Tag Archives: Hanura

Partai Golkar, Kisah Intervensi Berbalut Kain Sutera

BULAN Desember menjelang tutup tahun 2014, kepada publik tersaji serial berita tentang dua versi kepengurusan tingkat pusat Partai Golkar, yakni hasil Munas IX di Bali dan hasil Munas tandingan di Ancol Jakarta. Dua-duanya menyatakan diri sesuai konstitusi partai. Tapi bagaimana pun, sepanjang ketentuan yang ada dalam konstitusi partai tersebut, mustahil terjadi dua kebenaran sekaligus. Karena, apakah mayoritas DPD Golkar yang tersebar di 34 provinsi, 412 kabupaten, 98 kota (dan kota administratif) sebagai pemilik suara terpenting dan menentukan, masing-masing telah menghadiri Munas Golkar IX di Bali lalu juga menghadiri Munas di Ancol Jakarta? Maka, pasti ada satu di antaranya yang palsu. Dan semestinya sama sekali tidak sulit memverifikasi kebenaran di antara kedua Musyawarah Nasional itu.

LAMBANG BERINGIN GOLKAR. "Melalui ‘pergaulan politik klik-klikan’, terbuka lebar pintu bagi para politisi akrobatik yang sangat pragmatis dan oportunistik dalam konteks perebutan kekuasaan, untuk masuk berperan bahkan hingga ke jantung organisasi. Dalam ‘pergaulan politik klik-klikan’ kepentingan sendiri bertengger jauh di atas kepentingan idealisme untuk partai, apalagi untuk bangsa dan negara."
LAMBANG BERINGIN GOLKAR. “Melalui ‘pergaulan politik klik-klikan’, terbuka lebar pintu bagi para politisi akrobatik yang sangat pragmatis dan oportunistik dalam konteks perebutan kekuasaan, untuk masuk berperan bahkan hingga ke jantung organisasi. Dalam ‘pergaulan politik klik-klikan’ kepentingan sendiri bertengger jauh di atas kepentingan idealisme untuk partai, apalagi untuk bangsa dan negara.”

Meski seringkali menjengkelkan untuk melihat perilaku akrobatik yang kerap beraroma otoriter dari sejumlah tokoh Golkar di bawah kepemimpinan Aburizal Bakrie, tak boleh tidak harus diakui bahwa Munas Golkar di Bali yang harus dianggap sah karena praktis dihadiri oleh DPD-DPD yang sah dari seluruh Indonesia. Sebaliknya, tidak sulit untuk melihat bahwa Munas di Ancol adalah artifisial, bersifat mengakali konstitusi partai. Tapi pemerintahan Jokowi yang diwakili dalam hal ini oleh Kementerian Hukum dan HAM, mengambil sikap sangat abu-abu.

Pers mengutip Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly –seorang tokoh PDIP– yang mengatakan (16/12) “Setelah kami pertimbangkan, dari semua aspek, yuridis, fakta, dan dokumen, kami menyimpulkan bahwa masih ada perselisihan yang seharusnya Kementerian Hukum dan HAM tidak boleh mengintervensi….” Dan dengan anggapan adanya perselisihan, pemerintah lalu menyarankan penyelesaian internal melalui Mahkamah Partai. Tapi saran pemerintah ini pada hakekatnya hanya memperpanjang dan memperlama fase pertengkaran di tubuh partai papan atas ini. Sepintas sikap pemerintah adil dan bijaksana, tapi implikasinya sebenarnya adalah menciptakan nafas lanjutan dan kesempatan bagi kelompok ‘Munas Ancol’ Agung Laksono dan kawan-kawan untuk tetap menjadi faktor. Baik untuk membangun eksistensi mereka secara formal, maupun setidaknya untuk punya standing dalam suatu proses islah.

Intervensi terselubung. Menjadi pengetahuan publik, bahwa kekisruhan di tubuh Golkar secara pragmatis hanya akan menguntungkan koalisi partai-partai pendukung kekuasaan dan pemerintahan Jokowi-JK dalam konteks mematahkan supremasi KMP di lembaga legislatif. Makin panjang kisruh itu makin bagus bagi the ruling parties. Siapa tahu, hasil akhirnya nanti adalah sebuah Golkar yang pro kelompok berkuasa dalam kekuasaan pemerintahan negara saat ini. Dan cukup banyak kaum opportunis di tubuh partai itu siap ‘dimainkan’ sebagai pemegang peran antagonis.

KARIKATUR INDOPOS, MENTERI POLHUKAM MEMPERSILAHKAN AGUNG LAKSONO MUNAS. "Pola pengolahan konflik di tubuh Golkar ini, tidak berbeda jauh dengan apa yang menimpa sebuah partai lainnya, PPP, yang tadinya ada di barisan KMP. Perbedaannya hanya, ada intervensi langsung secara terang-terangan, dan ada yang dilakukan lebih terselubung. Bila terhadap PPP, Kementerian Hukum dan HAM bertindak cepat –untuk tidak menyebutnya tergesa-gesa– mengintervensi dengan mengakui sepihak kubu Romahurmusiy, maka intervensi di Golkar dilakukan lebih terselubung. Katakanlah, sebuah intervensi berbalut kain sutera."
KARIKATUR INDOPOS, MENTERI POLHUKAM MEMPERSILAHKAN AGUNG LAKSONO MUNAS. “Pola pengolahan konflik di tubuh Golkar ini, tidak berbeda jauh dengan apa yang menimpa sebuah partai lainnya, PPP, yang tadinya ada di barisan KMP. Perbedaannya hanya, ada intervensi langsung secara terang-terangan, dan ada yang dilakukan lebih terselubung. Bila terhadap PPP, Kementerian Hukum dan HAM bertindak cepat –untuk tidak menyebutnya tergesa-gesa– mengintervensi dengan mengakui sepihak kubu Romahurmusiy, maka intervensi di Golkar dilakukan lebih terselubung. Katakanlah, sebuah intervensi berbalut kain sutera.”

Pola pengolahan konflik di tubuh Golkar ini, tidak berbeda jauh dengan apa yang menimpa sebuah partai lainnya, PPP, yang tadinya ada di barisan KMP. Perbedaannya hanya, ada intervensi langsung secara terang-terangan, dan ada yang dilakukan lebih terselubung. Bila terhadap PPP, Kementerian Hukum dan HAM bertindak cepat –untuk tidak menyebutnya tergesa-gesa– mengintervensi dengan mengakui sepihak kubu Romahurmuziy, maka intervensi di Golkar dilakukan lebih terselubung. Katakanlah, sebuah intervensi berbalut kain sutera. Kenapa intervensi di PPP dilakukan tanpa ragu, tak lain karena menganggap posisi kubu Suryadharma Ali sedang terpojok secara internal maupun eksternal. Tuduhan korupsi di Kementerian Agama yang sedang mengarah ke Suryadharma Ali melemahkan posisi dan penilaian integritasnya dalam opini publik. Sebaliknya, intervensi ke Partai Golkar dilakukan lebih berhati-hati, karena adalah fakta bahwa secara internal kubu Aburizal Bakrie memang cukup kokoh berkat dukungan seluruh DPD –terlepas dari soal bagaimana cara dukungan itu diperoleh– dan legal formal pasti lebih konstitusional. Maka Menteri Hukum dan HAM tak ‘berani’ untuk secara langsung memaksakan memberi pengakuan keabsahan kepada kubu Munas Ancol bila tidak ingin mengalami efek bumerang dalam opini publik. Namun, di sisi lain ada kepentingan khusus yang harus disandarkan kepada keberadaan kubu Munas Ancol itu. Maka pilihannya, adalah sikap abu-abu.

Secara khusus bagi Jusuf Kalla, bila Partai Golkar bisa dikuasai oleh unsur-unsur kelompok Ancol, itu akan mengamankan bargaining position dirinya dalam percaturan politik di tubuh kekuasaan dalam lima tahun ke depan. Diakui atau tidak, sebenarnya kebersamaan Jokowi dan Jusuf Kalla dalam satu perahu kekuasaan, lebih bersifat ‘perkawinan’ taktis dengan segala kepentingan politis demi kekuasaan daripada bersatu atas dasar kesamaan strategis demi idealisme untuk bangsa.

Involusi dan molekulisasi. PERTENGKARAN internal –yang sering diperhalus secara sesat dengan terminologi “dinamika partai”– pasca Soeharto, bukan sesuatu yang baru di tubuh organisasi politik dengan sejarah yang cukup panjang ini. Akan tetapi baru sekali ini Golkar mengalami suatu pertengkaran yang menciptakan situasi ‘seakan-akan’ terjadi kepengurusan ganda. Dan ini adalah kali pertama ada kelompok bertindak terlalu jauh, menyelenggarakan Munas tandingan dan melahirkan DPP tandingan. Menjelang Pemilu 2004 tokoh Golkar Marzuki Darusman-Fahmi Idris dan kawan-kawan sempat berbeda pendirian dengan Ketua Umum Akbar Tandjung yang berujung pemecatan. Hanya saja, Marzuki dan kawan-kawan tidak memilih jalan menyelenggarakan Munas dan DPP tandingan yang bisa menyebabkan kehancuran partai.

Namun setelah itu terjadi sejumlah fenomena baru. Dalam beberapa peristiwa, sejumlah tokoh yang kecewa terhadap Golkar –misalnya kalah dalam konvensi Golkar maupun pemilihan kepemimpinan organisasi tersebut atau gagal menjadi presiden dengan dukungan Golkar– meninggalkan Golkar untuk mendirikan partai baru. Prabowo Subianto mendirikan Partai Gerindra, Wiranto mendirikan Partai Hanura dan belakangan Surya Paloh mendirikan organisasi kemasyarakatan Nasdem yang kemudian menjelma sebagai partai Nasdem. Sebelumnya, di awal pasca Soeharto Jenderal Purnawirawan Edi Sudradjad mendirikan PKPI. Setiap tokoh partai-partai baru itu, menjalankan pola mirip transmigrasi bedol desa, membawa serta para pendukungnya meninggalkan Golkar. Partai Demokrat pun sebenarnya, untuk sebagian dibangun dan diisi oleh tokoh-tokoh yang tadinya adalah bagian dari Keluarga Besar Golkar –misalnya dari jalur A, maupun tokoh-tokoh eks Golkar lainnya.

Fenomena baru pasca Soeharto ini, mungkin tepat disebut sebagai proses involusi, semacam degenerasi yang lebih jauh bisa saja suatu waktu menjadi molekulisasi Golkar. Ini semacam pembalikan terhadap apa yang terjadi di tahun 1964 saat tak kurang dari 291 organisasi bercorak kekaryaan berhimpun membentuk Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar). Dan menjelang Pemilihan Umum 1971, Sekber Golkar berhasil merampingkan pengorganisasiannya namun dengan kuantitas akar rumput yang lebih luas di masyarakat. Pada saat akan memasuki tahun Pemilu 1971 itu pula Golkar berhasil mengajak sejumlah kalangan generasi muda pergerakan tahun 1966 dan kelompok-kelompok cendekiawan independen untuk memperkuat Golkar secara kualitatif. Ketertarikan generasi muda dan kalangan cendekiawan itu, terutama karena pada pasca Soekarno itu Golkar lah satu-satunya alternatif kekuatan politik yang tidak ideologistis dan hanya bersandar pada ideologi Pancasila di antara kerumunan partai ideologis lama. Dan yang paling penting, Golkar mampu menyodorkan konsep yang menjanjikan pembaharuan sosial dan pembaharuan kehidupan politik. Bahwa di kemudian hari sebagian besar janji pembaharuan tak terwujud, itu suatu persoalan yang pada waktunya perlu dikupas tersendiri.

Tiga dimensi dan pergaulan politik klik. TIGABELAS tahun setelah 1971, saat Golkar berusia 20 tahun, ahli politik terkemuka Dr Alfian memberi penilaian bahwa hingga per waktu itu Golkar masih terpaku pada penekanan dimensi preventif dalam kehidupan perpolitikan. Trauma politik di masa lampau membuat langkah-langkah preventif seolah menjadi obsesi Golkar. Tragedi politik pra Orde Baru, menyebabkan Golkar khawatir terhadap segala bentuk ancaman. Golkar cemas kalau-kalau muncul ideologi baru di luar Pancasila. Padahal, selain dimensi preventif, ada dua dimensi lain yang harus juga diberlakukan bersamaan secara proporsional, yaitu dimensi pemeliharaan serta dimensi pembaharuan dan pengembangan. Jangan ada satu dari ketiga dimensi ini yang mendapat penekanan berlebihan (Media Karya, edisi 20 Tahun Golkar, Oktober 1984).

Tetapi sejarah menunjukkan, sengaja atau tidak, sepanjang masa kekuasaan Soeharto yang adalah Ketua Dewan Pembina Golkar, dimensi preventif selalu menjadi warna utama politik Golkar dan Soeharto sendiri. Dalam periode Ketua Umum Sudharmono SH dan Sekjen Sarwono Kusumaatmadja, cukup terlihat ada upaya untuk juga memperhatikan dimensi pemeliharaan serta dimensi pembaharuan tersebut di tubuh Golkar. Antara lain dengan gerak kaderisasi besar-besaran serta penerapan stelsel keanggotaan aktif –dimulai dengan pemberian KAG (Kartu Anggota Golkar) dan NPAG (Nomor Pokok Anggota Golkar). Terhadap kader diberlakukan saringan kualitatif melalui kriteria PDLT –prestasi, dedikasi, loyalitas, tidak tercela– dalam penempatan atau penugasan, misalnya saat akan mengisi posisi anggota legislatif atau posisi fungsionaris partai. Namun fakta empiris memperlihatkan, betapa perhatian terhadap dimensi pemeliharaan dan dimensi pembaharuan tak cukup berlanjut di masa-masa berikut, terutama di masa Harmoko memimpin partai. Harmoko lebih mengejar aspek kuantitatif berupa pencapaian prosentase tinggi kemenangan Golkar dalam pemilu.

Penerapan PDLT, terutama menjelang Pemilu 1987, sering harus berhadapan dengan perilaku nepotisme yang terjadi di tiga jalur Golkar –ABG yang terdiri dari jalur A (Abri), jalur B (Birokrasi) dan jalur G (Golkar) sendiri. ‘Pertarungan’ sengit terjadi dalam tiga tahap penyusunan daftar calon tetap untuk pengisian posisi legislatif, khususnya di tahap akhir. Hingga sejauh yang bisa terlihat saat itu, kriteria PDLT cukup bisa membatasi keberhasilan nepotisme kendati di sana-sini tetap juga terjadi sejumlah kompromi. Akan tetapi pada masa-masa berikutnya, terutama menjelang Pemilu 1997, warna nepotisme menjadi corak yang menonjol. Lahir misalnya plesetan AMPI menjadi Anak-Mantu-Ponakan-Isteri atau yang semacamnya, yang pada intinya menyindir penempatan-penempatan berdasarkan hubungan kekerabatan dan atau klik. Kasat mata, satu keluarga bisa berkumpul di lembaga legislatif. Tetapi soal klik, lebih sulit diukur, walau sangat terasa. Ini menular hingga ke masa-masa berikutnya, bahkan hingga di masa reformasi dan sesudahnya. Maka Golkar ‘baru’ di bawah Akbar Tandjung dan Golkar berikutnya di bawah Muhammad Jusuf Kalla maupun Aburizal Bakrie, suka atau tidak, dengan sendirinya ‘harus’ terbiasa dengan ‘pergaulan politik klik-klikan’.

Melalui ‘pergaulan politik klik-klikan’, terbuka lebar pintu bagi para politisi akrobatik yang sangat pragmatis dan oportunistik dalam konteks perebutan kekuasaan, untuk masuk berperan bahkan hingga ke jantung organisasi. Dalam ‘pergaulan politik klik-klikan’ kepentingan sendiri bertengger jauh di atas kepentingan idealisme untuk partai, apalagi untuk bangsa dan negara. Di sini, partai hanyalah ibarat sebuah kendaraan tumpangan yang sewaktu-waktu bisa ditinggalkan bila menemukan kendaraan lain yang lebih sesuai dan nyaman untuk kebutuhan per suatu saat. Dan atau sebaliknya.

Akal sehat dan ‘Golkar Putih’. Dalam konteks pertengkaran internal –dengan jalinan faktor eksternal– yang melanda Partai Golkar saat ini di dua kubu, harus diakui terdapat peran politisi akrobatis dan oportunis. Peran mereka ternyata tidak kecil. Satu dan lain hal, inilah yang membuat situasinya berbau sangat tidak sedap. Politisi akrobatis dan oportunis ini di satu sisi bisa menjadi sumber keruntuhan partai, namun di sisi lain harus diakui bahwa pada saat yang sama mereka juga mempunyai kemampuan luar biasa dalam berkompromi. Maka, harus menanti sisi mana yang akan bekerja. Kelompok akal sehat yang dulu sering disebut sebagai ‘Golkar Putih’, mungkin lebih pantas diharapkan kehadirannya kembali untuk berperan. Tetapi kalaupun pada akhirnya kompromi tercapai, atau penyelesaian hukum yang baik dan benar tercapai, masa depan Golkar tetap terselaput tanda tanya selama Golkar tak berhasil mengatasi kehadiran dan peran para politisi akrobatis dan oportunis di tubuhnya. (socio-politica.com)

Mengejar ‘Mandat Langit’: Golkar dan Partai Demokrat

DARIPADA menjadi ekor, atau sekedar semut-semut yang mengejar sisa-sisa butiran gula di sekitar Jokowi maupun Prabowo Subianto, sebenarnya adalah lebih baik bila Golkar dan Partai Demokrat berani menciptakan alternatif. Menyelenggarakan rapat pimpinan nasional di waktu yang hampir bersamaan (18/5) di tempat yang berdekatan, Partai Demokrat lebih cepat bersikap tegas daripada Partai Golkar. Kali ini, sikap Susilo Bambang Yudhoyono (dan Partai Demokrat) lebih berkepribadian: Tidak akan bergabung dengan kubu mana pun, baik kubu Jokowi maupun kubu Prabowo. Sementara itu, Rapimnas Golkar menyerahkan kepada Aburizal Bakrie untuk menentukan arah koalisi, dan memberi mandat pada sang ketua umum untuk menetapkan dirinya sebagai calon presiden atau calon wakil presiden. Tapi ternyata Aburizal berpikiran sangat pragmatis.

            Konsekuensi sikap yang disampaikan SBY itu adalah Partai Demokrat harus mencoba membuat poros alternatif, dan yang paling mungkin untuk saat ini adalah bersama Golkar. Sebenarnya, berdasar historis kelahirannya sebagai pembaharu tidak pada tempatnya bila Golkar memilih menjadi pengekor demi memenuhi hasrat kecipratan remah-remah kekuasaan belaka. Dalam menghadapi pemilihan umum pertama setelah Pemilu 1955 pasca Soekarno, di tahun 1971, Golkar menampilkan diri dengan gagasan pembaharuan politik yang sempat memikat sejumlah tokoh generasi muda tahun 1966 dan kaum intelektual untuk bergabung. Tetapi sejarah menunjukkan bahwa setelah kemenangan dicapai, Soeharto dan para jenderal di lingkaran kekuasaannya berangsur-angsur ‘membuktikan’ lebih cinta kekuasaan belaka daripada cita-cita pembaharuan politik yang sesungguhnya.

PERTANYAAN OM PASIKOM DI KOMPAS. "Deklarasi pasangan dua calon presiden dan wakil presiden yang telah terjadi Senin ini, sebenarnya suatu situasi faitaccompli bagi Partai Golkar dan Partai Demokrat, agar mewujudkan poros ketiga. Kalau mereka bisa mengatasi subjektivitas tertentu pada diri mereka, Senin petang atau paling lambat Selasa pagi 20 Mei mereka juga akan mengumumkannya."
PERTANYAAN OM PASIKOM DI KOMPAS. “Deklarasi pasangan dua calon presiden dan wakil presiden yang telah terjadi Senin ini, sebenarnya suatu situasi faitaccompli bagi Partai Golkar dan Partai Demokrat, agar mewujudkan poros ketiga.”

            Namun, terlepas dari soal kesetiaan kepada cita-cita itu, apa pun yang terjadi sepanjang masa Soeharto, Golkar –tepatnya, Jenderal Soeharto– selalu memimpin arah politik. Ditempa oleh keadaan serba unggul, Golkar berhasil melahirkan politisi-politisi tangguh yang mampu mengendalikan arah kehidupan politik dari waktu ke waktu. Akan tetapi bersamaan dengan itu, khususnya pada satu dekade terakhir masa kekuasaan Soeharto Golkar juga berhasil ditumpangi oleh orang-orang oportunis yang pandai mencari kesempatan yang menguntungkan dirinya. Sejak awal 1974 berangsur-angsur kelompok dengan cita-cita pembaharuan dipentalkan keluar, dan posisi-posisi kunci di tubuh Golkar makin dikuasai para oportunis pencari rezeki. Mereka yang disebut terakhir ini, tercatat paling gesit meloncat meninggalkan Golkar dan Soeharto di tahun 1998 di saat Golkar terancam karam.

            DENGAN ‘susah payah’, Akbar Tandjung, Marzuki Darusman, Fahmi Idris, MS Hidayat dan sejumlah tokoh Golkar lain yang ‘bertahan’ di kapal yang disangka akan karam –dan nyaris diberi nasib seperti PKI pasca Nasakom Soekarno– mempertahankan keberlangsungan hidup Golkar dengan penamaan ‘Golkar Baru’ dalam bentuk sebagai partai. Penamaan ‘Golkar Baru’ sekaligus dijadikan tanda batas dengan era Soeharto, tepatnya semacam garis pemisah dengan era Golkar terakhir yang penuh ekses KKN dan oportunisme masa Harmoko. Tetapi ‘Golkar Baru’ tidak pernah betul-betul bersih dari kaum oportunis masa lampau, dan bahkan berangsur-angsur terisi juga dengan kaum oportunis baru. Untuk yang disebut terakhir ini, Akbar Tandjung, harus diakui, ikut khilaf membuka kesempatan.

            ‘Golkar Baru’ yang di dalam tubuhnya masih mengandung unsur-unsur yang gamang bila tak tercantel dengan kekuasaan, terpikat untuk memilih Muhammad Jusuf Kalla yang berhasil menjadi Wakil Presiden (2004-2009) pendamping SBY, sebagai Ketua Umum Golkar yang baru melalui Munas Golkar di Nusa Dua Bali akhir 2004. Padahal, beberapa tahun sebelumnya Jusuf Kalla sebenarnya sempat meninggalkan Golkar ikut berlayar di kapal Partai Persatuan Pembangunan. Tetapi di ‘masa reformasi’ faktor kesetiaan kepada ‘partai asal’ memang sudah berubah menjadi begitu encer dan tidak lagi terlalu dipersoalkan.

            Hari Senin 19 Mei 2014 ini Muhammad Jusuf Kalla kembali menjadi calon Wakil Presiden, mendampingi Joko Widodo yang didukung PDIP bersama Nasdem dan PKB disusul Hanura. Tak ada manuver ‘dadakan’ di internal PDIP untuk memajukan Puan Maharani seperti yang di’kuatir’kan sebelumnya. Pun belum ada perubahan sikap di PKB akibat ketentuan kerjasama tanpa syarat yang secara ‘tegas’ dinyatakan Megawati Soekarnoputeri. Tetapi pertanyaannya, sanggupkah PKB bertahan ikut serta dalam suatu ‘koalisi’ tanpa mengharapkan suatu deal apapun untuk para petingginya? Kalau semua yang terjadi, kerjasama tanpa syarat, adalah seperti yang dikatakan, baguslah, berarti terjadi kemajuan dalam sikap dan praktek politik. Meskipun, ini semua lebih terasa sebagai sesuatu yang too good to be truth dalam iklim politik yang sangat pragmatis seperti sekarang ini.

Setelah JK mendampingi Jokowi menjadi satu kenyataan, tentu saja, sesuai penegasan Aburizal Bakrie usai Rapimnas Golkar Minggu (18/5), Jusuf Kalla tidak mewakili Golkar melainkan mewakili dirinya sendiri. Tetapi harus diakui, Jusuf Kalla masih memiliki sel-sel pendukung di tubuh Golkar. Bagaimanapun dia pernah menjadi Ketua Umum di partai berlambang pohon beringin tersebut selama 5 tahun.

Senin siang 19 Mei ini, Prabowo juga memastikan Hatta Rajasa dari PAN sebagai pendampingnya selaku Wakil Presiden. Pengumumannya disampaikan di sebuah rumah di Polonia, Jakarta, yang konon pernah menjadi kediaman sementara Soekarno. Pertanyaan yang sama memang bisa diajukan, sanggupkan partai-partai seperti PKS dan PPP bertahan dalam koalisi tersebut, padahal calon-calon Wakil Presiden yang mereka ajukan tak terakomodir? Berbeda dengan PDIP, persoalan di poros Prabowo mungkin sedikit lebih mudah. Suatu deal mengenai posisi di kabinet, tersurat maupun tersirat, bisa dipastikan telah dibicarakan lebih awal.

            TERKAIT kemungkinan koalisi Golkar dengan Partai Demokrat, pernyataan Ketua Harian Partai Demokrat Sjarifuddin Hasan menjadi menarik. Partai Demokrat menginginkan Aburizal Bakrie dan Susilo Bambang Yudhoyono mengambil peran sebagai king maker. Suatu usul yang baik dan bisa menampilkan sisi kenegarawanan dari kedua tokoh itu. Tidak ada kata terlambat. “Kami mengusulkan supaya Golkar memberikan opsi-opsi untuk calon presiden, seperti mengajukan Menteri Perindustrian Mohamad Sulaeman Hidayat,” ujar Sjarif seperti dikutip Koran Tempo (18/5). Sementara itu, MS Hidayat sendiri, yang menjadi salah satu anggota tim dari kedua partai yang terdiri dari 6 orang, menyampaikan usul suatu poros ketiga untuk mengusung pasangan capres-cawapres Aburizal Bakrie dengan Pramono Edhie Wibowo.

KARIKATUR KORAN TEMPO: KADER PARTAI KORUP DALAM TEROPONG KPK. "Pengakuan Susilo Bambang Yudhoyono bahwa menurunnya angka perolehan Partai Demokrat dalam pemilihan umum legislatif yang lalu disebabkan oleh banyaknya kader partainya yang melakukan korupsi, bisa menjadi awal sikap positif yang baru dan berharga."
KARIKATUR KORAN TEMPO: KADER PARTAI KORUP DALAM TEROPONG KPK. “Pengakuan Susilo Bambang Yudhoyono bahwa menurunnya angka perolehan Partai Demokrat dalam pemilihan umum legislatif yang lalu disebabkan oleh banyaknya kader partainya yang melakukan korupsi, bisa menjadi awal sikap positif yang baru dan berharga.”

            Deklarasi pasangan dua calon presiden dan wakil presiden yang telah terjadi Senin ini, sebenarnya suatu situasi faitaccompli bagi Partai Golkar dan Partai Demokrat, agar mewujudkan poros ketiga. Kalau mereka mau dan bisa mengatasi subjektivitas tertentu pada diri mereka, Senin petang atau paling lambat Selasa pagi 20 Mei mereka masih berkesempatan mengumumkannya. Khususnya Golkar, saatnya belajar meninggalkan sikap obsesif mereka terhadap kursi kekuasaan sekalipun untuk itu harus rela menjadi figuran belaka. Tapi harapan seperti itu buyar seketika, karena Senin siang menjelang deklarasi pasangan Prabowo dengan Hatta Rajasa, Aburizal Bakrie dikabarkan memutuskan mendukung pencalonan Prabowo Subianto.

            Terhadap kemungkinan poros ketiga, serta merta sejumlah pengamat, termasuk mereka yang menjagokan dua capres, Jokowi dan Prabowo, mengatakan suatu pasangan baru sudah terlambat. Tak punya lagi waktu sosialisasi untuk membangun elektabilitas. Dua tokoh lainnya sudah jauh di depan. Tentu saja, pendewa-dewaan pencapaian elektabilitas yang telah dicapai dua calon lainnya, bisa juga berlebih-lebihan dan keliru. Harus diakui, kerjasama atau koalisi pendukung dua calon presiden yang sedang di atas angin itu, bukannya tak mengandung kerapuhan di sana-sini. Dua pasangan yang tampil juga tak sepenuhnya ideal. Publik masih punya kemampuan untuk menerima penyampaian-penyampaian gagasan baru –maupun fakta kebenaran dan kesadaran baru– sepanjang gagasan baru itu bisa lebih masuk akal, jujur dan genius. Dalam tempo yang sempit sekali pun. Suatu proses perubahan pikiran bisa saja terjadi hanya dalam 1-2 detik.

            Pengakuan Susilo Bambang Yudhoyono bahwa menurunnya angka perolehan Partai Demokrat dalam pemilihan umum legislatif yang lalu disebabkan oleh banyaknya kader partainya yang melakukan korupsi, bisa menjadi awal sikap positif yang baru dan berharga. Golkar dan Aburizal juga bisa melakukan berbagai hal positif lainnya. Bagaimana jika Aburizal segera menyelesaikan sisa kewajibannya kepada korban lumpur Lapindo misalnya, seraya menyampaikan permintaan maaf yang lebih tulus? Untuk ini, pun tidak ada kata terlambat. Tapi apa boleh buat, Aburizal memilih lain, dan menjadi sangat pragmatis. Ia memang menjadi king maker, tapi bukan bersama SBY di poros ketiga. Melainkan di poros bersama Gerindra, seperti dielu-elukan Prabowo terhadap Ketua Umum partai peraih suara kedua terbanyak itu.

            Sebenarnya, kalaupun misalnya, pasangan baru sebagai pasangan ketiga yang diajukan Golkar dan Partai Demokrat, tidak memenangkan Pemilihan Presiden 9 Juli 2014, toh mereka bisa menjadikan ketidakberhasilan itu sebagai suatu kekalahan terhormat. Dan setelah itu, memilih untuk melangkah menjadi kekuatan oposisi yang terhormat pula. Kemenangan jangka pendek, semestinya, bukan satu-satunya hal. (socio-politica.com)

Lakon Partai Demokrat: Ada Sengkuni, Tak Ada Pandawa (2)

BETULKAH Anas Urbaningrum akan melakukan perlawanan politik sekaligus perlawanan hukum? Banyak pihak yang mengharapkan demikian, lalu mencoba memberi dukungan moral dengan membezoeknya. Bukan hanya para alumni HMI, tetapi juga dari kalangan partai ‘tetangga’ di koalisi, seperti Priyo Budi Santoso dari Golkar sampai Din Syamsuddin dari PP Muhammadiyah. Tak ketinggalan, tokoh-tokoh partai non koalisi, selain Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid. Pada sisi lain ada sejumlah pengamat yang menyangsikan keberanian bekas Ketua Umum PB HMI (1997-1999) itu untuk melakukan perlawanan sesungguhnya.

POSTER PLESETAN DI AWAL MENCUATNYA KORUPSI DI PARTAI DEMOKRAT. "Tak kalah penting adalah bagaimana posisi kebenaran sangkaan KPK tentang keterlibatan Anas Urbaningrum dalam kasus korupsi. Khususnya dalam kasus Hambalang, yang berawal dari apa yang disebut ‘kicauan’ ex Bendahara Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin yang semula diremehkan kebenarannya". (Gambar plesetan yang beredar di media sosial)
POSTER PLESETAN DI AWAL MENCUATNYA KORUPSI DI PARTAI DEMOKRAT. “Tak kalah penting adalah bagaimana posisi kebenaran sangkaan KPK tentang keterlibatan Anas Urbaningrum dalam kasus korupsi. Khususnya dalam kasus Hambalang, yang berawal dari apa yang disebut ‘kicauan’ ex Bendahara Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin yang semula diremehkan kebenarannya”. (repro gambar plesetan yang beredar di media sosial)

Di antara dua sisi tersebut, ada juga yang sekedar memanas-manasi agar kadar kepanikan di internal Partai Demokrat meningkat, atau agar Anas betul-betul membuka korupsi terkait Partai Demokrat. Jumat (1/3) sore misalnya, massa yang menamakan diri Laskar Anti Korupsi Pejuang 45 mencoba mendatangi rumah Anas di Duren Sawit, namun dihalangi polisi. Hasbi Ibrahim, Sekertaris Jenderal Laskar, dikutip pers menyatakan “Anas jangan hanya banyak bicara, tapi buktikan diri berani bongkar kasus-kasus korupsi besar”. Paling serius, tentu adalah kunjungan 5 anggota Timwas Bank Century DPR-RI Senin (4/3). Timwas mengaku mendapat informasi penting dari Anas mengenai kasus Bank Century, termasuk penyebutan 5 nama yang terlibat, 4 di antaranya dianggap nama baru, 2 pejabat negara, 2 dari kalangan partai.  Kategorinya, relevan sebagai tersangka.

Gado-gado politik dan hukum. Untuk sebagian, upaya memanas-manasi Anas, kelihatannya berhasil, tetapi terutama justru berpengaruh ke arah Partai Demokrat. Terlihat tanda-tanda panik. Apalagi, memang selama ini terlihat betapa sejumlah tokoh-tokoh partai tersebut memang tidak berkategori politisi tangguh, cenderung bicara tak terarah, seringkali hanya bersilat lidah dengan retorika tidak nalar. Tetapi giliran kena serangan, gelagapan atau emosional. Banyak tokoh partai tersebut yang tertampilkan wah dan populer semata karena pencitraan semu. Tapi itulah risiko sebuah partai yang mendadak besar karena situasi. Bagai buah yang tampak matang karena dikarbit, sering mentah di tengah.

Membanjirnya kunjungan berbagai tokoh untuk menjenguk Anas di kediamannya, dibarengi sejumlah komentar, terkesan sangat politis, khususnya dalam persepsi kalangan Partai Demokrat. Menjelang keberangkatannya (3/3) ke Jerman dan Hongaria, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono –yang juga adalah Ketua Dewan Pembina sekaligus Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat– meminta persoalan hukum Anas jangan dibawa merambah ke ranah politik.

Tapi siapakah sebenarnya yang mulai membawa kasus hukum Anas ke ranah politik? Tak lain, SBY sendiri ketika ia mempersilahkan Anas untuk lebih fokus menghadapi masalah hukum yang menimpanya terkait kasus Hambalang, padahal Anas belum diberi KPK status tersangka.  Status tersangka baru sebatas tercantum dalam fotokopi Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) KPK yang beredar –sehingga menjadi satu masalah dengan kegaduhan tersendiri. Sebelum Anas menjadi tersangka resmi, SBY telah bertindak jauh ‘mengambilalih’ kepemimpinan internal Partai Demokrat dari tangan sang Ketua Umum. Merasa diri teraniaya dan menjadi korban konspirasi –meskipun terasa sedikit artifisial– Anas Urbaningrum menyampaikan pesan akan melakukan perlawanan politik dan hukum. Dan yang giat melakukan perlawanan politik, maupun counter attack berupa tudingan yang beraroma campur aduk antara hukum dan politik, justru adalah kalangan Kahmi dan HMI. Di beberapa kota terjadi demonstrasi HMI membela Anas seraya menyerang SBY. Nama putera Presiden SBY, Edhie ‘Ibas’ Baskoro pun dirembet-rembet ikut menerima aliran uang dari kasus Hambalang. Ada tuntutan agar Ibas segera diperiksa KPK.

Bahkan juga, seperti yang dituduhkan tokoh Partai Demokrat Ramadhan Pohan, sejumlah tokoh politik dari berbagai partai dan organisasi –seperti Hanura, Gerindra, Muhammadiyah– ikut menggunakan kesempatan melakukan serangan politik terhadap SBY dan partainya. Saat keluar dari tempat kediaman Anas, biasanya memang para tokoh politik itu mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang menurut Ramadhan menambah keruh keadaan. Inilah mungkin suatu keadaan yang disebutkan SBY “menimbulkan gonjang-ganjing politik”. Menurut Dr Tjipta Lesmana, serangan kepada SBY terjadi karena memang banyak yang memusuhi SBY.

Partai Demokrat adalah partai yang terbawa besar karena mencuatnya popularitas Susilo Bambang Yudhoyono, yang ketokohannya juga tercipta oleh ‘penganiayaan’ politik Taufiq Kiemas-Megawati Soekarnoputeri. ‘Penganiayaan’ itu bertepatan waktu dan bertemu dengan situasi perasaan hampa rakyat tentang ketokohan yang bisa memberi harapan pasca Soeharto. Seakan-akan tercipta suatu momen historical by accident. Bahwa pada waktunya terbukti bahwa ia bukan seorang tokoh historical, bukan tokoh yang betul-betul bisa diharapkan, itu soal lain. Sejarah kan tak selalu melahirkan tokoh besar?

Sebagai partai yang membesar dengan pesat –meskipun bukan terutama dengan tumpuan kekuatan organisasi itu sendiri– Partai Demokrat menjadi bagaikan gula yang dikerumuni semut. Mereka yang menjadi golongan kecewa atau gugup di partai-partai lain, terutama dari Golkar yang sempat mengalami degradasi semangat setelah mundurnya Soeharto dari kekuasaan, mengalir ke Partai Demokrat yang menjadi partainya bintang baru bernama Susilo Bambang Yudhoyono. Agaknya, ketika para pimpinan partai merasa bahwa di antara yang mengalir datang itu banyak yang kurang berkualitas, mereka lalu merekrut beberapa tokoh yang dianggap berkualitas untuk bergabung. Salah satunya, adalah Anas Urbaningrum, yang rela meninggalkan KPU untuk bergabung dan langsung mendapat posisi tinggi. Belakangan, Andi Nurpati dari KPU ikut pula bergabung. Partai Demokrat juga merekrut tokoh Jaringan Islam Liberal Ullil Absar Abdalla, serta sejumlah pengacara terkenal seperti Amir Syamsuddin dan Denny Kailimang.

Rekrutmen Anas Urbaningrum yang kala itu baru berusia 36 tahun ke Partai Demokrat tahun 2005, dengan meninggalkan KPU, seringkali dikisahkan dalam serial rumor politik, sebagai ada udang di balik batu. Saat itu, KPU digoncang berbagai masalah korupsi di tubuhnya. Anas yang seharusnya merampungkan masa tugasnya sampai 2007, meninggalkan KPU tak lama setelah Pemilihan Umum Legislatif dan Pemilihan Umum Presiden 2004. Banyak yang menghubungkan rekrutmen Anas dengan keanehan angka-angka pencapaian suara Partai Demokrat maupun SBY dalam dua jenis Pemilihan Umum tersebut. Hal serupa terjadi dengan Andi Nurpati, yang juga meninggalkan KPU setelah Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2009. Dalam dua Pemilihan Umum, 2004 dan 2009, Partai Demokrat seakan-akan selalu melakukan balas jasa kepada salah satu komisioner KPU. Walaupun ini semua hanya rumor, yang belum tentu bisa dibuktikan kebenarannya –namanya juga rumor politik, yang merupakan gado-gado sedikit kebenaran dengan sedikit, insinuasi dan prasangka– tapi tak sedikit yang mempercayainya sebagai kebenaran.

Tak mungkin hanya Anas, tak mungkin hanya serupiah. Namun, terlepas dari apakah kasus Anas dan Partai Demokrat ini, sekedar gado-gado politik-hukum atau bukan, yang tak kalah penting adalah bagaimana posisi kebenaran sangkaan KPK tentang keterlibatan Anas Urbaningrum dalam kasus korupsi. Khususnya dalam kasus Hambalang, yang berawal dari apa yang disebut ‘kicauan’ ex Bendahara DPP Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin yang semula diremehkan kebenarannya.

Pengalaman empiris yang sudah-sudah, hingga sejauh ini, belum sekalipun KPK meleset dalam penetapan tersangka kasus korupsi. Belum pernah ada tersangka KPK yang lolos dari Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Bisa saja, KPK terseok-seok, dikritik lamban atau pilih-pilih tebu, tetapi lembaga tersebut tetap berhasil membuktikan diri.

Anas Urbaningrum yang memiliki poker face sejati, sebenarnya sempat juga menggoyahkan sebagian opini publik dengan bantahan-bantahan yang tenang dan cenderung dingin. Apalagi ketika ia bersumpah dan berani digantung di Monas bila ia menerima “serupiah saja” dari proyek Hambalang. Terminologi “serupiah saja” sebenarnya memiliki pengertian yang jelas dan final. Bisa habis akal juga para ahli semiotika bila mencoba memberi penafsiran lain terhadap terminologi “serupiah saja” itu. Maka pakar humor mengambilalih dengan mencari padanan kata “saja” dengan “hanya”. Konon, yang dimaksud Anas dalam sumpahnya itu, “kalau serupiah saja” adalah “kalau hanya serupiah”. Kan tak mungkin, dan mana mau dia menerima “hanya serupiah”? Kalau ia menerima, harus dalam skala ratusan juta atau milyaran. Kan itu bukan “serupiah saja” atau “hanya serupiah”?

(socio-politica.com/sociopolitica.wordpress.com) – Berlanjut ke Bagian 3.

Kisah SBY dan Indro Tjahjono: Kecurangan Dalam Dua Pemilihan Umum Presiden (2)

TAMPIL dan berperannya perwira-perwira muda dalam pendudukan kampus-kampus di Bandung 1978, merupakan catatan tersendiri. Dalam Peristiwa 1978 itu, rezim mengerahkan pasukan dengan komandan-komandan muda –hasil regenerasi tentara, lulusan akademi militer– seperti Feisal Tanjung dan Surjadi Sudirdja. Pendudukan kampus dilakukan oleh beberapa SSK (satuan setingkat kompi) dengan cara-cara kekerasan, menggunakan popor, bayonet dan tendangan mengatasi perlawanan mahasiswa Angkatan 1978. Betul-betul khas militeristik, yang menambah lagi daftar luka traumatik dalam sejarah, khususnya dalam hubungan mahasiswa dan militer. Pertama kalinya sejarah Indonesia mencatat pendudukan kampus perguruan tinggi sepenuhnya oleh kekuasaan militer hanya karena berbeda pendapat dan konsep tentang kekuasaan. Sesuatu yang oleh kolonial Belanda sekalipun tak pernah dilakukan.

SUSILO BAMBANG YUDHOYONO. “Bagaimana dengan tudingan Indro Tjahjono tentang kecurangan Pemilihan Umum di tahun 2004 maupun 2009? Kelihatannya, pengungkapan itu sepi reaksi, dari media pers maupun dari mereka yang dituduh. Apakah sebaiknya kita juga mengembalikan persoalannya ke tangan Tuhan saja?”. (foto download pdk.id)

Peristiwa Malari 1974 di Jakarta sebelumnya, memang seolah mendorong pula tentara ‘memasuki’ kampus, namun hanya dalam waktu ringkas dan bentuk yang sedikit berbeda. Kedua preseden inilah awal yang kelak membuat hampir tidak pernah ada perwira militer generasi penerus lulusan akademi militer yang mempunyai keberanian untuk tampil berkomunikasi dengan kampus-kampus perguruan tinggi terkemuka di Indonesia. Di tangan generasi baru ABRI ini jurang komunikasi dengan kampus telah menjadi semakin menganga. Apalagi setelah secara nyata para perwira produk Akademi ABRI ini ‘bersimpuh’ kepada Jenderal Soeharto, ikut menikmati kekuasaan dan menjadi kaki dan tangan bagi Soeharto dengan Orde Barunya yang telah tergelincir korup penuh korupsi, kolusi dan nepotisme. Tak pelak lagi banyak di antara perwira generasi baru ini kemudian secara tragis dicatat sebagai ‘musuh’ rakyat. Banyak dari mereka kemudian dijuluki sebagai musuh demokrasi, penindas hak asasi manusia dan pengabdi kekuasaan otoriter serta menjadi pelaku korupsi, kolusi dan nepotisme. Continue reading Kisah SBY dan Indro Tjahjono: Kecurangan Dalam Dua Pemilihan Umum Presiden (2)

‘Keajaiban-keajaiban Politik Terbaru’ Indonesia

INDONESIA adalah negeri yang ajaib. Selain punya berbagai peninggalan benda-benda sejarah, arkeologi, flora dan fauna, maupun lekuk liku kebudayaan yang berkategori ajaib, juga punya kehidupan politik yang tak kalah penuh keajaiban.

SBY DAN LAGU PLESETAN DI BLACKBERRY MESSENGER. “Jadi, lirik lagu keluhan SBY dalam gambar parodi plesetan yang beredar belakangan ini via Blackberry Messenger, sekali ini tak ‘kejadian’…..”.

Silang pendapat mengenai rencana kenaikan harga BBM sampai akhir pekan lalu, yang tadinya seakan telah menjelma menjadi pertarungan politik hidup mati, berakhir anti klimaks dengan semua pihak merasa menang. Kecewa? Bagaimana bisa kecewa kalau semua merasa menang?

Partai Golkar menyatakan diri berhasil memberi jalan keluar, dengan formula bahwa harga BBM dinaikkan bila dalam jangka 5 bulan ini ICP (International Crude Price) naik atau turun 15 persen terhadap standar APBN sekarang yang USD 105 per barrel. Partai-partai Koalisi yang tergabung dalam Setgab mengikuti formula itu dan sama-sama mengklaim memenuhi aspirasi rakyat yang tidak menghendaki kenaikan harga BBM. Padahal, ini hanya penundaan kenaikan harga, dan sewaktu-waktu pemerintah bisa menaikkan harga sesuai syarat 15 persen, tanpa perlu persetujuan DPR lagi. Masyarakat pun seakan-akan telah dituruti kemauannya, kan BBM tak jadi naik harga per 1 April?

Partai-partai politik lainnya, PDIP, Gerindra, Hanura dan PKS, pun sama-sama merasa ‘menang’ karena telah membuktikan diri telah menentang kenaikan harga BBM sesuai kehendak rakyat. Artinya, telah memenangkan hati rakyat sekali ini.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga tak kalah ‘puas’. Pemerintahannya kini mengantongi wewenang menaikkan harga BBM sesuai syarat Pasal 7 ayat 6a UU No. 22 APBN-P 2012, meski bukan sekarang. “Hampir semua usulan pemerintah, postur, asumsi dan besaran subsidi disetujui DPR”, ujarnya Sabtu 31 Maret 2012. Jadi, lirik lagu keluhan SBY dalam gambar parodi plesetan yang beredar belakangan ini via Blackberry Messenger, sekali ini tak ‘kejadian’.

Untuk keajaiban yang dihasilkan DPR, SBY menyampaikan terimakasih. Sang Presiden juga berterima kasih kepada Polri dan TNI yang telah berhasil dalam “menangani demonstrasi”. Secara ajaib, para petugas keamanan memang juga telah memenangkan apresiasi dan pujian Panglima Tertinggi dalam menjalankan tugasnya, meskipun pelaksanaan tugas itu penuh dengan kekerasan dan perilaku anarki-represif (sementara mereka sendiri tak henti-hentinya melontarkan tudingan anarkis kepada para pengunjuk rasa).

Apakah dengan demikian, ke depan ini aksi-aksi unjuk rasa akan berhenti? Unjuk rasa anti kenaikan BBM mungkin saja berhenti. Continue reading ‘Keajaiban-keajaiban Politik Terbaru’ Indonesia

Partai Demokrat (dan Partai Lainnya) di Kancah Korupsi

MESKIPUN menurut persepsi masyarakat saat ini seluruh partai politik, besar atau kecil, terlibat korupsi demi membiayai sepak terjang politiknya masing-masing dalam konteks persaingan kekuasaan, tak bisa dihindari bahwa Partai Demokrat lah yang berada pada fokus utama sorotan. Terutama sejak terungkapnya kasus korupsi Wisma Atlet Palembang, yang pada mulanya hanya terkait dengan Muhammad Nazaruddin yang tak lain adalah Bendahara Umum DPP Partai Demokrat, namun kemudian melebar dengan penyebutan nama-nama baru yang untuk sebagian terbesar adalah tokoh-tokoh penting Partai Demokrat. Bertambah melebar lagi, ketika lebih jauh ada pengungkapan bahwa bukan hanya dalam kasus Wisma Atlet dana negara dikuras, tetapi juga dalam sejumlah kasus lain seperti proyek Hambalang dan berbagai proyek di Kementerian Pendidikan Nasional (kini, Pendidikan dan Kebudayaan), Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi serta di PLN. Angka-angka rupiah yang disebutkan dijarah, berskala besar-besaran. Selain penyebutan nama kader-kader partai politik lainnya, terbanyak disebut adalah kader atau tokoh-tokoh Partai Demokrat: Mulai dari Mirwan Amir dan Angelina Sondakh sampai Andi Mallarangeng dan Anas Urbaningrum yang adalah Ketua Umum Partai Demokrat.

HUKUM POTONG TANGAN BAGI PENCURI. “Maka, meminjam suatu humor politik, seandainya kaum fundamental suatu ketika berhasil memaksakan berlakunya hukum potong tangan bagi para pencuri, sebagian besar tokoh partai dan anggota-anggota lembaga perwakilan rakyat, akan kehilangan tangan. Dalam sepuluh atau duapuluh tahun diperlukan industri tangan sintetis dalam skala besar-besaran”. (foto download)

Dalam rentang waktu yang sama, pemberitaan pers pun diisi dengan berita korupsi dan permainan dana besar lainnya yang juga melibatkan Partai Demokrat maupun perorangan kadernya. Dalam kaitan kasus Bank Century misalnya, disebutkan bahwa pengelola media pendukung Partai Demokrat, Jurnal Indonesia, menurut catatan PPATK mendapat transfer dana besar berkategori mencurigakan. Beberapa kader Partai Demokrat yang duduk di lembaga legislatif maupun eksekutif, pun telah divonnis dalam berbagai kasus korupsi dengan besaran miliar hingga puluhan miliar, yakni Amrun Daulay, Agusrin M. Najamuddin, Ismunarso, As’ad Syam, Sarjan Tahir dan Djufri. Belum lagi yang diberitakan disangka melakukan perbuatan korupsi seperti Johnny Alen Marbun hingga yang masih didesas-desuskan seperti Ahmad Mubarok dan Sutan Bathugana.

Bagaimanapun, rentetan berita dan desas-desus itu, ditambah cerita bagi-bagi uang ke fungsionaris DPD-DPD dalam munas yang lalu di Bandung, telah menciptakan citra tersendiri yang kontra produktif. Betapa partai yang baru berusia dua musim pemilihan umum itu adalah sebuah partai yang selain berhasil membesar dengan cepat karena topangan dana hasil korupsi dalam kancah politik uang juga telah membudayakan korupsi di tubuhnya. Suatu citra yang bersifat saling mematikan dengan apa yang ingin dicapai melalui politik pencitraan selama ini. Resultantenya, adalah politik pencitraan yang dijalankan selama ini tak lebih dari politik gelembung kebohongan.

SOROTAN yang tak kalah tajamnya juga terarah kepada Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono, yang juga adalah Presiden Republik Indonesia. Sebagai Ketua Dewan Pembina ia dianggap tak berhasil membawa partainya menjadi partai harapan, untuk tidak sebaliknya mengatakan menjadi partai korupsi. Sedang sebagai Presiden RI iapun dianggap gagal menjalankan kepemimpinan dengan baik. Tentang SBY sebagai Presiden, kita bisa meminjam pandangan kritis dan sangat tajam Chris Siner Keytimu –aktivis gerakan anti Soeharto Petisi 50– yang sudah tiba pada kesimpulan bahwa sepanjang menyangkut kepemimpinan SBY tak ada lagi yang bisa diharapkan.

Pergantian Presiden seharusnya terjadi setiap 5 tahun menurut ketentuan Konstitusi Negara/ UUD 1945. “Keharusan ini memang perlu dipelihara”, kata Chris Siner. “Namun jika Presiden sendiri tidak mampu memelihara keharusan ini, dengan membiarkan demoralisasi dan anomali di berbagai bidang kehidupan bangsa dan negara, maka keharusan ini secara moral tidak berlaku”. Secara moral, bangsa dan negara harus diselamatkan, dan keharusan normal/konstitusional pergantian Presiden setiap 5 tahun tidak berlaku, karena harus tunduk pada keharusan moral tersebut. Bangsa dan negara harus diselamatkan. Untuk itu, perubahan adalah “conditio sine qua non”. Bila berharap bahwa perubahan akan terjadi mulai dari ‘mind set’, sikap mental dan karakter kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudoyono, mustahillah itu bisa terjadi dalam 2-3 tahun yang akan datang. Reshuffle yang lalu adalah sia-sia, hanyalah mengalihkan masalah dan menambah kepalsuan dan kebohongan. Kalau SBY mau berjasa, kata Chris Siner, nyatakan pengunduran diri dari jabatan Presiden karena tidak mampu (secara kepemimpinan) dan tidak patut (secara moral) lagi menyelenggarakan negara dan kekuasaan pemerintahan. “Jalan lain, rakyatlah yang memundurkan”. Jika kapten/nakhoda kapal Republik sudah mengalami disorientasi dan demoralisasi, maka yang harus diganti bukan pembantu/awak kapal, tapi nakhodanya. Reshuffle kabinet yang baru lalu ternyata tidak menyelamatkan, hanya menunda karam ataupun tenggelamnya kapal Republik.

PARTAI-PARTAI politik lainnya, meski saat ini tak mendapat sorotan setajam Partai Demokrat, sebenarnya tak kalah buruknya dengan Partai Demokrat. Partai pendukung utama SBY ini mendapat sorotan extra large, tak lain karena partai itulah yang menjadi partai penguasa utama selama tujuh tahun terakhir ini. Mana ada partai politik yang tidak menghasilkan bintang berita korupsi saat ini? Baik yang sudah masuk dalam proses hukum maupun yang sudah terindikasi keterlibatan kadernya dalam berbagai korupsi di tingkat nasional maupun tingkat daerah. Ada yang ramai-ramai terlibat kasus cek pelawat dalam perkara Miranda Gultom-Nunun Nurbaeti, ada yang disebutkan keterlibatannya dalam permainan di Banggar DPR, maupun dalam kasus-kasus korupsi pada berbagai departemen atau kementerian. Semua partai, Partai Golkar, PDIP, PAN, PKB, PKS, PPP sampai Gerindra dan Hanura, punya cerita sendiri. Masalahnya mereka adalah partai-partai yang tersemai dan bermain di ladang politik uang. Maka, meminjam suatu humor politik, seandainya kaum fundamental suatu ketika berhasil memaksakan berlakunya hukum potong tangan bagi para pencuri, sebagian besar tokoh partai dan anggota-anggota lembaga perwakilan rakyat, akan kehilangan tangan. Dalam sepuluh atau duapuluh tahun diperlukan industri tangan sintetis dalam skala besar-besaran.

Dengan situasi kepartaian yang korup, menjadi pertanyaan, bisakah kita mempercayakan nasib selanjutnya kepada partai-partai itu dan tokoh-tokoh calon pemimpin negara yang mereka hasilkan? Satu-satunya ‘partai baru’, Nasdem, pun mungkin tak dapat dikecualikan. Partai tersebut, secara formal memang baru, tapi motor dan ‘kepemilikan’nya tetap saja bersumber pada ‘barang lama’ dengan gaya berpolitik yang tak berbeda jauh dengan gaya berpolitik kepartaian selama ini. Sementara itu, setidaknya dua calon ‘partai baru’ yang memperlihatkan potensi untuk berpolitik dengan sentuhan baru, telah dimatikan lebih dulu sebelum lahir melalui ranjau-ranjau berujud berbagai peraturan formal berbau konspiratif terhadap hak berserikat. Tetapi jangankan peluang bagi partai baru, partai-partai yang ada saat ini pun sedang mencoba saling bunuh melalui angka-angka electoral threshold dadakan, bukan angka yang sudah disepakati jauh-jauh hari supaya bebas dari perhitungan subjektif sesuai kepentingan jangka pendek.

Bila Masyarakat Sudah Muak Pada Partai Politik

Tanpa etika, kepemimpinan tereduksi menjadi manajemen, dan politik menjadi sekadar teknik memenangkan kekuasaan”, James Mac Gregor Burns, Penulis Amerika Serikat.

Oleh Syamsir Alam*

            JIKA pemilu dilakukan saat ini, partai apa yang akan dipilih? InPoll, sebuah kelompok kajian dan survei independen yang menyatakan beranggotakan dosen-dosen lintas disiplin dari berbagai perguruan tinggi, mengungkapkan 52,8% sudah menentukan pilihan. Ada tiga partai dominan dengan pemilih lebih dari 5%, yaitu: Partai Demokrat 14,3%, PDIP 12,4% dan Partai Golkar 11,7%. Selanjutnya, ada enam partai dengan pemilih kurang dari 5%, yaitu: PKS 3,6%, Gerindra 2,5%, PKB 2,2%, PAN 2%, PPP 2%, dan Hanura 1,2%. Partai baru diperkirakan hanya mampu menarik perhatian sekitar 0,9% (Iklan pada Kompas, 30 September 2011, halaman 10).

Terlepas dari valid atau tidaknya hasil survei tersebut, paling tidak kita dapat melihat kecenderungan yang akan terjadi. Dibandingkan dengan hasil survei nasional Mei 2011 yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI), kedekatan pemilih dengan partai memang sangat rendah, yang paling tinggi adalah PDIP dengan 5,1%, disusul Golkar 3,7%, Demokrat 3,5%, PKS 1,7%, PPP 1,3%, PKB 1,1%, Gerindra 0,9%, PAN 0,6%, partai lainnya 0,7%  (Republika, 22 Juni 2011). Angka-angka tersebut jauh di bawah apa yang pernah dicapai sebelumnya. Nampak jelas, bahwa kekuatan partai lebih banyak ditentukan oleh kekuatan figur yang ditampilkan oleh masing-masing partai tersebut.

Mengejar tujuan jangka pendek. Sekarang ini semakin jelas bedanya antara partai politik era awal kemerdekaan yang umumnya berlandaskan ideologi tertentu, dengan partai era setelah reformasi sekarang yang tidak lebih dari sebuah merek dagang yang disukai sesaat karena figur pimpinan partai yang dipromosikan dengan gencar, seperti model iklan yang hanya memerankan figur impian dengan baik. Karena itu, banyak pemilih yang kecewa dengan figur tersebut yang kenyataannya tidak seperti yang dibayangkan semula, sehingga mereka mencari idola baru pada partai lain yang diharapkan lebih baik.

Yang tampak sekarang adalah kecenderungan mencari kedudukan dan memperoleh kesempatan, dan bukan oleh dorongan idealisme perjuangan. Praktik politik uang yang sudah membudaya sekarang ini merupakan bukti nyata dari kehidupan berpolitik yang tidak lagi didasarkan atas idealisme. Integritas tidak lagi menjadi ukuran dan acuan. Padahal, politik adalah medan pengabdian dan karena itu, seorang politikus adalah orang yang memilih sebuah karier yang mulia. Sebuah panggilan hidup dan bukan sebuah mata pencarian yang mengutungkan. Seorang politikus adalah figur publik yang mewakafkan diri, waktu, dan segala yang ia punyai untuk membela serta memperjuangkan kepentingan dan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu, ia memperoleh mandat dari masyarakat. Karena itu, sebenarnya yang diandalkan oleh seorang politikus adalah kepercayaan masyarakat yang harus ia junjung tinggi, dan pantang mengkhianatinya.

Dalam perubahan mental politisi tersebut sekarang ini, tidak heran bila kader partai tanpa merasa bersalah meninggalkan partainya yang mulai suram, mereka beralih ke partai lain yang menjanjikan keuntungan lebih. Ideologinya adalah mencari keuntungan sesaat, apakah itu jabatan, materi atau popularitas. Ketiga unsur tersebut merupakan suatu siklus yang saling terkait. Mereka yang populer berpeluang besar mengumpulkan dana banyak untuk mendapatkan jabatan yang menjanjikan kehidupan mewah sebagai ukuran sukses. Karena itu, banyak para pengusaha yang ikut aktif di partai dengan tujuan menggunakan partai tersebut sebagai mesin pencari proyek.

Loyalitas partai. Menurut Paul A Djupe dalam bukunya “Religious Brand Loyalty and Political Loyalty” yang diulas pada Journal for the Scientific Study of Religion, Volume 39, Issue 1, pages 78–89, March 2000, pengertian loyalitas adalah, “a continued psychologycal identification and social attachment arising from involvement with a social or political institution, whether a class, movement, car brand, sports, team, beer, political party, religion” (hal 2). Jadi, loyalitas partai adalah kelanjutan identifikasi psikologis dan meningkatnya kedekatan sosial yang muncul dari keterlibatan dengan sebuah partai politik. Dan, ada tiga elemen pembangun perilaku loyal tersebut.

Pertama, elemen ikatan psikologis (psychological ties) yang merupakan sikap dan perilaku loyal pada objek loyalitas yang diterapkan sepanjang kehidupan manusia. Ikatan psikologis tersebut ditunjukkan dengan adanya komitmen individu terhadap objek loyalitas. Bagi orang yang loyal, tidak terfikirkan, dan bukanlah sebuah pilihan, untuk memilih institusi politik lain, walaupun ia mendapatkan keuntungan yang nyata.

Kedua, hubungan ikatan sosial (social ties) yang berfokus pada afiliasi individu dengan objek loyalitas tersebut akan memperkuat jaringan sosial yang membentuk afiliasi yang lebih kuat dan sulit untuk diubah-ubah. Dengan adanya ikatan sosial itu, individu terlibat dalam jaringan sosial untuk mendukung, atau dipaksa mendukung, dan membantu pemeliharaan afiliasi (maintenance of affiliation).

Ketiga, elemen keadaan sosial (social circumstances) yang dapat diketahui dari  peningkatan dan penurunan kondisi loyalitas partai, karena dipengaruhi oleh fenomena atau kejadian-kejadian sosial yang berkembang. Dalam konteks loyalitas partai tersebut, misalnya, terungkapnya skandal partai politik dapat menurunkan loyalitas terhadap partai politik dari partisan yang kurang loyal. Mobilitas geografis dapat menyebabkan hilangnya loyalitas karena individu bisa terlepas dari jaringan ikatan sosial partai politik. Selain itu, media massa juga dapat menunjukkan kondisi loyalitas partai, misalnya dengan adanya pemberitaan televisi yang gencar tentang skandal suatu partai politik akan menciptakan peluang bagi individu untuk membentuk pilihan-pilihan politik lain. Djupe juga menjelaskan bahwa orang yang memiliki kualitas pendidikan yang baik, dapat menunjukkan loyalitas yang cenderung bertahan lama.

Inilah yang terjadi sekarang pada umumnya di sekitar partai besar di Indonesia, hilangnya loyalitas karena partai tidak lagi berbasis pada ideologis yang dapat mengikat anggotanya. Memang ada ideologi yang ditampilkan, tetapi tidak beda dengan partai lain. Partai sudah menjadi ‘merek dagang’ yang boleh diganti-ganti. Tidak heran bila popularitas partai semakin menurun, dan kalau perlu ganti nama. Para kadernya pun berpindahan seenak hati mereka tanpa merasa malu, hanya dengan alasan perbedaan pendapat. Padahal, dalam demokrasi perbedaan pendapat adalah sesuatu yang wajar.

Karena partai yang membutuhkan para tokoh, maka banyaknya berita skandal yang dilakukan para tokoh-tokoh partai tersebut tidak lagi dianggap sebagai hal yang salah, sebab bila ditegur berkemungkinan mereka pindah dengan membawa sekian persen suara. Padahal, masyarakat tidak bodoh, dan diam-diam mereka mengalihkan pilihan kepada partai lain yang memberikan janji yang lebih memikat, walaupun kemudian kecewa lagi setelah tidak mendapatkan kenyataan dari janji tersebut.

Sebagian besar anggota DPR berjarak dengan rakyat “Kita hanya melahirkan wakil rakyat yang mengandalkan logistik dan popularitas, tak diimbangi kaderisasi parpol”, kata Muhammad Arwani Thomafi, wakil Ketua Panitia Khusus Rancangan Undang-undang (Pansus RUU) Pemilu dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP), dalam diskusi bertemakan “Menciptakan UU Pemilu Menuju Pelembagaan Demokrasi Elektroral yang Proporsional dan Berkeadilan” di Jakarta  (9/10). (Kompas, 10 Oktober 2011).

Belajar dari kasus Wall StreetGerakan pendudukan Wall Street di Amerika Serikat yang dimulai bulan September yang lalu oleh segelintir pemuda dengan mendirikan tenda di depan kantor Bursa Efek New York untuk menyuarakan kekesalan mereka atas tingginya tingkat pengangguran dan ketidaksetaraan pendapatan, telah meluas menjadi gerakan berskala nasional. Banyak demonstran di New York dan kota-kota lain mengaku muak dengan pemerintahan di Washington yang lebih melindungi perusahaan dengan mengorbankan kelas menengah. Krisis ekonomi kembali mengancam Amerika Serikat dengan indikasi naik dan sulitnya mendapatkan pekerjaan.

Aktivis menyatakan frustrasi yang mendalam dengan kebuntuan politik Amerika Serikat sekarang yang didominasi partai Demokrat. Sebagian lain menyalahkan partai Republik yang memblokade reformasi yang dilakukan Presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama (Kompas, 8 Oktober 2011). Para politisi di Amerika Serikat lebih memperhatikan kepentingan para sponsornya (pengusaha) daripada memperhatikan nasib rakyat yang didera krisis ekonomi. Akibat kelesuan ekonomi yang menyebabkan tingkat pengangguran mencapai angka 9,1% tersebut, jajak pendapat terbaru menunjukkan popularitas Obama menjelang pemilihan umum tahun depan turun menjadi 42%. (Media Indonesia, 12 Oktober 2011).

Perseteruan antara partai yang berkuasa dengan partai oposisi tersebut, telah lama terjadi Indonesia sejak awal era reformasi yang tidak menginginkan partai yang sedang berkuasa bisa sukses menjalankan programnya. Selalu ada gangguan, usaha mencari-cari kesalahan dan blokade pelaksaan program yang mencerminkan kita bukanlah sebagai satu bangsa yang utuh. Walaupun sudah dibuat koalisi partai yang berkuasa masih terjadi perbedaan pendapat yang sering mengacaukan program partai yang berkuasa. Loyalitas bangsa telah dikalahkan oleh loyalitas kelompok yang terhimpun dalam sebuah partai tertentu.

Menyimak kasus ketidakstabilan pemerintahan pada tahun 1950-an yang lalu karena ketidakkompakan partai-partai besar, terutama antara dua partai besar ketika itu, PNI dan Masjumi, pemerintahan silih berganti dipimpin oleh Masjumi dan PNI, dan tak ada yang berumur panjang sehingga mempunyai waktu yang cukup untuk menjalankan program pembangunan. Berulang kali Bung Hatta mengkritik kalangan politisi yang dinilainya telah mulai mengalami kritis watak. Kepentingan negara yang memerlukan kestabilan untuk melaksanakan pembangunan dikalahkan oleh kepentingan partai yang mengejar kekuasaan.

Jangan lupa, masyarakat sekarang lebih kritis. Partai sekarang sangat tergantung pada popularitas tokoh dan dana yang bisa dihimpun untuk membina citra positif dari tokoh yang diunggulkan tersebut, sering pengurus partai lupa akan tujuan jangka panjang perjuangan partai. Banyak tokoh-tokoh idealis dipinggirkan, karena dianggap sudah “kuno” dengan pola permainan baru yang serba instan dengan kekuatan uang. Tidak heran bila partai politik menjadi mesin korupsi paling agresif. Partai politik juga menjadi broker proyek-proyek yang dibiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara di kementerian dan lembaga negara. Rendahnya akuntabilitas keuangan partai politik menjadi gejala awal institusi itu menjadi mesin korupsi yang ganas (Kompas, 11 Oktober 2011).

Selain itu, dengan pemilihan wakil rakyat sebagai anggota DPR melalui kampanye berbiaya besar, tidak heran bila yang terpilih adalah orang-orang yang sudah populer (selebritis) dan berkantong tebal, walaupun tidak punya minat dan pengalaman politik yang memadai. Dapat dipahami pula bila politisi karbitan, para anggota DPR yang tidak mengabdikan diri kepada kepentingan negara, malas ikut sidang, dan tidak merasa penting untuk menyuarakan aspirasi pemilihnya. Bahkan, mereka pun tidak dekat dengan pemilihnya (Kompas, 10 Oktober 2011).

Solusinya, buat daftar hitam para politisi bermasalah. Mungkin saja kita kita belum dewasa dalam berpolitik dengan pola demokrasi, yang cenderung ditafsirkan serba boleh menurut penfasiran masing-masing. Ada rambu-rambu, tetapi tidak berlaku bagi yang berkuasa, sehingga para politisi justru berlomba mengejar kekuasaan, walaupun kalau perlu bergabung dengan kelompok lain yang secara ideologis tidak searah tujuan politiknya. Karena itu, dengan bergesernya tujuan partai mengejar kekuasaan, jelas semua partai apapun akan sejalan dan bisa bergabung sebagai koalisi, walaupun tidak akan pernah menjadi padu. Koalisi tersebut hanyalah sebagai teman seperjalanan yang sebenarnya berbeda tujuan dan kepentingan, yang dapat saja saling menyalahkan bila ada masalah.

Menurut J. Kristiadi dalam tulisannya “Menuju Negara Partitokrasi?”, praktik politik sekarang ini mengatas-namakan demokrasi, tetapi praktiknya parpol menjadi pemain utama, dengan melakukan invasi, intrusi, serta penetrasi di berbagai lembaga negara dan publik. “Jalan paling mujarab mencegahnya adalah melakukan reformasi parpol. Ia harus kembali ke khitahnya sebagai pilar tatanan kekuasaan yang beradab” (Kompas, 11 Oktober 2011).

Namun, agenda tersebut tak dapat dilakukan parpol itu sendiri, kalau tokoh-tokoh parpolnya masih bersemangat mengabdi kepada kepentingan mereka sendiri. Kalau begitu, solusi lain adalah koreksi dari masyarakat sebagai penentu eksistensi dari intrumen politik tersebut. Dulu pernah sebuah partai dibubarkan oleh pemerintah, apakah hal ini akan terulang kembali? Memang, partai yang kehilangan nama baik akan ditinggalkan pemilihnya, tetapi tokoh-tokohnya yang penyebab masalah dengan semangat bajing loncat bisa saja meninggalkan partai yang sudah bermasalah tersebut dan berkiprah lagi di partai baru sebagai orang yang merasa tidak bersalah.

Karena itu, sekarang saatnya masyarakat membuat daftar hitam para politisi bermasalah agar mereka tidak dipilih lagi. Atau, tindakan yang paling keras adalah tidak ikut dalam prosesi pemilihan sehingga tidak ada lagi orang yang bisa mengaku sebagai wakil rakyat, yang artinya pembubaran partai secara tidak langsung.

*Syamsir Alam. Mantan aktivis mahasiswa era Orde Baru yang sudah lama mengubur ‘kapak perperangan’, tergerak untuk menggalinya kembali setelah melihat karut-marut situasi politik sekarang.

Marzuki Alie dan Partai Demokrat: Di Balik Tabir Asap Korupsi (1)

GAGASAN pengampunan dan saling memaafkan dengan para koruptor yang dilontarkan politisi Partai Demokrat –yang juga adalah Ketua DPR-RI– Marzuki Alie, menjelang akhir Juli ini, mirip dengan apa yang telah dijalankan di Thailand beberapa dekade lalu. Saat itu, Thailand termasuk juara korupsi di Asia Tenggara dan mungkin juga di Asia, antara lain bersama Vietnam (Selatan). Korupsi yang begitu meluas membuat berang mahasiswa Thailand, dan suatu saat di pertengahan 1960an, mereka menghadap raja Thailand Bhumibol Aduljadej, menyampaikan tuntutan agar semua koruptor dihukum mati. Setengah berseloroh, Raja Siam itu menjawab, kalau “kita memecahkan masalah korupsi dengan hukuman mati, maka Thailand akan tinggal berpenghuni sedikit orang saja”. Seloroh ini memantulkan suatu tingkat keadaan yang serius dengan konotasi yang amat buruk, yaitu bahwa korupsi dan para pelakunya ada dalam posisi hegemonik.

Bukan usulan mahasiswa untuk menghukum mati para koruptor yang kemudian dituruti penguasa Thailand. Tercatat bahwa setelah itu, khususnya pada akhir dekade 1960an dan dekade 1970an, ada kebijakan pemutihan bagi dana hasil korupsi, sepanjang dana itu diinvestasikan di dalam negeri, di sektor industri ataupun usaha-usaha ekonomi strategis lainnya. Muncul kelompok-kelompok kaya yang berperanan besar dalam ekonomi Thailand, yang sebagian terbesar adalah keluarga dengan investasi dana yang asal-usulnya dari perbuatan korupsi masa lampau. Dan pada waktu yang sama terus terjadi korupsi-korupsi baru dengan pelaku-pelaku baru dari kalangan penguasa ‘baru’ yang silih berganti.

Keadaan Indonesia sekarang, mungkin mirip-mirip. Kita bisa mencatat kehadiran dan peran para pelaku ekonomil generasi kedua, yang memperoleh kekuatan uang yang bersumber dari korupsi para orang tua mereka yang menjadi bagian dari kekuasaan dan atau mewarisi usaha orang tua mereka yang dulu adalah pengusaha yang menikmati keuntungan-keuntungan besar karena kedekatan konspiratif dengan kalangan kekuasaan. Ada pula turunan ex pejabat yang bisa terjun dan berhasil masuk ke dalam kekuasaan eksekutif maupun legislatif, bermodalkan ‘warisan’ nama dan kekayaan orang tua yang sangat berguna dalam kehidupan politik masa kini yang berbasis money politic. Tak kurang banyaknya, muncul pula pelaku-pelaku baru yang masuk ke dalam ‘sistem’, memanfaatkan sistem, lalu ikut berkuasa dan menjadi kaya raya.

Korupsi pasca Soeharto begitu meluas, tak kalah hebat dengan masa Soeharto sendiri, sehingga tak ada institusi negara, institusi politik dan bahkan institusi sosial yang tak ikut menghasilkan koruptor. Tak ada profesi yang bebas dari perilaku korupsi. Para penegak hukum yang tadinya diharapkan akan memberantas korupsi –hakim, jaksa, polisi dan pengacara– untuk sebagian bahkan telah menjadi bagian dari korupsi itu sendiri, baik sebagai pelaku langsung maupun sebagai pemungut rente dari para koruptor. Sejumlah pengacara misalnya, menjadi begitu kaya dan bergelimang kemewahan, sejak munculnya tersangka-tersangka korupsi berskala besar-besaran. Korupsi dilakukan secara berjamaah –di salah satu daerah, seluruh anggota DPRDnya menjadi tersangka korupsi/gratifikasi tanpa kecuali– dan sudah terorganisir dalam jaringan-jaringan yang kuat. Bila sebagian saja dari apa yang diungkapkan ex Bendahara Partai Demokrat Nazaruddin, mengandung kebenaran, sungguh mengerikan. Terlepas dari penilaian bahwa sebelum ini Nazaruddin banyak bohongnya, hal-hal yang diungkapkannya dari tempat persembunyiannya untuk sebagian bagaimanapun telah mengkonfirmasi pengetahuan publik selama ini. Apalagi, sanggahan-sanggahan reaktif yang dilakukan terhadap Nazaruddin, serba tidak meyakinkan.

Tergambarkan betapa sejumlah eksplorasi dana di negara ini berlangsung sistemik, terorganisir dan terkait erat dengan pengelolaan politik dan kekuasaan. Dan ada indikasi kuat bahwa pola itu tak hanya berlaku dalam tubuh Partai Demokrat. Coba tunjukkan, partai besar mana saat ini yang tak punya cerita skandal, entah skandal uang/korupsi, entah perilaku asusila, entah persekongkolan busuk lainnya yang sarat manipulasi demi kursi kekuasaan di berbagai lini kehidupan bernegara. Partai Golkar, PKS, PAN, PPP, PKB, Hanura, Gerindra, apapula konon Partai Demokrat yang dalam 7 tahun menjadi partai tambun?

Begitu massive dan kuatnya jaringan koruptor itu –yang untuk sebagian sudah terkait dengan kepentingan dana politik– sehingga sanggup mematah-matahkan dengan berbagai cara barangsiapa yang mencoba memberantas korupsi. KPK sebagai lembaga extra ordinary yang dibentuk saat kepercayaan kepada para penegak hukum di berbagai lembaga ordinary (konvensional) telah merosot, kini seakan berhasil digoyang, baik melalui upaya-upaya kriminalisasi maupun perangkap suap dan atau karena ada perorangan KPK yang memang telah bobol pertahanan moralnya.

Betapapun kita membela KPK –sebagai lembaga yang dengan kategori the bad among the worst, atau setidaknya sebagai lesser evil– kita keliru bila bersikap tutup mata tutup telinga. Justru publik harus peka, mendorongkan suatu pengusutan segera, justru untuk melindungi lembaga super body yang menjadi tumpuan harapan terakhir dalam pemberantasan korupsi itu. Dan tentu saja, yang paling penting, menolak setiap upaya pembubaran, apalagi dengan cara berdasarkan gagasan Marzuki Alie yang beraroma aneh. Seakan melanjutkan umpan bola dari Mohammad Nazaruddin, Marzuki menggagas untuk membubarkan saja KPK ‘bila’ sudah tak ada lagi tokoh yang punya kredibilitas untuk duduk di sana. Lalu sebagai tindak lanjutnya mengusulkan untuk bermaaf-maafan dengan para koruptor, dan mengajak mereka kembali ke Indonesia bersama uangnya, dan membuka lembaran baru. Tetapi lembaran baru apa yang bisa diharapkan? Para koruptor yang masih belum tertangkap dan terungkap kejahatannya, akan ikut terselamatkan, tanpa perlu mengembalikan dana hasil rampokannya. Suatu ‘pengampunan’ seperti itu, dengan sendirinya juga akan menghentikan pemberantasan korupsi untuk beberapa lama. Siapa-siapa saja yang akan terselamatkan? Dan apakah pada saat yang sama perbuatan korupsi juga akan berhenti? Perlu dibahas dan dianalisa lebih lanjut.

Tokoh Partai Demokrat bernama Marzuki Alie yang menjadi Ketua DPR-RI ini memang terkenal dengan suara-suara anehnya selama ini, semisal saat mengomentari bencana tsunami di Mentawai dengan menyalahkan kenapa penduduk berumah di tepi pantai. Tapi lebih dari itu, ia juga kerap membela orang-orang yang dituduh korupsi. Marzuki membela besan Presiden SBY, Aulia Pohan yang telah menjalani hukuman berdasarkan vonnis 3 tahun Pengadilan Tipikor, sebagai orang yang tidak bisa dianggap koruptor, karena tidak mencuri uang negara untuk kepentingan pribadi. Pers mengutip komentarnya bahwa Aulia Pohan hanya ikut melakukan kesalahan administratif bersama orang yang melakukan korupsi di Bank Indonesia. Sensitivitas dan sikap traumatik Marzuki Alie terhadap tuduhan korupsi mungkin lebih bisa dipahami bila mengingat bahwa ia adalah seorang mantan tersangka dalam suatu perkara korupsi 7 tahun lampau. Bolak-balik, saat menjadi Direksi PT Semen Baturaja ia diperiksa oleh Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan dalam kaitan kasus korupsi 600 milyar rupiah di BUMN itu. Ia mengatakan bahwa tuduhan itu merupakan bagian dari persaingan internal di tubuh BUMN tersebut. Pada saat-saat terakhir ia berhasil memperoleh SP3 sehingga lolos dalam pencalonan melalui partai Demokrat untuk Pemilihan Umum 2004 dan akhirnya melaju ke atas hingga kini menduduki kursi Ketua DPR-RI.

Berlanjut ke Bagian 2

Republik Korupsi

RANGKAIAN fakta empiris kebuntuan penuntasan kasus-kasus korupsi besar di Indonesia, dari waktu ke waktu, sesungguhnya telah mengukuhkan negeri ini sebagai suatu Republik Korupsi yang dikuasai oleh kelompok-kelompok korupsi. Karena korupsi belakangan ini makin melibatkan begitu banyak orang, dilakukan secara berjamaah, dan pada umumnya sulit untuk diungkap tuntas karena begitu luasnya persekongkolan yang bisa saling menutupi, maka jaringan korupsi seringkali dianalogikan dengan khewan laut bernama gurita.

Media massa seringkali menggunakan istilah menggurita bagi korupsi yang makin meluas, merambah ke mana-mana secara sistemik dan seringkali terorganisir. Peristiwa terbaru yang kuat beraroma korupsi, menyangkut mantan bendahara Partai Demokrat, dilukiskan sebagai “kasus Nazaruddin makin menggurita”, ketika makin banyak nama yang disebut-sebut keterlibatannya dalam kasus itu. Dr George Junus Adicondro, telah dua kali meminjam nama mahluk laut bertangan (tentakel) banyak ini, untuk dipakai sebagai judul dua bukunya: Membongkar Gurita Cikeas (2010) dan Cikeas Makin Menggurita (2011). Bila berukuran kecil, mahluk laut bertangan banyak itu, dikenal sebagai cumi-cumi yang merupakan santapan yang lezat di restoran sea food. Junus Adicondro yang melalui masa SMA di kota pantai Makassar sampai menjelang pertengahan tahun 1960-an, kemungkinan besar juga senang menyantap cumi-cumi yang lezat.

GURITA RAKSASA. “Sama dengan gurita raksasa yang sesungguhnya, ‘gurita korupsi’ pun amat perkasa. Selain makin rakus menghisap di berbagai medan rezeki, dengan tentakelnya yang banyak dan terorganisir, ‘gurita korupsi’ bahkan bisa memangsa lembaga-lembaga pemberantas korupsi, setidaknya membuatnya lemas tak berdaya”. (Source: download).

Saat menyelamatkan diri dari lawan, cumi-cumi maupun gurita kecil akan menyemprotkan ‘tinta’ sebagai kamuflase. Tapi bila berukuran besar, ia berbalik ditakuti mahluk laut lainnya, bahkan dihindari oleh para nelayan, dan disebut sebagai gurita atau octopus. Ada beberapa jenis di antaranya yang ukurannya amat besar dengan kemampuan dahsyat meringkus mangsa dengan belitan tentakelnya yang terkoordinasi, sebelum dihisap sebagai santapan. Sama dengan gurita raksasa yang sesungguhnya, ‘gurita korupsi’ pun amat perkasa. Selain makin rakus menghisap di berbagai medan rezeki, dengan tentakelnya yang banyak dan terorganisir, ‘gurita korupsi’ bahkan bisa memangsa lembaga-lembaga pemberantas korupsi, setidaknya membuatnya lemas tak berdaya. Tak pernah ada whistle blower yang bisa selamat menunaikan niat membuka kasus atau pertobatan, melainkan sang pengganggu itulah yang lebih dulu dijerat dan dimasukkan kerangkeng. Para penegak hukum yang masih punya integritas, dibujuk untuk tutup mata, dan bila masih tak mempan rayuan, akan dikriminalisasi sampai tersudut.

Ada beberapa contoh bisa diberikan untuk memperlihatkan kekuatan persekongkolan pelaku korupsi dan kejahatan keuangan lainnya. Komjen Polisi Susno Duadji yang berani mengungkap borok di institusinya, lebih dulu masuk penjara melalui rekayasa dengan mengungkit dosa-dosa lamanya. Antasari Azhar, yang sebagai Ketua KPK diperkirakan mengetahui sejumlah dosa politik masa pemilu dan kejahatan keuangan kalangan kekuasaan, kini mendekam dalam penjara melalui tuduhan kasus pembunuhan Nasruddin Zulkarnain yang diskenariokan berlatar belakang cinta segitiga dengan perempuan muda bernama Rani. Ironisnya, itu justru terjadi setelah Antasari mengadukan nasibnya kepada Kapolri Bambang Hendarso Danuri. Kalau begitu, ‘bodoh’ betul jaksa senior ini, setelah melaporkan kepada Kepala Polri tentang teror SMS Nasruddin, malah kemudian memerintahkan ‘pembunuhan’ Nasruddin. ‘Gugatan’ Jusuf Supendi dari PKS yang mengungkap cerita permainan dana politik para petinggi partainya yang muda-muda, terkait pencalonan Adang Daradjatun sebagai Gubernur DKI, tak terdengar kelanjutannya lagi. Bahkan kasus Gayus Tambunan tampaknya cenderung kembali ke posisi fenomena gunung es mafia perpajakan. Kasus rekening gendut perwira tinggi Polri ditamatkan melalui alasan akan terjadi pelanggaran undang-undang bila data rekening tersebut diungkap kepada publik.

ADAPUN Cikeas –yang disebut makin menggurita– sebenarnya hanyalah nama sebuah tempat di Kabupaten Bogor, terletak antara Jakarta dan kota Bogor, namun menjadi masyhur karena dipilih Jenderal Purnawirawan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai tempat membangun kediaman pribadinya yang luas di atas area yang juga luas. Seperti halnya almarhum Presiden Soeharto, Susilo Bambang Yudhoyono juga memilih untuk tidak berkediaman di Istana Merdeka. Setelah menjadi Presiden, Soeharto membeli sejumlah rumah di Jalan Cendana untuk diri maupun anak-anaknya. Menyusul, dibeli pula beberapa rumah di Jalan Jusuf Adiwinata persis di belakang jalan Cendana –antara lain rumah milik Siti Hardianti Rukmana dan Hutomo Mandala Putera– sehingga rumah-rumah itu saling memunggungi dan mudah untuk saling mengunjungi lewat jalan belakang. Dua di antara rumah-rumah di Jalan Cendana digabung menjadi satu untuk kediaman Soeharto dan Siti Suhartinah Soeharto, dan sering disebut sebagai Istana Cendana. Sementara itu, rumah SBY di Puri Cikeas, belum sampai disebut Istana Cikeas. Tapi nama Puri Cikeas itu sendiri, kebetulan mirip-mirip dengan penamaan bagi sebuah istana.

Nama dan terminologi Cikeas maupun Gurita, pada hakekatnya merupakan pengertian yang berdiri sendiri. Tetapi ketika kedua nama itu digabungkan dalam serangkaian tuduhan, tersirat pengertian baru yang terkait korupsi kalangan kekuasaan negara dan politik. Tuduhan adanya korupsi dan penyimpangan oleh kalangan kekuasaan, tercipta melalui terungkapnya sejumlah kasus, dan menciptakan kesimpulan tersendiri dalam opini publik. Ketika dua koran Australia, The Age dan Herald, menurunkan tulisan tentang korupsi rezim Susilo Bambang Yudhoyono, yang dijawab dengan bantahan yang tak meyakinkan, kesimpulan publik tentang kekuasaan yang korup, makin terkonfirmasi. Mencuatnya berbagai kasus belakangan ini, yang melibatkan mantan bendahara Partai Demokrat dan merembet sejumlah nama petinggi Partai Demokrat dan petinggi pemerintahan, disusul keterlibatan kader Partai Demokrat Andi Nurpati dalam dugaan serangkaian kecurangan Pemilu, menjadi konfirmasi terbaru tentang kotornya rezim kekuasaan saat ini. Bukan hanya korup, tapi kemungkinan besar memenangkan pemilihan umum legislatif maupun pemilihan umum presiden melalui kecurangan.

Dengan kesimpulan seperti itu, banyak pihak yang sampai kepada kesimpulan, bahwa rezim ini harus dihentikan sebelum betul-betul membangkrutkan negara. SBY dan Budiono sekaligus. Kenapa Budiono juga? Karena menurut arah pengungkapan terbaru kasus Bank Century, Budiono yang kala itu menjadi Gubernur BI, beserta sejumlah petinggi BI, sangat kuat keterlibatannya dalam pemberian bailout bank tersebut. Menteri Keuangan Sri Mulyani difaitaccompli dengan data artifisial sehingga menyetujui dana talangan yang kemudian dibengkakkan para petinggi BI, lalu di’pinjam’ sebagai dana politik. Tapi menurunkan paksa Presiden dan Wakil Presiden dengan cara inkonstitusional apalagi dengan anarki, hanya akan menciptakan masalah baru yang belum tentu mampu dipikul oleh bangsa ini. Tentara akan naik lagi mengulangi sejarah lampau, seperti dicemaskan Ikrar Nusa Bhakti dan sejumlah pengamat lainnya. Atau, bisa jadi kaum militan anarkis yang didukung oleh partai-partai politik oportunis yang akan naik. Sebaliknya, membiarkan rezim berlanjut hingga 2014, kemungkinan besar akan membuat bangsa dan negara ini betul-betul bangkrut seperti dikuatirkan Jenderal Purn. Sayidiman Suryohadiprojo. Beberapa unsur mahasiswa intra kampus yang tergabung dalam BEM –yang akan melakukan pertemuan nasional menjelang akhir Juli ini di Bandung– kelihatannya memiliki tawaran jalan tengah. Menganjurkan Susilo Bambang Yudhoyono mengajukan pengunduran diri, agar bisa disusun pemerintahan baru sesuai mekanisme yang terdapat dalam konstitusi. Bila tidak, mahasiswa akan mengajukan tuntutan agar SBY diadili untuk kesalahan-kesalahan yang telah terjadi selama ini yang bisa berlanjut dengan impeachment atau pemakzulan.

Namun terlepas dari itu semua, cara-cara konstitusional saat ini memiliki titik yang sangat lemah, yakni sistem kepartaian yang begitu buruk. Tak satupun partai politik saat ini bisa dipercaya. Partai-partai yang ada adalah partai-partai dengan para pemimpin yang opportunis. Tak ada partai yang betul-betul bersih dari permainan dana politik dan taktik politik kotor. Semua partai telah mengkontribusikan politisi-politisi korup. Mereka adalah bagian dari pembentuk gurita korupsi di dalam tubuh Republik Korupsi ini. Tolong disebutkan partai mana yang tokoh-tokohnya tak pernah bermasalah –besar atau kecil– hukum: PKS, PPP, PKB, PAN, Partai Golkar, PDIP ataupun Gerindra dan Hanura selain Partai Demokrat sendiri? Apakah penyelesaian-penyelesaian konstitusional bisa dipercayakan di tangan partai-partai yang tidak bersih ini? Kalaupun penyelesaian konstitusional terjadi, bagaimanapun diperlukan pengawalan yang kuat terhadap tindak-tanduk politik partai.

TAPI apapun yang akan terjadi, sikap kenegarawanan semua pihak, akan sangat menentukan keselamatan bangsa dan negara ini.

Manusia Indonesia: Terpuruk di Antara Super Human 2045?

DI TENGAH membayangnya ancaman krisis energi dan pangan secara global, sejumlah ilmuwan dan futurist Amerika Serikat, Raymond Kurzweil dan kawan-kawan, memperhitungkan bahwa fenomena super human akan mewujud di tahun 2045, sekitar 30 tahun lagi dari sekarang. Kurzweil selama ini telah membuktikan diri sebagai futuris yang memiliki akurasi tinggi. Dalam gambaran masa depan dari Kurzweil, kemajuan biotechnology dan nanotechnology, akan membawa manusia memasuki kemampuan merekayasa tubuhnya dan dunia sekitarnya, hingga tingkat molekul. Manusia akan mampu mengatur evolusi dirinya sendiri, genome (kumpulan gen manusia yang rumit) bisa di’tulis-ulang’ sehingga manusia bisa mencapai kualitas super human (Time, Februari 21, 2011).

Banyak bukti kemajuan teknologi yang memungkinkan itu semua. Manusia sedang mencoba dan akan segera bisa melakukan scanning terhadap kesadaran dan nuraninya lalu menambahkannya untuk melengkapi kecerdasan buatan melalui komputer. Pada gilirannya, kecerdasan buatan itu digunakan untuk membantu manusia makin menyempurnakan dirinya. Dengan kemajuan teknologi yang sangat terakselerasi itu, manusia akan cenderung menjadi bukan saja sekedar super human tetapi juga immortal.

KARENA tulisan ini tidak dimaksudkan sebagai suatu laporan ilmiah, maka fenomena super human itu tak akan dibahas lanjut dan rinci di sini. Kita hanya tertarik untuk melihat di mana posisi manusia Indonesia nanti di tahun 2045 itu atau setelahnya.

DIKEJAR PENDERITAAN EKONOMI. “Tak ada pemerintahan sepanjang sejarah Indonesia merdeka yang terbukti telah bersungguh-sungguh memenuhi amanat UUD untuk mencerdaskan bangsa, seiring sejalan dengan kegagalan menegakkan keadilan sosial dan ekonomi”. (Karikatur 1968, T. Sutanto)

Dengan menghitung potensi kuantitas manusia Indonesia –yang ada di posisi ke-4 dalam daftar negara dengan populasi tertinggi– dan sisa potensi kekayaan alamnya, lembaga survey internasional Goldman Sach memprediksi Indonesia akan berada dalam 10 besar negara dengan ekonomi termaju di tahun 2050 bersama China, India dan masih di atas Jepang maupun Korea Selatan dalam daftar itu. Suatu posisi yang optimistik, yang tentu saja mungkin tercapai bila Indonesia memiliki pengelola negara berkualitas dan sumber daya manusia yang secara kuantitatif besar sekaligus berkualitas. Tetapi sejauh yang tampak hingga menjelang pertengahan 2011 ini, justru persoalannya terletak pada kualitas pengelola negara dan sumber daya manusia tersebut yang samasekali jauh dari suatu gambaran ideal. Dan dengan itu mungkinkah Indonesia menjadi bagian dari kecerdasan dan kesempurnaan manusia 2045 dan atau menjadi bagian dari deretan 10 negara ekonomi termaju 2050 seperti yang diprediksi Goldman Sach?

INDONESIA seperti apakah, negara yang di dalamnya saat ini kita berada, dan menjadi bagian tak terpisahkan darinya sebagai suatu negara-bangsa?

Indonesia saat ini adalah negara dengan sistem dan struktur politik yang gagal, menjalankan sistem kepartaian yang buruk melanjutkan sejarah kepartaian yang sejak mula memang gagal dalam fungsi. Partai-partai di Indonesia adalah tempat berkumpulnya manusia hasil kegagalan rekrutmen yang semata-mata berhasrat memenuhi kepentingan dirinya saja, hanya berpikir tentang “apa yang bisa saya peroleh dari negara” dan tak pernah berpikir “apa yang bisa saya berikan bagi bangsa”. Partai-partai Indonesia telah membuktikan diri sepanjang sejarah Indonesia merdeka sebagai partai yang korup. Bergelimang dengan money politics, saat pemilihan umum legislatif atau pemilihan presiden. Menjadi pelaku jual beli atau sewa kendaraan politik dalam pemilihan kepala daerah, yang nilainya bisa mencapai 70 milyar rupiah atau lebih per partai. Sumber dana politik mereka dengan angka serba tinggi, tidak pernah jelas sumbernya. Makin banyak mereka menempatkan kader dalam posisi kekuasaan pemerintahan dan legislatif, makin besar dana politik mereka. Dari mana, kalau bukan dari posisi kekuasaan itu? Coba sebutkan satu saja partai besar, yang tokoh-tokohnya tak pernah berurusan dengan kejahatan keuangan, suap dan yang semacamnya, bahkan kejahatan kemanusiaan, termasuk jejak mereka sebelum mereka masuk ke satu partai. Entah itu PKS, PAN, PPP, Golkar, PDIP, PKB, Gerindra, Hanura dan tak terkecuali Partai Demokrat, ataukah partai-partai yang sudah surut dalam pemilu terbaru seperti PBB dan lain-lain.

Korupsi telah menjadi way of life bagi sebagian besar pengelola negara –eksekutif, legislatif maupun judikatif– bahkan juga bagi sebagian kalangan yang disebut sebagai pemimpin massa, pemuka masyarakat maupun pemuka agama. Penegak hukumnya lebih bersemangat melindungi para koruptor ataupun pelaku kejahatan yang berduit daripada menindaki dan menghukumnya. Sebaliknya, nyaris tak mampu memberi keadilan dan perlindungan hukum bagi kalangan akar rumput. Seorang mantan Kapolri, Jenderal Polisi M. Hasan, sampai-sampai mencetuskan kejengkelan dengan menyebutkan betapa sebagian anak buahnya telah menjadi semacam ‘bandit berseragam’. Menhankam/Pangab Jenderal M. Jusuf pernah mengeritik seorang Kapolda dan seorang Pangdam yang sama-sama berkumis besar, sambil memukul-mukul perut mereka yang gendut dengan tongkat komando. “Bagaimana bisa gesit menjalankan tugas dengan perut seperti ini”, ujarnya, seraya mengeritik, jangan kumis saja yang besar tapi prestasi tidak ada. Waktu itu, wilayah komando keduanya, tercatat tinggi angka kriminalitasnya. Sekarang, yang gendut dan besar bukan hanya perut dan kumis, tetapi juga deposito atau rekening bank. Makanya ada istilah rekening gendut, yang kasusnya tak kunjung diungkap.

Para koruptor, pelaku suap-menyuap dan yang semacamnya, cukup nyaman di muka hukum. ‘Sulit’ diseret ke tangan hukum, bisa berkelit dengan berbagai cara dan akal. Tersedia banyak pengacara spesialis pembela korupsi yang gesit dan cerdik, maka sungguh banyak pengacara yang masuk deretan multi milyarder bahkan trilyuner, ketika sebagian hasil korupsi berpindah ke tangan mereka dalam bentuk honor tinggi. Tersedia pula banyak oknum penegak hukum yang bisa bekerjasama dalam skenario penyelamat koruptor. Kalau pun pelaku korupsi ‘terpaksa’ dihukum, vonnisnya ringan-ringan, itupun nantinya hanya akan dijalani duapertiganya karena adanya peraturan bebas bersyarat yang dilaksanakan dengan giat dan konsekuen. Belum puas, dalam rancangan yang dipersiapkan dalam perubahan RUU Tipikor saat ini, terdapat poin-poin yang akan menurunkan hukuman minimal dan mengurangi wewenang khusus badan pemberantasan korupsi. Tidak heran kalau akhirnya tercipta suatu kesimpulan bahwa koruptor memang lebih kuat dan lebih berkuasa dari penegak hukum, terlebih karena penegak hukumnya sendiri sudah terjangkiti virus korupsi, untuk tidak mengatakan bahwa kekuasaan negera itu sendiri telah dikuasai oleh kaum korup. Para pelaku yang berada dalam berbagai lini kekuasaan negara dan partai politik, saling menyandera karena sama-sama memiliki dosa. Mari berdoa, jangan sampai bocoran WikiLeaks yang disiarkan ke publik oleh The Age dan The Sydney Morning Herald, memang mengandung kebenaran.

Sementara permainan politik kotor dan korupsi merajalela di antara elite politik dan kekuasaan negara, di ranah publik para anarkis bebas melakukan aksinya. Dan tampaknya aparat keamanan dan ketertiban kita cenderung tak berdaya menghadapinya. Menteri-menteri yang harusnya menangani ormas-ormas yang melakukan kegiatan anarki, justru angkat tangan dan hanya bisa bilang, ormas itu tidak terdaftar di kementeriannya, jadi tidak bisa dibubarkan. Maka, para anarkis pun makin berani, bertindak dan berbicara seenaknya, sampai-sampai mengancam akan mengobarkan revolusi melawan pemerintahan SBY. Dan yang paling tidak sanggup dihadapi oleh pemerintah dan penegak hukum ialah anarkis yang mengatasnamakan agama. Tapi jangankan dalam kehidupan sosial-politik, dunia persepakbolaanpun kacau balau, di satu pihak ada yang ngotot melanggengkan posisinya dalam PSSI dengan menghalalkan berbagai cara dan fatalistik, di lain pihak ada yang sampai mengerahkan tentara ke tempat kongres. Kehadiran tentara ini dengan segera disambar dengan lahap oleh Nurdin Khalid.

Ke mana kita harus menoleh? Ke perguruan tinggi dan dunia pendidikan pada umumnya? Dunia pendidikan sudah lama gagal menghasilkan manusia terbaik melalui pencerdasan. Tak ada pemerintahan sepanjang sejarah Indonesia merdeka yang terbukti telah bersungguh-sungguh memenuhi amanat UUD untuk mencerdaskan bangsa, seiring sejalan dengan kegagalan menegakkan keadilan sosial dan ekonomi. Malah ada kecenderungan mencegah rakyat menjadi cerdas, karena lebih mudah, menurut mereka, untuk mengendalikan rakyat yang bodoh. Pada waktu yang sama, kecuali dalam retorika, biarkanlah rakyat terpuruk dalam kemiskinan serta kekufuran.

Sebenarnya logika yang Macchiavelis ini keliru. Namun ini tidak mengherankan karena proses rekrutmen untuk mengisi posisi-posisi penting dalam pengelolaan negara bukannya telah menempatkan mereka yang terbaik, tetapi the bad among the worst melalui pola otot dan penggunaan uang. Perguruan tinggi sementara itu, ternyata tak berhasil sepenuhnya menjadi centre of excellence, terbawa arus sesat yang terjadi di dunia politik dan kekuasaan, selain juga telah kemasukan virus korupsi. Hanya segelintir perguruan tinggi yang masih mampu menegakkan prestasi akademisnya dan masih sanggup menempatkan diri dalam deretan terhormat pada daftar perguruan tinggi berkualitas di dunia. Pemerintah sendiri tak pernah membuktikan diri menjadi penopang yang bersungguh-sungguh bagi berbagai penelitian ilmu pengetahuan. Research pengembangan nanotechnology misalnya, dilakukan berdasarkan inisiatif swasta.

APA yang bisa diharapkan? Sepuluh sampai limabelas tahun mendatang, dengan gambaran karakter dan perilaku manusia Indonesia seperti sekarang ini, situasi kemungkinan besar tetap takkan bisa berubah. Bahkan dua puluh sampai tigapuluh tahun lagi, juga belum tentu, sepanjang tak berhasil dilakukan perubahan mendasar sedini mungkin pada tahun-tahun mendatang ini. Beberapa kekeliruan Soekarno maupun Soeharto dalam beberapa bagian masa kekuasaan mereka, pun masih berbekas hingga kini. Kegagalan merubah sifat feodalistik, kegagalan menghadapi korupsi, keterlambatan membangun demokrasi secara baik dan benar, ketidaksungguhan dalam upaya mencerdaskan bangsa sejak dulu, sedang kita derita akibatnya sekarang. Sebagaimana kita sedang menderita akibat eksplorasi hutan yang ekstrim dan berbagai perusakan alam di masa lampau. Celakanya, rezim-rezim kekuasaan baru malah melanjutkan kekeliruan-kekeliruan itu dari waktu ke waktu, untuk tidak mengatakannya di sana-sini bahkan lebih memperkuatnya, sehingga kita menjadi bangsa yang makin terpuruk.

Jadi, apakah kita akan menjadi bagian dari era kualitas super human 2045 atau menjadi bangsa di deretan 10 besar negara termaju ekonominya di tahun 2050? Sulit untuk memikirkan, bahkan sekedar mengangankannya sekalipun. Kita telah terlanjur terpojok dalam suatu situasi fait-accompli untuk sekedar menghadapi dan mencoba mengatasi masalah-masalah kita dalam perspektif pemikiran jangka pendek, hari per hari. Futurustik menjadi mewah bagi kita per saat ini.