Tag Archives: Wimar Witoelar

ITB, Peristiwa Berdarah 6 Oktober 1970 (3)

TERASA mengandung sedikit kadar ‘ancaman’ Mayjen Witono mengatakan “Sudah pasti, kalau demikian, segala sesuatunya sukar untuk menjadi cocok, bahkan bisa membahayakan karena front dilebarkan. Secara otomatis daerah ‘penggesrekan’ (benturan, pergesekan) akan semakin luas”. Lalu ia menambahkan, “Menurut pendapat saya, tidaklah mudah bermain-main dengan massa, karena kalau tidak dapat mengendalikannya akan menjadi senjata makan tuan”. Sesudah itu sang panglima mengutarakan soal kepribadian Timur dan falsafah pewayangan. “Ekspresi harus dengan cara-cara yang sopan santun. Bahayanya, karena kita ini sebagai orang Timur  dan memiliki nilai-nilai budaya sendiri yang telah begitu berakar dan berabad-abad tuanya”. Katanya, cara-cara ekspresi jiplakan dari Eropa misalnya, akan sangat menusuk perasaan, bukan saja yang dicemoohkan tapi juga pihak-pihak lainnya yang sebenarnya di luar pagar persoalan karena kaitan nilai-nilai budaya. Terutama sekali katanya, masyarakat di Jawa ini, dimana falsafah wayang begitu mendalam dan berakar, dimana yang baik dan buruk biasa digambarkan dalam sifat-sifat Pendawa dan Korawa. “Karenanya, cara ekspresi yang kurang sopan santun, mudah menjadi bumerang terhadap diri sendiri”.

IBUNDA RENE LOUIS COENRAAD MEMARAHI PETINGGI POLRI. "Pernyataan Kapolri (Kepala Kepolisian RI) Hugeng Iman Santoso pada waktu itu betul-betul menunjukkan semangat membela korps, khususnya korps perwira. Sungguh ironis, polisi yang dianggap ‘baik’ seperti Hugeng pun bisa tergelincir dalam keharusan membela kekuasaan dan kepentingan kekuasaan. Para taruna itu dilukiskan sebagai generasi penerus yang pada tangannya terletak masa depan Polri." (foto download, Sayap Barat)
IBUNDA RENE LOUIS COENRAAD MEMARAHI PETINGGI POLRI. “Pernyataan Kapolri (Kepala Kepolisian RI) Hugeng Iman Santoso pada waktu itu betul-betul menunjukkan semangat membela korps, khususnya korps perwira. Sungguh ironis, polisi yang dianggap ‘baik’ seperti Hugeng pun bisa tergelincir dalam keharusan membela kekuasaan dan kepentingan kekuasaan. Para taruna itu dilukiskan sebagai generasi penerus yang pada tangannya terletak masa depan Polri.” (foto download, Sayap Barat)

Menjadi tanda tanya dalam analogi Witono, siapa yang Pendawa dan siapa yang Korawa. Kalau mengidentikkan dengan jumlah demonstran, dan sifat melawan, mahasiswa lah yang dituju. Tapi kalau melihat siapa yang melakukan pengeroyokan massal yang menghilangkan nyawa, mungkin lah para taruna yang pantas dinobatkan jadi Korawa.

Penampilan sikap Witono yang ‘menyimpang’ dari ‘kebiasaan’ Siliwangi, cukup menimbulkan tanda tanya. Ada yang menduga bahwa ia mencoba menyesuaikan diri dengan Jakarta, karena ia relatif belum lama jadi Panglima. Tetapi seorang perwira menengah di Siliwangi mengungkapkan bahwa Witono memang ditekan Jakarta untuk bersikap keras, namun sikap keras yang ditunjukkannya kemudian, katanya, lebih banyak bersifat ‘pura-pura’.

Seakan-akan pembenaran atas teori Mayjen Witono, Sabtu pagi  10 Oktober, satu barisan cacad veteran melintas di depan kampus ITB jalan Ganesha. Tidak dalam jumlah yang besar, sekitar 200 orang, mereka tiba dengan kendaraan opelet dan turun di pertigaan jalan  Dago (kini Jalan Ir Juanda) dan Ganesha lalu berbaris melintas di depan kampus. Mereka membawa poster-poster yang antara lain menyebutkan “500 ribu rupiah untuk satu mahasiswa dibayar oleh rakyat”. “Kami emoh demokrasi liar, kami emoh demokrasi terpimpin, kami ingin demokrasi Pancasila”. Mereka juga menyebarkan surat pernyataan yang menuntut agar mahasiswa ‘biang keladi’ penghinaan ABRI dituntut secara hukum. Para mahasiswa yang berada di kampus hanya menyaksikan barisan itu lewat, tanpa reaksi apa pun. Pimpinan-pimpinan veteran itu kemudian menemui Rektor ITB di rektorat Tamansari beberapa ratus meter dari kampus. Kepada Rektor, Ketua DPD Korps Cacad Veteran R. Muhrip menyatakan, sebenarnya mereka mengerti dan mendukung gerakan mahasiswa. Mereka tahu ada ABRI yang salah. “Tapi jangan semuanya disalahkan”.

Jumat malam sebelumnya, sebenarnya para mahasiswa telah mengetahui rencana kedatangan barisan cacad veteran itu. Intelijen tentara agaknya secara diam-diam bekerja meluncurkan perang urat syaraf. Sejak pagi setelah lewatnya barisan cacad veteran, tersiar kabar bahwa kampus ITB akan diserbu Sabtu malam itu. Siangnya, berita menyebutkan beberapa truk massa veteran dan Angkatan 45 siap siaga, karena merasa tersinggung mendengar kabar selentingan adanya baju hijau dibakar di kampus ITB. Selain cacad veteran, siang itu juga pimpinan-pimpinan veteran dan Angkatan 45 mendatangi Rektor ITB dan DM ITB di kampus untuk menanyakan hal itu. Mereka menyatakan bahwa baju hijau adalah lambang kehormatan. “Kami kuatir kalau massa veteran dan Angkatan 45 tak dapat mengendalikan emosinya”. Tapi berita pembakaran baju hijau itu sebenarnya adalah berita bohong. Rupanya ada yang mengambil alih ‘lontaran’ Mayjen Witono tentang ‘memperlebar front’ melalui isu dan insinuasi. Meskipun pimpinan veteran telah bertemu Rektor ITB maupun Dewan Mahasiswa, toh Sabtu malam itu Mayjen Witono beserta seorang perwira Kujang datang ke kampus ITB untuk juga menemui Rektor dan Dewan Mahasiswa. Panglima memberitahukan kampus akan diserang malam itu. Katanya oleh massa veteran.

Mendahului Panglima ada telpon dari Skogar kepada DM ITB, lalu dari seorang yang mengaku bernama Hambali dari veteran. Skogar memberi info kemungkinan akan ada serangan malam itu, sedang Hambali mencancam bahwa massa veteran akan dikerahkan menyerbu kampus. Mayjen Witono masih berada di kampus, ketika datang Kolonel Seno Hartono, Komandan Pusat Pendidikan dan Latihan Tempur Batudjadjar. Menyusuli atasannya, datang Kapten RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat) bernama Sentot, menyampaikan laporan terbuka –di depan para penonton yang terdiri dari Rektor dan pimpinan-pimpinan DM ITB– kepada atasannya dan Panglima bahwa 50 anggota RPKAD lolos dengan pakaian preman. “Mereka bermaksud menyerang kampus malam ini”, lapor sang Kapten. Para mahasiswa tampak tenang-tenang saja meskipun ada berita ‘serangan malam’. Belakangan, mereka mengungkapkan, sejak mula mereka yakin bahwa itu semua hanyalah komedi satu babak dengan bintang pelakon orang-orang berbintang di bahu. Menambah ketegangan, tiga buah panser dikerahkan berjaga-jaga sepanjang malam di depan kampus. Tapi hingga fajar menyingsing di hari Minggu keesokan harinya tak ada satu apapun yang terjadi. Tak ada veteran datang bertruk-truk, tak ada pula pasukan komando datang menjenguk kampus.

Sangat disesalkan pola gertak dan menakut-nakuti ini semakin berkembang di kemudian hari, ketika jabatan-jabatan teras ABRI dipegang oleh generasi-generasi penerus dengan mendapat bimbingan langsung dari guru para jenderal, Soeharto. Beberapa pengembangan pola gertak yang berlanjut dengan praktek kekerasan yang menggunakan kekuatan militer dapat dicatat di kemudian hari setelah itu. Seperti antara lain, provokasi dan pengobaran kerusuhan dalam Peristiwa 15 Januari 1974, peristiwa kekerasan dan pendudukan kampus-kampus Bandung 9 Pebruari – 25 Maret 1978,  peristiwa Tanjung Priok 12 September 1984, peristiwa penyerbuan kantor PDI 27 Juli 1997 di Jakarta, peristiwa berdarah di Trisakti dan Semanggi 1998, kerusuhan Mei 1998 di Jakarta serta sebelumnya rangkaian penculikan aktivis-aktivis pro demokrasi. Belum lagi kasus-kasus seperti kasus Marsinah dan yang sejenisnya di berbagai pelosok tanah air.

Sebenarnya para petinggi militer tahun 1970 itu mendapat ‘resep’ dari seorang doktor yang ahli psywar. Tetapi entah sang doktor memberi resep dengan setengah hati, entah para pelaksana gerakan perang urat syaraf yang rendah daya tangkapnya, sehingga pelaksanaannya kedodoran dan terbaca dengan mudah oleh para mahasiswa. Maka perang urat syaraf itu hanya sampai dalam bentuk komedi satu babak daripada sesuatu yang mencekam dan menggentarkan sasaran.

Bersamaan dengan itu santer pula beredar kabar, yang agaknya memang punya dasar kebenaran, bahwa pihak Kodam Siliwangi yang di pimpin oleh Panglima Mayjen Witono, akan bertindak keras kepada sejumlah tokoh mahasiswa yang dianggap telah memprovokasi masalah ke tingkat yang berbahaya. Mereka yang disebut namanya untuk ditangkap adalah dua bekas pimpinan DM-ITB yaitu Sarwono Kusumaatmadja dan Wimar Witoelar. Begitu pula Rahman Tolleng, karena koran yang dipimpinnya yakni Mahasiswa Indonesia dianggap sebagai motor utama agitasi. Beberapa nama lain yang kebetulan anggota Studi Group Mahasiswa Indonesia juga disebutkan akan ditangkap. Tapi ini tidak terjadi. Atas prakarsa beberapa perwira menengah seperti Kolonel Maman Darmawan, yang terjadi adalah pertemuan untuk memberi peringatan keras. Seandainya, Mingguan Mahasiswa Indonesia ditutup dan tokoh-tokoh mahasiswa ditangkapi, apalagi kampus diserbu, masalah akan menjadi tambah besar dan meluas. Front betul-betul akan melebar.

            Soeharto tampil menyampaikan pidato beberapa hari kemudian, menjanjikan akan dilakukannya pengusutan dan tindakan hukum atas peristiwa tersebut. Soeharto juga menyebutkan akan lebih ditegakkannya hak-hak sipil dengan lebih baik. Memang kemudian, peristiwa itu diusut bahkan sampai kepada proses peradilan di Mahkamah Militer. Tapi terlihat betapa taruna yang terlibat dan dicurigai oleh mahasiswa Bandung sebagai penembak –tanpa ragu sejumlah mahasiswa menyebutkan nama Nugroho Djajusman yang merupakan salah satu taruna yang waktu itu mengejar dan memukul Rene– cenderung ‘diselamatkan’. Apakah karena Nugroho Djajusman ini adalah putera seorang jenderal polisi, yaitu Jenderal Djajusman, maka ia diselamatkan dari tuduhan sebagai pembunuh Rene ?

Pernyataan Kapolri (Kepala Kepolisian RI) Hugeng Iman Santoso pada waktu itu betul-betul menunjukkan semangat membela korps, khususnya korps perwira. Sungguh ironis, polisi yang dianggap ‘baik’ seperti Hugeng pun bisa tergelincir dalam keharusan membela kekuasaan dan kepentingan kekuasaan. Para taruna itu dilukiskan sebagai generasi penerus yang pada tangannya terletak masa depan Polri. Tapi menarik untuk dicatat bahwa taruna angkatan tersebut belakangan banyak mengalami ‘cedera’, seperti misalnya adanya beberapa diantara mereka terpaksa diturunkan pangkatnya karena pelanggaran berat. Seorang lainnya, bernama Bahar Muluk, juga dijatuhi hukuman penjara tiga tahun karena keterlibatannya dalam penganiayaan hingga mati seorang tahanan Komdak Metro Jaya bernama Martawibawa.

Demi para calon perwira itu, para petinggi Polri bahkan sampai hati ‘mengorbankan’ seorang bintara Brimob bernama Djani Maman Surjaman, untuk diadili dan dihukum karena dinyatakan terbukti menembak Rene dengan senjata laras panjang Karl Gustav yang dipegangnya. Menurut Mingguan Mahasiswa Indonesia, ini sama sekali tidak mungkin karena berbeda dengan konstruksi peristiwa, otopsi dan hasil analisa senjata. Rene ditembak dari tempat yang lebih tinggi dengan senjata laras pendek, menembus dari atas leher dan bahu tembus ke dada mengenai paru-paru. Yang ada di di tempat lebih tinggi hanyalah para taruna –yang berada di atas bus dan truk. Sementara itu, Djani Maman Surjaman, bertugas di jalanan sekitar tempat peristiwa. Bagaimana caranya ia menembak Rene dari atas dengan senjata laras panjangnya ? Apakah Rene terlebih dahulu disuruh berlutut dengan kepala serendah-rendahnya di aspal jalanan lalu ditembak dari atas ke bawah? Kalau ya, ujung laras harus melekat di kepala atau leher Rene dan popor Karl Gustav akan menjulang melampaui bahu Maman, picunya setinggi bahu penembak dan ledakan peluru akan meninggalkan jelaga di pinggir luka. Dan kepala atau leher Rene mestinya hancur ditembak dari jarak begitu dekat oleh Karl Gustav. Kecuali, penembakan seperti itu dilakukan dengan pistol yang berlaras pendek.

Tetapi apa yang dianggap tak mungkin oleh mingguan itu, justru menjadi penggambaran oditur dalam persidangan mengenai situasi penembakan yang dilakukan oleh Djani terhadap Rene. Pembelaan Adnan Buyung Nasution SH31) di Mahkamah Militer yang digelar di Bandung sia-sia, dan Djani dihukum. Apa kesalahannya? Kesalahannya, adalah sedang sial, kenapa mendapat tugas hari itu dan kenapa dia ada di posisi yang tak jauh dari tempat kejadian. Para taruna tak satu pun yang tersentuh, bahkan belakangan banyak diantara mantan saksi dan calon tersangka itu berhasil meniti karir dan dikemudian hari bahkan menjadi elite kepolisian dengan pangkat Jenderal dan sempat menduduki posisi-posisi penting.

Mingguan Mahasiswa Indonesia yang menurunkan rangkaian investigated report mengenai kasus ini, malah diincar. Kelak, laporan-laporan Peristiwa 6 Oktober 1970 dan proses peradilannya, masuk sebagai ‘salah satu tagihan’ yang harus dibayar pada awal 1974, bersama sejumlah ‘tagihan’ lainnya. Sehingga, suatu ketika palu larangan terbit pun kemudian membunuh kehidupan tabloid kritis tersebut.

            Nasib malang yang ditimpakan kepada Djani Maman Surjaman ini membangkitkan simpati dan menimbulkan gerakan solidaritas mahasiswa Bandung dengan melansir antara lain Dompet Sumbangan Bantuan bagi Maman Surjaman di hampir seluruh kampus Perguruan Tinggi Jawa Barat. Solidaritas ini ditunjukkan dalam jangka waktu yang cukup panjang. Hingga kepengurusan dua periode DM ITB berikutnya (1972-1973) di bawah Ketua Umum Sjahrul yang menggantikan periode Ketua Umum Sjarif Tando (1970-1971) dan Ketua Umum Tri Herwanto (1971-1972), kunjungan-kunjungan mahasiswa tetap dilakukan secara teratur sebagai bukti kesetiakawanan dan simpati ke tempat penahanan Djani Maman Surjaman.

Sementara itu, peradilan untuk kasus yang sama, dengan 8 Taruna Akabri Kepolisian –yang sudah berpangkat Letnan Satu dan Letnan Dua pada waktu proses peradilan– berlangsung berkepanjangan di tahun 1973 hingga 1974, penuh kejanggalan, untuk berakhir dengan selamatnya para terdakwa dari hukuman penjara secara fisik. Suatu pertunjukan yang sangat menusuk perasaan itu –karena penuh pemutarbalikan fakta demi penyelamatan para perwira muda dan putera para jenderal– diikuti dengan tekun dan cermat oleh  para mahasiswa. Sementara pada waktu bersamaan di tahun 1973 hinggga 1974 saat berlangsungnya peradilan itu, para mahasiswa sedang terlibat dalam suatu pergolakan yang lebih kritis terhadap pemerintah dan kekuasaan Orde Baru Soeharto.

(socio-politica.com)

*Tulisan ini merupakan salah satu bagian dalam buku “Menyilang Jalan Kekuasaan Militer Otoriter”. (Rum Aly, Penerbit Buku Kompas, 2004). Peristiwa 6 Oktober, terjadi tepat  43 tahun lalu. 

Kisah SBY dan Indro Tjahjono: Kecurangan Dalam Dua Pemilihan Umum Presiden (2)

TAMPIL dan berperannya perwira-perwira muda dalam pendudukan kampus-kampus di Bandung 1978, merupakan catatan tersendiri. Dalam Peristiwa 1978 itu, rezim mengerahkan pasukan dengan komandan-komandan muda –hasil regenerasi tentara, lulusan akademi militer– seperti Feisal Tanjung dan Surjadi Sudirdja. Pendudukan kampus dilakukan oleh beberapa SSK (satuan setingkat kompi) dengan cara-cara kekerasan, menggunakan popor, bayonet dan tendangan mengatasi perlawanan mahasiswa Angkatan 1978. Betul-betul khas militeristik, yang menambah lagi daftar luka traumatik dalam sejarah, khususnya dalam hubungan mahasiswa dan militer. Pertama kalinya sejarah Indonesia mencatat pendudukan kampus perguruan tinggi sepenuhnya oleh kekuasaan militer hanya karena berbeda pendapat dan konsep tentang kekuasaan. Sesuatu yang oleh kolonial Belanda sekalipun tak pernah dilakukan.

SUSILO BAMBANG YUDHOYONO. “Bagaimana dengan tudingan Indro Tjahjono tentang kecurangan Pemilihan Umum di tahun 2004 maupun 2009? Kelihatannya, pengungkapan itu sepi reaksi, dari media pers maupun dari mereka yang dituduh. Apakah sebaiknya kita juga mengembalikan persoalannya ke tangan Tuhan saja?”. (foto download pdk.id)

Peristiwa Malari 1974 di Jakarta sebelumnya, memang seolah mendorong pula tentara ‘memasuki’ kampus, namun hanya dalam waktu ringkas dan bentuk yang sedikit berbeda. Kedua preseden inilah awal yang kelak membuat hampir tidak pernah ada perwira militer generasi penerus lulusan akademi militer yang mempunyai keberanian untuk tampil berkomunikasi dengan kampus-kampus perguruan tinggi terkemuka di Indonesia. Di tangan generasi baru ABRI ini jurang komunikasi dengan kampus telah menjadi semakin menganga. Apalagi setelah secara nyata para perwira produk Akademi ABRI ini ‘bersimpuh’ kepada Jenderal Soeharto, ikut menikmati kekuasaan dan menjadi kaki dan tangan bagi Soeharto dengan Orde Barunya yang telah tergelincir korup penuh korupsi, kolusi dan nepotisme. Tak pelak lagi banyak di antara perwira generasi baru ini kemudian secara tragis dicatat sebagai ‘musuh’ rakyat. Banyak dari mereka kemudian dijuluki sebagai musuh demokrasi, penindas hak asasi manusia dan pengabdi kekuasaan otoriter serta menjadi pelaku korupsi, kolusi dan nepotisme. Continue reading Kisah SBY dan Indro Tjahjono: Kecurangan Dalam Dua Pemilihan Umum Presiden (2)

6 Oktober 1970: Luka Pertama dalam Hubungan Mahasiswa-Tentara (3)

“Apakah karena Nugroho Djajusman ini adalah putera seorang jenderal polisi, yaitu Jenderal Djajusman, maka ia diselamatkan dari tuduhan sebagai pembunuh Rene ? Pernyataan Kapolri (Kepala Kepolisian RI) Hoegeng Iman Santoso pada waktu itu betul-betul menunjukkan semangat membela korps, khususnya korps perwira. Sangat mengecewakan, padahal Jenderal Hoegeng, kala itu merupakan seorang perwira polisi ‘pujaan’ publik”.

Berbeda dengan tradisinya yang ‘ramah’ dan menunjukkan ‘kedekatan’ dengan mahasiswa Bandung selama ini, Kodam Siliwangi dalam menyikap reaksi mahasiswa dalam insiden 6 Oktober, adalah jauh dari segala tanda-tanda ‘kedekatan’, apalagi ramah. Menanggapi aksi-aksi mahasiswa, pada hari Sabtu 10 Oktober melalui radio dan media cetak, Laksus Pangkopkamtibda Jawa Barat meluncurkan tudingan bahwa “demonstrasi-demonstrasi dan kegiatan-kegiatan sebagian mahasiswa Bandung menjurus ke arah ekstrimitas”. Panglima Siliwangi Mayjen A.J. Witono agaknya mempunyai persepsi berbeda dengan mahasiswa. Ia mengecilkan makna peristiwa dengan mengatakan “Persoalan insidennya sendiri sebetulnya merupakan persoalan yang sifatnya terbatas, akan tetapi dipaksakan dibawa menjadi persoalan yang lebih luas dan kompleks”.

Sang Jenderal menggertak dan menakuti-nakuti

Tanpa menyadari bahwa insiden dan reaksi  yang ditunjukkan mahasiswa dan generasi muda lainnya merupakan puncak akumulasi kekecewaan terhadap perilaku sebagian tentara dan polisi beberapa tahun terakhir, Mayjen Witono yang menggantikan Letjen HR Dharsono sebagai Panglima Siliwangi setahun sebelumnya, menyimpulkan penyebab peristiwa adalah emosi tak terkekang yang dipaksakan untuk dirasionalkan. “Ini berarti ratio telah diabdikan kepada emosi”. Terasa mengandung sedikit kadar ‘ancaman’ Mayjen Witono mengatakan “Sudah pasti, kalau demikian, segala sesuatunya sukar untuk menjadi cocok, bahkan bisa membahayakan karena front dilebarkan. Secara otomatis daerah ‘penggesrekan’ (benturan, pergesekan) akan semakin luas”. Lalu ia menambahkan, “Menurut pendapat saya, tidaklah mudah bermain-main dengan massa, karena kalau tidak dapat mengendalikannya akan menjadi senjata makan tuan”.

Sesudah itu sang panglima mengutarakan soal kepribadian Timur dan falsafah pewayangan. “Ekspresi harus dengan cara-cara yang sopan santun. Bahayanya, karena kita ini sebagai orang Timur  dan memiliki nilai-nilai budaya sendiri yang telah begitu berakar dan berabad-abad tuanya”. Katanya, cara-cara ekspresi jiplakan dari Eropa misalnya, akan sangat menusuk perasaan, bukan saja yang dicemoohkan tapi juga pihak-pihak lainnya yang sebenarnya di luar pagar persoalan karena kaitan nilai-nilai budaya. Terutama sekali katanya, masyarakat di Jawa ini, dimana falsafah wayang begitu mendalam dan berakar, dimana yang baik dan buruk biasa digambarkan dalam sifat-sifat Pendawa dan Korawa. “Karenanya, cara ekspresi yang kurang sopan santun, mudah menjadi bumerang terhadap diri sendiri”. Menjadi tanda tanya dalam analogi Witono, siapa yang Pendawa dan siapa yang Korawa. Kalau mengidentikkan dengan jumlah demonstran, dan sifat melawan, mahasiswa lah yang dituju. Tapi kalau melihat siapa yang melakukan pengeroyokan massal yang menghilangkan nyawa, mungkin lah para taruna yang pantas dinobatkan jadi Korawa.

Penampilan sikap Witono yang ‘menyimpang’ dari ‘kebiasaan’ Siliwangi, cukup menimbulkan tanda tanya. Ada yang menduga bahwa ia mencoba menyesuaikan diri dengan Jakarta, karena ia relatif belum lama jadi Panglima. Tetapi seorang perwira menengah di Siliwangi mengungkapkan bahwa Witono memang ditekan Jakarta untuk bersikap keras, namun sikap keras yang ditunjukkannya kemudian, katanya, lebih banyak bersifat ‘pura-pura’.

Seakan-akan pembenaran atas teori Mayjen Witono, Sabtu pagi  10 Oktober, satu barisan cacad veteran melintas di depan kampus ITB jalan Ganesha. Tidak dalam jumlah yang besar, sekitar 200 orang, mereka tiba dengan kendaraan opelet dan turun di pertigaan jalan  Dago (kini Jalan Ir Juanda) dan Ganesha lalu berbaris melintas di depan kampus. Mereka membawa poster-poster yang antara lain menyebutkan “500 ribu rupiah untuk satu mahasiswa dibayar oleh rakyat”. “Kami emoh demokrasi liar, kami emoh demokrasi terpimpin, kami ingin demokrasi Pancasila”. Mereka juga menyebarkan surat pernyataan yang menuntut agar mahasiswa ‘biang keladi’ penghinaan ABRI dituntut secara hukum. Para mahasiswa yang berada di kampus hanya menyaksikan barisan itu lewat, tanpa reaksi apa pun. Pimpinan-pimpinan veteran itu kemudian menemui Rektor ITB di rektorat Tamansari beberapa ratus meter dari kampus. Kepada Rektor, Ketua DPD Korps Cacad Veteran R. Muhrip menyatakan, sebenarnya mereka mengerti dan mendukung gerakan mahasiswa. Mereka tahu ada ABRI yang salah. “Tapi jangan semuanya disalahkan”.

Jumat malam sebelumnya, sebenarnya para mahasiswa telah mengetahui rencana kedatangan barisan cacad veteran itu. Intelijen tentara agaknya secara diam-diam bekerja meluncurkan perang urat syaraf. Sejak pagi setelah lewatnya barisan cacad veteran, tersiar kabar bahwa kampus ITB akan diserbu Sabtu malam itu. Siangnya, berita menyebutkan beberapa truk massa veteran dan Angkatan 45 siap siaga, karena merasa tersinggung mendengar kabar selentingan adanya baju hijau dibakar di kampus ITB. Selain cacad veteran, siang itu juga pimpinan-pimpinan veteran dan Angkatan 45 mendatangi Rektor ITB dan DM ITB di kampus untuk menanyakan hal itu. Mereka menyatakan bahwa baju hijau adalah lambang kehormatan. “Kami kuatir kalau massa veteran dan Angkatan 45 tak dapat mengendalikan emosinya”. Tapi berita pembakaran baju hijau itu sebenarnya adalah berita bohong. Rupanya ada yang mengambil alih ‘lontaran’ Mayjen Witono tentang ‘memperlebar front’ melalui isu dan insinuasi. Meskipun pimpinan veteran telah bertemu Rektor ITB maupun Dewan Mahasiswa ITB, toh Sabtu malam itu Mayjen Witono beserta seorang perwira Kujang datang ke kampus ITB untuk juga menemui Rektor dan Dewan Mahasiswa. Panglima memberitahukan kampus akan diserang malam itu. Katanya oleh massa veteran.

Mendahului Panglima ada telpon dari Skogar kepada DM ITB, lalu dari seorang yang mengaku bernama Hambali dari veteran. Skogar memberi info kemungkinan akan ada serangan malam itu, sedang Hambali mencancam bahwa massa veteran akan dikerahkan menyerbu kampus. Mayjen Witono masih berada di kampus, ketika datang Kolonel Seno Hartono, Komandan Pusat Pendidikan dan Latihan Tempur Batudjadjar. Menyusuli atasannya, datang Kapten RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat) bernama Sentot, menyampaikan laporan terbuka –di depan para penonton yang terdiri dari Rektor dan pimpinan-pimpinan DM ITB– kepada atasannya dan Panglima bahwa 50 anggota RPKAD lolos dengan pakaian preman. “Mereka bermaksud menyerang kampus malam ini”, lapor sang Kapten. Para mahasiswa tampak tenang-tenang saja meskipun ada berita ‘serangan malam’. Belakangan, mereka mengungkapkan, sejak mula mereka yakin bahwa itu semua hanyalah komedi satu babak dengan bintang pelakon orang-orang berbintang di bahu. Menambah ketegangan, tiga buah panser dikerahkan berjaga-jaga sepanjang malam di depan kampus. Tapi hingga fajar menyingsing di hari Minggu keesokan harinya tak ada satu apapun yang terjadi. Tak ada veteran datang bertruk-truk, tak ada pula pasukan komando datang menjenguk kampus.

Sangat disesalkan pola gertak dan menakut-nakuti ini semakin berkembang di kemudian hari, ketika jabatan-jabatan teras ABRI dipegang oleh generasi-generasi penerus dengan mendapat bimbingan langsung dari guru para jenderal, Soeharto. Beberapa pengembangan pola gertak yang berlanjut dengan praktek kekerasan yang menggunakan kekuatan militer dapat dicatat di kemudian hari setelah itu. Seperti antara lain, provokasi dan pengobaran kerusuhan dalam Peristiwa 15 Januari 1974, peristiwa kekerasan dan pendudukan kampus-kampus Bandung 9 Pebruari – 25 Maret 1978,  peristiwa Tanjung Priok 12 September 1984, peristiwa penyerbuan kantor PDI 27 Juli 1997 di Jakarta, peristiwa berdarah di Trisakti dan Semanggi 1998, kerusuhan Mei 1998 di Jakarta serta sebelumnya rangkaian penculikan aktivis-aktivis pro demokrasi. Belum lagi kasus-kasus seperti kasus Marsinah dan yang sejenisnya di berbagai pelosok tanah air.

Sebenarnya para petinggi militer tahun 1970 itu mendapat ‘resep’ dari seorang doktor yang ahli psywar. Tetapi entah sang doktor memberi resep dengan setengah hati, entah para pelaksana gerakan perang urat syaraf yang rendah daya tangkapnya, sehingga pelaksanaannya kedodoran dan terbaca dengan mudah oleh para mahasiswa. Maka perang urat syaraf itu hanya sampai dalam bentuk komedi satu babak daripada sesuatu yang mencekam dan menggentarkan sasaran.

Bersamaan dengan itu santer pula beredar kabar, yang agaknya memang punya dasar kebenaran, bahwa pihak Kodam Siliwangi yang di pimpin oleh Panglima Mayjen Witono, akan bertindak keras kepada sejumlah tokoh mahasiswa yang dianggap telah memprovokasi masalah ke tingkat yang berbahaya. Mereka yang disebut namanya untuk ditangkap adalah dua bekas pimpinan DM-ITB yaitu Sarwono Kusumaatmadja dan Wimar Witoelar. Begitu pula Rahman Tolleng, karena koran yang dipimpinnya yakni Mahasiswa Indonesia dianggap sebagai motor utama agitasi. Beberapa nama lain yang kebetulan anggota Studi Group Mahasiswa Indonesia juga disebutkan akan ditangkap. Tapi ini tidak terjadi. Atas prakarsa beberapa perwira menengah seperti Kolonel Maman Darmawan, yang terjadi adalah pertemuan untuk memberi peringatan keras. Seandainya, Mingguan Mahasiswa Indonesia ditutup dan tokoh-tokoh mahasiswa ditangkapi, apalagi kampus diserbu, masalah akan menjadi tambah besar dan meluas. Front betul-betul akan melebar.

Jenderal Hoegeng, tokoh polisi pujaan, kali ini mengecewakan

Soeharto tampil menyampaikan pidato beberapa hari kemudian, menjanjikan akan dilakukannya pengusutan dan tindakan hukum atas peristiwa tersebut. Soeharto juga menyebutkan akan lebih ditegakkannya hak-hak sipil dengan lebih baik. Memang kemudian, peristiwa itu diusut bahkan sampai kepada proses peradilan di Mahkamah Militer. Tapi terlihat betapa taruna yang terlibat dan dicurigai oleh mahasiswa Bandung sebagai penembak –tanpa ragu sejumlah mahasiswa menyebutkan nama Nugroho Djajusman yang merupakan salah satu taruna yang waktu itu mengejar dan memukul Rene– cenderung ‘diselamatkan’. Apakah karena Nugroho Djajusman ini adalah putera seorang jenderal polisi, yaitu Jenderal Djajusman, maka ia diselamatkan dari tuduhan sebagai pembunuh Rene ? Pernyataan Kapolri (Kepala Kepolisian RI) Hoegeng Iman Santoso pada waktu itu betul-betul menunjukkan semangat membela korps, khususnya korps perwira. Sangat mengecewakan, padahal Jenderal Hoegeng, kala itu merupakan seorang perwira polisi ‘pujaan’ publik. Para taruna itu dilukiskan Hoegeng sebagai generasi penerus yang pada tangannya terletak masa depan Polri. Tapi menarik untuk dicatat bahwa taruna angkatan tersebut belakangan banyak mengalami ‘cedera’, seperti misalnya adanya beberapa diantara mereka terpaksa diturunkan pangkatnya karena pelanggaran berat. Seorang lainnya, bernama Bahar Muluk, juga dijatuhi hukuman penjara tiga tahun karena keterlibatannya dalam penganiayaan hingga mati seorang tahanan Komdak Metro Jaya bernama Martawibawa.

Demi para calon perwira itu, para petinggi Polri bahkan sampai hati ‘mengorbankan’ seorang bintara Brimob bernama Djani Maman Surjaman, untuk diadili dan dihukum karena dinyatakan terbukti menembak Rene dengan senjata laras panjang Karl Gustav yang dipegangnya. Menurut Mingguan Mahasiswa Indonesia, ini sama sekali tidak mungkin karena berbeda dengan konstruksi peristiwa, otopsi dan hasil analisa senjata. Rene ditembak dari tempat yang lebih tinggi dengan senjata laras pendek, menembus dari atas leher dan bahu tembus ke dada mengenai paru-paru. Yang ada di di tempat lebih tinggi hanyalah para taruna –yang berada di atas bus dan truk. Sementara itu, Djani Maman Surjaman, bertugas di jalanan sekitar tempat peristiwa. Bagaimana caranya ia menembak Rene dari atas dengan senjata laras panjangnya ? Apakah Rene terlebih dahulu disuruh berlutut dengan kepala serendah-rendahnya di aspal jalanan lalu ditembak dari atas ke bawah ? Kalau ya, ujung laras harus melekat di kepala atau leher Rene dan popor Karl Gustav akan menjulang melampaui bahu Maman, picunya setinggi bahu penembak dan ledakan peluru akan meninggalkan jelaga di pinggir luka. Dan kepala atau leher Rene mestinya hancur ditembak dari jarak begitu dekat oleh Karl Gustav. Kecuali, penembakan seperti itu dilakukan dengan pistol yang berlaras pendek.

Tetapi apa yang dianggap tak mungkin oleh mingguan itu, justru menjadi penggambaran oditur dalam persidangan mengenai situasi penembakan yang dilakukan oleh Djani terhadap Rene. Pembelaan Adnan Buyung Nasution SH di Mahkamah Militer yang digelar di Bandung sia-sia, dan Djani dihukum. Apa kesalahannya ? Kesalahannya, adalah sedang sial, kenapa mendapat tugas hari itu dan kenapa dia ada di posisi yang tak jauh dari tempat kejadian. Para taruna tak satu pun yang tersentuh, bahkan belakangan banyak diantara mantan saksi dan calon tersangka itu berhasil meniti karir dan dikemudian hari menjadi elite kepolisian dengan pangkat Jenderal dan sempat menduduki posisi-posisi penting.

Mingguan Mahasiswa Indonesia yang menurunkan rangkaian investigated report mengenai kasus ini, malah diincar. Kelak, laporan-laporan Peristiwa 6 Oktober 1970 dan proses peradilannya, masuk sebagai ‘salah satu tagihan’ yang harus dibayar pada awal 1974, bersama sejumlah ‘tagihan’ lainnya. Sehingga, suatu ketika palu larangan terbit pun kemudian membunuh kehidupan tabloid generasi muda yang kritis tersebut.

Nasib malang yang ditimpakan kepada Djani Maman Surjaman ini membangkitkan simpati dan menimbulkan gerakan solidaritas mahasiswa Bandung dengan melansir antara lain Dompet Sumbangan Bantuan bagi Maman Surjaman di hampir seluruh kampus Perguruan Tinggi Jawa Barat. Solidaritas ini ditunjukkan dalam jangka waktu yang cukup panjang. Hingga kepengurusan dua periode DM ITB berikutnya (1972-1973) di bawah Ketua Umum Sjahrul yang menggantikan periode Ketua Umum Sjarif Tando (1970-1971) dan Ketua Umum Tri Herwanto (1971-1972), kunjungan-kunjungan mahasiswa tetap dilakukan secara teratur sebagai bukti kesetiakawanan dan simpati ke tempat penahanan Djani Maman Surjaman.

Sementara itu, peradilan untuk kasus yang sama, dengan 8 Taruna Akabri Kepolisian –yang sudah berpangkat Letnan Satu dan Letnan Dua pada waktu proses peradilan– berlangsung berkepanjangan di tahun 1973 hingga 1974, penuh kejanggalan, untuk berakhir dengan selamatnya para terdakwa dari hukuman penjara secara fisik. Suatu pertunjukan yang sangat menusuk perasaan itu –karena penuh pemutarbalikan fakta demi penyelamatan para perwira muda dan putera para jenderal– masih sempat diikuti dengan tekun dan cermat oleh  para mahasiswa pada awalnya. Pada waktu bersamaan di tahun 1973 hinggga 1974 saat berlangsungnya peradilan itu, para mahasiswa sedang terlibat dalam suatu pergolakan yang lebih kritis terhadap pemerintah dan kekuasaan Orde Baru Soeharto. Ini menyebabkan, perhatian mereka kemudian luput dari peradilan para taruna itu, terutama ketika setelah pecahnya Peristiwa 15 Januari 1974, penguasa berhasil menempatkan para mahasiswa di bawah tekanan supresi di kampus-kampus.

–  Diangkat dari buku Rum Aly, Menyilang Jalan Kekuasaan Militer Otoriter, Penerbit Buku Kompas, Jakarta 2004.

Korupsi di Indonesia: Kisah Nan Tak Kunjung Usai (1)

TAK lebih dari sepekan setelah Pemilihan Umum Presiden 8 Juli 2009, Soesilo Bambang Yudhoyono –yang ‘dipastikan’ akan memangku jabatan presiden untuk kedua kali– menjawab kesangsian publik tentang komitmennya dalam pemberantasan korupsi dengan pernyataan “Tak ada yang mempunyai niat tidak baik untuk menggagalkan pemberantasan korupsi”. Ia mengucapkannya dalam rapat koordinasi pemberantasan korupsi, Senin 13 Juli, bersama pimpinan KPK, Kejaksaan Agung, Polri, MA, MK, BPK dan BPKP.

Penegasan tersebut penting terutama setelah belakangan ini terkesan bagi publik bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi sedang digempur –untuk dilemahkan bahkan akan dimatikan– melalui momentum kasus Antasari Azhar. Kadar kecemasan cukup tinggi, karena dibandingkan dengan upaya pemberantasan korupsi di masa-masa sebelumnya, baru kali ini, dengan kehadiran KPK dengan gebrakan-gebrakannya tercipta harapan yang jauh lebih besar. Kecemasan itu, menjadi lebih tinggi, karena proses penyelesaian RUU Peradilan Tipikor (Tindak Pidana Korupsi) di DPR cenderung ditelantarkan. Bila UU itu tak berhasil diselesaikan sampai akhir masa kerja DPR periode sekarang, keberadaan lembaga peradilan Tipikor takkan berlanjut dan sekaligus akan membuat keberadaan KPK sia-sia. Semua ini mungkin saja terjadi, karena menurut pengalaman empiris masyarakat dari waktu ke waktu, sudah begitu banyak gerakan pemberantasan korupsi yang telah dipatahkan.

Seraya menunggu peristiwa lanjut apa yang akan terjadi kali ini dalam upaya pemberantasan korupsi, perlu untuk membuka kembali sejumlah lembaran sejarah gerakan anti korupsi dan kegagalan-kegagalan pemberantasan korupsi di Indonesia dari waktu ke waktu. Serangkaian tulisan berikut yang akan disajikan melalui media ini, diangkat dengan beberapa perubahan dari buku Menyilang Jalan Kekuasaan Militer Otoriter (Rum Aly, Penerbit Buku Kompas, 2004).

Dari ‘Petisi Keadilan’ hingga Partai-partai yang tak pernah memperhatikan nasib rakyat

PADA tahun 1970, terjadi banyak aksi mahasiswa yang bergerak dari kampus. Aksi-aksi mahasiswa antara lain terpicu oleh kenaikan harga bahan bakar minyak pada awal 1970. Diantara tema-tema yang diluncurkan mahasiswa adalah meningkatkan pembangunan dan turunkan harga. Dan tema yang kemudian menjadi tema utama adalah hapuskan korupsi, yang digemakan secara moderat pada mulanya sejak paruh akhir tahun 1969 dan makin keras pada waktu-waktu berikutnya.

‘Petisi Keadilan’ dilancarkan pada Januari 1970 oleh puluhan tokoh mahasiswa dan tokoh pergerakan senior seperti Rahman Tolleng, Roedianto Ramelan, Awan Karmawan Burhan, Chris Siner Key Timu, Rachmat Witoelar, Wimar Witoelar, Sarwono Kusumaatmadja, Erna Walinono, Arifin Panigoro serta diselipi tokoh-tokoh mahasiswa yang lebih junior seperti Paulus Tamzil, Paskah Suzetta, Rulianto Hadinoto, Noke Kirojan, Tjupriono Priatna yang beberapa diantaranya adalah dari Studi Group Mahasiswa Indonesia –yang banyak anggotanya adalah ketua-ketua dan pengurus Dewan Mahasiswa yang ada di Bandung. Selain tokoh-tokoh junior itu tercatat keikutsertaan beberapa kalangan intelektual di antara 66 penandatangan ‘Petisi Keadilan’, seperti Dr Midian Sirait, dr MM Moeliono, Amartiwi Saleh SH, Ny Otong Kosasih, Djuchro Sumitradilaga dan tokoh senior perjuangan 1966 lainnya seperti Dedi Krishna, Alex Rumondor, Bonar Siagian, Djoko Sudyatmiko, RAF Mully, Bernard Mangunsong, Lili Asdjudiredja dan Sjahrir dari Jakarta. Beberapa nama di atas mungkin masih bisa ditemukan dalam berbagai kancah kegiatan di tanah air saat ini, sementara beberapa nama lainnya mungkin tak lagi dikenali oleh generasi baru.

Mereka mengajukan tiga pokok masalah yang mereka anggap merupakan tanda-tanda yang dapat menjadi titik tolak kegagalan usaha mengadakan pembaharuan guna memperbaiki tingkat hidup rakyat. Pertama, dalam hal pengumpulan, pemanfaatan dan pengawasan atas pendapatan dan kekayaan negara seperti minyak bumi dan sebagainya, dirasakan banyak kepincangannya. “Kekayaan berlimpah-limpah yang dinikmati sebagai hasil korupsi segelintir oknum aparatur negara di satu pihak, dan dimintanya pengorbanan lebih banyak dari rakyat dengan antara lain menaikkan harga minyak bumi dan kurang diperhatikannya kebutuhan-kebutuhan dunia pendidikan di lain pihak, dengan jelas memperlihatkan contoh kepincangan-kepincangan ini”. Yang kedua, masih dirasakan banyaknya, bahkan makin meningkatnya penyelewengan-penyelewengan dan pelanggaran-pelanggaran hukum yang dilakukan terutama oleh oknum-oknum aparatur negara sendiri yang tidak ditindak secara konsekuen, “telah menimbulkan rasa ketidakpercayaan di kalangan masyarakat akan itikad pemerintah untuk menegakkan kekuasaan hukum”. Lalu yang ketiga, “Pandangan hari depan perkembangan politik, tidak memperlihatkan kemungkinan perubahan ke arah peningkatan kesadaran berpolitik seluruh rakyat, dengan dipertahankannya pola kehidupan politik lama, seperti diperlihatkan dalam Undang-undang Pemilihan Umum”. Petisi ini ditujukan kepada Presiden Soeharto sebagai pimpinan Orde Baru dan para pemimpin masyarakat lainnya.

Kekecewaan terhadap perkembangan negara juga ditunjukkan oleh Dewan Mahasiswa ITB, melalui suatu pernyataan yang ditandatangani Ketua Umum Sjarif Tando dan Sekertaris Umum Bambang Warih Kusuma. “Perkembangan akhir-akhir ini telah menimbulkan perasaan tidak puas di kalangan masyarakat, yang tercermin dalam sikap protes mahasiswa-mahasiswa Indonesia”. DM-ITB kemudian menyimpulkan bahwa ketidakpuasan itu disebabkan oleh empat hal. “Belum adanya kesungguhan pemerintah untuk menertibkan aparaturnya terhadap ketidakberesan birokrasi dan penyalah gunaan wewenang dan korupsi”, merupakan sebab pertama. Berikutnya, yang kedua “belum terlihat kesungguhan pemerintah untuk menciptakan kehidupan sosial politik yang menjamin terlaksananya cita-cita pembaharuan yang pernah diperjuangkan”. Dan yang ketiga, “dibebankannya akibat-akibat negatif dari hal-hal tersebut kepada rakyat banyak berupa kenaikan harga-harga kebutuhan pokok sehari-hari”. Terakhir, yang keempat “Terhadap perbaikan dunia pendidikan yang menjadi dasar dari pembangunan masyarakat dan kehidupan negara di hari mendatang, justru tidak menjadi dasar alasan tindakan-tindakan pemerintah kini, tapi bahkan Pemilu lah yang dijadikan dasar”. DM-ITB lalu menyerukan kepada para mahasiswa untuk lebih banyak dan cermat mengikuti perkembangan situasi negara sekarang.

Sementara itu di Jakarta sejumlah aktivis, Arief Budiman dan kawan-kawan, melancarkan aksi ‘Mahasiswa Menggugat’ yang memprotes kenaikan harga minyak dan korupsi. Bersama Arief, tercatat aktivis lain seperti Sjahrir, Julius Usman dan Harry Victor D. Selain didukung oleh veteran perjuangan 1966, ‘Mahasiswa Menggugat’ sebenarnya menjadi kuat karena ditopang oleh kekuatan intra yang berasal dari kampus Universitas Indonesia, antara lain dari Fakultas Sastra, Fakultas Psikologi dan Fakultas Ekonomi (Tapi di UI sendiri, secara menyeluruh menurut tradisi sebenarnya intra kampus di kuasai oleh ekstra universiter. Maka apa yang terjadi di tiga fakultas ini, yang punya kemiripan dengan suasana kampus-kampus utama Bandung, merupakan sesuatu yang istimewa). Dalam aksi 15 Januari 1970 mereka mulai bergerak dari kampus Salemba dalam satu barisan sambil meneriakkan yell-yell anti korupsi dan kecaman terhadap tindakan pemerintah menaikkan harga minyak. Sambil berjalan mereka melakukan pula aksi penempelan plakat-plakat protes. “Gantung koruptor !” bunyinya salah satu plakat. Yang lainnya berbunyi, “Minyak dan Bensin naik ! Tidak semua orang bisa tertawa, memang tepat bung ! 5 % dari bangsa Indonesia yang masih sempat tertawa ! (Iya toh proff !? Quo vadis Mon General ??”, “Tuntutan Mahasiswa dan Pelajar: SOS dunia pendidikan ! Jawaban pemimpin kita: Kenaikan uang masuk/kuliah. Tidak ada fasilitas pendidikan”, “Tuntutan Rakyat: Berantas Korupsi !! Jawaban: Kenaikan harga minyak dan bensin 2 x lipat. Rakyat: Terima kasih bapak Jenderal dan Professor”. Ketika berdemonstrasi beberapa hari kemudian di Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional), ‘Mahasiswa Menggugat’ mencetuskan ‘Tri Tuntutan’. Kesatu, “Berantas korupsi yang menghambat usaha pembangunan”. Kedua, “Turunkan harga minyak bumi”. Ketiga, “Jangan layani kekenesan partai-partai politik dengan Pemilu-nya”. ‘Mahasiswa Menggugat’ mengemukakan bahwa salah satu alasan kenaikan harga minyak adalah pemilihan umum. “Padahal kita tahu, pada pemilihan umum nanti yang boleh kita pilih adalah pemimpin-pemimpin partai yang dahulu berpesta pora bersama Soekarno”. Kritik tajam kepada perilaku politisi partai, juga dilontarkan oleh Imam Yudotomo mahasiswa Universitas Gajah Mada di Yogyakarta bersama kawan-kawannya dalam aksi ‘Pemuda Bergerak’. Terhadap wakil-wakil partai yang duduk di DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) mereka melontarkan kecaman, “Kepada DPRD kami menyatakan kekecewaan karena mereka kurang memperhatikan nasib rakyat” ujar Imam. Para mahasiswa Yogya ini menyampaikan bingkisan berupa gambar kapal terbang yang disertai keterangan “bisa dicicil tujuh turunan” kepada para anggota DPRD. Ini untuk menyindir pembagian skuter Lambretta kepada para anggota DPRD Daerah Istimewa Yogyakarta. Sindiran serupa tertuang dalam plakat “Lambretta Yes, bela rakyat No”. Yang paling mereka kecam adalah keterangan kalangan pemerintah bahwa harga minyak dinaikkan untuk keperluan pembiayaan pemilihan umum. “Tidak adil. Rakyat yang dibebani biaya untuk menaikkan orang-orang partai ke kursi-kursi empuk di DPR, sedang kita tahu bahwa pada kenyataannya partai-partai sama sekali tidak pernah menghiraukan nasib rakyat. Mereka lebih banyak membawa rakyat ke jurang penderitaan”.