berada tak jauh dari presiden, bisa melihat dengan jelas betapa pada waktu itu wajah Soeharto tampak berkeringat. Pada pokoknya, menurut buku Menyilang Jalan Kekuasaan Militer Otoriter (Rum Aly, Penerbit Buku Kompas, 2004), Presiden Soeharto sebagai suami pemrakarsa TMII, Siti Suhartinah Soeharto, katanya  sangat mengetahui secara jelas tentang rencana TMII dan membenarkan pembangunan proyek itu.

Beberapa waktu sebelumnya, kepada Pangkopkamtib Jenderal Soemitro, yang bertanya kepadanya, Soeharto menegaskan bahwa TMII bukan proyek pemerintah, tak ada bantuan dari APBN “karena kita tak ada uang”. Itu proyek swasta, yang bisa saja dibantu secara sukarela oleh para pengusaha. Jenderal Soemitro bertanya, apakah pengusaha-pengusaha swasta itu perlu diberi fasilitas khusus? Soeharto menjawab, “Tidak. Tidak perlu”. Soemitro bertanya lagi, apakah para gubernur diwajibkan membantu Proyek Mini? “Tidak, tidak bisa. Provinsi tidak punya uang. Mereka punya banyak masalah. Uang mereka terbatas”, tegas Soeharto. Nyatanya, para gubernur atas arahan akrobatik Menteri Dalam Negeri Amirmahmud, berkecenderungan kuat untuk membantu dengan segala cara. Dan itu diikrarkan hanya beberapa waktu sebelumnya di bulan Desember 1971. Inilah yang antara lain diprotes para mahasiswa.

Berlanjut ke Bagian 3.

Kisah Tiga Jenderal Dalam Pusaran Peristiwa 11 Maret 1966 (3)

“Suatu hal lain yang mungkin saja tak bisa lagi diklarifikasi, karena ketiga Jenderal Super Semar telah tiada dan Soeharto sendiri sejauh ini hingga akhir hayatnya berada dalam kondisi ‘tak mau’ dan ‘tak bisa’ diklarifikasi, adalah apakah peristiwa lahirnya Surat Perintah 11 Maret itu adalah by accident terjadi karena situasi mendadak di tanggal 11 Maret itu, ataukah ada semacam setting sebelumnya?”. “Terlepas dari kontroversi yang ada, bagi Drs Achadi, mantan menteri era Soekarno, sebenarnya yang merupakan persoalan lebih penting adalah bagaimana penafsiran Soeharto dalam pelaksanaan dan penggunaan Surat Perintah 11 Maret itu secara faktual, bukan hal-hal lainnya sebagaimana yang banyak menjadi bahan kontroversi berkepanjangan beberapa tahun terakhir”.

Istana Bogor, 11 Maret 1966, pukul 13.00. Tiga jenderal AD tiba di sana dengan berkendaraan sebuah jeep yang dikemudikan sendiri oleh Brigadir Jenderal Muhammad Jusuf, Menteri Perindustrian Ringan. Dua lainnya adalah Mayor Jenderal Basuki Rachmat, Menteri Veteran dan Demobilisasi, serta Brigadir Jenderal Amirmahmud, Panglima Kodam Jaya. Keputusan berangkat ke Bogor menemui Soekarno diambil setelah Basuki Rachmat dan Jusuf mendengar detail persoalan tentang kenapa Soekarno tergesa-gesa berangkat ke Bogor dengan helikopter. Meskipun hadir dalam rapat kabinet, kedua menteri itu tak tahu persis mengenai adanya pasukan tak kenal mendekati istana dan tak terlalu mengetahui ketegangan yang tercipta oleh Brigjen Saboer dan Brigjen Amirmahmud.

Sebelum berangkat ke Bogor, tiga jenderal ini menemui Jenderal Soeharto di kediaman Jalan Haji Agus Salim dan diterima di kamar tidur Soeharto yang waktu itu digambarkan sedang demam. Soeharto menyetujui keberangkatan mereka bertiga ke Bogor, dan menurut Jusuf, Soeharto menitipkan satu pesan yang jelas dan tegas –berbeda dengan beberapa versi lain yang diperhalus– yaitu bahwa Soeharto “bersedia memikul tanggungjawab apabila kewenangan untuk itu diberikan kepadanya untuk melaksanakan stabilitas keamanan dan politik berdasarkan Tritura”.

Soekarno yang pada pagi harinya sempat panik di Jakarta dan tergesa-gesa berangkat ke Bogor, sempat meneruskan istirahat siangnya dan membiarkan tiga jenderal itu menunggu sampai pukul 14.30 sebelum menerima mereka. Soekarno bisa tampil cukup ‘tenang’ tatkala pesan Jenderal Soeharto disampaikan padanya, namun menurut gambaran Muhammad Jusuf terjadi “dialog yang begitu berat dan kadang-kadang tegang”. Tidak seperti pada masa-masa sebelumnya, dimana dalam setiap pembicaraan Soekarno selalu dituruti, kali ini para jenderal itu lebih berani berargumentasi. Ini ada dampaknya terhadap Soekarno yang terbiasa diiyakan, yakni Soekarno merasa sedikit tertekan oleh para jenderal itu. Soekarno akhirnya menyetujui suatu pemberian kewenangan kepada Soeharto. Penyusunan konsepnya memakan waktu cukup lama dan berkali-kali mengalami perubahan. Menurut para jenderal itu kemudian, perubahan atas konsep juga termasuk oleh tiga Waperdam yang datang kemudian, lalu mendampingi Soekarno dalam pembicaraan.

Dalam ingatan Jusuf, coretan-coretan perubahan dari Soebandrio dan Chairul Saleh, mengecilkan kewenangan yang akan diberikan kepada Soeharto. Dalam catatan Jenderal Nasution, butir yang berasal dari Soebandrio adalah tentang keharusan Menteri Panglima AD untuk berkoordinasi dengan para panglima angkatan lainnya dalam pelaksanaan perintah. Sementara itu, menurut Soebandrio sendiri, sewaktu dirinya bersama dua waperdam lainnya bergabung, pertemuan sudah menghasilkan suatu konsep. Soebandrio menuturkan, ”Saya masuk ruang pertemuan, Bung Karno sedang membaca surat”. Basuki Rachmat, Amirmahmud dan Muhammad Jusuf duduk di depan Soekarno. ”Lantas saya disodori surat yang dibaca Bung Karno, sedangkan Chairul Saleh duduk di samping saya. Isi persisnya saya sudah lupa. Tetapi intinya ada empat hal. Presiden Soekarno memberi mandat kepada Soeharto untuk: Pertama, mengamankan wilayah Jakarta dan sekitarnya. Kedua, penerima mandat wajib melaporkan kepada presiden atas semua tindakan yang dilaksanakan. Ketiga, penerima mandat wajib mengamankan presiden serta seluruh keluarganya. Keempat, penerima mandat wajib melestarikan ajaran Bung Karno. Soal urutannya, mungkin terbalik-balik, namun intinya berisi seperti itu”.

Lebih jauh, Soebandrio menuturkan –dalam naskah ‘Kesaksianku tentang G30S’– bahwa Soekarno bertanya kepadanya, “Bagaimana, Ban? Kau setuju?”. Beberapa saat Soebandrio diam. ”Saya pikir, Bung Karno hanya mengharapkan saya menyatakan setuju. Padahal, dalam hati saya tidak setuju”. Soebandrio yang agaknya terkejut oleh peristiwa di Jakarta pagi dan siangnya, masih belum pulih semangatnya, meskipun ia tak mengakui dirinya takut, termasuk ketika ia berkali-kali merasa dipelototi oleh para jenderal itu. “Saya merasa Bung Karno sudah ditekan. Terbukti ada kalimat ‘Mengamankan pribadi presiden dan keluarganya’. Artinya keselamatan presiden terancam oleh pihak yang menekan agar surat tersebut dikeluarkan”. Lama terdiam, akhirnya Soebandrio ditanyai lagi oleh Soekarno, “Bagaimana, Ban? Setuju?”. Soebandrio menjawab, “Ya, bagaimana. Bisa berbuat apa saya? Bung Karno sudah berunding tanpa kami”, yang dipotong Soekarno, “Tapi, kau setuju?”. Soebandrio menjawab lagi, “Kalau bisa perintah lisan saja”. Soebandrio melirik, “tiga jenderal itu melotot ke arah saya. Tetapi saya tidak takut. Mereka pasti geram mendengar kalimat saya terakhir”. Lantas Amirmahmud menyela, “Bapak Presiden  tanda tangan saja. Bismillah saja, pak”. Soebandrio menduga Soekarno sudah ditekan oleh tiga jenderal itu saat berunding tadi. “Raut wajahnya terlihat ragu-ragu, tetapi seperti mengharapkan dukungan kami agar setuju. Akhirnya saya setuju. Chairul dan Leimena juga menyatakan setuju. Bung Karno lantas teken”.

Seingat Hartini Soekarno, sebelum menandatangani Surat Perintah 11 Maret itu, Soekarno sempat bertanya kepada Leimena, yang dijawab dalam bahasa Belanda, “Tak ada komentar, saya serahkan sepenuhnya kepada anda”. Sedang dari Chairul Saleh ada anjuran untuk berdoa dulu memohon petunjukNya. Terakhir dari Soebandrio ada komentar, juga dalam bahasa Belanda, “Kalau anda menandatanganinya, sama saja masuk perangkap”. Pukul 20.30 para jenderal itu kembali ke Jakarta dengan membawa Surat Perintah 11 Maret yang sudah ditandatangani Soekarno. Satu tembusan karbonnya diambil Brigjen Jusuf dari Saboer, sementara Saboer sendiri menyimpan tembusan lainnya, yang kesemuanya tanpa tanda tangan Soekarno.

Belakangan, terutama setelah lengsernya Soeharto dari kekuasaannya, terjadi kesimpangsiuran mengenai Surat Perintah 11 Maret ini. Terutama karena dokumen asli yang ditandatangani Soekarno dinyatakan hilang. Dikabarkan bahwa naskah dokumen asli ada di tangan Jenderal Jusuf. Menjadi pertanyaan, bagaimana mungkin dokumen asli itu bisa ada di tangan Jusuf, karena dokumen itu sudah diserahkan langsung oleh ketiga jenderal itu ke tangan Jenderal Soeharto di kamar tidur sang jenderal di Jalan Haji Agus Salim. Jusuf sendiri, hanya memegang tembusan karbon surat perintah itu yang tanpa tanda tangan Soekarno. ‘Hilangnya’ dokumen asli itu menimbulkan tuduhan bahwa ada manipulasi atas Surat Perintah 11 Maret, yaitu dengan ‘memotong’ bagian batas waktu berlaku Surat Perintah tersebut, kemudian dicopy lalu aslinya disembunyikan, yang kesemuanya dilakukan atas ‘perintah’ Soeharto.

Menurut Sudharmono SH yang pernah menjadi Wakil Presiden dan dekat dengan Soeharto, dalam suatu percakapan dengan Rum Aly (penulis buku ‘Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1965’) mengatakan hilangnya dokumen itu adalah karena terselip dan sepenuhnya kealpaan manusiawi dari Soeharto sendiri. Tetapi sepanjang pokok-pokok Surat Perintah 11 Maret sebagaimana yang diingat Soebandrio tampaknya tak ada perbedaan esensial dari yang ada dalam versi Sekretariat Negara dan versi Jenderal Jusuf. Versi yang ada dalam buku ‘memoar’ Jenderal Jusuf yang disusun oleh Atmadji Sumarkidjo, ‘Jenderal M. Jusuf, Panglima Para Prajurit’ (2006, Penerbit Kata Hasta) adalah sebagai berikut ini. Untuk dan atas nama Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi, Soeharto dapat (1) Mengambil segala tindakan yang dianggap perlu, untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintahan dan jalannya revolusi, serta menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Presiden/ Panglima Tertinggi/ Pemimpin Besar Revolusi/ Mandataris MPRS demi untuk keutuhan bangsa dan Negara Republik Indonesia, dan melaksanakan dengan pasti segala ajaran Pemimpin Besar Revolusi; (2) Mengadakan koordinasi pelaksanaan perintah dengan Panglima-panglima angkatan lain dengan sebaik-baiknya; (3) Supaya melaporkan segala sesuatu yang bersangkut-paut dalam tugas dan tanggungjawabnya  seperti tersebut di atas. Sampai meninggal dunia 7 September 2004, Jenderal Jusuf tak pernah memberikan penegasan mengenai isu tentang keberadaan dokumen asli Surat Perintah 11 Maret maupun mengenai tembusan karbon yang ada di tangannya.

Dalam memoar Jenderal Jusuf yang diterbitkan di tahun 2006 itu, soal dokumen asli itu maupun soal manipulasi isi surat perintah tersebut –bahwa surat perintah itu punya jangka waktu masa berlaku– tak dapat ditemukan pemaparannya. Kalau ada soal, kenapa Jenderal Jusuf  tetap menyimpannya rapat-rapat ? Seakan-akan masalah itu tersimpan dalam satu kotak Pandora, yang akan menyebarkan ‘malapetaka’ dan ‘kejahatan’ bila dibuka. Sementara itu, tokoh Partai Katolik Harry Tjan Silalahi yang dekat dengan Ali Moertopo, menyatakan bahwa ia sempat melihat sendiri asli Surat Perintah 11 Maret itu, terdiri dari dua halaman, dan bersaksi bahwa sepanjang yang ia ketahui tak pernah ada manipulasi. Bahwa dokumen asli surat itu hilang, ia menunjuk pada kenyataan buruknya kebiasaan dalam administrasi pengarsipan di Indonesia, karena naskah asli Pembukaan UUD 1945 pun hilang tak diketahui sampai sekarang (Wawancara, Rum Aly).

Suatu hal lain yang mungkin saja tak bisa lagi diklarifikasi, karena ketiga Jenderal Super Semar telah tiada dan Soeharto sendiri sejauh ini hingga akhir hayatnya berada dalam kondisi ‘tak mau’ dan ‘tak bisa’ diklarifikasi, adalah apakah peristiwa lahirnya Surat Perintah 11 Maret itu adalah by accident terjadi karena situasi mendadak di tanggal 11 Maret itu, ataukah ada semacam setting sebelumnya? Pertanyaan ini muncul, karena menurut Soeripto SH, yang kala itu berkecimpung di lingkungan intelijen –dan berkomunikasi intensif dengan Yoga Sugama, Asisten I di Kostrad– pada tanggal 10 Maret pukul 21.00 malam mendengar dari seorang Letnan Kolonel Angkatan Darat bahwa esok hari Soekarno akan menyerahkan kekuasaan kepada Mayor Jenderal Soeharto. Artinya fakta kehadiran dari apa yang disebut sebagai pasukan tak dikenal di depan istana, bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri. Terlepas dari kontroversi yang ada, bagi Drs Achadi, mantan menteri era Soekarno, sebenarnya yang merupakan persoalan lebih penting adalah bagaimana penafsiran Soeharto dalam pelaksanaan dan penggunaan Surat Perintah 11 Maret itu secara faktual, bukan hal-hal lainnya sebagaimana yang banyak menjadi bahan kontroversi berkepanjangan beberapa tahun terakhir.

Berlanjut ke Bagian 4

Sejarah Persahabatan Korupsi dan Birokrasi (5)

Syaitan tak pernah letih berbisik

Kasus-kasus yang lebih berat dan besar adalah dijatuhinya Sekjen Departemen Agama Kafrawi dengan vonis penjara karena penggelapan uang serta hukuman 6 tahun penjara kepada bekas Menteri Agama Wahab Wahib karena berbagai korupsi finansial dan moril. Perlu dicatat bahwa Wahab Wahib adalah Menteri Agama yang duduk dalam kabinet masih pada masa Presiden Soekarno. Kemudian ada lagi kasus manipulasi uang naik haji 1967/1968 di Direktorat Jenderal Haji sebesar Rp 76 juta yang digunakan untuk membuka usaha dagang swasta. Tokoh-tokoh tertentu juga tercatat terlibat dalam penggelapan dana pembangunan Mesjid Istiqlal. Di berbagai daerah pun tidak kurang terjadi korupsi di lingkungan wewenang Departemen Agama. Antara lain, korupsi di Dinas Pendidikan Agama Klaten yang meliputi jutaan rupiah pada tahun 1969. Dan pada tahun yang sama, terjadi pula korupsi Rp 18 juta di kantor Dinas Pendidikan Agama Bogor. Penyelewengan-penyelewengan lain terjadi di seluruh penjuru tanah air, di Banjarmasin, Purbolinggo, Purwokerto, Karang Anyar Surakarta, Agam, Padang dan berbagai tempat lainnya. “Kenyataan bahwa persoalan yang menimpa Departemen Agama”, tulis  Harian Mertju Suar (22 April 1969), “akan menimpa kita bersama akhirnya, seluruh umat Islam akan mendapat penilaian negatif pula, apalagi dari golongan-golongan lain. Dan kepercayaan umat Islam akan hilang”. Menurut Bazor, berbagai penyelewengan bisa terjadi tak lain karena administrasi Departemen Agama tidak beres dan dipergunakan untuk kepentingan konco-konco golongan sendiri secara ilegal. Instansi-instansi pendidikan agama membagi-bagikan ijazah PGA (Pendidikan Guru Agama) kepada teman-teman golongannya tanpa ikut pelajaran atau ujian sebelumnya.

Departemen Agama saat itu dipimpin oleh Kyai HM Dahlan yang menggantikan Sjaifuddin Zuhri pada tahun-tahun awal orde baru. Zuhri sendiri masih sempat berada dalam kabinet Soekarno. Keduanya berasal dari partai politik Islam Nahdlatul Ulama (NU). Karena berbagai pertimbangan, termasuk pertimbangan solidaritas politik, banyak juga penyelewengan-penyelewengan di Departemen Agama yang didiamkan. Seperti umpamanya yang menurut Bazor terkait dengan Bendahara Ditjen Haji. Sang Bendahara tidak membukukan ongkos naik haji 1965/1966 sebesar Rp 40 milyar (uang lama) dan tahun 1966/1967 sebesar Rp 400 juta (uang baru). Dalam perubahan nilai mata uang tahun 1966, diterbitkan rupiah baru yang bernilai Rp 1 yang setara nilainya Rp 1.000 uang lama. Mereka yang terlibat dalam ‘kelalaian’ tersebut tidak diapa-apakan melainkan justru diberi tugas khusus ke luar negeri. Kemudian, jabatan Bendahara dirangkap oleh Dirjen Haji sendiri, suatu hal yang bertentangan dengan ketentuan yang ada. Dalam pemberitaan pers pada tahun-tahun berikutnya terlihat bahwa korupsi masih senantiasa terjadi di Departemen Agama. Syaitan tak pernah letih berbisik.

MANIPULASI dan penyelewengan di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan hingga tahun 1970-an dalam hal tertentu memiliki kemiripan dengan yang terjadi di Departemen Agama. Namun yang paling termasyhur adalah kasus CV Haruman. Penyelewengan yang terkait dengan CV Haruman sangat menakjubkan, bukan karena teknik korupsinya yang canggih, melainkan karena kevulgarannya yang luar biasa. Begitu kentara, begitu ceroboh dan terkesan sangat serampangan namun melibatkan jumlah uang yang spektakuler pada masanya dan tanda keunggulan seorang tokoh swasta yang tak berpendidikan tinggi terhadap pejabat-pejabat.

Perjalanan kasus CV Haruman paling lengkap bisa ditemui dalam berbagai penerbitan Mingguan Mahasiswa Indonesia. CV Haruman lahir di zaman kekuasaan orde lama dan kemudian cemerlang hingga masa orde baru, dan melibatkan nilai proyek bermilyar rupiah. CV Haruman yang telah berdiri sejak zaman orde lama itu didesas-desuskan punya hubungan antara lain dengan Nyonya Hartini Soekarno. Sejak masa orde lama itu CV Haruman telah melakukan pembangunan gedung-gedung P&K dengan menggunakan sistim voorfinanciering. Dalam sistim tersebut CV Haruman terlebih dahulu membangun gedung-gedung tanpa disediakan anggaran belanja, lalu setelah gedung-gedung tersebut selesai diajukan tagihan kepada pemerintah dengan harga indeks pada waktu tagihan diajukan. Bukan berdasarkan harga-harga pada saat kontrak ditandatangani. Pada umumnya serah terima gedung dan pembayarannya selalu berlangsung dengan lancar. Ini dimungkinkan oleh karena eratnya hubungan yang telah terjalin dengan beberapa pejabat. Kejayaan CV Haruman tembus hingga ke masa pemerintahan pasca Soekarno. Menteri Kesejahteraan Rakyat Idham Chalid pada tanggal 20 Januari 1968 pernah memerlukan mengirim surat kepada Menteri P&K yang isinya menyokong usaha-usaha CV Haruman dan meminta agar pembayaran-pembayaran dilancarkan jalannya. Pada pokoknya di berbagai instansi di pusat dan daerah CV Haruman yang dimiliki oleh pengusaha asal Leles, Garut, Idji Hatadji memiliki ‘sahabat-sahabat’ yang bisa melancarkan usahanya bukan hanya di P&K tetapi juga di Direktorat Jenderal Anggaran dan Jawatan Pekerjaan Umum, serta di kalangan perwira tentara.

Sistim voorfinanciering dan main sodor tagihan suatu ketika tidak begitu disenangi lagi oleh beberapa kalangan di P&K karena sudah berjalan di luar kendali sehingga tagihan menumpuk. Akhir tahun 1968 masih terdapat sisa tagihan sebesar Rp 185.200.150, setelah dibayar berangsur-angsur dari jumlah sebelumnya Rp 835.200.150. Ada dugaan kuat pula bahwa beberapa dari tagihan itu sebenarnya masih dengan nominal nilai rupiah lama yang hanya 1/1000 dari nilai rupiah baru, tetapi dibayar begitu saja sesuai nominal tercantum dengan memakai rupiah baru. Berarti ada yang dibayar dengan nilai yang dikatrol 1000 kali lebih besar dari seharusnya. Sementara itu CV Haruman terus membangun sejumlah gedung untuk P&K dengan pola yang sama dengan waktu yang lalu. Salah satunya adalah proyek Tutugan Leles yang berupa kampus senilai Rp 1,3 milyar setelah sebelumnya membangun proyek perumahan Cijagra. Kampus Leles semula ditawarkan kepada Universitas Padjadjaran tapi ditolak. Lewat pendekatan yang gencar, CV Haruman berhasil mendapat persetujuan sementara dari dua instansi yakni Direktorat Pendidikan Dasar serta Inspeksi Daerah Pendidikan Teknik Jawa Barat, untuk menerima kampus Leles. Persetujuan sementara itu diberikan sambil menunggu keputusan Menteri P&K. Persetujuan itu jelas tidak sah, karena sebenarnya tak ada rencana fisik dan anggaran untuk maksud tersebut. Mendasarkan diri kepada persetujuan sementara itu, CV Haruman berhasil memperoleh beberapa SKO (Surat Keputusan Otorisasi) keuangan dari Ditjen Pendidikan Dasar yang keseluruhannya berjumlah Rp 230 juta. Meskipun, belum ada penegasan dari pemerintah. Tapi penegasan persetujuan toh akhirnya muncul juga dari Menteri P&K Sanusi Hardjadinata yang mengirim surat kepada Dirjen Anggaran yang menyatakan mengakui proyek Leles. Sebelum surat menteri itu keluar CV Haruman telah berhasil lagi mengantongi SKO sebesar Rp 750 juta.

Akan tetapi dua bulan setelah persetujuan itu, jabatan Menteri P&K ditimbangterimakan pada menteri baru yaitu Mashuri SH. Dalam pada itu, SKO yang terakhir belum sempat dicairkan. Di bawah Menteri P&K yang baru persoalan SKO Haruman diselidiki dan terungkaplah hal-hal yang tidak beres. Prosedur pelaksanaan pembangunan yang dilakukan Haruman bertentangan dengan berbagai Kepres. Penggunaan sistem fait accompli dan voorfinanciering jelas melanggar segala ketentuan. Diputuskan untuk menunda pembayaran SKO yang Rp 750 juta. Ditemukan pula bahwa dari seluruh rencana bangunan CV Haruman yang sudah disahkan dan dibayar oleh P&K ternyata sebagian besar belum rampung, rata-rata hanya mencapai 75 persen. Seringkali di beberapa daerah, gedung-gedung telah diserahkan kepada pejabat setempat meski belum rampung. Biasanya gedung-gedung yang belum rampung itu tetap diterima tanpa protes dan mendapat persejutuan dari Jawatan Pekerjaan Umum setempat. Setiap pembayaran yang diterima tidak dipergunakan untuk menyelesaikan gedung-gedung yang sudah dikerjakannya sebagian saja, melainkan dipergunakan lagi membangun gedung baru untuk selanjutnya di fait accompli-kan lagi kepada PDK meskipun juga belum sepenuhnya rampung. Demikian dilakukan berulang-ulang sampai Haruman mempunyai modal yang cukup untuk membangun proyek Tutugan Leles. Proyek Tutugan Leles inilah yang kembali di-fait accompli-kannya ke P&K yang sebenarnya sudah setengah berhasil saat Sanusi masih menjadi menteri. Apa daya Sanusi diganti Mashuri SH.

Menghadapi penundaan pencairan SKO Rp 750 juta, CV Haruman mengerahkan segala daya termasuk upaya penyogokan-penyogokan kepada anggota DPR-GR. Namun satu kali ketemu batunya, ketika mencoba menyogok dr Isjwari anggota Komisi IX DPR-GR yang melakukan tugas peninjauan ke Leles. Wakil Ketua Komisi IX ini dihubungi ditempatnya menginap di Hotel Homann Bandung untuk diberi bingkisan berupa setumpuk uang. Ketika Mingguan Mahasiswa Indonesia menanyakan apakah ada anggota tim lainnya yang diberikan bingkisan dan apakah mereka menerimanya, Isjwari berkata “itu di luar pengetahuan saya, dan saya tidak tahu apakah ada yang menerimanya di belakang saya”. Sejumlah media pers juga berhasil digunakan untuk menggedor Menteri P&K Mashuri, akan tetapi Haruman juga berhadapan dengan setidaknya dua media pers yang tetap gigih bertahan membongkar permainan CV Haruman, yakni Harian Indonesia Raya dan Mingguan Mahasiswa Indonesia. Demikan berhasilnya Haruman menggarap pers sehingga dikenal adanya ‘wartawan Haruman’. Bahkan, diantaranya ada yang sampai pernah memberi julukan ‘Rockefeller Indonesia’ kepada Direktur CV Haruman Idji Hatadji. John Rockefeller adalah nama seorang mahajutawan Amerika Serikat yang banyak menyalurkan bantuan-bantuan secara internasional di berbagai bidang melalui Rockefeller Foundation. Memang sempat berhasil ditimbulkan kesan di tengah masyarakat bahwa gedung-gedung pendidikan yang diserahkan Haruman kepada pemerintah adalah sumbangan. Tidak banyak yang tahu bahwa gedung-gedung itu belakangan ditagih diam-diam setelah di-fait accompli-kan kepada P&K. Rahasia itu baru terbuka setelah diungkapkan oleh sebagian pers.

Di bulan Maret 1969, itu sepertinya soal Haruman mendekati suatu penyelesaian. Menteri P&K Mashuri menyatakan persoalannya sudah dilaporkan kepada Presiden Soeharto dan telah diserahkan kepada TPK (Team Pemberantasan Korupsi). Dengan itu, “diharapkan dari pemeriksaan kelak akan tersingkap pejabat-pejabat mana yang turut bermain dalam persoalan ini”. Ternyata tidak. Gagal mengupayakan perundingan baru dengan Menteri P&K, CV Haruman malah melakukan berbagai aksi perang urat syaraf dengan berita-berita akan melakukan penyitaan terhadap gedung-gedung dan perumahan yang telah dibangunnya dengan alasan P&K masih memiliki tunggakan pembayaran. Lalu dilontarkan kabar tentang adanya pesan khusus dari Presiden Soeharto melalui Menteri Kesejahteraan Sosial Idham Chalid agar proyek di Leles dilanjutkan. Serta, para jenderal yang membela Haruman dan sebagainya. Tersiar pula berita tentang adanya perundingan antara Idji Hatadji dengan Team Peneliti Bangunan-bangunan CV Haruman yang dibentuk dulu oleh Menteri Sanusi Hardjadinata –terdiri dari Kolonel CPM Pietojo, Letnan Kolonel CPM Jitno Kartawiria dan Harry Suriadijatno– dengan hasil yang menguntungkan CV Haruman: Bahwa ada negosiasi keringanan tagihan, namun proyek yang ada dilanjutkan pembangunannya dan akan dibayar penuh oleh P&K. Tapi ini dibantah Menteri P&K Mashuri yang merasa tidak pernah memberi tim tersebut wewenang berunding. Menteri Penerangan Budiardjo kemudian mengeluarkan pernyataan  bahwa sikap resmi pemerintah adalah sikap yang telah disampaikan Menteri Mashuri yang menolak Proyek Leles dan menyerahkan persoalan kepada TPK. Namun proses di TPK itu sendiri ternyata berkepanjangan dan menjadi tidak jelas akhirnya. Adalah kemudian instansi pajak yang ‘turun tangan’. Pada bulan Agustus 1970 instansi ini  ‘melumpuhkan’ CV Haruman dengan penyitaan sejumlah bangunan milik perusahaan tersebut karena ternyata telah menunggak pajak sebesar Rp.400 juta untuk tahun 1966, 1967, 1968 dan 1969. Tapi, di Indonesia banyak hal yang tak pernah betul-betul tuntas. Kasus CV Haruman demikian pula.

Berlanjut ke Bagian 6