Tag Archives: Wisma Atlet

Anas Urbaningrum: Halusinasi dan Kreativitas Seorang Politisi

HAMPIR setahun lalu, melalui Blackberry Messenger dan media sosial lainnya di internet, beredar sebuah gambar adegan rekayasa, Anas Urbaningrum mencium tangan Nazaruddin seraya mohon maaf lahir batin. Meminjam istilah ‘terbaru’ yang digunakan politisi Partai Demokrat itu, sejauh ini adegan tersebut ternyata masih ber’status’ halusinasi. Lebaran berikut, tahun ini, sudah dekat, tapi mana mungkin Anas Urbaningrum tiba-tiba mengaku bersalah dan minta maaf. Bisa-bisa dia digiring ke Monas kan? Seusai diperiksa KPK pertengahan pekan ini (27 Juni), Anas ‘konsisten’ bersikeras mempertahankan diri menolak semua persangkaan yang ditujukan pada dirinya, khususnya dalam kasus Hambalang.

GAMBAR ‘HALUSINASI’ ANAS URBANINGRUM MINTA MAAF DI MEDIA SOSIAL. “Tak mengherankan, bila para politisi dan pejabat politik terseret kasus korupsi, kehebohannya menjadi luar biasa. Terjadi tarik ulur yang dahsyat, saat halusinasi tentang diri yang bersih, kesetiakawanan sempit dan upaya menutup jejak bercampur aduk dalam kreativitas membela diri. Pertarungan melebar sampai ke luar pagar proses hukum –di lembaga penegakan hukum dan peradilan– dan seringkali berubah menjadi pertarungan politik. Pertarungan ini seringkali melibatkan begitu banyak pihak, dari sesama partai, dari kubu-kubu pengacara yang bisa membawa pindah ‘proses’ peradilan ke ranah publik, dan mungkin juga sesama koruptor untuk menutupi keterlibatan masing-masing”.

Sewaktu menghadapi tudingan korupsi, Anas ‘kreatif’ menggunakan berbagai kata-kata dan kalimat tangkisan. Ketika mantan Bendahara Partai Demokrat, Nazaruddin, mulai menuding dirinya terlibat bahkan merencanakan kasus Hambalang, Anas menjawab, “Serupiah saja Anas korupsi, gantung Anas di Monas”. Selain sumpah gantung di Monas, waktu itu kepada KPK, Anas memberi nasihat, “Saya tegaskan, ya, KPK sebetulnya tidak perlu repot-repot mengurus soal Hambalang. Mengapa? Karena itu, kan, asalnya ocehan dan karangan yang tidak jelas. Ngapain repot-repot”. Namun bagi ahli psikologi politik Hamdi Muluk, jawaban Anas itu pun tak lebih nilainya dari sebuah ocehan. Janji siap digantung di Monas, dianggap tak beda dengan sumpah pocong Julia Perez.

Akan tetapi, rupanya gagasan ‘digantung di Monas’, bukan orisinal Anas. Teman separtainya, Ruhut Sitompul mengklaim soal gantung menggantung di Monas itu sebagai Continue reading Anas Urbaningrum: Halusinasi dan Kreativitas Seorang Politisi

Indonesia, Seluruh Setan Memang Ada di Sini….

TANPA kedatangan ‘utusan setan’ sekalipun, segala jenis setan memang sudah ada di negeri kita ini. Solid dan terkonsolidasi. Kalau ada yang meneriakkan tentang ‘utusan setan’, tak lain karena seperti maling, setan pun bisa menggunakan taktik ‘setan teriak setan’. Paling cerdik dan culas di antara segala setan yang gentayangan di negeri ini, adalah setan yang menjadi mahaguru ilmu korupsi. Para manusia yang menjadi murid-muridnya –dan telah bermutasi sebagai setan korupsi– telah ikut mengisi sejarah Indonesia merdeka selama 66 tahun lebih. Tentang ‘utusan setan’, sekedar sebagai intermezzo, baca juga sebuah tulisan lain di blog ini, 28 Mei 2012. (https://sociopolitica.wordpress.com/2012/05/28/lady-gaga-semua-setan-juga-sudah-ada-di-sini/).

WAJAH SANG SETAN. “Tapi memang, setan bisa berbisik di mana saja dan kepada siapa pun juga”. (Download: 123RF)

Tentu operasi setan tak hanya terjadi di Indonesia. Penulis perempuan dengan jam terbang lebih 30 tahun, Bethany McLean, dan kolumnis bisnis Joe Nocera, 2010 menulis buku “All The Devils Are Here” (Penguin Book). Seperti tercermin pada subjudulnya, buku itu membuka kedok sejumlah tokoh dan lembaga internasional yang telah membangkrutkan dunia, melalui skandal keuangan maupun kebijakan. Beberapa nama di antaranya, tidak asing, atau setidaknya diketahui pernah bersentuhan dengan Indonesia.

Namun, dengan atau tanpa persentuhan dengan luar pun, para pelaku korupsi di Indonesia sudah cukup dahsyat. Dan sewaktu-waktu bisa membangkrutkan keuangan negara, sekaligus membangkrutkan moral bangsa.

Bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi misalnya, bisa menjadi komoditi kejahatan. BBM bersubsidi diselundupkan ke beberapa negara sekitar yang harga jual BBM-nya lebih tinggi. Bukan rahasia bahwa ikan dan kekayaan laut Indonesia lainnya, selalu dijarah habis-habisan oleh nelayan negara tetangga yang terorganisir, karena kelemahan kebijakan kelautan maupun lemahnya pengawasan dari TNI-AL yang kapalnya kurang banyak. Mantan Menteri Kelautan Rokhmin Dahuri, mengutip data FAO tahun 2008, menyebutkan 1 juta ton Continue reading Indonesia, Seluruh Setan Memang Ada di Sini….

Pemberantasan Korupsi: Sudah Tiba di Batas Akhir Pengharapan (?)

PEMBERANTASAN korupsi, tampaknya sudah tiba di batas akhir pengharapan. Tak perlu lagi mengharapkan terlalu banyak pada rezim pemerintahan ini, mengenai penegakan hukum, khususnya dalam pemberantasan korupsi. Bahkan mungkin juga akan demikian, terhadap rezim yang akan datang, karena sepanjang yang bisa diamati di antara tokoh-tokoh yang disebutkan namanya saat ini sebagai kandidat presiden berikutnya, tak ada yang betul-betul bebas dari percikan lumpur korupsi masa lampau. Dan hanya keajaiban yang bisa membukakan jalan bagi tokoh-tokoh bersih masuk memimpin negara. Tapi itupun masih penuh tanda tanya, karena secara tradisional pengelolaan negara dan politik sejauh ini terlanjur penuh dengan manusia yang terbiasa dengan permainan kotor.

MACAN LESU. “KPK bukan hanya tak mampu menghadapi gempuran eksternal, tetapi juga dirundung berbagai masalah internal (kuantitatif maupun kualitatif) yang membuat dirinya lemah dan berjalan beringsut bagai macan uzur. Dan macan yang sebenarnya belum terlalu tua tapi sudah berperilaku uzur ini hanya mampu menerkam ternak kampung, tidak bisa mengejar khewan-khewan korupsi yang gesit dan kuat berkelompok”. (download koprol.com)

Dua keputusan terakhir Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, terhadap Muhammad Nazaruddin dan Nunun Nurbaiti, memperlihatkan indikasi betapa kuatnya usaha melokalisir perkara korupsi agar tidak bisa merambah seluas-luasnya ke pelaku-pelaku kejahatan yang lebih di atas. Majelis Hakim perkara Nazaruddin, merasa perlu membuat pagar pengaman bagi Anas Urbaningrum, meskipun namanya disebut-sebut oleh begitu banyak saksi. Sementara itu, Majelis Hakim perkara Nunun Nurbaiti, membatasi perkara menjadi masalah gratifikasi, bukan penyuapan yang ancaman hukumannya lebih tinggi. Para anggota DPR yang terlibat dan telah diadili sebelumnya –dengan hukuman yang serba ringan– agaknya secara bersama berhasil menyajikan kesaksian-kesaksian yang mematahkan tuduhan bahwa mereka disuap untuk memenangkan Miranda Swaray Goeltom dalam pemilihan DGS Bank Indonesia.

Tercatat bahwa sejak berdirinya KPK dan kemudian Pengadilan Tipikor, vonnis-vonis yang dijatuhkan kepada para terdakwa koruptor ringan-ringan saja, antara 1 tahun 3 bulan sampai 3 tahun. Rata-ratanya Cuma 2 tahun 6 bulan. Tetapi sekali-kali ada juga yang sedikit lebih tinggi, 4 sampai 5 tahun, sehingga malah menimbulkan ‘keheranan’ apa ada yang salah dalam negosiasi?

Secara menyeluruh, dalam ruang dan waktu yang sama, kita melihat betapa KPK yang sangat diharapkan masyarakat sebagai benteng terakhir pemberantasan korupsi, ternyata begitu kedodoran. KPK bukan hanya tak mampu menghadapi gempuran eksternal, tetapi juga dirundung berbagai masalah internal (kuantitatif maupun kualitatif) yang membuat dirinya lemah dan berjalan beringsut bagai macan uzur. Continue reading Pemberantasan Korupsi: Sudah Tiba di Batas Akhir Pengharapan (?)

Nazaruddin-Anas Urbaningrum, 10 Tahun

ADEGAN pada foto plesetan ilustrasi tulisan ini –yang memperlihatkan Anas Urbaningrum memohon maaf lahir batin kepada Muhammad Nazaruddin pada lebaran yang lalu– takkan pernah terjadi dalam waktu dekat ini, entah pada satu waktu nanti. Faktanya, saat ini Anas dan Nazaruddin memasuki fase tuding menuding. Nazaruddin siap sumpah pocong untuk kebenaran tuduhannya mengenai keterlibatan Anas dalam kasus Wisma Atlet dan Proyek Hambalang, serta politik uang dalam memenangkan kursi Ketua Umum dalam Kongres Partai Demokrat yang lalu di Bandung. Sebaliknya, Anas menuduh mantan bendahara partainya itu mengoceh dan memfitnah, dan siap digantung di Monas bila terbukti dirinya korupsi serupiah saja dalam kasus Hambalang.

ANAS URBANINGRUM DAN MUHAMMAD NAZARUDDIN. Dulu, gambar plesetan ini beredar di dunia maya, terutama melalui BBM. Diberi teks “Akhirnya Anas mengakui kesalahannya”. Tapi peristiwa ini “takkan pernah terjadi dalam waktu dekat ini, entah pada satu waktu nanti. Faktanya, saat ini Anas dan Nazaruddin memasuki fase tuding menuding”. Ada yang siap digantung di Monas, ada yang berani sumpah pocong.

Kasus Nazaruddin ini bisa saja secara sistematis selesai dalam tempo tertentu, saat Nazaruddin dihukum dan setelah itu ‘ditutup’ terus jalan lanjutan proses hukumnya seperti yang terjadi dalam kasus Antasari Azhar. Tetapi bisa juga menggelinding terus menumbangkan satu persatu tokoh-tokoh yang namanya muncul dalam rangkaian kasus korupsi yang pintu masuknya terbuka melalui ‘ocehan’ Nazaruddin, bilamana publik mampu mengawal proses. Hanya saja, ini butuh waktu.

Karena begitu banyaknya nama yang disebut terlibat, menurut salah seorang Wakil Ketua KPK, Bambang Widjojanto, “mungkin perlu waktu 10 tahun untuk menyelesaikan semua kasusnya”. Angka 10 tahun ini bisa masuk akal, bukan semata karena kuantita tokoh yang disebut-sebut namanya, melainkan juga karena kualita tertentu dari kasus-kasus ini maupun ‘kualitas’ posisi dari tokoh-tokoh tersebut dalam kekuasaan sehingga mempunyai kemampuan menghadang, bahkan memporak-porandakan KPK.

Sepanjang yang bisa diikuti dari jalannya pengungkapan yang tersajikan sejauh ini, terlihat bahwa korupsi-korupsi yang dilakukan belakangan ini jauh lebih sistemik dari korupsi gaya lama. Dulu, para koruptor ‘merampok’ dari proyek-proyek pembangunan berjalan, sementara korupsi-korupsi terbaru saat ini, proyek yang akan ‘dirampok’ itu sudah lebih dulu dirancang lalu dimasukkan ke dalam APBN maupun khususnya APBN-P. Dulu, di masa Soeharto, para pelaku korupsi besar ‘dibatasi’ kuantitanya, sementara pelaku serabutan tak henti-hentinya ditindak dan dibasmi, antara lain melalui Opstib di bawah Laksamana Soedomo.

Kala itu kelompok politik utama pendukung kekuasaan, tak perlu melakukan improvisasi pencarian dana, karena Dewan Pembina telah memenuhi kebutuhan dana sepenuhnya. Kini, kuantitatif lebih massal dan atau berjamaah. Kualitatif, partai-partai yang mendapat distribusi kekuasaan dan peran dalam pemerintahan, menjadi pusat penghimpunan dana politik, yang dengan sendirinya koruptif. Dan secara menyeluruh, korupsi terjadi di segala lini dan tingkat, dari pusat hingga daerah dalam berbagai bentuk dan improvisasi.

Bagaimana dengan kasus-kasus yang muncul karena pengungkapan-pengungkapan Nazaruddin? Melihat begitu luasnya perambahan kasus-kasus tersebut, yang terjadi di lintas kementerian, dan sejauh ini disebutkan bukan hanya dengan pelaku-pelaku dari kalangan Partai Demokrat, melainkan lintas partai, memang mustahil kalau hanya Nazaruddin sendirian yang melakukannya. Mesti ada kekuasaan dan kekuatan besar berada di belakang mantan bendahara Partai Demokrat itu, sehingga ia bisa begitu perkasa ‘merebut’ proyek-proyek triliunan rupiah.

Sepuluh tahun? Masuk akal. Hanya saja, terlalu lama. Persoalannya dua tiga tahun lagi penyakit korupsi –bukan hanya yang seputar Nazaruddin– akan makin membesar daya rusaknya, akan makin berat dalam 5 tahun dan mungkin dalam 10 tahun sudah berhasil ‘membubarkan’ republik ini. Entah karena bangkrut, entah karena diinterupsi revolusi sosial yang kemungkinan besar kalap, kacau dan anarkis.

Pemberantasan Korupsi: Kisah Jalan Beringsut KPK dan Panglima Pemberantasan Korupsi di Garis Belakang (2)

MESKIPUN KPK telah dibekali melalui undang-undang berbagai kelengkapan yang bisa membuatnya sebagai suatu superbody, hingga sejauh ini lembaga tersebut belum cukup membuktikan diri sebagai pemberantas korupsi nomor wahid. Tubuhnya masih dilekati berbagai penyakit dan sindrom yang secara tradisional diidap oleh lembaga penegakan hukum lainnya, kepolisian maupun kejaksaaan. Masih sulit untuk menghindari kesan bahwa KPK yang sebenarnya menjadi tumpuan harapan terakhir masyarakat per saat ini, juga masih pilih-pilih tebu dalam penanganan perkara korupsi. Keberanian? Sikap pilih-pilih tebu pastilah akibat keberanian yang kurang, bukan terutama terkait sikap ingin cermat. Kalau berani, KPK akan bersikap tidak pandang bulu.

Begitu menghadapi kasus-kasus yang diduga di belakangnya terlibat kelompok-kelompok yang sedang berkuasa –baik karena legitimasi konstitusionalnya maupun karena kekuatan dana– KPK masuk ke jalur lambat dan atau menghindar. Sebut saja, dalam kasus Bank Century, Rekening Gendut Perwira Polri, maupun babak lanjut penanganan tokoh-tokoh Partai Demokrat selain Nazaruddin dan Angelina Sondakh. KPK dalam pada itu tampaknya sungkan ikutan menangani tindak lanjut mafia perpajakan, episode pasca Gayus Tambunan, yang nyata-nyata adalah tergolong tindak pidana korupsi yang tak boleh tidak melibatkan petinggi Kementerian Keuangan dan kalangan pengusaha besar.

LUCKY LUKE, LEBIH CEPAT DARI BAYANGANNYA SENDIRI. “Bayangan pencitraannya boleh saja meloncat ke garis depan pemberantasan korupsi, tapi raganya tertinggal, terperangkap dalam selimut. Sehingga, selalu lebih lambat dari bayangannya sendiri. Tak seperti tokoh komik Lucky Luke, yang bergerak lebih cepat dari bayangannya sendiri,…..” (download).

Belakangan ini, dalam penanganan lanjut tokoh-tokoh Partai Demokrat, setelah Nazaruddin dan Angelina Sondakh, cukup terlihat tanda-tanda kebimbangan KPK. Meski nama Anas Urbaningrum misalnya sudah berulang-ulang disebut, KPK belum ‘bergerak’ meminta keterangan Ketua Umum Partai Demokrat itu sebagai saksi, apalagi menjadikannya tersangka. Apa ini ada hubungannya dengan semacam analisa dari pengamat sosial-politik Tjipta Lesmana bahwa Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat yang juga adalah Presiden RI, tak mau mengutik-utik Anas Urbaningrum karena Anas bisa menyeret nama SBY dan atau lingkarannya ke dalam kasus? Analisa seperti ini bisa muncul, dan masuk akal, karena setiap mobilisasi dana yang dilakukan kader-kader partai hampir bisa dipastikan adalah bagian tak terpisahkan dari ‘politik dana’ partai itu sendiri. Partai manapun. Tak terkecuali Partai Demokrat yang paling kuat aksesnya kepada aliran dana negara, sebagai partai yang berkuasa. Lalu, pertanyaannya tentu, kenapa sikap KPK harus sejalan dan seirama dengan sang Pembina Partai Demokrat yang sekaligus adalah Presiden?

Dalam persidangan Tipikor dengan terdakwa Nazaruddin, saat Angelina Sondakh ditampilkan sebagai saksi, terungkap beberapa kejanggalan dalam proses BAP oleh penyidik KPK dan menimbulkan tanda tanya. Salah satunya adalah tidak di’kejar’nya oleh penyidik KPK –masih di zaman KPK kepemimpinan Busyro Muqoddas– mengenai (kepemilikan) salah satu Blackberry Angelina Sondakh dan atau salah satu PIN BB Angelina. Padahal, satu di antara bukti penting yang diajukan jaksa KPK dalam kasus Wisma Atlet ini adalah rekaman komunikasi BBM antara Mindo Rosalina dengan Angelina Sondakh. Beberapa nama penting –Anas Urbaningrum, I Wayan Koster, Mirwan Amir, Mahyudin, Menpora dan Angelina Sondakh sendiri– serta gambaran tentang aliran dana ada dalam rekaman komunikasi BBM tersebut. Mungkin rekaman yang dibantah habis oleh Angelina Sondakh, adalah rekaman dari BB yang ‘hilang’ di BAP itu, bukan dalam BB yang menurut Angelina Sondakh baru dimilikinya sejak akhir 2010. Bila bukti rekaman ini bisa dipatahkan, terbuka kemungkinan banyak yang akan selamat dari kasus Wisma Atlet, termasuk Angelina dan Nazaruddin sendiri.

SEMENTARA itu, dalam kaitan kasus Bank Century, terlihat jelas masih berbeda-bedanya sikap dan keyakinan di antara pimpinan KPK yang baru. Dalam rapat kerja dengan Tim Pengawas Kasus Bank Century DPR-RI (15/2), Ketua KPK Abraham Samad memastikan KPK akan menyelesaikan kasus tersebut pada tahun 2012 ini juga. Tapi Wakil Ketua Zulkarnaen, mengingatkan agar jangan menggunakan kata ‘memastikan’ melainkan ‘menjanjikan’. Sedang Busyro Muqoddas menegaskan “belum dapat memastikan” kapan kasus Bank Century bisa dituntaskan. Bambang Widjojanto juga ikut mengakui, sulit dipastikan waktu penyelesaian kasus tersebut. Bambang Widjojanto lebih lanjut mengungkapkan telah memutuskan tidak mengambil suara dalam kasus Bank Century, karena “pernah menjadi penasehat Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang juga berperan dalam kasus Bank Century” (Kompas, 16/2).

Kasus Bank Century merupakan suatu kasus besar yang pengungkapannya sangat diharapkan publik. Dalam kasus itu mengambang cerita belakang layar tentang penyalahgunaan besar-besaran dana negara untuk kepentingan politik dalam kaitan Pemilihan Umum Presiden-Wakil Presiden tahun 2009. Setelah ‘terbiasa’ dengan angka-angka perolehan suara kecil dalam berbagai pemilihan masa reformasi, untuk pertama kalinya tercetak kembali satu perolehan angka suara besar yang hampir menyamai angka-angka perolehan kalangan penguasa di masa Orde Baru, yang tembus di atas 60 persen. Angka spektakuler ini diraih pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Budiono dalam Pilpres 2009.

LUCKY LUKE. “…..meskipun di waktu senggang ia suka bersantai main catur dengan Jolly Jumper kudanya”. (download)

Aktivis Petisi 50 di masa Soeharto, Chris Siner Keytimu, mengeritik sikap Bambang Widjojanto dalam kasus Bank Century ini. “Saudara Bambang Widjojanto sebagai Wakil Ketua KPK dalam menjalankan tugasnya harus mewakili hati nurani, akal sehat dan kehendak baik”. Aneh, kalau dalam kasus Bank Century ia menyatakan tak ambil suara. Itu berarti, tidak bersikap. “Mengapa tidak mundur sekalian dari KPK?”, kata Chris. Bambang Widjojanto menjawab Chris melalui SMS, “saya setuju nasihat dan kritik yang bernas dan dan cerdas dalam konteks saling asih, asuh dan asah dari siapapun”. Apalagi jika nasehat didasarkan atas pemahaman yang utuh atas pokok soal. “Saya terlibat conflict of interest karena kantor lawyer di mana saya bergabung pernah menjadi legal adviser LPS. Saya sudah deklarasikan potensi conflict of interest itu dalam Rapim dan sebagai konsekuensinya saya tidak bisa vote kendati tetap mendorong proses. Doakan kami agar terus meletakkan hati nurani, akal sehat, dan kehendak baik dalam bersikap dan berperilaku. Tetap professional dan akuntabel serta mencari ridho Allah dalam bekerja”.

Apakah kisah jalan beringsut KPK dalam pemberantasan korupsi ini, memiliki tali temali dengan tokoh Susilo Bambang Yudhoyono, pendiri dan ‘pemilik’ Partai Demokrat? Suka atau tidak suka, dengan berbagai keterlibatan kader-kader Partai Demokrat dalam berbagai kasus korupsi di daerah hingga tingkat pusat, timbul anggapan kuat bahwa partai tersebut adalah partainya kaum korup. Meskipun, harus diakui, pada dasarnya, seluruh partai yang ada, besar atau kecil, bagaimanapun juga punya keterlibatan dengan korupsi serta berbagai manipulasi keuangan lainnya dalam lumpur money politic. Adakah satu saja di antara sembilan partai yang eksis di DPR saat ini, yang bisa memproklamirkan diri bersih dari korupsi dan manipulasi uang? Bahkan Fraksi ABRI yang sudah almarhum pun tercatat namanya dalam khazanah korupsi dan suap menyuap politik. Setiap partai punya perkara. Barangkali, partai-partai ‘baru’ yang akan tampil di arena pemilihan umum mendatang, cukup dengan mengamati para inisiatornya, sembilan dari sepuluh akan menjalani lakon yang sama. Dengan persyaratan berat yang diterapkan untuk mendirikan partai baru (atau merger) dan untuk bisa menjadi peserta pemilihan umum, diperlukan biaya yang sangat besar. Dari mana sumber dananya?

Dengan keadaannya sekarang, sebagai pembina partai, Susilo Bambang Yudhoyono, seakan tidur satu selimut dengan para kriminal keuangan politik di dalam partainya itu. Padahal, SBY pernah mendaulat akan berada di garis depan dalam pemberantasan korupsi. Sejauh yang tampak, berdasarkan sikap dan tindakan faktualnya selama ini, tak pernah SBY berada di garis depan. Bayangan pencitraannya boleh saja meloncat ke garis depan pemberantasan korupsi, tapi raganya tertinggal, terperangkap dalam selimut. Sehingga, selalu lebih lambat dari bayangannya sendiri. Tak seperti tokoh komik Lucky Luke, yang bergerak lebih cepat dari bayangannya sendiri, meskipun di waktu senggang ia suka bersantai main catur dengan Jolly Jumper kudanya. Sebagai Presiden memang ia tak boleh mencampuri suatu proses peradilan, tetapi sebagai atasan para penegak hukum, yakni kepolisian dan kejaksaan, ia bisa memacu dan bila perlu melecut aparat di bawah kewenangannya itu untuk menjalankan tugas pemberantasan korupsi.

Apakah untuk fenomena kelambatan dan kisah panglima pemberantasan korupsi yang tertinggal di garis belakang ini, diperlukan analisis dan penelusuran lanjut terhadap apa yang dinyatakan Tjipta Lesmana?

Partai Demokrat (dan Partai Lainnya) di Kancah Korupsi

MESKIPUN menurut persepsi masyarakat saat ini seluruh partai politik, besar atau kecil, terlibat korupsi demi membiayai sepak terjang politiknya masing-masing dalam konteks persaingan kekuasaan, tak bisa dihindari bahwa Partai Demokrat lah yang berada pada fokus utama sorotan. Terutama sejak terungkapnya kasus korupsi Wisma Atlet Palembang, yang pada mulanya hanya terkait dengan Muhammad Nazaruddin yang tak lain adalah Bendahara Umum DPP Partai Demokrat, namun kemudian melebar dengan penyebutan nama-nama baru yang untuk sebagian terbesar adalah tokoh-tokoh penting Partai Demokrat. Bertambah melebar lagi, ketika lebih jauh ada pengungkapan bahwa bukan hanya dalam kasus Wisma Atlet dana negara dikuras, tetapi juga dalam sejumlah kasus lain seperti proyek Hambalang dan berbagai proyek di Kementerian Pendidikan Nasional (kini, Pendidikan dan Kebudayaan), Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi serta di PLN. Angka-angka rupiah yang disebutkan dijarah, berskala besar-besaran. Selain penyebutan nama kader-kader partai politik lainnya, terbanyak disebut adalah kader atau tokoh-tokoh Partai Demokrat: Mulai dari Mirwan Amir dan Angelina Sondakh sampai Andi Mallarangeng dan Anas Urbaningrum yang adalah Ketua Umum Partai Demokrat.

HUKUM POTONG TANGAN BAGI PENCURI. “Maka, meminjam suatu humor politik, seandainya kaum fundamental suatu ketika berhasil memaksakan berlakunya hukum potong tangan bagi para pencuri, sebagian besar tokoh partai dan anggota-anggota lembaga perwakilan rakyat, akan kehilangan tangan. Dalam sepuluh atau duapuluh tahun diperlukan industri tangan sintetis dalam skala besar-besaran”. (foto download)

Dalam rentang waktu yang sama, pemberitaan pers pun diisi dengan berita korupsi dan permainan dana besar lainnya yang juga melibatkan Partai Demokrat maupun perorangan kadernya. Dalam kaitan kasus Bank Century misalnya, disebutkan bahwa pengelola media pendukung Partai Demokrat, Jurnal Indonesia, menurut catatan PPATK mendapat transfer dana besar berkategori mencurigakan. Beberapa kader Partai Demokrat yang duduk di lembaga legislatif maupun eksekutif, pun telah divonnis dalam berbagai kasus korupsi dengan besaran miliar hingga puluhan miliar, yakni Amrun Daulay, Agusrin M. Najamuddin, Ismunarso, As’ad Syam, Sarjan Tahir dan Djufri. Belum lagi yang diberitakan disangka melakukan perbuatan korupsi seperti Johnny Alen Marbun hingga yang masih didesas-desuskan seperti Ahmad Mubarok dan Sutan Bathugana.

Bagaimanapun, rentetan berita dan desas-desus itu, ditambah cerita bagi-bagi uang ke fungsionaris DPD-DPD dalam munas yang lalu di Bandung, telah menciptakan citra tersendiri yang kontra produktif. Betapa partai yang baru berusia dua musim pemilihan umum itu adalah sebuah partai yang selain berhasil membesar dengan cepat karena topangan dana hasil korupsi dalam kancah politik uang juga telah membudayakan korupsi di tubuhnya. Suatu citra yang bersifat saling mematikan dengan apa yang ingin dicapai melalui politik pencitraan selama ini. Resultantenya, adalah politik pencitraan yang dijalankan selama ini tak lebih dari politik gelembung kebohongan.

SOROTAN yang tak kalah tajamnya juga terarah kepada Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono, yang juga adalah Presiden Republik Indonesia. Sebagai Ketua Dewan Pembina ia dianggap tak berhasil membawa partainya menjadi partai harapan, untuk tidak sebaliknya mengatakan menjadi partai korupsi. Sedang sebagai Presiden RI iapun dianggap gagal menjalankan kepemimpinan dengan baik. Tentang SBY sebagai Presiden, kita bisa meminjam pandangan kritis dan sangat tajam Chris Siner Keytimu –aktivis gerakan anti Soeharto Petisi 50– yang sudah tiba pada kesimpulan bahwa sepanjang menyangkut kepemimpinan SBY tak ada lagi yang bisa diharapkan.

Pergantian Presiden seharusnya terjadi setiap 5 tahun menurut ketentuan Konstitusi Negara/ UUD 1945. “Keharusan ini memang perlu dipelihara”, kata Chris Siner. “Namun jika Presiden sendiri tidak mampu memelihara keharusan ini, dengan membiarkan demoralisasi dan anomali di berbagai bidang kehidupan bangsa dan negara, maka keharusan ini secara moral tidak berlaku”. Secara moral, bangsa dan negara harus diselamatkan, dan keharusan normal/konstitusional pergantian Presiden setiap 5 tahun tidak berlaku, karena harus tunduk pada keharusan moral tersebut. Bangsa dan negara harus diselamatkan. Untuk itu, perubahan adalah “conditio sine qua non”. Bila berharap bahwa perubahan akan terjadi mulai dari ‘mind set’, sikap mental dan karakter kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudoyono, mustahillah itu bisa terjadi dalam 2-3 tahun yang akan datang. Reshuffle yang lalu adalah sia-sia, hanyalah mengalihkan masalah dan menambah kepalsuan dan kebohongan. Kalau SBY mau berjasa, kata Chris Siner, nyatakan pengunduran diri dari jabatan Presiden karena tidak mampu (secara kepemimpinan) dan tidak patut (secara moral) lagi menyelenggarakan negara dan kekuasaan pemerintahan. “Jalan lain, rakyatlah yang memundurkan”. Jika kapten/nakhoda kapal Republik sudah mengalami disorientasi dan demoralisasi, maka yang harus diganti bukan pembantu/awak kapal, tapi nakhodanya. Reshuffle kabinet yang baru lalu ternyata tidak menyelamatkan, hanya menunda karam ataupun tenggelamnya kapal Republik.

PARTAI-PARTAI politik lainnya, meski saat ini tak mendapat sorotan setajam Partai Demokrat, sebenarnya tak kalah buruknya dengan Partai Demokrat. Partai pendukung utama SBY ini mendapat sorotan extra large, tak lain karena partai itulah yang menjadi partai penguasa utama selama tujuh tahun terakhir ini. Mana ada partai politik yang tidak menghasilkan bintang berita korupsi saat ini? Baik yang sudah masuk dalam proses hukum maupun yang sudah terindikasi keterlibatan kadernya dalam berbagai korupsi di tingkat nasional maupun tingkat daerah. Ada yang ramai-ramai terlibat kasus cek pelawat dalam perkara Miranda Gultom-Nunun Nurbaeti, ada yang disebutkan keterlibatannya dalam permainan di Banggar DPR, maupun dalam kasus-kasus korupsi pada berbagai departemen atau kementerian. Semua partai, Partai Golkar, PDIP, PAN, PKB, PKS, PPP sampai Gerindra dan Hanura, punya cerita sendiri. Masalahnya mereka adalah partai-partai yang tersemai dan bermain di ladang politik uang. Maka, meminjam suatu humor politik, seandainya kaum fundamental suatu ketika berhasil memaksakan berlakunya hukum potong tangan bagi para pencuri, sebagian besar tokoh partai dan anggota-anggota lembaga perwakilan rakyat, akan kehilangan tangan. Dalam sepuluh atau duapuluh tahun diperlukan industri tangan sintetis dalam skala besar-besaran.

Dengan situasi kepartaian yang korup, menjadi pertanyaan, bisakah kita mempercayakan nasib selanjutnya kepada partai-partai itu dan tokoh-tokoh calon pemimpin negara yang mereka hasilkan? Satu-satunya ‘partai baru’, Nasdem, pun mungkin tak dapat dikecualikan. Partai tersebut, secara formal memang baru, tapi motor dan ‘kepemilikan’nya tetap saja bersumber pada ‘barang lama’ dengan gaya berpolitik yang tak berbeda jauh dengan gaya berpolitik kepartaian selama ini. Sementara itu, setidaknya dua calon ‘partai baru’ yang memperlihatkan potensi untuk berpolitik dengan sentuhan baru, telah dimatikan lebih dulu sebelum lahir melalui ranjau-ranjau berujud berbagai peraturan formal berbau konspiratif terhadap hak berserikat. Tetapi jangankan peluang bagi partai baru, partai-partai yang ada saat ini pun sedang mencoba saling bunuh melalui angka-angka electoral threshold dadakan, bukan angka yang sudah disepakati jauh-jauh hari supaya bebas dari perhitungan subjektif sesuai kepentingan jangka pendek.

Saat Nazaruddin ‘Menyentuh’ Presiden SBY

SETELAH bungkam sekian lama sejak berada di tangan KPK, seakan-akan menjalankan ‘moratorium’, Muhammad Nazaruddin kembali bersuara, berangsur-angsur pada pemeriksaan-pemeriksaan terakhir di KPK dan akhirnya diledakkan pada sidang Pengadilan Tipikor. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang dimulai 30 November 2011 ini menempatkan dirinya sebagai terdakwa kasus suap Wisma Atlet. Pada persidangan kedua, Rabu 7 Desember, Muhammad Nazaruddin mulai lebih jelas ‘menyentuh’ nama Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, Jenderal Purnawirawan Susilo Bambang Yudhoyono.

Pada hari-hari pelariannya ke berbagai negara, sebelum akhirnya tertangkap di Cartagena, Kolombia, Muhammad Nazaruddin banyak mengungkapkan informasi kasus korupsi dan nama tokoh –dari kalangan pemerintah maupun partai dan anggota DPR– yang terlibat. Beberapa di antara nama penting yang disebutnya adalah Anas Urbaningrum (Ketua Umum DPP Partai Demokrat), Angelina Sondakh dan Mirwan Amir (anggota-anggota DPR dari F-PD) serta I Wayan Koster (F-PDIP). Dan dalam kaitan bela-membela sang Bendahara Umum Partai Demokrat itu –yang kemudian berbalik arah menjadi keroyokan memojokkan Nazaruddin, setelah ia ini mulai ‘bernyanyi’ dalam pelariannya– muncul juga satu gerbong nama tokoh Partai Demokrat, mulai dari Ruhut Sitompul, Benny K. Harman, Saan Mustofa sampai Djafar Hafsah dan Sutan Bathugana.

POSTER PLESETAN NAZARUDDIN. “Lalu beredar melalui internet dan BB sebuah poster mirip poster film televisi, tentang lakon “Jangan ganggu isteri dan anakku”. Di situ ada gambar SBY, Anas Urbaningrum, Angelina Sondakh, OC Kaligis dan gambar Nazaruddin sendiri yang berpenampilan bak aktor film India. Di bawahnya, terdapat logo TV swasta milik Harry Tanusudibjo, RCTI. Judul “Jangan ganggu isteri dan anakku” agaknya mengacu kepada asumsi bahwa tokoh Indonesia-1 itu sangat sensitif akan hal-hal yang dikaitkan dengan keluarga, khususnya dengan isteri dan anaknya”.

Secara tidak langsung, setelah ikut berpendapat, nama putera Presiden SBY Ibas Edi Baskoro sebagai Sekjen Partai Demokrat akhirnya juga ikut terasosiasikan dan diarah. Lalu beredar melalui internet dan BB sebuah poster mirip poster film televisi, tentang lakon “Jangan ganggu isteri dan anakku”. Di situ ada gambar SBY, Anas Urbaningrum, Angelina Sondakh, OC Kaligis dan gambar Nazaruddin sendiri yang berpenampilan bak aktor film India. Di bawahnya, terdapat logo TV swasta milik Harry Tanusudibjo, RCTI. Judul “Jangan ganggu isteri dan anakku” agaknya mengacu kepada asumsi bahwa tokoh Indonesia-1 itu sangat sensitif akan hal-hal yang dikaitkan dengan keluarga, khususnya dengan isteri dan anaknya.

Mulanya, banyak juga yang terkecoh, menyangka poster ini iklan sebuah acara talkshow yang akan ditayangkan RCTI. Ternyata, hanya poster canda, dan seandainya para tokoh yang terkena ini sedang ‘kepala panas’, mereka bisa melakukan tuntutan hukum. Dimulai dengan mencari tahu siapa sumber dan pembuatnya. Untung bahwa di Indonesia tak berlaku undang-undang yang rohnya telah ‘ketinggalan zaman’, tentang kejahatan melanggar martabat raja atau penguasa –lese majeste (Perancis)atau laesa maiestas (Latin)– seperti halnya di Kerajaan Thailand dan beberapa negara monarki lainnya. Cukup dengan keterpelesetan kata, lisan maupun tulisan, yang bila ditafsirkan hakim telah melanggar martabat raja, hukumannya bisa mencapai 20 tahun penjara. Pertimbangannya bisa sangat subjektif. Padahal sebenarnya martabat seorang raja atau penguasa, terutama terletak pada kata-kata, sikap dan tindakannya sendiri dalam menjalankan kekuasaannya.

SEMULA sewaktu Nazaruddin memilih membungkam, sempat beredar dugaan telah terjadi kompromi khusus antara Nazaruddin dan OC Kaligis di satu pihak dengan kelompok-kelompok kekuasaan dan atau kelompok tokoh-tokoh Partai Demokrat pada pihak lainnya. Dengan kompromi, akan terjadi penyelesaian anti klimaks, ‘win-win’ solution di antara para the loser dalam rangkaian kasus-kasus korupsi politik ini. Satu saja gerbong dibiarkan ke luar rel, seluruh rangkaian bisa terseret anjlog bersama, lengkap dengan lokomotif atau hulu kereta. Kalau tali dibiarkan mendekat ke leher Anas Urbaningrum, masa ia akan diam-diam saja tanpa menyampaikan ‘kata-kata terakhir’? Begitu pula sebenarnya bila Angelina Sondakh dibiarkan mendekati tepi jurang tanpa pertolongan, masa tangannya takkan menggapai-gapai? Semua orang pada dasarnya takkan mau dikorbankan sendirian.

MAKA, menjadi menarik, bersamaan dengan OC Kaligis harus berbagi bersama sejumlah pengacara lainnya mendampingi Nazaruddin, kenapa Nazaruddin kembali dengan keras menyebut nama-nama mereka yang dulu disebutnya terlibat, bahkan bertambah? Seakan-akan terpaksa harus ada ‘negosiasi’ baru. Dalam pada itu, menarik pula, seperti yang diungkapkan Nazaruddin dan para pengacaranya, terungkap beberapa kejanggalan penanganan para penyidik KPK dalam kasus ini yang kemudian juga diikuti kejanggalan surat dakwan jaksa. Publik tak terlalu buta dan tuli untuk tidak merasakan adanya kejanggalan, sebagaimana publik juga bisa merasakan banyaknya perilaku ganjil yang diperlihatkan KPK akhir-akhir ini. Bukan hanya dalam kaitan kasus-kasus Nazaruddin, melainkan juga dalam kasus-kasus Bank Century, kasus Miranda Goeltom-Nunun Nurbaeti (tertangkap Jumat petang 9 Desember 2011 di Bangkok), Rekening Gendut Perwira Polri, kasus anggota DPR dari Partai Demokrat John Allen Marbun dan lain sebagainya. Belum lagi soal-soal internal KPK yang belum tuntas di mata publik.

Tak heran bila makin kuat keinginan agar pimpinan KPK yang sekarang ini cepat-cepat saja mengakhiri tugas dan agar pimpinan KPK yang baru segera dilantik. Dengan yang lama, terbukti tak ada harapan yang bisa ditunjukkan hingga sejauh ini, untuk tidak menyebutnya justru serba bermasalah. Sedang dengan yang baru, walau bisa saja masih setengah fatamorgana, tetap ada yang masih bisa diharapkan, setidaknya dari Abraham Samad dan Bambang Widjajanto dan mungkin juga dengan Adnan Pandupradja.

DALAM persidangan kedua, Rabu 7 Desember, Nazaruddin mengungkapkan dalam nota keberatannya bahwa ia sudah melaporkan kasus Wisma Atlet lengkap dengan nama-nama siapa saja yang terlibat, kepada Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono. Nazaruddin datang ke Puri Cikeas 23 Mei 2011, memenuhi panggilan SBY dan bertemu selama kurang lebih 3,5 jam. Dalam pertemuan itu, menurut Nazaruddin, hadir antara lain Jero Wacik, EE Mangindaan, Amir Syamsuddin dan Anas Urbaningrum. Dari Puri Cikeas, Nazaruddin ke Bandara, bertolak ke luar negeri dan baru kembali setelah tertangkap di Kolombia. Tentang kepergian ke luar negeri, sebelumnya berkali-kali Nazaruddin mengatakan, dilakukan berdasarkan anjuran beberapa rekannya di partai.

Dengan pengungkapan pertemuan Nazaruddin dengan SBY di Cikeas, muncul kesan di publik bahwa SBY telah menutup-nutupi kasus, terutama bila dikaitkan dengan kenyataan bahwa praktis SBY tak pernah melakukan tindakan internal Partai Demokrat. Setidaknya ini kedua kalinya, menurut pengetahuan publik, SBY menutup-nutupi kasus. Dalam kasus Bank Century, Menteri Keuangan Sri Mulyani dua kali menyurati Presiden SBY, tetapi SBY berkelit tak pernah dilapori apapun dan tak pernah dimintai pendapat dalam pengambilan keputusan mengenai bank tersebut. Sementara itu, Wakil Presiden (waktu itu) Muhammad Jusuf Kalla, di bawah sumpah di DPR menyampaikan kepada Pansus Bank Century, bahwa Sri Mulyani pernah datang mengadu kepadanya, dan mengaku telah tertipu dalam proses penanganan bank tersebut. Pasti yang dimaksudkan, tertipu melalui data yang diberikan BI. Waktu itu, Gubernur BI dijabat oleh Dr Budiono.

Pihak istana tak membantah pertemuan 23 Mei ini. Tetapi jurubicara kepresidenan Julian Aldrin Pasha mengelak tudingan bahwa Presiden telah menutup-nutupi kasus Wisma Atlet yang melibatkan nama sejumlah tokoh di partainya. Kata Julian, Presiden SBY tak pernah menutup-nutupi segala sesuatu yang terkait dengan hukum. Tetapi menjadi pertanyaan, lalu kenapa sebaliknya presiden tak berbuat sesuatu yang signifikan, untuk mempercepat terbukanya kasus ini? Artinya, diam-diam saja. Menarik untuk menunggu kelanjutan cerita, apakah akan ada sejarah baru dalam pemberantasan korupsi, atau lagi-lagi segala sesuatunya kembali akan berakhir dengan anti klimaks yang pada gilirannya kelak menyulut klimaks sesungguhnya terkait aspek pertanggungjawaban?

Nazaruddin, The Man Who Knew Too Much?

MOHAMMAD NAZARUDDIN yang tertangkap di Cartagena Kolombia dan tiba di Bandar Udara Halim Perdanakusumah Jakarta Sabtu malam, saat ini mungkin tepat disebut The Man Who Knew Too Much. Sebenarnya, sebutan ini dipinjam dari sebuah judul film yang beredar di Indonesia awal tahun 1960-an sebelum ada pemboikotan film-film Amerika di masa Soekarno. Bintang ternama James Stewart memerankan tokoh utama dalam film itu yang dikejar-kejar karena terlalu banyak tahu mengenai suatu kejahatan. Dengan pengungkapan-pengungkapan kebobrokan di tubuh Partai Demokrat dan di dalam pemerintahan yang dilontarkannya selama masa buronan, membuat Nazaruddin terkesan sebagai the man who knew too much, karena keterlibatannya dalam banyak hal yang berbau kejahatan keuangan, sehingga sekaligus menjadi the most wanted bagi kalangan tertentu dalam kekuasaan politik dan kekuasaan negara.

Di negara yang kotor, orang yang tahu terlalu banyak tentang kejahatan kekuasaan, akan dieliminasi. Bagi pemerintahan dan aparat penegakan hukum yang lurus, orang yang banyak tahu tentang kejahatan terutama karena ia terlibat secara dekat di dalamnya, sekuat tenaga akan diupayakan bersedia menjadi whistle blower agar keterangan-keterangannya bisa menjadi pintu masuk untuk membongkar kejahatan. Tetapi pertanyaannya kini, apakah pemerintah dan aparat penegakan hukum kita termasuk kategori lurus atau bukan? Sudah bertahun-tahun publik berada dalam suasana penuh ketidakpercayaan kepada pemerintah maupun penegak hukum, dan menduga kuat betapa berbagai kasus korupsi dan kejahatan atas keuangan negara telah direkayasa habis-habisan. Tak lain karena kekuatan korup dan penyalahguna kekuasaan justru telah bersarang di tubuh kekuasaan, sebagai hasil kerja mekanisme rekrutmen politik dan kekuasaan yang bersendikan politik uang. Bahkan KPK yang tadinya merupakan harapan terakhir dalam upaya pemberantasan korupsi, kini mulai disangsikan oleh sebagian publik.

Meski publik pun mulai menyangsikan KPK, di tengah masyarakat masih terdapat benang merah pemikiran yang sehat, bahwa sebagai lembaga KPK harus tetap dipertahankan. Gagasan membubarkan KPK yang dilontarkan oleh Marzuki Alie –Ketua DPR-RI dan Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat– dianggap pikiran sesat dan menyuarakan kepentingan kaum korup, setidaknya untuk menyelamatkan Partai Demokrat yang sudah kerasukan setan korupsi secara dalam. Kalau ada perorangan dalam KPK yang menyalahgunakan kekuasaannya, harus segera diangkat keluar, bukan dengan mengeliminasi lembaganya. Bila lembaga-lembaga peradilan, kejaksaan dan kepolisian untuk suatu jangka yang panjang telah membuktikan dirinya bersih dan berfungsi baik sebagaimana harusnya, barulah bisa dipertimbangkan untuk meminta KPK mengakhiri tugas dan kehadirannya. Namun tampaknya, masih akan lama sekali situasi itu bisa tercapai, untuk tidak mengatakan bahwa justru KPK masih terseok-seok dalam menjalankan tugas pemberantasan korupsi. Dan karena pemberantasan korupsi bukan semata soal penindakan, melainkan juga soal prevensi di hulu masalah, maka di sini faktor kualitas kepemimpinan nasional lah yang sebenarnya menjadi syarat utama. Tapi bagaimana kalau perjalanan para tokoh menuju kepemimpinan nasional justru selalui diwarnai oleh proses yang sarat dengan praktek politik uang? Pemimpin macam apa yang bisa diharapkan?

SETIDAKNYA hingga dua hari pertama setibanya Mohammad Nazaruddin di Jakarta, sebagian besar masyarakat masih diliputi kesangsian tentang kelanjutan penanganan Nazaruddin dalam konteks pengungkapan-pengungkapan yang dilontarkannya mengenai mafia anggaran negara dan mafia politik kekuasaan. Karena meski pengungkapan-pengungkapan itu masih perlu diperkuat dengan bukti-bukti dan atau setidaknya masih perlu ditelusuri lanjut kebenarannya, ia telah dicerna masyarakat karena seakan-akan telah mengkonfirmasi pola korupsi yang selama ini menjadi pengetahuan masyarakat. Sikap gagap dan gugup maupun beberapa kebohongan yang dpertunjukkan sejumlah petinggi Partai Demokrat tatkala memberi reaksi terhadap tuduhan-tuduhan Nazaruddin, hanya menambah keyakinan publik bahwa memang ada yang tidak beres di tubuh partai penguasa itu. Selain itu, beberapa proyek APBN yang selama ini tersembunyi dari pengetahuan publik, ternyata benar-benar ada dan tidak bisa dibantah: Selain proyek Wisma Atlet di Palembang, dan kasus-kasus di Kementerian Diknas dan Nakertrans, juga ada proyek Hambalang di Sentul Jawa Barat, serta proyek pabrik vaksin flu burung yang berskala triliunan rupiah. Dan ternyata memang untuk sebagian prosesnya tidak normal, tanpa tender terbuka. Orang pun bertanya-tanya, apakah proyek gedung baru DPR yang juga berskala triliun tadinya termasuk di dalamnya, dan ada seberapa banyak proyek-proyek semacam itu yang hingga kini masih tersembunyi dari pengetahuan publik?

Kekuatiran paling menonjol dari masyarakat, apakah kasus tudingan-tudingan mantan Bendahara Partai Demokrat itu, akan diselesaikan dalam suatu rekayasa untuk melokalisir persoalan sehingga tak menyentuh terlalu jauh ke dalam pusat kekuasaan. Masyarakat memiliki sejumlah trauma, betapa sejumlah whistle blower maupun mereka yang mungkin termasuk dalam deretan the men who knew too much, telah dibungkam dengan berbagai cara, mulai dari sekedar negosiasi biasa, gertakan, dijebloskan dalam penjara, dicederai dan bahkan mungkin dihilangkan nyawanya. Aktivis HAM Munir, mati diracun. Antasari Azhar dijebloskan dalam penjara melalui tuduhan pembunuhan dan peradilan rekayasa. Aktivis LSM Tama S. Langkun dicegat dan dianiaya yang diduga dalam kaitan kasus rekening gendut perwira polisi. Komjen Polisi Susno Duadji, diungkit dosa-dosa lamanya lalu diadili, sementara ungkapan-ungkapannya tak pernah ditindaklanjuti. Kasus Gayus Tambunan berputar-putar di seputar bagian kasus yang remeh temeh, sementara siapa pengusaha-pengusaha yang memberi fee besar-besaran dalam praktek mafia perpajakan tak pernah ditelusuri sampai tuntas. Kasus Bank Century diperlambat proses hukumnya, sehingga mantan Menkeu Sri Mulyani tersudut pada posisi marginal sebagai semacam kambing hitam sementara tabir permainan sesungguhnya di balik itu tak pernah dibuka.

MICHAEL MENUFANDU DAN MOHAMMAD NAZARUDDIN. Gambar berdua ini muncul di berbagai media dan internet, dengan teks jenaka ‘Sohiib…’. Penanganan yang “…berlangsung serba tertutup dan tak melibatkan unsur-unsur netral, telah menimbulkan syak wasangka yang serius”.

Banyak yang sangsi, dan meramalkan bahwa akhir lakon Nazaruddin takkan berbeda dengan permainan sebelumnya. Cara penanganan oleh Michael Menufandu Dubes RI di Bogota, proses penjemputannya dan perjalanan panjangnya dengan pesawat carter sampai kepada penahanannya di Mako Brimob, berlangsung serba tertutup dan tak melibatkan unsur-unsur netral dari masyarakat, telah menimbulkan syak wasangka yang serius. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memang berjanji menjaga ‘keselamatan’ dan takkan mengintervensi atau merekayasa kasus ini, namun kita sama-sama tahu bahwa kini sang presiden tidak lagi sepenuhnya dipercaya oleh masyarakat. Nazaruddin mungkin berhasil dijinakkan, dinegosiasi atau dibuat hilang keberaniannya, untuk akhirnya menjadi sekedar ayam sayur. Tetapi keajaiban mungkin saja terjadi, dan itu bukan mustahil, bahwa bila publik bersikeras mengawal dengan ketat penanganan kasus Nazaruddin, dan bila KPK ingin menyelamatkan reputasinya, kasus Nazaruddin betul-betul menjadi pintu masuk bagi suatu pembersihan tubuh kekuasaan yang berkelanjutan.