Tag Archives: Jenderal Ali Moertopo

1974: Pers (dan Mahasiswa) Dalam Metafora ‘Pisau Dapur’

DALAM laporan khusus Majalah Tempo (13-19 Januari 2014) mengenai Peristiwa 15 Januari 1974 yang terjadi 40 tahun lampau, muncul catatan penggunaan metafora pers dan mahasiswa sebagai ‘pisau dapur’. Dilontarkan Mashuri SH selaku Menteri Penerangan RI di depan anggota DPR pada awal Februari 1974. Sang menteri kala itu sedang mencoba menjelaskan kenapa ia membreidel –mencabut Surat Izin Terbit– begitu banyak suratkabar setelah peristiwa. “Selama berfungsi sebagai pisau dapur, tetap dapat dipakai. Tapi, kalau digunakan untuk membunuh, lebih baik disimpan atau dibuang saja,” ujar Mashuri SH di forum itu.

            Sebenarnya cukup banyak yang geram terhadap Mashuri dengan tindakan-tindakan dan pernyataan-pernyataan ‘ikut arus’nya, khususnya di kalangan aktivis mahasiswa dan cendekiawan yang sebenarnya memiliki kedekatan dengan dirinya. Meskipun ia adalah menteri Soeharto –Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, lalu Menteri Penerangan– ia dianggap bukan tipe bebek. Tapi ternyata pada momen pasca Malari, saat fase copot mencopot diyakini mau tak mau akan terjadi, Mashuri memilih ikut arus.

BERITA 'MAHASISWA INDONESIA' SOAL PANGKOPKAMTIB. "Pencabutan SIT bagi Mingguan Mahasiswa Indonesia disertai alasan-alasan yang berat-berat, seperti mencampuri politik tingkat tinggi, melakukan adu domba politik tingkat tinggi, menghina kepala negara dan ibu negara, penghasutan dan sebagainya yang berkelas subversi dan makar."
BERITA ‘MAHASISWA INDONESIA’ SOAL PANGKOPKAMTIB. “Pencabutan SIT bagi Mingguan Mahasiswa Indonesia disertai alasan-alasan yang berat-berat, seperti mencampuri politik tingkat tinggi, melakukan adu domba politik tingkat tinggi, menghina kepala negara dan ibu negara, penghasutan dan sebagainya yang berkelas subversi dan makar.”

Semua suratkabar yang sudah lebih dulu dicabut Surat Izin Cetak dan atau ditindaki Kopkamtib/Kopkamtibda, tak lolos dari pencabutan SIT oleh Departemen Penerangan. Bahkan, ada suratkabar yang luput ditindak Kopkamtib, pun dicopot SIT-nya. Jenderal Ali Moertopo, seteru Jenderal Soemitro dalam kekuasaan, diyakini berperan dalam proses ini. Begitu pula dalam proses penindakan terhadap kelompok-kelompok yang dianggap berada dalam barisan Jenderal Soemitro.

            IRONIS sebenarnya, bila Mashuri SH menganggap pers dan mahasiswa hanya sebagai pisau dapur, yang akan dibuang bila dipakai di luar dapur. Sungguh suatu pandangan khas penguasa, bahwa segala sesuatunya hanyalah alat kepentingan kekuasaan. Padahal, Mashuri SH, dengan mencatat rekam jejak perjuangannya sejak tahun 1966, semestinya bukanlah tipe tokoh kekuasaan klasik seperti itu. Tak ada gunanya ia menggunakan metafora yang tak nyaman itu bagi pers dan mahasiswa itu dan hanya akan menciptakan kerenggangan psikologis.  Toh, tak selang beberapa lama setelah peristiwa, ia juga dilepas dari jabatan Menteri Penerangan, diganti oleh Jenderal Ali Moertopo.

Sebelumnya, saat baru menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, susah payah Mashuri SH menghadapi kasus CV Haruman yang turun temurun pengaruhnya bagaikan gurita melilit tubuh Departemen PDK dan menguasai begitu banyak proyek melalui cara-cara fait accompli di situ. Sangat terbatas media pers yang ‘membantu’nya menyampaikan ‘kebenaran’, dan hanya dua yang gigih berpihak kepadanya memerangi bisnis korup itu, yaitu Harian Indonesia Raya dan Mingguan Mahasiswa Indonesia. Uang bekerja untuk menetralisir kebanyakan pers, bahkan merekrut beberapa media pers sebagai senjata menghadapi Menteri PDK Mashuri, sementara yang lainnya memilih tidak turut campur. Berangsur-angsur pemberitaan pers tentang kasus tersebut mereda. Hanya dua media itu saja yang bertahan ingin mengawal persoalan itu tuntas sampai pengadilan.

Namun ternyata, Departemen PDK sendiri diam-diam berunding menyelesaikan masalah di luar jalur hukum. Kantor redaksi Mahasiswa Indonesia didatangi seseorang yang mengaku utusan CV Haruman dengan membawa tas berisi uang dan janji-janji. Cukup berhenti memberitakan saja, tak lebih dari itu, karena ‘ketenangan’ diperlukan saat berlangsung suatu ‘penyelesaian damai’. Mahasiswa Indonesia memilih tetap saja memberitakan dan mengulas kasus tersebut untuk beberapa lama. Bukan pisau dapur. Namun, nyatanya terjadi kesepakatan penyelesaian damai tanpa proses hukum antara PDK dan sang swasta.

HARIAN Indonesia Raya dan Mingguan Mahasiswa Indonesia termasuk di antara dua media pers yang dibreidel ganda, baik oleh pihak penguasa militer maupun Departemen Penerangan di bawah Mashuri SH. Khusus bagi Mingguan Mahasiswa Indonesia adalah cukup ironis bahwa pencabutan SIT kebetulan dilakukan oleh Menteri Penerangan Mashuri, orang yang pada waktu menjadi Menteri PDK disupportnya habis-habisan menghadapi kasus korupsi CV Haruman pada saat tak ada media lain lagi mau melakukan supportasi. Tapi bagaimanapun posisi Mashuri bisa dipahami, karena pencabutan SIT adalah keputusan Kabinet serta Dewan Stabilisasi Politik dan Keamanan Nasional, dan terutama atas kehendak Presiden Soeharto sendiri. Pencabutan SIT bagi Mingguan Mahasiswa Indonesia disertai alasan-alasan yang berat-berat, seperti mencampuri politik tingkat tinggi, melakukan adu domba politik tingkat tinggi, menghina kepala negara dan ibu negara, penghasutan dan sebagainya yang berkelas subversi dan makar.

Memang, kala itu disamping penangkapan-penangkapan terhadap orang, salah satu sasaran tindakan segera pasca 15 Januari adalah perintah penutupan terhadap beberapa media pers. Tepat 16 Januari 1974 Departemen Penerangan mencabut Surat Izin Terbit (SIT) Harian Nusantara yang terbit di Jakarta. Pencabutan SIT Harian Nusantara yang dipimpin TD Hafaz ini sebenarnya tidak terkait langsung dengan peristiwa tanggal 15, melainkan akibat-akibat beberapa pemberitaannya sebelumnya. Pelarangan terbit yang dikaitkan langsung dengan Peristiwa 15-16 Januari 1974 justru paling pertama dikenakan kepada Mingguan Mahasiswa Indonesia yang terbit di Bandung dan mulai berlaku 18 Januari 1974. Informasi akan adanya pembreidelan telah diketahui oleh para pengasuh mingguan tersebut pada tanggal 17 dinihari, namun mereka memutuskan untuk tetap menerbitkan edisinya yang terakhir yang bertanggal 20 Januari 1974 tetapi telah dicetak dan beredar pada dini hari Jumat 18 Januari dengan tiras yang beberapa kali lipat dari biasanya. Ini dimungkinkan karena percetakan Golden Web Bandung saat itu menggunakan mesin cetak offset rotary yang berkecepatan tinggi. Untuk wilayah Bandung dan sekitarnya saja beredar dan terjual habis dalam satu hari dengan jumlah yang tampaknya melampaui akumulasi tiras koran Bandung dan Jakarta yang beredar di Bandung pada Jumat itu. Semua hasil cetakan juga sempat terkirim sejak Jumat dinihari ke wilayah peredarannya di Bali, Jawa Timur, Jawa Tengah, Yogyakarta, luar Jawa, Jakarta selain dari Jawa Barat sendiri. Beberapa permintaan tambahan dari para distributor pada Sabtu pagi tak mungkin dipenuhi lagi.

Lebih jauh, tentang nasib pers kala itu, berikut ini kita meminjam kembali beberapa uraian dalam buku “Menyilang Jalan Kekuasaan Militer Otoriter” (Rum Aly, Penerbit Buku Kompas, 2004).

Cara penguasa menghentikan Mingguan Mahasiswa Indonesia adalah unik. Karena di Jawa Barat waktu itu tidak ada mekanisme Surat Ijin Cetak seperti halnya di Jakarta dan beberapa daerah lainnya, maka Laksus Pangkopkamtibda Jawa Barat mengeluarkan terlebih dulu surat keputusan memberlakukan Surat Izin Cetak di wilayahnya. Lalu, menyatakan bahwa semua media massa cetak di wilayah itu mendapat SIC terkecuali Mingguan Mahasiswa Indonesia. Siaran pers Laksus Kopkamtibda Jawa Barat dengan jelas menyebutkan bahwa tindakan terhadap Mingguan Mahasiswa Indonesia ini berdasarkan perintah Pangkopkamtib. “Mingguan tersebut dalam penerbitannya yang terakhir masih terus melakukan penghasutan-penghasutan yang dapat mengganggu keamanan dan ketertiban umum”. Dalam edisi terakhir itu, Mingguan itu menyajikan laporan hasil liputan para reporternya mengenai Peristiwa 15 dan 16 hingga 17 Januari, selain insiden di Halim Perdana Kusuma, sebagaimana adanya di lapangan. Termasuk mengenai adanya massa non mahasiswa yang memulai perusakan di Pecenongan dan Senen. Liputan itu dilengkapi dengan editorial yang berjudul “Di Balik Kerusuhan Jakarta”, tentang terciptanya situasi rawan akibat credibility gap dalam hal rasa percaya masyarakat terhadap pemerintah. Credibility gap terjadi karena pengalaman empiris menunjukkan bahwa apa yang diucapkan kalangan kekuasaan tidak sesuai dengan kenyataan.

DALAM pertemuan dengan pers yang diselenggarakan hari Sabtu 19 Januari, Panglima Siliwangi Brigjen Aang Kunaefi yang baru beberapa hari memangku jabatannya, menegaskan kembali bahwa tidak diberinya Surat Izin Cetak kepada Mingguan Mahasiswa Indonesia adalah “karena sampai penerbitan terakhirnya selalu bersifat menghasut dan tidak bertanggung jawab”. Pembicara dalam pertemuan tersebut praktis hanya tiga orang ini, yakni Panglima Siliwangi, Ketua PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) Jawa Barat Atang Ruswita yang sering dianggap lunak namun hari itu berbicara dengan teguh dan Pemimpin Redaksi Mingguan Mahasiswa Indonesia Rum Aly. Tak lain, karena hadirin lainnya (termasuk tokoh pers mahasiswa 1966 dan wartawan senior Alex Rumondor yang biasanya vokal) agaknya ‘tercekam’ situasi.

Rum Aly menyanggah beberapa pernyataan sang Panglima. “Hendaknya Panglima menunjukkan dalam hal apa Mingguan Mahasiswa Indonesia menghasut dan tidak bertanggungjawab ?!”. Selama ini, “kami merasa masih punya tanggung jawab, baik kepada undang-undang, negara, kepada masyarakat dan kebenaran”. Panglima menimpali dengan keras, “saya juga masih punya tanggungjawab yang lebih tinggi, yakni kepada Tuhan”. Dijawab balik, “semua orang punya tanggungjawab kepada Tuhan-nya, bukan hanya Panglima. Tapi di dunia, kita punya tanggungjawab kepada masyarakat dalam posisi kita masing-masing”. Panglima akhirnya surut dan berjanji akan memberi penjelasan, “Baiklah, untuk itu kita akan mengadakan pertemuan khusus”. Usai pertemuan, seraya menepuk-nepuk bahu Rum Aly, Panglima Siliwangi itu memberi pernyataan “Sebenarnya kita sama, tapi ada perintah dari atas”. Ditanggapi Rum Aly dengan menarik bahu sambil berkata, “Kalau sama, bapak takkan bertindak seperti sekarang ini”. Sikap keras Rum Aly itu sempat membuat was-was beberapa wartawan muda lainnya yang bersimpati, jangan-jangan berakibat penahanan bagi yang bersangkutan.

Waktu itu, pernyataan Jenderal Aang Kunaefi sepertinya tak berarti apa-apa, kecuali semacam excuse dan persuasi setelah bertindak keras. Tetapi belakangan terungkap betapa sebenarnya Aang Kunaefi itu pada hari-hari berikutnya secara diam-diam telah berbuat banyak untuk mahasiswa Bandung. Ia misalnya pada hari-hari itu menolak permintaan Laksamana Soedomo untuk menangkap beberapa pimpinan Dewan Mahasiswa Bandung –antara lain Hatta Albanik, Paulus Tamzil, Komaruddin dan beberapa lainnya– dan menyatakan bahwa gerakan mahasiswa Bandung bersih dari niat makar. Padahal sebelumnya, 16 Januari 1974, atas inisiatif Marzuki Darusman, beberapa tokoh mahasiswa Bandung –Hatta Albanik, Paulus Tamzil dan Budiono Kusumohamidjojo– yang juga ditemani Pontas Pardede, telah dipertemukan dengan Soedomo untuk menjelaskan sikap dan sifat gerakan mahasiswa Bandung yang murni, dan Soedomo berlaku seakan-akan mengerti. Nyatanya, ia justru menelpon Aang Kunaefi untuk melakukan penangkapan-penangkapan.

Menjadi menarik untuk mengikuti satu kisah di balik cerita dari pertemuan itu, karena terjadi dua peristiwa ‘kebetulan’. Sewaktu para mahasiswa tersebut berada di ruang kerja Laksamana Soedomo di markas Kopkamtib, tiba-tiba Jenderal Soemitro masuk ke ruang itu. Terlihat betapa Soemitro tertegun sejenak, sedikit ‘berubah’ wajahnya dan agak heran, saat melihat kehadiran tokoh-tokoh mahasiswa dari Bandung itu di ruang ‘orang kedua’ Kopkamtib tersebut. Soedomo segera ‘memperkenalkan’, “Ini anak-anak Bandung”. Soemitro hanya mengatakan, “Ya, ya..”. Tampaknya sang Jenderal segera mengenali Paulus Tamzil yang bertubuh besar tinggi, karena ketika mengadakan pertemuan dengan para mahasiswa Bandung beberapa bulan sebelumnya, Paulus lah yang tampil menanyakan kepadanya apakah ia berambisi menjadi Presiden.

‘Kebetulan’ yang kedua terjadi beberapa saat sesudahnya, ketika muncul pula Jenderal Ali Moertopo ke ruangan Soedomo. Berbeda dengan Soemitro, Ali Moertopo dengan gesit justru ‘mendahului’ Soedomo, dan berkata “Ini kawan-kawan dari Bandung….” seraya menunjuk ke arah para mahasiswa itu, seolah-olah memperkenalkan. Koinsidensi di ruang kerja Laksamana Soedomo itu pastilah menyebabkan kesimpulan tertentu dan tersendiri di benak ketiga perwira tinggi yang kebetulan ada dalam pijakan berbeda dalam peta dan positioning ‘kekuasaan aktual’ di pertengahan Januari 1974 itu.

KORAN ibukota yang dibreidel di wilayah Laksus Pangkopkamtibda sejak 21 Januari adalah Harian Indonesia Raya yang dipimpin Mohtar Lubis, Harian Kami yang dipimpin Nono Anwar Makarim, lalu Harian Abadi, The Jakarta Times, Mingguan Wenang dan Mingguan Pemuda Indonesia. Keenamnya dicabut Surat Izin Cetak-nya. Dua hari kemudian, menyusul lagi Harian Pedoman yang dipimpin Rosihan Anwar –kendati Rosihan sudah menyempatkan diri meminta maaf kepada penguasa– dan Majalah Ekspres yang dipimpin Marzuki Arifin SE.

Pembreidelan terhadap ‘Ekspres’, yang diketahui sangat dekat dengan kelompok Ali Moertopo dan beritanya menghantam habis para mahasiswa dan peristiwa itu, memang sedikit mengherankan pada mulanya. Tapi belakangan diketahui bahwa ‘permintaan’ untuk menindak ‘Ekspres’ mau tidak mau harus dipenuhi karena majalah itu memuat foto-foto perusakan pada tanggal 15 Januari itu yang dijadikan salah satu ‘syarat’ pembreidelan. Sehari sebelumnya, rencana pembreidelan ‘Ekspres’ ini dengan alasan pemuatan foto perusakan disampaikan oleh Louis Taolin (Pemimpin redaksi Mingguan Mahasiswa Indonesia edisi Pusat yang tak terbit lagi) yang mempunyai akses ke kalangan intelejen, kepada Rahman Tolleng. Mereka ini lalu berinisiatif menghubungi Majalah Tempo yang dipimpin Goenawan Mohamad, agar mencoba menghindari nasib serupa dengan tidak memuat foto-foto perusakan yang bisa dijadikan alasan menindak. Para pengasuh Tempo tanggap dan segera mencabut halaman-halaman yang memuat foto-foto seperti itu, padahal majalahnya sudah betul-betul siap cetak. Edisi Tempo kali itu lalu terbit dengan lebih ramping karena ‘kehilangan’ beberapa halaman, namun akhirnya lolos dari pembreidelan. Menjadi kurus sejenak tapi tidak perlu kehilangan nyawa, sehingga dunia pers tidak harus kehilangan terlalu banyak media yang berharga dan masih idealis.

Tapi, menurut Liputan Khusus Tempo (13-19 Januari 2014), penanggung jawab Tempo saat itu di tahun 1974, Goenawan Mohamad, mengaku tak mendapat pemberitahuan tersebut.  Tempo yang kala itu berumur tiga tahun, menulis kasus Malari dalam sebelas halaman di edisi 26 Januari, dengan sampul depan berjudul “Huru Hara di Jakarta”. Terbit 52 halaman, sama dengan ketebalan edisi sebelum Malari, Tempo tak menulis banyak, kata Goenawan, “Karena enggak ada naskah aja.”

Belakangan, seluruh pencabutan SIC ini mendapat ‘hukuman final’ berupa vonnis mati yang tetap dengan adanya pencabutan Surat Izin Terbit yang dilakukan oleh Departemen Penerangan. Menurut Menteri Penerangan Mashuri SH “pencabutan SIT itu adalah dalam rangka membulatkan langkah-langkah penyelesaian penertiban surat-suratkabar dan majalah sebagai akibat Peristiwa 15 Januari 1974”. Keputusan Menteri Penerangan diambil setelah menunggu keputusan Dewan Stabilisasi Politik dan Keamanan Nasional. (socio-politica.com)  

Cerita Latar Peristiwa 15 Januari 1974

PERISTIWA 15 Januari 1974 oleh kalangan penguasa selalu disebut Malari –akronim dari Malapetaka Lima Belas Januari– yang bertujuan untuk menekankan konotasi buruk dari peristiwa tersebut. Kata malapetaka yang bermakna sebagai suatu bencana, jauh dari pengertian perjuangan berdasarkan idealisme. Dengan demikian penggunaan kata malapetaka mematahkan citra idealis yang selalu dilekatkan kepada gerakan-gerakan mahasiswa, setidaknya sejak sekitar tahun 1966-1967 saat gerakan mahasiswa menjadi salah faktor penentu dalam menjatuhkan kekuasaan otoriter Soekarno. Sementara itu, Jopie Lasut, wartawan yang pernah bekerja untuk Harian Sinar Harapan dan berbagai media lainnya, menyebut bahwa akronim Malari itu diasosiasikan oleh penguasa dengan penyakit Malaria.

GUNTINGAN BERITA DEMONSTRASI MENGGELINDING KE SOEHARTO. "Dalam rangkaian menuju Peristiwa 15 Januari 1974, kelompok Ali Moertopo berhasil menyudutkan Jenderal Soemitro dengan tuduhan berada di belakang berbagai aksi mahasiswa di berbagai kota perguruan tinggi, terutama di Jakarta, yang menjadikan Presiden Soeharto sebagai sasaran kritik. Pada Desember 1973, demonstrasi telah menggelinding langsung ke arah Presiden Soeharto". (repro MI, Desember 1973)
GUNTINGAN BERITA DEMONSTRASI MENGGELINDING KE SOEHARTO. “Dalam rangkaian menuju Peristiwa 15 Januari 1974, kelompok Ali Moertopo berhasil menyudutkan Jenderal Soemitro dengan tuduhan berada di belakang berbagai aksi mahasiswa di berbagai kota perguruan tinggi, terutama di Jakarta, yang menjadikan Presiden Soeharto sebagai sasaran kritik. Pada Desember 1973, demonstrasi telah menggelinding langsung ke arah Presiden Soeharto”. (repro MI, Desember 1973)

Tetapi kenapa peristiwa di awal tahun 1974 itu masih lebih diingat daripada peristiwa pencetusan Tritura 10 Januari 1966? Selain karena ‘usia’ pencetusan Tritura (Tri Tuntutan Rakyat) lebih ‘tua’ 8 tahun, juga karena para pelaku Peristiwa 15 Januari 1974 –Hariman Siregar dan kawan-kawan– memang lebih rajin melakukan upacara peringatannya. Tak ada tahun yang lewat sejak Hariman cs keluar dari tempat penahanan, tanpa acara peringatan. Namun sesungguhnya yang tak kalah penting adalah sejak masa reformasi, Soeharto lebih banyak dihujat, sementara ‘kesalahan’ Soekarno terkait Peristiwa 30 September 1965 cenderung coba mulai dilupakan dan serenta dengan itu fokus sorotan beralih ke isu kejahatan kemanusiaan 1965-1966.

Buku ‘Hariman & Malari’ –dengan editor Amir Husin Daulay dan Imran Hasibuan–  yang menempatkan figur Hariman Siregar sebagai tokoh sentral dalam Peristiwa 15 Januari 1974, agaknya tak begitu mempersoalkan konotasi buruk akronim Malari, dan tetap memilihnya sebagai penyebutan bagi peristiwa tersebut. Mungkin di sini, Malari dianggap akronim bagi Lima Belas Januari. Peristiwa itu sendiri disebutkan sebagai “tonggak penting dalam gerakan perlawanan mahasiswa dan rakyat Indonesia terhadap kekuasaan rezim Orde Baru dan belitan modal asing dalam strategi pembangunan”. Tema anti modal asing ini lalu ditonjolkan sebagai sub-judul “Gelombang Aksi Mahasiswa Menentang Modal Asing”.

Titik pertemuan berbagai peristiwa politik. Sebenarnya, aksi-aksi mahasiswa yang berpuncak pada tanggal 15 Januari 1974 tersebut –setidaknya dalam versi mahasiswa Jakarta– diakui atau tidak, tujuan utamanya adalah menjatuhkan kekuasaan Soeharto. Tema anti modal asing, khususnya anti modal Jepang, hanyalah jembatan isu dan kebetulan pula PM Jepang Kakuei Tanaka berkunjung ke Indonesia pada 14 Januari 1974. Lebih dari itu, Peristiwa 15 Januari 1974, tidak sepenuhnya merupakan puncak dari sekedar suatu gerakan mahasiswa, melainkan pertemuan dari berbagai peristiwa politik pada satu titik. Mahasiswa ada dalam garis peran, mulai dari ‘penyambutan’ Tanaka pada 14 Januari sampai longmarch dari kampus Universitas Indonesia ke kampus Universitas Trisakti dan kembali lagi ke kampus UI. Peran dan keterlibatan mahasiswa sebagai satu kelompok berakhir sampai di situ. Saat kerusuhan dan aksi anarkis mulai berkobar di Pecenongan sampai Senen-Kramat Raya, sejak 15 Januari sore, peranan sepenuhnya beralih ke tangan massa bayaran dan massa marginal dalam suatu bingkai skenario penciptaan situasi. Rancangan peristiwanya melibatkan sejumlah jenderal maupun tokoh non-militer dengan kepentingan tertentu dalam konteks pertarungan kekuasaan.

SAAT kekuasaan rezim militer di bawah Jenderal Soeharto menjadi kokoh setelah kemenangan besar Golkar dalam Pemilihan Umum 1971, makin mengerucut pula ‘pembelahan’ berdasarkan kepentingan khas yang berwujud faksi-faksi di tubuh rezim. Mulanya, terciptanya faksi, terutama terkait pada soal porsi dalam posisi kekuasaan dan porsi benefit ekonomi. Pada tahun 1973, keberadaan faksi-faksi lalu juga terkait dengan soal siapa tokoh yang akan menjadi pengganti Soeharto di posisi nomor satu bila saatnya tiba.

Untuk soal yang disebut terakhir ini, setidaknya tercatat kelompok Jenderal Ali Moertopo di satu pihak dan kelompok Jenderal Soemitro pada pihak lain. Dalam kelompok Ali Moertopo bergabung para Aspri Presiden dan sejumlah jenderal non Mabes ABRI, selain sejumlah kaum sipil dengan kualitas analisa, taktik dan perencanaan yang handal (CSIS). Sementara dalam kelompok Jenderal Soemitro yang menjabat sebagai Wapangab/Pangkopkamtib bergabung jenderal-jenderal Mabes ABRI. Namun bisa dicatat bahwa dalam tubuh jenderal-jenderal Mabes ABRI sering pula terdapat perbedaan-perbedaan aroma kepentingan yang membuat kelompoktersebut kurang solid, misalnya antara Menhankam/Pangab Jenderal Maraden Panggabean dengan Jenderal Soemitro. Masih pula bisa dicatat keberadaan Jenderal Soerono yang juga diketahui punya keinginan menjadi pengganti Jenderal Soeharto pada suatu waktu.

Di luar dua kelompok yang disebutkan di atas, tentu saja masih terdapat beberapa kelompok lain, seperti kelompok teknokrat maupun kelompok-kelompok yang mampu membangun kedekatan tersendiri secara langsung dengan Jenderal Soeharto. Pada saatnya, mereka ini bermanfaat ketika Soeharto harus ‘menghadapi’ resultante dari pertarungan antara kelompok Jenderal Ali Moertopo dengan kelompok Jenderal Soemitro akhir 1973 dan awal 1974. (Lebih jauh tentang pertarungan antara Jenderal Ali Moertopo dengan Jenderal Soemitro sejak pertengahan 1973 sampai awal Januari 1974, baca, Mencari Presiden Indonesia 2014: Kembali ke Situasi Pilihan ‘The Bad Among The Worst’? /Bagian 2 dan 3, di socio-politica.com).

Melekatkan label anarki. Dalam rangkaian menuju Peristiwa 15 Januari 1974, kelompok Ali Moertopo berhasil menyudutkan Jenderal Soemitro dengan tuduhan berada di belakang berbagai aksi mahasiswa di berbagai kota perguruan tinggi, terutama di Jakarta, yang menjadikan Presiden Soeharto sebagai sasaran kritik. Pada Desember 1973, demonstrasi telah menggelinding langsung ke arah Presiden Soeharto. Tuduhan terhadap Jenderal Soemitro ini menguat, karena salah satu topik kritik mahasiswa adalah dominasi modal asing di Indonesia, dengan menempatkan modal Jepang sebagai sasaran utama. Ini dianggap serangan langsung, karena selama ini salah satu Aspri Presiden yang merupakan anggota kelompok Ali Moertopo, yakni Jenderal Soedjono Hoemardani dikenal sebagai perpanjangan tangan kepentingan pemodal Jepang di Indonesia.

Dengan tangkas dan cerdik, kelompok Ali Moertopo mengerahkan massa bayaran untuk meletuskan aksi anarkis pada sore hari 15 Januari 1974, saat barisan demonstran mahasiswa sedang berbaris kembali dari kampus Trisakti ke kampus Universitas Indonesia. Salah satu titik tempat meletupkan aksi anarkis adalah Jalan Pecenongan dan kemudian daerah sekitar Proyek Senen. Dengan cepat aksi anarkis ini menjalar ke berbagai penjuru ibukota, saat kelompok-kelompok masyarakat marginal ibukota turut serta melakukan aksi perusakan, terutama terhadap mobil-mobil buatan Jepang. Aksi penjarahan juga tak terhindarkan karena kala itu himpitan beban ekonomi sangat terasa bagi kalangan akar rumput di Jakarta. Bahkan sebagian mahasiswa malah ikut terpancing dan terlarut dalam aksi yang dianggap heroik padahal anarkis, misalnya di sekitar Jalan Thamrin-Sudirman.

Pada hari yang sama, sebenarnya kelompok Jenderal Soemitro juga mempersiapkan pengerahan massa. Massa ini direncanakan akan bergerak ‘membantu’, bila massa mahasiswa mendekati wilayah Istana di Jalan Merdeka Utara. Beberapa orang bukan mahasiswa –yang sebagian diidentifikasi sebagai orang-orang suruhan Jenderal Soemitro– diketahui mencoba mendorong mahasiswa maju hingga Jalan Merdeka Utara. Seandainya mahasiswa maju sampai ke depan Istana, kemungkinan besar takkan bisa dihindari terjadinya bentrokan fisik dengan pasukan pengawal Presiden. Namun, para pimpinan mahasiswa pada momen itu memilih untuk berbelok dari Jalan Merdeka Barat ke Jalan Museum menuju Kampus Trisakti.

Ketika massa mahasiswa melewati Tanah Abang III, hampir saja kantor Golkar dan kantor-kantor kelompok Ali Moertopo yang ada di jalan tersebut diserbu mahasiswa. Bila ini dilakukan, maka tuduhan bahwa mahasiswa Jakarta ada dalam pengaruh Jenderal Soemitro untuk menjalankan makar, akan menguat dan seakan mendapat pembuktian.

Berhasilnya massa yang dikerahkan kelompok Ali Moertopo menciptakan gerakan anarki, menempatkan mahasiswa sebagai sasaran empuk untuk dituduh melakukan anarki dan gerakan makar. Dan karena berhasil disodorkan anggapan bahwa Jenderal Soemitro berada di belakang gerakan mahasiswa, maka ia pun dengan mudah dijadikan tertuduh. Dan akhirnya memang Jenderal Soemitro tak bisa ‘meloloskan’ diri, lalu memilih untuk mengundurkan diri dari jabatan-jabatan militernya yang sangat strategis, terutama selaku Panglima Kopkamtib.

Tidak menjadi catatan sejarah. Banyak pihak yang menganalisis, seandainya Jenderal Soemitro lebih cerdik dan punya sedikit keberanian, selaku Panglima Kopkamtib ia bisa melakukan penangkapan terhadap Ali Moertopo dan kawan-kawan dengan tuduhan mengerahkan massa liar untuk menciptakan kekacauan. Tapi itu tidak dilakukan. Mungkin ia gamang. Ada anggapan, bahwa Jenderal Soemitro ragu karena memperhitungkan faktor Laksamana Soedomo selaku Kepala Staf Kopkamtib yang belum jelas perpihakannya. Nyatanya, Laksamana Soedomo adalah orang yang dikenal sangat patuh kepada Soeharto (Baca, Laksamana Soedomo, ‘Swiss Army Knife’ Bagi Jenderal Soeharto’, di socio-politica.com).

Namun, terlepas dari itu semua, ada satu analisa yang bersumber dari kalangan teknokrat, bahwa seandainya mahasiswa lebih hati-hati dalam menjalankan aksi-aksinya, dan lebih mampu mengamankan internal gerakan-gerakannya sehingga aksi mereka pada 15 Januari 1974 tak bisa diperosokkan sebagai peristiwa anarkis, Soeharto akan jatuh dengan sendirinya. Per Desember 1973, Presiden Soeharto, sebenarnya secara signifikan telah kehilangan dukungan di kalangan ABRI maupun di kalangan teknokrat. Begitu pula, dukungan Golkar sudah jauh merosot saat itu. Tetapi analisa adalah analisa. Bila tak terjadi, ia hanyalah suatu pengandaian, tidak menjadi catatan sejarah. Faktanya, dengan Peristiwa 15 Januari 1974, Soeharto secara bertahap berhasil mengeliminasi satu per satu orang-orang yang ber’mimpi’ menjadi presiden di masanya.

(socio-politica.com/sociopolitica.wordpress.com).

Mencari Presiden Indonesia 2014: Kembali ke Situasi Pilihan ‘The Bad Among The Worst’? (2)

HASRAT Soeharto melanggengkan kekuasaan, makin terbaca dengan berjalannya waktu. Rezim yang dibentuk Soeharto dan para jenderalnya, selama puluhan tahun menjalar bagaikan tanaman rambat di pohon besar republik, meluas secara pasti dengan akar nafas yang mencekam kuat. Sulur dan daunnya membelit batang tubuh tumbuhan induk guna mencapai tempat-tempat yang tinggi mengejar cahaya. Tak gampang mencabutnya, tanpa merusak pohon induk, meski sebenarnya ia tidak merusak pohon induk. Hanya saja, ia memberi kesempatan bagi sejumlah tanaman parasit tumbuh bersamanya yang dengan ganas mencuri air dan makanan dari pohon induk.

JENDERAL SOEMITRO ‘MENDINGINKAN’ MASSA PERISTIWA 15 JANUARI 1974. “Bersamaan dengan peningkatan radikalisasi mahasiswa Jakarta dan meningkatnya gerakan kritis mahasiswa Bandung dan berbagai kota perguruan tinggi lainnya, tahun 1973 hingga menjelang awal 1974, temperatur pertarungan di tubuh kekuasaan di lapisan persis di bawah Jenderal Soeharto juga meningkat. Dalam konteks ini, Pangkopkamtib Jenderal Soemitro menjadi fokus utama perhatian, karena dalam rumor politik yang gencar, ia ‘dituduh’ berambisi menjadi Presiden Indonesia berikutnya menggantikan Soeharto”. (Foto Sjahrir Wahab/Tempo).

Pada periode 1966-1967, menurut sejarawan Anhar Gonggong –dalam artikel tema untuk buku ‘Menyilang Jalan Kekuasaan Militer Otoriter’ (Rum Aly, Penerbit Buku Kompas, 2004)– Jenderal Soeharto telah merancang pelbagai langkah untuk melaksanakan konsolidasi kekuasaannya. Dalam waktu yang hampir bersamaan dalam periode tersebut, di Bandung “telah berkembang wacana-wacana yang strategis. Salah satu di antaranya ialah persoalan bangunan demokrasi yang dirancang dengan melontarkan gagasan Dwi Partai dan juga undang-undang pemilihan umum. Perubahan sistem kepartaian memang mempunyai arti strategis untuk suatu konsolidasi kekuasaan dan yang kemudian akan disambung dengan pemilihan umum untuk mengisi secara demokratis lembaga-lembaga negara”. Continue reading Mencari Presiden Indonesia 2014: Kembali ke Situasi Pilihan ‘The Bad Among The Worst’? (2)

Kisah Korupsi Para Jenderal (4)

PERTUMBUHAN ekonomi Indonesia tahun 1970-an, selain melahirkan para cukong cikal bakal konglomerat besar Indonesia masa depan, juga menelurkan sejumlah jenderal dan pejabat tinggi negara yang kaya raya. Booming produksi minyak bumi dan gerak pengadaan pangan besar-besaran oleh rezim Soeharto menjadi dua di antara sumber rezeki bagi para pengelola kegiatan di bidang-bidang tersebut.

PAMAN GOBER BERSELUNCUR DI ATAS KOIN EMAS. “Apapun, mereka sangat kaya untuk ukuran Indonesia. Meskipun pasti masih kalah dari Paman Gober tokoh bebek kaya, paman dari Donald Bebek, dalam komik Disney, yang memiliki kekayaan dengan satuan angka fantasylyuner. Setiap hari ia berenang di tengah koin emas, dan sesekali berseluncur di atas tumpukan emas itu”. (download)

Begitu besar rezeki yang berhasil dikeruk dari dua kegiatan prioritas itu, bisa terlihat dari fakta empiris bahwa anak-cucu dari tokoh-tokoh yang berperan dalam pengelolaannya, maupun kalangan penguasa yang menentukan jalannya pembangunan Indonesia secara keseluruhan kala itu, masih bertahan mengapung hingga kini di bagian atas kelompok kaya di negara ini. Kaya tujuh turunan ternyata bukan sekedar metafora, tetapi memang ada di dunia nyata. Saat ini, turunan para penikmat utama hasil pembangunan Indonesia sejak 1970-an itu, sudah mencapai lapis keempat. Dan karena menurut ‘hukum’ ekonomi yang tertulis maupun tak tertulis, uang beranak uang, maka bisa jadi metafora tujuh turunan akan berubah menjadi 12 turunan.

Para jenderal dalam rezim Soeharto, menurut buku “Menyilang Jalan Kekuasaan Militer Otoriter” tersebut, tak mampu mengendalikan diri dan larut dalam hasrat dan fakta hidup mewah. Nilai lama berpadu dengan tren baru. Selain memiliki curiga (keris) yang merupakan simbol senjata, ada yang tak puas sebelum melengkapi syarat kaum pria lainnya seperti kukila (burung) untuk mengibaratkan fasilitas dan segala kenikmatan hidup lainnya, serta wanito (wanita) dalam artian sebenarnya. Dan tentu saja, semua itu mungkin ada dan terpelihara berdasarkan kemampuan mengakumulasi harta.

Jenderal Purnawiran Abdul Harris Nasution –yang di masa lampau tak berhasil dengan gebrakan Operasi Budi– berkali-kali dalam bulan Mei 1973 menunjukkan kejengkelannya terhadap kehidupan bergelimang kemewahan dari sementara Jenderal. “Hidup bermewah-mewah tak serasi dengan kehidupan keprajuritan”, ujarnya  kepada pers, namun amat terbatas jumlah pers yang memberitakan ucapannya Continue reading Kisah Korupsi Para Jenderal (4)

Liem Soei Liong: ‘Penjaga Telur Emas’ Bagi Kekuasaan Jenderal Soeharto (2)

BUKANNYA tak pernah muncul nama-nama sebagai calon ‘rival’ menuju kursi RI-1, namun semua selalu kandas dengan sendirinya melalui ‘ketegangan kreatif’ itu. Mulai dari Jenderal Ali Moertopo, Jenderal Soemitro sampai Jenderal Muhammad Jusuf. Sebenarnya di luar mereka dan di luar Jenderal AH Nasution –yang menjadi rival pertama dalam persaingan menuju kursi RI-1 menggantikan Soekarno– masih cukup banyak tokoh, terutama para jenderal, yang memendam keinginan menjadi number one. Tetapi para jenderal yang disebutkan terakhir ini, terlalu besar ketergantungan mati-hidupnya dari Soeharto, sehingga tak lebih tak kurang mereka hanya berani berada dalam penantian mendadak ketiban ‘wasiat’ Soeharto untuk naik ke kursi nomor satu itu. Ketergantungan mereka pada umumnya menyangkut karir, fasilitas dan akses keuangan. Rata-rata, untuk akses keuangan, mereka berhubungan ‘baik’ dengan Liem Soei Liong sang penjaga ayam petelur dan telur-telur emasnya.

LIEM SOEI LIONG – SOEHARTO. Siapa berani memerahi Liem Soei Liong? (foto download suara pengusaha)

Siapa berani memarahi Liem Soei Liong? Sejauh yang bisa diceritakan, di antara para jenderal, hanya dua di antaranya yang pernah menegur dan memarahi Liem Soei Liong, yaitu Letnan Jenderal HR Dharsono dan kemudian Jenderal Muhammad Jusuf. Jenderal HR Dharsono saat menjadi Dubes RI di Bangkok, memarahi Liem karena perilaku seenaknya ketika ia ini bertamu ke kedutaan untuk menemuinya. HR Dharsono tidak peduli Liem itu ‘sahabat’ Soeharto atau siapa. Jangankan Liem, Jenderal Alamsyah yang saat itu menjadi salah satu menteri di kabinet Soeharto pun pernah ditegur HR Dharsono, akibat perilaku anak-isteri sang menteri yang membuat masalah di Bangkok. Tetapi yang lebih seru adalah cerita mengenai teguran Menhankam/Pangab Jenderal Muhammad Jusuf kepada Liem yang datang ke kediaman Presiden Soeharto dengan pakaian seenaknya. Bahkan, diceritakan bahwa Jenderal Jusuf sampai melayangkan tamparan ke wajah taipan besar ‘sahabat’ Soeharto ini.
Mungkin Soeharto yang punya kebiasaan ‘ngopi’ bersama ‘sahabat’ lamanya itu di Cendana, hanya bisa diam dan kecut ketika Liem melaporkan insiden ini kepadanya. Continue reading Liem Soei Liong: ‘Penjaga Telur Emas’ Bagi Kekuasaan Jenderal Soeharto (2)

Laksamana Sudomo, ‘Swiss Army Knife’ Bagi Jenderal Soeharto (3)

SETELAH peristiwa gebrak meja di Cendana itu, tercipta jarak secara psikologis antara Jenderal M. Jusuf dengan Jenderal Soeharto. Diceritakan bahwa sejak itu, Jusuf tak pernah ‘mau’ hadir dalam rapat kabinet yang dipimpin Soeharto. Dalam beberapa rapat di Bina Graha, M. Jusuf meminta Panglima Kopkamtib/Wakil Pangab Laksamana Sudomo hadir mewakili dirinya. Beberapa persoalan yang dianggap perlu dikomunikasikan, pun dilakukan melalui Sudomo. Agaknya berkomunikasi melalui Sudomo, dianggap lebih ‘nyaman’ baik oleh Jusuf maupun Soeharto. Hanya satu dua kali keduanya bertemu. Sebelumnya bila Jenderal Jusuf akan pergi berkeliling ia selalu terlebih dahulu memerlukan menghadap kepada Presiden Soeharto, dan di tempat tujuan, ia selalu menyampaikan salam Presiden Soeharto. Tapi setelah gebrak meja, menurut Atmadji Sumarkidjo, kedua hal itu tak pernah lagi dilakukan Jenderal Jusuf.

LAKSAMANA SOEDOMO. “Adalah jelas bahwa waktu itu Laksamana Sudomo sedang berada di antara dua tokoh dari kubu yang berseteru untuk kepentingannya masing-masing, sementara ia sendiri berada di situ dalam posisi untuk kepentingan Jenderal Soeharto. Meskipun, bisa pula dianalisa bahwa bagaimanapun, sedikit atau banyak ia masih punya posisi cadangan bila kemudian Jenderal Soemitro yang menjadi pemenang pertarungan”. (foto download Antara)

Tak lama setelah itu, masih pada bulan pertama tahun 1983, Jenderal Soeharto selaku Panglima Tertinggi ABRI, memberitahu Jenderal Jusuf bahwa tempatnya selaku Panglima ABRI akan diserahkan kepada Letnan Jenderal LB Moerdani pada bulan Maret. Jenderal Soeharto masih menawarkan jabatan Menteri Hankam –karena kedua jabatan yang tadinya dirangkap Jusuf akan dipisahkan, untuk mencegah lahirnya kembali tokoh yang powerful seperti Jusuf– tapi Jenderal Jusuf menolak dengan mengucapkan “terima kasih”. Jabatan Menteri Pertahanan Keamanan akhirnya diberikan kepada Jenderal Poniman (1983-1988). Nanti, usai menjabat Panglima ABRI, Jenderal LB Moerdani, diberi posisi sebagai Menteri Hankam (1988-1993). M. Jusuf sendiri di tahun 1983 itu terpilih sebagai Ketua BPK (Badan Pemeriksa Keuangan). Sedang Laksamana Sudomo mendapat posisi Menteri Tenaga Kerja (1983-1988) sebelum akhirnya menjadi Menko Polkam (1988-1993). Sesudah itu, Laksamana Sudomo masih panjang kebersamaannya dengan Jenderal Soeharto dalam kekuasaan, karena pada 1993-1998 ia dijadikan oleh Presiden Soeharto sebagai Ketua DPA (Dewan Pertimbangan Agung) –suatu jabatan yang tidak lagi sehebat jabatan-jabatan sebelumnya, tetapi tetap terjaga kedekatannya dengan sang penguasa puncak itu. Continue reading Laksamana Sudomo, ‘Swiss Army Knife’ Bagi Jenderal Soeharto (3)

Laksamana Sudomo, ‘Swiss Army Knife’ Bagi Jenderal Soeharto (2)

PERAN wakil yang baik dan berguna ini juga ditunjukkan sekali lagi pada hari yang sama oleh Laksamana Sudomo. Dalam buku memoarnya, Jenderal Soemitro mengungkapkan bahwa setelah ia kembali ke Markas Kopkamtib seusai menghambat demonstran dari arah selatan menuju Monas pada 15 Januari itu, ia menerima laporan bahwa Gubernur DKI Ali Sadikin, seorang Jenderal KKO (marinir), waktu itu ada di kampus UI. Jenderal Soemitro lalu meminta Ali Sadikin datang dan langsung menegurnya, “Jenderal Ali, keadaan kacau. Kalau ada apa-apa, silahkan bicara dengan pak Domo, kolega pak Ali, sama-sama dari Angkatan Laut. Jangan main sendirian. Ada apa ke kampus?”. Lalu Jenderal Soemitro yang merasa ‘terganggu’ oleh beberapa manuver Ali Sadikin ini meminta Ali bertemu Laksamana Sudomo.

JENDERAL SOEHARTO, LAKSAMANA SUDOMO DAN JENDERAL JUSUF. “Memang bisa dicatat, bahwa penempatan Laksamana Sudomo sebagai Wakil Pangab merangkap Panglima Kopkamtib, mendampingi Jenderal Jusuf sebagai Menhankam/Pangab adalah bagian dari pengamanan berlapis Jenderal Soeharto dalam setiap penempatan posisi penting di lingkaran kekuasaannya”. (download solopos)

“Saya pikir, kalau dia ingin jadi Presiden, itu haknya. Saya tidak persoalkan itu. Tapi jangan mengacaukan keadaan”, catat Soemitro yang kala itu juga didesas-desuskan punya hasrat jadi the next president. Sebelum peristiwa 15 Januari 1974, memang tak jarang sejumlah tokoh mahasiswa Jakarta melontarkan ucapan-ucapan suggestif kepada Ali Sadikin sebagai salah satu manusia masa depan yang tepat untuk kepemimpinan nasional. Tapi ini sebenarnya, “lebih banyak untuk main-main saja, dan agar hubungan jadi enak” dengan Ali Sadikin, kata beberapa tokoh mahasiswa itu.

PADA tahun 1970 hingga 1980-an, meskipun tidak seterbuka setelah 1998 hingga kini, pembicaraan politik tentang the next president tak henti-hentinya ada dalam kehidupan politik. Bila pada 1966-1967 pilihan siapa presiden berikut setelah Soekarno hanya dua nama yang muncul, yakni antara Jenderal AH Nasution atau Jenderal Soeharto, maka pada 1970-1980an itu lebih banyak nama yang muncul. Tahun 1970an sebelum maupun sesudah Peristiwa 15 Januari 1974, seperti dituliskan di atas, setidaknya ada tiga nama, yakni Jenderal Soemitro, Jenderal Ali Moertopo dan Jenderal Ali Sadikin, disebut-sebut berambisi dan atau bisa menjadi pengganti Soeharto.

Masa berikutnya, muncul nama Jenderal Muhammad Jusuf yang menjadi sangat populer saat menjadi Menhankam/Pangab (1978-1983). Continue reading Laksamana Sudomo, ‘Swiss Army Knife’ Bagi Jenderal Soeharto (2)

Laksamana Sudomo, ‘Swiss Army Knife’ Bagi Jenderal Soeharto (1)

JENDERAL ketiga setelah Jenderal Soeharto dan Jenderal Soemitro, yang paling ‘ditakuti’ di masa Orde Baru dalam konteks pelaksanaan kekuasaan yang represif –khususnya pada paruh tertentu di tahun 1970-an– tak lain adalah Laksamana Sudomo. Tentu ada sejumlah jenderal represif lainnya, sepanjang yang bisa dicatat, seperti misalnya Jenderal LB Murdani, tetapi kurun waktu berperannya berlainan waktu. Jenderal Benny Murdani berperan pada waktu berbeda, yakni setelah Laksamana Sudomo berpindah dari posisi pimpinan Kopkamtib dan Menko Polhukam ke panggung peran sipil, sebagai menteri yang menangani bidang ketenagakerjaan dan kemudian Ketua DPA (Dewan Pertimbangan Agung) RI. LB Murdani, menjadi Panglima ABRI, menggantikan Jenderal Muhammad Jusuf seorang jenderal terkemuka lainnya. Nama Benny Murdani senantiasa dikaitkan dalam hubungan murid dan guru dengan Jenderal Ali Moertopo –jenderal pemikir sekaligus ahli strategi politik dan intelejen– yang banyak berperan dalam pengendalian belakang layar di sekitar Jenderal Soeharto ‘sejak’ Peristiwa 30 September 1965.

JENDERAL SOEHARTO-LAKSAMANA SUDOMO, SEJAK KOMANDO MANDALA. “Laksamana Sudomo menempatkan diri sebagai bawahan yang seakan selalu tersedia hanya bagi sang atasan. Dan berguna bagi segala kepentingan sang pemimpin, dan menjadi ibarat Army Swiss knife bagi Jenderal Soeharto”. (dokumentasi, download)

Sewaktu menjabat sebagai Menteri Pertahanan Keamanan/Panglima ABRI, Jenderal Muhammad Jusuf, memiliki kualifikasi dan konotasi berbeda di mata publik dengan sejumlah jenderal di lingkungan Soeharto, meskipun sama-sama berada dalam suatu rezim kekuasaan yang didominasi militer. Jenderal Jusuf membuat tentara disegani, bukan dalam pengertian ditakuti dan dibenci, karena ABRI di masa itu berhasil kembali memiliki kedekatan dengan rakyat. Pada saat itu dikenal semboyan ‘Kemanunggalan ABRI dan Rakyat’. Sedikit mirip dengan apa yang dilakukan sebelumnya oleh tiga Letnan Jenderal idealis –Sarwo Edhie Wibowo, HR Dharsono dan Kemal Idris– dan Jenderal AH Nasution yang pada masa pergolakan politik sekitar tahun 1966 menjalin kedekatan dengan sejumlah eksponen pergerakan kritis di masyarakat, sehingga antara lain menampilkan pola Partnership ABRI-Mahasiswa menghadapi rezim Soekarno.

SEPULUH jenderal itu kini tidak lagi berada di panggung peran di dunia ini. Laksamana Sudomo adalah yang terbaru waktunya di antara sepuluh jenderal itu berlalu memenuhi panggilanNya. Meninggal dunia Rabu pagi 18 April 2012 dalam usia 86 tahun. Masa purna tugas di luar kekuasaan relatif dilaluinya dengan tenang. Continue reading Laksamana Sudomo, ‘Swiss Army Knife’ Bagi Jenderal Soeharto (1)

Koalisi ala SBY: Pembaharuan Politik Yang Tersesat di Jalan Politik Pragmatis (2)

SEBENARNYA struktur politik Nasakom yang diintrodusir Soekarno setelah Dekrit 5 Juli 1959, sebagai ‘jawaban’  terhadap sistem multi partai dalam kehidupan demokrasi parlementer sebelumnya, pada hakekatnya juga mengarah kepada sistem kepartaian berkaki tiga. Dalam struktur Nasakom terjadi pengelompokan partai-partai berdasar ideologi nasionalisme, agama dan komunisme. Namun di luar struktur Nasakom sebagai kenyataan objektif terdapat kekuatan politik keempat, yakni ABRI di bawah Jenderal AH Nasution. Tetapi sebenarnya secara faktual, ABRI sebagai kekuatan politik kala itu tak lain hanyalah Angkatan Darat, karena angkatan yang lain cenderung tidak ber’politik’ namun pimpinan-pimpinannya adalah Soekarnois dan bahkan ada yang cenderung Soekarnois plus kiri. Angkatan Darat sendiri pun tidak sepenuhnya padu, antara lain oleh adanya penyusupan yang signifikan oleh Biro Khusus PKI dan atau adanya sejumlah jenderal akrobatik di sekitar Soekarno.

PENDERITAAN SOSIAL-EKONOMI DI GURUN POLITIK. Mengulangi kepahitan dalam lima tahun terakhir masa kekuasaan Soekarno dan berlanjut pada awal masa Soeharto, kini pun rakyat Indonesia seakan-akan masih merangkak dalam penderitaan sosial-ekonomi di tengah gurun politik……… (Karikatur 1967, T. Sutanto)

Dalam kelompok nasionalisme semestinya selain PNI ada partai-partai seperti IPKI dan Partindo, tetapi dalam praktek politik Nasakom praktis hanya PNI yang mewakili kelompok nasionalis, sedang Partindo lebih ke kiri dan berimpit dengan PKI. Dalam kelompok ideologi agama, selain partai-partai Islam NU, PSII, Perti ada partai-partai seperti Parkindo (Partai Kristen Indonesia) dan Partai Katolik. Gabungan ini sewaktu-waktu memiliki masalah tersendiri, tetapi sejauh yang terlihat di masa Nasakom, perbedaan di antara partai-partai agama ini bisa teredam dengan adanya PKI sebagai ‘musuh’ bersama. Pasca Nasakom, ‘musuh’ bersama hilang, sehingga dalam penyederhanaan kepartaian ala Soeharto, Parkindo dan Partai Katolik digabungkan ke dalam Partai Demokrasi Indonesia. Sementara itu dalam kelompok Kom dari Nasakom, semestinya Partai Murba (Chairul Saleh) yang sosialistis-kerakyatan ada di dalamnya, namun nyatanya ia ditempatkan PKI (DN Aidit) sebagai seteru yang cenderung dieliminasi.

Bentuk-bentuk sederhana kepartaian –terlepas dari apakah sudah tepat atau belum tepat menjawab kebutuhan kehidupan politik Indonesia– yang sudah tercapai di masa Soeharto, bahkan pada dasarnya juga sudah menjadi tendensi di masa Soekarno, ambruk begitu saja di masa pasca Soeharto. Berakar pada tradisi tumpas kelor dalam kultur kekuasaan Nusantara, berlaku teori pendulum yang seringkali dipinjam dan digunakan almarhum Jenderal Ali Moertopo untuk menggambarkan perilaku politik dan perilaku sosial manusia Indonesia. Orang Indonesia itu seringkali mengayun ke kiri dan ke kanan bagaikan pendulum dan tak pernah singgah di tengah. Ada these, ada antithese, tapi cenderung gagal menciptakan synthesis.

Saat Soekarno dijatuhkan, terjadi tumpas kelor lahir-batin, apa yang berbau Soekarno disapu sampai rata tanah. Dalam kultur Nusantara masa lampau, raja yang digulingkan akan dibasmi habis bersama seluruh keturunannya dan bahkan namanya tak boleh disebut-sebut lagi. Beberapa konsep bernegara masa Soekarno yang sebenarnya masih berkategori positif tertumpas bersama konsep-konsep ekses yang tercipta dalam praktek Nasakom. Sikap ‘ketat’ Soekarno terhadap pengaruh dan modal asing, ditukar dengan politik buka pintu total tanpa batas tanpa filter lagi di masa kekuasaan Soeharto. Tapi setelah Soeharto terpinggirkan, giliran sejumlah konsep dan langkah pembangunan yang masih berguna, ditinggalkan total, sehingga kontinuitas proses sosial-politik terputus dan bukannya sekedar dikoreksi.

Sampai-sampai, terminologi pembangunan enggan untuk digunakan. Pembangunan ekonomi misalnya diganti dengan pengembangan ekonomi. Tampaknya orang sedikit traumatis dengan pengalaman masa Soeharto, bahwa kata pembangunan tidak lagi sekedar bermakna pembangunan ekonomi atau pembangunan dalam makna development, melainkan sudah berkonotasi sebagai bagian penting pengokohan penegakan kekuasaan Jenderal Soeharto semata. Pendek kata istilah pembangunan tidak lagi digunakan sebagai kata padanan bagi kegiatan mengembangkan berbagai bidang kehidupan. Sistem GBHN yang sebenarnya berfaedah bila digunakan dengan tepat dalam kerangka perencanaan tujuan pembangunan, ditinggalkan, karena ia adalah istilah masa lampau. Padahal, rakyat perlu mengetahui program apa yang akan dilaksanakan pemerintah dalam jangka waktu tertentu, katakanlah per lima tahun, sehingga bisa ikut mengawasi apakah betul rencana atau program itu dijalankan ataulah tidak dilakukan perwujudannya.

Bahkan, Pancasila yang adalah ideologi negara, dimasukkan ke dalam lemari, dan baru belakangan ini digunakan kembali, diakui kebenaran nilai-nilai filosofis dan kegunaannya sebagai pegangan moral kehidupan bernegara. Upaya mengingatkan kembali pada Pancasila, dilakukan antara lain oleh tokoh Muhammadiyah Syamsul Ma’arif dan sejumlah akademisi. Tapi kalangan partai politik dan kekuasaan seakan tetap alergi menyebutnya, sementara perilaku sehari-harinya juga tak punya sentuhan dan sinergi apapun dengan ideologi negara itu. Boleh coba dihitung, sekedar sebagai contoh, berapa kali Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berbicara mengenai Pancasila selama enam setengah tahun berkuasa. Coba hitung pula, sebagai contoh perilaku, berapa pemimpin pemerintahan dan institusi politik yang segera beristeri lebih dari satu (dan ada yang memaksimalkan sampai empat dengan memanfaatkan ajaran agama), sesuatu yang tak dimungkinkan oleh suatu peraturan pemerintah berdasarkan UU Perkawinan yang ketat di masa Soeharto.

Pembalikan yang luar biasa, pasca Soeharto, Indonesia kembali ke sistem multi partai, mengulangi pengalaman ‘buruk’ politik kepartaian tahun 1950an sekitar Pemilihan Umum tahun 1955. Lengkap dengan praktek politik parlementer di DPR dan Konstituante. Tidak belajar dari pengalaman masa lampau, segala ciri dan perilaku politik tahun 1950-1959 itu diulangi hampir seutuhnya dengan segala eksesnya. Ratusan partai baru terbentuk, meskipun untuk sebagian besar tidak keruan juntrungan masud dan tujuan perjuangannya, dan lebih banyak karena dorongan ingin memiliki partai sendiri, biar kecil asal nanti, siapa tahu, bisa jadi raja. Setiap pemilihan umum ‘masa reformasi’ diikuti puluhan partai peserta.

Dan bersamaan dengan itu, semakin banyak orang yang merasa mampu menjadi presiden, walau sebagian besar hanya sekedar berangan-angan. Tapi pada waktu yang sama, mencengangkan betapa kita mengalami krisis kepemimpinan berkualitas, dan selalu saja kita dihadapkan pada pilihan the bad among the worst, bukan best of the best. Alhasil, kita tak berkesempatan memperoleh yang terbaik di antara yang terbaik. Politik uang dan adu kuat otot (dalam bentuk kerumunan) serta politik pencitraan (yang sayangnya kerapkali penuh kebohongan) mendapat tempat seluas-luasnya.

Pada sisi lain, rakyat yang dari masa ke masa tidak pernah disentuh dengan upaya pencerdasan secara bersungguh-sungguh, tidak cukup memiliki kemampuan kualitatif memilih pemimpin dengan baik. Mengulangi kepahitan dalam lima tahun terakhir masa kekuasaan Soekarno dan berlanjut pada bagian awal masa Soeharto, kini pun rakyat Indonesia seakan-akan masih merangkak dalam penderitaan sosial-ekonomi di tengah gurun politik. Bagaimana bisa memilih dengan baik, jika berada dalam keadaan: Bodoh, lapar dan serba berkekurangan, setiap hari sesak nafas dalam situasi penuh kekerasan, merasa tak aman dalam persentuhan sehari-hari dalam relasi sosial maupun relasi dengan sesama yang seagama maupun tidak seagama, merasa terancam dan tak terlindungi oleh hukum dan keadilan, serta kelangkaan contoh panutan berbudi pekerti, berakumulasi sebagai timbunan menuju malapetaka sosiologis panjang yang entah kapan akan berakhir?

Berlanjut ke Bagian 3

Menuju Pemakzulan Presiden SBY? (1)

“Kerapkali keburukannya sulit dibedakan dengan tentara di waktu lalu, hanya saja mereka tak bersenjata di tangan, tetapi pada hakekatnya sama-sama haus dan mengutamakan kekuasaan untuk diri sendiri. Sulit untuk diharapkan, sepanjang mereka semua tidak punya kemauan melakukan perubahan signifikan dalam dirinya masing-masing”.

PEMIKIRAN-PEMIKIRAN radikal secara eskalatif telah memasuki ranah dan opini publik. Setelah lontaran kritik para pemuka lintas agama, suara-suara ketidakpuasan terhadap figur Susilo Bambang Yudhoyono juga semakin meningkat. Apalagi adalah SBY sendiri yang seakan-akan selalu mengundang kecaman demi kecaman dengan serangkaian ‘keterpelesetan’ ucapan serta serentetan respon lemah yang antiklimaks terhadap berbagai permasalahan yang menjadi perhatian publik. ‘Keterplesetan’ hampir selalu terjadi pada setiap pidato dan tanggapannya terhadap berbagai isu. Lalu ada yang kemudian menganjurkan agar SBY mengurangi saja kegemarannya untuk berpidato.

Dalam sebuah diskusi Lembaga Kajian Mimbar Demokrasi bersama sejumlah ex aktivis 1966 di Gedung Indonesia Menggugat, Bandung Sabtu 22 Januari lalu, Mayor Jenderal (Purn) Sudradjat, mantan Duta Besar RI di Republik Rakyat China, mencoba menyampaikan semacam rumusan ‘tengah’ yang sugestif mengenai posisi politik Susilo Bambang Yudhoyono saat ini. Kritik-kritik semacam yang disampaikan para pemuka lintas agama beberapa waktu yang lalu, dianggapnya koreksi yang berniat baik untuk mengingatkan agar bisa bersama melanjutkan tugas memperbaiki bangsa dan negara, tidak bertujuan menjatuhkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Revolusi. Sri Bintang Pamungkas, yang selama ini dikenal sebagai ‘aktivis tetap’ anti kekuasaan, menyanggah. Seraya menyampaikan sejumlah ‘dosa’ SBY, termasuk dalam soal senjata yang akhirnya dipakai membasmi muslim Bosnia tatkala bertugas bersama Timur Pradopo dalam pasukan PBB di wilayah itu, Bintang Pamungkas menegaskan bahwa kini saatnya menurunkan SBY. Beberapa pembicara lain mulai terbakar dan menganjurkan suatu revolusi, walau sebelumnya Muslimin Nasution tokoh 1966 yang pernah dipenjara karena keterlibatan dalam Peristiwa 10 Mei 1963 di Bandung, mengingatkan bahwa “revolusi bisa memakan anak kandungnya sendiri”.

Meskipun bukan mustahil, suatu revolusi –untuk merubah kepemimpinan negara, katakanlah semacam Revolusi Perancis 14 Juli 1789– berada di luar jangkauan keinginan kebanyakan orang di Indonesia per saat ini. Paling jauh adalah pemikiran mengenai kemungkinan suatu pemakzulan seorang presiden bilamana akumulasi kekecewaan telah mencapai titik kulminasi, setelah pemenuhan ekspektasi yang begitu tinggi kepada SBY satu persatu ternyata tak mampu terpenuhi.

Melalui suatu pola pencitraan yang termasuk luar biasa, SBY muncul bagaikan teratai. Sayangnya, tumbuh dari rawa berlumpur dan berbau sebagai analogi kehidupan politik Indonesia pasca reformasi. Teratai adalah teratai, tak bisa melepaskan diri dari tempatnya tumbuh. Padahal teratai sesungguhnya bisa berbunga indah, berbentuk mangkuk dengan banyak daun bunga, berwarna putih, kuning, biru atau merah jambu. Bila tumbuh di kolam atau danau yang berair jernih, teratai bisa menjadi bintang kehidupan lingkungannya. Daun-daunnya yang bulat dan lebar, terapung di permukaan air, digambarkan dengan indah oleh sebuah buku ensiklopedia anak-anak, “menjadi rakit bagi katak, serangga serta binatang-binatang air yang lain disamping memberikan perlindungan bagi mereka”. Sebaliknya, di rawa berlumpur ia ditemani kalajengking air, lipan, lintah, belut, ular air dan cacing-cacing rawa.

SUSILO Bambang Yudhoyono tampil saat masa alergi terhadap kehadiran tentara dalam kehidupan politik belum lagi usai. Pada awal masa ‘reformasi’ pasca Soeharto, orang berharap akan tumbuh kepemimpinan nasional dari kalangan sipil yang tangguh dan demokratis, menggantikan masa panjang pemerintahan oleh tokoh militer otoriter. Akan tetapi tak kurang dari tiga Presiden dari kalangan sipil –BJ Habibie, Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputeri– telah menunjukkan kegagalan mengendalikan keadaan, kegagalan mengatur lalu lintas ambisi kekuasaan kaum sipil yang direpresentasikan partai-partai politik, dan tak mampu mengatasi gangguan-gangguan belakang layar dari sisa-sisa rezim terdahulu.

Dalam buku Menyilang Jalan Kekuasaan Militer (Rum Aly, Penerbit Buku Kompas, 2004), digambarkan bahwa partai-partai dan kekuatan-kekuatan politik aktual yang ada saat itu, lebih kuat kecenderungannya kepada subjektivitas hasrat kekuasaan untuk dirinya sendiri daripada memperjuangkan secara sungguh-sungguh segala sesuatu yang berkaitan dengan kepentingan bangsa dan negara secara keseluruhan. “Kerapkali keburukannya sulit dibedakan dengan tentara di waktu lalu, hanya saja mereka tak bersenjata di tangan, tetapi pada hakekatnya sama-sama haus dan mengutamakan kekuasaan untuk diri sendiri. Sulit untuk diharapkan, sepanjang mereka semua tidak punya kemauan melakukan perubahan signifikan dalam dirinya masing-masing”.

Dengan fenomena kaum sipil seperti itu, saat itu diajukan pertanyaan: Apakah harus menoleh kembali kepada ABRI? “Kalau memang ABRI dianggap sebagai suatu institusi atau aset yang secara objektif masih ada dan bisa tetap mendapat peran berguna dan mendapat tempat dalam kehidupan bangsa, ia harus terlebih dahulu melalui pembaharuan dan pemahaman baru dalam kerangka supremasi sipil sebagai persyaratan demokrasi. Tentara baru yang diharapkan bukanlah model yang hanya mengandalkan otot dan senjata dan menginginkan kekuasaan hanya untuk dirinya sendiri seperti di masa lampau”. Di mata banyak orang kala itu, SBY agaknya memenuhi syarat. Dalam pemilihan umum presiden tahun 2004 itu juga, SBY meraih angka yang cukup untuk menyisihkan tokoh-tokoh sipil pesaingnya dalam memperebutkan kursi RI-1.

Namun ternyata, ia tak seberhasil sebagaimana yang diharapkan, dan tertinggal jauh di bawah ekspektasi publik yang begitu tinggi. Ia misalnya tak berhasil menjalin komunikasi yang saling mengisi dengan kalangan perguruan tinggi dan para cendekiawan pada umumnya, tak terkecuali dengan kelompok mahasiswa yang merupakan intelektual muda, yang dengan segala kelebihan dan kekurangannya adalah para pelaku centre of excellence. Ia lebih mengutamakan ‘bergaul’ dan bernegosiasi dengan partai-partai politik yang menjadi pusat pragmatisme untuk kekuasaan semata.

Kenapa ia terpilih sekali lagi untuk masa kepresidenan kedua? Pertama, orang terlambat menyadari kekurangan-kekurangan SBY dan selain itu kelemahan-kelemahannya itu baru tampil lebih kentara setelah terpilih kembali. Dan tak kalah pentingnya, pada pemilihan umum presiden 2009 yang lalu, memang tak muncul alternatif –terutama dari kalangan sipil– yang pantas untuk dipertimbangkan, sehingga publik kembali menghadapi situasi faitaccompli untuk berspekulasi dalam pilihan the bad among the worst. Memang saat itu ada figur sipil yang bisa cukup diapresiasi, yakni Jusuf Kalla. Namun bagaimanapun ia harus berhadapan dengan suatu realitas sosiologis tertentu yang untuk sementara tetap harus diakui sebagai faktor dalam konteks Indonesia. Selain itu, ia mungkin ‘salah memilih’ Jenderal Wiranto yang bagaimanapun memiliki rekam jejak yang setidaknya per saat itu masih berkategori kontroversial sehingga mengundang resistensi.

Sebuah perlombaan. SUMBER kepemimpinan masa depan, militer atau sipil, pernah menjadi topik diskursus antara Taruna Akabri dengan kelompok mahasiswa dari Universitas Padjadjaran Bandung dan Universitas Trisakti Jakarta, 23-24 Januari 1973 di kampus Akabri Magelang. Gubernur Akabri kala itu adalah Mayor Jenderal Sarwo Edhie Wibowo, sedang Komandan Taruna adalah Sersan Mayor Taruna Susilo Bambang Yudhoyono.  Dalam diskusi muncul ucapan-ucapan seperti ini: “Akibat adanya perbedaan-perbedaan selama ini… timbul pertanyaan siapakah di antara kita yang berhak menjadi pemimpin, sebab dalam masyarakat kita yang feodalistik, pemimpin lah yang menentukan masyarakat” (Ketua Umum DM-Unpad, Hatta Albanik). Semua yang hadir saat itu sama-sama mengetahui bahwa dalam realita sehari-hari betapa militer semakin luas merambah menduduki jabatan-jabatan yang semestinya diduduki kaum sipil. “Kita sama-sama memandang perlu untuk meningkatkan hubungan yang akrab, dengan saling mendekatkan diri dalam berbagai macam kegiatan bersama yang sehat” (Sersan Mayor Taruna, Susilo Bambang Yudhoyono). “Kalau memang ABRI berniat untuk memegang terus kekuasaan dan makin menyempurnakan kekuasaan itu, maka generasi muda yang saat ini dididik di Akabri lah yang akan mewarisi kekuasaan itu kelak pada waktunya” (Rinaldi dan kawan-kawan, Universitas Trisakti). “Diperlukan pimpinan yang qualified, tidak jadi soal apakah ia ABRI atau bukan, tetapi atas pilihan rakyat… Kita jangan saling mencurigai, tetapi mari kita bersaing secara sehat” (Erick Hikmat, Taruna Akabri). “ABRI atau bukan, tidak jadi masalah. Kita sama-sama berhak jadi pemimpin. Kita harus bertemu pada masa yang datang” (Alex Paat, Universitas Trisakti). “Bagaimana nantilah, tergantung atasan” (Taruna Akabri). “Yang penting lulus lah dulu” (Taruna Akabri lainnya).

Di luar kegiatan diskusi, para taruna lebih mampu menunjukkan sikap yang lebih spontan dan tidak kaku, baik dalam perbincangan maupun dalam pertandingan-pertandingan olahraga dan kegiatan bersama lainnya. Umumnya para taruna unggul dalam pertandingan olahraga, “tapi dalam diskusi, yang unggul umumnya pemimpin mahasiswa”, kata Sarwo Edhie. “Kan mereka sudah beberapa tahun jadi pemimpin dewan mahasiswa, tentu saja lebih tangkas ngomong dan berdebat”. Tentang kekakuan yang ada, Mayjen Sarwo Edhie memberi beberapa penjelasan. “Kurangnya spontanitas taruna adalah karena berhati-hati, ingat akan peristiwa tahun 1970 di ITB”. Pada dasarnya militer modern adalah persuasif. “Jadi dalam menghadapi rekan-rekannya yang mahasiswa ini, kalau mereka hati-hati, bukannya tidak mau terbuka”. Apa yang dikatakan mahasiswa dalam diskusi, walaupun tidak ditanggapi taruna, bukan berarti mereka tidak setuju. Tapi, “kita jangan dulu menginginkan hal-hal yang spektakular”.

Sesuatu yang spektakular dalam konteks hubungan yang membaik memang tak pernah terjadi kemudian. Gema lanjutan pertemuan ringkas antara generasi muda militer dan generasi muda non militer di Magelang itu pun tidak panjang, dan sejauh ini tak terukur sejauh apa pengaruhnya. Apalagi, seperti yang diungkapkan di belakang hari oleh Jenderal Sarwo Edhie, ternyata prakarsa pertemuan di Akabri itu tidak diapresiasi dengan baik oleh Pangkopkamtib Jenderal Soemitro. “Beliau malah curiga, lalu turun perintah melarang. Ya sudah, stop, tak ada lagi acara temu muka dan dialog tersebut”, ungkap Sarwo Edhie, Oktober 1988. Sepanjang yang dapat ditelusuri, Jenderal Soemitro, tercatat berkali-kali ‘memotong’ gerak langkah Jenderal Sarwo Edhie, termasuk dalam menghabisi karier jenderal 1966 dalam tubuh kekuasaan, sesuai keinginan Jenderal Soeharto. Tetapi akhirnya ia sendiri ‘dihabisi’ Soeharto, diawali dengan penciptaan situasi memojokkan dirinya oleh Jenderal Ali Moertopo dalam rangkaian Peristiwa 15 Januari 1974.

Sekedar melihat fakta bahwa satu di antara para taruna itu, Susilo Bambang Yudhoyono, yang kemudian menjadi Presiden Republik Indonesia, maka dengan demikian dapat dikatakan bahwa generasi muda tentara lah yang ‘memenangkan racing’ sejauh ini.

Berlanjut ke Bagian 2