SETELAH berakhirnya masa kekuasaan formal Jenderal Soeharto, muncul kesempatan untuk menelaah bagian-bagian sejarah –khususnya mengenai Peristiwa 30 September 1965 dan PKI– yang dianggap kontroversial atau mengandung ketidakbenaran. Kesempatan itu memang kemudian digunakan dengan baik, bukan saja oleh para sejarawan dalam batas kompetensi kesejarahan, tetapi juga oleh mereka yang pernah terlibat dengan peristiwa atau terlibat keanggotaan PKI.

Bila sebelum ini penulisan versi penguasa masa Soeharto banyak dikecam karena di sana sini mengandung unsur manipulasi sejarah, ternyata pada sisi sebaliknya di sebagian kalangan muncul pula kecenderungan manipulatif yang tak kalah buruknya, bertujuan untuk memberi posisi baru dalam sejarah bagi PKI, yakni sebagai korban politik semata. Dalam sorotan terhadap kekerasan kemanusiaan yang terjadi di seputar peristiwa, fakta adanya situasi balas berbalas yang sama kejinya di semua pihak, cenderung diabaikan. Pendulum sejarah kali ini diayunkan terlalu jauh ke kiri, setelah pada masa sebelumnya diayunkan terlalu jauh ke kanan. Dan kali ini, mereka yang selama ini ada di sebelah kanan, cenderung bersifat reaktif bertahan dan sesekali melontarkan tuduhan tentang ‘bangun’nya kembali paham komunis, meski secara global sementara itu kutub ideologi komunis praktis sudah roboh, atau paling tidak, jauh surut mendekati wilayah titik nol.
Terdapat sejumlah nuansa berbeda yang harus bisa dipisahkan satu sama lain dengan cermat dan arif, dalam menghadapi masalah keterlibatan PKI pada peristiwa-peristiwa politik sekitar 1965. Bahwa sejumlah tokoh utama PKI terlibat dalam Gerakan 30 September 1965 dan kemudian melahirkan Peristiwa 30 September 1965 –suatu peristiwa di mana enam jenderal dan satu perwira pertama Angkatan Darat diculik dan dibunuh– sudah merupakan fakta yang tak terbantahkan. Bahwa ada usaha merebut kekuasaan dengan pembentukan Dewan Revolusi yang telah mengeluarkan sejumlah pengumuman tentang pengambilalihan kekuasaan, kasat mata, ada dokumen-dokumennya.
Bahwa ada lika-liku politik dalam rangka pertarungan kekuasaan sebagai latar belakang, itu adalah soal lain yang memang perlu lebih diperjelas duduk masalah sebenarnya, dari waktu ke waktu, untuk lebih mendekati kebenaran sesungguhnya. Proses mendekati kebenaran tak boleh dihentikan. Bahwa dalam proses sosiologis berikutnya, akibat dorongan konflik politik maupun konflik sosial yang tercipta terutama dalam kurun waktu Nasakom 1959-1965, terjadi malapetaka berupa pembunuhan massal dalam perspektif pembalasan dengan anggota-anggota PKI terutama sebagai korban, pun merupakan fakta sejarah. Ekses telah dibalas dengan ekses, gejala diperangi dengan gejala. Dan, tidak perlu harus menjadi komunis lebih dulu untuk mengakui sesuatu yang menyangkut nilai-nilai kemanusiaan yang universal. Akan tetapi tentu adalah keliru bila menggunakan terminologi nilai-nilai kemanusiaan untuk memberikan pembenaran atas suatu peristiwa politik yang melibatkan PKI sebagai pelaku politik.
Perspektif pembalasan dan pengampunan. TERHADAP pembunuhan massal yang terjadi setelah Peristiwa 30 September 1965, ketika menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia, KH Abdurrahman Wahid, menyampaikan permintaan maaf. Tentu, itu dilakukan untuk dan atas nama massa NU, khususnya Pemuda Ansor dan Banser (Barisan Ansor Serba Guna), karena faktual memang massa organisasi inilah yang menjadi ujung tombak dalam perburuan dan pembunuhan massa PKI dalam suatu perspektif pembalasan yang simptomatis, terutama di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Jadi kalau Abdurrahman Wahid, berdasarkan kesadarannya yang mendalam tentang kemanusiaan, merasa perlu minta maaf, merupakan sesuatu yang sebenarnya wajar saja.
Banyak keluarga korban, begitu pula ribuan bekas tahanan politik, menuntut agar permohonan maaf itu juga dilakukan oleh pemerintah secara resmi dan posisi mereka maupun posisi PKI direhabilitir. Mungkin, pada sisi sebaliknya banyak pihak dalam masyarakat tak dapat menerima permintaan politik di luar batasan aspek kemanusiaan. Sementara itu, banyak kalangan masyarakat yang di masa lampau merasa dibuat menderita oleh PKI, pernah dirampas tanahnya, merasa pernah dihujat agamanya, takkan mudah menerima pemulihan seperti itu. Apalagi bila di sini aspek keadilan jauh lebih diutamakan daripada aspek kebenaran dalam memandang dan memperlakukan sejarah. Karena orientasi utama adalah kepada aspek keadilan itu, mereka juga merasa sebagai korban.
Dalam tingkat keadaan yang demikian, bagi masyarakat umum, untuk sementara yang paling mungkin dapat diharapkan untuk dilakukan adalah kesediaan meninggalkan perspektif pembalasan (dendam) yang pernah mereka miliki di masa lampau tak lama setelah Peristiwa 30 September 1965 terjadi. Lalu, pada waktu yang sama bersedia memasuki perspektif pengampunan –yang lebih sering ditampilkan sebagai pelupaan perbuatan– terhadap mereka yang pernah terlibat dengan PKI, agar bisa berdampingan secara layak sebagai sesama warga negara. Tapi bila hanya demikian, ini berarti, yang bisa dimasuki hanyalah rekonsiliasi dalam bentuk dan pengertiannya yang paling lunak. Namun perlu dicatat, sekedar pengampunan, apalagi dalam bentuk sekedar pelupaan, tidak bisa menjadi dasar solusi bila tidak didasari oleh pengetahuan tentang kebenaran sepenuhnya dari peristiwa. (Baca, Marzuki Darusman, “Peristiwa 1965: Politik Keadilan atau Politik Kebenaran?”, dalam sociopolitica, 25 Juli 2012).
Terkait namun terpisah dalam dimensi waktu dan mungkin saja dalam makna, adalah proses dan cara menerima sejarah masa lampau, khususnya mengenai Peristiwa 30 September 1965, yang terjadi di kalangan generasi yang lebih muda, yakni mereka yang nyaris tak pernah mengalami sendiri peristiwa dan hanya memperolehnya melalui uraian lisan dari yang lebih tua atau dari literatur yang satu sama lain bisa simpang siur. Kelompok pertama, adalah mereka yang menerima penuturan lengkap dengan opini subjektif dari generasi orangtua mereka masing-masing yang berada dalam posisi pendukung maupun penentang komunisme dan atau PKI. Kelompok kedua, adalah generasi muda yang berada di luar masa dan peristiwa pertikaian, yang memperolehnya dari sekolah atau dari literatur luar sekolah –yang kita tahu adalah simpang siur satu dengan yang lainnya.
Kelompok pertama, cukup menakjubkan meskipun tidak aneh, cenderung meneruskan ‘pertikaian’ warisan masa lampau dengan gaya dan idiom masa lampau pula, meskipun tidak terlalu meluas dan frontal. Dari kelompok pertama ini, bisa muncul sikap pro atau anti, tanpa perlu mengalami peristiwa 1959-1965 atau 1966, kecuali mengalami dampak-dampak ikutan setelah peristiwa.
Sementara itu, dalam kelompok kedua, tampak beberapa fenomena menarik. Ada yang bisa memahami proses politik maupun proses sosiologis dari peristiwa tahun 1965 itu, namun tidak bisa mengerti kenapa kejahatan kemanusiaan bisa terjadi begitu dahsyatnya pada masa peristiwa tersebut, baik yang dilakukan oleh kaum komunis maupun yang dilakukan tentara dan sebagian massa anti komunis. Generasi yang lebih muda ini yang mengisi ruang dalam negara kita saat ini, secara umum memang lebih lekat kepada isu-isu kemanusiaan, kebenaran dan keadilan, dan memiliki cara pandang yang banyak berbeda dengan generasi yang lebih dahulu. Slogan-slogan keadilan untuk rakyat, pemerataan untuk rakyat miskin, sikap anti korupsi dan kejahatan kaum kapitalis –yang banyak dilontarkan PKI di masa jayanya, meski merekapun belum pernah terbukti mewujudkannya– banyak yang diambil alih oleh sebagian dari generasi muda ini. Bahkan, beberapa di antaranya menyusun diri sebagai kekuatan ‘kerakyatan’ yang sepintas mirip dengan apa yang dilakukan PKI di masa lampau, termasuk merebut keadilan untuk rakyat walau dengan sikap keras dan radikalisme sekalipun, sehingga tak jarang mereka dianggap telah menghidupkan komunisme, setidaknya menjadi ‘kiri baru’. Salah satu contohnya adalah PRD (Partai Rakyat Demokratik), dengan salah satu tokohnya, Budiman Sudjatmiko –yang kini telah migrasi ke PDI-P.
Tetapi sebenarnya, orang tak perlu menjadi komunis lebih dahulu untuk melihat dan membaca keadaan saat ini yang tak berkeadilan untuk rakyat dan atau masyarakat seluruhnya, karena kenikmatan kemajuan ekonomi sejauh ini memang hanya menjadi milik segelintir kecil orang, apakah melalui kolusi dan korupsi ataukah kecurangan lainnya. Juga, bahwa sejauh ini, keadilan dan persamaan dalam hukum maupun politik dan kehidupan sosial lainnya, belum berhasil ditegakkan bersama. Di masa lampau, Menteri Dalam Negeri Amirmahmud misalnya, bisa segera ‘menumpas’ kaum yang dianggap ‘kiri baru’ seperti ini. Tapi kini, dalam kerangka kehidupan demokratis yang dicitakan-citakan tentu hal serupa tak layak untuk dilakukan, oleh penguasa maupun kekuatan lainnya yang ada dalam masyarakat.
Antara symptom dan akar masalah. Dalam konteks cita-cita mencapai kehidupan politik dan kehidupan bermasyarakat yang demokratis, adalah penting untuk memperjelas bahwa ideologi totaliter seperti komunisme, adalah di luar yang diinginkan. Hal yang sama, tentu berlaku untuk ideologi-ideologi dan atau aliran-aliran politik lainnya, maupun aliran-aliran sosial yang dogmatis. Dengan pengatasnamaan agama saja bisa ‘tercipta’ semacam ‘ideologi’ ekstrim. Ideologi totaliter, apakah itu berasal dari kiri ataukah berasal dari kanan, adalah sama buruknya.
Setelah PKI ‘berlalu’ karena pembubaran dan setelah surutnya komunisme secara global, ternyata ideologi dan aliran totaliter lainnya tidaklah ikut berakhir, untuk tidak tidak menyebutnya justru lebih menggejala. Tampilannya beraneka ragam, bisa dalam bentuk-bentuk aksi sepihak yang berkecenderungan kuat ‘menghakimi’ sendiri, bisa dalam bentuk sikap moralisme dengan bermacam-macam pretensi, ataukah sikap ber’demokrasi’ yang hanya mengenal haknya sendiri dan tidak menghargai hak orang lain, dan lain sebagainya. Namun, tentu tak kalah pentingnya untuk menyadari bahwa dalam menjalani proses kesejarahan, selama ini kita telah terperangkap dalam situasi pergulatan melawan ekses dan symptom belaka dan sejauh ini gagal menangani akar-akar masalah yang dihadapi sebagai bangsa dalam belitan situasi kegagalan pembangunan sosiologis.
(socio-politica.com/sociopolitica.wordpress.com)