Tag Archives: Wiranto

Partai Golkar, Kisah Intervensi Berbalut Kain Sutera

BULAN Desember menjelang tutup tahun 2014, kepada publik tersaji serial berita tentang dua versi kepengurusan tingkat pusat Partai Golkar, yakni hasil Munas IX di Bali dan hasil Munas tandingan di Ancol Jakarta. Dua-duanya menyatakan diri sesuai konstitusi partai. Tapi bagaimana pun, sepanjang ketentuan yang ada dalam konstitusi partai tersebut, mustahil terjadi dua kebenaran sekaligus. Karena, apakah mayoritas DPD Golkar yang tersebar di 34 provinsi, 412 kabupaten, 98 kota (dan kota administratif) sebagai pemilik suara terpenting dan menentukan, masing-masing telah menghadiri Munas Golkar IX di Bali lalu juga menghadiri Munas di Ancol Jakarta? Maka, pasti ada satu di antaranya yang palsu. Dan semestinya sama sekali tidak sulit memverifikasi kebenaran di antara kedua Musyawarah Nasional itu.

LAMBANG BERINGIN GOLKAR. "Melalui ‘pergaulan politik klik-klikan’, terbuka lebar pintu bagi para politisi akrobatik yang sangat pragmatis dan oportunistik dalam konteks perebutan kekuasaan, untuk masuk berperan bahkan hingga ke jantung organisasi. Dalam ‘pergaulan politik klik-klikan’ kepentingan sendiri bertengger jauh di atas kepentingan idealisme untuk partai, apalagi untuk bangsa dan negara."
LAMBANG BERINGIN GOLKAR. “Melalui ‘pergaulan politik klik-klikan’, terbuka lebar pintu bagi para politisi akrobatik yang sangat pragmatis dan oportunistik dalam konteks perebutan kekuasaan, untuk masuk berperan bahkan hingga ke jantung organisasi. Dalam ‘pergaulan politik klik-klikan’ kepentingan sendiri bertengger jauh di atas kepentingan idealisme untuk partai, apalagi untuk bangsa dan negara.”

Meski seringkali menjengkelkan untuk melihat perilaku akrobatik yang kerap beraroma otoriter dari sejumlah tokoh Golkar di bawah kepemimpinan Aburizal Bakrie, tak boleh tidak harus diakui bahwa Munas Golkar di Bali yang harus dianggap sah karena praktis dihadiri oleh DPD-DPD yang sah dari seluruh Indonesia. Sebaliknya, tidak sulit untuk melihat bahwa Munas di Ancol adalah artifisial, bersifat mengakali konstitusi partai. Tapi pemerintahan Jokowi yang diwakili dalam hal ini oleh Kementerian Hukum dan HAM, mengambil sikap sangat abu-abu.

Pers mengutip Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly –seorang tokoh PDIP– yang mengatakan (16/12) “Setelah kami pertimbangkan, dari semua aspek, yuridis, fakta, dan dokumen, kami menyimpulkan bahwa masih ada perselisihan yang seharusnya Kementerian Hukum dan HAM tidak boleh mengintervensi….” Dan dengan anggapan adanya perselisihan, pemerintah lalu menyarankan penyelesaian internal melalui Mahkamah Partai. Tapi saran pemerintah ini pada hakekatnya hanya memperpanjang dan memperlama fase pertengkaran di tubuh partai papan atas ini. Sepintas sikap pemerintah adil dan bijaksana, tapi implikasinya sebenarnya adalah menciptakan nafas lanjutan dan kesempatan bagi kelompok ‘Munas Ancol’ Agung Laksono dan kawan-kawan untuk tetap menjadi faktor. Baik untuk membangun eksistensi mereka secara formal, maupun setidaknya untuk punya standing dalam suatu proses islah.

Intervensi terselubung. Menjadi pengetahuan publik, bahwa kekisruhan di tubuh Golkar secara pragmatis hanya akan menguntungkan koalisi partai-partai pendukung kekuasaan dan pemerintahan Jokowi-JK dalam konteks mematahkan supremasi KMP di lembaga legislatif. Makin panjang kisruh itu makin bagus bagi the ruling parties. Siapa tahu, hasil akhirnya nanti adalah sebuah Golkar yang pro kelompok berkuasa dalam kekuasaan pemerintahan negara saat ini. Dan cukup banyak kaum opportunis di tubuh partai itu siap ‘dimainkan’ sebagai pemegang peran antagonis.

KARIKATUR INDOPOS, MENTERI POLHUKAM MEMPERSILAHKAN AGUNG LAKSONO MUNAS. "Pola pengolahan konflik di tubuh Golkar ini, tidak berbeda jauh dengan apa yang menimpa sebuah partai lainnya, PPP, yang tadinya ada di barisan KMP. Perbedaannya hanya, ada intervensi langsung secara terang-terangan, dan ada yang dilakukan lebih terselubung. Bila terhadap PPP, Kementerian Hukum dan HAM bertindak cepat –untuk tidak menyebutnya tergesa-gesa– mengintervensi dengan mengakui sepihak kubu Romahurmusiy, maka intervensi di Golkar dilakukan lebih terselubung. Katakanlah, sebuah intervensi berbalut kain sutera."
KARIKATUR INDOPOS, MENTERI POLHUKAM MEMPERSILAHKAN AGUNG LAKSONO MUNAS. “Pola pengolahan konflik di tubuh Golkar ini, tidak berbeda jauh dengan apa yang menimpa sebuah partai lainnya, PPP, yang tadinya ada di barisan KMP. Perbedaannya hanya, ada intervensi langsung secara terang-terangan, dan ada yang dilakukan lebih terselubung. Bila terhadap PPP, Kementerian Hukum dan HAM bertindak cepat –untuk tidak menyebutnya tergesa-gesa– mengintervensi dengan mengakui sepihak kubu Romahurmusiy, maka intervensi di Golkar dilakukan lebih terselubung. Katakanlah, sebuah intervensi berbalut kain sutera.”

Pola pengolahan konflik di tubuh Golkar ini, tidak berbeda jauh dengan apa yang menimpa sebuah partai lainnya, PPP, yang tadinya ada di barisan KMP. Perbedaannya hanya, ada intervensi langsung secara terang-terangan, dan ada yang dilakukan lebih terselubung. Bila terhadap PPP, Kementerian Hukum dan HAM bertindak cepat –untuk tidak menyebutnya tergesa-gesa– mengintervensi dengan mengakui sepihak kubu Romahurmuziy, maka intervensi di Golkar dilakukan lebih terselubung. Katakanlah, sebuah intervensi berbalut kain sutera. Kenapa intervensi di PPP dilakukan tanpa ragu, tak lain karena menganggap posisi kubu Suryadharma Ali sedang terpojok secara internal maupun eksternal. Tuduhan korupsi di Kementerian Agama yang sedang mengarah ke Suryadharma Ali melemahkan posisi dan penilaian integritasnya dalam opini publik. Sebaliknya, intervensi ke Partai Golkar dilakukan lebih berhati-hati, karena adalah fakta bahwa secara internal kubu Aburizal Bakrie memang cukup kokoh berkat dukungan seluruh DPD –terlepas dari soal bagaimana cara dukungan itu diperoleh– dan legal formal pasti lebih konstitusional. Maka Menteri Hukum dan HAM tak ‘berani’ untuk secara langsung memaksakan memberi pengakuan keabsahan kepada kubu Munas Ancol bila tidak ingin mengalami efek bumerang dalam opini publik. Namun, di sisi lain ada kepentingan khusus yang harus disandarkan kepada keberadaan kubu Munas Ancol itu. Maka pilihannya, adalah sikap abu-abu.

Secara khusus bagi Jusuf Kalla, bila Partai Golkar bisa dikuasai oleh unsur-unsur kelompok Ancol, itu akan mengamankan bargaining position dirinya dalam percaturan politik di tubuh kekuasaan dalam lima tahun ke depan. Diakui atau tidak, sebenarnya kebersamaan Jokowi dan Jusuf Kalla dalam satu perahu kekuasaan, lebih bersifat ‘perkawinan’ taktis dengan segala kepentingan politis demi kekuasaan daripada bersatu atas dasar kesamaan strategis demi idealisme untuk bangsa.

Involusi dan molekulisasi. PERTENGKARAN internal –yang sering diperhalus secara sesat dengan terminologi “dinamika partai”– pasca Soeharto, bukan sesuatu yang baru di tubuh organisasi politik dengan sejarah yang cukup panjang ini. Akan tetapi baru sekali ini Golkar mengalami suatu pertengkaran yang menciptakan situasi ‘seakan-akan’ terjadi kepengurusan ganda. Dan ini adalah kali pertama ada kelompok bertindak terlalu jauh, menyelenggarakan Munas tandingan dan melahirkan DPP tandingan. Menjelang Pemilu 2004 tokoh Golkar Marzuki Darusman-Fahmi Idris dan kawan-kawan sempat berbeda pendirian dengan Ketua Umum Akbar Tandjung yang berujung pemecatan. Hanya saja, Marzuki dan kawan-kawan tidak memilih jalan menyelenggarakan Munas dan DPP tandingan yang bisa menyebabkan kehancuran partai.

Namun setelah itu terjadi sejumlah fenomena baru. Dalam beberapa peristiwa, sejumlah tokoh yang kecewa terhadap Golkar –misalnya kalah dalam konvensi Golkar maupun pemilihan kepemimpinan organisasi tersebut atau gagal menjadi presiden dengan dukungan Golkar– meninggalkan Golkar untuk mendirikan partai baru. Prabowo Subianto mendirikan Partai Gerindra, Wiranto mendirikan Partai Hanura dan belakangan Surya Paloh mendirikan organisasi kemasyarakatan Nasdem yang kemudian menjelma sebagai partai Nasdem. Sebelumnya, di awal pasca Soeharto Jenderal Purnawirawan Edi Sudradjad mendirikan PKPI. Setiap tokoh partai-partai baru itu, menjalankan pola mirip transmigrasi bedol desa, membawa serta para pendukungnya meninggalkan Golkar. Partai Demokrat pun sebenarnya, untuk sebagian dibangun dan diisi oleh tokoh-tokoh yang tadinya adalah bagian dari Keluarga Besar Golkar –misalnya dari jalur A, maupun tokoh-tokoh eks Golkar lainnya.

Fenomena baru pasca Soeharto ini, mungkin tepat disebut sebagai proses involusi, semacam degenerasi yang lebih jauh bisa saja suatu waktu menjadi molekulisasi Golkar. Ini semacam pembalikan terhadap apa yang terjadi di tahun 1964 saat tak kurang dari 291 organisasi bercorak kekaryaan berhimpun membentuk Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar). Dan menjelang Pemilihan Umum 1971, Sekber Golkar berhasil merampingkan pengorganisasiannya namun dengan kuantitas akar rumput yang lebih luas di masyarakat. Pada saat akan memasuki tahun Pemilu 1971 itu pula Golkar berhasil mengajak sejumlah kalangan generasi muda pergerakan tahun 1966 dan kelompok-kelompok cendekiawan independen untuk memperkuat Golkar secara kualitatif. Ketertarikan generasi muda dan kalangan cendekiawan itu, terutama karena pada pasca Soekarno itu Golkar lah satu-satunya alternatif kekuatan politik yang tidak ideologistis dan hanya bersandar pada ideologi Pancasila di antara kerumunan partai ideologis lama. Dan yang paling penting, Golkar mampu menyodorkan konsep yang menjanjikan pembaharuan sosial dan pembaharuan kehidupan politik. Bahwa di kemudian hari sebagian besar janji pembaharuan tak terwujud, itu suatu persoalan yang pada waktunya perlu dikupas tersendiri.

Tiga dimensi dan pergaulan politik klik. TIGABELAS tahun setelah 1971, saat Golkar berusia 20 tahun, ahli politik terkemuka Dr Alfian memberi penilaian bahwa hingga per waktu itu Golkar masih terpaku pada penekanan dimensi preventif dalam kehidupan perpolitikan. Trauma politik di masa lampau membuat langkah-langkah preventif seolah menjadi obsesi Golkar. Tragedi politik pra Orde Baru, menyebabkan Golkar khawatir terhadap segala bentuk ancaman. Golkar cemas kalau-kalau muncul ideologi baru di luar Pancasila. Padahal, selain dimensi preventif, ada dua dimensi lain yang harus juga diberlakukan bersamaan secara proporsional, yaitu dimensi pemeliharaan serta dimensi pembaharuan dan pengembangan. Jangan ada satu dari ketiga dimensi ini yang mendapat penekanan berlebihan (Media Karya, edisi 20 Tahun Golkar, Oktober 1984).

Tetapi sejarah menunjukkan, sengaja atau tidak, sepanjang masa kekuasaan Soeharto yang adalah Ketua Dewan Pembina Golkar, dimensi preventif selalu menjadi warna utama politik Golkar dan Soeharto sendiri. Dalam periode Ketua Umum Sudharmono SH dan Sekjen Sarwono Kusumaatmadja, cukup terlihat ada upaya untuk juga memperhatikan dimensi pemeliharaan serta dimensi pembaharuan tersebut di tubuh Golkar. Antara lain dengan gerak kaderisasi besar-besaran serta penerapan stelsel keanggotaan aktif –dimulai dengan pemberian KAG (Kartu Anggota Golkar) dan NPAG (Nomor Pokok Anggota Golkar). Terhadap kader diberlakukan saringan kualitatif melalui kriteria PDLT –prestasi, dedikasi, loyalitas, tidak tercela– dalam penempatan atau penugasan, misalnya saat akan mengisi posisi anggota legislatif atau posisi fungsionaris partai. Namun fakta empiris memperlihatkan, betapa perhatian terhadap dimensi pemeliharaan dan dimensi pembaharuan tak cukup berlanjut di masa-masa berikut, terutama di masa Harmoko memimpin partai. Harmoko lebih mengejar aspek kuantitatif berupa pencapaian prosentase tinggi kemenangan Golkar dalam pemilu.

Penerapan PDLT, terutama menjelang Pemilu 1987, sering harus berhadapan dengan perilaku nepotisme yang terjadi di tiga jalur Golkar –ABG yang terdiri dari jalur A (Abri), jalur B (Birokrasi) dan jalur G (Golkar) sendiri. ‘Pertarungan’ sengit terjadi dalam tiga tahap penyusunan daftar calon tetap untuk pengisian posisi legislatif, khususnya di tahap akhir. Hingga sejauh yang bisa terlihat saat itu, kriteria PDLT cukup bisa membatasi keberhasilan nepotisme kendati di sana-sini tetap juga terjadi sejumlah kompromi. Akan tetapi pada masa-masa berikutnya, terutama menjelang Pemilu 1997, warna nepotisme menjadi corak yang menonjol. Lahir misalnya plesetan AMPI menjadi Anak-Mantu-Ponakan-Isteri atau yang semacamnya, yang pada intinya menyindir penempatan-penempatan berdasarkan hubungan kekerabatan dan atau klik. Kasat mata, satu keluarga bisa berkumpul di lembaga legislatif. Tetapi soal klik, lebih sulit diukur, walau sangat terasa. Ini menular hingga ke masa-masa berikutnya, bahkan hingga di masa reformasi dan sesudahnya. Maka Golkar ‘baru’ di bawah Akbar Tandjung dan Golkar berikutnya di bawah Muhammad Jusuf Kalla maupun Aburizal Bakrie, suka atau tidak, dengan sendirinya ‘harus’ terbiasa dengan ‘pergaulan politik klik-klikan’.

Melalui ‘pergaulan politik klik-klikan’, terbuka lebar pintu bagi para politisi akrobatik yang sangat pragmatis dan oportunistik dalam konteks perebutan kekuasaan, untuk masuk berperan bahkan hingga ke jantung organisasi. Dalam ‘pergaulan politik klik-klikan’ kepentingan sendiri bertengger jauh di atas kepentingan idealisme untuk partai, apalagi untuk bangsa dan negara. Di sini, partai hanyalah ibarat sebuah kendaraan tumpangan yang sewaktu-waktu bisa ditinggalkan bila menemukan kendaraan lain yang lebih sesuai dan nyaman untuk kebutuhan per suatu saat. Dan atau sebaliknya.

Akal sehat dan ‘Golkar Putih’. Dalam konteks pertengkaran internal –dengan jalinan faktor eksternal– yang melanda Partai Golkar saat ini di dua kubu, harus diakui terdapat peran politisi akrobatis dan oportunis. Peran mereka ternyata tidak kecil. Satu dan lain hal, inilah yang membuat situasinya berbau sangat tidak sedap. Politisi akrobatis dan oportunis ini di satu sisi bisa menjadi sumber keruntuhan partai, namun di sisi lain harus diakui bahwa pada saat yang sama mereka juga mempunyai kemampuan luar biasa dalam berkompromi. Maka, harus menanti sisi mana yang akan bekerja. Kelompok akal sehat yang dulu sering disebut sebagai ‘Golkar Putih’, mungkin lebih pantas diharapkan kehadirannya kembali untuk berperan. Tetapi kalaupun pada akhirnya kompromi tercapai, atau penyelesaian hukum yang baik dan benar tercapai, masa depan Golkar tetap terselaput tanda tanya selama Golkar tak berhasil mengatasi kehadiran dan peran para politisi akrobatis dan oportunis di tubuhnya. (socio-politica.com)

Di Balik Retorika Demokrasi Ada Oligarki

SEBUAH metafora lama yang termasuk paling banyak digunakan dalam pergaulan sosial manusia Indonesia, adalah “ada udang di balik batu.” Bahwa di balik suatu kata bujukan atau perbuatan ada maksud terselubung. Sebuah ungkapan yang besar atau kecil mengandung sikap waspada menghadapi suatu ‘keadaan’ yang terasa terlalu baik (dan muluk) untuk bisa menjadi kenyataan. Maka, ada ungkapan lain bertujuan mengingatkan “yang manis jangan cepat ditelan, yang pahit jangan cepat dimuntahkan.”

Di saat kehidupan politik –dan kekuasaan– Indonesia mengalami rangkaian cuaca buruk yang berlangsung nyaris terus menerus belakangan ini, makna dua metafora itu pasti juga pas untuk masuk dalam konteks. Dalam kaitan kehidupan kepartaian, ada dua peristiwa aktual menyangkut Partai Persatuan Pembangunan (PPP), disusul Partai Golongan Karya (Golkar). Terjadi pergolakan internal menyangkut hegemoni ‘kekuasaan’ di tubuh kedua partai ‘tua’ tersebut. Pergolakan tersebut pada hakekatnya adalah pertengkaran –yang selalu diperhalus dengan terminologi ‘dinamika demokrasi’ dalam partai– yang nyata-nyata semata untuk memperebutkan hegemoni kekuasaan internal partai yang ada hubungannya dengan situasi kepentingan politik eksternal.

ABURIZAL BAKRIE DI 'MEDIA KARYA' GOLKAR 1985, PERSENTUHAN AWAL. "Kecaman terhadap Aburizal Bakrie untuk sebagian besar mungkin saja benar, sehingga ia memang cukup pantas untuk dikecam. Barangkali benar ia kini tampil sebagai pemimpin dengan tangan besi berbalut beludru. Akan tetapi, pada sisi lain mungkin bisa coba dipahami dalam konteks fakta bahwa Golkar sebagaimana partai-partai lainnya pada hakekatnya dijalankan oleh suatu kepemimpinan oligarkis. .... Selama ini, sebagian besar dari para politisi penentang kepemimpinan Aburizal Bakrie di Golkar, juga dikenal sebagai bagian dari kelompok oligarki partai. "
ABURIZAL BAKRIE DI ‘MEDIA KARYA’ GOLKAR 1985, PERSENTUHAN AWAL. “Kecaman terhadap Aburizal Bakrie untuk sebagian besar mungkin saja benar, sehingga ia memang cukup pantas untuk dikecam. Barangkali benar ia kini tampil sebagai pemimpin dengan tangan besi berbalut beludru. Akan tetapi, pada sisi lain mungkin bisa coba dipahami dalam konteks fakta bahwa Golkar sebagaimana partai-partai lainnya pada hakekatnya dijalankan oleh suatu kepemimpinan oligarkis. …. Selama ini, sebagian besar dari para politisi penentang kepemimpinan Aburizal Bakrie di Golkar, juga dikenal sebagai bagian dari kelompok oligarki partai. “

            Pertengkaran internal itu terjadi di antara kelompok-kelompok elite partai saja sebenarnya, yang sama-sama berkecenderungan menegakkan oligarki dalam partainya masing-masing. Bisa dikatakan ini masih mengikuti hukum besi oligarki yang ‘diperkenalkan’ 1911 oleh sosiolog muda Jerman Robert Michels, dalam bukunya ‘Political Parties’. Pengamatan empiris masa itu menunjukkan organisasi selalu melahirkan dominasi sang pemimpin terpilih atas pemilihnya, dominasi sang mandataris atas pemberi mandat, dan dari sang penerima kekuasaan atas para pemberi kekuasaan. Massa pendukung hanya dibutuhkan dalam konteks mengimbangi kekuatan lawan tapi tidak lagi diperlukan suaranya dalam pengambilan keputusan. Itulah oligarki. Seabad lebih telah berlalu, tetapi hukum besi oligarki tersebut ternyata tetap berlaku dalam organisasi-organisasi pada umumnya –termasuk dalam partai-partai politik modern masa kini, kendati mereka selalu menggunakan retorika demokrasi. Di sana-sini mungkin ada pengecualian, tetapi terbatas di negara-negara yang demokrasinya lebih mapan –dan itu pun tak terjamin sepenuhnya bersih dari aroma oligarki dan berbagai derivatnya. Dan, partai-partai politik Indonesia, tidak termasuk dalam deretan pengecualian itu.

            Dengan demikian, sebenarnya tak salah kalau kita meminjam metafora ada udang di balik batu, menjadi semacam kesimpulan bahwa di balik retorika demokrasi ada fakta oligarki di tubuh partai-partai politik Indonesia. Bahwa semua partai-partai politik Indonesia lahir dengan menunjukkan niat baik sebagai alat demokrasi, itu benar. Namun fakta menunjukkan, pengelolaan organisasi lebih lanjut pada akhirnya dilakukan di bawah model kepemimpinan oligarki. Lebih dari itu, nyaris seluruh partai berkecenderungan kuat bergantung kepada ketokohan dan pengaruh pemimpinnya daripada betul-betul bersandar pada konstitusi partai.

            Bilamana para pemimpin terancam dari arah internal partai –biasanya dari sesama kelompok elite partai– sang pemimpin dan elite pendukungnya tak akan segan-segan menabrak norma demokrasi dengan ‘otoritas’ pribadi dan senjata ‘prosedural’ untuk mematahkan lawan. Kenapa seorang pemimpin selalu bersikeras? Kehilangan kekuasaan memerintah partai bagi sang pemimpin sama artinya dengan kehilangan segala sesuatu yang telah membuatnya menjadi manusia penting. Maka kedudukan harus dipertahankan habis-habisan dan jika perlu dengan menggunakan ‘metode’ penindasan.

            Tangan besi berbalut beludru dan pengkhianatan. PEMIMPIN Partai Golkar Aburizal Bakrie kemarin ini banyak dikritik telah bersikap otoriter, tidak demokratis, menggunakan politik uang, menindas dan sebagainya demi melanjutkan hegemoninya di tubuh partai. Tapi toh sejauh ini ia berhasil memecahkan tradisi tak pernah ada Ketua Umum yang terpilih untuk kedua kali. Dulu, memang Amir Murtono pernah seakan menjadi Ketua Umum untuk ke dua kali, tetapi sebenarnya periode pertamanya hanyalah meneruskan jabatan Ketua Umum Sokowati yang meninggal dunia dalam masa kerjanya.

            Kecaman terhadap Aburizal Bakrie untuk sebagian besar mungkin saja benar, sehingga ia memang cukup pantas untuk dikecam. Barangkali benar ia kini tampil sebagai pemimpin dengan tangan besi berbalut beludru. Akan tetapi, pada sisi lain mungkin bisa coba dipahami dalam konteks fakta bahwa Golkar sebagaimana partai-partai lainnya pada hakekatnya dijalankan oleh suatu kepemimpinan oligarkis. Tak selalu sang pemimpin menghendaki demikian, namun situasi dan peluang selalu terlanjur tersedia dari waktu ke waktu. Pun, tak perlu terlalu marah kepada Aburizal saja seorang. Karena, tidak boleh dilupakan, bahwa sebagian dari kelompok-kelompok elite lainnya di tubuh Golkar yang ingin menjatuhkannya pun tidak lebih baik. Sebagian terbesar tak lebih dari sekedar ingin mengambil posisi kepemimpinan karena pragmatisme berlatar belakang hasrat kekuasaan belaka. Bukan karena suatu idealisme demi demokrasi dan demi kepentingan akar rumput Golkar, apapula konon kepentingan rakyat secara keseluruhan. Selama ini, sebagian besar dari para politisi penentang kepemimpinan Aburizal Bakrie di Golkar, juga dikenal sebagai bagian dari kelompok oligarki partai.

            Jika masih mampu menggunakan akal sehat, dan memiliki niat yang betul-betul ingin memperbaiki Golkar dari dalam, tentu tak perlu memelihara sikap bersikeras dengan menyerang terus dari luar, termasuk melontarkan gagasan menyelenggarakan Munas tandingan. Dan tentu tak perlu menggunakan massa untuk melakukan serangan dan kekerasan di markas partai. Kendati Aburizal dan kawan-kawan memang juga pantas dikecam. Dalam konteks akal sehat, sikap salah satu tokoh yang tadinya juga disebut sebagai kandidat Ketua Umum, MS Hidayat, yang memilih tetap memperbaiki dari dalam, mungkin lebih tepat.

Tapi akal sehat pasti sulit ditemukan dalam suasana tumbuhnya klik-klik di tubuh partai. Klik-klik kepentingan berkadar tinggi di tubuh partai, adalah dataran subur bagi pertikaian internal. Padahal, setiap sikap saling menentang hanyalah menguntungkan pesaing dari eksternal atau lawan politik. Dalam model oligarki, setiap serangan terhadap pemimpin akan dibahasakan sebagai pengkhianatan terhadap partai. Dan begitulah hukum besi oligarki.

Keberadaan ‘Ketua Presidium Tim Penyelamat Golkar’, Agung Laksono, yang berkali-kali menyatakan sikap akan mendukung pemerintahan Jokowi-JK, menjadi indikasi terdapatnya juga kepentingan eksternal terhadap hegemoni dalam Golkar. Bukan rahasia bagi khalayak politik Indonesia, bahwa mantan Ketua Umum Golkar, Muhammad Jusuf Kalla, sangat berkepentingan untuk menempatkan orang-orangnya dalam kepemimpinan baru Golkar 2014-2019. Kalau tidak, ia takkan punya ‘kartu politik’ yang kuat untuk ikut berperan dalam pengendalian kekuasaan dan pemerintahan di samping Joko Widodo. Surya Paloh akan lebih punya harga politik. Apalagi, Megawati Soekarnoputeri, pemegang seluruh kartu As.

Dulu, saat berhasil menjadi Wakil Presiden mendampingi Susilo Bambang Yudhoyono untuk periode 2004-2009, Jusuf Kalla mampu mengambilalih kepemimpinan Golkar melalui Munas Golkar 2004 –yang juga berlangsung di Nusa Dua Bali– dari ‘tangan’ Akbar Tandjung. Waktu itu, di tengah kecamuk isu politik uang, perjuangan Jusuf Kalla secara kuat disokong oleh Aburizal Bakrie. Kemenangan Jusuf Kalla kala itu terbantu oleh suasana psikologis masih gamangnya para elite Golkar di pusat maupun di daerah untuk menempuh hidup baru sebagai pelaku politik di luar lingkup kekuasaan (pemerintahan) negara.

Antara sandaran institusional dan sandaran ketokohan. POLA perpecahan di tubuh Partai Persatuan Pembangunan, tak berbeda dengan yang kemudian terjadi di Golkar, juga ikut dipicu oleh kepentingan politik dalam kaitan eksternal. Suryadharma Ali diguncang oleh kelompok elite lainnya di internal partai karena dianggap mengambil keputusan-keputusan sepihak yang tidak demokratis dalam perpihakan politik semasa pemilihan calon presiden dan wakil presiden yang baru lalu. Ketika tokoh pilihan Suryadharma ternyata tidak berhasil memenangkan pilpres, sejumlah elite penentang melakukan coup dengan membentuk dewan pimpinan partai yang baru, yang kini sedang rebut-rebutan pengakuan dan kantor. Terlihat ada tali temali kepentingan politik yang kuat, ketika Menteri Hukum dan HAM dalam kabinet Jokowi tergopoh-gopoh melakukan pembenaran formal terhadap kubu Romahurmuziy dan Pangkapi. Tidak bisa ditutupi bahwa ‘Koalisi Indonesia Hebat’ yang mendukung Jokowi secara pragmatis memang membutuhkan PPP untuk menambal ‘kekurangan’ dalam membentuk mayoritas kerja di DPR sebagai benteng pemerintahan Jokowi-JK di kancah legislatif.

PPP sejauh ini secara formal menjadi partai ‘tertua’ di Indonesia. Hasil fusi partai-partai ‘ideologi’ Islam setelah Pemilihan Umum 1971, sebagaimana Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang merupakan fusi partai-partai berideologi nasional dan ber’ideologi’ agama non Islam. Golkar ditempatkan sebagai kekuatan politik lainnya namun tanpa label partai. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) adalah sempalan yang terbentuk akibat perpecahan di PDI pada tahun-tahun terakhir masa Soeharto. Sementara itu, Golkar berubah menjadi Partai Golongan Karya tahun 1998 di bawah Akbar Tandjung pada masa reformasi pasca Soeharto. Tapi bagaimana pun ketiganya memang tergolong partai ‘tua’.

Di antara partai politik yang ada, bisa dikatakan Partai Golkar lah yang memiliki tradisi institusional dan kolektivitas kepemimpinan yang kuat sehingga tidak seharusnya lebih mengandalkan ketokohan satu atau dua orang saja untuk mempertahankan eksistensinya. Tetapi dalam perjalanan waktu, hasrat akan sistem oligarki dalam kepemimpinan partai berangsur-angsur menguat. Sehingga nyaris tak terlalu berbeda lagi dengan partai-partai politik lainnya yang jelas oligarkis dan mengandalkan ketokohan –seringkali sudah menyerupai mitos– untuk eksistensi partai. PPP pernah sangat mengandalkan ketokohan Hamzah Haz yang sempat menjadi Wakil Presiden RI mendampingi Megawati Soekarnoputeri. PDIP dalam pada itu betul-betul mengandalkan ketokohan Megawati Soekarnoputeri –dan secara tidak langsung bersandar pada ‘mitos’ Soekarno. Maka, sulit terbayangkan bagaimana PDIP kelak tanpa Megawati. Ketiadaan Hamzah Haz, boleh jadi merupakan salah satu sebab rapuhnya kepemimpinan di tubuh PPP pada tahun-tahun belakangan ini.

Partai-partai baru yang ada juga pada dasarnya masih menyandarkan eksistensinya pada ketokohan daripada kepada kekokohan institusi. Terlebih-lebih bila sang tokoh adalah pendiri partai dan kemudian dikonotasikan sebagai pemilik. Bagaimana misalnya nanti PAN tanpa Amien Rais (Hatta Rajasa)? PKB dengan Abdurrahman Wahid yang tidak lagi menjadi presiden sempat berantakan, tapi kini untuk sementara dalam batas tertentu masih bertahan dengan Muhaimin Iskandar. Tapi apa yang akan terjadi selanjutnya, masih merupakan tanda tanya, saat Muhaimin kini tidak lagi punya posisi menteri. Bagaimana nasib Partai Demokrat seterusnya setelah SBY terlepas dari posisi Presiden Indonesia? Bagaimana nanti Gerindra tanpa Prabowo Subianto dan bagaimana pula Partai Hanura sepeninggal Wiranto kelak? Terakhir dan tak kalah pentingnya, bagaimana nasib Partai Nasdem bila nanti ditinggalkan Surya Paloh?

Jawabannya normatifnya tentu: kaderisasi kepemimpinan baru dengan penekanan kepada kekokohan institusional. Tapi apakah itu mungkin bilamana di balik retorika demokrasi di tubuh partai ada fakta oligarki yang selalu berpintu tertutup, dengan pengambilan keputusan tunggal, maksimal seperempat kamar? (socio-politica.com)

Kecurangan, Virus Laten Dalam Demokrasi Indonesia (1)

PEMILIHAN Presiden 2014 kini memasuki fase hukum “perselisihan hasil pemilihan umum presiden dan wakil presiden” di Mahkamah Konstitusi yang terjadwal 6-21 Agustus 2014. Gugatan ini akan menunda langkah Jokowi ke Istana. Bila kubu Prabowo-Hatta memang memiliki data dan bukti kuat tentang kecurangan dalam Pemilihan Presiden, perjalanan Jokowi –yang ditampilkan bergaya tokoh komik Tintin dalam sampul  tabloid terbitan Jokomania untuk menangkal ‘kampanye hitam’ Obor Rakyat– di atas kertas malah berkemungkinan terhenti. Namun saat proses di MK masih berlangsung, tokoh Tintin dari Jawa ini untuk kedua kalinya terbawa oleh optimisme. Ia melangkah membentuk suatu tim transisi pemerintahan. Sebelumnya, Jokowi terdorong optimisme Megawati Soekarnoputeri yang secara dini memproklamirkannya sebagai Presiden baru Indonesia saat proses quick count baru berlangsung satu jam.

Kubu Prabowo-Hatta mengajukan gugatan tentang adanya kecurangan terstruktur, sistimatis dan massive dalam penyelenggaraan Pemilihan Presiden 2014 tersebut. Komisi Pemilihan Umum beberapa waktu yang lalu telah mengumumkan dan mengesahkan ‘real count’ versi KPU yang menempatkan pasangan Jokowi-JK sebagai pemenang dengan keunggulan sekitar 8 juta suara. Tetapi sebaliknya, berdasarkan hasil perhitungannya sendiri, kubu Prabowo-Hatta menyampaikan angka keunggulan 67.139.153 suara mengatasi angka Jokowi-JK yang sebesar 66.643.124 suara. Terlepas dari kontroversi angka yang terjadi, baik kemenangan Jokowi-JK versi KPU maupun kemenangan Prabowo-Hatta versi hitungan sendiri, terlihat bahwa tingkat ‘kemenangan’ itu pada dasarnya tipis saja.

JOKOWI DALAM PENGGAMBARAN ALA TINTIN. "Namun saat proses di MK masih berlangsung, tokoh Tintin dari Jawa ini untuk kedua kalinya terbawa oleh optimisme. Ia melangkah membentuk suatu tim transisi pemerintahan. Sebelumnya, Jokowi terdorong optimisme Megawati Soekarnoputeri yang secara dini memproklamirkannya sebagai Presiden baru Indonesia saat proses quick count baru berlangsung satu jam." (repro tabloid Jokowimania)
JOKOWI DALAM PENGGAMBARAN ALA TINTIN. “Namun saat proses di MK masih berlangsung, tokoh Tintin dari Jawa ini untuk kedua kalinya terbawa oleh optimisme. Ia melangkah membentuk suatu tim transisi pemerintahan. Sebelumnya, Jokowi terdorong optimisme Megawati Soekarnoputeri yang secara dini memproklamirkannya sebagai Presiden baru Indonesia saat proses quick count baru berlangsung satu jam.” (repro tabloid Jokowimania)

Hal ‘berbeda’, terjadi di tahun 2009. Dalam Pemilihan Presiden Indonesia tahun itu, pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Budiono, ‘menang besar’ dalam satu putaran. Perolehan suaranya mencapai 60,80 persen, sehingga membuat pasangan-pasangan lain seperti misalnya Megawati Soekarnoputeri-Prabowo Subianto atau Muhammad Jusuf Kalla-Wiranto, langsung jatuh terduduk. Sebelumnya, dalam Pemilihan Umum legislatif, partai pendukung utama SBY, Partai Demokrat, secara ‘menakjubkan’ meraih 20,80 persen suara yang hampir tiga kali lipat dari perolehan dalam Pemilihan Umum 2004.

Terhadap rangkaian kemenangan yang terasa cukup fantastis tersebut, kala itu sempat terjadi kesangsian yang dinyatakan terbuka bahwa di balik kemenangan terjadi kecurangan-kecurangan, khususnya dalam pemilihan umum Presiden-Wakil Presiden 9 Juli 2009. Dua pasangan lain, Mega-Prabowo dan Jusuf Kalla-Wiranto, mengajukan gugatan melalui Mahkamah Konstitusi, terkait dugaan adanya manipulasi massive menyangkut puluhan juta suara melalui suatu cara yang dilakukan secara terstruktur dan sistimatis. Baik melalui manipulasi DPT, pengalihan dan penghilangan puluhan ribu TPS maupun sosialisasi pencontrengan oleh KPU yang mengarah pada keuntungan pasangan SBY-Budiono. (Baca: https://socio-politica.com/2009/08/19/the-invisible-hand-terstruktur-sistimatis-dan-massive-1).

MK dalam keputusannya 12 Agustus 2009, menyatakan adanya pelanggaran-pelanggaran yang berkategori kecurangan, namun tidak dilakukan secara terstruktur, sistimatis dan massive.” Terlihat adanya kecenderungan untuk lebih membuang tanggung jawab kecurangan kepada perorangan atau oknum, dan sebisa mungkin tidak sebagai kesalahan institusi penyelenggara. Mungkin untuk menangkis kesan terstruktur dan sistimatis. Merupakan catatan tersendiri dalam sejarah politik Indonesia, memang tak pernah ada pemilihan umum dan demikian juga kemudian dengan pemilihan presiden, yang pernah dikoreksi apalagi dibatalkan karena gugatan kecurangan, khususnya yang melibatkan penyelenggara. Betapa pun kuatnya tercium aroma kecurangan. Cerita tentang kecurangan selalu diupayakan dipatahkan atau minimal dikerdilkan sekerdil-kerdilnya. Dinyatakan sebagai bagian sikap tak siap kalah. Dan bersamaan dengan itu tak pernah ada sanksi hukum maupun sanksi politik dijatuhkan. Tetapi bagaimana mungkin bisa menjatuhkan sanksi, bila upaya pencarian kebenaran peristiwa kecurangan itu sendiri memang tak pernah dilakukan, untuk tidak mengatakannya selalu dihambat?

Dalam setiap kasus kecurangan pemilu dari masa ke masa, seakan-akan memang ada tangan-tangan rahasia yang selalu mampu mengelolanya menjadi tidak dipersoalkan lanjut. Entah siapa pengendali the invisible hand itu. Tetapi terlepas dari itu, apakah mungkin leluasa mengungkapkan suatu kecurangan yang terstruktur, sistimatis dan massive –melalui mekanisme hukum yang tersedia terkait pemilu– dalam suatu jangka waktu yang ringkas dalam hitungan hari atau minggu?

            Pada masa pasca Soeharto, kekuatan-kekuatan politik sipil, termasuk mereka yang merasa selalu dirugikan dalam pemilihan-pemilihan umum Orde Baru, senantiasa menyebutkan pemilihan-pemilihan umum masa reformasi, khususnya Pemilihan Umum 1999, sepenuhnya bersih dan paling demokratis sepanjang sejarah Pemilihan Umum Indonesia. Gegap gempita klaim kebersihan pemilu tersebut menenggelamkan cerita di balik berita, bahwa sebenarnya Pemilihan Umum 1999 itu juga penuh rekayasa. Partai-partai kecil yang banyak, karena tak punya saksi-saksi di TPS-TPS pelosok, habis dijarah perolehan suaranya oleh beberapa partai yang lebih besar dan lebih baik pengorganisasiannya. Selain itu, partai-partai kecil yang puluhan jumlahnya itu pun ‘dirampok’ melalui sistem penghitungan alokasi kursi. Upaya mereka melalui protes agar perolehan suara mereka –yang bila diakumulasi, mencapai jumlah puluhan juta suara yang secara kuantitatif setara dengan puluhan kursi DPR– ‘dikembalikan’, tak menemukan jalan penyelesaian, baik melalui KPU maupun Panitia Pemilihan Indonesia (PPI).

Ada pula rumour politik, bahwa dalam Pemilu 1999, sebenarnya suara Golkar sedikit lebih besar dari perolehan PDIP, tetapi kalangan tentara dengan sisa-sisa pengaruhnya, dengan pertimbangan stabilitas keamanan, menyodorkan skenario PDIP sebagai pemenang. Bila Golkar yang dimenangkan akan mencuat tuduhan politis bahwa Pemilu 1999 curang dan direkayasa. Sejumlah jenderal yang mencoba mengambil peran dan haluan baru, memainkan kartu untuk membesarkan PDIP dan atau Megawati Soekarnoputeri.

Klaim bahwa pemilu-pemilu pasca Soeharto bersih, menciptakan sikap obsesif, dan pada akhirnya seakan-akan merupakan semacam ‘aliran kepercayaan’ tersendiri. Semua pengungkapan bahwa kecurangan –terlepas dari berapa besar kadarnya– masih mewarnai pemilihan-pemilihan umum hingga kini, akan selalu ditolak. Itu sebabnya, setiap protes tentang adanya kecurangan selalu menemui jalan buntu penyelesaian. Selain sikap obsesif tadi, juga cukup kuat anggapan, bahwa sebagai peristiwa politik –yang terlanjur dikonotasikan terbiasa bergelimang dengan aneka kelicikan– jamak bila pemilihan umum diwarnai kecurangan. Maka, dianggap, tak perlu terlalu serius mencari kebenaran di situ. Hanya yang ‘kalah’ saja yang mencak-mencak.

Pemilihan umum 2004 sebenarnya juga tak sepi dari laporan kecurangan, namun perhatian lebih banyak tercurah kepada kecurangan keuangan oleh beberapa komisioner KPU. Tetapi terbuktinya keterlibatan sejumlah komisioner KPU dalam manipulasi keuangan dengan menyalahgunakan kedudukannya, tak urung menimbulkan dugaan dalam bentuk pertanyaan: Kalau manipulasi keuangan bisa mereka lakukan, kenapa tidak mungkin mereka melakukan manipulasi yang lebih mendalam, semisal manipulasi politik dengan latar imbalan finansial atau imbalan lainnya?

Aktivis perjuangan mahasiswa 1978 dari Bandung, Indro Tjahjono, Juli 2012 mengungkapkan bahwa KPU (Komisi Pemilihan Umum) telah melakukan kecurangan untuk memenangkan Susilo Bambang Yudhoyono dalam dua Pemilihan Presiden, baik di tahun 2004 maupun tahun 2009, melalui manipulasi sistem Informasi Teknologi (IT) dan rekayasa data secara manual. (Baca: https://socio-politica.com/2012/07/16/kisah-sby-dan-indro-tjahjono-kecurangan-dalam-dua-pemilihan-umum-presiden-2).      

            Pengungkapan itu sepi reaksi, dari media pers maupun dari mereka yang dituduh. Terhadap nasib tudingan Indro Tjahjono, socio-politica.com saat itu memberi catatan: “Apakah sebaiknya kita mengembalikan persoalannya ke tangan Tuhan saja?” serayamenyampaikan “Sampai bertemu pada 2014 dengan peristiwa dan kecurangan yang sama, sesuai kelaziman dari pemilihan umum ke pemilihan umum.”

            DI TAHUN 2014 ini, ternyata publik Indonesia, sekali lagi harus berjumpa dengan tampilan kecurangan yang tak kalah buruk dengan beberapa pemilihan umum legislatif maupun pemilihan umum presiden terdahulu. Bahkan, dalam aspek kecerdikan bermuslihat, praktek atas nama demokrasi kali ini bisa lebih buruk. Terutama karena berperannya kelompok-kelompok pelacur intelektual dalam sejumlah proses pemilihan umum legislatif maupun pemilihan umum presiden. Dan pada waktu yang sama, kekuatan uang berperan penting dalam lika liku proses yang semestinya adalah murni proses demokrasi. Kelompok pelacur intelektual berduet dengan kekuataan uang untuk misalnya menggunakan aneka survei dan jajak pendapat terarah –dan pasti manipulatif karena tendensius– sebagai senjata pembentukan opini. Itu semua terlihat sejak masa-masa pra kampanye, masa kampanye hingga momen-momen sekitar pemungutan suara. Bahkan hingga kini, seperti misalnya jajak pendapat yang dilakukan LSI tentang menurunnya simpati kepada Prabowo-Hatta karena dianggap tidak legowo menerima ‘kekalahan’. Apa gunanya jajak pendapat semacam itu dilakukan dalam situasi pasca pemilu seperti sekarang dalam konteks kepentingan publik? Apa alasan idealnya? Lebih menonjol adalah aspek benefit politiknya, yang mungkin saja bersangkut paut dengan kepentingan finansial pada ujungnya.

Apakah juga para penyelenggara Pemilihan Umum di KPU atau Bawaslu –yang pada umumnya berlatarbelakang pendidikan akademis– telah ikut terbawa dalam kancah permainan kecurangan intelektual di momen pelaksanaan demokrasi di tahun 2004 ini? Ini suatu pertanyaan. (socio-politica.comBerlanjut ke Bagian 2 )

Tatkala Lembaga Survey Menyembunyikan ‘Keunggulan’ Prabowo Terhadap Jokowi

SEBUAH cerita belakang layar yang menarik muncul melalui The Sydney Morning Herald, Australia (25/6), tentang di’sembunyikan’nya hasil survey keunggulan elektabilitas Prabowo Subianto di masa-masa injury time saat ini menjelang pelaksanaan Pemilihan Presiden 9 Juli 2014. “Former military strongman Prabowo Subianto has for the first time pulled level or even slightly ahead of the previous favourite, Joko Widodo, in the Indonesian presidential race, credible polling apparently shows,” demikian dituliskan. “But in a twist, one or more of those polls has been witheld from publication, apparently for fear of dishearting the Joko camp and shifting more votes to Mr Prabowo.” Satu atau lebih dari hasil jajak pendapat tidak dipublikasikan, karena kuatir mengecewakan kubu Jokowi di satu pihak, dan pada pihak lain bisa lebih memacu naik elektabilitas Prabowo Subianto.

SILENCE OF THE POLLS AS PRABOWO PULLS AHEAD IN JAKARTA RACE (by Michael Bachelard) - Jakarta: Former military strongman Prabowo Subianto has for the first time pulled level or even slightly ahead of the previous favourite, Joko Widodo, in the Indonesian presidential race, credible polling apparently shows. But in a twist, one or more of those polls has been witheld from publication, apparently for fear of dishearting the Joko camp and shifting more votes to Mr Prabowo. A number of source contacted by Fairfax Media have confirmed that three credible polling organisations have now measured the gap between the two candidates at either within the margin of error, or with Mr Prabowo in the lead. It’s a remarkable turnaround. Until the campaign began, Mr Joko, the popular Jakarta governor, have a double-digit lead. But Mr Joko has been flat-footed by his opponent’s populist rhetoric, bolstered by a big-spending advertising campaign, blanket media coverage from TV stations owned by Mr Prabowo’s allies, and a successful “black” campaign of racial and religious smears against Mr Joko. In early June the Indonesian Survey Institute said his lead had narrowed to 6.3 per cent –down from over 20 per cent earlier in the year. And on Monday, another (less credible) polling company, the Indonesia Survey Institute, showed Mr Prabowo with 51.2 per cent compared to Mr Joko’s 48.8 per cent. But Lowy Institute research fellow Aaron Connelly wrote on Tuesday that Indonesia’s most credible pollsters –the international group CSIS, Saiful Mujani Research and Consulting, and Indikator– had now judged the race to be neck and neck. “Prabowo Subianto must now be considered the favourite to win the July 9 presidential election, a result that was unthinkable just a month ago,” Mr Connely wrote. Fairfax Media has now confirmed with a number of sources that CSIS finalised a poll on June 15 showing a negligible gap between the two campaigns, but has refused for 10 days to release it. Sources says that reason may be because all three have a foot –either financial or philosophical– in the Joko camp. CSIS executive director Rizal Sukma, a respected international relations expert, briefed Mr Joko for his presidential debate last Sunday. They fear that publishing the information may prompt even more support to flow to Mr Prabowo in a country where analysts belive a strong “back the winner” mentality exists. Neither Mr Rizal nor Burhanuddin Muhtadi, of Indikator responded to calls or texts on the subject, and Saiful Mujani of Saiful Mujani Research and Consulting was in hospital, according to a spokesman. (gambar reuters)
SILENCE OF THE POLLS AS PRABOWO PULLS AHEAD IN JAKARTA RACE (by Michael Bachelard) – Jakarta: Former military strongman Prabowo Subianto has for the first time pulled level or even slightly ahead of the previous favourite, Joko Widodo, in the Indonesian presidential race, credible polling apparently shows.
But in a twist, one or more of those polls has been witheld from publication, apparently for fear of dishearting the Joko camp and shifting more votes to Mr Prabowo.
A number of source contacted by Fairfax Media have confirmed that three credible polling organisations have now measured the gap between the two candidates at either within the margin of error, or with Mr Prabowo in the lead.
It’s a remarkable turnaround. Until the campaign began, Mr Joko, the popular Jakarta governor, have a double-digit lead.
But Mr Joko has been flat-footed by his opponent’s populist rhetoric, bolstered by a big-spending advertising campaign, blanket media coverage from TV stations owned by Mr Prabowo’s allies, and a successful “black” campaign of racial and religious smears against Mr Joko.
In early June the Indonesian Survey Institute said his lead had narrowed to 6.3 per cent –down from over 20 per cent earlier in the year. And on Monday, another (less credible) polling company, the Indonesia Survey Institute, showed Mr Prabowo with 51.2 per cent compared to Mr Joko’s 48.8 per cent.
But Lowy Institute research fellow Aaron Connelly wrote on Tuesday that Indonesia’s most credible pollsters –the international group CSIS, Saiful Mujani Research and Consulting, and Indikator– had now judged the race to be neck and neck.
“Prabowo Subianto must now be considered the favourite to win the July 9 presidential election, a result that was unthinkable just a month ago,” Mr Connely wrote.
Fairfax Media has now confirmed with a number of sources that CSIS finalised a poll on June 15 showing a negligible gap between the two campaigns, but has refused for 10 days to release it.
Sources says that reason may be because all three have a foot –either financial or philosophical– in the Joko camp. CSIS executive director Rizal Sukma, a respected international relations expert, briefed Mr Joko for his presidential debate last Sunday.
They fear that publishing the information may prompt even more support to flow to Mr Prabowo in a country where analysts belive a strong “back the winner” mentality exists.
Neither Mr Rizal nor Burhanuddin Muhtadi, of Indikator responded to calls or texts on the subject, and Saiful Mujani of Saiful Mujani Research and Consulting was in hospital, according to a spokesman. (gambar reuters)

            Michael Bachelard, koresponden Fairfax Media di Jakarta, mengutip Aaron Connelly dari Lowy Institute yang menyebutkan lembaga jajak pendapat terkemuka di Indonesia –CSIS, Saiful Mujani Research and Consulting dan Indikator– menyimpulkan bahwa persaingan antara dua kandidat presiden makin ketat. “Prabowo Subianto must now be considered the favourite to win the July 9 presidential election, a result that was unthinkable just a month ago,” kata Connelly. Prabowo kini diperhitungkan sebagai favorit yang akan memenangi pemilihan presiden 9 Juli mendatang, sesuatu yang sebulan lalu takkan terpikirkan.

            Kenapa lembaga-lembaga jajak pendapat itu masih ‘menyembunyikan’ hasil survey mereka? Michael Bachelard mengutip beberapa sumber, bahwa yang menjadi alasan, mungkin karena tiga lembaga survey tersebut memiliki pijakan kaki di kubu Jokowi, baik karena masalah finansial maupun keterkaitan persamaan pandangan.

            Dalam hal ini, tidak perlu menjadi pendukung Prabowo Subianto lebih dulu, untuk mencela sikap lembaga-lembaga survey yang menyembunyikan hasil survey atau jajak pendapat dari publik. Begitu pun sebaliknya. Manipulasi hasil jajak pendapat atau hasil survey, merupakan kejahatan. Bila dilakukan karena uang, atau interest lainnya, ia berkategori prostitusi intelektual. Tiga lembaga yang disebut namanya oleh Connelly dalam berita The Sydney Morning Herald, tentu perlu memberi penjelasan terbuka kepada publik. Ke depan, perlu menjaga agar lembaga-lembaga survey tetap berjalan di atas jalur dan metode yang seharusnya.

            Kampanye hitam sebagai kambing hitam. Koran Tempo, Jumat 27 Juni, menurunkan laporan “Pemilih Jokowi Lari”. Menurut Fitri Hari dari Lingkaran Survey Indonesia seperti yang dikutip Tempo, “elektabilitas Jokowi-Kalla terus terkejar terutama karena kampanye hitam yang mendera pasangan nomor urut dua tersebut.” Dalam berita yang sama disebutkan, Ketua Tim Pemenangan Prabowo-Hatta, Mahfud MD, membantah kalau Jokowi yang paling dirugikan akibat kampanye hitam. Mahfud mengatakan, Prabowo juga dirugikan oleh kampanye hitam dari kubu lawan. Maka Mahfud meminta polisi bertindak mengusut semua kampanye hitam. “Biar diselesaikan secara hukum.”

            Sebenarnya, tak sepenuhnya tepat bila kampanye hitam terus menerus dikambing-hitamkan sebagai penyebab mandeg atau menurunnya elektabilitas pasangan Jokowi-Jusuf Kalla. Banyak faktor yang bila dianalisis dengan cermat, ikut berbicara sebagai faktor ketersendatan popularitas Jokowi. Dengan berjalannya waktu, publik bisa mulai melihat beberapa kekurangan Joko Widodo dalam konteks standar kualitas presidensi. Selama ini Jokowi mengapung dalam pencitraan  berdasar rekam jejak sentimentil yang disajikan lebih mirip dongeng 1001 malam. Kekurangan-kekurangan Jokowi banyak muncul di arena debat Capres. Berbicara terlalu banyak mengenai masalah-masalah mikro, padahal dari seorang presiden lebih dibutuhkan penguasaan masalah makro dan kemampuan memproyeksi masa depan sebagai seorang pemimpin. Jokowi selalu mengatakan, yang terpenting adalah pengambilan keputusan di lapangan. Ini bisa menimbulkan salah paham, apakah ia tidak menganggap penting perencanaan yang selalu akan merupakan hasil kerja kolektif dalam kepemimpinan. Dan, apakah dengan menekankan pemecahan masalah dengan pengambilan keputusan oleh pemimpin di lapangan, berarti ia akan lebih banyak melakukan solo run menjalankan single decision making?

            Setidaknya, dalam dua debat terakhir –khususnya dalam masalah internasional dan pertahanan keamanan, 22 Juni malam– secara objektif harus diakui Jokowi secara kualitatif tampil kurang mengesankan. Penguasaan masalah yang dimilikinya ternyata tidak memadai. Misalnya, saat harus menjawab masalah penggunaan drone dan satelit, ia tak mampu memberi keyakinan bahwa ia menguasai dengan baik aspek teknologis dari apa yang menjadi gagasannya. Terkesan sekedar ‘snob’. Ia pun agaknya tak begitu mampu membaca masalah Laut Cina Selatan dengan segala potensi konflik antar negara yang mengitarinya, yang bisa mengganggu stabilitas kawasan. Sementara itu, Kepulauan Natuna milik Indonesia yang kaya gas alam persis ada di tepi selatan Laut Cina Selatan.

Ia pun menjadi serba salah tatkala harus menjawab mengenai beban masa lampau tentang penjualan Indosat di masa kepresidenan Megawati Soekarnoputeri. Mungkin ada benarnya apa yang pernah dikatakan Guruh Soekarnoputera bahwa Jokowi baru siap lima tahun mendatang, yakni setelah merampungkan tugas dan pembuktian diri sebagai Gubernur DKI Jakarta. Maka benar juga pandangan Jusuf Kalla, hampir dua tahun lalu, bahwa berbahaya bila pencalonan presiden dilakukan dengan cara coba-coba.

            Bumerang. Tak kalah pentingnya, harus dicatat bahwa kubu Jokowi-Jusuf Kalla, sadar atau tidak sadar ternyata banyak melakukan serangan yang terkesan penganiayaan politik tatkala terlalu banyak mengungkit ‘dosa’ masa lalu atau stigma pelanggar HAM terhadap Prabowo Subianto. Harus mawas diri dan jangan tergelincir meluncurkan bumerang yang sewaktu-waktu bisa memukul balik diri sendiri. Dalam pemilihan presiden yang lalu, ketika Megawati Soekarnoputeri tampil sebagai calon presiden didampingi Prabowo Subianto, Mega dan partainya membela Prabowo tidak terlibat pelanggaran HAM. Kini, mereka mati-matian menggempur Prabowo dengan isu yang sama dari arah yang terbalik.

Kesan penganiayaan politik menguat terutama ketika sejumlah jenderal purnawirawan di kubu Jokowi ramai-ramai menyerang Prabowo dengan senjata Peristiwa 1998. Padahal, para jenderal purnawirawan itu sendiri sama-sama penyandang stigma Peristiwa 1998, dan perlu dipertanyakan juga peran buruknya dalam kancah kekuasaan di masa itu, selain diketahui punya sejarah rivalitas dengan Prabowo Subianto. Jangan-jangan mereka menutupi dosa mereka sendiri dengan menumpahkan dosa 1998 itu ke bahu Prabowo Subianto seorang.

Ini bukan pembelaan untuk Prabowo Subianto. Pada waktunya, bila suatu Komisi Kebenaran pada akhirnya bisa terwujud, dan kebenaran sejati peristiwa sekitar tahun itu terungkap, semua dosa akan menjadi jelas, siapa pun dia sang penyandang dosa. Prabowo Subianto maupun Wiranto dan para jenderal purnawirawan lainnya atau tokoh sipil yang pernah terlibat dosa masa lampau menjadi jelas posisinya dalam kerangka peristiwa. Tangan mencencang, bahu memikul. Tak ada pilih-pilih tebu. (socio-politica.com)

Pemilihan Umum 2014: Too Good To Be Truth

ANGKA perolehan partai-partai dalam Pemilihan Umum Legislatif 9 April lalu, yang berdasarkan hasil quick count secara umum hampir merata, dari sudut tertentu bisa terasa terlalu ‘bagus’ sebagai suatu kenyataan. Hanya dua partai, PBB dan PKPI, yang mendadak jadi peserta pemilu di saat terakhir, terlewati dalam pemerataan itu. Fenomena pemerataan angka ini berkategori too good to be truth. Dari sudut pandang lain, ‘pemerataan’ suara itu pun bisa terasa sangat artifisial sekaligus tidak positif. Dan, kenyataan dua pemuncak –PDIP dan Golkar– memperoleh suara di bawah 20 persen, itu hanya memastikan bahwa mau tak mau tahap negosiasi untuk berkoalisi dalam menghadapi Pemilihan Umum Presiden 9 Juli 2014 telah dimasuki. Tepatnya, gerbang pasar politik dagang sapi telah terbuka, langsung di jantung negara ibukota Jakarta. Perundingan-perundingan politik memang langsung terjadi di hari pertama setelah pelaksanaan pemilihan umum.

KARIKATUR INVESTOR DAILY: SEMUA PARPOL CURANG. "Sepanjang informasi yang ada, hingga sejauh ini, kuat tanda-tanda bahwa besar atau kecil, seluruh partai peserta pemilihan umum 20014 ini, minimal oknumnya, ikut terlibat. Meminjam ucapan Mahfud MD, tak ada partai yang betul-betul bersih."
KARIKATUR INVESTOR DAILY: SEMUA PARPOL CURANG. “Sepanjang informasi yang ada, hingga sejauh ini, kuat tanda-tanda bahwa besar atau kecil, seluruh partai peserta pemilihan umum 20014 ini, minimal oknumnya, ikut terlibat. Meminjam ucapan Mahfud MD, tak ada partai yang betul-betul bersih.”

            Terpukau oleh angka-angka perolehan suara yang relatif merata –dan sekaligus menciptakan begitu banyak variable seni kemungkinan dalam berdagang sapi– sejumlah pengamat maupun khalayak politik sedikit mengabaikan fakta lapangan dalam penyelenggaraan pemilihan umum. Begitu banyak ‘salah kirim’ dan tertukarnya surat suara antar propinsi maupun antar kabupaten. Tak kurang banyaknya penemuan surat suara yang sudah tercoblos untuk keuntungan partai-partai tertentu, yang jumlahnya bisa mencapai ribuan di satu tempat. ‘Serangan fajar’ maupun bentuk praktek politik uang lainnya, ternyata masih luar biasa banyaknya. Pemilih ganda, entah bagaimana, masih juga bisa muncul ‘bekerja’ (Bagaimana caranya menghilangkan tanda celupan tinta di tangan?). Media juga menginformasikan bahwa sebelum pelaksanaan pemilihan umum, ada sejumlah penyelenggara di daerah menawarkan untuk ‘mengatur’ angka perolehan seorang caleg atau partai.

            Dan ada satu hal yang perlu diperhatikan dalam kaitan praktek-praktek kecurangan ini. Sepanjang informasi yang ada, hingga sejauh ini, kuat tanda-tanda bahwa besar atau kecil, seluruh partai peserta pemilihan umum 20014 ini, minimal oknumnya, ikut terlibat. Meminjam ucapan Mahfud MD, tak ada partai yang betul-betul bersih.

            Sejumlah mantan aktivis masa lampau dan menjadi aktivis gerakan kritis hingga kini –seperti Chris Siner Keytimu, Judilherry Justam, Max Wayong, Indro Tjahyono, Machmud Madjid, Yusuf AR dan lain-lain– sampai menyerukan agar Pemilihan Umum ini harus dibatalkan dan diulang. Mereka melihat adanya kecurangan yang sudah struktural. “Sistem politik yang berjalan saat ini adalah pendukung dari demokrasi kriminal, yakni demokrasi yang dilaksanakan tanpa penegakan hukum.” Aktivis yang tergabung dalam Gerakan Nasional untuk Kedaulatan Rakyat dan Keadilan Sosial ini menyebutkan sejak awal sudah banyak dijumpai kecurangan dan tendensi untuk menyelewengkan aturan dalam pelaksanaan Pemilihan Umum 2014.

COBLOS VERSI KPU BANGKA BARAT. "KPU dicurigai ‘memiliki’ oknum di tubuhnya untuk melakukan manipulasi penghitungan suara yang sebenarnya terjadi secara berjenjang mulai dari tingkat TPS. Setiap upaya pengungkapan dan pembuktian senantiasa terbentur, karena dominannya peserta perilaku kotor itu."
COBLOS VERSI KPU BANGKA BARAT. “KPU dicurigai ‘memiliki’ oknum di tubuhnya untuk melakukan manipulasi penghitungan suara yang sebenarnya terjadi secara berjenjang mulai dari tingkat TPS. Setiap upaya pengungkapan dan pembuktian senantiasa terbentur, karena dominannya peserta perilaku kotor itu.”

             PEMILIHAN UMUM 2014 ini mengingatkan kita kepada pemilihan umum pertama pasca Soeharto di tahun 1999. Meski dipuji sebagai pemilu yang bersih, toh belakangan makin terungkap bahwa kala itu 5 sampai 7 partai terlibat secara aktif maupun pasif dalam pengaturan angka perolehan suara sehingga menjadi deretan atas. Ada kelompok kekuatan tertentu sebagai invisible hand yang mengatur skenario. Waktu itu, tuduhan terarah kepada kelompok-kelompok tentara yang meskipun secara formal telah terlucuti ‘kekuasaan’nya di gelanggang polititik, tetapi masih bisa berperan di belakang layar.

            Pola pengaturan ini dilanjutkan dalam pemilihan-pemilihan umum berikutnya, 2004 dan 2009, dengan sedikit pergeseran pelaku. KPU dicurigai ‘memiliki’ oknum di tubuhnya untuk melakukan manipulasi penghitungan suara yang sebenarnya terjadi secara berjenjang mulai dari tingkat TPS. Setiap upaya pengungkapan dan pembuktian senantiasa terbentur, karena dominannya peserta perilaku kotor itu.

Menjadi tanda tanya, apakah praktek kotor yang ternyata sudah terlihat indikasinya terulang lagi sebagai suatu pola menetap dalam Pemilihan Umum 2014 ini, juga akan kembali terbentur dan terkubur?

Tanpa ada penelusuran dan penegakan hukum yang serius terhadap kriminalitas politik ini, demokrasi Indonesia ke depan akan berjalan penuh kesangsian. Baik terhadap mereka yang disebut sebagai wakil rakyat maupun mereka yang kemudian akan menjadi pimpinan nasional baru melalui Pemilihan Presiden 9 Juli 2014.

Apalagi, sejumlah muka lama yang sudah diketahui reputasi buruknya di DPR selama ini –entah karena ucapan-ucapannya yang tidak karuan, entah karena disebut-sebut namanya dalam berbagai skandal keuangan– tetap dipertahankan oleh partainya masing-masing dalam Pemilihan Umum 2014.

Begitu pula, terhadap mereka yang disebut-sebut sebagai calon Presiden-Wakil Presiden, banyak yang masih perlu dipertanyakan dan diperjelas rekam jejaknya di masa lampau maupun jejak barunya di masa kini. Sebutkan saja, Prabowo Subianto, Wiranto dan Abrurizal Bakrie. Atau, entah Pramono Edhie Wibowo, Endriartono Sutarto dan Djoko Suyanto atau siapa. Dan, andaikan pun pimpinan negara yang baru nanti adalah betul murni sesuai kehendak rakyat, cukup bersih, didukung dan dicintai –katakan misalnya Jokowi atau Mahfud MD– ia tetap berkemungkinan bermutasi menjadi monster oleh imbas ‘perimbangan’ politik yang tidak sehat di lembaga legislatif. Kita telah mengalaminya berkali-kali.

Siapa pendamping presiden sebagai wakil presiden –sebut Muhammad Jusuf Kalla, Suryadharma Ali, Muhaimin Iskandar, Hatta Rajasa, Sri Mulyani– juga menentukan arah masa depan, baik atau buruk. Seorang wakil presiden sewaktu-waktu bisa menjadi presiden, karena suatu kecelakaan politik di tengah perjalanan waktu. Kita mengalaminya dua kali, dengan BJ Habibie dan Megawati Soekarnoputeri. Seorang wakil presiden juga bisa menjadi faktor negatif, bila ia terlibat masalah, entah dengan, entah tidak dengan sepengetahuan dan keterlibatan presiden. Bayangan peristiwa seperti itu sedang dialami Dr Susilo Bambang Yudhoyono dan Dr Budiono. KPK sedang menangani kasus tersebut.      

            KHUSUS mengenai pola rekayasa dalam pemilihan-pemilihan umum Indonesia dari masa ke masa, yang tampaknya sudah terstruktur secara permanen, diperlukan kesungguhan tersendiri untuk mengungkapnya. Terutama mengenai siapa kelompok-kelompok pelakunya, yang kelihatannya juga terpelihara dan terestafetkan pengorganisasiannya dari waktu ke waktu. Di sini terlibat invisible hand dengan kepentingan pengendalian kekuasaan politik dan ekonomi. Tapi tak perlu menjadi paranoid, namun cukup memiliki kesadaran dan akal sehat. Jangan terlalu percaya dan menaruh harapan kepada aparat dan institusi resmi untuk membongkarnya. Perlu inisiatif dari masyarakat, meskipun kita tahu sebagian tubuh masyarakat kita saat ini juga sedang menderita kesakitan secara sosiologis. (socio-politica.com)

Kisah Para ‘Brutus’ di Sekitar Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono (1)

KENDATI memiliki banyak perbedaan kualitatif kepemimpinan, dalam sejarah perjalanan politik dan kekuasaan, Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono memiliki sejumlah persamaan dengan Jenderal Soeharto. Kedua tokoh tersebut, sama-sama bermasalah dalam jalannya kekuasaan dengan Presiden pendahulu mereka. Dan ketika berada di tampuk kekuasaan, mereka memiliki pengalaman mirip, harus menghadapi para ‘Brutus’ di sekitar dirinya dalam kekuasaan mereka. Belati para ‘Brutus’ berhasil menancap di tubuh Jenderal Soeharto, sementara para ‘Brutus’ di sekitar Susilo Bambang Yudhoyono pun telah mulai mengayunkan belati-belati mereka. Ini sedang menjadi cerita aktual masa kini. Mungkin saja akan memberi luka dan perdarahan, dalam masa-masa akhir kekuasaannya maupun pasca kepresidenannya nanti.

SBY DALAM COVER FEER. "Sejauh ini, merupakan kenyataan empiris, hanya sedikit tokoh pilihan SBY yang berhasil menjadi seorang menteri yang cemerlang. Justru wakilnya, Jusuf Kalla, dengan segala ‘kelincahan’nya yang sempat menonjol sebagai bintang ‘pendamping’ –tepatnya, mungkin alternatif– selama 2004-2009."
SBY DALAM COVER FEER. “Sejauh ini, merupakan kenyataan empiris, hanya sedikit tokoh pilihan SBY yang berhasil menjadi seorang menteri yang cemerlang. Justru wakilnya, Jusuf Kalla, dengan segala ‘kelincahan’nya yang sempat menonjol sebagai bintang ‘pendamping’ –tepatnya, mungkin alternatif– selama 2004-2009.”

Jenderal Soeharto ‘bermasalah’ dengan Presiden Soekarno sejak 30 September menuju 1 Oktober 1965 yang berakhir dengan semi suksesi melalui Sidang Istimewa 7-11 Maret 1966 lalu suksesi sepenuhnya pada Sidang Umum IV MPRS Maret 1967. Melalui Sidang Umum IV itu, Jenderal Soeharto diangkat sebagai Pd Presiden, setelah mandat Soekarno dicabut sepenuhnya oleh MPRS.

Abdurrahman Wahid dan Megawati. Sedang Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono, berturut-turut bermasalah dengan dua presiden yang pernah menjadi atasannya, Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputeri. Tanggal 1 Juni 2001 ia didesak mundur oleh Presiden Abdurrahman Wahid, dari jabatan Menko Politik-Sosial-Keamanan, karena perbedaan penafsiran tentang keadaan darurat terkait konflik politik Presiden dengan DPR per saat itu. Menko Polsoskam itu menolak mengambil langkah-langkah khusus penertiban dan keamanan serta penegakan hukum dalam rangka Maklumat Presiden 28 Mei 2001. Dalam situasi konflik kala itu Dekrit Presiden –yang antara lain bertujuan membubarkan DPR– tak berhasil dilaksanakan karena tak adanya dukungan penuh dari institusi-institusi yang memiliki ‘kekuatan pemaksa’ seperti kepolisian dan para pimpinan militer. Jenderal Polisi Suroyo Bimantoro menolak menyerahkan posisi pimpinan Polri kepada Komisaris Jenderal Chaerudin Ismail yang ditunjuk Presiden Abdurrahman Wahid sebagai Kapolri baru.

Dekrit Abdurrahman Wahid 2001 berbeda ‘nasib sejarah’ dengan Dekrit 5 Juli 1959 Soekarno yang selain didukung sejumlah partai politik besar, juga terutama ‘didukung’ Angkatan Bersenjata di bawah pimpinan Jenderal AH Nasution.

Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono juga kemudian bermasalah dengan Presiden Megawati –pengganti Abdurrahman Wahid– yang telah mengangkatnya sebagai Menko Politik dan Keamanan 10 Agustus 2001. Pada tahun ketiga dalam jabatan tersebut, ia merasa tak dipercaya lagi oleh Presiden Megawati Soekarnoputeri. Sekitar waktu yang sama, suami Megawati, Taufiq Kiemas berkali-kali melontarkan ucapan yang menunjukkan ketidaksenangan terhadap dirinya. Lebih dari satu kali ia tak lagi diundang ikut dalam rapat kabinet. Akhirnya, 11 Maret 2004 ia mengundurkan diri. Tetapi sebelum ‘meninggalkan’ Mega, sebenarnya Susilo Bambang Yudhoyono telah lebih dulu mempersiapkan ‘jalan baru’ dalam politik dan kekuasaan bagi dirinya. Lahirnya Partai Demokrat, merupakan bagian dari ‘jalan baru’ itu.

Semula, menurut cerita belakang layar yang banyak menjadi bahan perbincangan kalangan politik kala itu, pernah ada upaya menampilkan Megawati Soekarnoputeri berpasangan dengan Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Presiden-Wakil Presiden dalam Pemilihan Presiden secara langsung di tahun 2004. Tetapi Taufiq Kiemas –berdasarkan beberapa informasi yang diterimanya– meyakini Susilo Bambang Yudhoyono diam-diam memiliki rencana sendiri menuju kursi nomor satu, dan tidak ingin sekedar menjadi orang nomor dua. Kecaman-kecaman Taufiq Kiemas yang mengalir setelah itu ke alamat Susilo Bambang Yudhoyono ditambah koinsidensi sikap ‘keras’ dan ‘dingin’ yang ditunjukkan Megawati, menimbulkan kesan penganiayaan politik terhadap figur sang jenderal. Citra teraniaya –seperti yang pernah dialami Megawati puteri sulung Soekarno dari rezim Soeharto dan terbukti menuai simpati dan dukungan publik– ternyata juga berhasil mengangkat simpati kepada Susilo Bambang Yudhoyono.

TAHUN 2004, Susilo Bambang Yudhoyono yang dikenal dengan akronim SBY, berhasil memenangkan Pemilihan Presiden berpasangan dengan Muhammad Jusuf Kalla, mengalahkan Megawati Soekarnoputeri. Padahal, dalam pemilihan umum legislatif sebelumnya di tahun yang sama, partai pendukung utama SBY, Partai Demokrat, bukan peraih suara terbanyak. Sementara Muhammad Jusuf Kalla kala itu belum menjadi Ketua Umum Golkar dan Partai Golkar sendiri oleh Akbar Tandjung –Ketua Umum saat itu– diarahkan pada pilihan mendukung Megawati Soekarnoputeri. Untuk pilihan itu, Akbar harus berpisah jalan dengan beberapa rekannya yang juga menjadi tokoh teras DPP Golkar yang sama-sama mengelola ‘Golkar Baru’ pasca Soeharto, seperti Fahmi Idris dan Marzuki Darusman.

Setelah meraih kursi Wakil Presiden, Muhammad Jusuf Kalla, berhasil mengambil alih kepemimpinan Golkar melalui Musyawarah Nasional di Nusa Dua Bali, 19 Desember 2004. Meski Jusuf Kalla –seperti dikatakan Sudharmono SH– pernah berpaling ke PPP, kaum pragmatis di Golkar yang gamang bila tak terkait dengan tokoh yang punya jabatan tinggi dalam kekuasaan pemerintahan, tetap memilihnya sebagai Ketua Umum untuk periode 2004-2009. Hampir semua tokoh yang pernah dipentalkan Akbar dari DPP sebelumnya, seperti Fahmi Idris, Burhanuddin Napitupulu dan beberapa lainnya terakomodasi dalam Golkar di bawah Jusuf Kalla. Hanya Marzuki Darusman yang tak ikut.

Walau Marzuki sempat berbenturan dan beda paham dengan Akbar, sebaliknya ia tak sepenuh hati terhadap penokohan Jusuf Kalla di Golkar. Selama Munas di Nusa Dua itu, Marzuki yang juga berada di Bali sempat berkomunikasi dengan Akbar. Marzuki kala itu bahkan tampaknya masih ikut mengusahakan supaya Akbar Tandjung berlanjut sebagai Ketua Umum Partai Golkar, dan bukan yang lain-lain –Wiranto, atau Jusuf Kalla. Munas Golkar di Nusa Dua, Desember 2004 –yang penuh aroma politik uang, tawar menawar dilakukan via sms, dan merupakan salah satu di antara perilaku politik yang terburuk dan vulgar di antara event serupa di tubuh Golkar– menghasilkan resultante DPP Golkar di bawah Ketua Umum Muhammad Jusuf Kalla.

MELALUI beberapa orang, agaknya Marzuki Darusman sempat mengalami jalinan komunikasi dengan SBY yang baru memenangkan kursi nomor 1 Republik Indonesia. Ini ada historinya. Bersama Fahmi dan lain-lain, dalam Pilpres 2004, Marzuki Darusman menolak pilihan politik Akbar Tandjung untuk membawa Golkar mendukung Megawati Soekarnoputeri. Dalam pemilihan umum legislatif sebelumnya baru saja Golkar menggariskan kepada para kadernya untuk menempatkan PDIP sebagai saingan utama, tetapi hanya beberapa bulan setelahnya disuruh berbalik mendukung Mega dan PDIP. Sesuatu yang agaknya menurut Marzuki secara moral tak benar, walau bisa saja memenuhi kepentingan pragmatis dalam kehidupan politik yang opportunistik. Marzuki cenderung agar Golkar berjalan bersama Susilo Bambang Yudhoyono.

Saat SBY sebagai presiden baru mulai menghubungi para tokoh untuk diajak ikut dalam kabinetnya, dikabarkan Marzuki Darusman termasuk yang ditemui awal. Kuat dugaan kala itu bahwa SBY akan mengajak Marzuki bergabung, seperti halnya Fahmi Idris kemudian. Dalam kenyataan, Fahmi Idris ikut dalam kabinet pertama SBY, dan Marzuki tidak. Mungkin ini merupakan sesuatu yang menarik untuk diceritakan suatu waktu, dikaitkan dengan selera SBY terhadap tokoh-tokoh yang diajaknya masuk kabinet. Sejauh ini, merupakan kenyataan empiris, hanya sedikit tokoh pilihan SBY yang berhasil menjadi seorang menteri yang cemerlang. Justru wakilnya, Jusuf Kalla, dengan segala ‘kelincahan’nya yang sempat menonjol sebagai bintang ‘pendamping’ –tepatnya, mungkin alternatif– selama 2004-2009. Tapi dalam pemilihan presiden berikutnya mereka tak melanjutkan duet, malahan bersaing.

Demi mayoritas kerja. Sebagai pemenang Pemilihan Presiden, Pemerintahan SBY yang tak punya mayoritas kerja di DPR membutuhkan koalisi, karena partai pendukungnya, Partai Demokrat, meskipun dianggap partai pendatang baru yang cukup cemerlang, kenyataannya hanya memiliki 56 dari 550 kursi DPR hasil Pemilu 2004. Partai Demokrat berada di urutan ke-4 di bawah Partai Golkar (127 kursi), PDIP (109 kursi) dan PPP (58 kursi). Hanya unggul sedikit dari PAN (53 kursi), PKB (52 kursi) dan PKS (45 kursi). Itulah sebabnya, demi mayoritas kerja dan keamanan jalannya pemerintahannya, dalam penyusunan kabinet, Susilo Bambang Yudhoyono harus melakukan kompromi, membagi kursi kabinet kepada sejumlah partai. Dalam keadaan seperti itu, ia berada di ruang pilihan sempit, tak bisa menjadikan aspek kualitatif sebagai faktor dalam menentukan komposisi kabinetnya. Hak prerogatifnya terpaksa ‘dibagikan’ kepada partai-partai koalisi.

Dengan demikian, sejak awal memang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, tak bisa sepenuhnya mengharap loyalitas utuh, karena para menterinya untuk sebagian besar punya kesetiaan yang siap sewaktu-waktu mendua. Dan situasi itu berlanjut ke dalam masa kepresidenannya yang kedua, karena tak mampu keluar dari pola kompromi. Meski mengalami kenaikan perolehan suara dalam Pemilihan Umum 2009, tetap saja Partai Demokrat tak bisa mencapai angka mayoritas kerja. Raihan suara mayoritas dalam Pemilihan Umum memang cenderung menjadi suatu kemustahilan dalam sistem banyak partai. Dalam sistem banyak partai, the art of negotiation dalam pengertian yang dinamis, konstruktif dan beretika merupakan kebutuhan melekat. Tapi malang, pengalaman empiris menunjukkan betapa kebanyakan politisi Indonesia terbukti lebih pandai bersekongkol daripada berkompromi secara wajar dan terhormat.

Apakah situasi kesetiaan mendua dalam kabinet SBY, sewaktu-waktu bisa melahirkan perilaku mirip Brutus, merupakan pertanyaan tersendiri. Sejauh ini yang pernah terjadi, ada menteri dan mantan menteri yang menyatakan kekecewaan kepada sang Presiden. Dalam posisi dan kompetensi sebagai ahli tata negara, Yusril Ihza Mahendra (tokoh PBB), pernah mempersoalkan kekeliruan administratif Presiden terkait keberlanjutan jabatan Jaksa Agung Hendarman Supandji tahun 2009 bersamaan dengan pembentukan kabinet baru. Belum merupakan perilaku Brutus yang sesungguhnya. Namun, sedikit di luar perkiraan, para Brutus justru kemudian lahir di tubuh partai pendukung utama Susilo Bambang Yudhoyono, Partai Demokrat.

(socio-politica.com) – Berlanjut ke Bagian 2 

Republik Laskar

Oleh Zen RS | Newsroom Blog, 25 Jul 2013

 PADA masa revolusi, milisi atau paramiliter sering mengatasnamakan revolusi. Pada masa Orde Baru, nama Pancasila dan NKRI “Harga Mati” yang digunakan. Pada masa reformasi, banyak yang membawa-bawa nama Islam.

Apa persamaannya? Milisi atau paramiliter di tiga masa itu sama-sama (walau tak selalu) didirikan atau dibentuk militer, dipersenjatai atau mempersenjatai diri, dan akhirnya cenderung kebal hukum.

Legitimasi “moral” yang mereka miliki, atas nama revolusi atau Pancasila atau Islam, membuat mereka memiliki kewibawaan yang meneror.

Tentu saja ada banyak kategori milisi. Ada yang memang dibentuk sebagai pasukan cadangan resmi tentara yang biasanya direkrut lewat wajib militer. Tetapi yang ingin saya bicarakan kali ini kebanyakan adalah milisi yang “tidak resmi” atau bukan dibentuk oleh negara. Kendati, seperti yang akan saya tunjukkan, “resmi” atau “tidak resmi” sering kali jadi perkara sumir di Indonesia.

PEMUDA PANCASILA, THE ACT OF KILLING. "Pemuda Pancasila juga melakukannya. Seperti yang bisa kita saksikan lewat film luar biasa “The Act of Killing”, mereka dengan buas memburu dan membantai orang yang diduga PKI di Medan." (gambar, download Tempo)
PEMUDA PANCASILA, THE ACT OF KILLING. “Pemuda Pancasila juga melakukannya. Seperti yang bisa kita saksikan lewat film luar biasa “The Act of Killing”, mereka dengan buas memburu dan membantai orang yang diduga PKI di Medan.” (gambar, download Tempo)

Di Indonesia, istilah “laskar” sebenarnya lebih populer ketimbang sebutan “milisi”. Istilah “laskar” itu juga lebih lentur untuk mengakomodasi tendensi-tendensi militeristik yang tidak terang-terangan menenteng senjata api.

Istilah “laskar” ini sudah populer sejak masa revolusi. Saat itu, hampir di setiap kota terdapat laskar yang dibentuk secara organis, biasanya oleh para pemimpin lokal yang berpengaruh. Di Bandung ada Barisan Tangan Merah, Barisan Merah Putih, dan lain-lain. Di sekitar Jakarta ada Laskar Hitam, Laskar Ubel-ubel, dan lain-lain. Hal yang sama terjadi di kota-kota lain, terutama kota-kota besar yang jadi kancah utama revolusi.

Ada juga laskar-laskar yang dibentuk dengan skala yang lebih serius, terutama oleh organisasi-organisasi politik utama saat itu. Partai Sosialis yang dibentuk Amir Sjarifuddin, misalnya, punya organisasi pemuda bernama Pesindo yang sangat kuat, berdisiplin dan juga bersenjata lengkap (terutama karena Amir dua kali menjabat sebagai Menteri Pertahanan).
Tidak semua laskar ini punya disiplin dalam mematuhi perintah pemerintah RI. Sangat banyak dan sangat biasa laskar-laskar itu bergerak semaunya, saling bertempur satu sama lain. Dan atas nama revolusi, banyak sekali rakyat Indonesia sendiri yang menjadi korban keganasan mereka.
Hampir semua literatur yang membahas fase revolusi (1945-1949) tak pernah absen menyebut keberadaan laskar-laskar milisi ini.

Tak hanya buku hasil sejarah, karya-karya sastra terbaik Indonesia juga banyak mengabadikan hal ini. Sebut saja: “Burung-burung Manyar” Romo Mangun, “Senja di Jakarta” Mochtar Lubis atau “Percikan Revolusi + Subuh” Pramoedya Ananta Toer.

PADA masa kepemimpinan Soekarno di era Demokrasi Terpimpin, milisi-milisi ini banyak dibentuk oleh partai-partai politik saat itu –melanjutkan yang memang sudah terjadi pada masa revolusi. Beberapa di antaranya bahkan memang sudah berdiri sejak masa revolusi. Milisi di era Soekarno semakin menguat setelah Indonesia mengkampanyekan konfrontasi melawan Malaysia. Banyak sekali pemuda yang direkrut atau bahkan sukarela mendaftarkan diri untuk dilatih dan dikirim ke perbatasan Malaysia di Kalimantan.

Menjelang peristiwa berdarah 30 September 1965, Partai Komunis Indonesia bahkan gigih berupaya menggolkan Angkatan ke-5 di mana buruh dan tani akan dipersenjatai. Puncak dari fase ini dimulai dengan terbunuhnya para jenderal di Lubang Buaya. Kebetulan di sekitar itu ada lokasi pelatihan militer Angkatan ke-5 yang terutama menggunakan fasilitas dan pelatihan dari Angkatan Udara yang saat itu memang dekat dengan PKI.

Setelah itu, dimulailah pembantaian ratusan ribu bahkan jutaan orang yang diduga PKI (“diduga”, karena memang tidak melalui proses peradilan). Militer Indonesia tentu saja menjadi bagian terpenting pembantaian ini –atau penumpasan dalam istilah resmi Orde Baru. Tapi selain militer, milisi adalah ujung tombak pembantaian orang-orang yang diduga PKI ini.

Di Jawa Tengah dan Jawa Timur, misalnya, Banser dan GP Anshor menjadi salah satu pelaku pembantaian, tentu saja dengan restu dan sokongan dari para kyai. Di Bali, milisi-milisi yang dilatih dan disokong tentara, terutama dari sayap Partai Nasional Indonesia, juga melakukan hal yang sama. Seperti halnya di Jawa Timur, mereka melakukannya dengan sokongan spiritual dari pemimpin Hindu di sana. Sedihnya, banyak dari mereka kemudian balik dibantai oleh tentara yang ingin menghilangkan jejak keterlibatan.

Pemuda Pancasila juga melakukannya. Seperti yang bisa kita saksikan lewat film luar biasa “The Act of Killing”, mereka dengan buas memburu dan membantai orang yang diduga PKI di Medan.

Di tempat lain, hal serupa terjadi. Dengan sokongan dan kepastian kebal hukum yang diberikan tentara, milisi-milisi ini dengan buas memburu dan membantai siapa saja yang diduga PKI. Bukan sekali-dua terjadi salah eksekusi. Atau, bahkan, itu sebenarnya bukan salah eksekusi, tapi memang disengaja dengan membawa-bawa urusan pribadi ke “urusan nasional” ini.

Dalih yang dipakai adalah menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Pancasila, juga dalih bahwa melawan musuh negara berarti juga musuh agama. Nasionalisme dan agama, pada fase ini, benar-benar menjadi kombinasi mematikan yang tidak alang kepalang buasnya.
Pada masa Orde Baru, milisi-milisi ini banyak yang kemudian “bersalin rupa” menjadi lebih lembut, tidak terang-terangan lagi mengeksekusi dan membantai. Yang mereka lakukan selanjutnya, guna menghidupi diri sendiri, adalah memeras sampai menjadi beking usaha-usaha ilegal.

Lagi-lagi anda hanya perlu menonton film “The Act of Killing” untuk melihat bagaimana Pemuda Pancasila dengan terang-terangan memalak toko-toko orang Cina di Medan.

TAPI Orde Baru juga melakukan hal serupa seperti yang terjadi di era Soekarno. Negara membentuk milisi di wilayah-wilayah konflik seperti Irian Jaya, Timor Timur dan juga Aceh. Nama-nama sangar seperti Eurico Guterres sampai Hercules adalah alumni generasi ini. Hercules, misalnya, “dibawa” oleh Prabowo Subianto (yang kini hendak jadi presiden) ke Jakarta dan sejak itulah namanya mencuat dalam dunia gangster ibu kota.

Memasuki era reformasi, kebiasaan buruk negara dan tentara dalam membentuk milisi, baik resmi maupun tidak, terus berlanjut.

Pam Swakarsa, misalnya, muncul di era kepemimpinan Habibie dan saat Wiranto (yang juga hendak jadi presiden) menjabat sebagai menteri pertahanan. Front Pembela Islam (FPI) lahir dari perkembangan terbaru saat itu ketika Pam Swakarsa dibentuk untuk melawan kekuatan kritis yang menolak kepemimpinan Habibie.

FPI bukan satu-satunya. Muncul juga Gerakan Pemuda Ka’bah yang di Jogja banyak melakukan razia seperti halnya FPI. Ada juga Laskar Jihad yang dikirim ke tengah konflik di Ambon. Belum lagi kemunculan organisasi paramiliter bentukan partai-partai politik. Atau bahkan organisasi-organisasi yang berdasarkan afiliasi kedaerahan.

FPI adalah anak kandung tradisi panjang negara yang doyan membentuk, memelihara atau membiarkan lahirnya milisi, paramiliter, laskar-laskar dan organisasi-organisasi yang doyan meneror. Sebab, apa pun dalihnya, demi revolusi atau demi Pancasila atau demi Islam, semuanya dicirikan oleh hal yang sama: kekerasan.

DAN di hadapan tradisi panjang seperti itu, apa yang bisa kita harapkan dari seorang presiden yang rajin mengetwit?

(socio-politica.com/ Sumber: Newsroom Blog)

Orang-orang Jakarta di Balik Tragedi Maluku (3)

George J. Aditjondro*

SEPERTI yang telah disinggung di depan, Abdul Gafur yang mantan Menteri Pemuda dan Olahraga di bawah Soeharto itu ikut terlibat dalam pembentukan pasukan PAM Swakarsa tersebut, khususnya kelompok preman Maluku Muslim yang diketuai oleh Ongen Sangaji. Di kalangan orang Maluku di Jakarta, ia dikenal sangat tekun berusaha memecah-belah masyarakat Maluku berdasarkan garis agama. Pada 15 Mei 1995, ketika komunitas Ambon di Jakarta memperingati pemberontakan Pattimura melawan Belanda pada tahun 1817, Gafur memboikot perayaan orang Maluku di Gedung Joang di lingkungan Menteng di mana dua pemuka agama –Kristen dan Muslim– memanjatkan doa mereka. Ia sebaliknya mengorganisir perayaan eksklusif bagi orang Maluku Muslim di Taman Mini Indonesia Indah dengan mengorganisir lari membawa obor. Pada kesempatan lain, Gafur mengatakan bahwa Pattimura beragama Islam, bertentangan dengan pandangan umum bahwa pahlawan nasional itu, yang sesungguhnya bernama Thomas Matulessy, beragama Kristen.

KONFLIK AMBON NAN BERKEPANJANGAN SEJAK 1999. "Kastor juga menuduh orang-orang Kristen memanipulasi gerakan reformasi yang dipimpin mahasiswa untuk menghancurkan perekonomian Indonesia, dan dengan demikian mempromosikan disintegrasi Republik dengan memisahkan provinsi-provinsi yang didominasi Kristen di Indonesia bagian Timur –termasuk Timor Lorosa’'e– yang kemudian dapat membentuk negara baru yang didominasi Kristen dengan sumber-sumber daya alami yang fantastik, karena negara itu akan meliputi Papua Barat dan provinsi Maluku yang sekarang." (foto download)
KONFLIK AMBON NAN BERKEPANJANGAN SEJAK 1999. “Kastor juga menuduh orang-orang Kristen memanipulasi gerakan reformasi yang dipimpin mahasiswa untuk menghancurkan perekonomian Indonesia, dan dengan demikian mempromosikan disintegrasi Republik dengan memisahkan provinsi-provinsi yang didominasi Kristen di Indonesia bagian Timur –termasuk Timor Lorosa’e– yang kemudian dapat membentuk negara baru yang didominasi Kristen dengan sumber-sumber daya alami yang fantastik, karena negara itu akan meliputi Papua Barat dan provinsi Maluku yang sekarang.” (foto download)

Setelah kerusuhan meletus di Ambon, dan propinsi Maluku dipecah dua menjadi Maluku Utara dan Maluku, Gafur yang beradarah campiran Ternate dan Acheh itu segera berkampanye untuk menjadi kandidat Gubernur Maluku Utara, memanfaatkan koneksi-koneksi Golkarnya. Ketua DPP Golkar yang juga ketua DPR-RI, Akbar Tanjung, mendukung pencalonan Gafur oleh Golkar, yang menguasai kursi terbanyak di DPRD Maluku Utara (Gamma, 17-23 Jan. 2001, hal. 39; Mandiri, 28 Febr. 2001), namun sejumlah cendekiawan asal Maluku Utara menentang pencalonan orang yang selama ini sangat bersikap menjilat pantat Soeharto dan keluarganya.

Tidak lama setelah kerusuhan meletus di kota Ambon, mulai beredar kabar-kabar burung bahwa kerusuhan itu didalangi oleh orang-orang Maluku Nasrani, yang ingin menghidupkan kembali ‘Republik Maluku Selatan’ (RMS) yang pernah dicetuskan di Ambon pada tanggal 25 April 1950, dan meneruskan perjuangan mereka lewat gerilya bersenjata di Pulau Seram hingga tahun 1964. Tuduhan itu, di mana cap ‘RMS’ selanjutnya dipelesetkan menjadi ‘Republik Maluku Serani’, yang akan dibahas tersendiri di bagian ini, sejak dini ikut disebarluaskan oleh Letjen (pur) A.M. Hendropriyono, mantan Menteri Transmigrasi dalam pemerintahan Habibie. Dalam sebuah pertemuan publik pada tanggal 19 Maret 1999 dengan gubernur Maluku, para pemimpin agama dan informal lain, serta para mahasiswa dan pemuda di Ambon, Hendropriyono melontarkan tuduhan itu. Seorang jendral purnawirawan lain, Feisal Tanjung, yang pernah menjadi Pangab dalam kabinet Soeharto, segera menggarisbawahi tuduhan Hendropriyono itu.

Hendropriyono, memang punya kepentingan praktis untuk menyebarluaskan tuduhan itu. Soalnya, setelah Soeharto dipaksa turun dari takhta kepresidenannya, peranan Hendropriyono dalam tragedi Lampung yang menewaskan sekitar 250 jiwa – termasuk perempuan dan anak-anak — pada tanggal 7 Februari 1989, mulai dibongkar oleh berbagai kelompok hak asasi manusia di Indonesia. Kolonel Hendropriyono waktu itu adalah Komandan Korem 043 Garuda Hitam Lampung yang memimpin operasi gabungan tentara, polisi, dan Angkatan Udara, ke sebuah perkampungan para migran dari Jawa, yang dicap sebagai Islam fundamentalis (Awwas 2000).Cap itu, oleh berbagai pengamat, telah dianggap terlalu berlebihan. Sebab konflik antara pemerintah dan perkampungan Islam itu, lebih berakar pada permasalahan pembebasan tanah, yang lebih jauh lagi berakar pada sejarah pembukaan daerah Lampung oleh Belanda untuk kepentingan para transmigran dari Jawa (Wertheim 1989).

Dengan mengalihkan perhatian ke Maluku, dengan cara-cara yang seolah-olah merangkul kepentingan umat Islam, Hendropriyono untuk sementara waktu berhasil mengurangi sorotan para korban tragedi Lampung.

Suaidy Marasabessy, seorang veteran dari perang Timor yang kemudian menjadi Pangdam Hasanuddin di Sulawesi Selatan, yang menyetujui pengiriman pasukan Kostrad dari Makassar ke Ambon, kendati mereka secara emosional berpihak untuk menentang Ambon Kristen dan membela para migran Bugis dan Makasar di Ambon, karena didorong oleh solidaritas etnik. Sebagai konsekuensinya Marasabessy dipindahkan ke Markas Besar Angkatan Darat dan dipromosikan menjadi Kasum TNI oleh Presiden Abdurahman Wahid.

Baik promosi Marasabessy maupun Djadja Suparman didasarkan pada rekomendasi dari Wiranto, waktu itu masih menjadi Menko Polkam. Wiranto kemudian mengangkat Marasabessy untuk mengepalai Team 19 yang terutama terdiri dari para perwira Maluku untuk mengadakan investigasi latar belakang dari kekerasan di Maluku dan menyarankan cara-cara penyelesaian persoalan itu.

Selama kedua fase konflik itu, Sudi Silalahi menjadi Pangdam Brawijaya di Jawa Timur, dan telah bertanggungjawab atas pengiriman pasukan Brawijaya – berdampingan dengan pasukan Kostrad – yang ikut meningkatkan kekerasan antaragama di Maluku. Dalam kapasitasnya sebagai Pangdam Brawijaya, ia juga membiarkan ribuan anggota Lasykar Jihad untuk berlayar dari Surabaya ke Ambon, meskipun Presiden Wahid menghimbau kepada seluruh jajaran TNI dan Polri untuk menghalanginya.

Harap diingat bahwa di awal bulan-bulan kekerasan, seluruh Kepulauan Maluku masih berada di bawah Kodam Trikora yang bermarkas di Jayapura, Papua Barat. Berarti sebenarnya Wiranto dapat mengirim pasukan Trikora dari Papua Barat ke Ambon, ketimbang mengirim pasukan dari Jawa dan Sulawesi Selatan, yang kebanyakan beragama Islam, untuk menghadapi kerusuhan di Maluku.

Baru pada tanggal 15 Mei 1999, setelah puluhan batalion tentara tersebar di Kepulauan Maluku, status Korem Pattimura ditingkatkan menjadi Kodam. Di Maluku sendiri, dua orang kolonel yang waktu itu berkedudukan di Ambon ikut mengipas-ngipas api kebencian antara orang Kristen dan Islam. Asisten Teritorial Pattimura, Kol. Budiatmo, memupuk hubungan dengan para Preman Kristen, khususnya Agus Wattimena, untuk mempertahankan kemarahan mereka terhadap para tetangga mereka yang Muslim, sementara Asisten Intelijen Kodam Pattimura, Kol. Nano Sutarno, menjaga agar api tetap menyala di kalangan perusuh Muslim.

Dua orang kolonel itu, yang sudah ditempatkan di Ambon ketika Suaidy Marasabessy menjadi Komandan Korem Pattimura, juga memiliki teman-teman di kalangan atas di Jakarta. Saudara laki-laki Nano Sutarno, Brigjen Marinir Nono Sampurno, adalah komandan pengawal keamanan Wakil Presiden Megawati. Ini membuat Megawati secara praktis “tertawan” oleh agenda militer, meskipun ia justru adalah orang yang ditugaskan Presiden Wahid untuk menyelesaikan masalah Maluku. Selain kedua orang kolonel itu, yang di akhir tahun 2000 telah dipindahkan dari Maluku, beberapa orang purnawirawan dan perwira aktif dan masih tinggal di Ambon juga memainkan peran dalam mengipas-ngipas api permusuhan antaragama. Mereka adalah Brigjen (Purn) Rustam Kastor dan Letkol (Pur) Rusdi Hasanussy.

Lahir di Ambon pada tanggal 9 Juli 1939, Rustam Kastor adalah mantan Komandan Korem Pattimura, mantan Kepala Staf Kodam Trikora (Papua Barat), dan telah ditempatkan di Markas Besar di Jakarta. Barangkali dialah yang paling tepat dijuluki sebagai ‘bapak ideologis’ dari kekerasan Maluku. Ia memberikan pembenaran ‘pseudo-ilmiah’ untuk mengundang Lasykar Jihad ke Maluku, konon untuk menyelamatkan orang Muslim dari pembinasaan yang dilakukan oleh orang-orang Maluku Kristen, dengan menuduh orang-orang Kristen mencoba menghidupkan kembali pemberontakan ‘RMS’ tahun 1950 s/d 1964. Tidak hanya Gereja Protestan Maluku, tetapi juga PDI-P Megawati Sukarnoputri cabang Maluku dituduh terlibat dalam pemberontakan itu, yang bertujuan untuk menciptakan negara Maluku yang berasas Kristen, di mana tidak ada tempat bagi orang Maluku yang beragama Islam, menurut buku Rustam Kastor (2000) yang menjadi best-seller di kalangan pendukung Lasykar Jihad di Jawa.

Sesungguhnya, teori konspirasi ini pertama kali dikemukakan pada 28 Januari 1999 dalam konperensi pers yang diorganisir oleh dua organisasi militan Muslim, KISDI (Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam) dan PPMI (Persatuan Pekerja Muslim Indonesia). Teori konspirasi ini segera disebarluaskan oleh Letjen (pur) A.M. Hendropriyono, seperti yang telah dijelaskan di depan. Seorang jendral purnawirawan yang lain, Feisal Tanjung, bekas Pangab dalam kabinet Soeharto dan terakhir menjabat sebagai Menko Polkam dalam kabinet Habibie, ikut menggarisbawahi tuduhan Hendropriyono.

Teori ini kemudian menyebar seperti api yang membakar ranting-ranting kering setelah disiarkan oleh sebagian media massa di Indonesia, di mana singkatan RMS diplesetkan menjadi ‘Republik Maluku Serani’. Plesetan itu mendistorsi kenyataan seolah-olah semua orang Ambon Kristen mengambil bagian dalam mendirikan gerakan kemerdekaan ini, dan seolah-olah orang Ambon Islam semuanya menolak pemberontakan itu.

Disertasi Richard Chauvel tentang pemberontakan itu (1990) menunjukkan ketidakbenaran pelesetan ‘Republik Maluku Serani’, dan bahwa RMS bukan bertujuan membentuk negara Kristen. Chauvel jelas-jelas membeberkan bagaimana salah seorang pemimpin RMS yang diperiksa oleh TNI setelah pemberontakan di Ambon berhasil ditumpas adalah Ibrahim Ohorella. Raja (kepala desa) Tulehu itu malah menjadi tuan rumah rapat-rapat persiapan proklamasi RMS, mengerahkan sebagian besar warga desanya untuk menghadiri proklamasi RMS di alun-alun kota Ambon yang dihadiri sekitar 9000 orang, dan memasok kebutuhan sagu senilai Rp 25 ribu (waktu itu) untuk makanan para serdadu Angkatan Perang RMS sebelum Tulehu diduduki oleh TNI. Sebaliknya, masyarakat Kristen di Ambon serta orang Ambon Kristen di luar Ambon juga tidak sepenuhnya mendukung proklamasi RMS. Sinode Gereja Protestan Maluku (GPM) sendiri, bersikap netral terhadap proklamasi itu.

Seorang tokoh Ambon di Jakarta yang kemudian menjadi Wakil Perdana Menteri, Dr. J. Leimena, dipercayai oleh Soekarno untuk berunding dengan pencetus RMS untuk mengakhiri gerakan mereka. Setelah hampir setahun disebarkan oleh berbagai media di Indonesia, teori ini diabadikan oleh Rustam Kastor ke dalam bentuk buku (2000), yang telah menjadi paling laku, tidak hanya di lingkungan Muslim tertentu di Maluku, Jawa dan Sulawesi. Selain dari bahasa provokatifnya tentang orang Kristen, buku itu menuding aksi demonstrasi mahasiswa Ambon secara besar-besaran pada bulan November 1998, sebagai tahap ‘pematangan situasi’ bagi pemberontakan RMS yang didukung oleh GPM dan PDI-Perjuangan cabang Maluku.

Menurut Kastor, demonstrasi itu merupakan upaya yang sadar untuk memperlemah militer, sehingga mereka tidak akan dapat menghancurkan ‘pemberontakan RMS’ selanjutnya yang bertujuan untuk membersihkan Maluku dari penduduk Muslimnya. Kastor juga menuduh orang-orang Kristen memanipulasi gerakan reformasi yang dipimpin mahasiswa untuk menghancurkan perekonomian Indonesia, dan dengan demikian mempromosikan disintegrasi Republik dengan memisahkan provinsi-provinsi yang didominasi Kristen di Indonesia bagian Timur –termasuk Timor Lorosa’e– yang kemudian dapat membentuk negara baru yang didominasi Kristen dengan sumber-sumber daya alami yang fantastik, karena negara itu akan meliputi Papua Barat dan provinsi Maluku yang sekarang.

Apa yang diabaikan Kastor dalam bukunya adalah kenyataan bahwa gerakan kemerdekaan Timor Lorosa’e dan Papua Barat ikut dipimpin oleh tokoh-tokoh Muslim setempat, seperti Mar’i Alkatiri yang kini menjadi Menteri Ekonomi dan sumberdaya Alam dalam pemerintahan transisi di Timor Lorosa’e, serta Thaha Mohamad Alhamid, Sekjen Presidium Dewan Papua yang kini sedang ditahan oleh pemerintah Indonesia di Papua Barat. Alkatiri dan Alhamid tentu saja tidak berjuang untuk menciptakan suatu aliansi negara Kristen di Timur Indonesia. Di samping itu, kehendak untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia bukanlah merupakan monopoli Kristen sebagaimana ditunjukkan oleh rakyat Aceh. Selain menulis buku untuk membenarkan perang antaragama di Maluku, Kastor terlibat aktif mempersiapkan kedatangan Lasykar Jihad di Maluku, dan memupuk fanatisme mereka melalui khotbah-khotbah yang membakar.

(socio-politica.com) – Berlanjut ke Bagian 4

Susilo Bambang Yudhoyono Beyond Soeharto (2)

PADA masa-masa awal kekuasaannya, baik Jenderal Soeharto maupun Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono harus ‘rela’ berbagi dengan orang ataupun kelompok-kelompok yang memiliki andil dalam mengantar mereka ke puncak kekuasaan. Pun harus ‘rela’ berbagi dan berkompromi dengan unsur-unsur lain yang menjadi faktor dalam penyusunan kekuasaan negara.

Setelah kejatuhan Soekarno, Jenderal Soeharto harus melakukan sharing dalam kekuasaan pengendalian negara, dengan tokoh-tokoh lain yang ikut berjasa menumbangkan Soekarno, seperti Jenderal AH Nasution serta sejumlah tokoh kuat lainnya di tubuh Angkatan Darat. Harus pula memperhitungkan panglima-panglima angkatan lainnya, yakni Angkatan Laut, Angkatan Udara dan Angkatan Kepolisian. Dalam batas tertentu melakukan sharing dengan kelompok mahasiswa dan kalangan cendekiawan perguruan tinggi yang menjadi salah satu ujung tombak dan pelopor dalam gerakan menurunkan Soekarno. Sebagaimana ia juga harus membagi konsesi dengan partai-partai politik dari struktur politik Nasakom minus PKI. Bahkan, pada akhirnya berkompromi dengan unsur-unsur PNI yang untuk sebagian masih merupakan para Soekarnois sejati pendukung utama Soekarno di masa peralihan kekuasaan 1965-1967.

SBY MELAYAT SOEHARTO. "Dari enam Presiden Indonesia, paling tepat untuk diperbandingkan untuk mencari tipe kepemimpinan mana yang lebih dibutuhkan Indonesia, adalah Soeharto dan Susilo Bambang Yudhoyono. Jenderal Soeharto adalah tipe pemimpin yang terlalu dominan dalam pengelolaan negara, sehingga lembaga-lembaga legislatif pun dibuatnya tak mampu bernafas di bawah tekanan dominasinya. Sebaliknya, Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono, terlalu lemah untuk diharapkan bisa mengelola Indonesia dengan baik. Kedua tipe tersebut, bukan kebutuhan kita. Harus ada suatu tipe sintesis yang tepat di antaranya." (download sfgate)
SBY MELAYAT SOEHARTO. “Dari enam Presiden Indonesia, paling tepat untuk diperbandingkan untuk mencari tipe kepemimpinan mana yang lebih dibutuhkan Indonesia, adalah Soeharto dan Susilo Bambang Yudhoyono. Jenderal Soeharto adalah tipe pemimpin yang terlalu dominan dalam pengelolaan negara, sehingga lembaga-lembaga legislatif pun dibuatnya tak mampu bernafas di bawah tekanan dominasinya. Sebaliknya, Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono, terlalu lemah untuk diharapkan bisa mengelola Indonesia dengan baik. Kedua tipe tersebut, bukan kebutuhan kita. Harus ada suatu tipe sintesis yang tepat di antaranya.” (download sfgate)

Tetapi seiring dengan berjalannya waktu, Jenderal Soeharto berhasil menyingkirkan satu persatu tokoh-tokoh alternatif bagi kekuasaannya dan pada waktu yang sama berhasil ‘menundukkan’ berbagai institusi dan kekuatan sosial-politik –termasuk ABRI secara keseluruhan– melalui pengelolaan kelemahan manusiawi para pemimpin institusi tersebut.

Susilo Bambang Yudhoyono maju ke Pemilihan Presiden 2004 dengan dukungan partai yang hanya menduduki peringkat ke-5 dalam Pemilu Legislatif 2004 yakni Partai Demokrat dengan raihan suara 7,45 persen. Di atas Partai Demokrat ada 4 partai peraih suara terbanyak, berturut-turut Partai Golkar (21,58 persen), PDIP (18,53 persen), PKB (10,57 persen) dan PPP (8,15 persen). Tetapi Susilo Bambang Yudhoyono yang didukung partai dengan suara medium hampir minim itu diuntungkan oleh berhasilnya penggambaran dirinya sebagai korban penganiayaan politik oleh kekuasaan. Peristiwanya sendiri adalah bahwa beberapa kali Presiden Megawati tak mengajak lagi Susilo Bambang Yudhoyono mengikuti rapat kabinet berdasarkan ketidaksenangan pribadi dan ketidaksenangan sang suami, Taufiq Kiemas. Ketidaksenangan itu ditunjukkan setelah diketahui SBY ‘mempersiapkan’ diri sebagai calon Presiden. SBY dianggap ‘main belakang’ padahal tadinya siap berpasangan dengan Mega sebagai Wakil Presiden.

Dan, tak kalah pentingnya, kemenangan SBY tertolong oleh masalah internal Golkar yang terjadi  ketika Jenderal Wiranto –yang punya ganjalan sejarah masa lampau– muncul sebagai calon presiden setelah memenangkan konvensi Golkar. Dengan Wiranto sebagai calon presiden, Golkar tak berhasil menggerakkan mesin partai secara penuh sehingga gagal sejak putaran pertama. Wiranto menuding Golkar bekerja setengah hati mendukungnya. Berikutnya, pada putaran kedua, dua tokoh utama Golkar Fahmi Idris dan Marzuki Darusman berbeda pendapat dengan Akbar Tandjung yang ingin mengalihkan dukungan Golkar ke pasangan Megawati-Hasyim Muzadi. Bahkan ada perjanjian koalisi pra putaran kedua itu. Padahal pada putaran pertama, Akbar Tandjung diketahui menganjurkan gerakan Asal Bukan Mega (ABM). Menurut perhitungan analitis, tak kurang dari 76 persen pendukung Golkar memilih Susilo Bambang Yudhoyono yang berpasangan dengan Muhammad Jusuf Kalla. Khusus di Sulawesi Selatan, daerah kelahiran Jusuf Kalla, SBY memperoleh kemenangan terbesar yakni 92 persen.

            Faktor lain yang mendorong kemenangan SBY adalah keberhasilan kompromi belakang layar dengan beberapa partai politik Islam untuk memberi dukungan dengan janji dan konsesi dalam kekuasaan mendatang.

            Adalah karena basis dukungan utamanya melalui Partai Demokrat begitu kecilnya, yakni 7,45 persen (menghasilkan 57 kursi DPR) sementara pada pemilihan presiden putaran kedua memperoleh 60,62 persen, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mencari kompensasi untuk rasa aman dengan melakukan koalisi bersama pemilik kursi lainnya di DPR. Dengan sendirinya ia harus berbagi kursi kabinet pemerintahannya dengan partai-partai anggota koalisi. Sesuatu yang berlanjut untuk periode kedua kepresidenannya, karena kendati Partai Demokrat memperoleh kenaikan perolehan suara, tetap saja tak sanggup menciptakan mayoritas kerja di DPR seperti halnya Presiden Soeharto dengan Golkar dan ABRI di masa lampau.

            Dalam mencari sekutu kekuasaan, Susilo Bambang Yudhoyono lebih mengedepankan perhitungan taktis dan kuantitas kekuatan massa yang dimiliki para sekutu, daripada pertimbangan persamaan pemikiran strategis. Tak mengherankan, perlahan namun pasti SBY berangsur-angsur ditinggalkan atau sebaliknya menanggalkan kawan-kawan strategis, termasuk di tubuh partainya sendiri. Sebaliknya, koalisinya makin kuat diwarnai pragmatisme kekuasaan demi kekuasaan, yang pada waktunya tercerminkan secara nyata oleh maraknya perilaku korupsi di tubuh kekuasaan. Seakan-akan semua yang berniat melakukan korupsi sejak awal, terkumpul di seluruh lingkaran kekuasaannya.

Dengan koalisi, tak mungkin SBY menerapkan sistem pemerintahan presidensial walau konstitusi menyebutkan demikian dan ia sendiri sangat menghendaki porsi pengambilan keputusan sebanyak-banyaknya di tangannya. Partai-partai politik berhasil menciptakan dominasi praktik sistem parlementer –yang untuk sebagian dijalankan oleh partai-partai sekutunya sendiri– yang sehari-hari serba menempatkan sang Presiden di sudut-sudut kekuasaan dalam konteks pengambilan keputusan. Apalagi sang Presiden sendiri memang memiliki sejumlah kelemahan dalam watak kepemimpinannya. Bersamaan dengan itu, ia pun tak punya keberanian menegakkan sistem pemerintahan presidensial kendati berturut-turut dalam dua kali pemilihan presiden menjadi peraih suara mayoritas di atas 60 persen. Ditambah otonomi daerah yang diterapkan terburu-buru pasca Soeharto, lengkaplah sudah fakta ‘kemalangan’ kekuasaan sang Presiden. Tak mungkin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengendalikan kekuasaan secara penuh seperti halnya Jenderal Soeharto.

MENCATAT akumulasi keluhan dari masa ke masa, tersimpulkan bahwa kisah bangsa Indonesia dengan 6 presidennya sepanjang 68 tahun ini, seringkali bagai tragi komedi. Kita pernah punya Soekarno yang mampu mendongkrak rasa bangga kita di panggung sandiwara dunia, namun setidaknya dalam lima tahun terakhir kekuasaannya lebih banyak membiarkan perut sebagian terbesar rakyatnya keroncongan. Kita pernah punya Jenderal Soeharto yang berhasil membuat sebagian terbesar dari kita berkecukupan dengan beras, tetapi tak mampu membagi dengan baik keadilan sosial-ekonomi dan politik. Kita punya BJ Habibie yang mencoba memberi kita demokrasi dan jalan pikiran imitasi barat namun tak mampu tercerna karena rakyatnya belum berhasil disembuhkan dari trauma akumulatif masa Soekarno dan Soeharto. Lalu punya Abdurrahman Wahid yang banyak gagasan baru dan inkonvensional, namun tak punya kesehatan fisik yang menunjang dan waktu yang cukup untuk mewujudkannya, serta terlalu mempan bisikan. Punya Megawati, yang sedikit bicara sekaligus sedikit berbuat. Dan akhirnya, punya Susilo Bambang Yudhoyono, yang lebih lamban dari bayangan(citra)nya sendiri.

Dari enam Presiden Indonesia, paling tepat untuk diperbandingkan untuk mencari tipe kepemimpinan mana yang lebih dibutuhkan Indonesia, adalah Soeharto dan Susilo Bambang Yudhoyono. Jenderal Soeharto adalah tipe pemimpin yang terlalu dominan dalam pengelolaan negara, sehingga lembaga-lembaga legislatif pun dibuatnya tak mampu bernafas di bawah tekanan dominasinya. Sebaliknya, Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono, terlalu lemah untuk diharapkan bisa mengelola Indonesia dengan baik. Kedua tipe tersebut, bukan kebutuhan kita. Harus ada suatu tipe sintesis yang tepat di antaranya. Mampu dan kuat menjalankan tugas-tugas eksekutifnya, mampu mengendalikan aparat-aparat negara di bawahnya agar optimal. Berada dalam hubungan fungsional yang wajar dengan lembaga-lembaga legislatif maupun judikatif sesuai esensi fungsi dan tugas masing-masing.

ENAM Presiden Indonesia, sama-sama tak berhasil menyembuhkan faktor-faktor disintegrasi dalam tubuh bangsa yang bhinneka ini. Faktor disintegrasi itu berkecambah dan tumbuh dari nilai-nilai yang diwariskan feodalisme dan kolonialisme yang berlangsung ratusan tahun, yang tetap menjadi masalah aktual hingga kini. Soekarno mencoba meredamnya dengan kemahiran retorika dan Soeharto meredamnya dengan represi militer. Tapi kedua-duanya hanya berhasil membuatnya tersembunyi di bawah permukaan, karena kedua-duanya tak berhasil mencerdaskan bangsa melalui pendidikan. Tiga Presiden Indonesia lainnya –BJ Habibie, Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputeri– berkuasa dalam masa yang terlalu ringkas untuk bisa menghasilkan sesuatu. Lagi pula, waktu mereka habis terkuras dalam pertengkaran politik demi kekuasaan pasca Soeharto. Susilo Bambang Yudhoyono, lebih punya peluang waktu, namun terhenti pada sebatas ucapan-ucapan bagus –sebagai ciri khas kepemimpinannya yang lemah tapi mengutamakan pencitraan.

Kasus-kasus Aceh, Papua, Poso dan Ambon, adalah bisul-bisul yang timbul tenggelam di bagian belakang tubuh bangsa ini. Belum tersembuhkan akar-akar penyakitnya untuk jangka panjang melalui keberhasilan pencerdasan bangsa. Tak juga ada keberhasilan menyembuhkan luka dan nanahnya, melalui penegakan hukum dan konsep pertahanan-keamanan yang baik dan benar. Terutama karena, penegakan hukum itu sendiri sedang bermasalah dan sakit, sementara konsep cemerlang takkan mungkin lahir dari manusia-manusia yang pragmatis semata dan bermasalah dengan dirinya sendiri lahir-batin.

KENAPA kemarin ini banyak kelompok yang masih punya integritas, mengeritik dan menganggap belum saatnya Susilo Bambang Yudhoyono menerima World Statesman Award, tak lain karena faktanya ia memang belum berhasil berbuat sesuatu yang berharga dan luar biasa dalam menghadapi perilaku intoleran dalam kehidupan beragama. Dan, apalagi, dalam konteks penegakan HAM secara keseluruhan. Hanya kelompok akrobatik –yang ada udang interest di balik batu politik– yang bersikap sebaliknya.

Tetapi acara penganugerahan sebagai negarawan dunia tersebut telah terjadi. Ada yang memberi, dan ada yang menerima award itu dengan senang hati. Entah ini kecelakaan atau bukan, waktu jugalah yang akan membuktikan. Untuk sementara, anggaplah ini tiruan dari sistem pra bayar yang kini menjadi kelaziman para provider jasa. Anugerahnya lebih dulu, pembuktiannya belakangan. Rakyat Indonesia dengan demikian patut menunggu pembuktian dari janji-janji ’baru’ yang diucapkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidatonya saat menerima award tersebut di Amerika sana. (socio-politica.com)

Kisah Dari Arsip Berdebu: Tritura dan Angkatan 66

BETUL yang pernah ditulis Parakitri T. Simbolon –penulis dengan visi kebudayaan yang mendalam– di tahun 2006: “Apa yang pernah disebut Angkatan 66 praktis sudah dilupakan orang”. Meskipun, “Angkatan 66 pernah membahana di persada Tanah Air Indonesia”. Pejuang kemerdekaan Indonesia, Bung Tomo, April 1966 dengan rendah hati mengakui bahwa Angkatan 66 lebih hebat daripada Angkatan 45.

Berbeda dengan Angkatan 45 yang berjuang dengan bedil, Angkatan 66 berjuang tidak dengan senapan, tapi dengan “keberanian, kecerdasan, kesadaran politik, motif yang murni”. Dengan semua itu Angkatan 66 “memberi arah baru pada sejarah nasional Indonesia”. Penamaan Angkatan 66 itu sendiri, diusulkan oleh Jenderal Abdul Harris Nasution kepada KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) yang baru saja dibubarkan oleh KOGAM (Komandan Ganyang Malaysia) 26 Februari 1966. Kendati sejarah tentang peranan Angkatan 66, telah menjadi bagian dari arsip yang berdebu sejalan berlalunya waktu, tetap saja harus dicatat bahwa generasi  muda yang bergerak waktu itu adalah kelompok paling konseptual selain tokoh-tokoh kemerdekaan tahun 1945 sepanjang sejarah republik ini.

SOEKARNO DAN JENDERAL SOEHARTO. "Mahasiswa menjadi kekuatan utama yang menuntut Presiden Soekarno di-Mahmilub-kan dan diberhentikan dari kekuasaannya. Ketika Jenderal Soeharto ‘menampilkan’ sikap ‘mikul dhuwur mendhem jero’ terhadap Soekarno, mahasiswa mengecamnya. Setelah Soekarno diturunkan Maret 1967, pada masa-masa berikutnya banyak tokoh 1966 terlibat dalam gerakan konseptual untuk pembaharuan kehidupan politik dan kehidupan bernegara". (Karikatur Harjadi S, 1967)
SOEKARNO DAN JENDERAL SOEHARTO. “Mahasiswa menjadi kekuatan utama yang menuntut Presiden Soekarno di-Mahmilub-kan dan diberhentikan dari kekuasaannya. Ketika Jenderal Soeharto ‘menampilkan’ sikap ‘mikul dhuwur mendhem jero’ terhadap Soekarno, mahasiswa mengecamnya. Setelah Soekarno diturunkan Maret 1967, pada masa-masa berikutnya banyak tokoh 1966 terlibat dalam gerakan konseptual untuk pembaharuan kehidupan politik dan kehidupan bernegara”. (Karikatur Harjadi S, 1967)

Generasi pergerakan berikutnya, memang juga berhasil menggebrak, khususnya sebagai ujung tombak di tahun 1998, sehingga terjadi perubahan kekuasaan, namun dengan cepat mereka dikandangkan oleh kekuatan politik yang ada. Salah satu penyebabnya, karena ketiadaan konsep tentang arah perubahan negara berikutnya. Sepenuhnya kendali politik dan benefit dari kejatuhan Soeharto akhirnya dinikmati oleh partai-partai politik –campuran dari partai masa Orde Baru yang memodifikasi diri, dan partai-partai baru dengan semangat dan corak ala kepartaian masa konstituante. Dan di tangan penikmat benefit kekuasaan pasca tumbangnya Soeharto –partai-partai politik maupun kelompok-kelompok tentara sisa Orde Baru– seperti yang bisa disaksikan sebagai fakta saat ini, Indonesia makin tergiring ke tepi jurang kegagalan negara.

Januari 1966, mahasiswa sebagai generasi muda, menurut sejarawan Anhar Gonggong, kembali tercatat dalam sejarah modern Indonesia, sebagaimana juga yang telah terjadi pada mahasiswa pendahulu-pendahulunya pada pergerakan nasional 1908-1945. Mahasiswa dalam kurun waktu itu disebut sebagai Angkatan 08 dan 28, yang dikaitkan dengan tahun 1908 dan 1928. Pada tahun 1966 disebutkan sebagai Angkatan 66. “Sebutan Angkatan 66 itu memiliki –setidaknya sampai tahun 1970-an– makna yang membanggakan, kalau tidak dapat disebut memiliki kekuatan kharismatis, karena dianggap ‘kumpulan hero’ yang meruntuhkan pemerintahan yang otoriter”.

Di awal-awal gerakannya, aktivis 1966 mengutamakan gerakan kritis terhadap kekuasaan Soekarno. Mahasiswa menjadi kekuatan utama yang menuntut Presiden Soekarno di-Mahmilub-kan dan diberhentikan dari kekuasaannya. Ketika Jenderal Soeharto ‘menampilkan’ sikap ‘mikul dhuwur mendhem jero’ terhadap Soekarno, mahasiswa mengecamnya. Setelah Soekarno diturunkan Maret 1967, pada masa-masa berikutnya banyak tokoh 1966 terlibat dalam gerakan konseptual untuk pembaharuan kehidupan politik dan kehidupan bernegara. Pada tahun 1968-1969 misalnya, tokoh-tokoh 1966 dari Bandung bahkan terlibat dengan pencetusan gagasan perombakan struktur politik. Mereka menganggap, rezim baru di bawah Soeharto belum menuntaskan pembaharuan politik, karena sekedar mempertahankan struktur politik lama minus PKI. Sementara itu, sejumlah tokoh ex gerakan 1966 yang umumnya dari Jakarta, memilih bekerja bersama Soeharto dalam kekuasaan negara, dan ikut dalam perencanaan sejumlah konsep pembangunan, antara lain dalam setiap penyusunan GBHN (Garis-garis Besar Haluan Negara). Memang setelah lahirnya Super Semar (Surat Perintah 11 Maret 1966), ada semacam pembelahan di tubuh Angkatan 66. Di satu sisi, mereka yang menempatkan diri sebagai pendukung utama Soeharto yang menganggap ‘perjuangan’ sudah selesai saat ‘kekuasaan sepenuhnya telah berada di tangan Jenderal Soeharto. Dan pada sisi yang lain adalah mereka yang menganggap bahwa peralihan kekuasaan tanggal 11 Maret dan pembubaran PKI 12 Maret 1966, barulah awal dari suatu pembaharuan kehidupan politik.

Pada tanggal 10 Januari 1966, demonstrasi mahasiswa meletus di Jakarta, sebagai reaksi terhadap kenaikan harga-harga yang dipicu oleh kebijakan pemerintah menaikkan harga bensin. Per 3 Januari 1966 itu  harga bensin dinaikkan menjadi Rp. 1000 per liter, padahal sebelumnya pemerintah telah menaikkan harga bensin menjadi Rp. 250 per liter pada 26 November 1965. Tetapi inflasi pada masa itu memang luar biasa. Ketika harga bensin naik, harga beras yang Rp. 1000 per liter terpicu menjadi Rp.3500 per liter.

Dalam demonstrasi 10 Januari 1966 itu mahasiswa melontarkan Tritura (Tri Tuntutan Rakyat), yang meliputi: Bubarkan PKI, Ritul Kabinet Dwikora dan Turunkan Harga. Tiga tuntutan itu, memiliki latar belakang keinginan pembaharuan politik, pembersihan pemerintahan dan solusi keadilan sosial-ekonomi bagi rakyat. Sejauh ini, hingga 47 tahun setelah dicetuskan, pokok persoalan yang dihadapi Indonesia, ternyata tak bergeser jauh. Kehidupan politik dengan sistem kepartaian yang korup, konspiratif dan berorientasi kepada pengejaran kekuasaan semata; sistem pemerintahan dan pengelolaan kekuasaan yang tidak efisien, tidak efektif dan korup penuh persekongkolan; beban berat dan ketidakadilan ekonomi bagi rakyat; merupakan pokok-pokok persoalan yang belum kunjung berhasil ditangani oleh rezim-rezim kekuasaan yang ganti berganti. Tugas generasi baru untuk menanganinya.

TERLEPAS dari pernah terjadinya berbagai pembelahan di tubuh kalangan pergerakan tahun 1966, mesti diakui bahwa pergerakan tersebut telah menjadi kancah tampilnya tokoh-tokoh muda yang handal secara kualitatif. Sikap altruisme juga masih menjadi faktor kuat dalam pergerakan tersebut. Ini melebihi pergerakan generasi muda berikutnya. Soeharto sendiri, semasa berkuasa berkali-kali menggunakan kemampuan tokoh-tokoh muda eks gerakan 1966 itu, baik di lembaga legislatif maupun di lembaga eksekutif. Beberapa tokoh 1966 menjadi menteri yang berhasil, meski ada juga yang ternyata menjadi bagaikan ‘kacang yang lupa akan kulitnya’ karena mabuk oleh bius kekuasaan.

Pada umumnya, di masa Soeharto, nyaris tak ada menteri (atau pejabat di eselon lebih bawah) eks pergerakan 1966 yang terlibat korupsi ‘serius’. Meski kecenderungan tersebut bukannya tak dimiliki oleh beberapa tokoh ex 1966, khususnya yang berasal dari organisasi ekstra tertentu. Agaknya, memang susah ‘mencuri’ dalam rezim Soeharto, tanpa lisensi khusus sebagai pengumpul dana. Tetapi, sungguh menarik, beberapa tokoh dengan embel-embel label 1966 yang diikutsertakan dalam kabinet para Presiden pasca Soeharto, justru disebut-sebut dan bahkan ada di antaranya yang dihukum karena perkara korupsi. Namun bisa dicatat bahwa mereka yang disebut terakhir ini, tercatat hanya sebagai tokoh berkategori pinggiran dalam perjuangan 1966.

Sewaktu rezim Soeharto masih berusia kurang dari satu dasawarsa, seringkali orang memproyeksikan kalangan tentara (ABRI) dan kalangan pergerakan 1966 sebagai sumber persediaan tokoh pemimpin nasional berikutnya. Tetapi ketika proses pemilihan presiden setiap 5 tahun, hanya menghasilkan Soeharto dan Soeharto lagi sebagai Presiden, proyeksi semacam itu memudar dengan sendirinya. Terganti permainan wayang, dengan memunculkan sejumlah tokoh-tokoh militer sebagai calon pemimpin nasional berikutnya di arena rumor politik. Tokoh-tokoh itu, adalah para jenderal yang ada di lingkaran kekuasaan Soeharto. Nama tokoh 1966 tak pernah ada dalam lakon perwayangan ini, sampai saatnya uacapan Marzuki Darusman –bahwa karir tertinggi seorang anggota DPR sebagai politisi, adalah posisi Presiden– tampil mengusik.

Jadi, sebegitu jauh, tokoh eks pergerakan 1966, tak pernah tampil dalam gelanggang perebutan kursi Presiden. Barulah pada pasca Soeharto, beberapa nama tokoh 1966 sempat tampil dalam deretan calon Presiden di tingkat partai, namun sejauh ini tak terwujud. Hanya Jusuf Kalla, tokoh 1966 dari daerah, yang pernah berhasil ‘coming from behind’ menjadi Wakil Presiden mendampingi Susilo Bambang Yudhoyono. Hingga kini, Jusuf yang bukan tokoh utama pergerakan 1966 ini, masih melanjutkan usahanya untuk menjadi Presiden. Tapi agaknya, 9 dari 10 kemungkinan, generasi pergerakan 1966 adalah generasi yang terloncati dalam konteks kepemimpinan nasional, karena ‘partner’ perjuangannya di tahun 1966 telah terlalu lama ‘memborong’ kekuasaan negara. Meskipun, dalam jajaran Angkatan 1966 tersebut, terdapat sejumlah tokoh dengan kualitas Kepresidenan yang melebihi beberapa tokoh yang pernah ada dalam posisi tersebut.

Pada umumnya, tokoh-tokoh berlatar belakang 1966 yang mungkin saja bisa disebutkan di sini –seperti Jenderal Purnawirawan Endriartonio Sutarto (ex KAPI Bandung 1966), atau Sarwono Kusumaatmadja dan Marzuki Darusman sekedar sebagai contoh– tidak pernah berpikir memperkuat otot politik dan memenuhi pundi-pundi, yang merupakan syarat tak tertulis yang justru ‘penting’. Tapi dua nama yang disebutkan terakhir, memang tak pernah mencalonkan diri. Syarat tak tertulis ini justru dimiliki misalnya Abrurizal Bakrie –seorang tokoh junior yang sejenak mengikuti perjuangan 1966 di Bandung sebelum disekolahkan ayahanda ke luar negeri– atau tokoh-tokoh pasca 1966 seperti Prabowo Subianto dan Wiranto. Entah dengan Mahfud MD.

Mohon tulisan ini diterima sebagai suatu catatan ringan dari arsip yang telah berdebu dengan berjalannya waktu. Bukan kampanye, bukan pula provokasi.

(socio-politica.com/sociopolitica.wordpress.com)