Tag Archives: TMII

Mencari Presiden Indonesia 2014: Kembali ke Situasi Pilihan ‘The Bad Among The Worst’? (2)

HASRAT Soeharto melanggengkan kekuasaan, makin terbaca dengan berjalannya waktu. Rezim yang dibentuk Soeharto dan para jenderalnya, selama puluhan tahun menjalar bagaikan tanaman rambat di pohon besar republik, meluas secara pasti dengan akar nafas yang mencekam kuat. Sulur dan daunnya membelit batang tubuh tumbuhan induk guna mencapai tempat-tempat yang tinggi mengejar cahaya. Tak gampang mencabutnya, tanpa merusak pohon induk, meski sebenarnya ia tidak merusak pohon induk. Hanya saja, ia memberi kesempatan bagi sejumlah tanaman parasit tumbuh bersamanya yang dengan ganas mencuri air dan makanan dari pohon induk.

JENDERAL SOEMITRO ‘MENDINGINKAN’ MASSA PERISTIWA 15 JANUARI 1974. “Bersamaan dengan peningkatan radikalisasi mahasiswa Jakarta dan meningkatnya gerakan kritis mahasiswa Bandung dan berbagai kota perguruan tinggi lainnya, tahun 1973 hingga menjelang awal 1974, temperatur pertarungan di tubuh kekuasaan di lapisan persis di bawah Jenderal Soeharto juga meningkat. Dalam konteks ini, Pangkopkamtib Jenderal Soemitro menjadi fokus utama perhatian, karena dalam rumor politik yang gencar, ia ‘dituduh’ berambisi menjadi Presiden Indonesia berikutnya menggantikan Soeharto”. (Foto Sjahrir Wahab/Tempo).

Pada periode 1966-1967, menurut sejarawan Anhar Gonggong –dalam artikel tema untuk buku ‘Menyilang Jalan Kekuasaan Militer Otoriter’ (Rum Aly, Penerbit Buku Kompas, 2004)– Jenderal Soeharto telah merancang pelbagai langkah untuk melaksanakan konsolidasi kekuasaannya. Dalam waktu yang hampir bersamaan dalam periode tersebut, di Bandung “telah berkembang wacana-wacana yang strategis. Salah satu di antaranya ialah persoalan bangunan demokrasi yang dirancang dengan melontarkan gagasan Dwi Partai dan juga undang-undang pemilihan umum. Perubahan sistem kepartaian memang mempunyai arti strategis untuk suatu konsolidasi kekuasaan dan yang kemudian akan disambung dengan pemilihan umum untuk mengisi secara demokratis lembaga-lembaga negara”. Continue reading Mencari Presiden Indonesia 2014: Kembali ke Situasi Pilihan ‘The Bad Among The Worst’? (2)

The Stories Ever Told: Soeharto dan Para Presiden Indonesia (3)

MENDAPAT arahan akrobatik dari Menteri Dalam Negeri Amirmahmud, sejumlah Gubernur tak kalah akrobatisnya. Pernyataan Soeharto bahwa provinsi banyak masalah, tidak punya uang dan kalau ada, terbatas, dilewatkan saja oleh para Gubernur. Mereka malah berlomba-lomba menjanjikan dukungan untuk proyek yang diprakarsai Ibu Negara itu.

Gubernur Sumatera Selatan Asnawi Mangku Alam berkata, “Sumatera Selatan mampu melaksanakan, soal biaya bisa saya atur”. Gubernur Sulawesi Selatan Ahmad Lamo bilang, “Baik sekali, saya sudah siapkan biaya sepuluh juta rupiah”. Ia menyatakan akan mencicil lima kali ‘kewajiban’ menyumbang Rp. 50 juta yang dibebankan kepada setiap Gubernur. Waktu itu, dengan uang limapuluh juta bisa membangun sepuluh Sekolah Dasar dengan enam kelas. Gubernur Jambi, Atmadibrata, dengan lantang dan gagah berani menegaskan kesanggupannya, “Kalau untuk membangun itu saja”, maksudnya membangun paviliun provinsi di TMII, “Jambi mampu”. Gubernur Sumatera Barat Harun Zain bilang, “Setuju benar”, namun cepat-cepat menyambung “tapi masih perlu menghitung dulu baik-baik”. Tak mau kalah, Gubernur NTT, El Tari, yang minus daerahnya, menyatakan dukungan bersemangat, walau akhirnya mengakui ketidakmampuannya, karena bagi daerah seperti NTT, “50 juta rupiah adalah super mewah dan maxi”. Gubernur Jawa Barat Solihin GP menjanjikan akan mengumpulkan dana, meski sementara itu defisit 2,1 milyar rupiah APBD Jawa Barat tak mampu diatasinya. Hanya Gubernur Aceh Muzakkir Walad yang bersikap wajar dan realistis. Buat Aceh, 50 juta rupiah adalah terlalu besar, ujarnya.

Tapi jangankan para Gubernur, Presiden Soeharto sendiri pun pada akhirnya berubah sikap dengan cepat dalam kaitan TMII. Kritik-kritik terhadap pembangunan TMII yang dilancarkan generasi muda, mulai dianggap Soeharto sebagai serangan terhadap diri dan keluarganya, karena menduga adanya kelompok-kelompok belakang layar yang bermain. Kekuasaan memang bisa membuat seorang pemimpin gampang terjangkit paranoia. Presiden Soeharto sebagai suami pemrakarsa, katanya sangat mengetahui secara jelas tentang rencana TMII. “Sebagai penanggung jawab pembangunan, saya menjamin itu tidak akan mengganggu pembangunan”. Juga takkan mengganggu keuangan negara dan penerimaan negara. “Jadi, saya sampai bertanya-tanya kenapa mesti dihebohkan? Apa landasannya untuk diragukan, apakah mengganggu pembangunan? Apakah karena Bang Ali project officernya, ataukah karena pemrakarsanya kebetulan istri saya, lalu dianggap ini proyek mercusuar ?”.

Berkata lagi Presiden Soeharto “Atau apakah dianggap mau mempertahankan terus kursi presiden ?”. Seraya menyampaikan berbagai sinyalamen dan peringatan, Presiden Soeharto menyebut isu-isu itu bertujuan jangka pendek untuk mendiskreditkan pemerintah yang dipimpinnya dan untuk jangka panjang mendepak ABRI dari eksekutif maupun mendepak dwifungsi lalu menggiring ABRI masuk kandang. Bila memang itu soalnya, bukan semata soal TMII, maka ABRI lah yang akan menjawab, “ABRI tidak akan melepaskan dwifungsinya”.

Tentang dirinya sendiri, Soeharto memberikan alternatif bahwa kalau ada yang menghendaki dirinya mundur karena menganggapnya terlalu ke’jawa’an –lamban, alon-alon asal kelakon dan sebagainya– tak perlu ribut-ribut. “Gampang, gunakan kesempatan sidang MPR 1973. Kalau mau lebih cepat lagi adakan Sidang Istimewa MPR”. Syaratnya, semua berjalan secara konstitusional. Kalau tidak, jangan kaget kalau Jenderal Soeharto kembali ke sikap keras seperti 1 Oktober 1965 ketika menghadapi PKI. “Jangan coba-coba melakukan tindakan-tindakan inkonstitusional sebab akan saya hantam, siapa saja”, ujarnya. Yang memakai kedok demokrasi secara berlebih-lebihan akan ditindak. “Kalau ada ahli hukum yang mengatakan tidak ada landasan hukum”, kata Soeharto, “demi kepentingan negara dan bangsa saya akan gunakan Supersemar”.

Kembali kepada kenangan 1 Oktober 1965, Soeharto mengungkap pula dengan kata-kata pahit bahwa “waktu itu tak ada pemuda, tak ada mahasiswa maupun partai politik yang datang mendukung saya”. Terkecuali satu orang, katanya, yakni isterinya, Siti Suhartinah, pemrakarsa Miniatur Indonesia. Dari ucapan-ucapannya itu terlihat Suharto mempunyai konstruksi pemikiran tentang adanya dalang di balik semua peristiwa protes, dan itu semua terkait dengan situasi politik saat itu. Lagi pula seperti dituturkan kemudian oleh seorang mantan pejabat intelejen, saat itu Soeharto telah sempat memperoleh suatu laporan tentang adanya skenario konspirasi yang memanfaatkan kasus TMII untuk mendiskreditkan Presiden Soeharto dan isteri, serta kekuasaannya. Beberapa nama kalangan militer dan sipil serta tokoh-tokoh kritis yang dekat dengan jenderal-jenderal intelektual, disebutkan dalam laporan tersebut lengkap dengan beberapa hal yang detail.

Tapi tak ada langkah lebih jauh dalam kasus konspirasi tersebut, karena Panglima Kopkamtib Jenderal Soemitro sempat memberi masukan yang untuk sementara bisa menetralisir teori konspirasi tersebut. Agaknya, hanya dalam tempo enam tahun Soeharto telah bisa melupakan bahwa dukungan mahasiswa lah, dan sejumlah perwira idealis seperti Sarwo Edhie Wibowo, HR Dharsono dan Kemal Idris, plus Ali Moertopo cs, antara lain yang telah berperan menurunkan Soekarno dan membantunya naik ke kursi kekuasaannya. Ali Moertopo cs telah mendampingi Soeharto sejak hari-hari pertama, sementara tanpa Sarwo Edhie Wibowo sejak 1 Oktober 1965, Soeharto takkan berhasil mengendalikan peristiwa.

Titik peka dan pembentukan dinasti. Kelak, setelah menyampaikan uneg-uneg itu berkali-kali dalam berbagai peristiwa, Jenderal Soeharto ‘menantang’ mereka yang tidak menyukainya untuk menggunakan cara konstitusional melalui MPR bila menghendaki dirinya mundur dari kursi kepresidenan.

Titik peka seperti Soeharto, kini juga mulai diperlihatkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, termasuk dalam hal kecurigaan terhadap adanya pengatur skenario di balik serangan-serangan yang ditujukan pada dirinya. Makin hari memang makin banyak persamaan yang terlihat, antara Soeharto dan Susilo Bambang Yudhoyono, dua Presiden Indonesia yang memiliki latar belakang militer masa Orde Baru. Isteri kedua tokoh ini cukup berperan sebagai Ibu Negara, berbeda dengan isteri-isteri Soekarno. Perilaku para menteri dan lingkaran dalam kedua Presiden itu juga makin mirip. Sorotan yang menerpa keduanya juga menyangkut topik-topik dan bidang yang sama, antara lain masalah pembentukan dinasti politik dan kekuasaan, korupsi, kegagalan penegakan hukum dan penciptaan rasa aman publik.

PERSAMAAN KEGAGALAN PEMBERANTASAN KORUPSI. “Makin hari memang makin banyak persamaan yang terlihat, antara Soeharto dan Susilo Bambang Yudhoyono, dua Presiden Indonesia yang memiliki latar belakang militer masa Orde Baru….. Sorotan yang menerpa keduanya juga menyangkut topik-topik dan bidang yang sama, antara lain masalah pembentukan dinasti politik dan kekuasaan, korupsi, kegagalan penegakan hukum dan penciptaan rasa aman publik”. Karikatur 1968, Harjadi S.

Kehidupan politik pada dua tahun terakhir masa kekuasaan Soeharto diwarnai peristiwa-peristiwa penculikan dan penghilangan aktivis. Pengemplang uang negara sudah mulai melakukan mode kabur ke luar negeri, seperti Eddy Tanzil, satu mode yang berlanjut di masa-masa kepresidenan pasca Soeharto. Banyak pelaku kejahatan keuangan negara, terutama BLBI, meloloskan diri ke luar negeri. Singapura yang sering dijuluki Israel Asia Tenggara, menjadi surga ‘suaka’ paling populer bagi para pencuri. Kalau tak berhasil kabur, dengan gesit menggunakan alasan sakit untuk menghindari hukum, meniru cara-cara Soeharto yang tampaknya ‘diajarkan’ para pengacara senior yang mendampinginya (atau para pengacara itulah yang justru terinspirasi oleh Soeharto?).

Di masa SBY, model alasan sakit dan melarikan diri ke Singapura, juga sangat lazim digunakan. Ada beberapa nama dari lingkaran dekat kekuasaan yang bisa disebut sebagai contoh aktual, seperti Nunun Nurbaeti Adang Daradjatun dan Nazaruddin anggota DPR dan ex Bendahara Partai Demokrat. Sementara itu, para pelaku kasus suap-menyuap dan pelanggaran hukum lainnya yang berasal dari kalangan di luar kelompok kekuasaan negara, lazim menggunakan tangkisan atau alasan politisasi saat ditindaki secara hukum. Model ini misalnya yang dilakukan para politisi PDIP dalam kasus suap sekitar pemilihan Deputi Gubernur Senior BI, Miranda Goeltom.

Dalam soal pembentukan dinasti, Soeharto dianggap mempersiapkan puterinya, Siti Hardiyanti, dan dalam waktu yang sama, menantunya, Letnan Jenderal Prabowo Subianto, juga mempersiapkan diri. Susilo Bambang Yudhoyono dalam pada itu dianggap mempersiapkan isterinya, Ani Yudhoyono sebagai the next president di tahun 2014 seperti yang dilontarkan politisi Partai Demokrat Ruhut Sitompul. Tapi menurut Gatra, Ani Yudhoyono sudah ‘berlalu’ dalam soal ini, dan kemudian terbit Ani Mulyani (Sri Mulyani Indrawati). Sri Mulyani adalah tokoh yang dikambinghitamkan dan dikorbankan dalam skandal Bank Century. Selain mempersiapkan isteri, SBY juga dianggap mempersiapkan para puteranya dalam satu proyeksi masa depan. Salah satu puteranya, Ibas Edhie Baskoro Yudhoyono, telah terjun menjadi anggota DPR-RI dan kini menjabat sebagai Sekjen Partai Demokrat. Tetapi secara formal, Susilo Bambang Yudhoyono, telah membantah mempersiapkan dinasti kekuasaan seperti yang dituduhkan.

Serangan gencar terhadap Presiden SBY belakangan ini, mengingatkan pada kegencaran sorotan yang ditujukan kepada Presiden Soeharto setidaknya pada dua tahun terakhir masa kekuasaannya. Serangan terhadap Soeharto arahnya jelas untuk menjatuhkan Soeharto, dan itu telah terjadi. Adapun serangan kepada SBY, kira-kira arahnya juga sama, namun belum terjadi.

Berlanjut ke Bagian 4

Vivere Pericoloso di Zona Merah Korupsi

SAAT membela rencana pembangunan gedung baru DPR yang berbiaya 1,15 triliun rupiah, berkali-kali pada berbagai kesempatan, anggota DPR yang juga adalah tokoh Partai Demokrat, Prof Dr Mubarok, berargumentasi dengan mengajukan beberapa contoh peristiwa dari masa lampau, tapi duduk persoalannya disederhanakan dan dipahami secara keliru. Mubarok menyebutkan beberapa proyek pembangunan yang di masa lampau dikritik atau ditentang, namun ‘terbukti’ kemudian diterima masyarakat dan berguna: Stadion Utama Gelora Bung Karno, Gedung MPR/DPR (yang sekarang masih digunakan) dan Taman Mini Indonesia Indah. Hampir bersamaan waktu, tokoh Partai Demokrat lainnya yang adalah Ketua DPR-RI, Marzuki Alie, yang mungkin sedang jengkel menghadapi LSM-LSM yang gencar mengeritik pembangunan gedung baru DPR itu, memberi semacam garis batas untuk tahu diri, bahwa kalau  anggota DPR jelas mewakili rakyat, LSM mewakili apa?

GEDUNG BARU DPR. “Dengan bergesernya peranan ke DPR untuk ‘menciptakan’ berbagai proyek besar, dan bersamaan dengan itu makin terungkapnya keterlibatan sejumlah anggota DPR dalam berbagai kasus korupsi, terindikasi bahwa pola pencarian dana politik titik berat perannya beralih dilakukan melalui partai-partai politik”.

Perlu membuka beberapa catatan terkait ucapan-ucapan ganjil kedua tokoh politik itu.

STADION Utama Gelora Bung Karno di Senayan Jakarta dibangun rezim Soekarno untuk digunakan dalam penyelenggaraan Asian Games 1962. Bersama Stadion Utama, dibangun pula Istora (Istana Olahraga) Senayan, dan berbagai fasilitas lainnya di Gelanggang Olahraga (Gelora) Senayan itu. Dibangun juga Hotel Indonesia, Wisma Warta (sudah diruntuhkan dan kini di atasnya berdiri tempat belanja mahal Plaza Indonesia), Sarinah Departmen Store, Tugu Selamat Datang di Bundaran HI, Jembatan Semanggi lengkap dengan Boulevard Thamrin dan Jalan Jenderal Sudirman. Dan, Monumen Nasional di lapangan depan Istana Merdeka. Semua dibangun terutama dengan bantuan pinjaman Uni Soviet. Setelah penyelenggaraan Asian Games, Soekarno terobsesi menyelenggarakan Conefo (Conference of the New Emerging Forces), yang dianggapnya tugas revolusi menghadapi Oldefo (Old Establishment Forces) yang menyusun kekuatan Nekolim (Neo Kolonialisme Imperialisme).

Untuk tempat penyelenggaraan Conefo Presiden Soekarno memerintahkan pembangunan sebuah gedung konperensi baru, berdekatan dengan Gelora Senayan. Bangunan itu unik, terutama karena atap kubahnya yang besar dengan perhitungan konstruksi yang berani, untuk tidak menyebutnya berbau vivere pericoloso. Dalam soal pembiayaan, Soekarno pun bervivere-pericoloso, karena situasi keuangan negara saat itu betul-betul buruk di tengah gelombang inflasi yang fantastis yang mencapai ratusan persen. Pada arah sebaliknya, inflasi di tahun-tahun terakhir masa kekuasaan Soekarno itu sendiri, terjadi selain karena Indonesia sedang melakukan konfrontasi politik dan militer terhadap Malaysia, dan gagal pangan, juga terpicu oleh berbagai pembangunan proyek berbiaya tinggi yang dipaksakan seperti antara lain proyek Conefo itu. Istilah Latin vivere pericoloso ini sering digunakan Soekarno untuk menggambarkan keberanian menyerempet-nyerempet bahaya sebagai bagian dari sikap revolusioner. Conefo itu sendiri urung dilaksanakan, tetapi pembangunan gedungnya tetap dilanjutkan meski tersendat-sendat, dengan susah payah. Itulah yang kemudian digunakan sebagai Gedung Sidang Utama MPR/DPR hingga kini.

Adakah yang menentang? Tak ada yang berani menentang pembangunan-pembangunan yang diperintahkan Soekarno, setidaknya, tidak secara terbuka. Partai-partai Nasakom manut-manut saja. Kritik dilakukan justru melalui penyebaran pamflet gelap oleh sejumlah aktivis gerakan bawah tanah anti Soekarno yang umumnya terdiri dari kalangan cendekiawan dan mahasiswa terutama di Bandung dan Jakarta. Kalau pun ada yang ‘menentang’ secara terbuka, itu tak lain adalah fakta kemelaratan rakyat dan keadaan keuangan negara yang buruk. Dalam kritik gerakan 1966, proyek-proyek Bung Karno itu disebut sebagai politik pembangunan mercu suar, membeli dasi padahal belum punya celana.

TAMAN Mini Indonesia Indah (TMII) adalah murni karya bersama penguasa dan pengusaha masa Orde Baru di bawah Jenderal Soeharto. Penggagas dan pendorong utama pelaksanaan pembangunan proyek Taman Mini Indonesia Indah, tak lain dari Ibu Negara kala itu Nyonya Siti Suhartinah Soeharto yang lebih dikenal sebagai Ibu Tien. Gagasan Ibu Tien terpicu oleh keterpesonaannya setelah menyaksikan proyek Thailand in Miniature yang lebih dikenal sebagai Tim Land dan proyek serupa di negara Asean lainnya, Filipina,  Philipine in Miniature dengan nama lokal Nayong Philipina yang diprakarsai First Lady Imelda Marcos. Secara resmi disebutkan TMII hanya akan menelan biaya 10,5 milyar rupiah suatu angka yang cukup besar untuk tahun 1972 saat gagasan yang dilontarkan sejak tahun 1970 itu diniatkan akan dilaksanakan. Tetapi bila dikaitkan dengan rancangan TMII, diperkirakan biaya sebenarnya nanti bisa mencapai 100 juta sampai 300 juta dollar AS, atau sekarang setara dengan 1 hingga 2,5 triliun rupiah.

Semula proyek itu disodorkan untuk dibiayai dengan APBN, tetapi ditentang oleh masyarakat khususnya kalangan perguruan tinggi dan mahasiswa, karena tidak sesuai dengan azas skala prioritas dalam situasi keterbatasan dana. Karena adanya penentangan yang cukup luas, formulanya dirubah bahwa TMII akan dibangun berdasarkan swadaya masyarakat. Bagaimana caranya mengerahkan swadaya masyarakat?

Tatkala berlangsung pertemuan gubernur se-Indonesia di bulan Desember 1971, Ketua Yayasan Harapan Kita Ibu Tien Soeharto meminta waktu untuk tampil melontarkan gagasan TMII itu kepada para gubernur. Ibu Tien meminta keikutsertaan para gubernur untuk membangun rumah-rumah adat khas daerahnya dan mengisinya dengan penggambaran kebudayaan dan kesenian khas, serta penyajian berbagai hasil kerajinan daerah. Menteri Dalam Negeri Amirmahmud yang mendampingi Ibu Negara, langsung bermain akrobat, “Saudara-saudara gubernur, dengan ini saya putuskan bahwa saudara-saudara saya angkat sebagai kepala proyek Miniatur Indonesia Indah di daerah saudara masing-masing”. Para gubernur diperintahkan pula oleh sang Menteri Dalam Negeri, mencari akal untuk menghimpun dana, “termasuk akal supaya dari para pengusaha berhasil dihimpun dana”. Padahal, sehari sebelum itu, di depan forum yang sama Presiden Soeharto sendiri, mengulangi seruan-seruannya sebelumnya, mengatakan “Jangan melakukan pemborosan-pemborosan, karena sebagian besar rakyat masih hidup miskin. Kita masih harus mengeratkan ikat pinggang, masih harus bekerja keras untuk mencapai tujuan dan harapan-harapan kita”. Adalah pula Soeharto sendiri yang memperkenalkan dan tak henti-hentinya ‘mengajarkan’ azas skala prioritas pembangunan.

Ketika perlawanan mahasiswa makin meningkat, DPR-RI ‘mengambilalih’ persoalan melalui sejumlah dengar pendapat dan menghasilkan jalan tengah. Maret 1972 DPR-RI merekomendasikan Proyek Taman Mini Indonesia Indah dapat diteruskan, tetapi tidak boleh menggunakan fasilitas negara dan tak boleh menjalankan sumbangan wajib kepada para pengusaha.

Sebagai kasus, masalah TMII memang dapat dianggap selesai pada bulan Maret 1972 itu. Tetapi, sebagai pola, kasus ini ternyata menjadi awal model bergandengnya kekuasaan dengan swasta secara kolutif, awal model dana non-budgeter, perkuatan model penghimpunan dan penggunaan dana taktis dengan berbagai cara, dan awal model pengerahan dana swasta melalui kharisma kekuasaan. Jelas tak ada transaksi-transaksi nyata dan seketika antara kekuasaan dan swasta yang diminta menyumbangkan ‘sedikit’ keuntungannya pada proyek swasta yang di belakangnya berdiri kerabat kekuasaan. Tetapi pada masa-masa berikutnya terbukti secara empiris bahwa mereka yang berjasa, secara tidak langsung mendapat ‘nama baik’ di mata kalangan kekuasaan dan memperoleh ‘benefit’ dengan berbagai cara dan bentuk. Semua berlangsung ibarat hembusan angin, tak terlihat dan tak dapat dipegang, namun terasa keberadaannya (Rum Aly, Menyilang Jalan Kekuasaan Militer Otoriter, Penerbit Buku Kompas, 2004).

BAHWA semua yang dibangun itu, mulai dari Stadion Utama Gelora Bung Karno, Gedung Conefo alias Gedung Kubah MPR/DPR sampai TMII, meskipun awalnya ditentang, namun akhirnya dipakai dan bisa berguna, jelas dan tentu saja memang harus begitu. Merupakan kebebalan baru plus kebodohan baru bila sesuatu yang dibangun secara fait-accompli dengan mengorbankan rakyat, tidak digunakan semata-mata karena faktor sentimentil. Tetapi merupakan kebebalan lebih baru lagi bila mengulangi cara-cara pembangunan fait-accompli dan menyalahi skala prioritas yang diperlukan dalam suatu negara yang ‘belum’ kaya. Apalagi bila nyata-nyata pembangunan itu ditentang rakyat secara luas. Dalam kaitan pembangunan gedung baru DPR yang bernilai 1,15 triliun rupiah, bila para anggota DPR tak lagi memperhitungkan suara rakyatnya, pertanyaannya menjadi, para anggota DPR itu kini lantas mewakili siapa?

Dengan pembangunan TMII, pada hakekatnya rezim Soeharto telah menciptakan pintu masuk tambahan bagi perbuatan korupsi, kolusi dan nepotisme. Bagaimana kini? Seandainya para pimpinan DPR tetap memaksakan pembangunan Gedung Baru DPR senilai 1,15 triliun rupiah itu, kali ini dengan dana APBN, padahal keuangan negara belum terlalu favourable dan menyalahi skala prioritas yang rasional, tak bisa tidak terindikasi akan terbuka lagi satu pintu masuk baru bagi korupsi melalui pembangunan ‘mega proyek’ di saat cara-cara korupsi yang tradisional mulai sulit dilakukan di bawah sorotan mata pers dan masyarakat. Dengan bergesernya peranan ke DPR untuk ‘menciptakan’ berbagai proyek besar, dan bersamaan dengan itu makin terungkapnya keterlibatan sejumlah anggota DPR dalam berbagai kasus korupsi, terindikasi bahwa pola pencarian dana politik titik berat perannya beralih dilakukan melalui partai-partai politik. Kalau dulu, partai-partai dipasok dananya sepenuhnya dari kalangan kekuasaan pemerintahan, kini arusnya mulai dibalik, untuk sebagian, pengorganisasian dana politik dilakukan partai untuk biaya ‘memenangkan’ dan ‘mempertahankan’ kekuasaan.

Padahal, bukankah selalu tersedia cara membangun sesuatu dengan baik dan benar, dengan cara benar pada waktu yang tepat berdasarkan niat yang baik sesuai kemampuan yang sewajarnya, sebagaimana mestinya ada cara yang lebih pantas dalam mencari dana politik? Haruskah tetap bervivere-pericoloso di zona merah korupsi untuk mencari dana politik?

Tatkala Presiden Tersinggung dan Marah (2)

“Jangan coba-coba melakukan tindakan-tindakan inkonstitusional sebab akan saya hantam, siapa saja”, ujarnya. Mereka yang memakai kedok demokrasi secara berlebih-lebihan akan ditindak. “Beberapa nama kalangan militer dan sipil serta tokoh-tokoh kritis yang dekat dengan jenderal-jenderal intelektual, disebutkan dalam laporan tersebut terlibat konspirasi, lengkap dengan beberapa catatan yang detail”.

PENAMPILAN ibu Tien Soeharto dengan misi swasta di depan pertemuan para Gubernur se Indonesia ini, tidak bisa dimengerti oleh banyak kalangan di masyarakat. Ketidakmengertian itu terutama  disampaikan melalui pers dan oleh para mahasiswa –sebagaimana yang antara lain ditunjukkan oleh para mahasiswa Jakarta dan Bandung. Memang sulit untuk dipahami, karena Presiden Soeharto sendiri baru saja secara berulang-ulang menyerukan untuk mengurangi pengeluaran yang tidak perlu dan mengutamakan mencurahkan seluruh dana dan usaha untuk pembangunan. Bahkan, hanya sehari sebelumnya di forum yang sama, di depan para gubernur, secara mengharukan Soeharto memohon kesadaran untuk bersikap prihatin. “Jangan melakukan pemborosan-pemborosan, karena sebagian besar rakyat masih hidup miskin”, ujarnya. “Kita masih harus mengeratkan ikat pinggang, masih harus bekerja keras untuk mencapai tujuan dan harapan-harapan kita”. Menyerukan asas skala prioritas, mendahulukan hanya yang merupakan kebutuhan mendesak, Soeharto mengingatkan “Marilah kita menggunakan dana dan kemampuan yang kita miliki sekarang, hanya bagi usaha-usaha yang betul-betul perlu dalam rangka mencapai kemajuan”. Maka, gagasan ibu Tien dianggap kontra produktif dan akan menjadi sumber penghamburan uang negara –sekalipun dikatakan sumber pembiayaannya adalah sumbangan sukarela berbagai pihak swasta dan pemerintahan daerah. Bahkan, lebih jauh dianggap akan menjadi lubang yang dapat dimanfaatkan untuk penyalahgunaan atau korupsi.

Meskipun reaksi mahasiswa sangat keras dan semakin meningkat, menurut apa yang digambarkan Sudharmono SH, ibu Tien ternyata tidak gentar. Bahkan ibu Tien mengemukakan keinginan untuk berdialog dengan mahasiswa. Waktu dan tempatnya pun ditentukan, di Hotel Kartika Chandra. Justru Sudharmono SH yang menjadi was-was kalau-kalau sampai terjadi insiden, misalnya “karena sikap kasar para mahasiswa terhadap ibu Tien Soeharto”.

Pertemuan ibu Tien Soeharto dengan para mahasiswa berlangsung di salah satu ruangan Hotel Kartika Chandra yang dijaga dengan sangat ketat. Hampir semua anggota kabinet hadir, begitu pula Ketua BAKIN, Ketua Bappenas dan Wakil Panglima Kopkamtib Laksamana Soedomo. Pangkopkamtib Jenderal Soemitro yang tidak begitu setuju dengan proyek ini, tidak hadir. Sejumlah mahasiswa ikut hadir dalam pertemuan di pekan pertama Januari 1972 itu, tetapi hanya sepertiga ruangan yang terisi. Wartawan dalam dan luar negeri tidak diperkenankan masuk kecuali beberapa diantara mereka yang memiliki surat undangan. Yang menarik adalah bahwa aktivis-aktivis yang dikenal anti Proyek Mini, misalnya Arief Budiman dan kawan-kawan, kebanyakan justru tidak tampak hadir. Mungkin, karena ‘lupa’ diundang, sebagai bagian dari upaya penghambatan dan pembatasan kehadiran kelompok-kelompok kritis. Rekan-rekan Arief Budiman yang berjumlah 14 orang terlambat datang dan tidak diperkenankan masuk Kartika Chandra. Lalu mereka berbaring di jalur hijau jalan raya sebagai tanda protes, hingga kemudian digotong polisi ke Komdak (Komando Daerah Kepolisian) Metro Jaya  karena dianggap ‘melanggar peraturan lalu lintas’.

“Saya bergembira bahwa dengan adanya suara-suara dari masyarakat, dengan adanya bermacam-macam gerakan dari kaum muda, saya lebih tahu apa yang seharusnya kami kerjakan agar proyek ini menjadi kenyataan” kata ibu Tien dalam pertemuan itu. Dalam amanat yang antara lain ditujukan kepada “anak-anakku para mahasiswa”, ibu Tien menyatakan menyesal, karena bukanlah maksudnya untuk merepotkan pemerintah dengan gagasan Miniatur Indonesia Indah itu. “Bukan pula kehendak saya untuk memerintah apalagi memaksa para pejabat untuk menuruti kemauan Yayasan Harapan Kita”. Tapi ibu Tien mengakui memang mengharap “dukungan dan bimbingan pemerintah” yang dirasakan wajar sebab “proyek ini cukup besar dan menyangkut berbagai segi yang luas”. Ibu Tien merasa bahwa ia sudah cukup bertindak sebagai ‘orang biasa’. Tetapi, “kalau pemerintah memberikan sumbangan, apa salahnya?”. Lalu ia menambahkan bahwa kalau pak Harto pernah memberikan sumbangan kepada ITB, apakah ITB bukan swasta? Kenapa boleh? Dan Yayasan Harapan Kita tidak boleh hanya karena saya yang jadi ketuanya? Ibu Tien rupanya tidak pernah mendapat penjelasan bahwa ITB itu adalah sebuah perguruan tinggi negeri.

Ali Sadikin memanfaatkan keadaan pada pertemuan itu dengan anjuran agar para pengusaha yang ikut hadir menjadi ‘pengusaha metropolitan’. Anjuran yang bisa diserbatafsirkan. Profesor Widjojo Nitisastro coba melunakkan bahasa pertemuan dengan mengatakan “Sumbangan memang dibenarkan, tanpa fasilitas apa-apa dari pemerintah. Tapi bila tidak menyumbang, juga tidak akan dapat kesulitan apa-apa dari pemerintah”. Demikianlah, tanpa kehadiran mereka yang bersuara vokal, pertemuan itu memang berlangsung baik-baik saja dan dianggap berhasil.

Akan tetapi hanya dalam hitungan hari setelah pertemuan Kartika Chandra, justru Presiden Soeharto tiba-tiba berbicara amat keras tentang gerakan-gerakan kaum muda di hari-hari terakhir memprotes Proyek Mini. Berpidato tanpa teks pada peresmian Rumah Sakit Pertamina yang modern di Kebayoran Baru, 6 Januari 1972, presiden mengecam hak demokrasi yang dilakukan secara berlebih-lebihan seraya memperingatkan akan menghantam dan menindaknya. “Perbedaan pendapat memang merupakan bumbu demokrasi”, ujarnya, “Tetapi harus dalam batas-batas keserasian dan jangan hanya ingin menggunakannya sehingga timbul kekacauan. Khususnya, dalam menghadapi proyek Miniatur Indonesia”.

Rupanya, bagi para presiden, mulai dari Soekarno, Soeharto hingga presiden-presiden berikutnya, termasuk Megawati Soekarnoputeri maupun Susilo Bambang Yudhoyono, “hak demokrasi yang dilakukan secara berlebih-lebihan”, adalah bagaikan duri yang mengganggu. Banyak dikeluhkan, atau menimbulkan kemarahan dan bahkan tidak jarang kemudian ditindaki.

Mereka yang berada tak jauh dari Presiden Soeharto saat itu, bisa melihat dengan jelas bahwa wajah presiden tampak berkeringat. Pada pokoknya, Presiden Soeharto sebagai suami pemrakarsa, katanya, sangat mengetahui secara jelas tentang rencana TMII, dan karenanya membenarkan proyek Miniatur Indonesia itu. “Tak bertentangan dengan srategi jangka panjang perjuangan bangsa, pun tidak bertentangan dengan strategi jangka pendek”. Hanya saja karena sadar akan pentingnya kebutuhan-kebutuhan yang lain, sementara budget pun belum ada, maka dianjurkan memobilisir swasta namun tanpa janji fasilitas segala macam. “Sebagai penanggung jawab pembangunan, saya menjamin itu tidak akan mengganggu pembangunan”. Juga takkan mengganggu keuangan negara dan penerimaan negara. “Jadi, saya sampai bertanya-tanya kenapa mesti dihebohkan? Apa landasannya untuk diragukan, apakah mengganggu pembangunan ? Apakah karena Bang Ali project officernya, ataukah karena pemrakarsanya kebetulan istri saya lalu dianggap ini proyek mercusuar ?”.

Berkata lagi Presiden Soeharto “Atau apakah dianggap mau mempertahankan terus kursi presiden ?”. Seraya menyampaikan berbagai sinyalamen dan peringatan, Presiden Soeharto menyebut isu-isu itu bertujuan jangka pendek untuk mendiskreditkan pemerintah yang dipimpinnya dan untuk jangka panjang mendepak ABRI dari eksekutif maupun mendepak dwifungsi lalu menggiring ABRI masuk kandang. Bila memang itu soalnya, bukan semata soal Miniatur, maka ABRI lah yang akan menjawab, “ABRI tidak akan melepaskan dwifungsinya”. Tentang dirinya sendiri, Soeharto memberikan alternatif bahwa kalau ada yang menghendaki dirinya mundur karena menganggapnya terlalu ke’jawa’an –lamban, alon-alon asal kelakon dan sebagainya– tak perlu ribut-ribut. “Gampang, gunakan kesempatan sidang MPR 1973. Kalau mau lebih cepat lagi adakan Sidang Istimewa MPR”. Syaratnya, semua berjalan secara konstitusional. Kalau tidak, jangan kaget kalau Jenderal Soeharto kembali ke sikap keras seperti 1 Oktober 1965 ketika menghadapi PKI. “Jangan coba-coba melakukan tindakan-tindakan inkonstitusional sebab akan saya hantam, siapa saja”, ujarnya. Mereka yang memakai kedok demokrasi secara berlebih-lebihan akan ditindak. “Kalau ada ahli hukum yang mengatakan tidak ada landasan hukum”, kata Soeharto, “demi kepentingan negara dan bangsa saya akan gunakan Supersemar”.

Kembali kepada kenangan 1 Oktober 1965, Soeharto mengungkap pula dengan kata-kata pahit bahwa “waktu itu tak ada pemuda, tak ada mahasiswa maupun partai politik yang datang mendukung saya”. Terkecuali satu orang, katanya, yakni isterinya yang saat itu menjadi Ibu Negara, pemrakarsa Miniatur Indonesia. Dari ucapan-ucapannya itu terlihat Suharto mempunyai konstruksi pemikiran tentang adanya dalang dibalik semua peristiwa protes, dan itu semua terkait dengan situasi politik saat itu. Lagi pula seperti dituturkan kemudian oleh seorang mantan pejabat intelejen, saat itu Soeharto telah sempat memperoleh suatu laporan tentang adanya skenario konspirasi yang memanfaatkan kasus TMII untuk mendiskreditkan Presiden Soeharto dan isteri, serta kekuasaannya. Beberapa nama kalangan militer dan sipil serta tokoh-tokoh kritis yang dekat dengan jenderal-jenderal intelektual, disebutkan dalam laporan tersebut terlibat konspirasi, lengkap dengan beberapa catatan yang detail. Tapi tak ada langkah lebih jauh dalam kasus konspirasi tersebut, karena Jenderal Soemitro sempat memberi masukan yang bisa menetralisir sementara teori konspirasi tersebut.

Agaknya, hanya dalam tempo enam tahun Jenderal Soeharto telah bisa melupakan bahwa kelompok mahasiswa lah antara lain yang telah berperan menurunkan Soekarno dan membantunya naik ke kursi kekuasaannya. Apakah daya ingat penguasa memang hanya bertahan paling lama 6 tahun? Bagaimanapun, ucapan keras Jenderal Soeharto kala itu telah menambah goresan baru dalam luka hubungan mahasiswa dengan kekuasaan, yang menganga setelah Peristiwa 6 Oktober 1970 di Bandung.

Berlanjut ke Bagian 3