TAK lebih dari sepekan setelah Pemilihan Umum Presiden 8 Juli 2009, Soesilo Bambang Yudhoyono –yang ‘dipastikan’ akan memangku jabatan presiden untuk kedua kali– menjawab kesangsian publik tentang komitmennya dalam pemberantasan korupsi dengan pernyataan “Tak ada yang mempunyai niat tidak baik untuk menggagalkan pemberantasan korupsi”. Ia mengucapkannya dalam rapat koordinasi pemberantasan korupsi, Senin 13 Juli, bersama pimpinan KPK, Kejaksaan Agung, Polri, MA, MK, BPK dan BPKP.
Penegasan tersebut penting terutama setelah belakangan ini terkesan bagi publik bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi sedang digempur –untuk dilemahkan bahkan akan dimatikan– melalui momentum kasus Antasari Azhar. Kadar kecemasan cukup tinggi, karena dibandingkan dengan upaya pemberantasan korupsi di masa-masa sebelumnya, baru kali ini, dengan kehadiran KPK dengan gebrakan-gebrakannya tercipta harapan yang jauh lebih besar. Kecemasan itu, menjadi lebih tinggi, karena proses penyelesaian RUU Peradilan Tipikor (Tindak Pidana Korupsi) di DPR cenderung ditelantarkan. Bila UU itu tak berhasil diselesaikan sampai akhir masa kerja DPR periode sekarang, keberadaan lembaga peradilan Tipikor takkan berlanjut dan sekaligus akan membuat keberadaan KPK sia-sia. Semua ini mungkin saja terjadi, karena menurut pengalaman empiris masyarakat dari waktu ke waktu, sudah begitu banyak gerakan pemberantasan korupsi yang telah dipatahkan.
Seraya menunggu peristiwa lanjut apa yang akan terjadi kali ini dalam upaya pemberantasan korupsi, perlu untuk membuka kembali sejumlah lembaran sejarah gerakan anti korupsi dan kegagalan-kegagalan pemberantasan korupsi di Indonesia dari waktu ke waktu. Serangkaian tulisan berikut yang akan disajikan melalui media ini, diangkat dengan beberapa perubahan dari buku Menyilang Jalan Kekuasaan Militer Otoriter (Rum Aly, Penerbit Buku Kompas, 2004).
Dari ‘Petisi Keadilan’ hingga Partai-partai yang tak pernah memperhatikan nasib rakyat
PADA tahun 1970, terjadi banyak aksi mahasiswa yang bergerak dari kampus. Aksi-aksi mahasiswa antara lain terpicu oleh kenaikan harga bahan bakar minyak pada awal 1970. Diantara tema-tema yang diluncurkan mahasiswa adalah meningkatkan pembangunan dan turunkan harga. Dan tema yang kemudian menjadi tema utama adalah hapuskan korupsi, yang digemakan secara moderat pada mulanya sejak paruh akhir tahun 1969 dan makin keras pada waktu-waktu berikutnya.
‘Petisi Keadilan’ dilancarkan pada Januari 1970 oleh puluhan tokoh mahasiswa dan tokoh pergerakan senior seperti Rahman Tolleng, Roedianto Ramelan, Awan Karmawan Burhan, Chris Siner Key Timu, Rachmat Witoelar, Wimar Witoelar, Sarwono Kusumaatmadja, Erna Walinono, Arifin Panigoro serta diselipi tokoh-tokoh mahasiswa yang lebih junior seperti Paulus Tamzil, Paskah Suzetta, Rulianto Hadinoto, Noke Kirojan, Tjupriono Priatna yang beberapa diantaranya adalah dari Studi Group Mahasiswa Indonesia –yang banyak anggotanya adalah ketua-ketua dan pengurus Dewan Mahasiswa yang ada di Bandung. Selain tokoh-tokoh junior itu tercatat keikutsertaan beberapa kalangan intelektual di antara 66 penandatangan ‘Petisi Keadilan’, seperti Dr Midian Sirait, dr MM Moeliono, Amartiwi Saleh SH, Ny Otong Kosasih, Djuchro Sumitradilaga dan tokoh senior perjuangan 1966 lainnya seperti Dedi Krishna, Alex Rumondor, Bonar Siagian, Djoko Sudyatmiko, RAF Mully, Bernard Mangunsong, Lili Asdjudiredja dan Sjahrir dari Jakarta. Beberapa nama di atas mungkin masih bisa ditemukan dalam berbagai kancah kegiatan di tanah air saat ini, sementara beberapa nama lainnya mungkin tak lagi dikenali oleh generasi baru.
Mereka mengajukan tiga pokok masalah yang mereka anggap merupakan tanda-tanda yang dapat menjadi titik tolak kegagalan usaha mengadakan pembaharuan guna memperbaiki tingkat hidup rakyat. Pertama, dalam hal pengumpulan, pemanfaatan dan pengawasan atas pendapatan dan kekayaan negara seperti minyak bumi dan sebagainya, dirasakan banyak kepincangannya. “Kekayaan berlimpah-limpah yang dinikmati sebagai hasil korupsi segelintir oknum aparatur negara di satu pihak, dan dimintanya pengorbanan lebih banyak dari rakyat dengan antara lain menaikkan harga minyak bumi dan kurang diperhatikannya kebutuhan-kebutuhan dunia pendidikan di lain pihak, dengan jelas memperlihatkan contoh kepincangan-kepincangan ini”. Yang kedua, masih dirasakan banyaknya, bahkan makin meningkatnya penyelewengan-penyelewengan dan pelanggaran-pelanggaran hukum yang dilakukan terutama oleh oknum-oknum aparatur negara sendiri yang tidak ditindak secara konsekuen, “telah menimbulkan rasa ketidakpercayaan di kalangan masyarakat akan itikad pemerintah untuk menegakkan kekuasaan hukum”. Lalu yang ketiga, “Pandangan hari depan perkembangan politik, tidak memperlihatkan kemungkinan perubahan ke arah peningkatan kesadaran berpolitik seluruh rakyat, dengan dipertahankannya pola kehidupan politik lama, seperti diperlihatkan dalam Undang-undang Pemilihan Umum”. Petisi ini ditujukan kepada Presiden Soeharto sebagai pimpinan Orde Baru dan para pemimpin masyarakat lainnya.
Kekecewaan terhadap perkembangan negara juga ditunjukkan oleh Dewan Mahasiswa ITB, melalui suatu pernyataan yang ditandatangani Ketua Umum Sjarif Tando dan Sekertaris Umum Bambang Warih Kusuma. “Perkembangan akhir-akhir ini telah menimbulkan perasaan tidak puas di kalangan masyarakat, yang tercermin dalam sikap protes mahasiswa-mahasiswa Indonesia”. DM-ITB kemudian menyimpulkan bahwa ketidakpuasan itu disebabkan oleh empat hal. “Belum adanya kesungguhan pemerintah untuk menertibkan aparaturnya terhadap ketidakberesan birokrasi dan penyalah gunaan wewenang dan korupsi”, merupakan sebab pertama. Berikutnya, yang kedua “belum terlihat kesungguhan pemerintah untuk menciptakan kehidupan sosial politik yang menjamin terlaksananya cita-cita pembaharuan yang pernah diperjuangkan”. Dan yang ketiga, “dibebankannya akibat-akibat negatif dari hal-hal tersebut kepada rakyat banyak berupa kenaikan harga-harga kebutuhan pokok sehari-hari”. Terakhir, yang keempat “Terhadap perbaikan dunia pendidikan yang menjadi dasar dari pembangunan masyarakat dan kehidupan negara di hari mendatang, justru tidak menjadi dasar alasan tindakan-tindakan pemerintah kini, tapi bahkan Pemilu lah yang dijadikan dasar”. DM-ITB lalu menyerukan kepada para mahasiswa untuk lebih banyak dan cermat mengikuti perkembangan situasi negara sekarang.
Sementara itu di Jakarta sejumlah aktivis, Arief Budiman dan kawan-kawan, melancarkan aksi ‘Mahasiswa Menggugat’ yang memprotes kenaikan harga minyak dan korupsi. Bersama Arief, tercatat aktivis lain seperti Sjahrir, Julius Usman dan Harry Victor D. Selain didukung oleh veteran perjuangan 1966, ‘Mahasiswa Menggugat’ sebenarnya menjadi kuat karena ditopang oleh kekuatan intra yang berasal dari kampus Universitas Indonesia, antara lain dari Fakultas Sastra, Fakultas Psikologi dan Fakultas Ekonomi (Tapi di UI sendiri, secara menyeluruh menurut tradisi sebenarnya intra kampus di kuasai oleh ekstra universiter. Maka apa yang terjadi di tiga fakultas ini, yang punya kemiripan dengan suasana kampus-kampus utama Bandung, merupakan sesuatu yang istimewa). Dalam aksi 15 Januari 1970 mereka mulai bergerak dari kampus Salemba dalam satu barisan sambil meneriakkan yell-yell anti korupsi dan kecaman terhadap tindakan pemerintah menaikkan harga minyak. Sambil berjalan mereka melakukan pula aksi penempelan plakat-plakat protes. “Gantung koruptor !” bunyinya salah satu plakat. Yang lainnya berbunyi, “Minyak dan Bensin naik ! Tidak semua orang bisa tertawa, memang tepat bung ! 5 % dari bangsa Indonesia yang masih sempat tertawa ! (Iya toh proff !? Quo vadis Mon General ??”, “Tuntutan Mahasiswa dan Pelajar: SOS dunia pendidikan ! Jawaban pemimpin kita: Kenaikan uang masuk/kuliah. Tidak ada fasilitas pendidikan”, “Tuntutan Rakyat: Berantas Korupsi !! Jawaban: Kenaikan harga minyak dan bensin 2 x lipat. Rakyat: Terima kasih bapak Jenderal dan Professor”. Ketika berdemonstrasi beberapa hari kemudian di Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional), ‘Mahasiswa Menggugat’ mencetuskan ‘Tri Tuntutan’. Kesatu, “Berantas korupsi yang menghambat usaha pembangunan”. Kedua, “Turunkan harga minyak bumi”. Ketiga, “Jangan layani kekenesan partai-partai politik dengan Pemilu-nya”. ‘Mahasiswa Menggugat’ mengemukakan bahwa salah satu alasan kenaikan harga minyak adalah pemilihan umum. “Padahal kita tahu, pada pemilihan umum nanti yang boleh kita pilih adalah pemimpin-pemimpin partai yang dahulu berpesta pora bersama Soekarno”. Kritik tajam kepada perilaku politisi partai, juga dilontarkan oleh Imam Yudotomo mahasiswa Universitas Gajah Mada di Yogyakarta bersama kawan-kawannya dalam aksi ‘Pemuda Bergerak’. Terhadap wakil-wakil partai yang duduk di DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) mereka melontarkan kecaman, “Kepada DPRD kami menyatakan kekecewaan karena mereka kurang memperhatikan nasib rakyat” ujar Imam. Para mahasiswa Yogya ini menyampaikan bingkisan berupa gambar kapal terbang yang disertai keterangan “bisa dicicil tujuh turunan” kepada para anggota DPRD. Ini untuk menyindir pembagian skuter Lambretta kepada para anggota DPRD Daerah Istimewa Yogyakarta. Sindiran serupa tertuang dalam plakat “Lambretta Yes, bela rakyat No”. Yang paling mereka kecam adalah keterangan kalangan pemerintah bahwa harga minyak dinaikkan untuk keperluan pembiayaan pemilihan umum. “Tidak adil. Rakyat yang dibebani biaya untuk menaikkan orang-orang partai ke kursi-kursi empuk di DPR, sedang kita tahu bahwa pada kenyataannya partai-partai sama sekali tidak pernah menghiraukan nasib rakyat. Mereka lebih banyak membawa rakyat ke jurang penderitaan”.
I’m an Australian citizen trying to make contact with a Mr Roedianto Ramelan with whom I studied in Germany back in 1971. At that time he was a liason officer for the students of Bandung University. My name is John Sullivan.
Dear Mr Sullivan; Unfortunately, Mr Roedianto Ramelan has passed away several years ago. He was an activist during his college period. Graduated from ITB (Bandung Institute of Technology). Then once served as a member of Indonesian Parliament (DPR-RI) for one period (1971-1976) in Soeharto’s era.