Tag Archives: Jenderal LB Murdani

‘Dark Justice’ Ketika Hukum Menghitam

KINI makin sulit mengenali dan mengetahui situasi penegakan hukum di Indonesia. Apakah ia tegak atau rebah? Agaknya sesekali ia masih bisa tegak, tetapi hampir sepanjang waktu ia rebah tak berdaya. Bila menggunakan metafora warna, hukum sedang membiru dan sebentar lagi menghitam. Dengan keadaan hukum seperti itu, kepercayaan terhadap penegakan hukum merosot dengan tajam. Orang lebih percaya kepada tindakan main hakim sendiri, atau lebih jauh, kepada dark justice. Mungkinkah penyerbuan LP Sleman untuk membunuh 4 preman pembunuh seorang bintara militer –lebih sederhana dari berbagai teori dan analisa yang bermunculan– tak lain hanya suatu eksekusi dalam suatu konteks dark justice? Dan, bukan sekedar sebagai hasil suatu solidaritas korps.

Setelah masa dwifungsi ABRI berlalu, dan aspek keamanan sepenuhnya berada di tangan intitusi kepolisian, bahkan kalangan tentara pun bisa merasa menjadi perorangan ataupun kelompok korban. Baik karena ketidakadilan hukum maupun ketidakadilan sosial yang bersumber pada cara buruk dalam menjalankan kekuasaan. Kaum sipil pelaku premanisme –yang bukan rahasia, punya backing kalangan penegak hukum dan atau kekuasaan– tak jarang menunjukkan keberanian mereka yang tanpa batas, menganiaya dan bahkan membunuh perorangan anggota militer yang mencoba mencari nafkah tambahan sebagai penjaga di tempat-tempat hiburan. Atau bisa juga karena sebab lainnya. Namun apapun sebabnya, terlihat betapa tinggi kini kadar perilaku premanisme sipil yang terorganisir di tengah masyarakat.

POLISI DAN WARGA BERDEBAT DI JALAN, 1973. "Terjadi pula suatu situasi kontradiktif: Polisi seringkali sangat galak terhadap masyarakat yang lemah namun begitu lembek kala menghadapi ormas yang berotot, apalagi terhadap kelompok militer bersenjata." (dokumentasi)
POLISI DAN WARGA BERDEBAT DI JALAN, 1973. “Terjadi pula suatu situasi kontradiktif: Polisi seringkali sangat galak terhadap masyarakat yang lemah namun begitu lembek kala menghadapi ormas yang berotot, apalagi terhadap kelompok militer bersenjata.” (dokumentasi)

Sersan Kepala Santoso, anggota Grup 2 Komando Pasukan Khusus AD –yang menurut Panglima Kodam Diponegoro Mayor Jenderal Hardiono Saroso telah menjadi anggota Detasemen Intel Diponegoro– adalah ‘korban’ terbaru. Para preman yang kebetulan berasal dari etnis tertentu mengeroyoknya hingga tewas di Hugo’s Cafe 19 Maret. Kelompok yang sama esok harinya membacok Sersan Satu Sriyono yang juga mantan Kopassus. Lalu, Sabtu 23 Maret dinihari, giliran keempat pengeroyok ini dieksekusi hingga tewas melalui penyerbuan dari 11 orang kelompok terlatih ke LP Sleman tempat mereka dititipkan polisi. Kelompok terlatih itu, belakangan dipastikan tak lain dari anggota Grup 2 Kopassus Karang Menjangan.

Setelah peristiwa penyerbuan, kasus ini sempat terbawa ke mana-mana melalui berbagai analisa dan spekulasi, mulai dari yang masuk akal sampai kepada yang terasa artifisial dan bahkan sesat atau saling menyesatkan. Perlakuan dan penerimaan masyarakat terhadap peristiwa, juga bermacam-macam. Di daerah asalnya sendiri, jenazah 4 korban penyerbuan, kendati lebih dari setengah terbukti sebagai pelaku pengeroyokan hingga tewas, disambut bagaikan martir. Gubernur pun ikut menyambut. Ternyata, di daerah asal, mereka adalah bagian dari keluarga yang baik-baik. Di perantauan, mereka menjadi berbeda. Fenomena perubahan seperti ini dialami banyak kaum perantau dari berbagai etnis, khususnya bila merteka berada di Pulau Jawa, terutama bila berada di ibukota negara, Jakarta yang keras.

Bukan rahasia, setiap etnis atau suku, memiliki pengorganisasian kelompok demi eksistensi. Namun tak sedikit di antaranya, untuk tidak mengatakan hampir semua, tergelincir untuk penggunaan yang salah, mengarah premanisme. Tapi jangankan berdasarkan etnis atau suku, pengelompokan negatif dengan mengatasnamakan agama pun dilakukan banyak orang. Pemanfaat utama jasa premanisme, tak lain adalah kalangan kekuasaan politik maupun kekuasaan karena uang. Sementara itu, masyarakat biasa menjadi korban utama premanisme itu.

Konspirasi politik kekuasaan dengan politik kekayaan berhasil memojokkan penegakan hukum, penegakan keadilan politik dan sosial, ke tempat terburuk sepanjang sejarah Indonesia merdeka. Ini bukan retorika atau penggambaran hiperbolis, tetapi suatu kenyataan datar yang telah menjadi pengalaman hidup sehari-hari.

            DI MASA quasi supremasi sipil saat ini, fungsi keamanan dan ketertiban sepenuhnya di tangan institusi kepolisian. Kepolisian menjadi bintang utama penegakan hukum yang berada di garis persentuhan terdepan dengan masyarakat. Namun sayang, seringkali ada saja anggota kepolisian yang tak menyentuh masyarakat dengan baik. Terhadap kalangan akar rumput, seperti yang seringkali diberitakan media, polisi sering bagaikan pisau pemotong daging yang hanya tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Tapi itu sesungguhnya bukan monopoli kepolisian saja, tetapi juga dilakukan kejaksaan dan para hakim. Maka, bermunculan kasus semacam peradilan biji kakao nenek Minah, kasus nenek Mariah, kasus nenek Artija atau kasus remaja yang dituduh pencuri sandal jepit oknum polisi. Bukan hanya satu atau dua kasus, tetapi ada beberapa dan berulang terus dari waktu ke waktu.

            Polisi yang mestinya paling dekat dan paling dicintai sekaligus disegani masyarakat, makin hari makin menjadi sasaran kebencian masyarakat. Kepercayaan rakyat terhadap institusi tersebut, makin terkikis. Meminjam penggambaran Neta S. Pane dari Indonesia Police Watch pada berbagai kesempatan, penyebabnya antara lain adalah meningkatnya sikap arogan, berkelakuan buruk di samping makin tidak terlatih dengan baik. Makin hilang kewibawaannya karena perilaku buruk sebagian anggotanya. Di tingkat atas, sejumlah jenderal melakukan korupsi puluhan bahkan ratusan milyar rupiah. Masyarakat sendiri dalam pada itu, yang pada hakekatnya mengalami ketidakadilan sosial ekonomi sekaligus ketidakadilan hukum dan politik, teronggok sebagai kerak kegagalan sosiologis di tangan pemerintah yang makin tidak trampil, untuk sebagian bertumbuh makin brutal. Terjadi pula suatu situasi kontradiktif: Polisi seringkali sangat galak terhadap masyarakat yang lemah namun begitu lembek kala menghadapi ormas yang berotot, apalagi terhadap kelompok militer bersenjata.

            Pekan lalu, 27 Maret, Kapolsek Dolok Pardamean di Simalungun Sumatera Utara, tewas dikeroyok saat menyergap penjudi togel. Di sini, polisi berhadapan dengan kebrutalan masyarakat yang makin terperosok dalam ketidakpastian hidup. Dua puluh hari sebelumnya, 7 Maret, Markas Polres Ogan Komering Ulu (OKU) di Baturaja diserbu dan dibakar sekelompok tentara. Penyerangan ini didasari anggapan bahwa Kepolisian tidak bersungguh-sungguh menangani kasus penembakan seorang anggota militer oleh seorang anggota kepolisian dua bulan sebelum penyerbuan. Di sini, polisi berhadapan dengan kesangsian terhadap integritasnya dalam menegakkan hukum, yang bercampuraduk dengan degradasi mental sebagian anggota militer yang merasa makin berkurang perannya dalam negara.

            Namun dari peristiwa-peristiwa tersebut di atas dan berbagai kejadian lainnya, meskipun mungkin masih samar-samar, mulai terlihat adanya benang merah yang tersembul, yang menyiratkan aroma dark justice. Dari peristiwa penyerbuan LP Sleman dan penyerbuan Mapolres OKU, ada tindakan mencari keadilan sendiri di luar jalur konvensional penegakan hukum. Para penyerbu menyiratkan ketidakpercayaan bahwa hukum akan ditegakkan dalam pembunuhan Sersan Kepala Santoso maupun dalam penembakan anggota militer oleh oknum polisi di OKU. Lalu mereka menjalankan dark justice –menegakkan sendiri keadilan diluar sistem– karena yakin keadilan sesungguhnya takkan ditegakkan.

Isyarat yang sama terlihat dalam beberapa kasus lainnya, semisal penyerangan-penyerangan fisik terhadap beberapa terdakwa pembunuhan oleh keluarga korban di lingkungan pengadilan. Ketidakpuasan keluarga korban, antara lain karena tuntutan jaksa yang dianggap ringan atau vonis hakim yang dianggap tak sepadan. Di tahun 70-an, ibunda seorang mahasiswi IKIP (kini, UPI) Bandung yang tewas ditabrak putera seorang pengusaha kaya yang sedang ikut rally mobil, mengejar sang hakim dengan gunting terhunus seusai menjatuhkan vonis super ringan. Putera sang pengusaha hanya dijatuhi hukuman percobaan. Mirip dengan vonis ringan yang dianugerahkan hakim kepada putera Menteri Perekonomian Hatta Rajasa beberapa waktu lalu. Hukuman percobaan, untuk tewasnya sejumlah korban tabrakan dinihari 1 Januari 2013.

KITA surut sejenak ke masa-masa awal kemerdekaan di tahun 1950-an. Sejumlah bekas pejuang kecewa melihat betapa sejumlah ex kolaborator dengan Belanda di masa revolusi fisik justru mendapat posisi dalam pemerintahan republik. Bukan hanya itu, para ex kolaborator itu bersama beberapa pejabat pemerintahan lainnya melakukan korupsi fasilitas lisensi perdagangan. Ada cerita belakang layar tentang gagasan dan beberapa percobaan menegakkan keadilan melalui mekanisme dark justice.

Apapun, cerita belakang layar itu telah menginspirasi seorang penulis untuk membuat serial buku saku berjudul “Les Hitam”. Dalam serial itu sejumlah bekas pejuang mendirikan organisasi bernama Sarekat 178 –angka yang bermakna 17 Agustus. Sarekat 178 yang dipimpin pemuda bekas pejuang bernama Rajendra menyelidiki, mengusut dan mengejar para pencuri uang negara. Lalu mengeksekusi sendiri. Ada yang digantung di Lapangan Ikada (kini, Lapangan Monas) Jakarta. Ada pula yang ditembak oleh eksekutor cantik bernama Silvana di kamar villa yang mewah. Generasi yang kini berusia 60-an dan 70-an untuk sebagian adalah remaja pembaca serial “Les Hitam”.

Penguasa militer di masa Jenderal LB Murdani, adalah pelaku dark justice. Sejumlah kriminal yang tak mudah tersentuh hukum secara konvensional, termasuk kaum preman yang dilindungi oleh oknum kekuasaan sendiri, dibasmi melalui penembakan misterius –Petrus. Melanggar HAM, tapi efektif per saat itu. Ada beberapa target Petrus yang lolos karena bantuan oknum dalam kekuasaan. Beberapa di antaranya, belakangan berhasil terjun ke dalam kancah politik formal dan cukup berhasil mendapat posisi, fasilitas dan peran politik yang memadai.

Dan kini, kaum preman pun makin berani dan terang-terangan menunjukkan eksistensinya. Lihat saja fenomena John Kei dan Hercules, sekedar sebagai contoh. Kini, generasi baru yang mengendali Komnas HAM sedang mencoba menggali masalah Petrus sebagai salah satu kasus pelanggaran HAM masa lampau. Tentu saja baik. Tapi jangan lupa pelanggaran masa kini yang marak melalui premanisme yang makin brutal, yang bercampur baur dengan politik kotor dan perilaku korupsi, tak kalah besar daya rusaknya terhadap harkat dan martabat rakyat. Kejahatan masa lalu dan kejahatan masa kini, sama perlunya untuk dikejar.

KETIKA hukum membiru dan mulai menghitam, dark justice bisa tampil, suka atau tidak suka. Saat banyak yang mulai putus asa dengan cara buruk penegakan hukum saat ini, dan pada saat yang sama premanisme makin marak, dark justice bisa saja menjadi gaya patriotisme baru. Bukankah sudah banyak orang yang mulai secara terbuka meminta koruptor di tembak mati saja?

(socio-politica.com/sociopolitica.wordpress.com)

Kisah SBY dan Indro Tjahjono: Kecurangan Dalam Dua Pemilihan Umum Presiden (2)

TAMPIL dan berperannya perwira-perwira muda dalam pendudukan kampus-kampus di Bandung 1978, merupakan catatan tersendiri. Dalam Peristiwa 1978 itu, rezim mengerahkan pasukan dengan komandan-komandan muda –hasil regenerasi tentara, lulusan akademi militer– seperti Feisal Tanjung dan Surjadi Sudirdja. Pendudukan kampus dilakukan oleh beberapa SSK (satuan setingkat kompi) dengan cara-cara kekerasan, menggunakan popor, bayonet dan tendangan mengatasi perlawanan mahasiswa Angkatan 1978. Betul-betul khas militeristik, yang menambah lagi daftar luka traumatik dalam sejarah, khususnya dalam hubungan mahasiswa dan militer. Pertama kalinya sejarah Indonesia mencatat pendudukan kampus perguruan tinggi sepenuhnya oleh kekuasaan militer hanya karena berbeda pendapat dan konsep tentang kekuasaan. Sesuatu yang oleh kolonial Belanda sekalipun tak pernah dilakukan.

SUSILO BAMBANG YUDHOYONO. “Bagaimana dengan tudingan Indro Tjahjono tentang kecurangan Pemilihan Umum di tahun 2004 maupun 2009? Kelihatannya, pengungkapan itu sepi reaksi, dari media pers maupun dari mereka yang dituduh. Apakah sebaiknya kita juga mengembalikan persoalannya ke tangan Tuhan saja?”. (foto download pdk.id)

Peristiwa Malari 1974 di Jakarta sebelumnya, memang seolah mendorong pula tentara ‘memasuki’ kampus, namun hanya dalam waktu ringkas dan bentuk yang sedikit berbeda. Kedua preseden inilah awal yang kelak membuat hampir tidak pernah ada perwira militer generasi penerus lulusan akademi militer yang mempunyai keberanian untuk tampil berkomunikasi dengan kampus-kampus perguruan tinggi terkemuka di Indonesia. Di tangan generasi baru ABRI ini jurang komunikasi dengan kampus telah menjadi semakin menganga. Apalagi setelah secara nyata para perwira produk Akademi ABRI ini ‘bersimpuh’ kepada Jenderal Soeharto, ikut menikmati kekuasaan dan menjadi kaki dan tangan bagi Soeharto dengan Orde Barunya yang telah tergelincir korup penuh korupsi, kolusi dan nepotisme. Tak pelak lagi banyak di antara perwira generasi baru ini kemudian secara tragis dicatat sebagai ‘musuh’ rakyat. Banyak dari mereka kemudian dijuluki sebagai musuh demokrasi, penindas hak asasi manusia dan pengabdi kekuasaan otoriter serta menjadi pelaku korupsi, kolusi dan nepotisme. Continue reading Kisah SBY dan Indro Tjahjono: Kecurangan Dalam Dua Pemilihan Umum Presiden (2)

Liem Soei Liong: ‘Penjaga Telur Emas’ Bagi Kekuasaan Jenderal Soeharto (2)

BUKANNYA tak pernah muncul nama-nama sebagai calon ‘rival’ menuju kursi RI-1, namun semua selalu kandas dengan sendirinya melalui ‘ketegangan kreatif’ itu. Mulai dari Jenderal Ali Moertopo, Jenderal Soemitro sampai Jenderal Muhammad Jusuf. Sebenarnya di luar mereka dan di luar Jenderal AH Nasution –yang menjadi rival pertama dalam persaingan menuju kursi RI-1 menggantikan Soekarno– masih cukup banyak tokoh, terutama para jenderal, yang memendam keinginan menjadi number one. Tetapi para jenderal yang disebutkan terakhir ini, terlalu besar ketergantungan mati-hidupnya dari Soeharto, sehingga tak lebih tak kurang mereka hanya berani berada dalam penantian mendadak ketiban ‘wasiat’ Soeharto untuk naik ke kursi nomor satu itu. Ketergantungan mereka pada umumnya menyangkut karir, fasilitas dan akses keuangan. Rata-rata, untuk akses keuangan, mereka berhubungan ‘baik’ dengan Liem Soei Liong sang penjaga ayam petelur dan telur-telur emasnya.

LIEM SOEI LIONG – SOEHARTO. Siapa berani memerahi Liem Soei Liong? (foto download suara pengusaha)

Siapa berani memarahi Liem Soei Liong? Sejauh yang bisa diceritakan, di antara para jenderal, hanya dua di antaranya yang pernah menegur dan memarahi Liem Soei Liong, yaitu Letnan Jenderal HR Dharsono dan kemudian Jenderal Muhammad Jusuf. Jenderal HR Dharsono saat menjadi Dubes RI di Bangkok, memarahi Liem karena perilaku seenaknya ketika ia ini bertamu ke kedutaan untuk menemuinya. HR Dharsono tidak peduli Liem itu ‘sahabat’ Soeharto atau siapa. Jangankan Liem, Jenderal Alamsyah yang saat itu menjadi salah satu menteri di kabinet Soeharto pun pernah ditegur HR Dharsono, akibat perilaku anak-isteri sang menteri yang membuat masalah di Bangkok. Tetapi yang lebih seru adalah cerita mengenai teguran Menhankam/Pangab Jenderal Muhammad Jusuf kepada Liem yang datang ke kediaman Presiden Soeharto dengan pakaian seenaknya. Bahkan, diceritakan bahwa Jenderal Jusuf sampai melayangkan tamparan ke wajah taipan besar ‘sahabat’ Soeharto ini.
Mungkin Soeharto yang punya kebiasaan ‘ngopi’ bersama ‘sahabat’ lamanya itu di Cendana, hanya bisa diam dan kecut ketika Liem melaporkan insiden ini kepadanya. Continue reading Liem Soei Liong: ‘Penjaga Telur Emas’ Bagi Kekuasaan Jenderal Soeharto (2)

Laksamana Sudomo, ‘Swiss Army Knife’ Bagi Jenderal Soeharto (1)

JENDERAL ketiga setelah Jenderal Soeharto dan Jenderal Soemitro, yang paling ‘ditakuti’ di masa Orde Baru dalam konteks pelaksanaan kekuasaan yang represif –khususnya pada paruh tertentu di tahun 1970-an– tak lain adalah Laksamana Sudomo. Tentu ada sejumlah jenderal represif lainnya, sepanjang yang bisa dicatat, seperti misalnya Jenderal LB Murdani, tetapi kurun waktu berperannya berlainan waktu. Jenderal Benny Murdani berperan pada waktu berbeda, yakni setelah Laksamana Sudomo berpindah dari posisi pimpinan Kopkamtib dan Menko Polhukam ke panggung peran sipil, sebagai menteri yang menangani bidang ketenagakerjaan dan kemudian Ketua DPA (Dewan Pertimbangan Agung) RI. LB Murdani, menjadi Panglima ABRI, menggantikan Jenderal Muhammad Jusuf seorang jenderal terkemuka lainnya. Nama Benny Murdani senantiasa dikaitkan dalam hubungan murid dan guru dengan Jenderal Ali Moertopo –jenderal pemikir sekaligus ahli strategi politik dan intelejen– yang banyak berperan dalam pengendalian belakang layar di sekitar Jenderal Soeharto ‘sejak’ Peristiwa 30 September 1965.

JENDERAL SOEHARTO-LAKSAMANA SUDOMO, SEJAK KOMANDO MANDALA. “Laksamana Sudomo menempatkan diri sebagai bawahan yang seakan selalu tersedia hanya bagi sang atasan. Dan berguna bagi segala kepentingan sang pemimpin, dan menjadi ibarat Army Swiss knife bagi Jenderal Soeharto”. (dokumentasi, download)

Sewaktu menjabat sebagai Menteri Pertahanan Keamanan/Panglima ABRI, Jenderal Muhammad Jusuf, memiliki kualifikasi dan konotasi berbeda di mata publik dengan sejumlah jenderal di lingkungan Soeharto, meskipun sama-sama berada dalam suatu rezim kekuasaan yang didominasi militer. Jenderal Jusuf membuat tentara disegani, bukan dalam pengertian ditakuti dan dibenci, karena ABRI di masa itu berhasil kembali memiliki kedekatan dengan rakyat. Pada saat itu dikenal semboyan ‘Kemanunggalan ABRI dan Rakyat’. Sedikit mirip dengan apa yang dilakukan sebelumnya oleh tiga Letnan Jenderal idealis –Sarwo Edhie Wibowo, HR Dharsono dan Kemal Idris– dan Jenderal AH Nasution yang pada masa pergolakan politik sekitar tahun 1966 menjalin kedekatan dengan sejumlah eksponen pergerakan kritis di masyarakat, sehingga antara lain menampilkan pola Partnership ABRI-Mahasiswa menghadapi rezim Soekarno.

SEPULUH jenderal itu kini tidak lagi berada di panggung peran di dunia ini. Laksamana Sudomo adalah yang terbaru waktunya di antara sepuluh jenderal itu berlalu memenuhi panggilanNya. Meninggal dunia Rabu pagi 18 April 2012 dalam usia 86 tahun. Masa purna tugas di luar kekuasaan relatif dilaluinya dengan tenang. Continue reading Laksamana Sudomo, ‘Swiss Army Knife’ Bagi Jenderal Soeharto (1)