Tag Archives: Dr Budiono

Pemilihan Umum 2014: Too Good To Be Truth

ANGKA perolehan partai-partai dalam Pemilihan Umum Legislatif 9 April lalu, yang berdasarkan hasil quick count secara umum hampir merata, dari sudut tertentu bisa terasa terlalu ‘bagus’ sebagai suatu kenyataan. Hanya dua partai, PBB dan PKPI, yang mendadak jadi peserta pemilu di saat terakhir, terlewati dalam pemerataan itu. Fenomena pemerataan angka ini berkategori too good to be truth. Dari sudut pandang lain, ‘pemerataan’ suara itu pun bisa terasa sangat artifisial sekaligus tidak positif. Dan, kenyataan dua pemuncak –PDIP dan Golkar– memperoleh suara di bawah 20 persen, itu hanya memastikan bahwa mau tak mau tahap negosiasi untuk berkoalisi dalam menghadapi Pemilihan Umum Presiden 9 Juli 2014 telah dimasuki. Tepatnya, gerbang pasar politik dagang sapi telah terbuka, langsung di jantung negara ibukota Jakarta. Perundingan-perundingan politik memang langsung terjadi di hari pertama setelah pelaksanaan pemilihan umum.

KARIKATUR INVESTOR DAILY: SEMUA PARPOL CURANG. "Sepanjang informasi yang ada, hingga sejauh ini, kuat tanda-tanda bahwa besar atau kecil, seluruh partai peserta pemilihan umum 20014 ini, minimal oknumnya, ikut terlibat. Meminjam ucapan Mahfud MD, tak ada partai yang betul-betul bersih."
KARIKATUR INVESTOR DAILY: SEMUA PARPOL CURANG. “Sepanjang informasi yang ada, hingga sejauh ini, kuat tanda-tanda bahwa besar atau kecil, seluruh partai peserta pemilihan umum 20014 ini, minimal oknumnya, ikut terlibat. Meminjam ucapan Mahfud MD, tak ada partai yang betul-betul bersih.”

            Terpukau oleh angka-angka perolehan suara yang relatif merata –dan sekaligus menciptakan begitu banyak variable seni kemungkinan dalam berdagang sapi– sejumlah pengamat maupun khalayak politik sedikit mengabaikan fakta lapangan dalam penyelenggaraan pemilihan umum. Begitu banyak ‘salah kirim’ dan tertukarnya surat suara antar propinsi maupun antar kabupaten. Tak kurang banyaknya penemuan surat suara yang sudah tercoblos untuk keuntungan partai-partai tertentu, yang jumlahnya bisa mencapai ribuan di satu tempat. ‘Serangan fajar’ maupun bentuk praktek politik uang lainnya, ternyata masih luar biasa banyaknya. Pemilih ganda, entah bagaimana, masih juga bisa muncul ‘bekerja’ (Bagaimana caranya menghilangkan tanda celupan tinta di tangan?). Media juga menginformasikan bahwa sebelum pelaksanaan pemilihan umum, ada sejumlah penyelenggara di daerah menawarkan untuk ‘mengatur’ angka perolehan seorang caleg atau partai.

            Dan ada satu hal yang perlu diperhatikan dalam kaitan praktek-praktek kecurangan ini. Sepanjang informasi yang ada, hingga sejauh ini, kuat tanda-tanda bahwa besar atau kecil, seluruh partai peserta pemilihan umum 20014 ini, minimal oknumnya, ikut terlibat. Meminjam ucapan Mahfud MD, tak ada partai yang betul-betul bersih.

            Sejumlah mantan aktivis masa lampau dan menjadi aktivis gerakan kritis hingga kini –seperti Chris Siner Keytimu, Judilherry Justam, Max Wayong, Indro Tjahyono, Machmud Madjid, Yusuf AR dan lain-lain– sampai menyerukan agar Pemilihan Umum ini harus dibatalkan dan diulang. Mereka melihat adanya kecurangan yang sudah struktural. “Sistem politik yang berjalan saat ini adalah pendukung dari demokrasi kriminal, yakni demokrasi yang dilaksanakan tanpa penegakan hukum.” Aktivis yang tergabung dalam Gerakan Nasional untuk Kedaulatan Rakyat dan Keadilan Sosial ini menyebutkan sejak awal sudah banyak dijumpai kecurangan dan tendensi untuk menyelewengkan aturan dalam pelaksanaan Pemilihan Umum 2014.

COBLOS VERSI KPU BANGKA BARAT. "KPU dicurigai ‘memiliki’ oknum di tubuhnya untuk melakukan manipulasi penghitungan suara yang sebenarnya terjadi secara berjenjang mulai dari tingkat TPS. Setiap upaya pengungkapan dan pembuktian senantiasa terbentur, karena dominannya peserta perilaku kotor itu."
COBLOS VERSI KPU BANGKA BARAT. “KPU dicurigai ‘memiliki’ oknum di tubuhnya untuk melakukan manipulasi penghitungan suara yang sebenarnya terjadi secara berjenjang mulai dari tingkat TPS. Setiap upaya pengungkapan dan pembuktian senantiasa terbentur, karena dominannya peserta perilaku kotor itu.”

             PEMILIHAN UMUM 2014 ini mengingatkan kita kepada pemilihan umum pertama pasca Soeharto di tahun 1999. Meski dipuji sebagai pemilu yang bersih, toh belakangan makin terungkap bahwa kala itu 5 sampai 7 partai terlibat secara aktif maupun pasif dalam pengaturan angka perolehan suara sehingga menjadi deretan atas. Ada kelompok kekuatan tertentu sebagai invisible hand yang mengatur skenario. Waktu itu, tuduhan terarah kepada kelompok-kelompok tentara yang meskipun secara formal telah terlucuti ‘kekuasaan’nya di gelanggang polititik, tetapi masih bisa berperan di belakang layar.

            Pola pengaturan ini dilanjutkan dalam pemilihan-pemilihan umum berikutnya, 2004 dan 2009, dengan sedikit pergeseran pelaku. KPU dicurigai ‘memiliki’ oknum di tubuhnya untuk melakukan manipulasi penghitungan suara yang sebenarnya terjadi secara berjenjang mulai dari tingkat TPS. Setiap upaya pengungkapan dan pembuktian senantiasa terbentur, karena dominannya peserta perilaku kotor itu.

Menjadi tanda tanya, apakah praktek kotor yang ternyata sudah terlihat indikasinya terulang lagi sebagai suatu pola menetap dalam Pemilihan Umum 2014 ini, juga akan kembali terbentur dan terkubur?

Tanpa ada penelusuran dan penegakan hukum yang serius terhadap kriminalitas politik ini, demokrasi Indonesia ke depan akan berjalan penuh kesangsian. Baik terhadap mereka yang disebut sebagai wakil rakyat maupun mereka yang kemudian akan menjadi pimpinan nasional baru melalui Pemilihan Presiden 9 Juli 2014.

Apalagi, sejumlah muka lama yang sudah diketahui reputasi buruknya di DPR selama ini –entah karena ucapan-ucapannya yang tidak karuan, entah karena disebut-sebut namanya dalam berbagai skandal keuangan– tetap dipertahankan oleh partainya masing-masing dalam Pemilihan Umum 2014.

Begitu pula, terhadap mereka yang disebut-sebut sebagai calon Presiden-Wakil Presiden, banyak yang masih perlu dipertanyakan dan diperjelas rekam jejaknya di masa lampau maupun jejak barunya di masa kini. Sebutkan saja, Prabowo Subianto, Wiranto dan Abrurizal Bakrie. Atau, entah Pramono Edhie Wibowo, Endriartono Sutarto dan Djoko Suyanto atau siapa. Dan, andaikan pun pimpinan negara yang baru nanti adalah betul murni sesuai kehendak rakyat, cukup bersih, didukung dan dicintai –katakan misalnya Jokowi atau Mahfud MD– ia tetap berkemungkinan bermutasi menjadi monster oleh imbas ‘perimbangan’ politik yang tidak sehat di lembaga legislatif. Kita telah mengalaminya berkali-kali.

Siapa pendamping presiden sebagai wakil presiden –sebut Muhammad Jusuf Kalla, Suryadharma Ali, Muhaimin Iskandar, Hatta Rajasa, Sri Mulyani– juga menentukan arah masa depan, baik atau buruk. Seorang wakil presiden sewaktu-waktu bisa menjadi presiden, karena suatu kecelakaan politik di tengah perjalanan waktu. Kita mengalaminya dua kali, dengan BJ Habibie dan Megawati Soekarnoputeri. Seorang wakil presiden juga bisa menjadi faktor negatif, bila ia terlibat masalah, entah dengan, entah tidak dengan sepengetahuan dan keterlibatan presiden. Bayangan peristiwa seperti itu sedang dialami Dr Susilo Bambang Yudhoyono dan Dr Budiono. KPK sedang menangani kasus tersebut.      

            KHUSUS mengenai pola rekayasa dalam pemilihan-pemilihan umum Indonesia dari masa ke masa, yang tampaknya sudah terstruktur secara permanen, diperlukan kesungguhan tersendiri untuk mengungkapnya. Terutama mengenai siapa kelompok-kelompok pelakunya, yang kelihatannya juga terpelihara dan terestafetkan pengorganisasiannya dari waktu ke waktu. Di sini terlibat invisible hand dengan kepentingan pengendalian kekuasaan politik dan ekonomi. Tapi tak perlu menjadi paranoid, namun cukup memiliki kesadaran dan akal sehat. Jangan terlalu percaya dan menaruh harapan kepada aparat dan institusi resmi untuk membongkarnya. Perlu inisiatif dari masyarakat, meskipun kita tahu sebagian tubuh masyarakat kita saat ini juga sedang menderita kesakitan secara sosiologis. (socio-politica.com)

Kisah ‘Bubur Panas Hambalang’: Andi Mallarangeng, Anas Urbaningrum dan Susilo Bambang Yudhoyono

DALAM pemberantasan korupsi, KPK lebih banyak memilih cara bertindak bagaikan ‘makan bubur panas’. Takut lidah tersengat panas, sang bubur disantap dari pinggir seraya mengulur waktu membiarkannya berangin-angin lebih dulu. Saat menangani kasus suap pemilihan Deputi Gubernur Senior (DGS) Bank Indonesia, dengan sabar KPK selama tahunan menyantap dari pinggir. Hampir saja bubur menjadi basi. Penindakan dimulai terhadap anggota-anggota DPR penerima suap yang dipilih dengan urutan mulai dari yang kurang ‘kuat’ sebelum menuju yang lebih ‘kuat’ posisi politiknya. Lalu meningkat ke perantara penyalur dana yang isteri jenderal mantan petinggi Polri, untuk akhirnya baru mengarah ke sang DGS pokok masalah. Tapi bagian paling tengah yang menjadi penyandang dana suap –yang menurut rumor politik adalah seorang tokoh yang berpengaruh dan ditakuti karena kekuatan uang maupun koneksinya di kalangan kekuasaan– sampai saat ini tetap saja belum tersentuh.

ANAS URBANINGRUM DAN SUSILO BAMBANG YUDHOYONO DALAM NUANSA BIRU. "Kalau ternyata keterlibatan Andi Mallarangeng adalah hasil suatu fait-accompli, menjadi pertanyaan siapakah yang mampu membuatnya bisa tertekan? Apakah Anas Urbaningrum sebagai kolega separtai dan sama-sama maju sebagai kandidat Ketua Umum DPP Partai Demokrat dalam Kongres di Bandung dan kini bertumbuh menjadi lebih powerful? Apakah DPP Partai sebagai kekuatan kolektif? Ataukah Dewan Pembina yang diketuai Susilo Bambang Yudhoyono?" (download Tempo).
ANAS URBANINGRUM DAN SUSILO BAMBANG YUDHOYONO DALAM NUANSA BIRU. “Kalau ternyata keterlibatan Andi Mallarangeng adalah hasil suatu fait-accompli, menjadi pertanyaan siapakah yang mampu membuatnya bisa tertekan? Apakah Anas Urbaningrum sebagai kolega separtai dan sama-sama maju sebagai kandidat Ketua Umum DPP Partai Demokrat dalam Kongres di Bandung dan kini bertumbuh menjadi lebih powerful? Apakah DPP Partai sebagai kekuatan kolektif? Ataukah Dewan Pembina yang diketuai Susilo Bambang Yudhoyono?” (download Tempo).

Tak kalah lambat, adalah penanganan kasus dana talangan Bank Century, karena rupanya buburnya betul-betul panas. Sudah tahunan lamanya berangin-angin, namun tetap saja panas bagi KPK. Baru bulan lalu, KPK mulai menyendok pinggiran bubur dengan menjadikan dua mantan pejabat tinggi BI sebagai tersangka. Berdasarkan pemberitaan tentang kasus tersebut selama ini, terutama dengan narasumber kalangan politik di DPR, publik tergiring ke suatu opini spekulatif bahwa Dr Budiono (dan entah siapa lagi di kalangan tinggi) ada di tengah-tengah ‘bubur panas’. Saat kasus terjadi, Budiono sedang menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia. Dan ketika kasus mencuat ke tengah publik, beliau sudah menjadi Wakil Presiden. Pantas saja tingkat kesulitannya menjadi lebih tinggi. Continue reading Kisah ‘Bubur Panas Hambalang’: Andi Mallarangeng, Anas Urbaningrum dan Susilo Bambang Yudhoyono

Gema Adzan: Soal Cara Berkomunikasi Dengan Tuhan dan Sesama

KETIKA Gus Dur melontarkan kritik (maupun humor) tentang alat pengeras suara di masjid-masjid, boleh dikatakan tak ada yang ‘berani’ dan mampu berargumentasi untuk menolak atau menyatakan ketidaksenangan. Gus Dur kok mau dilawan, mana bisa sih? Tetapi tatkala Dr Budiono, Wakil Presiden Indonesia saat ini, dalam Muktamar Dewan Masjid Indonesia 27 April lalu ikutan memberi saran kepada Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengatur pengeras suara di masjid-masjid, agar sayup-sayup saja dan tidak terlalu keras menyentak di telinga, reaksi menentang bermunculan.

MENUNAIKAN SHALAT DI GURUN PASIR. “Pastilah, bersama kita bisa memilih cara yang paling indah dan terbaik dalam berkomunikasi dengan Tuhan dan dengan sesama umat”. (download artvalue.com/lukisan felix michal).

Apa yang menjadi konteks utama saran Budiono –yaitu jangan sampai masjid-masjid jatuh ke tangan mereka penyebar gagasan radikalisme, fanatisme sektarian dan permusuhan terhadap agama lain, dan provokator kekerasan serta terorisme– menjadi tenggelam tak diperhatikan. Isu mengenai keinginan pengaturan pengeras suara di masjid-masjid itu yang justru lebih dikedepankan. Dan dikerucutkan secara tajam seolah-olah yang dipersoalkan adalah gema adzan itu sendiri. Padahal yang barangkali dimaksud Budiono, utamanya bukan mengenai adzan, melainkan penggunaan pengeras suara di masjid untuk berbagai macam hal yang kadang kala memang eksesif.

Kenapa saran Budiono ditentang, sementara kritik langsung maupun humor KH Abdurrahman Wahid tidak? Budiono bukan seorang Kiyai Haji, dan secara politis dia tak dikategorikan ‘golongan Islam’ meskipun ia penganut agama Islam. Dianggap tidak ‘kompeten’. Maka ucapannya mengenai Islam akan dianggap intervensi atau serangan. Seorang tokoh eks Partai Bulan Bintang yang kini mendekatkan diri ke Golkar, Ali Mochtar Ngabalin, yang sering tampil berjubah dan selalu bersorban besar, menyatakan keberatan terhadap pernyataan Wapres Budiono. ”Tidak cocok jika beliau bicara di Muktamar Dewan Masjid Indonesia”. Lengkapnya, di depan muktamar tersebut, Budiono mengatakan “Kita semua berkepentingan agar masjid dijaga jangan sampai jatuh ke tangan mereka yang menyebarkan gagasan yang tidak Islami seperti radikalisme, fanatisme sektarian, permusuhan terhadap agama dan kepercayaan orang lain, dan anjuran-anjuran provokatif yang bisa berujung kepada tindak kekerasan dan terorisme. Islam adalah agama yang sangat toleran. Islam mengajarkan kepada kita bahwa jalan terbaik adalah jalan tengah”.

Sebaliknya, sekeras-kerasnya kritik Gus Dur, tetap dianggap kritik internal, meskipun di tubuh penganut Islam ada sekte-sekte dan perbedaan aliran cara beragama yang bisa sangat tajam. Continue reading Gema Adzan: Soal Cara Berkomunikasi Dengan Tuhan dan Sesama

Pemberantasan Korupsi: Kisah Jalan Beringsut KPK dan Panglima Pemberantasan Korupsi di Garis Belakang (1)

MENGAMATI bagaimana KPK menjalankan pemberantasan korupsi, memerlukan kesabaran luar biasa. Melebihi kesabaran saat mengamati seorang anak belajar berjalan. Padahal, kini KPK sudah memasuki tahun ke-9 sejak dibentuk tahun 2003 dengan Ketua pertama Taufiqurrahman yang dilantik 16 Desember tahun itu. Komisi Pemberantasan Korupsi seakan jalan beringsut dalam menangani berbagai perkara korupsi, khususnya belakangan ini dalam penanganan kasus Wisma Atlet dan kasus Cek Pelawat serta juga kasus Bank Century yang banyak menjadi perhatian publik. Sampai berakhirnya masa jabatan KPK periode kedua di bawah Busyro Muqoddas, kasus Wisma Atlet berbulan-bulan lamanya berputar-putar pada Muhammad Nazaruddin, sementara kasus Cek Pelawat berputar-putar di sekitar Nunun Nurbaeti.

Tak heran bila kemudian muncul sangkaan, bahwa kelambanan KPK itu tak terlepas dari adanya tawar menawar dengan kalangan kekuasaan negara dan kekuasaan politik yang punya kepentingan dalam kasus-kasus tersebut. Apalagi, pada saat yang sama, memang bertaburan isu ketidakbersihan sejumlah tokoh KPK, seperti Chandra Hamzah dan beberapa kalangan internal KPK lainnya. Terlebih, KPK tak pernah berhasil memperlihatkan penanganan dan penyelesaian yang meyakinkan atas masalah-masalah internal tersebut, dan selalu berlindung dibalik argumen bahwa memang ada upaya melemahkan KPK. Publik berkepentingan dengan suatu KPK yang kuat, tetapi publik juga sama berkepentingannya dengan suatu KPK yang bersih. Jadi, hendaknya KPK harus selalu bersungguh-sungguh untuk membuktikan kebersihan dirinya dalam konteks keperluan kepercayaan masyarakat, meskipun hal itu akan cukup menguras energi. Tapi energi yang terkuras itu takkan sia-sia.

Kini, di masa kepemimpinan Abraham Samad, bersama Bambang Widjojanto, Adnan Pandupradja, Zulkarnain dan Busyro Muqoddas lagi, setelah masuk ke bulan ke-2, KPK baru menetapkan dua tersangka baru, yakni Miranda Goeltom dalam kasus Cek Pelawat dan Angelina Sondakh dalam kasus Wisma Atlet. Tak secepat yang diharapkan publik. Dan orang bisa menebak, kecuali ada sedikit keajaiban, takkan ada penetapan tersangka dalam jumlah yang cukup dalam waktu dekat, katakanlah dalam sebulan ini. Tangan KPK sampai ke Miranda Goeltom dalam tempo tahunan, sementara Angelina Sondakh sudah disebut-sebut namanya berbulan-bulan. Bagaimana dengan nama-nama lain dalam berbagai kasus seperti Johnny Allen Marbun, serta sejumlah anggota DPR lainnya yang juga disebut dalam kaitan cek pelawat dan lain sebagainya?

SENGAJA atau tidak, KPK telah memilih sikap alon-alon asal kelakon, biar lambat asal selamat, dalam gerak pemberantasan korupsi. Padahal, sikap lamban itu belum tentu selamat, bahkan mungkin sebaliknya, bila diamati betapa daya rusak korupsi sudah begitu luas dan berlangsung makin cepat. Memang cukup banyak koruptor sudah ditindaki KPK dalam 7-8 tahun ini, dari mantan bupati, mantan gubernur, hingga mantan menteri maupun anggota dan mantan anggota DPR, tetapi bila kuantita itu dipersandingkan dengan skala waktu yang dibutuhkan menanganinya, indeks keberhasilan tersebut rendah. Secara kualitatif, prestasi KPK sejauh ini juga tak bisa dikatakan memadai, baik karena KPK boleh dikatakan hanya mampu menangani para mantan –yang secara politis sudah jauh berkurang kekuatannya– atau katakanlah anggota DPR aktif dari fraksi partai yang tak terlalu ‘kuat’ lagi (PDIP), maupun karena vonnis-vonnis yang dijatuhkan rata-rata rendah dan ringan saja.

Perlu diteliti lebih jauh, apakah vonnis-vonnis ringan oleh Pengadilan Tipikor itu adalah karena tak terlalu kuatnya pengungkapan KPK mengenai suatu tindak korupsi, atau karena masih lebih kuatnya tekanan eksternal dan tingginya kadar kompromi, atau karena memang perkara-perkara yang berhasil diajukan KPK ke pengadilan memang bukanlah perkara-perkara besar. Kelihatannya, kasus-kasus korupsi besar di lapisan atas kalangan kekuasaan negara dan kekusaan politik, takkan tersentuh untuk sementara maupun selamanya, meskipun baunya seringkali tercium. Mirip ‘angin belakang’ saja.

Mari kita tunggu bersama, apakah kasus Bank Century yang menempatkan Dr Budiono dalam sorotan akan tersentuh juga pada akhirnya? Dalam percakapan politik sehari-hari, disebutkan bahwa struktur persoalan dalam kasus tersebut, dana yang dikucurkan terkait keperluan pembiayaan pemilihan umum presiden dan wakil presiden, sehingga suka atau tidak suka Susilo Bambang Yudhoyono dan Partai Demokrat pun masuk dalam sorotan. Semua ini telah dibantah. Tetapi selama kasus ini dibiarkan terkatung-katung tanpa penanganan sungguh-sungguh, asumsi negatif tetap akan bertahan. Mari pula menunggu, apakah tangan KPK akan menyentuh kasus-kasus ‘tinggi’ semacam soal ‘rekening gendut perwira Polri’, sorotan keterlibatan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar dalam suap dan korupsi dalam jabatan, mafia perpajakan, isu kecurangan finansial dalam berbagai kejahatan manipulasi sekitar pemilihan umum dan sebagainya. Belum lagi, pertanyaan apakah kasus Wisma Atlet akan tuntas sampai ke akar-akarnya selain ke pucuk-pucuknya. Bagaimana kasus Hambalang dan sebagainya seperti yang dilontarkan Muhammad Nazaruddin saat ia merasa akan ditinggalkan dan dikambinghitamkan, yang melibatkan nama-nama penting di kalangan petinggi Demokrat hingga Ketua Umum Anas Urbaningrum?

SABTU 4 Februari kemarin, tatkala melakukan konperensi pers Ketua KPK Abraham Samad dilontari ucapan spontan dari wartawan, untuk jangan hanya janji-janji saja lagi. Dengan cepat Abraham Samad menjawab balik, dan mengejar agar sang wartawan menyebutkan janji-janjinya yang mana. Rupanya, sang Ketua KPK yang tampil sendirian tanpa pimpinan KPK lainnya dalam konperensi pers yang bertele-tele ala infotainment itu, lupa bahwa di awal masa jabatannya ia telah menjanjikan penanganan dan penyelesaian cepat kasus Bank Century dengan taruhan pengunduran diri.

Cara mencicil-cicil yang rupanya dilanjutkan oleh pimpinan KPK baru, dengan menetapkan tersangka satu per satu dalam jangka waktu yang cenderung berlama-lama, memang menimbulkan tanda tanya tersendiri sejak lama, baik pada masa KPK yang lalu maupun di masa pimpinan baru sekarang ini. Padahal dengan pikiran dan analisa yang sederhana saja, minimal berdasarkan fakta-fakta yang muncul di persidangan para terdakwa kasus Wisma Atlet, mulai dari Wafid Muharram dan Minda Rosalina sampai Muhammad Nazaruddin, sudah bisa ditetapkan terdakwa lebih dari sekedar Angelina Sondakh. Meminjam istilah yang sering digunakan kader-kader Partai Demokrat seperti Ruhut Sitompul atau Sutan Bathugana, sebenarnya semuanya sudah terang benderang. Kalau dalam berbulan-bulan atau tahunan, KPK hanya bisa menangani dan menyelesaikan kasus yang bisa dihitung dengan jari tangan, kapan korupsi bisa diberantas secara signifikan? Percayalah, bila KPK berlama-lama dalam dua tahun ke depan ini, maka KPK takkan pernah berhasil membekuk tokoh-tokoh yang sekarang ini dalam sorotan, karena para tokoh itu justru akan berhasil memperkokoh diri melalui Pemilihan Umum 2014. Dan dalam pada itu, kasus-kasus korupsi baru yang lebih berani akan bertambah jumlahnya dengan pesat. Kecuali KPK memang ingin sekedar menjadi spesialis ahli menangani para mantan yang sudah melemah kekuatannya.

Last but not least, terkait KPK, barangkali memang adalah suatu kenaifan untuk berharap bahwa dari rahim DPR yang sekujur tubuhnya sehari-hari sarat dengan kepentingan khusus dan perilaku korup, bisa dilahirkan bayi sehat KPK hasil pembuahan menggunakan benih bermuatan DNA korup yang berasal dari kalangan kekuasaan. Bagaimanapun KPK lahir sebagai hasil kompromi dari keduanya, dalam sejenis tragi-komedi yang bisa membuat air mata menetes bersamaan dengan gelak tawa. Tentu masih dimungkinkan suatu keajaiban berupa lahirnya satu bayi ajaib. Tetapi hingga sejauh ini, belum ada tanda-tanda bahwa KPK adalah bayi ajaib atau anak usia 8 tahun yang bertumbuh unggul meninggalkan cacat bawaan ayah dan ibunya.

Berlanjut ke Bagian 2

Saat Nazaruddin ‘Menyentuh’ Presiden SBY

SETELAH bungkam sekian lama sejak berada di tangan KPK, seakan-akan menjalankan ‘moratorium’, Muhammad Nazaruddin kembali bersuara, berangsur-angsur pada pemeriksaan-pemeriksaan terakhir di KPK dan akhirnya diledakkan pada sidang Pengadilan Tipikor. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang dimulai 30 November 2011 ini menempatkan dirinya sebagai terdakwa kasus suap Wisma Atlet. Pada persidangan kedua, Rabu 7 Desember, Muhammad Nazaruddin mulai lebih jelas ‘menyentuh’ nama Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, Jenderal Purnawirawan Susilo Bambang Yudhoyono.

Pada hari-hari pelariannya ke berbagai negara, sebelum akhirnya tertangkap di Cartagena, Kolombia, Muhammad Nazaruddin banyak mengungkapkan informasi kasus korupsi dan nama tokoh –dari kalangan pemerintah maupun partai dan anggota DPR– yang terlibat. Beberapa di antara nama penting yang disebutnya adalah Anas Urbaningrum (Ketua Umum DPP Partai Demokrat), Angelina Sondakh dan Mirwan Amir (anggota-anggota DPR dari F-PD) serta I Wayan Koster (F-PDIP). Dan dalam kaitan bela-membela sang Bendahara Umum Partai Demokrat itu –yang kemudian berbalik arah menjadi keroyokan memojokkan Nazaruddin, setelah ia ini mulai ‘bernyanyi’ dalam pelariannya– muncul juga satu gerbong nama tokoh Partai Demokrat, mulai dari Ruhut Sitompul, Benny K. Harman, Saan Mustofa sampai Djafar Hafsah dan Sutan Bathugana.

POSTER PLESETAN NAZARUDDIN. “Lalu beredar melalui internet dan BB sebuah poster mirip poster film televisi, tentang lakon “Jangan ganggu isteri dan anakku”. Di situ ada gambar SBY, Anas Urbaningrum, Angelina Sondakh, OC Kaligis dan gambar Nazaruddin sendiri yang berpenampilan bak aktor film India. Di bawahnya, terdapat logo TV swasta milik Harry Tanusudibjo, RCTI. Judul “Jangan ganggu isteri dan anakku” agaknya mengacu kepada asumsi bahwa tokoh Indonesia-1 itu sangat sensitif akan hal-hal yang dikaitkan dengan keluarga, khususnya dengan isteri dan anaknya”.

Secara tidak langsung, setelah ikut berpendapat, nama putera Presiden SBY Ibas Edi Baskoro sebagai Sekjen Partai Demokrat akhirnya juga ikut terasosiasikan dan diarah. Lalu beredar melalui internet dan BB sebuah poster mirip poster film televisi, tentang lakon “Jangan ganggu isteri dan anakku”. Di situ ada gambar SBY, Anas Urbaningrum, Angelina Sondakh, OC Kaligis dan gambar Nazaruddin sendiri yang berpenampilan bak aktor film India. Di bawahnya, terdapat logo TV swasta milik Harry Tanusudibjo, RCTI. Judul “Jangan ganggu isteri dan anakku” agaknya mengacu kepada asumsi bahwa tokoh Indonesia-1 itu sangat sensitif akan hal-hal yang dikaitkan dengan keluarga, khususnya dengan isteri dan anaknya.

Mulanya, banyak juga yang terkecoh, menyangka poster ini iklan sebuah acara talkshow yang akan ditayangkan RCTI. Ternyata, hanya poster canda, dan seandainya para tokoh yang terkena ini sedang ‘kepala panas’, mereka bisa melakukan tuntutan hukum. Dimulai dengan mencari tahu siapa sumber dan pembuatnya. Untung bahwa di Indonesia tak berlaku undang-undang yang rohnya telah ‘ketinggalan zaman’, tentang kejahatan melanggar martabat raja atau penguasa –lese majeste (Perancis)atau laesa maiestas (Latin)– seperti halnya di Kerajaan Thailand dan beberapa negara monarki lainnya. Cukup dengan keterpelesetan kata, lisan maupun tulisan, yang bila ditafsirkan hakim telah melanggar martabat raja, hukumannya bisa mencapai 20 tahun penjara. Pertimbangannya bisa sangat subjektif. Padahal sebenarnya martabat seorang raja atau penguasa, terutama terletak pada kata-kata, sikap dan tindakannya sendiri dalam menjalankan kekuasaannya.

SEMULA sewaktu Nazaruddin memilih membungkam, sempat beredar dugaan telah terjadi kompromi khusus antara Nazaruddin dan OC Kaligis di satu pihak dengan kelompok-kelompok kekuasaan dan atau kelompok tokoh-tokoh Partai Demokrat pada pihak lainnya. Dengan kompromi, akan terjadi penyelesaian anti klimaks, ‘win-win’ solution di antara para the loser dalam rangkaian kasus-kasus korupsi politik ini. Satu saja gerbong dibiarkan ke luar rel, seluruh rangkaian bisa terseret anjlog bersama, lengkap dengan lokomotif atau hulu kereta. Kalau tali dibiarkan mendekat ke leher Anas Urbaningrum, masa ia akan diam-diam saja tanpa menyampaikan ‘kata-kata terakhir’? Begitu pula sebenarnya bila Angelina Sondakh dibiarkan mendekati tepi jurang tanpa pertolongan, masa tangannya takkan menggapai-gapai? Semua orang pada dasarnya takkan mau dikorbankan sendirian.

MAKA, menjadi menarik, bersamaan dengan OC Kaligis harus berbagi bersama sejumlah pengacara lainnya mendampingi Nazaruddin, kenapa Nazaruddin kembali dengan keras menyebut nama-nama mereka yang dulu disebutnya terlibat, bahkan bertambah? Seakan-akan terpaksa harus ada ‘negosiasi’ baru. Dalam pada itu, menarik pula, seperti yang diungkapkan Nazaruddin dan para pengacaranya, terungkap beberapa kejanggalan penanganan para penyidik KPK dalam kasus ini yang kemudian juga diikuti kejanggalan surat dakwan jaksa. Publik tak terlalu buta dan tuli untuk tidak merasakan adanya kejanggalan, sebagaimana publik juga bisa merasakan banyaknya perilaku ganjil yang diperlihatkan KPK akhir-akhir ini. Bukan hanya dalam kaitan kasus-kasus Nazaruddin, melainkan juga dalam kasus-kasus Bank Century, kasus Miranda Goeltom-Nunun Nurbaeti (tertangkap Jumat petang 9 Desember 2011 di Bangkok), Rekening Gendut Perwira Polri, kasus anggota DPR dari Partai Demokrat John Allen Marbun dan lain sebagainya. Belum lagi soal-soal internal KPK yang belum tuntas di mata publik.

Tak heran bila makin kuat keinginan agar pimpinan KPK yang sekarang ini cepat-cepat saja mengakhiri tugas dan agar pimpinan KPK yang baru segera dilantik. Dengan yang lama, terbukti tak ada harapan yang bisa ditunjukkan hingga sejauh ini, untuk tidak menyebutnya justru serba bermasalah. Sedang dengan yang baru, walau bisa saja masih setengah fatamorgana, tetap ada yang masih bisa diharapkan, setidaknya dari Abraham Samad dan Bambang Widjajanto dan mungkin juga dengan Adnan Pandupradja.

DALAM persidangan kedua, Rabu 7 Desember, Nazaruddin mengungkapkan dalam nota keberatannya bahwa ia sudah melaporkan kasus Wisma Atlet lengkap dengan nama-nama siapa saja yang terlibat, kepada Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono. Nazaruddin datang ke Puri Cikeas 23 Mei 2011, memenuhi panggilan SBY dan bertemu selama kurang lebih 3,5 jam. Dalam pertemuan itu, menurut Nazaruddin, hadir antara lain Jero Wacik, EE Mangindaan, Amir Syamsuddin dan Anas Urbaningrum. Dari Puri Cikeas, Nazaruddin ke Bandara, bertolak ke luar negeri dan baru kembali setelah tertangkap di Kolombia. Tentang kepergian ke luar negeri, sebelumnya berkali-kali Nazaruddin mengatakan, dilakukan berdasarkan anjuran beberapa rekannya di partai.

Dengan pengungkapan pertemuan Nazaruddin dengan SBY di Cikeas, muncul kesan di publik bahwa SBY telah menutup-nutupi kasus, terutama bila dikaitkan dengan kenyataan bahwa praktis SBY tak pernah melakukan tindakan internal Partai Demokrat. Setidaknya ini kedua kalinya, menurut pengetahuan publik, SBY menutup-nutupi kasus. Dalam kasus Bank Century, Menteri Keuangan Sri Mulyani dua kali menyurati Presiden SBY, tetapi SBY berkelit tak pernah dilapori apapun dan tak pernah dimintai pendapat dalam pengambilan keputusan mengenai bank tersebut. Sementara itu, Wakil Presiden (waktu itu) Muhammad Jusuf Kalla, di bawah sumpah di DPR menyampaikan kepada Pansus Bank Century, bahwa Sri Mulyani pernah datang mengadu kepadanya, dan mengaku telah tertipu dalam proses penanganan bank tersebut. Pasti yang dimaksudkan, tertipu melalui data yang diberikan BI. Waktu itu, Gubernur BI dijabat oleh Dr Budiono.

Pihak istana tak membantah pertemuan 23 Mei ini. Tetapi jurubicara kepresidenan Julian Aldrin Pasha mengelak tudingan bahwa Presiden telah menutup-nutupi kasus Wisma Atlet yang melibatkan nama sejumlah tokoh di partainya. Kata Julian, Presiden SBY tak pernah menutup-nutupi segala sesuatu yang terkait dengan hukum. Tetapi menjadi pertanyaan, lalu kenapa sebaliknya presiden tak berbuat sesuatu yang signifikan, untuk mempercepat terbukanya kasus ini? Artinya, diam-diam saja. Menarik untuk menunggu kelanjutan cerita, apakah akan ada sejarah baru dalam pemberantasan korupsi, atau lagi-lagi segala sesuatunya kembali akan berakhir dengan anti klimaks yang pada gilirannya kelak menyulut klimaks sesungguhnya terkait aspek pertanggungjawaban?

Sri Mulyani, To Be or Not To Be

KEHADIRAN Sri Mulyani Indrawati di Indonesia untuk bertemu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Selasa 8 November 2011, menarik perhatian. Termasuk dari aspek politik, walau Sri Mulyani datang dalam kapasitas sebagai Managing Director World Bank, bukan sebagai figur calon Presiden yang mungkin saja akan jadi rival bagi tokoh yang diinginkan SBY untuk posisi itu pada 2014. Sri Mulyani memang adalah satu di antara banyak tokoh yang disebutkan akan menuju kursi RI-1, seperti Nyonya Ani Yudhoyono, Letnan Jenderal Purnawirawan Prabowo Subianto, Aburizal Bakrie, Megawati Soekarnoputeri, Sri Sultan Hamengkubuwono X, Muhammad Jusuf Kalla atau Surya Paloh. Bahkan belakangan, secara terbuka melalui pers ataupun dalam percakapan politik terbatas dan di belakang layar, Sri Mulyani sudah dipasangkan –baik sebagai Presiden maupun sebagai Wakil Presiden– dengan tokoh-tokoh dari berbagai latar belakang yang relevan untuk saling mengisi dan sinergis dengan kapasitasnya selaku ahli ekonomi. Tokoh-tokoh itu antara lain Akbar Tandjung (berlatar belakang kemampuan politik, mantan Ketua Umum Golkar, dengan catatan sejarah sebagai aktivis pemuda-mahasiswa), Jenderal Purnawirawan Endriartono Sutarto (latar belakang militer, mantan Panglima TNI yang juga berlatar belakang aktivis pelajar 1966), Mahfud MD (latar belakang hukum dan konstitusi terkait dengan posisinya sebagai Ketua MK) sampai kepada Marzuki Darusman (latar belakang penegakan hukum sebagai mantan Jaksa Agung, penegakan HAM, hubungan internasional dan aktivis mahasiswa).

SRI MULYANI-SBY. “Tapi bagaimana pun, banyak analis dan atau pengamat melihat bahwa antara kedua tokoh ini masih ada satu masalah yang belum terselesaikan”. (download: http://www.presidenri.go.id).

Sejauh berita yang sampai kepada publik, tak terjadi percakapan khusus terkait masalah politik antara Sri Mulyani dan SBY, maupun tentang ‘masa lampau’, meski anggota Dewan Pembina Partai Demokrat Ahmad Mubarok sempat terburu-buru menyebutnya temu kangen. “Keduanya kan tak ada masalah”, ujarnya. Tapi bagaimana pun, banyak analis dan atau pengamat melihat bahwa antara kedua tokoh ini sesungguhnya masih ada satu masalah yang belum terselesaikan. Sebelum menyetujui bailout untuk Bank Century setidaknya ada tiga surat yang dilayangkan Sri Mulyani kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tentang kebijakan yang akan diambil. Namun ketika kasus ini mendapat sorotan tajam, seperti yang dilakukan Pontius Pilatus, Gubernur Romawi  di tanah Judea, yang mencuci tangan dalam keputusan penyaliban Jesus, SBY juga dianggap melakukan cuci tangan. SBY mengatakan tidak dimintai pendapat dan tidak pernah menyuruh diambilnya kebijakan itu, karena saat itu ia sedang di Amerika menghadiri pertemuan G-20. Sikap cuci tangan ini agaknya mengecewakan Sri Mulyani yang berada di depan menerima ‘hantaman’ beramai-ramai dalam ‘pengadilan politik’ atas ‘kebijakan’ mengenai Bank Century di forum Pansus DPR-RI tentang Bank Century.

Bila ditelusuri, secara teknis ekonomis, keuangan dan perbankan, kebijakan pemberian bailout cukup argumentatif. Persoalan menjadi busuk, ketika kebijakan bailout yang menetapkan dana talangan yang tak sampai 1 triliun rupiah itu, ditunggangi dan disulap oleh sejumlah petinggi BI menjadi sebesar 6,7 triliun rupiah. Hal ini sempat dikeluhkan Sri Mulyani kepada Wakil Presiden Jusuf Kalla (waktu itu). Dr Budiono kala itu menjabat sebagai Gubernur BI, sehingga tepat bila kemudian Pansus DPR menempatkan Budiono sebagai orang utama yang bertanggungjawab. Isu politik yang bertiup kuat menyebutkan sebagian dana talangan itu ‘dipinjam’ –untuk tidak menyebutnya ‘diambil dan dipakai’– sebagai dana politik 2009. Dan adapun KPK, apalagi lembaga penegakan hukum lainnya, tumpul kukunya ketika menangani kasus yang satu ini. Mereka hanya berputar-putar di sekitar penanganan pelaku-pelaku kriminal yang sekunder. Kalangan puncak dalam kasus ini, tak pernah tersentuh sampai kini, dan mungkin takkan tersentuh selamanya selama tak ada perubahan signifikan atas konstelasi politik dan kekuasaan.

SRI MULYANI yang saat ini dianggap oleh banyak orang layak menjadi Presiden Indonesia berikutnya, menjadi pihak yang dirugikan nama baik maupun karir dan peluangnya, selama kasus Bank Century ini tak berhasil dituntaskan untuk menemukan kebenaran sejati. Sejumlah pihak, termasuk beberapa anggota DPR, menganjurkan Sri Mulyani untuk membuka saja duduk kebenaran persoalan ini. Tak perlu lagi ada rasa sungkan,

Penanganan yang mengambang membuat Sri Mulyani terkatung-katung. Posisi dan situasi itu dimanfaatkan beberapa pihak. Demonstrasi-demonstrasi yang mengusung gambar Sri Mulyani dengan taring berdarah, berlangsung setiap ada kesempatan, termasuk ketika ia di Jakarta di hari Selasa 8 November ini. Beberapa di antara demo ini dikaitkan orang dengan orang-orang di sekitar Aburizal Bakrie, maupun dengan pengusaha-pengusaha pelaku manipulasi pajak yang mungkin pernah dibentur di masa Sri Mulyani. Aburizal tentu saja membantah desas-desus ini. Selain Aburizal, tentu bukan mustahil pula bahwa dalam iklim persaingan curang yang telah menjadi kelaziman dalam kehidupan politik Indonesia, akan cukup banyak pihak lain yang berkepentingan untuk menyudutkan Sri Mulyani.

Namun, merupakan hal yang menarik bahwa dalam gencarnya serangan terhadap Sri Mulyani –sehingga mulai terkesan dianiaya beramai-ramai oleh kalangan politik tertentu– makin tak sedikit pula orang yang bersimpati, terutama di kalangan kaum perempuan. Dan tatkala ada gagasan memajukan Sri Mulyani sebagai calon Presiden banyak yang menyampaikan dukungan. Sekelompok intelektual berpikiran kritis (Rahman Tolleng, Rocky Gerung, Arbi Sanit etc) dan sering tampil menyuarakan sikap kritisnya, bahkan mendirikan sebuah partai politik baru bernama SRI yang menjanjikan cara-cara berpolitik baru, untuk mengusungnya sebagai Presiden RI di tahun 2014. Situasi dengan dua kutub ini, telah menempatkan Sri Mulyani dalam posisi to be or not to be dalam konteks ideal, bukan dalam konteks pertarungan kekuasaan demi kekuasaan. Jauh berbeda dengan situasi para nominator lainnya yang nyata-nyata telah memiliki dukungan formal partai mereka masing-masing secara konvensional.

PADA sisi lain, sementara kalangan partai politik konvensional saat ini masih berbicara dan menaruh ‘harapan’ tentang perubahan melalui Pemilihan Umum 2014, sejumlah kalangan kritis, terutama dari kaum muda dan atau mahasiswa, sudah berwacana mengenai perubahan kepemimpinan nasional tanpa perlu menunggu tahun 2014. Dengan kelemahan kepemimpinannya, SBY dianggap takkan mampu mengelola dengan baik bangsa dan negara ini lebih lanjut. Menggelinding tuntutan yang semakin kuat, agar SBY-Budiono mengundurkan diri atau dimundurkan. Diperlukan suatu upaya konstitusional luarbiasa berdasarkan kedaulatan rakyat, untuk menghentikan pemerintahan yang sekarang dan membentuk suatu komisi transisi. Komisi transisi ini terdiri dari setidaknya lima orang yang dianggap memiliki integritas dan kualitas akses maupun kemampuan dalam bidang-bidang yang menjadi kebutuhan utama dalam penyelamatan bangsa dan negara saat ini, yakni akses dan kemampuan perencanaan ekonomi, akses dan kemampuan politik, pertahanan keamanan, akses dan pemahaman politik luar negeri, penegakan hukum dan hak azasi manusia, serta pengelolaan pluralisme agama, sosial dan budaya. Beberapa nama disebutkan untuk itu, di antaranya Sri Mulyani Indrawati, Jenderal Purn Endriartono Sutarto, Akbar Tandjung, Mahfud MD dan beberapa nama lainnya, termasuk dari kalangan tokoh agama. Beberapa tokoh politik masih dipercaya, meski secara umum generasi muda, khususnya mahasiswa, tak lagi percaya kepada partai-partai politik konvensional yang ada.

Suara mahasiswa tentu layak untuk didengar, kendati secara kuantitatif mereka hanya sebagian dari masyarakat. Namun secara kualitatif, betapapun sering tak karuannya cara dan gaya mereka menyampaikan aspirasi, tetap saja kelompok ini lebih mampu menyuarakan hati nurani rakyat daripada partai-partai politik yang bertahun-tahun telah ‘membuktikan’ diri sebagai pengejar kekuasaan demi kekuasan..

Susilo Bambang Yudhoyono Pada Titik Patah di Garis Menanjak (3)

“DIATAS segala soal, masih ada satu persoalan yang mungkin akan segera harus dihadapi dan diluruskan (kalau ternyata bengkok) oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, meskipun saat ini persoalan itu masih sekedar bahan percakapan di bawah permukaan di kalangan yang masih cukup terbatas. Persoalan itu menyangkut keabsahan dan kebenaran angka kemenangan di atas 60 persen yang diperoleh dalam Pemilihan Presiden yang lalu”.

Tagihan kepada Susilo Bambang Yudhoyono. BILA pemberantasan korupsi disebutkan sebagai hutang moral kepada rakyat, tentu saja surat tagihan terbesar harus dialamatkan kepada Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono yang kini sedang berkuasa. Terutama, karena dalam beberapa tahun pertama masa kekuasaannya SBY amat banyak memanfaatkan retorika pemberantasan korupsi dalam politik pencitraannya. SBY juga sangat diuntungkan oleh kehadiran KPK, sebuah lembaga baru pemberantasan korupsi dengan sederet wewenang ekstra.

Beberapa ‘jurubicara’ politik SBY dari Partai Demokrat seringkali mendengung-dengungkan bahwa SBY lah Presiden yang misalnya paling banyak menandatangani surat izin pemeriksaan atas sejumlah pejabat –seperti gubernur dan bupati– yang menjadi tersangka perkara korupsi. Tetapi bersamaan dengan itu, terdapat tak sedikit keluhan dari kalangan instansi penegakan hukum, tentang kelambanan birokrasi kepresidenan dalam menangani proses surat izin tersebut. Sementara itu, berdasarkan catatan yang ada maupun data dalam pemberitaan pers, terlihat bahwa intensitas rata-rata penanganan perkara korupsi besar masa kepresidenan SBY yang sudah berlangsung 6 tahun, masih kalah oleh masa kekuasaan Presiden Abdurrahman Wahid yang hanya berlangsung dua tahun lebih. Namun secara menyeluruh kuantitas penanganan di masa SBY yang berdurasi 6 tahun tentu saja lebih besar. Di masa Abdurrahman Wahid penanganan perkara korupsi yang berdurasi dua tahun lebih, sepenuhnya dilakukan Kejaksaan Agung. Sedang di masa Susilo Bambang Yudhoyono peranan pemberantasan korupsi dilakukan terutama oleh KPK dan hanya sedikit oleh Kejaksaan Agung maupun Polri.

Penanganan korupsi di tingkat pengadilan pada masa Abdurrahman Wahid sangat terkendala dan merupakan fakta mencengangkan betapa sejumlah pengadilan justru menjadi kuburan bagi perkara-perkara korupsi. Sinergi KPK dengan Pengadilan Tipikor di masa SBY, dalam pada itu, menghasilkan penuntasan perkara korupsi yang lebih baik, walau angka rata-rata vonnis yang dijatuhkan pun hanyalah kurang lebih 2,5 tahun. Namun sebaliknya, sangat menonjol betapa pemerintahan SBY sangat royal dengan pemberian remisi bagi narapidana korupsi. Dengan segala remisi, pada umumnya para narapidana korupsi hanya menjalani setengah masa hukuman. Belum dihitung, berbagai cuti rekayasa, dengan berbagai alasan, entah berobat atau apa. Dengan demikian para koruptor sepertinya mendekam di penjara dalam tempo singkat saja yang ibaratnya hanya seumur jagung. Besan Presiden SBY, Aulia Pohan, termasuk salah seorang narapidana korupsi yang menikmati masa sesingkat tanam jagung oleh akumulasi berbagai remisi.

Presiden SBY belum lama ini juga menciptakan satu preseden –sehingga menjadi topik perdebatan di masyarakat dan kalangan penegakan hukum– berupa pemberian grasi kepada terpidana kasus korupsi, bekas Bupati Kutai Kertanegara Syaukani, dengan alasan kemanusiaan, karena menurut dokter, yang bersangkutan menderita sakit permanen. Ini meniru alasan almarhum Presiden Soeharto yang bisa lolos dari proses peradilan karena alasan sakit permanen. Kalau suatu ketika Tuhan Yang Maha Kuasa berkenan menyembuhkan penyakit yang oleh sejumlah dokter berani disimpulkan sebagai sakit permanen –sementara para ulama meyakini bahwa semua penyakit bisa disembuhkan bila Allah menghendaki– tentu saja Syaukani akan digugurkan grasinya. Semoga Allah juga bermurah hati memulihkan ingatan orang-orang yang mendadak hilang ingatan tatkala terungkap keterlibatannya dalam perbuatan korupsi dan suap menyuap.

Meski harus diakui bahwa citra positif pemerintahan SBY dalam pemberantasan korupsi sangat terangkat oleh sepak terjang KPK, terutama di masa lembaga itu ditangani oleh Antasari Azhar dan kawan-kawan, adalah pula di masa itu KPK justru mengalami hantaman dan penganiayaan dahsyat. Mungkin hanya suatu kebetulan, tetapi awal masa hantaman dan penganiayaan terhadap KPK, hampir bertepatan waktu dengan penanganan kasus Aulia Pohan dan kawan-kawan serta mulai disebut-sebutnya kasus Bank Century. Kedua kasus ini sangat dihubungkan dengan kalangan kekuasaan negara. Kasus Aulia Pohan dikaitkan, karena ia adalah besan Presiden. Sedang kasus Bank Century dianalisis terkait erat dengan effort penggalian dana untuk kepentingan biaya pemilihan umum Presiden-Wakil Presiden. Dalam versi rumours di bawah permukaan, istana sangat kecewa dan marah terhadap sikap tak tahu diri Antasari Azhar dan kawan-kawan yang ‘berani-berani’nya menindaki Aulia Pohan. Tetapi pada permukaan, SBY menjaga sikap untuk tidak mencampuri apalagi intervensi dalam kasus perkara korupsi Aulia Pohan, sehingga tak terlihat adanya suatu situasi tarik menarik sehebat yang kemudian terjadi dalam kasus Bank Century.

Dalam satu analisa dan versi yang ekstrim, kasus Bank Century tergambarkan sebagai suatu kejahatan terhadap keuangan negara yang terkait dengan kepentingan politik dari kelompok tertentu dalam kekuasaan negara. Dan yang dimaksud dengan kelompok tertentu di sini, adalah mereka yang sedang ikut memperjuangkan Susilo Bambang Yudhoyono menjadi presiden untuk kedua kali dan kali ini berpasangan dengan Dr Budiono sebagai Wakil Presiden. Momentum ketika Bank Century sedang mengalami krisis likuiditas karena manipulasi internal, dimanfaatkan oleh sejumlah petinggi Bank Indonesia dan otoritas keuangan untuk memberi bank tersebut posisi berpotensi memberi dampak sistemik yang membahayakan dunia perbankan Indonesia dan karenanya tak boleh tidak harus diselamatkan dengan mekanisme bail-out.

Entah sekedar suatu kebetulan, tetapi sungguh menarik bahwa Dr Budiono –yang kemudian diproyeksi sebagai calon Wakil Presiden– sudah lebih dulu diposisikan sebagai Gubenur Bank Indonesia setelah melepaskan jabatan penting sebagai Menteri Koordinator Perekonomian. Bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani, sebagai Gubernur Bank Indonesia, Dr Budiono menjadi kunci lahirnya kebijakan bail-out untuk Bank Century. Ada analisa bahwa sebenarnya dampak sistemik yang digambarkan adalah terlalu dibesar-besarkan secara artifisial, sekedar sebagai alasan bisa mengeluarkan dana talangan. Setelah dana talangan keluar –nyatanya kemudian mencapai 6,7 triliun rupiah– sebagian akan dialihkan sebagai dana politik yang diyakini bisa berangsur-angsur ‘dikembalikan’ dalam jangka waktu tertentu, yang sangat dimungkinkan bila kendali kekuasaan negara tetap ada di tangan. Bank Century sendiri akan diambil-alih dan disehatkan kembali melalui suatu program penyelamatan yang telah dirancang. Dan sangat diyakini bahwa penyehatan kembali itu bisa berhasil terkait dengan tingkat kemampuan teknis yang sudah disiapkan, selain bahwa kerusakan internal bank tersebut sudah terkalkulasi baik dan memang tidak separah yang digambarkan. Analoginya, bisul digambarkan sebagai tumor ganas.

Suka atau tidak, karena analisa dan versi ekstrim seperti itu telah menjadi bahan pembicaraan khalayak pada level tertentu, tentu saja harus ada jawaban berupa penuntasan penyelidikan dan penyidikan serta proses hukum lanjut terhadap kasus Bank Century. KPK yang tadinya mulai mempersoalkan keanehan di Bank Century dan telah menggerakan Badan Pemeriksa Keuangan melakukan semacam audit investigasi yang menghasilkan penemuan sejumlah indikator ketidakberesan, kini dipertanyakan. Mantan Wakil Presiden M. Jusuf Kalla tatkala bertemu dengan Ketua Umum Golkar Ir Aburizal Bakrie dan sejumlah tokoh Golkar lainnya di hari kedua lebaran kemarin ini, mempertanyakan tenggelamnya kasus itu setelah KPK mengatakan sejauh ini tidak menemukan bukti adanya aspek korupsi dalam kasus tersebut. Terlepas dari ada tidaknya yang mempertanyakan, memang merupakan kenyataan bahwa pasca mengalami gempuran, KPK mendadak berubah bagai macan yang sudah tanggal seluruh gigi dan taringnya serta tumpul cakarnya. Betapa tidak, mantan ketuanya, Antasari Azhar masih mendekam dalam penjara menunggu kasasi dalam suatu kasus pembunuhan Drs Nasruddin Zulkarnain yang kebenarannya hingga kini masih menjadi kontroversi, sementara dua wakil ketuanya, Bibit Samad Riyanto dan Chandra M. Hamzah, masih terkatung-katung proses hukumnya karena tuduhan menerima suap Anggoro-Anggodo.

Setelah terbentur-bentur, kini KPK sekedar main pinggir dengan menangani kasus-kasus yang tidak begitu ‘membahayakan’ diri, yakni memilih tersangka-sangka yang tidak punya hubungan langsung dengan titik sentral kekuasaan. Pilihan cenderung beralih kepada tersangka-tersangka yang secara politik berseberangan dengan pusat kekuasaan, seperti Panda Nababan dan kawan-kawan atau Paskah Suzetta yang sudah mantan menteri seperti halnya Bachtiar Chamsyah. Pada waktu yang sama, tokoh Partai Demokrat Allen Marbun belum ditindaklanjuti kasusnya. Dan yang paling menimbulkan pertanyaan, tentu saja adalah mengendapnya kasus Bank Century. Tampaknya para pimpinan KPK selain sudah tak bergigi dan tumpul cakarnya juga sekaligus mirip macan yang dipegang ekornya.

Keraguan terhadap angka 60 persen. DIATAS segala soal, masih ada satu persoalan yang mungkin akan segera harus dihadapi dan diluruskan (kalau ternyata bengkok) oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, meskipun saat ini persoalan itu masih sekedar bahan percakapan di bawah permukaan di kalangan yang masih cukup terbatas. Persoalan itu menyangkut keabsahan dan kebenaran angka kemenangan di atas 60 persen yang diperoleh dalam Pemilihan Presiden yang lalu. Konon, bersumber pada seorang mantan tokoh intelejen militer, yang tentu saja kebenarannya masih harus diusut dan ditelusuri lanjut, karena masih menyerupai pantulan bola liar, angka kemenangan yang sebenarnya hanyalah sekitar 21-22 persen.

Berlanjut ke Bagian 4.

Bukan ‘Ketoprak’: Kepemimpinan dan Pengambilan Keputusan di Indonesia

“Dalam menanggapi hasil Pansus DPR tentang Bank Century, dikeluhkan betapa SBY belum juga memberi sikap dan jawaban tegas. Apakah SBY akan menempa besi semasih panas –meski kini mulai turun menjadi hangat-hangat kuku– atau akan menunggu sampai masalah dingin? To solve the problem by postponing the problem menjadi pilihan terbaik? Dan sikap kepemimpinan apa yang akan dipilih Kapolri Bambang Hendarso Danuri –dan mungkin juga SBY– dalam menghadapi memanasnya perang kata di antara para jenderal polisi setelah lontaran tudingan Komjen Pol Susno Duadji tentang makelar kasus di tubuh kepolisian? Berada di depan, di tengah persoalan, atau memilih berdiri di luar….?”.

HINGGA masa kedua kepresidenannya, Susilo Bambang Yudhoyono, masih selalu dikritik lamban dalam mengambil keputusan sehingga juga lamban dalam bertindak. Rupanya, Presiden pun mahfum dengan kuatnya kritik itu, sehingga ketika ada demonstran yang membawa-bawa kerbau ke arena unjuk rasa terkait kasus Bank Century, dengan cepat ia bisa menafsirkan bahwa dirinya disamakan dengan kerbau yang badannya gemuk dan lamban. Para pendukungnya dari Partai Demokrat senantiasa mencoba meluruskan anggapan terhadap pemimpin pujaan mereka itu, bahwa beliau bukannya lamban, tetapi seksama dalam mengambil keputusan. Maka tidak bisa terburu-buru.

Nasib Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono tak beda dengan nasib Jenderal Soeharto. Pada tahun-tahun pertama Jenderal Soeharto menapak ke dalam kekuasaan, mahasiswa dan generasi muda lainnya, seringkali gregetan kepadanya. Ia dianggap sering lamban mengambil keputusan. Bergaya alon-alon waton kelakon dan mikul dhuwur mendhem jero dalam kepemimpinannya. Maka ia pun jadi lamban dalam melakukan perubahan, yang menurut para mahasiswa yang lebih radikal, sangat diperlukan ‘pasca’ kekuasaan Soekarno.

Menurut Prof. Dr Midian Sirait, doktor bidang farmasi yang juga fasih dan trampil dalam politik, di Indonesia ini ada dua aliran dalam cara pengambilan keputusan. Menurut Adam Malik, Wakil Presiden RI yang ketiga, tempalah besi selagi panas. Artinya, tangani persoalan begitu ia muncul, jangan terlambat. Tapi bagi Soeharto yang menganut pola kepemimpinan tradisional Jawa, kalau kita bisa menempa besi dalam keadaan dingin-dingin kenapa kita harus menempanya dalam keadaan panas-panas? Biasanya para Empu di Jawa membentuk keris dalam keadaan dingin dengan kekuatan empu jarinya. Makanya disebut Empu.

Masih menurut Dr Midian Sirait, cendekiawan muslim Nurcholis Madjid pernah menuturkan padanya, dalam jalan pikiran orang Jawa, terkandung pandangan, kenapa harus tergesa-gesa mengambil keputusan, karena untuk menyelesaikan permasalahan bisa juga dengan menunda keputusan. Dalam bahasa Inggeris, disebut to solve the problem by postponing the problem. Barangkali setelah postpone, maka problem is not exist. Jadi tidak perlu lagi susah-susah mengambil keputusan. Seringkali para pemimpin di Indonesia mempraktekkan resep seperti ini, jangan selalu buru-buru mengambil keputusan dalam keadaan persoalan masih panas. Kalau di DPR ada masalah yang masih panas, jangan buru-buru di-voting, tunggu reda, siapa tahu akhirnya tak perlu voting dan konsensus bisa dicapai dengan lobby dan musyawarah. Kelihatannya dalam paripurna mengenai hasil Pansus Bank Century yang lalu, Ketua DPR yang berasal dari Partai Demokrat, berupaya mengulur waktu. Tapi caranya mengulur waktu malah bikin panas banyak anggota dan voting pun tak terhindarkan.

Pengambilan keputusan setelah masalah menjadi ‘dingin’, ada contoh ceritanya dalam khazanah kisah humor tentang Indonesia. Suatu ketika menjelang tengah hari, sebuah laporan masuk ke Menteri Perhubungan, ada kapal penumpang terbakar dalam pelayaran ke sebelah Timur. Sang menteri segera mengumpulkan pejabat teras di departemen dan melakukan rapat. Seorang pejabat yang paling rendah kedudukannya mengusulkan segera umumkan pemberitahuan secara nasional sebagai SOS. “Jangan dulu”, kata seorang Dirjen yang menangani langsung urusan perhubungan laut, “tadi sudah saya kasih petunjuk tegas agar nakhoda dan awak kapal mengatasi sendiri masalah. Itu kan kapal baru dibeli. Kata yang jual, peralatan pemadamnya lengkap dan canggih. Malu kan kalau buru-buru diumumkan”. “Saudara yakin?”, tanya menteri yang menandatangani persetujuan pembelian kapal ‘baru’ tapi ‘bekas’ itu. “Yakin pak”. Menteri minta menghubungi nakhoda kapal untuk mendapat laporan terakhir. Jawaban dari nakhoda yang mendapat instruksi tegas untuk mengatasi masalah, “Api di bagian sumber kebakaran sudah bisa diatasi, pak. Kita di sini sedang merapatkan bagaimana memadamkan api yang menjalar ke bagian lain”. Menteri dan para pejabat yang lain, mengangguk-angguk. Kalau sumber awal kebakaran bisa diatasi, pasti yang lain juga bisa. Laporan berikut dari nakhoda menyebutkan sektor jalaran api yang pertama sudah padam, kini sedang ditangani pemadaman bagian lainnya. Demikian berulang-ulang laporan yang masuk, sudah padam di bagian tertentu dan sedang dilanjutakan ke jalaran api yang berikut. Sampai sore. Dan akhirnya laporan akhir pada senja hari menyebutkan, seluruh api telah padam. “Bagus”, kata Menteri dan Dirjen serempak. “Bagaimana keadaan kapal sekarang?”. Jawabannya, “Para penumpang sudah dievakuasi ke laut, dengan sekoci dan pelampung atau inisiatif sendiri… Kapal mulai tenggelam…..”. Hah! Dengan cepat menteri menginstruksikan mengirimkan berita resmi ke kapal-kapal yang ada dekat daerah kejadian dan pelabuhan terdekat untuk membantu. Betul kan, akhirnya keputusan pun bisa diambil setelah masalahnya menjadi ‘dingin’? Para penumpang sudah ada di laut dalam kedinginan dan sebentar lagi kapal yang tenggelam akan dingin karena air laut.

PENGAMBILAN keputusan erat tali-temalinya dengan kepemimpinan. Dalam hal kepemimpinan, Presiden Soeharto selalu menyebutkan ‘ajaran’: Ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani. Terjemahan bebasnya yang memimpin itu di depan sebagai teladan, yang di tengah menangani pekerjaannya, dan yang sepuh-sepuh biar mengawasi dari belakang. Cuma awas, sering-sering juga ada ‘kecelakaan’, yaitu tatkala sang pemimpin yang di depan ambil jurus langkah seribu, maka mereka yang di tengah akan segera ikutan, dan mereka yang mengawasi di belakang buru-buru bersembunyi. Atau kalau kebetulan sang pemimpin punya integritas, tegar tetap di depan, tapi saat menelah ke lini tengah dan belakang, saf mendadak kosong. Kan pengikut juga mulai pintar dan pragmatis?

Dari khazanah budaya lainnya yang bukan Jawa, dari Sumatera Barat misalnya, ada prinsip bahwa pemimpin itu sehari-hari harus selalu satu langkah di depan dalam berbagai kesempatan. Politisi Marzuki Darusman memberi tambahan yang bernada humor, bahwa kalau ada permasalahan sang pemimpin harus berdiri di tengah. Tapi… kalau ‘terjepit’, berdirilah di luar. Sementara itu dalam khazanah budaya Bugis ada pendirian ‘Sekali membentang layar, pantang surut ke pantai, sekalipun badai menghadang’. Tampaknya sudah agak jarang juga tokoh-tokoh Bugis meminjam tekad pelayar Bugis tempo doeloe ini, kecuali Nurdin Khalid yang right or wrong selalu bersikeras mempertahankan segala kedudukannya dari balik jeruji penjara sekalipun. Tapi jangan salah, meskipun bukan orang Bugis, Dr Budiono dan Dr Sri Mulyani Indrawati, sama kukuhnya dengan para pelaut Bugis, yang pantang surut dihadang badai Bank Century.

Nah, di masa sekarang yang penuh ‘ujian’ ini, seperti apa gerangan kira-kira pilihan sikap para pemimpin kita yang lain? Dalam menanggapi hasil Pansus DPR tentang Bank Century, dikeluhkan betapa SBY belum juga memberi sikap dan jawaban tegas. Apakah SBY akan menempa besi semasih panas –meski kini mulai turun menjadi hangat-hangat kuku– atau akan menunggu sampai masalah dingin? To solve the problem by postponing the problem menjadi pilihan terbaik? Dan sikap kepemimpinan apa yang akan dipilih Kapolri Bambang Hendarso Danuri –dan mungkin juga SBY– dalam menghadapi memanasnya perang kata di antara para jenderal polisi setelah lontaran tudingan Komjen Pol Susno Duadji tentang makelar kasus di tubuh kepolisian? Berada di depan, di tengah persoalan, atau memilih berdiri di luar sampai suhu ruangan menurun?

Sekedar catatan intermezzo di hari Minggu. Tidak serius-serius amat, meskipun juga bukan sekedar ‘ketoprak’. (RA)

Pemimpin Yang ‘Tak Pernah Salah’: Meski Musim Telah Berganti

“Meskipun musim telah berganti, sepanjang tingkat dan kadar kualitas para pelakunya yang sejauh ini pada hakekatnya masih lebih dipengaruhi oleh faktor emosional daripada sikap rasional, maka secara formal para pemimpin kekuasaan masih akan selalu ‘benar’ dalam kehidupan politik nyata saat ini”.

TAK HANYA sekali dua kali, tetapi sudah seringkali, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ‘mengeluh’ –atau barangkali lebih tepat disebut menyampaikan kekesalan– terhadap berbagai kritik yang bernada menimpakan kesalahan atas dirinya. Beberapa di antara lontaran kecaman itu dianggapnya sebagai fitnah, seperti misalnya dalam kaitan kasus Bank Century.

Di masa lampau, sepanjang yang dapat dicatat dari pengalaman empiris Indonesia, para pemimpin –setidaknya yang sebagaimana yang dialami Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto– selalu ‘benar’, tak pernah ‘salah’. Selalu ada pembenaran bagi sang pemimpin dalam berbagai rentetan peristiwa yang terjadi dari waktu ke waktu pada masa kekuasaan mereka. Menjelang kejatuhan dan atau setelah jatuh dari kekuasaan, barulah mereka ‘salah’. Rupanya musim telah berganti. Kini, masih sedang berkuasa, Susilo Bambang Yudhoyono, seperti yang dikeluhkannya sendiri, sudah seringkali dipersalahkan, bahkan merasa senatiasa jadi sasaran ‘fitnah’.

SUASANA Indonesia masa lampau tatkala para pemimpin ‘tak pernah salah’ itu, tercermin dan tergambarkan dengan baik analogi psikologisnya dalam sebuah ‘esei’ tentang kekuasaan raja. Esai ini ditulis seorang cendekiawan muda, MT Zen, yang mengalami masa penuh pertarungan dan keresahan akibat politisasi di kampus perguruan tinggi era Nasakom di masa kekuasaan Soekarno. Tulisan tersebut berjudul ‘Kubunuh Baginda Raja’, dimuat Mingguan Mahasiswa Indonesia, Bandung, Juli 1966, dan pernah dikutip di blog ini. Tulisan ini, selain menjejak balik ke kurun beberapa tahun sebelumnya, bahkan juga mampu merentangkan benang merah analogi hingga ke masa-masa kekuasaan berikutnya dan mungkin terasa kebenaran maknanya hingga ‘kini’.

Kisah pijakannya diangkat dari peristiwa sejarah di Perancis pada tahun-tahun terakhir abad kedelapanbelas, dari zaman Romawi dan kisah kekuasaan abad-abad yang lebih baru, berikut ini. Dari seluruh pelosok pedalaman, dari perbukitan dan dataran tanah Perancis, angin membawakan jeritan dan keluhan yang menyayat hati: “…. if the King only knew ! ” – ….. jika Baginda Raja mengetahui. Demikian juga di Rusia lebih dari seratus tahun kemudian. Dari dataran steppe hingga ke padang salju Siberia, terdengar keluhan dan rintihan yang senada. “…. if the Czar only knew !”. Jadi nyatalah disini bahwa rakyat pada mulanya mempunyai kepercayaan sekiranya Baginda Raja mengetahui tentang nasib mereka, niscaya Raja akan menghukum para menteri yang bersalah serta menolong rakyat yang tertindas. “Bukankah Raja itu wakil dari Tuhan yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang ?”.

Tetapi sayang ! …. Sayang sekali ! Pertolongan yang dinantikan tak kunjung datang dari sang Raja. Mereka tidak mengetahui dan tidak mengerti bahwa Baginda Raja telah melupakan mereka, telah meninggalkan mereka, telah meremehkan mereka dan telah mengkhianati mereka. Mereka tidak mengerti dan tidak mau mengerti bahwa Baginda Raja sendirilah yang terutama mengkhianati dan berdosa kepada mereka….. Baginda Raja dengan penuh kesadaran telah membiarkan para menteri dan para bangsawan menindas rakyat untuk kepentingan sang Raja, agar Baginda Raja senantiasa berdendang dan menari di atas jubin batu pualam dan diterangi oleh ribuan chandelier bersama seribu bidadari. “Sebagai akibat dari perkosaan terhadap rakyat maka terjadilah drama berdarah di Palace de la Revolution pada Senin pagi di tahun 1793. Darah rakyat ditebus dengan darah Raja”. Menurut logika, sesuai dengan kemajuan pengetahuan dan peradaban umat manusia, seharusnya Raja dalam arti kata yang sebenarnya, yaitu Raja dengan kekuasaan absolut  tidak ada lagi dan tidak boleh ada. Raja dengan kekuasaan mutlak adalah kejahatan sejarah, bertentangan dengan azas-azas kemanusiaan dan harus disingkirkan.

“Sebenarnya kebencian manusia terhadap kekuasaan mutlak telah juga dicetuskan oleh orang-orang Romawi dan Yunani beberapa ribu tahun yang lalu. Contoh yang terbaik dari zaman Romawi adalah pembunuhan Julius Caesar oleh Marcus Brutus, anak angkat dan kesayangan Caesar sendiri. Satu-satunya motif yang diberikan oleh Brutus kenapa ia sampai hati untuk membunuh Caesar dapat dilihat dari pidato singkatnya sesudah terjadi pembunuhan tersebut. Sebagaimana dilukiskan oleh Sheakespeare, pidato tersebut berbunyi antara lain: “Sekiranya dari sekumpulan ini ada seorang teman dari Caesar, kuhendak berkata kepadanya bahwa cintaku terhadap Caesar tidak kurang dari cintanya kepada Caesar. Tetapi sekiranya ia akan menanyakan lagi kenapa sampai ku berontak terhadap Caesar, inilah jawabanku: Bukan karena aku kurang mencintai Caesar, tetapi karena ku lebih cinta kepada tanah air. Apakah kalian lebih senang pabila Caesar terus hidup dan kalian mati sebagai budak belian, daripada Caesar mati tetapi kalian akan hidup sebagai manusia bebas ?”.

“Nyatalah di sini bahwa kebencian manusia kepada kekuasaan mutlak dan pemerintahan sewenang-wenang bukan monopoli orang-orang revolusi Perancis ataupun orang dari abad kesembilanbelas. Kebencian terhadap kekuasaan mutlak adalah ciri khas dari rakyat dan bangsa yang beradab. Sedangkan pemujaan terhadap kekuasaan mutlak dan pemujaan perorangan adalah ciri khas dari bangsa barbar”. Tetapi yang mengherankan adalah kenyataan bahwa di dunia modern ini masih banyak manusia modern yang bersifat biadab. Karena kenyataannya ialah bahwa masih selalu timbul ‘Raja’ dalam bentuk Fuhrer (Hitler), Duche (Mussolini), Ketua Partai (Stalin) dan…. dalam bentuk Presiden dari suatu Republik.

“Semua warga Indonesia adalah pemilik syah dari Republik Indonesia, maka dari itu harus pula bertanggungjawab. Pakailah common sense dan kritik yang sehat agar hakmu tidak diperkosa oleh siapa pun juga, waspada lah dari sekarang selagi masih belum terlambat, agar jangan sampai pada suatu ketika engkau dipaksakan oleh sejarah untuk melakukan sesuatu yang membuat bangsamu yang kini dikenal sebagai ‘het zachtste volk teraarde’ –bangsa yang paling lembut di dunia– nanti dikenal sebagai bangsa yang tangannya  dinodai oleh darah Baginda Raja”. Demikian sebagian tulisan MT Zen.

Wujud kepercayaan kepada Raja yang dilahirkan melalui kalimat “if the King only knew”, kerap lahir dalam bentuk lain berupa anggapan yang terkandung dalam ungkapan yang pernah dikutip Harry Tjan Silalahi, “plus Royaliste que le Roi”, yang berarti bahwa “anak buah raja sering berlagak melebihi sang raja sendiri”. Tapi sejarah menunjukkan pula, seringkali memang sang Raja –atau sang Pemimpin– sendiri lah yang merupakan sumber masalah dan bencana. Apalagi bilamana sikap feodal masih dominan melajur dalam kekuasaan dan masyarakat.

SAMPAI sekarangpun, sindrom ‘anak buah raja sering berlagak melebihi sang raja sendiri’ masih menghinggapi banyak orang. Ketika buku George Junus Aditjondro ‘Membongkar Gurita Cikeas’ muncul, banyak pengikut SBY yang menunjukkan kemarahan lebih besar dari SBY sendiri. Dengan sengit mereka ‘menyerbu’ George Aditjondro, sampai-sampai ada yang merasa perlu mendatangi salah satu acara peluncuran buku tersebut. Junus Aditjondro rupanya lama-lama tak tahan juga, sehingga ia ‘menampar’ dengan buku pipi anggota DPR dari Partai Demokrat Ramadhan Pohan.

Apakah Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Gubernur BI Dr Budiono yang mengambil kebijakan bailout Bank Century tatkala Presiden sedang berada di Amerika Serikat, juga terhinggap gejala plus Royaliste que le Roi? Ketika berhadapan dengan Pansus Century di DPR, Sri Mulyani mengaku bertindak dengan sepengetahuan Presiden. Tetapi saat menyampaikan pidato 4 Maret 2010 malam di Istana Merdeka menyambut rekomendasi Pansus Century itu, Presiden menegaskan, “Sekali lagi, di saat pengambilan keputusan itu saya sedang berada di luar negeri. Saya memang tidak dimintai keputusan dan arahan. Saya juga tidak memberikan instruksi atas pengambilan kebijakan tentang ihwal itu, antara lain karena pengambilan keputusan KSSK berdasarkan Perpu No.4 Tahun 2008, memang tidak memerlukan keterlibatan Presiden”. Apakah Presiden sedang menjadi Pontius Pilatus yang mencuci tangan di cawan penyangkalan? Tidak juga langsung bisa dikatakan demikian. “Meskipun demikian, saya dapat memahami mengapa keputusan penyelamatan itu dilakukan. Tidak cukup hanya memahami saya pun membenarkan kebijakan penyelamatan Bank Century tersebut”. Lebih dari itu, Presiden bahkan menyatakan perlunya memberikan penghargaan setinggi-tingginya kepada “mereka yang dalam kondisi kritis telah berjasa dalam penyelamatan perekonomian nasional kita”.

Pidato Presiden 4 Maret ini dengan demikian telah mempermudah dan memperjelas dengan terang benderang sambungan-sambungan mata rantai pertanggungjawaban dalam kebijakan bailout Bank Century. Presiden menyatakan membenarkan kebijakan tersebut dan dengan demikian tentu saja bertanggungjawab atas kebijakan tersebut. Bila bisa dibuktikan bahwa kebijakan tersebut telah ‘memperkosa’ kepentingan rakyat banyak –semisal dan atau seandainya ada skandal dana politik di balik jalinan peristiwa, sesuatu yang dibantah oleh SBY– meminjam analogi dalam tulisan MT Zen, DPR semestinya dipaksakan oleh sejarah untuk bertindak. Akan tetapi sejak dini harus dikatakan bahwa suatu impeachment sebagai pertanggungjawaban ultima cenderung untuk mustahil dilakukan mengingat komposisi MPR-DPR saat ini dikaitkan dengan syarat persetujuan dan quorum yang berlaku.

Jadi, meskipun musim telah berganti, sepanjang tingkat dan kadar kualitas para pelakunya yang sejauh ini pada hakekatnya masih lebih dipengaruhi oleh faktor emosional daripada sikap rasional, maka secara formal para pemimpin kekuasaan masih akan selalu ‘benar’ dalam kehidupan politik nyata saat ini.

Menanti Pansus Century: Konspirasi Dana Pemilu atau Fitnah?

“Hitam atau putih? Satu kemungkinan lain bisa diperhitungkan: Kebenaran sejati kasus ini gentayangan sebagai setan abu-abu saja, sebagai hasil kompromi-kompromi politik”.

SETIDAKNYA sepekan terakhir ini publik menanti apa kesimpulan DPR terhadap hasil kerja Pansus Century melalui Sidang Paripurna Selasa 2 Maret 2010. Di atas kertas, bila konsolidasi koalisi Partai Demokrat ‘berhasil’ dilakukan, maka kesimpulan versi penguasalah yang akan menjadi kesimpulan DPR sebagai lembaga. Koalisi menguasai mayoritas suara di DPR. Tapi bila konsolidasi hanya sebatas seperti yang tercapai hingga saat ini, Partai Demokrat plus PKB, suaranya masih ‘minoritas’.

Tetapi itu semua hanyalah hitungan-hitungan kuantitatif kekuatan fisik politik. Ada kekuatan lain yang lebih dinantikan publik, yakni kekuatan kebenaran objektif , yang lahir dari akal sehat, seputar kasus bailout Bank Century. Akankah itu tercapai di Senayan 2 Maret 2010?

Selama berbulan-bulan ini di tengah publik beredar rumours yang kuat –yang disebutkan bersumber justru dari kelompok kecewa di kalangan para pendayung sekoci SBY dan atau Partai Demokrat saat menghadapi pemilihan umum– yang telah bercampur dengan analisa sesaat, bahwa pemberian bailout terhadap Bank Century yang kebetulan sedang bermasalah merupakan bagian dari suatu desain penciptaan dana politik. Desain ini merupakan kontribusi Dr Budiono dalam kaitan kehadirannya sebagai calon Wakil Presiden bagi SBY dalam Pemilihan Presiden 2009. Dalam rumours disebutkan bahwa hanya satu-dua bulan sebelum bailout, ada begitu banyak rekening baru dibuka di bank kecil itu, kendati sudah jelas tanda-tanda bahwa bank itu bermasalah dan atau akan bermasalah. Rekening baru itu milik perorangan maupun perusahaan, yang lebih jauh dikatakan ternyata punya kaitan dengan sekoci-sekoci. Modus menurut desain itu, adalah bahwa dana-dana hasil bailout akan mengalir ke rekening-rekening baru itu dalam nominal 1 milyar hingga belasan milyar rupiah.

Tapi kalau demikian, bukankah lambat atau cepat, permainan akan ketahuan? Menurut rumours itu, pada waktunya dana itu bisa dikembalikan melalui tindakan-tindakan kamuflase pemulihan berupa pembentukan bank baru yang melakukan take over penanganan ex Bank Century. Tentu semua bisa saja berjalan dengan baik tanpa kebocoran. Sejarah membuktikan banyak konspirasi politik yang berhasil. Tetapi berbagai pengalaman empiris juga menunjukkan, kebocoran tentang suatu konspirasi akan terjadi bilamana secara internal ada yang kecewa karena berbagai sebab.

Menjadi menarik bahwa ketika isu Bank Century meluncur ke luar ke ranah publik, dalam waktu yang sama tokoh-tokoh kekuasaan dan para the winners tahun 2009, menunjukkan reaksi-reaksi yang berlebihan, terkesan panik menurut kacamata publik maupun menurut kacamata politik. Reaksi-reaksi yang terkesan panik itu malah menambah keyakinan publik tentang kebenaran rumours yang telah mereka dengar.

Apakah rumours yang beredar di publik ini juga menjadi pengetahuan para anggota DPR? Apakah anggota DPR berusaha dan telah menemukan bahwa rumours itu bukanlah rumours tetapi merupakan tumor nyata? Atau sebaliknya, memang cerita fitnah yang disebarkan para the looser dalam pemilihan umum yang lalu? Hitam atau putih semestinya akan terjawab dalam Sidang Paripurna DPR Selasa 2 Maret 2010. Namun, satu kemungkinan lain bisa diperhitungkan: Kebenaran sejati kasus ini gentayangan sebagai setan abu-abu saja, sebagai hasil kompromi-kompromi politik. Artinya tidak dinyatakan putih tidak dinyatakan hitam, tidak dinyatakan benar tidak dinyatakan fitnah. Sekarang saja sudah beredar rumours baru, Gerindra melunak karena Prabowo Subianto dijanjikan kursi di kabinet.