DUA jam menuju tengah hari Sabtu 13 Juli 2019, dua seteru politik kekuasaan setengah dasawarsa terakhir, Joko Widodo dan Prabowo bertemu pertama kali pasca Pemilihan Presiden 17 April di Stasiun MRT Lebak Bulus. Lalu, bersama naik kereta MRT menuju Stasiun Senayan, seraya ‘berunding’ –katakanlah demikian. Di ujung perjalanan, ampir 20 menit kemudian kedua tokoh itu mengikrarkan semacam ‘rekonsiliasi’ di kedalaman sekitar 20 meter di bawah tanah di jantung Jakarta itu. Apakah rekonsiliasi telah terjadi? Itu pokok persoalannya.
Berunding ‘gencatan senjata’ di gerbong kereta api, bukan sesuatu yang baru dalam sejarah. Saat Kekaisaran Konfederasi Jerman bertekuk lutut memohon gencatan senjata di akhir Perang Dunia I, tim perunding Jerman Mathias Erzberger menandatangani kapitulasi bersama tim perunding Perancis Marshall Ferdinand Foch. Penandatanganan dilakukan di sebuah gerbong kereta api di hutan Compiègne, Perancis, 11 November 1918. Tapi 22 tahun kemudian, sejarah berbalik. Pada 21 Juni 1940, giliran Hitler duduk dikursi sama yang dulu diduduki Marsekal Foch, di gerbong yang sama di Compiègne, menerima penaklukan Perancis. Dengan senang Hitler menyaksikan Jenderal Charles Huntziger mewakili Perancis menandatangani dokumen penyerahan. Empat hari sebelumnya Marsekal Petain yang menggantikan Reynaud telah mengajukan permohonan gencatan senjata. Gerbong bersejarah itu dikenal sebagai Wagon de l’Armistice atau Gerbong Perdamaian.
Akan tetapi, sejarah mencatat bahwa kapitulasi di Gerbong Perdamaian itu tak betul-betul mengakhiri perlawanan Perancis melawan Jerman. Rakyat Perancis –yang dibantu sebagian militer– melakukan pembangkangan dan mengorganisir gerakan bawah tanah selama setengah dekade ke depan. Di masa modern kini, dalam konteks sosial-politik sikap membangkang itu disebut social disobedience. Continue reading ‘Rekonsiliasi’ Bawah Tanah dan Social Disobedience→
SINGKATNYA, strategi komunis adalah sebagai berikut ini. Fase Nasional (atau Burjuis-Demokratis, atau Demokrasi-Baru) adalah fase untuk menghantam segala warisan kolonialisme, imperialisme dan feodalisme. Tugas menghantam ini harus dijalankan oleh semua kekuatan demokratis yang modern dan patriotik, di mana termasuk golongan-golongan industrialis, pedagang, perwira, birokrat, cendekiawan, burjuis kecil, pekerja dan tani. Semua golongan tersebut harus disatukan dalam satu front, apakah ini mau dinamakan Front Nasional (istilah komunis) atau Front “Marhaen” (istilah Bung Karno). Tapi, yang bisa melaksanakan sosialisme hanyalah kaum komunis beserta buruh dan tani. Karena itu kaum komunis harus berusaha supaya lama kelamaan bisa berpengaruh dalam front ini sambil menguasai seluruh kehidupan politik-ekonomi-sosial-kebudayaan dalam pemerintahan dan negara. Sudah itu kaum komunis bisalah melancarkan revolusi kedua, yaitu Revolusi Sosial, di mana kaum komunis harus berkuasa penuh dengan menendang dan menghancurkan segala golongan lain yang tadinya diajak bekerjasama. Mao Zedong (Mao Tse-tung) bahkan menghendaki supaya dalam Fase Nasional kaum komunis sudah berkuasa penuh di bidang politik, dus tidak perlu koalisi dengan golongan-golongan lain. Pendeknya, Fase Nasional adalah fase untuk memperjuangkan dominasi komunis dalam Front Nasional yang lebar. Cara-cara yang dipakai dalam perjuangan ini bisa cara parlementer yang damai. Tapi, karena cara ini tidak efektif, maka segala cara kekerasan haruslah dipakai. Begitulah menurut Lenin, Stalin dan Mao Zedong.
KHRUSCHOV DAN BUNG KARNO DI JAKARTA. Kediktatoran yang selalu dikutuk Bung Karno hanyalah “kediktatoran burjuis”. Bung Karno tidak pernah mengutuk kediktatoran-proletar. Bung Karno selalu mengutuk Hitler – komunis juga selalu mengutuk Hitler. Tapi Bung Karno tidak pernah mengutuk Stalin, itu “diktator terbesar dalam sejarah Rusia…. pembunuh…. penjahat… despot kaliber Ivan the Terrible….”, seperti kata Khruschov tempo hari. Memang Peking dan PKI tidak suka akan segala tuduhan terhadap Stalin ini. (Foto LIFE)
Bung Karno tentu tahu betul strategi komunis ini. Bung Karno tentu tahu betul bahwa PKI menjalankan strategi ini. Dan sebagai seorang Marxis yang merangkul-rangkul komunis, maka Bung Karno dengan sendirinya juga harus menjalankan strategi ini. Kalau tidak, maka Bung Karno adalah Marxis palsu, atau dianggap pengkhianat Marxisme.
Peralihan dari Fase Nasional ke Fase Sosial ini, bagaimana? Dengan cara damai atau dengan jalan kekerasan?
Bung Karno menghendaki jalan damai, setidaknya demikian dinyatakannya dalam ‘KepadaBangsaku’. Tulis beliau: “Revolusi Sosial yang saya maksudkan itu tidak akan bersifat revolusi sembelih-sembelihan”. Ini ditulis Bung Karno sehabis baru melihat kekejaman PKI di Madiun. Tapi, ada syarat-syaratnya buat menempuh jalan damai ini. Menurut Bung Karno, “Pada saat Revolusi Nasional kita selesai, maka syarat-syarat materiil untuk kesejahteraan sosial sudah kita isikan di dalamnya…. Pada waktu itu masyarakat sudah hamil dengan kesejahteraan sosial…. Revolusi Sosial akan lahir dengan licin”.
Bung Karno tidak menjawab pertanyaan yang justru bakal menjadi kunci Gestapu: Seandainya syarat-syarat tersebut di atas tidak dipenuhi sama sekali, seandainya rakyat tambah melarat, tambah sengsara dan tambah digencet, maka apakah yang bakal terjadi?
Sebagai seorang Marxis maka Bung Karno tentu dapat menjawabnya. Sebagai Marxis maka Bung Karno tentu mengetahui bahwa kaum komunis akan berusaha menimbulkan situasi malapetaka tersebut, oleh karena Marxisme-Leninisme “mengucap syukur” kepada situasi semacam itu.
Garis politik komunis di mana-mana adalah selalu menggalang massa buruh dan tani buat berkuasa mutlak. Ini hanya bisa terlaksana kalau buruh dan tani bisa dibawa ke dalam keadaan “minta tolong” kepada PKI. Rakyat hanya mau “minta tolong” kalau rakyat sudah bingung dan putus asa akibat kemelaratan dan kesengsaraan. Jadi, PKI dengan sendirinya harus menyabot segala usaha ke arah kesejahteraan sosial, artinya menyabot ‘jalan damai’ Bung Karno. Tetapi sebagai seorang Marxis, ia merangkul PKI dan meng-anak-emas-kan PKI sejak 1959. PKI memang bisa berbuat begini karena dia pada tahun 1948 dulu itu tidak dibubarkan dan dilarang.
Demokrasi Terpimpin lahir sebagai akibat gagalnya demokrasi liberal, akibat kesalahan kita sendiri. Tapi yang lebih mencelakakan adalah bahwa Demokrasi Terpimpin ini dipraktekkan Bung Karno dengan cara-cara Marxis-Leninis.
Bung Karno memberlakukan Demokrasi Terpimpin yang tidak demokratis, tapi yang diktatoris. Kediktatoran ini ‘direstui’ oleh teori Marxisme-Leninisme. Lagi pula, konsep Peking mengenai Fase Nasional ini menghendaki sudah berkuasanya kediktatoran demokrasi rakyat – People’s Democratic Dictatorship. Bung Karno memerlukan kediktatoran dan secara sadar memaksakan kediktatoran oleh sebab beginilah cara menjalankan Marxisme-Leninisme yang sejati.
Kediktatoran yang selalu dikutuk Bung Karno hanyalah “kediktatoran burjuis”. Bung Karno tidak pernah mengutuk kediktatoran-proletar. Bung Karno selalu mengutuk Hitler – komunis juga selalu mengutuk Hitler. Tapi Bung Karno tidak pernah mengutuk Stalin, itu “diktator terbesar dalam sejarah Rusia…. pembunuh…. penjahat… despot kaliber IvantheTerrible….”, seperti kata Khruschov tempo hari. Memang Peking dan PKI tidak suka akan segala tuduhan terhadap Stalin ini.
Zaman Demokrasi Terpimpin adalah zaman menghebatnya korupsi, inflasi, kemelaratan, penderitaan, pertentangan, perpecahan, super-kapitalisme, super-burjuisi, super-feodalisme, super–eroticism dan segala macam kebobrokan lain. Semua ini dijalankan Bung Karno dan ‘pembantu-pembantu’nya dengan sadar, sesuai dengan hukum-hukum Marxis-Leninis mengenai penciptaan situasi revolusioner. Tanpa situasi revolusioner, tidak mungkin ada revolusi sosial.
Situasi Revolusioner
Apakah kondisi-kondisi objektif yang menciptakan situasi revolusioner?
Menurut Lenin ada tiga. Satu, kelas-kelas atasan yang memerintah harus dibikin tidak becus lagi dalam memerintah. Dua, krisis yang memperhebat kemelaratan dan kesengsaraan. Tiga, pernyataan kemarahan rakyat melalui demonstrasi-demonstrasi melawan pemerintah.
Situasi revolusioner ini bisa diledakkan menjadi Revolusi Sosial kalau golongan-golongan progressif revolusioner sudah siap subjektif maupun objektif buat bertempur untuk menggulingkan pemerintah dan golongan-golongan lain yang berkuasa. Begitulah kata Lenin. Untuk memberontak ini komunis tidak perlu merupakan golongan mayorita. Pokoknya militansinya ada, sifat ‘momoc’nya ada, dan situasi revolusionernya ada. Inilah yang Bung Karno maksud dengan ‘situasi masak’, situasi di mana rakyat sudah “mau kepada revolusi sosial” –tahun 1948 “rakyat belum mau”, kata Bung Karno.
Dengan sendirinya ‘transisi damai’ ke arah sosialisme tinggal angan-angan saja. ‘Transisi damai’ ini memang angan-angan Bernstein dan Kautsky, dan kemudian juga angan-angan Khruschov. Tapi mereka dikenal sebagai revisionis-revisionis. Dan Bung Karno rupanya tidak mau dituduh sebagai ‘revisionis’ atau ‘pengkhianat Marxisme’ oleh Peking. Karena itu Bung Karno mengambil keputusan untuk mengikuti ajaran-ajaran Lenin-Stalin-Mao secara konsekuen: Revolusi adalah kekerasan.
Menurut rencana “mereka” maka tahun 1965 adalah “yearofdecision”. Tahun ini penuh dengan kontras, kontradiksi, agitasi, intimidasi, tendang menendang, ‘teror’ ala Bandar Betsi, semuanya aksi proto-Gestapu dan proto Lubang Buaya. Bung Karno tidak pernah mengutuk dan menghentikan teror-teror anti agama, anti nasionalis dan anti ABRI ini. Teroris-terorisnya tetap bebas merdeka, dirangkul dan dipuji Bung Karno.
Sejak Januari, Soebandrio sudah melancarkan empat tema yang ‘menghamiltuakan’ situasi revolusioner.
Kesatu, “Revolusioner dulu adalah kontra revolusioner sekarang! Singkirkan mereka!”, begitu teriak Soebandrio. Dengan cekokan idea ini rakyat akan ‘mengerti’ mengapa tokoh-tokoh Pancasilais harus dicurigai, dituduh, dan dibunuh secara massal. Bung Karno membantu kampanye ini dengan ucapan-ucapan, “Janganlah di antara kita ada yang mengagul-agulkan jasa di waktu lampau saja…. Ik walg van al die oude koek!” (Pidato 17 Agustus 1965).
Kedua, “Kompas Revolusi sudah ada di tangan rakyat, dan bukan lagi di tangan pemimpin”, begitulah kata Soebandrio. “Rakyat” adalah massa PKI dengan segala organisasi massanya. Dengan cekokan idea ini rakyat mau dibikin “mengerti” kenapa Pemerintah Durno membolehkan PKI bertindak sendiri saja dalam segala hal, dengan segala rupa ‘aksi sepihak’.
Ketiga, “Ganyang semua pencoleng, koruptor, kapitalis birokrat!”, begitulah lagi dikatakan Soebandrio di mana-mana selama bulan September. Dengan idea ini rakyat mau dibikin “mengerti” bahwa aksi-aksi ‘lubang buaya’ secara besar-besaran di seluruh Indonesia nanti yang sudah direncanakan PKI adalah aksi-aksi ‘adil’ buat membebaskan rakyat dari penindas-penindasnya.
Keempat, “Patriot komplit hanya ada dua, yaitu Bung Karno dan soko guru revolusi buruh-tani!”, demikian Soebandrio. Dengan cekokan idea ini rakyat mau dibikin mengerti bahwa Revolusi Sosial haruslah sekaligus merupakan Kediktatoran Proletar. Diktatornya haruslah Soekarno, dan proletarnya haruslah PKI (dengan kedok buruh-tani). Pokoknya, Revolusi Sosial adalah monopoli kaum Marxis-Leninis-Komunis. Golongan-golongan lainnya adalah patriot-patriot “tidak komplit”, karena itu harus ditumpas.
*Marion Mueng Yongadalah nama yang digunakan Dr Soedjoko MA setiapkali menulis. Soedjoko seorang cendekiawan terkemuka, pengajar ITB yang menjadi aktivis. Memiliki gaya menulis yang memikat dan tajam. Tulisan ini berjudul asli “Siapa Dalang Gestapu?” dimuat serial selama 3 minggu di Mingguan Mahasiswa Indonesia, Bandung, akhir September dan awal Oktober 1966. Kemudian menjadi salah satu artikel koleksi dalam buku “Simtom Politik 1965” yang terbit 2007. Soedjoko termasuk salah satu yang meyakini keterlibatan penuh Soekarno dalam Peristiwa 30 September 1965. Meninggal dunia tahun 2006.
SALAH satu kesimpulan yang bisa kita tarik dari pelajaran sejarah, adalah bahwa kehancuran budaya satu bangsa itu bisa terjadi karena emosi-emosi bangsa yang tidak bisa terkendali dalam praktek hidup sehari-hari. Kita memerlukan serangkaian proses pendewasaan diri. Kita bisa mencoba memberi pesan-pesan ke generasi depan dalam konteks ini. Salah satu sasaran kegiatan kita ialah kita perkaya dan perkuat pembentukan elite di segala bidang. Elite itu bukan hanya elite politik. Bila kita membaca di media massa, berkali-kali digunakan terminologi ‘elite-elite di Senayan’, sehingga menimbulkan kesan seolah-olah elite itu hanya ada di Senayan. Harus kita perkaya pengertian elite itu, dengan pembentukan elite-elite bidang entrepreneurs, bidang teknik dan ilmu pengetahuan. Tak kalah pentingnya, pembentukan elite dalam bidang seni, apakah itu seni drama dan pentas, seni suara dan musik serta seni sastera. Seni mempunyai kekuatan untuk melatih dan membentuk manusia kreatif dan penuh inspirasi dan berhati mulia karena menghargai nilai-nilai kemanusiaan. Tentu harus ada lembaga di dalam rangka pembentukan elite-elite itu. Di situlah peranan perguruan tinggi, di situlah peranan research atau penelitian, serta kehidupan seni dan budaya.
PRESIDEN SOEKARNO. “Pada tahun 1959 Indonesia meloncat kepada apa yang disebut demokrasi terpimpin. Parlemennya pun sama sekali tidak tersentuh oleh proses pendewasaan, apalagi karena pada tahun 1960 Indonesia langsung memasuki situasi revolusi. Pemimpin Besar Revolusi membawahi seluruh lembaga-lembaga, termasuk parlemen yang sebenarnya harus berdiri sendiri dengan fungsi legislatifnya. Ini juga semacam cost politik yang harus dibayar untuk suatu sistem yang terpimpin seperti itu.” (foto download)
Untuk bersaing masuk ke pasar dunia, beberapa perusahaan Jepang membeli perusahaan-perusahaan research di Eropa. Hasil research dan design dikirim ke Jepang lalu diproduksi. Kenapa Indonesia tidak bisa? Perusahaan Farmasi Kalbe Farma sudah mulai melakukannya. Kalbe Farma membentuk bidang researchnya di Singapura. Dari hasil research di situ mungkin perusahaan itu bisa menembus akses ke perkembangan ilmu bidang farmasi dan bioteknologi, agar bisa diproduksi di dalam negeri. Untuk masa datang, perlu memperhatikan nanotechnology. Teknologi nano ini adalah upaya makin memperkecil dan memperkecil ukuran volume zat, bukan micron lagi, tapi sudah nano, yang besarannya adalah seperseribu micron.
Tahun 2014 diperhitungkan bahwa dalam bidang farmasi dan medicinal akan bisa terwujud teknologi nano. Dengan teknologi nano itu molekul-molekul bahan baku obat itu makin kecil sehingga penetrasinya bisa lebih menembus dinding sel-sel. Masuk ke dalam sel dan dengan demikian makin efektif. Tinggal menunggu teknologi nano dalam bidang komputer dan elektronik. Bila nanti teknologi nano dalam komputer dan elektronik bertemu dalam sinergi dengan teknologi nano dalam bidang kimia, yakni dalam pembentukan molekulnya atau pembentukan zat-zatnya itu, sel-sel kanker langsung bisa diarah dan dituju, dikendalikan oleh komputer molekul skala nano itu masuk dan bisa menyebabkan penyembuhan kanker. Itulah yang berkembang sekarang. Korea pun sudah menerapkan teknologi nano. Sekarang sudah ada nano kalsium, jadi kemungkinan nanti juga nano jodium dan sebagainya. Kita segera akan berada sekarang di dalam teknologi nano. Dunia farmasi akan lebih menghasilkan produk-produk lebih efektif.
Tapi sementara itu terasa sedikit ironis, bahwa tatkala yang lain maju ke skala nano, kita di Indonesia belum mampu menyelesaikan masalah-masalah macro. Menangani macro dan micro pun belum mampu, apalagi nano. Di sinilah terasa perlunya pembentukan elite-elite dalam pengertian luas di berbagai bidang. Saya mengikuti dari pemberitaan bahwa Universitas Pelita Harapan, atas prakarsa Mochtar Riadi, sudah membangun pusat penelitian teknologi nano. Rupanya beliau mencoba membawa teknologi nano ini khusus dalam bidang kanker. Saya kira ini suatu lompatan dalam bidang research. Kita betul-betul berharap bahwa teknologi nano ini akan membawakan kemajuan luar biasa dalam bidang kemanusiaan.
Pembentukan elite-elite, dengan demikian, jangan hanya di bidang politik, tetapi di seluruh bidang kehidupan. Kita harus meninggalkan orientasi yang terlalu melihat harta, melihat materi, bukan mencari kepuasan karena berbuat sesuatu. Tidak punya achievement, padahal dalam hidup itu harus ada achievementoriented. Dalam pendidikan, howtoachievesomething menjadi salah satu tujuan penting.
Kemampuan nasional, demokrasi persaudaraan, kedewasaan dalam berparlemen dan keadilan sosial
Kata kunci terhadap berbagai ketertinggalan langkah kita sebagai bangsa adalah pendewasaan diri dan peningkatan kemampuan nasional. Dari catatan sejarah, kita melihat betapa ketidakdewasaan sikap menciptakan sejumlah kesulitan dan masalah, selain bahwa ketidakdewasaan itu sendiri memang adalah masalah. Peningkatan kemampuan nasional dicapai melalui peningkatan kemampuan individu-individu.
Kita bisa melihat dari sejarah, bahwa untuk menciptakan kemampuan nasional di Italia, Mussolini menjalankan fasisme, sedang untuk mengangkat kemampuan nasionalnya Jerman pada masa kekuasaan Hitler menggunakan rasisme. Kemampuan nasional Jepang ditopang oleh kehadiran Tenno Heika sebagai mitos untuk membawa seluruh rakyat ke arah peningkatan kemampuan nasional. Kekuatan Amerika dicapai melalui penegakan hukum. Hanya Inggeris yang memang menampilkan proses tersendiri yang dimulai dengan MagnaCharta. Rakyat Inggeris memperoleh hak-hak demokrasinya sejak MagnaCharta, tetapi mereka tetap mengakui raja dan memberikan tempat kepada raja. Dalam kehidupan politik Inggeris ada yang disebut HouseofCommon yang merupakan lembaga perwakilan rakyat, ada pula HouseofLord, suatu majelis tinggi yang fungsinya bisa disamakan dengan senat meskipun bukan senat.
Perancis terpaksa mengalami revolusi dan berbagai bentuk ‘peperangan’ lainnya beberapa kali. Mulai dari Revolusi Perancis, setelah itu tampil kekuasaan kuat Napoleon yang membawa Perancis menuju peperangan demi peperangan bertahun-tahun lamanya. Setelah kalah, seluruh Eropa menghukumnya, lalu Perancis kembali ke dalam kekuasaan raja lagi, sebelum akhirnya menjadi republik. Untuk konteks Indonesia, tak boleh tidak demokrasi menjadi suatu keharusan, akan tetapi hendaknya jangan melupakan bahwa demokrasi yang kita bangun itu tidak boleh menghilangkan persaudaraan. Kehidupan demokrasi dan pengisian maknanya, harus kita capai dengan kekuatan sendiri dan dengan kemampuan seluruh rakyat.
Selain itu ada hal-hal yang memang harus kita lihat dan cermati dalam praktek politik kita sepanjang sejarah Indonesia merdeka, yaitu seringnya kita untuk terlalu cepat berpindah dari satu model ke model politik berikut. Sehingga belum ada kematangan dan kesiapan, termasuk kesiapan budaya, kita sudah langsung lagi pindah ke model berikut. Umpamanya dari tahun 1950 ke tahun 1959, kita menjalankan sistem demokrasi dan pemerintahan parlementer, dengan menggunakan Undang-undang Dasar Sementara. Dalam sistem itu, Presiden hanyalah Kepala Negara, tidak sebagai pemimpin pemerintahan, dan ada Perdana Menteri sebagai kepala pemerintahan. Namun terlihat betapa saat itu, bangsa ini belum dewasa berparlemen. Partai-partai silih berganti selalu menarik menteri-menterinya dari kabinet, yang mengakibatkan jatuh bangunnya kabinet. Semua proses itu berlangsung di luar parlemen. Parlemen itu tidak mempunyai bobot dalam menentukan di dalam kehidupan berpolitik. Tidak ada kesempatan mendewasakan diri dalam berparlemen. Sementara itu, di luar parlemen ada kekuatan militer sebagai faktor objektif dalam kekuasaan negara, tetapi kekuatan-kekuatan militer juga merasa digerogoti oleh partai dalam parlemen, sehingga terjadilah Peristiwa 17 Oktober 1952 yang bertujuan membubarkan parlemen.
Terlihat bahwa belum sempat terjadi suatu pendewasaan di satu bidang, sudah terjadi intervensi, baik dari partai atau dari militer dan kekuatan lainnya yang ada. Menurut saya, secara empiris, yang berparlemen dengan baik adalah Inggeris sebagai satu contoh. Tradisi berparlemen telah berlangsung begitu lama di negeri itu, dalam skala waktu berabad lamanya. Faktor stabilitas seperti misalnya yang sejauh ini dimiliki Malaysia, tidak kita punyai. Sebagai negara, Malaysia dibangun berdasarkan federasi dari kesultanan-kesultanan. Sultan-sultan ini menjadi faktor stabilitas. Terlepas dari tidak tertariknya kita kepada model kesultanan, seperti keengganan yang ditunjukkan para the founding fathers tatkala mempersiapkan kemerdekaan sebelum proklamasi 1945, Malaysia sudah mendewasa dengan model kesultanan yang konstitusional. Mereka memiliki kehidupan parlemen yang berjalan cukup baik. Karena mereka bekas jajahan Inggeris barangkali terlihat adanya model-model Inggeris, yang memiliki HouseofLord dan Parlemen. Parlemen Malaysia relatif punya masa yang ‘tenang’ untuk mendewasakan diri.
Indonesia menjalani pengalaman yang amat berbeda. Begitu pada tahun 1950 berlangsung ‘penyerahan’ kedaulatan, hingga tahun 1959, dijalankan demokrasi dengan sistem parlementer yang diselingi berbagai masalah maupun krisis. Parlemen Indonesia tidak berkesempatan cukup untuk mengalami proses pendewasaan. Dalam sistem parlementer, partai-partai membentuk kabinet melalui pemberian mandat oleh Presiden. Tapi parlemen tak sekalipun ‘sempat’ menyampaikan mosi percaya atau mosi tidak percaya. Kabinet jatuh bangun melalui proses politik di luar gedung parlemen. Pada tahun 1959 Indonesia meloncat kepada apa yang disebut demokrasi terpimpin. Parlemennya pun sama sekali tidak tersentuh oleh proses pendewasaan, apalagi karena pada tahun 1960 Indonesia langsung memasuki situasi revolusi. Pemimpin Besar Revolusi membawahi seluruh lembaga-lembaga, termasuk parlemen yang sebenarnya harus berdiri sendiri dengan fungsi legislatifnya. Ini juga semacam cost politik yang harus dibayar untuk suatu sistem yang terpimpin seperti itu.
Demokrasi tanpa berparlemen adalah keganjilan bagi kehidupan berdemokrasi, meskipun tidak harus selalu berarti menjalankan sistem parlementer. Anggota-anggota parlemen yang mewakili aspek kedaulatan rakyat harus dewasa, mengerti filosofi negara, mengerti apa kebijakan-kebijakan. Mengerti dalam arti ditopang pemahaman mengenai aspek dan fungsi anggaran, mengerti tentang pengawasan eksekutif. Pada tahun 1966 DPR-GR kita diteruskan sampai tahun 1971 yaitu saat diadakannya pemilihan umum. Baru pada tahun 1973 ada kehidupan parlemen dengan MPR. Pemilihan umum dimemangkan oleh Golkar, 70-74 persen. Sebenarnya, pada pemilihan umum juga sudah ‘diketahui’ umum siapa-siapa saja calon yang dikehendaki oleh Golkar. Kita bisa melihat, umumnya unsur dalam DPR itu adalah orang-orang yang belum mempunyai wawasan-wawasan yang jelas. Oleh karena itu kehidupan berparlemen masih dalam taraf pendewasaan. Sekarang, setelah reformasi, parlemen kita juga mengalami setumpuk ‘masalah’. Parlemen banyak terisi oleh orang-orang yang sudah mengarah kepada hedonisme. Sekarang kita berada di dalam suatu situasi ‘politik untuk hidup’. Bukan hidupnya untuk berpolitik.
DENGAN teriak-teriak, “Rakyat Perancis, aku tidak berdosa!”, yang sayup menghilang ditelan oleh genderang perang dari barisan kehormatan dan disaksikan oleh lebih dari 80.000 pasang mata, Louis ke-XVI, keturunan 60 raja-raja, dipenggal kepalanya atas nama ‘Perjanjian Masyarakat’ dari Jean Jacques Rousseau (ContratSocial –social contract). Suara tumbukan antara pisau guilotine dengan landasannya disambut oleh para penonton dengan teriakan gemuruh, “Viva la Republique”. Darah Louis mengucur membasahi bumi Perancis dan tumbuhlah di sana serta menyebar luas idea demokrasi dengan slogan: Kemerdekaan, Persaudaraan dan Persamaan –Liberte, Fraternite, Egalite.
HUKUM PANCUNG LOUIS XVI. “Rakyat Perancis, aku tidak berdosa!”, teriak sang Raja. Suara tumbukan antara pisau guilotine dengan landasannya disambut oleh para ‘penonton’ dengan teriakan gemuruh, “Viva le Republique”… (Download, wikispaces.com).
Drama berdarah ini terjadi pada kurang lebih pukul 10 Senin pagi, tanggal 21 Januari 1793, dan mengambil tempat di lapangan Place de la Revolution di kota Paris. Dari semenjak itu pula pada hakekatnya raja-raja didaulat, dan struktur kekuasaan absolut dari kerajaan dihancurkan. Sebetulnya raja-raja ‘dibunuh’ jauh sebelum tanggal 21 Januari 1793, dan jauh sebelum proses ‘pembunuhan’ raja yang menjalar luas di abad ke-19. ‘Pembunuhan’ raja pada hakekatnya dilakukan oleh Rousseau, Montesquieu, Voltaire dan kawan-kawan. Tetapi terutama raja ‘dibunuh’ atas nama ContratSocial Jean Jacques Rousseau. Sebelum ContratSocial, Tuhan lah yang dianggap menciptakan raja dengan maksud untuk memerintah, dan sesudah itu raja menciptakan rakyat. Jadi raja adalah wakil Tuhan di dunia. Sesudah ContratSocial, rakyat menciptakan dirinya dulu sebelum menciptakan raja.
Menurut Rousseau rakyatlah yang memegang kekuasaan tertinggi dan raja memperoleh kekuasaan dari rakyat. Jadi rakyatlah yang berkuasa untuk mencopot raja dari kekuasaan yang diberikan tadi. Karena pada waktu itu raja sudah sedemikian banyak menyeleweng dari kedudukannya dan untuk menebus segala kejahatannya, Raja harus dibunuh. Sebenarnya, psikologi yang bermain di belakang segala tindakan ini ialah bahwa karena para cendekiawan pada masa itu pada umumnya tidak ‘mengakui’ lagi adanya Tuhan. Sebagai konsekuensi dari jalan pikiran itu, wakil Tuhan, yaitu raja, harus ditiadakan. Pada dasarnya, sebelum Contrat Social, rakyat berhak untuk mengajukan tuntutan kepada raja atas ketidakadilan para menteri, pejabat-pejabat pemerintah dan kaum bangsawan. Memang, mula-mula rakyat mengira bahwa para pejabat pemerintah beserta kaum bangsawanlah yang menindas rakyat tanpa sepengetahuan raja. Misalnya, membebani rakyat dengan bermacam-macam pajak sementara di lain pihak kaum bangsawan dan para pejabat pemerintah sendiri sama sekali dibebaskan dari beban pajak itu. Maka dari itu, dari seluruh pelosok pedalaman, dari perbukitan dan dataran tanah Perancis angin membawakan jeritan dan keluhan yang menyayat hati: “…. if the King only knew!” ( “…. Jika Baginda Raja mengetahui!”).
Demikian juga di Rusia lebih dari 100 tahun kemudian. Dari dataran steppe hingga ke padang salju Siberia, terdengar keluhan dan rintihan yang senada, “…. if the Czar only knew!”. Jadi nyatalah di sini bahwa rakyat pada mulanya mempunyai kepercayaan penuh bahwa sekiranya Baginda Raja mengetahui tentang nasib rakyat, niscaya Raja akan menghukum para menteri yang bersalah serta menolong rakyat yang tertindas. Bukankah Raja itu wakil dari Tuhan yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang? Tetapi sayang, ….. sayang sekali! Pertolongan yang dinantikan tak kunjung datang dari sang Raja. Mereka tidak mengetahui dan tidak mengerti bahwa Baginda Raja telah melupakan mereka, telah meninggalkan mereka, telah meremehkan mereka dan telah mengkhianati mereka. Mereka tidak mengerti dan tidak mau mengerti bahwa Baginda Raja sendirilah yang terutama mengkhianati dan berdosa kepada mereka dan bukan menteri-menteri, pejabat-pejabat atau kaum bangsawan, karena Baginda Raja dengan penuh kesadaran telah membiarkan para menteri dan yang lain menindas rakyat untuk kepentingan sang Raja, agar Baginda Raja dapat senantiasa berdendang dan menari-nari di atas jubin batu pualam dan diterangi oleh ribuan chandelir bersama seribu bidadari.
Sebagai akibat dari perkosaan terhadap rakyat maka terjadilah drama berdarah di Place de la Revolution pada Senin pagi 21 Januari 1793. Darah rakyat ditebus dengan darah Raja.
Sejak Revolusi Perancis hingga sekarang, sekiranya Raja tidak didaulat atau dibunuh, secara berangsur-angsur Kerajaan Absolut digantikan dengan Kerajaan Konstitusional atau Republik. Sedangkan Raja dengan kekuasaan absolut digantikan dengan Raja Konstitusional atau Presiden.
Menurut logika, sesuai dengan kemajuan pengetahuan dan peradaban umat manusia, seharusnya Raja dalam arti kata yang sebenarnya, yaitu Raja dengan kekuasaan absolut tidak ada lagi dan tidak boleh ada. Raja dengan kekuasaan mutlak adalah kejahatan sejarah, bertentangan dengan azas-azas kemanusiaan dan harus disingkirkan, sebagaimana dikatakan oleh Saint Just: Monarchy is not a king, it is crime. Not a crime but crime is self.
SEBENARNYA kebencian manusia terhadap kekuasaan mutlak telah juga dicetuskan oleh orang-orang Romawi dan Yunani beberapa ribu tahun yang lalu. Contoh yang paling baik dari zaman Romawi adalah pembunuhan Julius Caesar oleh Marcus Brutus, anak angkat dan kesayangan Caesar sendiri. Satu-satunya motif yang diberikan oleh Brutus kenapa ia sampai hati untuk membunuh Caesar dapat dilihat dari pidato singkatnya sesudah terjadi pembunuhan tersebut. Sebagaimana dilukiskan Shakespeare, pidato tersebut berbunyi antara lain, “If therebe any in this assembly, any dear friend of Caesar’s, to him I say that Brutus, love to Caesar was not less than his. If the that friend demands why Brutus rose against Caesar, this is my answer: Not that I loved Caesar less, but because I love Rome more. Had you rather Caesar living and die all slaves, than that Caesar was dead to all freeman?” (“Sekiranya dari sekumpulan ini ada seorang teman Caesar, aku hendak berkata kepadanya bahwa cintaku terhadap Caesar tidak kurang dari cintanya kepada Caesar. Tetapi sekiranya ia akan menanyakan lagi kenapa sampai aku berontak terhadap Caesar, inilah jawabanku: Bukan karena aku kurang mencintai Caesar, tetapi karena aku lebih cinta kepada tanah air. Apakah kalian lebih senang apabila Caesar Caesar terus hidup dan kalian mati sebagai budak belian, daripada Caesar mati tetapi kalian akan hidup sebagai manusia bebas?”).
PEMBUNUHAN JULIUS CAESAR. Satu-satunya motif yang diberikan Brutus, kenapa ia sampai hati untuk membunuh Caesar, ialah…….. “Bukan karena aku kurang mencintai Caesar, tetapi karena aku lebih cinta kepada tanah air ………”. (Download, 1055triplem.com)
Nyatalah di sini bahwa kebencian manusia kepada kekuasaan mutlak dan pemerintahan sewenang-wenang, bukan monopoli orang-orang Revolusi Perancis ataupun orang-orang dari abad ke-19. Kebencian terhadap kekuasaan mutlak adalah ciri khas dari rakyat dan bangsa yang beradab. Sedangkan pemujaan terhadap kekuasaan mutlak dan pemujaan perorangan adalah ciri khas dari bangsa barbar (biadab). Tetapi yang mengherankan adalah kenyataan bahwa di dunia yang lebih modern masih banyak manusia yang bersifat biadab. Karena kenyataannya ialah bahwa masih selalu timbul ‘Raja’ dalam bentuk Fuhrer (Hitler), Duche (Mussoulini), Ketua Partai (Stalin), dan…. dalam bentuk Presiden dari suatu republik. Lihatlah apa yang terjadi dengan Raja Farouk dari Mesir, Bao Dai dan Ngo Dien Diem dari Vietnam, Batista dari Cuba, Juan Peron dari Argentina, Nkrumah dari Ghana… dan seterusnya. Lupakah orang betapa besar harapan rakyat sewaktu Farouk baru pulang dari Inggeris ke Mesir? Sewaktu Farouk masih muda, tampan, progressif dan berkemauan baik untuk memperbaiki nasib rakyat jelata dari cengkeraman kaum feodal? Tetapi baru beberapa tahun ia memegang kekuasaan dan hidup mewah sebagai Baginda Raja, maka rakyat dilupakan dan akhirnya bangsanya sendiri ia jual. Waktunya dihabiskannya dengan ….. wanita dan pesiar ke luar negeri. Begitu juga dengan Ngo Dien Diem. Semua orang penuh harapan sewaktu Ngo baru pulang dari Amerika. Seorang yang dianggap progressif, terpelajar, muda dan tampan. Satu-satunya orang yang dapat diandalkan untuk menggantikan Bao Dai yang merupakan duplikat Farouk. Baik Bao Dai maupun Ngo Dien Diem melupakan rakyatnya dan menghabiskan waktunya di Riviera, di pantai Perancis Selatan dengan mengorganisir beauty contest dari dara-dara Perancis. Akhirnya Ngo Dien Diem dengan keluarganya dicincang oleh rakyat Vietnam.
Begitu pula dengan Nkrumah, orang kuat dari Ghana. Juga ‘orang kuat’ ini jatuh tergelincir oleh hawa nafsunya sendiri. Dia mau agar ia didewakan oleh rakyat. Di mana-mana ‘dititahkan’nya untuk mendirikan tugu baginya. Semua orang oposisi yang yang semula merupakan merupakan teman seperjuangan yang membelanya, dijebloskan ke dalam tahanan tanpa proses. Parlemen tidak digubris dan ia memerintah menurut kehendak hatinya sendiri. Akhirnya ia menjadi pemimpin dalam pengasingan, pemimpin tanpa ada yang mau dipimpin. Pemimpin yang kata-katanya dijadikan bahan tertawaan dan olok-olokan. Dan sebagaimana juga Farouk sewaktu ia masih hidup di buangan, setiap hari memimpikan ‘come back’ namun tak kunjung wujud, dan dalam pada itu sang Raja bertambah tua, muka bertambah kisut sedangkan di negaranya sendiri mulai tumbuh tunas-tunas baru.
Lupakah orang akan potret Mussoulini, yang sesudah perang digantung pada pergelangan kaki dengan kepala di bawah oleh partisan-partisan Italia di sebuah kios bensin dan digantung terbalik bersama-sama dengan gula-gulanya?
Hal-hal yang dipaparkan di atas tadi adalah tragedi sejarah yang senantiasa berulang kembali. Hal lama yang senantiasa menjelma menjadi baru dan merupakan bahan untuk menghias literatur dunia. Dari tahun ke tahun ‘Raja’ didaulat dan ditumbangkan. Sekali lagi kami tekankan di sini, bahwa semua ini adalah tragedi sejarah. Tetapi tragedi yang lebih besar dan lebih menyedihkan lagi ialah kenyataan bahwa orang seakan-akan tidak mau belajar dari tragedi ini.
Mungkin hal tadi disebabkan oleh sesuatu yang sejak lama telah disinyalir berulangkali oleh Bung Karno, yaitu: “Semua orang yang telah berkuasa dan mendapatkan privilege tertentu tidak akan mau menyerahkan kedudukan mereka secara sukarela”.
Kita lihat satu persatu tokoh-tokoh tadi jatuh tergelincir, oleh ambisi, gila kebesaran, kecongkakan, lupa diri dan lupa bahwa mereka itu manusia biasa. Semua mereka ini terutama dijatuhkan oleh hawa nafsunya sendiri.
Maka dari itu, kepada semua patriot Indonesia, kepada semua pencinta tanah air, waspadalah. Jagalah dan amankanlah undang-undang negaramu. Bukalah mata dan pakai rasiomu. Janganlah bermalas dan melepaskan semua tanggung jawab kepada satu orang. Semua warganegara Indonesia adalah pemilik sah dari Republik Indonesia, maka dari itu harus pula bertanggungjawab. Pakailah common sense dan kritik yang sehat agar hakmu tidak diperkosa oleh siapapun juga, waspadalah dari sekarang selagi masih belum terlambat. Agar, jangan sampai pada suatu ketika engkau dipaksakan oleh sejarah untuk melakukan sesuatu yang membuat bangsamu yang pernah dikenal sebagai het zachtste volk teraarde, nanti dikenal sebagai bangsa yang tangannya dinodai oleh darah baginda Raja.
*M.T. Zen. Prof. Dr. Sejak sebelum tahun 1966, sebagai cendekiawan muda turut serta dalam berbagai gerakan kritis terhadap kekuasaan otoriter Soekarno. Tulisan-tulisannya di Mingguan Mahasiswa Indonesia, Bandung, pada tahun 1966-1967 yang pada umumnya mengandung kritik kepada Soekarno, sangat diapresiasi publik. Setia mengabdi sebagai pengajar/gurubesar di ITB, sampai memasuki usia pensiun. Tulisan ini diturunkan sebagai referensi di saat kita baru saja melihat kejatuhan dua penguasa, Ben Ali dari Tunisia dan Hosni Mubarak dari Mesir, yang tampaknya tak mau belajar dari sejarah, bertepatan waktu dengan mulai terdengarnya ketidakpuasan kepada kekuasaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Indonesia saat ini.
“Parkinson agaknya mengacaukan bentuk atau sistem pemerintahan dan bentuk negara, sehingga bentuk monarki baginya adalah tidak demokratis. Padahal banyak negara monarki yang sistem pemerintahannya demokratis seperti halnya dengan Inggeris”.
TAK kurang dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, ketika berbicara tentang kekhususan DI Yogyakarta, telah mempertentangkan demokrasi dengan monarki. Dalam penyampaiannya Jumat pekan lalu, maupun klarifikasi seputar RUU Kekhususan DI Yogyakarta Selasa 2 Oktober ini, terkesan bahwa bagi Presiden RI ini, suatu bentuk negara monarki akan membentur demokrasi. Bila merujuk kepada sejarah kerajaan-kerajaan di Nusantara, bahkan sejarah monarki yang ada di berbagai penjuru dunia di masa lampau, memang benar tak ada yang berjalan berdasarkan sistem demokrasi, melainkan terutama melalui kekuasaan mutlak seorang raja. Tetapi dalam sejarah modern, ada sejumlah negara yang mempertahankan bentuk pemerintahannya sebagai monarki yang konstitusional dan menggunakan sistem demokrasi. Di Eropah saja, saat ini setidaknya ada 12 negara monarki konstitusional, yang dipimpin raja atau ratu. Salah satunya adalah Yunani yang menjadi negeri asal falsafah demokrasi klasik. Para raja itu didampingi kepala pemerintahan, biasanya disebut Perdana Menteri dan memiliki lembaga perwakilan rakyat (parlemen), karena memang demokrasi telah menjadi way of life di negara-negara Eropah yang bukan eks blok Timur itu.
Sebagai pengetahuan kita bersama, keduabelas monarki konstitusional itu berturut-turut adalah: KonungariketSverige (Swedia) dengan parlemen yang disebut Riksdag; United Kingdom of Great Britain and Norther Ireland (Inggeris Raya dan Irlandia Utara); Royaume de Belgique atau Koninkrijk Belgie (Belgia); Kongeriget Danmark (Denmark) dengan parlemen bernama Folketing; Vasileion Tis Ellados (Yunani); FurstentumLiechtenstein (Prinsipal Liechtenstein) dengan parlemen beranggota 15 orang yang dipilih sekali empat tahun yang disebut Landtag; Grand Duche’ de Luxembourg (Luxemburg); Malta yang tunduk kepada Ratu Inggeris dengan Perdana Menteri sebagai pemimpin pemerintahan sehari-hari; Principaute’ de Monaco (Monaco); Koninkrijk der Nederlanden (Belanda); Kongeriket Norge (Norwegia) dengan parlemen bernama Storting; Estade Espanol (Spanyol), yang 1936-1969 menjadi Republik yang dipimpin diktator Jenderal Francesco Franco, namun pada tahun 1969 mengembalikan tahta kekuasaan kepada Pangeran Juan Carlos.
Terlihat bahwa monarki sebagai salah satu bentuk negara dan demokrasi sebagai sistem pemerintahan dan sosial sehari-hari bukan sesuatu yang harus dipertentangkan. Banyak negara yang berbentuk republik justru tidak menjalankan demokrasi dengan baik dan dipimpin dengan cara otoriter.
Tanpa bermaksud mengajari siapapun, kita mencatatkan di sini, semacam definisi mengenai demokrasi. Siapa tahu ada di antara kita yang sudah lupa. Setidaknya sebagai referensi untuk diperbandingkan dengan beberapa pemahaman yang dilazimkan pada masa ini. Referensi ini kita pinjam dari rubrik Ensiklopaedia Sosial Politik (Rahman Tolleng, Mingguan MI, Bandung 1966/1967) dengan beberapa penyesuaian.
ISTILAH demokrasi berasal dari kata Yunani, demos yang berarti rakyat dan kratein yang berarti kekuasaan. Jadi demokrasi berarti kekuasaan rakyat, dan biasanya diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia: kedaulatan rakyat.
Sebagaimana dengan peristilahan politik lainnya, kata demokrasi pun banyak dikaburkan arti dan isinya. Hitler umpamanya dalam bukunya MeinKampf menulis bahwa the Germany is a true democratic, begitu pula Mussolini pernah berkata bahwa the fascist form is a democracy, walaupun sesungguhnya pemerintahan kedua orang ini dalam teori dan praktek sangat anti demokrasi. Kita pun berkenalan dengan kata-kata demokrasi-rakyat dari kaum komunis, demokrasi-terpimpin dari Bung Karno, Demokrasi-Pancasila di masa Soeharto, yang penerapannya ternyata sama sekali telah menghapuskan hakekat dan makna dari demokrasi itu sendiri.
Demokrasi biasanya dikenal sebagai bentuk atau sistem pemerintahan, tetapi pada dasarnya demokrasi itu adalah juga suatu way of social life. Sistem nilai dari demokrasi sebagai way of life bersumber dan berpusat kepada harkat dan martabat manusia, yaitu perasaan manusia akan harga diri dan tanggung jawab sendiri. Setiap individu mempunyai hak akan kemerdekaan dan mengembangkan kepribadiannya. Selanjutnya prinsip dasar dari demokrasi adalah persamaan. Demokrasi tidak mengingkari adanya perbedaan-perbedaan antar manusia, tetapi lebih mengutamakan persamaan-persamaannya.
Penghargaan akan martabat manusia inilah kemudian dikembang-biakkan menjadi suatu bentuk atau sistem pemerintahan. Dalam hal ini demokrasi adalah realisasi dari cita-cita kemerdekaan yang terkandung dalam martabat manusia (humandignity). Democracy is the political embodiment of the idea of freedom (Encyclopaedia of World Politics, Walter Theimer). Sistem demokrasi ini sudah dikenal sejak zaman purbakala, antara lain di Yunani dan Romawi, akan tetapi baru di abad-abad ke-18 dan 19 dijadikan sebagai persoalan yang hangat di kalangan negarawan.
Dalam suatu negara demokrasi, maka pemerintahan dijalankan oleh rakyat banyak, biasanya dibedakan dari negara-negara otoriter di mana pemerintahan hanya dijalankan oleh satu atau beberapa orang. C. Northcote Parkinson dalam bukunya The Evolution of Political Thought membedakan demokrasi dari sistem yang dijalankanoleh beberapa orang yang bisa berbentuk aristokrasi, oligarki atau feodalisme, dan demokrasi dari sistem yang dijalankan oleh satu orang yang berbentuk monarki, despotisme atau dictatorship. Di sini Parkinson agaknya mengacaukan bentuk atau sistem pemerintahan dan bentuk negara, sehingga bentuk monarki baginya adalah tidak demokratis. Padahal banyak negara monarki yang sistem pemerintahannya demokratis seperti halnya dengan Inggeris.
Demokrasi sebagai suatu sistem pemerintahan yang dijalankan oleh rakyat (atau rakyat banyak) maksudnya adalah bahwa rakyat atau rakyat banyak ikut serta dalam pemerintahan dalam artian menjalankan pengaruh yang efektif dalam pemerintahan. Dengan kata lain bahwa pada tingkat terakhir rakyatlah yang memberikan ketetapan mengenai masalah-masalah yang dihadapinya, termasuk di dalam menilai kebijaksanaan pemerintahnya.
Appadorai dalam The Substance of Politics mendefinisikan demokrasi sebagai a system of government under which the people exercise the governing power either direct or through representatives periodically elected by themselves. Jadi, demokrasi adalah satu sistem pemerintahan dimana rakyat menjalankan kekuasaan pemerintahan baik secara langsung ataupun melalui perwakilan yang terpilih oleh mereka secara periodik. Jenis demokrasi yang disebut pertama dinamakan demokrasi langsung (ada juga yang menamakannya demokrasi murni), sedangkan jenis yang kedua dinamakan demokrasi perwakilan. Dalam demokrasi langsung kehendak rakyat langsung dinyatakan dalam ‘pertemuan-pertemuan’ (terdapat dalam negara-negara kota di Yunani dan Romawi purba) dan atau melalui plebisit (referendum). Sedangkan dalam demokrasi perwakilan kehendak rakyat dinyatakan melalui wakil-wakilnya yang dipilihnya dalam suatu pemilihan umum.
Sistem demokrasi perwakilan inilah yang paling banyak ditemukan. Di antara negara-negara demokrasi ini masih terdapat perbedaan derajat satu sama lain mengenai pelaksanaan demokrasi, tetapi pada umumnya mengakui bahwa suatu sistem demokrasi haruslah menjamin hak-hak azasi manusia.
Paham demokrasi sesuai dengan hakekat dan sumbernya yang terletak pada martabat manusia (humandignity) menjamin hak-hak azasi manusia yang seharusnya meliputi baik hak-hak politis dan juridis, maupun hak-hak sosial, ekonomi dan kebudayaan. Dalam hal hak-hak politis dan juridis yang dipandang sangat pokok dan fundamental dalam alam demokrasi adalah kebebasan berbicara, pers dan berkumpul, persamaan dalam hukum, kebebasan beragama dan kebebasan dari ketakutan. Sedangkan hak-hak sosial, ekonomi dan kebudayaan menuntut adanya kebebasan dari kemiskinan dengan hak memperoleh kesempatan bekerja yang layak serta perlindungan dari pengangguran, hak-hak jaminan sosial dan hak-hak mengembangkan bakat dan kepribadian melalui pendidikan dan lain sebagainya.
Adanya perbedaan dalam pelaksanaan paham demokrasi ini di dalam kehidupan kenegaraan untuk sebagian besar disebabkan oleh perbedaan aksentuasi dari hak-hak azasi manusia tadi. Mungkin dari sudut ini pula bisa dilihat perbedaan antara apa yang disebut demokrasi liberal dari negara-negara Barat dengan apa yang disebut demokrasi rakyat dari negara-negara komunis. Bila yang pertama menitikberatkan pada hak-hak politik dan juridis maka bagi kaum komunis yang menganggap keharusan-keharusan demokrasi di bidang politik dan juridis ini hanyalah demokrasi formal, mencoba mendahulukan persamaan di bidang ekonomi yang pada akhirnya meninggalkan hak-hak azasi yang fundamental dalam demokrasi.
Perbedaan antara sistem demokrasi liberal dan demokrasi rakyat mungkin dapat pula dilihat dari perbedaan tekanan antara kebebasan dan tanggungjawab, antara kepentingan individu dan kepentingan “rakyat”. Pada sistem liberal lebih menonjol aspek kebebasan dan individualisme, sedangkan pada sistem komunis seolah-olah mendahulukan tanggungjawab dan kepentingan “rakyat” (baca: kepentingan ‘kelas pekerja’, kepentingan Partai Komunis). Demikianlah sehingga kaum komunis telah memberikan arti yang lain bagi hak-hak azasi manusia, umpamanya mengenai kemerdekaan pers, dalam UUD Uni Soviet (yang dulu dipimpin Rusia, sebelum bubar) suratkabar berfungsi ‘sesuai dengan kepentingan mereka yang membanting tulang’.
Paham demokrasi yang modern yang dipelopori oleh kaum sosialis (non komunis) mencoba meluaskan demokrasi politik (demokrasi formal, demokrasi liberal) sampai kepada demokrasi sosial, demokrasi ekonomi dan demokrasi kebudayaan. Selanjutnya paham demokrasi modern ini mencoba menyelaraskan antara kebebasan (hak) dan tanggungjawab, antara kepentingan individu dan kepentingan rakyat. Menurut paham ini demokrasi politik haruslah diluaskan dalam bidang sosial, ekonomi dan kebudayaan (tanpa meninggalkan demokrasi politik itu sendiri), oleh karena menurut paham ini persamaan di bidang politik hanya bisa terjamin bila disertai dengan persamaan di bidang sosial, ekonomi dan kebudayaan. Bahkan sebegitu jauh kaum sosialis (non komunis) berpendirian seperti dikatakan oleh Ludwig von Mises dalam bukunya Socialism bahwa “….. democracy and socialism meant the same thing, and that demoracy without socialism or socialism without democracy would not be possible”.
Demokrasi modern sebagai sistem pemerintahan oleh Abraham Lincoln pernah dirumuskan sebagai “pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat” (An Introduction to Politics, RH Soltau). Cita-cita demokrasi modern ini diwujudkan dalam suatu pembagian kekuasaan dan pemilihan umum yang berkala, satu dan lain hal untuk mencegah bahaya kekuasaan manusia terhadap manusia, baik hal itu merupakan tirani minoritas terhadap mayoritas, maupun tirani mayoritas atas minoritas. Tradisi demokrasi tersebut tidak dikenal di dalam negara-negara komunis, dan kalau berbicara tentang demokrasi maka yang dimaksudkannya adalah suatu pemerintahan yang dijalankan untuk kepentingan “rakyat”, kepentingan dari kaum ‘kelas pekerja’.
Dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia, di zaman Orde Lama rakyat berkenalan dengan demokrasi terpimpin yang menjurus ke diktator, sedangkan sebelumnya di zaman pra Dekrit (5 Juli 1959), demokrasi ternyata telah disalahgunakan sehingga cenderung menjadi anarki. Demokrasi Pancasila yang kemudian banyak dipergunakan bagi Orde Baru ternyata mengulangi lagi penyelewengan demokrasi di masa sebelumnya. Nyatanya dalam perjalanannya, Demokrasi Pancasila ternyata telah disimpangkan pula pada akhirnya. Sementara pada masa berikutnya yang sering disebut masa reformasi, sejumlah praktek demokrasi untuk sebagian kembali berubah wujud sebagai anarki.
“Meskipun musim telah berganti, sepanjang tingkat dan kadar kualitas para pelakunya yang sejauh ini pada hakekatnya masih lebih dipengaruhi oleh faktor emosional daripada sikap rasional, maka secara formal para pemimpin kekuasaan masih akan selalu ‘benar’ dalam kehidupan politik nyata saat ini”.
TAK HANYA sekali dua kali, tetapi sudah seringkali, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ‘mengeluh’ –atau barangkali lebih tepat disebut menyampaikan kekesalan– terhadap berbagai kritik yang bernada menimpakan kesalahan atas dirinya. Beberapa di antara lontaran kecaman itu dianggapnya sebagai fitnah, seperti misalnya dalam kaitan kasus Bank Century.
Di masa lampau, sepanjang yang dapat dicatat dari pengalaman empiris Indonesia, para pemimpin –setidaknya yang sebagaimana yang dialami Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto– selalu ‘benar’, tak pernah ‘salah’. Selalu ada pembenaran bagi sang pemimpin dalam berbagai rentetan peristiwa yang terjadi dari waktu ke waktu pada masa kekuasaan mereka. Menjelang kejatuhan dan atau setelah jatuh dari kekuasaan, barulah mereka ‘salah’. Rupanya musim telah berganti. Kini, masih sedang berkuasa, Susilo Bambang Yudhoyono, seperti yang dikeluhkannya sendiri, sudah seringkali dipersalahkan, bahkan merasa senatiasa jadi sasaran ‘fitnah’.
SUASANA Indonesia masa lampau tatkala para pemimpin ‘tak pernah salah’ itu, tercermin dan tergambarkan dengan baik analogi psikologisnya dalam sebuah ‘esei’ tentang kekuasaan raja. Esai ini ditulis seorang cendekiawan muda, MT Zen, yang mengalami masa penuh pertarungan dan keresahan akibat politisasi di kampus perguruan tinggi era Nasakom di masa kekuasaan Soekarno. Tulisan tersebut berjudul ‘Kubunuh Baginda Raja’, dimuat Mingguan MahasiswaIndonesia, Bandung, Juli 1966, dan pernah dikutip di blog ini. Tulisan ini, selain menjejak balik ke kurun beberapa tahun sebelumnya, bahkan juga mampu merentangkan benang merah analogi hingga ke masa-masa kekuasaan berikutnya dan mungkin terasa kebenaran maknanya hingga ‘kini’.
Kisah pijakannya diangkat dari peristiwa sejarah di Perancis pada tahun-tahun terakhir abad kedelapanbelas, dari zaman Romawi dan kisah kekuasaan abad-abad yang lebih baru, berikut ini. Dari seluruh pelosok pedalaman, dari perbukitan dan dataran tanah Perancis, angin membawakan jeritan dan keluhan yang menyayat hati: “…. iftheKingonlyknew ! ” – ….. jika Baginda Raja mengetahui. Demikian juga di Rusia lebih dari seratus tahun kemudian. Dari dataran steppe hingga ke padang salju Siberia, terdengar keluhan dan rintihan yang senada. “…. iftheCzaronlyknew !”. Jadi nyatalah disini bahwa rakyat pada mulanya mempunyai kepercayaan sekiranya Baginda Raja mengetahui tentang nasib mereka, niscaya Raja akan menghukum para menteri yang bersalah serta menolong rakyat yang tertindas. “Bukankah Raja itu wakil dari Tuhan yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang ?”.
Tetapi sayang ! …. Sayang sekali ! Pertolongan yang dinantikan tak kunjung datang dari sang Raja. Mereka tidak mengetahui dan tidak mengerti bahwa Baginda Raja telah melupakan mereka, telah meninggalkan mereka, telah meremehkan mereka dan telah mengkhianati mereka. Mereka tidak mengerti dan tidak mau mengerti bahwa Baginda Raja sendirilah yang terutama mengkhianati dan berdosa kepada mereka….. Baginda Raja dengan penuh kesadaran telah membiarkan para menteri dan para bangsawan menindas rakyat untuk kepentingan sang Raja, agar Baginda Raja senantiasa berdendang dan menari di atas jubin batu pualam dan diterangi oleh ribuan chandelier bersama seribu bidadari. “Sebagai akibat dari perkosaan terhadap rakyat maka terjadilah drama berdarah di PalacedelaRevolution pada Senin pagi di tahun 1793. Darah rakyat ditebus dengan darah Raja”. Menurut logika, sesuai dengan kemajuan pengetahuan dan peradaban umat manusia, seharusnya Raja dalam arti kata yang sebenarnya, yaitu Raja dengan kekuasaan absolut tidak ada lagi dan tidak boleh ada. Raja dengan kekuasaan mutlak adalah kejahatan sejarah, bertentangan dengan azas-azas kemanusiaan dan harus disingkirkan.
“Sebenarnya kebencian manusia terhadap kekuasaan mutlak telah juga dicetuskan oleh orang-orang Romawi dan Yunani beberapa ribu tahun yang lalu. Contoh yang terbaik dari zaman Romawi adalah pembunuhan Julius Caesar oleh Marcus Brutus, anak angkat dan kesayangan Caesar sendiri. Satu-satunya motif yang diberikan oleh Brutus kenapa ia sampai hati untuk membunuh Caesar dapat dilihat dari pidato singkatnya sesudah terjadi pembunuhan tersebut. Sebagaimana dilukiskan oleh Sheakespeare, pidato tersebut berbunyi antara lain: “Sekiranya dari sekumpulan ini ada seorang teman dari Caesar, kuhendak berkata kepadanya bahwa cintaku terhadap Caesar tidak kurang dari cintanya kepada Caesar. Tetapi sekiranya ia akan menanyakan lagi kenapa sampai ku berontak terhadap Caesar, inilah jawabanku: Bukan karena aku kurang mencintai Caesar, tetapi karena ku lebih cinta kepada tanah air. Apakah kalian lebih senang pabila Caesar terus hidup dan kalian mati sebagai budak belian, daripada Caesar mati tetapi kalian akan hidup sebagai manusia bebas ?”.
“Nyatalah di sini bahwa kebencian manusia kepada kekuasaan mutlak dan pemerintahan sewenang-wenang bukan monopoli orang-orang revolusi Perancis ataupun orang dari abad kesembilanbelas. Kebencian terhadap kekuasaan mutlak adalah ciri khas dari rakyat dan bangsa yang beradab. Sedangkan pemujaan terhadap kekuasaan mutlak dan pemujaan perorangan adalah ciri khas dari bangsa barbar”. Tetapi yang mengherankan adalah kenyataan bahwa di dunia modern ini masih banyak manusia modern yang bersifat biadab. Karena kenyataannya ialah bahwa masih selalu timbul ‘Raja’ dalam bentuk Fuhrer (Hitler), Duche (Mussolini), Ketua Partai (Stalin) dan…. dalam bentuk Presiden dari suatu Republik.
“Semua warga Indonesia adalah pemilik syah dari Republik Indonesia, maka dari itu harus pula bertanggungjawab. Pakailah commonsense dan kritik yang sehat agar hakmu tidak diperkosa oleh siapa pun juga, waspada lah dari sekarang selagi masih belum terlambat, agar jangan sampai pada suatu ketika engkau dipaksakan oleh sejarah untuk melakukan sesuatu yang membuat bangsamu yang kini dikenal sebagai ‘hetzachtstevolk teraarde’ –bangsa yang paling lembut di dunia– nanti dikenal sebagai bangsa yang tangannya dinodai oleh darah Baginda Raja”. Demikian sebagian tulisan MT Zen.
Wujud kepercayaan kepada Raja yang dilahirkan melalui kalimat “iftheKingonlyknew”, kerap lahir dalam bentuk lain berupa anggapan yang terkandung dalam ungkapan yang pernah dikutip Harry Tjan Silalahi, “plusRoyalistequeleRoi”, yang berarti bahwa “anak buah raja sering berlagak melebihi sang raja sendiri”. Tapi sejarah menunjukkan pula, seringkali memang sang Raja –atau sang Pemimpin– sendiri lah yang merupakan sumber masalah dan bencana. Apalagi bilamana sikap feodal masih dominan melajur dalam kekuasaan dan masyarakat.
SAMPAI sekarangpun, sindrom ‘anak buah raja sering berlagak melebihi sang raja sendiri’ masih menghinggapi banyak orang. Ketika buku George Junus Aditjondro ‘Membongkar Gurita Cikeas’ muncul, banyak pengikut SBY yang menunjukkan kemarahan lebih besar dari SBY sendiri. Dengan sengit mereka ‘menyerbu’ George Aditjondro, sampai-sampai ada yang merasa perlu mendatangi salah satu acara peluncuran buku tersebut. Junus Aditjondro rupanya lama-lama tak tahan juga, sehingga ia ‘menampar’ dengan buku pipi anggota DPR dari Partai Demokrat Ramadhan Pohan.
Apakah Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Gubernur BI Dr Budiono yang mengambil kebijakan bailout Bank Century tatkala Presiden sedang berada di Amerika Serikat, juga terhinggap gejala plus Royaliste que le Roi? Ketika berhadapan dengan Pansus Century di DPR, Sri Mulyani mengaku bertindak dengan sepengetahuan Presiden. Tetapi saat menyampaikan pidato 4 Maret 2010 malam di Istana Merdeka menyambut rekomendasi Pansus Century itu, Presiden menegaskan, “Sekali lagi, di saat pengambilan keputusan itu saya sedang berada di luar negeri. Saya memang tidak dimintai keputusan dan arahan. Saya juga tidak memberikan instruksi atas pengambilan kebijakan tentang ihwal itu, antara lain karena pengambilan keputusan KSSK berdasarkan Perpu No.4 Tahun 2008, memang tidak memerlukan keterlibatan Presiden”. Apakah Presiden sedang menjadi Pontius Pilatus yang mencuci tangan di cawan penyangkalan? Tidak juga langsung bisa dikatakan demikian. “Meskipun demikian, saya dapat memahami mengapa keputusan penyelamatan itu dilakukan. Tidak cukup hanya memahami saya pun membenarkan kebijakan penyelamatan Bank Century tersebut”. Lebih dari itu, Presiden bahkan menyatakan perlunya memberikan penghargaan setinggi-tingginya kepada “mereka yang dalam kondisi kritis telah berjasa dalam penyelamatan perekonomian nasional kita”.
Pidato Presiden 4 Maret ini dengan demikian telah mempermudah dan memperjelas dengan terang benderang sambungan-sambungan mata rantai pertanggungjawaban dalam kebijakan bailout Bank Century. Presiden menyatakan membenarkan kebijakan tersebut dan dengan demikian tentu saja bertanggungjawab atas kebijakan tersebut. Bila bisa dibuktikan bahwa kebijakan tersebut telah ‘memperkosa’ kepentingan rakyat banyak –semisal dan atau seandainya ada skandal dana politik di balik jalinan peristiwa, sesuatu yang dibantah oleh SBY– meminjam analogi dalam tulisan MT Zen, DPR semestinya dipaksakan oleh sejarah untuk bertindak. Akan tetapi sejak dini harus dikatakan bahwa suatu impeachment sebagai pertanggungjawaban ultima cenderung untuk mustahil dilakukan mengingat komposisi MPR-DPR saat ini dikaitkan dengan syarat persetujuan dan quorum yang berlaku.
Jadi, meskipun musim telah berganti, sepanjang tingkat dan kadar kualitas para pelakunya yang sejauh ini pada hakekatnya masih lebih dipengaruhi oleh faktor emosional daripada sikap rasional, maka secara formal para pemimpin kekuasaan masih akan selalu ‘benar’ dalam kehidupan politik nyata saat ini.