BEBERAPA bulan sebelum tragedi hukum gantung prajurit KKO Usman dan Harun Oktober 1968 di penjara Changi Singapura, Denis Warner menulis dalam publikasi internasional Solidarity tentang ketertarikan Lee Kuan Yew terhadap model Israel yang survive di tengah ‘kepungan’ negara-negara dengan sikap permusuhan. Seperti Israel, Singapura adalah sebuah negara berwilayah kecil –sebuah negara pulau di selatan Semenanjung Malaya– dengan mayoritas penduduk beragama berbeda dan sekaligus beretnis ‘minoritas’ yang bukan Melayu di antara tetangganya di bagian selatan Asia Tenggara.

Singapura memperoleh kemerdekaannya dari Inggeris tahun 1959 dua tahun setelah Malaya di tengah masih kuatnya gelombang ‘subversi’ kaum komunis. Negeri pulau itu memang menjadi salah satu sasaran utama ‘subversi’ komunis sepanjang tahun 1950-an. Lee Kuan Yew dengan partai pendukungnya People’s Action Party, menjadi penguasa Singapura merdeka yang harus mengayuh biduk pemerintahannya di tengah berbagai manuver yang tak kunjung henti dari kaum komunis. Tetapi dalam empat tahun, hingga 1963, Lee selalu berhasil mengatasi kritik dan serangan politik kaum komunis, dan berhasil menyudutkan kelompok politik tersebut di Singapura, walau tak berhasil mematikannya sama sekali.
Untuk menghadapi gerakan kaum komunis, pemerintahan Lee Kuan Yew melahirkan sejumlah peraturan ketat dan membentuk Special Branch. Ini adalah semacam polisi rahasia. Anggota-anggota Special Branch menyusup ke tengah jaringan kaum komunis, dan tidak ragu-ragu melakukan penangkapan terhadap para pemimpin komunis jika keadaan mendesak.

Saat Federasi Malaysia terbentuk tahun 1963, Lee berhasil membujuk PM Tunku Abdul Rahman membuka pintu pemasaran dan berbagai kesempatan ekonomi bagi Singapura, sebagai bagian dari Federasi Malaysia. Tetapi perkawinan kepentingan ini berakhir tahun 1965. Denis Warner menyebutnya sebagai “suatu perceraian yang pahit”. Sementara itu, hubungan perdagangan dengan Indonesia pun sedang terputus selama konfrontasi Indonesia di bawah Soekarno terhadap Federasi Malaysia. Peristiwa peledakan MacDonald House terjadi 10 Maret 1965, di tahun ‘perceraian’ dengan Malaysia.
Pada tahun 1965 itu, Singapura mendapatkan dirinya sebagai negara pulau yang bebas dan berdaulat –dengan mayoritas penduduk etnis China– di sudut Selat Malaka yang tak bisa dikatakan aman. Pasar ekonomi di daratan Semenanjung Malaya yang tadinya merupakan kesempatan bagi Singapura sebagai anggota Federasi Malaysia, berubah suram. Keistimewaan-keistimewaan selama berada dalam Federasi, tidak lagi berlaku. Malaysia kemudian mengembangkan industri dan perdagangan tanpa melalui Singapura lagi. Juni 1967 suatu peraturan imigrasi yang ketat diberlakukan di sektor perhubungan antara Malaysia-Singapura.
Dengan perencanaan yang efektif dan peraturan yang ketat, Singapura berhasil lulus dalam ujian situasi yang dihadapi. Dengan berakhirnya konfrontasi Indonesia, pelabuhan nomor lima tersibuk di dunia ini bertambah ramai dan sibuk. Kalangan perdagangan menyebutkan, pelabuhan Singapura naik ke peringkat keempat tersibuk di dunia. Kapal-kapal besar dan tanker, berdampingan dengan kapal-kapal pantai dan armada perahu dari kepulauan Indonesia, meramaikan pelabuhan Singapura. Pada tahun 1967 Singapura mengalami kenaikan impor dan ekspor secara signifikan. Hasil industri Singapura naik 18 persen, sedang cadangan valuta asing naik 12 persen mencapai USD 391 juta –suatu angka yang besar untuk masa itu.
Misi-misi perdagangan Singapura menyebar ke Eropa, Amerika dan Afrika memperluas hubungan dagang. Bahkan juga menembus –meski melalui pihak ketiga –ke negara-negara tirai besi berideologi kiri. Sejumlah insentif ditawarkan, tak terkecuali untuk perdagangan skala kecil sekalipun. Dengan memberikan tax holiday, tanah untuk pabrik, proteksi tarif dan pemerintahan yang bersih dan efektif, Lee berhasil menarik industrialis asing untuk berkegiatan di negara pulau itu. Blessing in disguise, perang Vietnam memberi banyak rezeki bagi Singapura. Pasokan kebutuhan perang di Vietnam memberi keuntungan besar untuk Singapura. Sementara itu, situasi bermasalah di Hongkong, mengalirkan hot money berjumlah besar ke Singapura. Sadar bahwa suatu kerusuhan di Singapura, bisa mengalirkan kembali uang itu ke luar Singapura, maka Lee menjaga keamanan dan ketertiban dengan keras dan ketat.
Lee Kuan Yew juga ketat menjalankan program Keluarga Berencana. Angka kelahiran dijaga agar tak melebihi 1,8 persen demi kestabilan jumlah penduduk. Untuk itu Lee bahkan mengizinkan aborsi. Tapi dalam masalah pengangguran, Lee Kuan Yew menghadapi cukup banyak kerumitan.
Rencana Inggeris untuk menghapuskan pangkalan militernya berangsur-angsur hingga selesai paling lambat pertengahan 1970, secara ekonomis tak menguntungkan Singapura. Keberadaan pangkalan-pangkalan militer Inggeris menyumbang 12 persen pendapatan nasional. Pangkalan-pangkalan itu mempekerjakan langsung 40.000 orang dan secara tidak langsung merupakan sumber penghidupan bagi hampir seperlima penduduk Singapura yang kala itu berjumlah sekitar 2 juta jiwa.
Masalah pengangguran menjadi amunisi bagi kaum komunis dan front politiknya, Partai Barisan Sosialis. Partai ini meninggalkan parlemen –sehingga tak ada lagi fraksi oposisi– dan menempuh cara-cara ekstra parlementer dalam perjuangannya. Dalam kongres tahunan Maret 1967, Lim Chin-siong seorang agitator ulung komunis yang sedang dibatasi kegiatan politiknya oleh pemerintah, diangkat kembali menjadi Sekertaris Jenderal Partai Barisan Sosialis. Partai ini mengerahkan massa anak muda yang terlatih baik secara ideologis dan militansi, terus menerus turun ke jalan melakukan aksi bawah tanah dan gerakan ekstra parlementer, untuk melunturkan kepercayaan rakyat kepada pemerintah.
Gerakan bawah tanah komunis bulan Juni 1967 mengorganisir serangan terhadap Pusat Pemadam Kebakaran, kantor-kantor People’s Action Party, Kedutaan Besar Amerika Serikat serta aksi mogok makan para tahanan di Penjara Changi yang dibarengi aksi mogok dengan berjongkok di luar penjara. Tanggal 27 di bulan yang sama, ‘kelompok perusuh’ melakukan aksi perusakan ruang pengadilan, saat 313 orang dengan tuduhan berkumpul tanpa izin sedang diadili. Di luar gedung, massa meneriakkan hujatan sembari menyerang polisi. Massa juga ikut bernyanyi mengikuti lagu perjuangan komunis yang dikumandangkan di dalam gedung pengadilan.
Menghadapi Special Branch, sekitar dua lusin pimpinan kelompok komunis ini cukup pandai bermain kucing-kucingan. Beberapa di antara pimpinan penting, tinggal di Johore, negara bagian paling selatan Malaysia dan mengatur pergerakan dari sana. Beberapa yang lain bergerak dari kepulauan Riau di wilayah Indonesia.
Para pemimpin komunis ini memiliki sebuah mimpi untuk menjadikan Singapura sebagai Cuba di Asia Tenggara. Cuba juga adalah sebuah negara pulau di Amerika Tengah, dengan sistem komunis, di pimpin Fidel Castro. Tepat berhadapan dengan Amerika Serikat.
Sebaliknya, Lee Kuan Yew terpesona kepada Israel, sebuah negara berwilayah kecil yang berhasil bertahan dari negara-negara Arab yang mengelilingi dan memusuhinya, bahkan ingin menghapus eksistensinya. Lee punya impian, menjadikan Singapura sebagai Israel di Asia Tenggara. Lee sejak awal mengingatkan kemungkinan komunis menguasai Asia Tenggara. “Tidak ada yang lebih membahayakan Asia Tenggara daripada membiarkan Vietnam Selatan dikikis dan dicaplok komunis,” ujarnya. Kekuatiran yang sama mengenai Indonesia di bawah Soekarno, meskipun tak diucapkannya terbuka. “Waktu sangat sempit bagi kita. Jika orang mulai percaya bahwa daerah-daerah non komunis di Asia akan jatuh ke tangan komunis, maka semua orang akan menyesuaikan diri ke arah sana.”
Untuk menjadi semacam Israel di Asia Tenggara, selain membangun ekonomi, sebagai bagian dari suatu kompleks minoritas dalam kepungan, Singapura di bawah Lee Kuan Yew juga membangun kekuatan militer. Mungkin bukan suatu kebetulan, pada awal membangun kekuatan militernya, Singapura mendatangkan instruktur-instruktur Israel untuk membantu. Karena berada di suatu kawasan –Malaysia dan Indonesia– berpenduduk mayoritas muslim, para instruktur Israel itu disamarkan sebagai orang-orang Meksiko.
Baik di Angkatan Bersenjata maupun di kalangan sipil pemerintahan, penekanan selalu pada pembaktian. “Penempaan baja memerlukan waktu lama, dan kalian harus menjadi laki-laki tempaan,” demikian Menteri Pertahanan Goh Keng Swee berkata kepada siswa-siswa sekolah artileri dan institut latihan angkatan bersenjata, Agustus 1967. Sampai-sampai para abdi masyarakat di Singapura pun harus menjalani latihan kemiliteran. Pada waktu yang sama, kepada mereka ditanamkan sikap menjalankan kehidupan pribadi yang bersih dari skandal dan korupsi.
“Wilayah ini akan berkelanjutan hidupnya, hanya jika semua orang punya keinginan untuk maju,” kata Lee Kuan Yew. “Persoalannya, tiada lain dari kemauan dan kerja. Jika tidak demikian, tamatlah kita. Keadaan akan kembali kepada dataran lumpur seperti ketika Raffles tiba di pulau ini tahun 1819,” kata Lee Kuan Yew.
BAGAIMANAPUN harus diakui, Lee Kuan Yew adalah seorang bapak bangsa bagi Singapura. Meskipun tak mengedepankan demokrasi, ia telah mengajarkan bangsanya untuk hidup lebih bersih, lahir batin. Ia juga memiliki kemampuan bersikap rendah hati, saat hal itu diperlukan. Kesediaannya datang menabur bunga di pusara Usman dan Harun di Taman Makam Pahlawan Kalibata 1973 bisa meredakan kegusaran Soeharto. Sayang, ia tak begitu berhasil mengestafetkan banyak sikap kenegarawanan seperti yang dimilikinya kepada generasi baru pemerintahan Singapura. Selama masih hidup, Lee masih punya kesempatan melakukannya.
Pada sisi sebaliknya, para pemimpin generasi baru Indonesia juga patut melakukan kontemplasi. Kenapa, harkat dan martabat bangsa belakangan ini makin sering direndahkan oleh para pemimpin negara tetangga seperti Malaysia, Australia dan Singapura? Para tokoh pemerintahan Singapura, tak segan mencoba mendikte, mulai soal ekstradisi yang ingin dipertukarkan dengan medan latihan militer mereka di Indonesia, dan yang terbaru soal penamaan KRI Usman Harun. Belum berbagai kata menyakitkan yang bisa dilontarkan seenaknya setiap saat. Padahal, sumber penghasilan ekonomi negara dengan penduduk yang kini berjumlah 5 juta orang itu, untuk sebagian besar berkaitan dengan Indonesia.
Apakah negara kita direndahkan karena para pemimpinnya terkenal korup dan gampang dibeli dengan uang dan suguhan sex? Gampang menjual aset negara yang strategis, semisal pengelolaan satelit. Apakah karena orang di Singapura tahu betapa kejahatan perdagangan minyak dan bahan bakar minyak diatur dan direncanakan oleh orang Indonesia sendiri dengan meminjam tempat di negara pulau itu? Begitu pula berbagai persekongkolan lainnya? Suap dan negosiasi putusan hukum di Indonesia kerap dirundingkan di sana? Lalu, turun temurun sejumlah uang hasil korupsi disimpan dalam rekening bank di negeri itu, dan lain sebagainya. Akan menjadi suatu daftar panjang bila perilaku a-nasional itu disusun satu per satu. (socio-politica.com)