Tag Archives: Budiman Sudjatmiko

Ratna Sarumpaet Dalam Gelembung dan Bingkai Prasangka Konspirasi

KASUS ‘berita’ penganiayaan perempuan aktivis yang kritis, Ratna Sarumpaet, tiba-tiba menjadi besar di tengah perhatian bangsa ini sedang terpusat pada bencana Palu-Sigi-Donggala. Kenapa menjadi besar? Tak lain karena muncul reaksi yang secara akumulatif overdosis –dari dua sisi perpihakan politik– terhadap pengakuan Ratna. Disertai dan diperkuat prasangka berlebihan di antara para pihak. Perempuan aktivis ini menyebut dirinya telah dianiaya di area terminal Bandara Husein Sastranegara Bandung 21 September. Tapi dibantahnya sendiri, Rabu 3 Oktober 2018, sehari setelah Prabowo Subianto, Amien Rais dan tokoh-tokoh kubu 02 menanggapi kasus tersebut dan meminta polisi menanganinya.

Setelah pengakuan Ratna bahwa dirinya telah melakukan kebohongan tentang penganiayaan dirinya, Prabowo Subianto dan beberapa tokoh lainnya menyampaikan permintaan maaf karena telah mempercayai laporan Ratna. Tapi tak urung sejumlah pengacara, perorangan dan kelompok yang tak berkategori lingkar dalam di kubu pendukung 01 melakukan pelaporan hukum ke pihak kepolisian tentang penyebaran kebohongan yang dilakukan para tokoh itu.

Bingkai konspirasi

Lebih jauh, beberapa tokoh partai pendukung 01 menarasikan adanya konspirasi mendiskreditkan pemerintahan Joko Widodo sebagai kekuasaan represif melalui isu penganiayaan Ratna Sarumpaet. Paling terarah sebagai tuduhan adalah bingkai konspirasi yang disampaikan Budiman Sudjatmiko –eks tokoh Partai Rakyat Demokratik yang kini menjadi salah satu tokoh teras PDIP. “Ratna bukanlah serigala yang berjalan sendiri,” demikian Viva mengutip ucapannya (5/10). Budiman menyebut apa yang dilakukan kubu 02 adalah teknik propaganda Firehouse of Falsehoods yang sering digunakan KGB. Suatu kebohongan yang dilakukan terus berulang untuk membangun ketidakpercayaan.

POSTER 01 DAN 02. Harus bisa membaca situasi publik saat ini, yang untuk sebagian sudah mulai jenuh dan mungkin saja sudah muak terhadap perilaku para politisi dan para pendukung dalam membesar-besarkan tokoh-tokoh pujaan mereka masing-masing. Para tokoh kerap dipuja bak malaikat, padahal mereka semua adalah manusia biasa yang sepanjang catatan empiris yang ada, ganti berganti menunjukkan kekeliruan. (Gambar download)

Terhadap tuduhan konspirasi, kubu 02 balik menuduh kemungkinan adanya konspirasi jebakan menggunakan Ratna Sarumpaet sebagai agen ganda. Dengan anggapan ini, kubu 02 sekaligus memutus hubungan formal dengan Ratna Sarumpaet. Meminta yang bersangkutan mengundurkan diri dari tim sukses.

Untuk sebagian, menjadi benar juga penyampaian Alissa Wahid, puteri almarhum Gus Dur, yang menyebut kebohongan yang diciptakan Ratna dan kemudian disebarkan sejumlah pihak untuk kepentingan politik menunjukkan para elite telah berpolitik tanpa menggunakan etika. Alissa dikutip Harian Kompas (5/10) menyatakan upaya pemanfaatan isu negatif dapat ditemukan di semua pihak yang terlibat dalam kontestasi Pemilihan Presiden 2019. “Hal ini karena seluruh pihak berambisi mendapatkan dan mengapitalisasi keburukan lawan politik itu untuk meraih dukungan.”

Dalam pada itu penanganan pihak kepolisian yang untuk kali ini super cepat, bukannya tak mendapat sorotan. Biasanya polisi lamban dalam menyelesaikan pelaporan kelompok yang kritis terhadap kekuasaan. Kali ini dalam hitungan hari kepolisian telah merampungkan penyelidikan bahwa memang Ratna telah melakukan kebohongan publik yang bisa membahayakan. Lalu melakukan cekal dan penangkapan yang cukup dramatis.

Perlu second opinion

Ada yang menarik dari pengakuan Ratna. Dalam kasus ini, Ratna yang sebenarnya adalah aktivis tangguh dan terpercaya, menyampaikan dua penyampaian penting. Pertama, kepada keluarga dan kepada tokoh-tokoh seperti Prabowo Subianto dan Amien Rais Selasa 2 Oktober, dia menyampaikan dirinya dianiaya tiga lelaki di area Bandara Husein Sastranegara Bandung pada 21 September 2018 petang. Penganiayaan menyebabkan sejumlah memar di wajahnya dan jahitan di kepala. Kedua, Rabu 3 Oktober, dalam sebuah keterangan pers Ratna mengaku telah berbohong kepada tokoh-tokoh itu tentang penganiayaan dirinya. Dan bahwa memar-memar di wajahnya itu adalah akibat proses operasi plastik di sebuah klinik di Jakarta.

Dua pernyataan berbeda itu sebenarnya menempatkan Ratna dalam posisi sementara tak layak untuk dipercaya, baik mengenai keterangan pertama maupun keterangan kedua. Kepolisian memilih meyakini, keterangan pertama Ratna lah yang bohong, setelah mengumpulkan bukti kuitansi, transfer dan sebagainya pada sebuah klinik operasi plastik. Polisi juga dengan cepat menemukan tak terdapatnya nama Ratna sebagai pasien pada 23 RS di Jawa Barat.

Tetapi tentu saja, untuk mencegah kesangsian publik maupun perdebatan di pengadilan nanti, polisi tetap perlu mengumpulkan sejumlah bahan berkategori second opinion. Misalnya, keterangan ahli medis untuk memastikan apakah memar dan lebam diwajahnya bukan hasil rudapaksa dan betul adalah akibat yang lazim dalam operasi plastik. Selain itu, polisi perlu menginisiasi suatu test psikologi terhadap Ratna untuk meyakinkan kapan dia berbohong atau terpaksa berbohong, apakah pada 2 Oktober atau pada 3 Oktober. Dan, apakah ada kebohongan lain atau ada sesuatu yang belum terungkap di luar dua penyampaiannya itu. Ini ada kaitannya dengan munculnya bermacam-macam opini dan prasangka sejauh ini.

Public distrust

Selain itu, polisi perlu menjalankan pemeriksaan menggunakan psikologi forensik. Bila perlu menghadirkan ahli psikologi forensik non kepolisian. Pemeriksaan pun harus transparan untuk mencegah prasangka terhadap pihak kepolisian sendiri. Karena suka atau tidak suka, selama beberapa tahun ini kepolisian senantiasa menghadap gejala public distrust. Maka pasti perlu, sekali ini, polisi betul-betul transparan untuk menutup berbagai kemungkinan spekulasi. Sekaligus perlu bagi Polri untuk membuktikan netralitasnya dalam pengelolaan hukum yang terkait politik.

Karena gelembung-gelembung kontroversi telah beterbangan terlalu jauh ke dalam ranah politik, khususnya dalam suasana menjelang Pilpres, para politisi, terutama dari kedua kubu, 01 maupun 02, perlu untuk memilih sikap proporsional saja. Namun tak tertutup kemungkinan bagi suatu inisiasi pembentukan tim independen membantu kepolisian menemukan fakta dan kebenaran. Bukankah di lingkaran 01 maupun 02 terdapat begitu banyak tokoh eks penegak hukum dan intelijen yang berpengalaman? Akan tetapi jangan sampai bersikap overdosis, apalagi mengada-ada. Suatu sikap overdosis hanya akan mengeruhkan situasi, dan tak mustahil bisa menjadi bumerang bagi masing-masing pihak.

Harus bisa membaca situasi publik saat ini, yang untuk sebagian sudah mulai jenuh dan mungkin saja sudah muak terhadap perilaku para politisi dan para pendukung dalam membesar-besarkan tokoh-tokoh pujaan mereka masing-masing. Para tokoh kerap dipuja bak malaikat, padahal mereka semua adalah manusia biasa yang sepanjang catatan empiris yang ada, ganti berganti menunjukkan kekeliruan. Belum lagi, bila mengikuti perang di media-media sosial, bisa disaksikan bersama, betapa medan berpendapat itu untuk sebagian sudah begitu kotor keruh oleh perilaku saling menghina yang di luar batas keadaban…… (Sumber: media-karya.com)

PKS: Korupsi dan Retorika Pengatasnamaan Agama (1)

PERISTIWA yang menimpa Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Luthfi Hasan Ishaaq pekan lalu –ditetapkan sebagai tersangka lalu segera ditahan KPK– meskipun seharusnya bukan sepenuhnya suatu kejutan, tetap saja menggemparkan publik. Karena, berbeda dengan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum yang namanya sudah berbulan-bulan disebutkan terkait kasus korupsi Hambalang namun tak kunjung dijadikan tersangka apalagi ditahan, Presiden PKS mengalami treatment cepat.

Terjadi pula kegemparan susulan, ketika Anis Matta yang baru saja diangkat menjadi Presiden baru PKS menggantikan Luthfi Hasan Ishaaq yang mengundurkan diri begitu dijadikan tersangka pada Kamis sore 31 Januari 2013, menampilkan reaksi berlebihan dan terlihat sangat ‘emosional’.

ORASI ANIS MATTA. "Seakan-akan ia ingin segera melibatkan Tuhan dan Agama terlalu jauh untuk membela perbuatan korupsi –yang pada hakekatnya adalah perbuatan mencuri yang dilarang Allah– di saat upaya penegak hukum untuk menemukan kebenaran sesungguhnya dari peristiwa itu sendiri masih sedang dilakukan". (Foto-foto download okezone/pkstoday.com)
ORASI ANIS MATTA. “Seakan-akan ia ingin segera melibatkan Tuhan dan Agama terlalu jauh untuk membela perbuatan korupsi –yang pada hakekatnya adalah perbuatan mencuri yang dilarang Allah– di saat upaya penegak hukum untuk menemukan kebenaran sesungguhnya dari peristiwa itu sendiri masih sedang dilakukan”. (Foto-foto download okezone/pkstoday.com)

Usai diumumkan sebagai Presiden PKS, Jumat sore, Anis Matta yang tadinya Sekertaris Jenderal PKS, langsung melontarkan tuduhan bahwa partainya menghadapi konspirasi besar yang berniat menghancurkan partai Islam tersebut. Melalui suatu orasi yang sarat dengan retorika yang penuh idiom-idiom agama, ia menyerukan kader partai untuk tobat bersama lalu bangkit bersatu melawan konspirasi. “Iyyaaka na’ budu wa iyyaaka nasta’iinu” –hanya Engkau yang kami sembah, dan hanya pada Engkau kami meminta pertolongan– serunya tak kurang dari tujuh kali. Disambut seruan Allahu Akbar berulang-ulang dari kader partai yang hadir. Luar biasa juga kemampuan membakar emosi yang dipertunjukkan Sekjen PKS ini. 

Melibatkan nama Tuhan dan Agama. Dengan orasinya, Anis Matta –begitu pula sejumlah tokoh PKS lainnya yang pada umumnya seperti tak sanggup menerima realitas– telah bertindak berlebih-lebihan. Seakan-akan ia ingin segera melibatkan Tuhan dan Agama terlalu jauh untuk membela perbuatan korupsi –yang pada hakekatnya adalah perbuatan mencuri yang dilarang Allah– di saat upaya penegak hukum untuk menemukan kebenaran sesungguhnya dari peristiwa itu sendiri masih sedang dilakukan. Allah maha pemurah, tapi jangan jadikan Dia dan segala kemuliaanNya menjadi murahan.

Berita suap dan dugaan korupsi, sebenarnya sudah sejak lama membayangi PKS yang menggambarkan dirinya sebagai partai dakwah itu. Ibarat bisul, tinggal tunggu waktu untuk meletup mengeluarkan nanah. Ketika akhirnya peristiwa penangkapan atas Presiden PKS terjadi, itu sebenarnya hanya mengkonfirmasi dan melengkapkan fakta tentang luasnya perilaku korupsi di tubuh kepartaian, bukan hanya di PKS. Sekaligus menunjukkan betapa korupsi telah menjadi sumber utama pembiayaan politik yang luar biasa mahal di Indonesia. Sumber dana apa yang saat ini bisa mencukupi kebutuhan segera biaya politik yang trilyunan rupiah, kecuali korupsi?

Tatkala kasus dugaan korupsi PPID (Proyek Pengembangan Infrastruktur Daerah) merebak di tahun 2012, anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR Wa Ode Nurhayati, mengungkapkan adanya keterlibatan tokoh PKS Anis Matta yang kini justru menjadi pengganti Luthfi Hasan memimpin PKS. Menurut Wa Ode Nurhayati, dalam kedudukannya sebagai Wakil Ketua DPR-RI, Anis Matta berperan menekan Menteri Keuangan untuk menandatangani suatu surat yang isinya menyimpang dari keputusan Banggar. Tapi hingga sejauh ini, Anis masih lolos dari kasus PPID ini. Apakah juga sekedar menunggu waktu untuk suatu letupan baru?

Kasus impor sapi itu sendiri –yang akhirnya membuat Presiden PKS tersandung masuk tahanan– juga sudah sejak lama menjadi bahan pemberitaan pers, khususnya di Majalah Tempo. Majalah berita mingguan tersebut menggambarkan betapa besarnya pengaruh tokoh-tokoh PKS dalam menentukan pembagian quota impor daging sapi di Kementerian Pertanian. Ini bisa terjadi, tak lain karena Menteri Pertanian Suswono adalah seorang kader PKS. Dalam kaitan kasus impor sapi yang melibatkan petinggi PKS ini, dugaan sementara menyebutkan untuk jasa penambahan quota 80.000 ton pengusaha menjanjikan lima ribu rupiah per kilogram, yang berarti komitmen seluruhnya berkisar 40 milyar rupiah. Setelah menjadikan Luthfi Hasan sebagai tersangka, KPK kini juga sedang mempersiapkan untuk menelusuri dan memeriksa kemungkinan keterlibatan sang Menteri Pertanian. Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) La Ode Ida menyebutkan kasus impor daging sapi yang melibatkan tokoh PKS tersebut sebagai awal terungkapnya rentetan korupsi oleh kalangan berjubah agama.

Bisa dicatat bahwa selain di Kementerian Pertanian, posisi menteri juga dipegang oleh kader-kader PKS di Kementerian Komunikasi dan Informasi (Ir Tiffatul Sembiring) serta Kementerian Sosial (Salim Segaf Al Jufrie). Peristiwa yang terjadi di Kementerian Pertanian, membuat orang juga mulai berpikir tentang ‘kebersihan’ kedua kementerian lain yang berada di tangan kader PKS. Seorang menteri dari suatu partai Islam lainnya, PPP, di Kementerian Sosial pernah tersandung dan dihukum karena kasus korupsi. Apakah di bawah menteri yang berasal dari PKS, ada lagi bisul-bisul baru di sana? Kementerian Kominfo juga rawan. Saat ini kementerian itu menangani program digitalisasi siaran TV se-Indonesia hingga beberapa tahun ke depan, dengan nilai investasi trilyunan rupiah. Sang menteri harus pandai-pandai menjaga diri bila tak ingin melengkapkan noda di tubuh partainya.

            Mungkin penggunaan terminologi ‘korupsi berjubah agama’ oleh La Ode Ida bisa terasa terlalu menusuk perasaan. Tetapi, tak bisa diingkari bahwa dalam kenyataan, kebenarannya memang makin terasa dan mewujud melalui beberapa bukti. Apakah ada yang salah dengan ajaran agama? Tidak persis seperti itu. Kesalahan di sini, adalah ketika agama dan kegiatan politik-pemerintahan sudah dicampur-adukkan. Tokoh muda Islam Nurcholish Madjid saat menjadi Ketua Umum PB-HMI menjelang Pemilihan Umum 1971 melontarkan gagasan “Islam Yes, Partai Islam No!”. Ia membaca dari sejarah, betapa berbagai penyalahgunaan terjadi begitu Islam dicampur-adukkan dengan politik kepartaian.

            Politik dan Agama, saling menodai. Dosen Universitas Muhammadiyah Malang, Pradana Boy, menulis (Koran Tempo, 4 Februari 2013) Luthfi Hasan Ishaaq sebagai seorang politikus hidup di tengah budaya politik yang korup. Dan, “budaya korup ini merupakan bahaya laten yang dengan mudah bisa menjadi manifestasi dalam diri para politikus, tanpa peduli latar belakangnya”.

Kekhawatiran atas kemungkinan politik dan agama saling menodai, agaknya menjadi dasar gagasan pemisahan agama dan politik dari Nurcholish Madjid yang terkandung dalam semboyan “Islam yes, Partai Islam No!” tersebut. Seruan Nurcholish ditolak partai-partai Islam yang ada saat itu seperti NU, Perti, dan PSII. Bahkan ia dicap sebagai anti Partai Islam, yang sebenarnya selangkah lagi menjadi tuduhan Anti Islam, bilamana Nurcholish tidak punya reputasi kuat sebagai intelektual muda Islam. Tak urung, sejumlah tokoh partai-partai Islam mencatat pelontaran semboyan itu sebagai dosa Nurcholish Madjid yang tak terampunkan sampai kapan pun, karena dilontarkan justru pada saat partai-partai Islam sedang lemah. Namun retorika tersebut berangsur-angsur pudar. Sejumlah rekan Nurcholish di HMI tidak cukup konsisten dalam menolak Partai Islam. Menjelang Pemilihan Umum 1971 itu, beberapa tokoh HMI terlibat dalam peran kelahiran sebuah partai Islam ‘baru’, Parmusi (Partai Muslimin Indonesia) yang dianggap penjelmaan baru dari Partai Masjumi. Saat Djaelani Naro yang dianggap binaan intelejen menggoyang Parmusi dari dalam menggusur kelompok Djarnawi Hadikusumo, HMI terlibat aktif dalam gerakan pembelaan.

            Dalam sejarah kekuasaan Indonesia, kita bisa melihat bahwa ada tradisi pemisahan kekuasaan pemerintahan dari beberapa ‘kekuasaan’ lainnya. Fungsi-fungsi kekuasaan pemerintahan dengan fungsi dan posisi pemuka-pemuka agama maupun pemuka-pemuka adat di tengah masyarakat, terbagi dengan jelas. Tetapi ketika agama Islam menyebar di Indonesia, muncul model kekuasaan baru, berupa model kekhalifahan dan atau kesultanan ala kerajaan-kerajaan Islam di Timur Tengah. Pemimpin pemerintahan sekaligus menjadi pemimpin agama. Ajaran agama dijadikan dasar pengaturan negara dan pengaturan sosial maupun ekonomi. Tetapi seringkali terjadi ekses, bila penguasa pemerintahan menganut sekte tertentu, maka mereka yang menjadi pengikut sekte atau mazhab lain menghadapi risiko eliminasi. Catatan empiris menunjukkan, model kekuasaan ini sangat eksesif. Begitu pula secara umum, tercipta ekses yang saling mendegradasi bahkan saling menodai, bila ajaran-ajaran agama dipaksakan menjadi aturan dalam kehidupan praktis sehari-hari di luar batas fungsi dan nilai luhur sebagai pegangan dasar atau filsafat kehidupan manusia selaku hamba Tuhan.

(socio-politica.com/sociopolitica.wordpress.com) – Berlanjut ke Bagian 2.

Peristiwa 1965: PKI Dalam Perspektif Pembalasan dan Pengampunan (3)

SETELAH berakhirnya masa kekuasaan formal Jenderal Soeharto, muncul kesempatan untuk menelaah bagian-bagian sejarah –khususnya mengenai Peristiwa 30 September 1965 dan PKI– yang dianggap kontroversial atau mengandung ketidakbenaran. Kesempatan itu memang kemudian digunakan dengan baik, bukan saja oleh para sejarawan dalam batas kompetensi kesejarahan, tetapi juga oleh mereka yang pernah terlibat dengan peristiwa atau terlibat keanggotaan PKI.

PARA PEMIMPIN PKI, DN AIDIT CS, BERSAMA BAPAK BESAR KOMUNIS CHINA MAO-ZEDONG. “Setelah PKI ‘berlalu’ karena pembubaran dan setelah surutnya komunisme secara global, ternyata ideologi dan aliran totaliter lainnya tidaklah ikut berakhir, untuk tidak tidak menyebutnya justru lebih menggejala. Tampilannya beraneka ragam, bisa dalam bentuk-bentuk aksi sepihak yang berkecenderungan kuat ‘menghakimi’ sendiri, bisa dalam bentuk sikap moralisme dengan bermacam-macam pretensi, ataukah sikap ber’demokrasi’ yang hanya mengenal haknya sendiri dan tidak menghargai hak orang lain, dan lain sebagainya”. (gambar asiafinest). BERIKUTNYA DI SOCIOPOLITICA: KISAH KORUPSI PARA JENDERAL

Bila sebelum ini penulisan versi penguasa masa Soeharto banyak dikecam karena di sana sini mengandung unsur manipulasi sejarah, ternyata pada sisi sebaliknya di sebagian kalangan muncul pula kecenderungan manipulatif yang tak kalah buruknya, bertujuan untuk memberi posisi baru dalam sejarah bagi PKI, yakni sebagai korban politik semata. Dalam sorotan terhadap kekerasan kemanusiaan yang terjadi di seputar peristiwa, fakta adanya situasi balas berbalas yang sama kejinya di semua pihak, cenderung diabaikan. Pendulum sejarah kali ini diayunkan terlalu jauh ke kiri, setelah pada masa sebelumnya diayunkan terlalu jauh ke kanan. Dan kali ini, mereka yang selama ini ada di sebelah kanan, cenderung bersifat reaktif bertahan dan sesekali melontarkan tuduhan tentang ‘bangun’nya kembali paham komunis, meski secara global sementara itu kutub ideologi komunis praktis sudah roboh, atau paling tidak, jauh surut mendekati wilayah titik nol.

Terdapat sejumlah nuansa berbeda yang harus bisa dipisahkan satu sama lain dengan cermat dan arif, dalam menghadapi masalah keterlibatan PKI pada peristiwa-peristiwa politik sekitar 1965. Bahwa sejumlah tokoh utama PKI terlibat dalam Gerakan 30 September 1965 dan kemudian melahirkan Peristiwa 30 September 1965 –suatu peristiwa di mana enam jenderal dan satu perwira pertama Angkatan Darat diculik dan dibunuh– sudah merupakan fakta yang tak terbantahkan. Bahwa ada usaha merebut kekuasaan dengan pembentukan Dewan Revolusi yang telah mengeluarkan sejumlah pengumuman tentang pengambilalihan Continue reading Peristiwa 1965: PKI Dalam Perspektif Pembalasan dan Pengampunan (3)