HASRAT Soeharto melanggengkan kekuasaan, makin terbaca dengan berjalannya waktu. Rezim yang dibentuk Soeharto dan para jenderalnya, selama puluhan tahun menjalar bagaikan tanaman rambat di pohon besar republik, meluas secara pasti dengan akar nafas yang mencekam kuat. Sulur dan daunnya membelit batang tubuh tumbuhan induk guna mencapai tempat-tempat yang tinggi mengejar cahaya. Tak gampang mencabutnya, tanpa merusak pohon induk, meski sebenarnya ia tidak merusak pohon induk. Hanya saja, ia memberi kesempatan bagi sejumlah tanaman parasit tumbuh bersamanya yang dengan ganas mencuri air dan makanan dari pohon induk.

Pada periode 1966-1967, menurut sejarawan Anhar Gonggong –dalam artikel tema untuk buku ‘Menyilang Jalan Kekuasaan Militer Otoriter’ (Rum Aly, Penerbit Buku Kompas, 2004)– Jenderal Soeharto telah merancang pelbagai langkah untuk melaksanakan konsolidasi kekuasaannya. Dalam waktu yang hampir bersamaan dalam periode tersebut, di Bandung “telah berkembang wacana-wacana yang strategis. Salah satu di antaranya ialah persoalan bangunan demokrasi yang dirancang dengan melontarkan gagasan Dwi Partai dan juga undang-undang pemilihan umum. Perubahan sistem kepartaian memang mempunyai arti strategis untuk suatu konsolidasi kekuasaan dan yang kemudian akan disambung dengan pemilihan umum untuk mengisi secara demokratis lembaga-lembaga negara”.
Tapi pada titik ini, dalam konteks menegakkan sistem demokrasi dan negara hukum, tampak perbedaan persepsi antara tentara dan kaum cendekiawan –khususnya mahasiswa– yang oleh Anhar Gonggong digambarkan pada mulanya adalah teman seiring. Buku itu sendiri menggambarkan betapa “ABRI yang dengan dukungan kampus perguruan tinggi kemudian berhasil mendominasi panggung kekuasaan negara Indonesia pasca-Soekarno, semakin berusaha berkuasa sendiri dalam pusat kekuasaan negara dengan tak lupa membawa serta kulturnya yang militeristik, otoriter, monolitik, dan mengarah pada diktatorisme. Tak banyak berbeda dengan pola kekuasaan yang dipraktekkan oleh rezim yang digantikannya. Militeristik dan komunistik tampaknya memang lekat dengan diktatoristik. Arahnya mudah ditebak: Suatu negara yang penuh manipulasi, sentralistik, korupsi, anti-demokrasi, dan berorientasi kekuasaan semata”.
JENDERAL SOEHARTO yang pada tahun 1966 hingga menjelang pertengahan 1967, cukup banyak menunjukkan sikap ‘sabar’ dan banyak tersenyum –sehingga kemudian mendapat julukan The Smiling General– ternyata bermutasi sebagai Presiden yang tak terlalu tahan kritik. Senyuman ‘monalisa’nya mulai kerap hilang. Tatkala tokoh kesatuan aksi Adnan Buyung Nasution dalam suatu pertemuan 13 Juni 1967 dengan tajam melontarkan kritik bahwa ABRI makin rakus, dengan berang Soeharto berkata, “Kalau bukan saudara Buyung yang mengatakan, pasti sudah saya tempiling….”.
Lalu, saat telah lima tahun berkuasa, Jenderal Soeharto menjadi lebih sensitif, bila caranya berkuasa dikritik dan dipersoalkan, bersamaan dengan mulai terjadinya intrik akibat rivalitas di lapis-lapis terdekat dari pusat kekuasaannya. Sensitivitas itu antara lain ditunjukkan Soeharto ketika menghadapi kritik-kritik mahasiswa terhadap pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) –yang kala itu lebih dikenal sebagai Proyek Mini yang diprakarsai Ibu Negara Siti Suhartinah Soeharto. Menggunakan kesempatan peresmian RS Pertamina di Kebayoran Baru, 6 Januari 1972, melalui suatu pidato tanpa teks, Jenderal Soeharto mengecam penggunaan hak demokrasi yang berlebih-lebihan, dan mengancam akan menghantam dan menindakinya.
Mereka yang berada tak jauh dari presiden, bisa melihat dengan jelas bahwa waktu itu wajah presiden tampak berkeringat. Pada pokoknya, Presiden Soeharto sebagai suami pemrakarsa, katanya sangat mengetahui secara jelas tentang rencana TMII, membenarkan Miniatur Indonesia. “Tak bertentangan dengan srategi jangka panjang perjuangan bangsa, pun tidak bertentangan dengan strategi jangka pendek”. “Sebagai penanggung jawab pembangunan, saya menjamin itu tidak akan mengganggu pembangunan”. Juga takkan mengganggu keuangan negara dan penerimaan negara. “Jadi, saya sampai bertanya-tanya kenapa mesti dihebohkan? Apa landasannya untuk diragukan, apakah mengganggu pembangunan ? Apakah karena Bang Ali project officernya, ataukah karena pemrakarsanya kebetulan istri saya lalu dianggap ini proyek mercusuar?”.
Berkata lagi Presiden Soeharto “Atau apakah dianggap mau mempertahankan terus kursi presiden?”. Seraya menyampaikan berbagai dugaan bernada prasangka dan peringatan, Presiden Soeharto menyebut isu-isu itu bertujuan jangka pendek untuk mendiskreditkan pemerintah yang dipimpinnya. Dan, untuk jangka panjang mendepak ABRI dari eksekutif maupun mendepak dwifungsi lalu menggiring ABRI masuk kandang. Bila memang itu soalnya, bukan semata soal Miniatur, maka ABRI lah yang akan menjawab, “ABRI tidak akan melepaskan dwifungsinya”.
Tentang dirinya sendiri, Soeharto memberikan alternatif bahwa kalau ada yang menghendaki dirinya mundur karena menganggapnya terlalu ke’jawa’an –lamban, alon-alon asal kelakon dan sebagainya– tak perlu ribut-ribut. “Gampang, gunakan kesempatan sidang MPR 1973. Kalau mau lebih cepat lagi adakan Sidang Istimewa MPR”. Syaratnya, semua berjalan secara konstitusional. Kalau tidak, jangan kaget kalau Jenderal Soeharto kembali ke sikap keras seperti 1 Oktober 1965 ketika menghadapi PKI. “Jangan coba-coba melakukan tindakan-tindakan inkonstitusional sebab akan saya hantam, siapa saja”, ujarnya. Mereka yang memakai kedok demokrasi secara berlebih-lebihan akan ditindak. “Kalau ada ahli hukum yang mengatakan tidak ada landasan hukum”, kata Soeharto, “demi kepentingan negara dan bangsa saya akan gunakan Supersemar”. Surat Perintah 11 Maret, adalah surat ‘pelimpahan kekuasaan’ yang diperolehnya dari Presiden/Pangti ABRI Soekarno pada tahun 1966.
Rivalitas para jenderal. Kelak, sensitivitas serupa berkali-kali masih akan ditunjukkan Jenderal Soeharto. Dan biasanya kemarahan itu tercetus sebagai pidato-pidato tanpa teks, antara lain seperti yang dilakukannya pada tahun 1980 di Pakanbaru. Semuanya senantiasa merupakan reaksi terhadap apa yang dianggapnya sebagai serangan terhadap diri, keluarga dan kekuasaannya yang dikaitkannya dengan tujuan terselubung menghapuskan dwifungsi ABRI. Makin lama ia berkuasa, makin tinggi pula kadar sensitivitasnya. Mencoba memanfaatkan sensitivitas itu, para pelaku intrik istana yang terlibat rivalitas kekuasaan juga makin pandai menyebar serbuk gatal. Adalah fakta bahwa Soeharto berkuasa dalam jangka panjang, setelah terpilih sebagai Presiden melalui SI-MPRS 1967, ia masih terpilih lagi pada sejumlah SU-MPR, yakni di tahun 1972, 1978, 1983, 1988, 1993 dan 1998. Penciptaan situasi yang dibumbui penebaran serbuk gatal mencapai puncak keberhasilan di bulan-bulan pertama 1998. Bulan Mei, Soeharto memutuskan untuk mengundurkan diri dari kekuasaannya yang sudah berlangsung 32 tahun. Turunnya Soeharto terutama lebih disebabkan oleh pertarungan dan ‘pengkhianatan-pengkhianatan’ internal rezimnya sendiri melalui berbagai lakon dan peran para Brutus, yang kemudian digenapkan tekanannya oleh gerakan-gerakan mahasiswa. Para mahasiswa tak mungkin masuk menduduki Gedung MPR/DPR tanpa pemberian kesempatan oleh Panglima ABRI kala itu. (Baca juga, ‘Konspirasi’ Mei 1998: Kisah Para Brutus di Sekitar Jenderal Soeharto, di sociopolitica.me tanggal 20, 23 dan 30 Mei 2012).
Sensitivitas Jenderal Soeharto banyak terpicu oleh sejumlah asap rivalitas yang terjadi sekitarnya, yang muaranya adalah menuju kursi RI-1. Ada asap, dianggap tentu karena ada api. Peristiwa polemik seputar Taman Mini Indonesia Indah, tahun 1972, menjadi salah satu penampakan awal dari adanya rivalitas intern yang makin menguat dalam tubuh kekuasaan. Pada awalnya, polarisasi pertarungan adalah antara para Jenderal Mabes (Markas Besar) ABRI dengan para Jenderal non Mabes. Para Jenderal non Mabes terutama adalah para Aspri (Asisten Pribadi) Presiden –Ali Moertopo, Soedjono Hoemardani dan kawan-kawan– yang sepertinya menggelinding sendiri dalam berbagai kiprah kekuasaan dengan mengabaikan Mabes, menimbulkan rasa tidak senang. Maka pada kutub lain dari rivalitas adalah para Jenderal di Mabes, yakni Jenderal Soemitro dan kawan-kawan, Letjen Sutopo Juwono dan Jenderal Maraden Panggabean. Jenderal Amirmahmud yang Menteri Dalam Negeri juga termasuk ke dalam kelompok Mabes.
Para Jenderal kelompok Markas Besar ini memiliki satu mekanisme pertemuan teratur, semacam Dewan Jenderal, meskipun tidak dibakukan formal. Namun, di kelompok Mabes ini tercipta lagi faksi-faksi yang satu sama lain kerap menunjukkan perbedaan, meskipun pada dasarnya segaris. Sering kali ‘perbedaan’ terciptanya hanya karena hal-hal pribadi saja yang tidak prinsipil. Umpamanya, antara Jenderal Soemitro dan Jenderal Maraden Panggabean. Begitu pula antara Amirmahmud dengan jenderal-jenderal intelektual. Amirmahmud kadang-kadang kurang nyaman berada diantara para jenderal intelektual yang kerap menyelipkan bahasa Belanda dalam percakapan diantara sesama jenderal yang pernah mengenyam pendidikan di sekolah Belanda. Selain itu, materi ‘percakapan intelektual’ para jenderal lainnya itu tidak ‘menarik’ bagi Amirmahmud. Dalam kasus TMII, Amirmahmud memainkan ‘peranan’ dan kepentingan berbeda dengan Jenderal Soemitro dan para teknokrat.
Antara Widjojo Nitisastro cs dengan kelompok Aspri juga sering terjadi perbedaan. Kelompok Ali Moertopo mempunyai keinginan, sehingga sudah menjadi semacam obsesi, untuk menguasai Bappenas karena merasa punya teknokrat-teknokrat dan ekonom yang memadai untuk itu, seperti Dr Panglaykim –ayahanda Dr Elka Mari Pangestu yang kini menjadi salah seorang menteri di kabinet Presiden SBY– dan kawan-kawan. Dibandingkan Widjojo dan kawan-kawan, pandangan-pandangan Panglaykim adalah lebih kanan, dan sementara itu pandangan-pandangan ekonom ‘luar pagar’ Prof Sarbini Somawinata adalah lebih kiri dari Widjojo dan kawan-kawan. Tapi di mata banyak pihak, pandangan-pandangan ekonomi Prof Widjojo cs maupun Prof Sarbini adalah sama-sama sosialistis. Dalam pada itu di Bappenas juga terdapat suatu lapis kedua yang memiliki pandangan, agenda dan kepentingan sendiri, di antaranya Bintoro Tjokroamidjojo yang memiliki kedekatan dengan kelompok alumni HMI. Dalam kasus TMII, dengan manuver-manuvernya yang jitu, Ali Moertopo berhasil lebih merapat ke ibu Tien Soeharto, sementara Jenderal Soemitro tampil tidak menggembirakan bagi sang ibu negara. Sedang Widjojo ditempatkan pada posisi sulit ‘oleh’ ibu Tien tatkala diminta untuk berbicara di depan kalangan generasi muda penentang TMII untuk memberi ‘pembenaran’ artifisial terhadap proyek itu.
Rivalitas internal kekuasaan itu, tampak lebih mengerucut pada tahun 1973. Bersamaan dengan peningkatan radikalisasi mahasiswa Jakarta dan meningkatnya gerakan kritis mahasiswa Bandung dan berbagai kota perguruan tinggi lainnya, tahun 1973 hingga menjelang awal 1974, temperatur pertarungan di tubuh kekuasaan di lapisan persis di bawah Jenderal Soeharto juga meningkat. Dalam konteks ini, Pangkopkamtib Jenderal Soemitro menjadi fokus utama perhatian, karena dalam rumor politik yang gencar, ia ‘dituduh’ berambisi menjadi Presiden Indonesia berikutnya menggantikan Soeharto. Namun sebenarnya, Jenderal Soemitro tak sendirian dalam medan analisa kepemilikan ambisi seperti itu. Nama Mayor Jenderal Ali Moertopo juga disebut-sebut. Beberapa nama lain, kelak juga akan disebutkan di kancah ambisi tersebut.
(sociopolitica.me/sociopolitica.wordpress.com) – Berlanjut ke Bagian 3.