HAMPIR setahun lalu, melalui Blackberry Messenger dan media sosial lainnya di internet, beredar sebuah gambar adegan rekayasa, Anas Urbaningrum mencium tangan Nazaruddin seraya mohon maaf lahir batin. Meminjam istilah ‘terbaru’ yang digunakan politisi Partai Demokrat itu, sejauh ini adegan tersebut ternyata masih ber’status’ halusinasi. Lebaran berikut, tahun ini, sudah dekat, tapi mana mungkin Anas Urbaningrum tiba-tiba mengaku bersalah dan minta maaf. Bisa-bisa dia digiring ke Monas kan? Seusai diperiksa KPK pertengahan pekan ini (27 Juni), Anas ‘konsisten’ bersikeras mempertahankan diri menolak semua persangkaan yang ditujukan pada dirinya, khususnya dalam kasus Hambalang.

Sewaktu menghadapi tudingan korupsi, Anas ‘kreatif’ menggunakan berbagai kata-kata dan kalimat tangkisan. Ketika mantan Bendahara Partai Demokrat, Nazaruddin, mulai menuding dirinya terlibat bahkan merencanakan kasus Hambalang, Anas menjawab, “Serupiah saja Anas korupsi, gantung Anas di Monas”. Selain sumpah gantung di Monas, waktu itu kepada KPK, Anas memberi nasihat, “Saya tegaskan, ya, KPK sebetulnya tidak perlu repot-repot mengurus soal Hambalang. Mengapa? Karena itu, kan, asalnya ocehan dan karangan yang tidak jelas. Ngapain repot-repot”. Namun bagi ahli psikologi politik Hamdi Muluk, jawaban Anas itu pun tak lebih nilainya dari sebuah ocehan. Janji siap digantung di Monas, dianggap tak beda dengan sumpah pocong Julia Perez.
Akan tetapi, rupanya gagasan ‘digantung di Monas’, bukan orisinal Anas. Teman separtainya, Ruhut Sitompul mengklaim soal gantung menggantung di Monas itu sebagai hak ‘paten’nya. “Aku kan pernah bilang koruptor itu harus ditembak mati di Monas. Hukuman mati bagi koruptor di Cina juga di sebuah monumen. Rupanya Anas ngikutin aku,” kata Ruhut kepada Tempo,10 Maret 2012. Konon itu diucapkan Ruhut sambil tertawa-tawa senang. “Monas kan tinggi, bisa digantung”. Tembak dan gantung, beda-beda sedikit, tapi sama-sama memberi hasil akhir yang sama: mati.
Kini, Anas menggunakan ungkapan-ungkapan ‘baru’ lainnya. Bermula dari lontaran tuduhan Nazaruddin, Anas disebutkan telah menerima dana balas jasa dari PT Adhikarya yang menjadi pelaksana proyek kompleks olahraga Kementerian Pemuda dan Olahraga di Hambalang, Sentul, Bogor. Mula-mula 50 milyar rupiah, lalu 20 milyar dan akhirnya mencapai 100 milyar rupiah. Proyek itu sendiri bernilai 1,5 trilyun rupiah. Uang itu, menurut Nazaruddin, antara lain digunakan untuk memenangkan kursi Ketua Umum DPP Partai Demokrat bagi Anas Urbaningrum. Anas menyanggah, “Tidak ada itu, itu cerita mati, halusinasi”. Ia juga membantah keterangan anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Ignatius Mulyono, yang mengaku mendapat perintah Anas untuk membereskan sertifikat tanah untuk Hambalang dengan bantuan Kepala BPN (Badan Pertanahan Nasional). Katanya, kepada dirinya ditanyakan oleh KPK, “apa betul saya memerintahkan pak Mulyono untuk mengurus sertifikat, saya jawab, saya tidak pernah perintahkan”. Soal keikutsertaan isterinya menangani proyek Hambalang sebagai sub-kontraktor, kepada pers ia mengatakan, “tidak boleh mendahului dong”. Lalu berkelit, “Isteri saya sebatas Komisaris PT Dutalaras, tapi awal 2009 sudah berhenti jadi Komisaris”.
Apakah Anas yang merancang proyek Hambalang seperti pengakuan sejumlah ‘saksi’? “Saya jelaskan saya tidak tahu apa dan bagaimana proyek Hambalang”. Dan tentang banyaknya pihak yang sudah mengaku mengenai keterlibatan Anas dalam proyek Hambalang, Anas ‘membetulkan’, “bukan mengaku, tapi mengaku-aku….”. Artinya, para pihak itu, dan kemudian KPK yang ternyata telah repot-repot mengurus soal Hambalang, barangkali telah berhalusinasi mengenai peran Anas Urbaningrum?
DALAM beberapa kasus korupsi yang melibatkan para politisi selama ini, salah satu kata atau kalimat pembelaan yang paling sering muncul adalah “character assassination” atau “pembunuhan karakter”. Para politisi yang duduk di DPR atau dalam pemerintahan, begitu diperiksa oleh Kejaksaan Agung maupun KPK dengan tuduhan korupsi, lazim menyebutkan dirinya telah menjadi korban pembunuhan karakter. Dalam terminologi ‘pembunuhan karakter’ terkandung makna bela diri bahwa sebenarnya ia tidak melakukan korupsi tetapi sedang dihancurkan karir politik atau karir jabatannya melalui fitnah, dalam konteks rivalitas politik atau jabatan.
Tak mengherankan, bila para politisi dan pejabat politik terseret kasus korupsi, kehebohannya menjadi luar biasa. Terjadi tarik ulur yang dahsyat, saat halusinasi tentang diri yang bersih, kesetiakawanan sempit dan upaya menutup jejak bercampur aduk dalam kreativitas membela diri. Pertarungan melebar sampai ke luar pagar proses hukum –di lembaga penegakan hukum dan peradilan– dan seringkali berubah menjadi pertarungan politik. Pertarungan ini seringkali melibatkan begitu banyak pihak, dari sesama partai, dari kubu-kubu pengacara yang bisa membawa pindah ‘proses’ peradilan ke ranah publik, dan mungkin juga sesama koruptor untuk menutupi keterlibatan masing-masing. Paling aktual, sebagai contoh, tentu saja kasus-kasus yang melibatkan sejumlah nama kader Partai Demokrat (kasus Wisma Atlet, kasus korupsi di Kemendiknas dan mungkin nanti kasus Hambalang), dan kasus gratifikasi dalam kaitan pemilihan Miranda Goeltom sebagai Deputi Senior Gubernur BI yang melibatkan terutama kader-kader PDI-P dan Partai Golkar. Serta, kasus suap menyuap di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang menyerempet nama Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar. Dan sebagainya.
Namun ternyata, catatan menunjukkan, meskipun hukuman kasus korupsi yang dijatuhkan umumnya angka tahunnya kecil-kecil, 8 dari 10 tuduhan korupsi itu akhirnya memang terbukti. Dengan demikian, kecuali bisa dibuktikan bahwa peradilan –khususnya Peradilan Tipikor– yang menjatuhkan hukuman itu berlangsung sesat karena rekayasa, maka anggapan pembunuhan karakter itu pun juga salah. Artinya, dengan hanya sedikit pengecualian, sebenarnya tak ada pembunuhan karakter, melainkan sang pelaku itu sendiri yang memang telah lebih dulu mati karakternya. Kalau karakternya tidak mati duluan, tak mungkin ia melakukan korupsi. Semua pelaku korupsi secara psikologis adalah orang-orang yang berkarakter hancur: licik dan mungkin pintar tapi jelas tidak cerdas, tidak punya etika, lemah iman, tidak punya dedikasi dan punya pemahaman yang sesat tentang kehormatan, harkat dan martabat dirinya sebagai manusia. Punya sifat buaya, tak pernah menolak bangkai yang tersodor di depan moncongnya. Punya juga kemiripan dengan kucing, pasti mencuri semua ikan di meja makan yang tak terjaga. Tak terkecuali kemiripan dengan perilaku monyet yang suka mencuri dari sesama dan bila ketahuan bukan main riuh rendah jeritan mereka.
SAYANG, rekrutmen-rekrutmen politik dan kelembagaan di masa-masa belakangan ini, kendati sudah lengkap dengan fit and proper test, seringkali justru sangat memberi tempat kepada perilaku-perilaku seperti itu semua. Nah, itu dia persoalannya.
(sociopolitica.me/sociopolitica.wordpress.com)
saya suka sekali dengan kata kata diatas ini.