SAAT khalayak pada umumnya masih membicarakan peristiwa teror bom ibukota di wilayah Sarinah Thamrin, dan silang kata mengenai kasus Setya Novanto-Sudirman Said-Maroef Sjamsoeddin belum usai, timbul semacam kesangsian tentang ‘masa depan’ Nawacita. Mengangkat anggapan yang ada di tengah masyarakat Pojok Mang Usil Harian Kompas (Rabu 20 Januari 2016) menulis “Nawacita makin sayup-sayup.” Disertai komentar “Jangan sampai jadi dukacita.” Ini sebuah sentilan usil yang masih cukup lunak terhadap Presiden Joko Widodo yang saat ini berada di tampuk kekuasaan negara. Lima puluh tahun yang lalu, Presiden Soekarno menghadapi sorotan yang lebih krusial. Kala itu pidato pertanggungjawaban Bung Karno ‘bapak ideologi’ Presiden Joko Widodo, yang berjudul Nawaksara, mendapat ‘sentilan’ keras dalam tulisan seorang cendekiawan muda dari ITB, MT Zen, melalui penamaan Nawasengsara.
Dalam tulisan yang mampu mewakili aspirasi sebagian besar generasi muda waktu itu MT Zen memaparkan sembilan kesengsaraan untuk rakyat yang telah dipersembahkan sang presiden selama berkuasa, khususnya antara tahun 1960 sampai 1965. (Lihat https://socio-politica.com/2015/03/18/dari-nawaksara-soekarno-ke-nawacita-jokowi/). Melalui pidato 22 Juni 1966 di depan Sidang MPRS itu, Soekarno mencoba menjelaskan mengenai berbagai gelar dan jabatan yang dimilikinya, seperti Pemimpin Besar Revolusi, Presiden Seumur Hidup dan Mandataris MPRS. Ia juga menjelaskan mengenai landasan kerja dalam melanjutkan pembangunan yang mencakup konsep Trisakti –suatu konsep yang diangkat kembali oleh Presiden Joko Widodo– serta Rencana Ekonomi Perjoangan dan pengertian konsep Berdikari. Tetapi, apa yang justru diminta MPRS sebagai pokok masalah terkait pertanggungjawaban mengenai Peristiwa 30 September 1965, samasekali tidak disinggung Soekarno.

TAHUN 2015 yang baru berlalu ini, memang bukan tahun yang melegakan. Sementara itu, tahun 2016 sendiri pun masih penuh tanda tanya: Apakah menjadi tahun momentum pembuka keberhasilan Presiden Joko Widodo –‘bersama’ Wakil Presiden Jusuf Kalla– melunasi janji-janjinya kepada rakyat Indonesia saat menuju kursi kepresidenan. Atau, kembali menjadi awal babak baru dengan setumpuk janji baru –katakanlah derivat Nawacita lainnya– sebagai pemberi harapan baru berikutnya?
Sembilan janji. Nawacita pada butir pertamanya menjanjikan akan menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara, melalui pelaksanaan politik luar negeri bebas aktif, keamanan nasional yang terpercaya dan pembangunan pertahanan negara. Tetapi peristiwa teror bom dan serangan bersenjata Kamis pagi 14 Januari 2016 pekan lalu di wilayah Sarinah Jalan MH Thamrin, sedikit atau banyak telah mengusik rasa aman dan kepercayaan terhadap pertahanan-keamanan negara. Dan betulkah politik luar negeri kita bebas aktif, saat pemerintah makin memperkuat jalinan kepentingan –untuk tidak menyebutnya ketergantungan– ekonomi-keuangan dengan Republik Rakyat China? Dulu kala, rezim Soekarno membangun poros Jakarta-Peking, apakah kini ada poros Jakarta-Beijing?
“Kami akan membuat pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola pemerintahan bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya,” bunyi Nawacita kedua. Rekaman percakapan segitiga Setya-Maroef-Sudirman (SMS) mirip kotak Pandora yang bocor terbuka. Meski kebenaran isi rekaman itu masih memerlukan penelusuran lanjut, tapi setidaknya terindikasikan terdapatnya permainan-permainan politik-kekuasaan-bisnis tingkat tinggi di negara kita. Efektif untuk kepentingan pribadi atau kelompok, tapi jauh dari bersih. Demokratis dan terpercaya? Lalu, apakah sepak terjang Menteri Hukum dan HAM menangani pembelahan-pembelahan di tubuh Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan dengan bahasa kekuasaan bisa disebut demokratis dan terpercaya? Apakah aspek (kekuasaan) politik mengatasi supremasi hukum? Terlepas dari itu, bagaimanapun kehadiran dua partai tersebut sudah menjadi semacam tradisi dalam kehidupan politik Indonesia sejak 1971/1973, bersama PDI yang kemudian menjelma sebagai PDIP yang kini menjadi partai berkuasa.
Cita ketiga dari Nawacita yang yang berbunyi, “Kami akan membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan,” mengingatkan kepada strategi Mao “desa mengepung kota.” Tidak soal, kalau itu pada waktunya berfaedah. Tapi sekedar mendistribusi dana bantuan desa saja, sejauh ini masih tersendat-sendat dalam pelaksanaan. Dan dalam konteks negara kesatuan, masih sering timbul pertanyaan, mampukah pemerintahan Jokowi-JK menangani dengan baik Nanggroe Aceh Darussalam dan Papua ke depan dengan lebih baik, agar tidak menjadi ulangan Timor Timur?
Nawacita keempat menegaskan akan menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya. Butir keempat ini berhadapan dengan sejumlah fakta pelemahan KPK di segala lini. Penegak hukum yang tergoda suap dan iming-iming wealth driven law, menjadi semacam realita sehari-hari yang diyakini benar terjadi, namun tak tersentuh dan apalagi bisa terbuktikan oleh masyarakat. Dan pertanyaannya, reformasi sistem macam apa?
Nawacita kelima menjanjikan akan meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia, melalui peningkatan kualitas pendidikan dan pelatihan dengan program Indonesia Pintar wajib belajar 12 tahun bebas pungutan. Mungkin inilah satu-satunya butir Nawacita yang disambut dengan antusiasme yang cukup dari masyarakat, terutama dalam kaitan adanya Kartu Indonesia Pintar yang membuat beban biaya pendidikan yang selama ini dipikul masyarakat menjadi ringan. Meski, sekali-kali ada juga ekses. Ketika seorang ibu di Jakarta mengeluh kepada Gubernur Basuki Tjahaja Purnama tentang potongan sekian persen dalam pencairan dana Kartu Jakarta Pintar, sang Gubernur mencaci sang ibu sebagai maling, tanpa lebih dulu mencari tahu duduk persoalan sebenarnya, kenapa sang ibu terdorong untuk dan bisa mencairkan dana tersebut. Tapi terlepas dari adanya ekses, persoalan utama dunia pendidikan adalah kualitas kurikulum yang mampu disiapkan para perancang dan penentu di kementerian pendidikan.
Butir keenam dan ketujuh Nawacita menyebutkan tekad penyelenggara negara untuk meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional, sehingga bangsa Indonesia bisa maju dan bangkit bersama bangsa-bangsa Asia lainnya. Dan, mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik. Dua cita-cita ini bukan sekedar pilihan melainkan memang keharusan untuk dilakukan bila tidak ingin jatuh tersungkur dalam persaingan antar bangsa dan negara yang makin menajam. Tetapi ketidakmampuan pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla mengelola dengan baik –untuk tidak menyebutnya sangat buruk– kehidupan politik selama ini, menjadi sumber keraguan. Setahun lebih sejak awal pemerintahannya rezim ini terkuras fokusnya oleh masalah-masalah politik yang tidak produktif, dan pada saat yang sama ada persoalan dengan kualitas personil kabinet. Untuk mengkompensasi ketidakberhasilan, politik pencitraan lalu dijalankan dengan kadar tinggi. Banyak menteri dan institusi pemerintahan lalu lebih sibuk beriklan.
Janji kedelapan Nawacita adalah melakukan revolusi karakter bangsa, melalui kebijakan penataan kembali kurikulum pendidikan nasional dengan mengedepankan aspek pendidikan kewarganegaraan. Tapi sebenarnya bila berbicara tentang revolusi karakter atau revolusi mental, yang pertama-tama dibutuhkan pada hari-hari ini justru adalah revolusi mental dikalangan pemimpin-pemimpin dan aparat pemerintahan itu sendiri. Bagaimana agar mereka meninggalkan kultur feodalistik, meninggalkan sikap lebih mengedepankan penggunaan kekuasaan daripada sikap demokratis dalam menjalankan kekuasaan negara dan pemerintahan. Rakyat lebih membutuhkan penteladanan daripada sekedar banjir iklan dan slogan tentang revolusi mental. Sudah tujuh puluh tahun lebih bangsa ini dijejali dengan retorika kosong minus keteladanan.
“Kami akan memperteguh kebhinekaan dan memperkuat restorasi sosial Indonesia, melalui kebijakan memperkuat pendidikan kebhinekaan dan menciptakan ruang-ruang dialog antarwarga,“ janji kesembilan Nawacita. Restorasi sosial apa, kebhinekaan apa dan dialog apa? Manusia Indonesia masih selalu saling kejar dan saling usir karena perbedaan keyakinan antar agama maupun intra agama. Belajar dari kebiasaan bertengkar di antara kalangan politisi maupun kalangan kekuasaan pemerintahan –yang merupakan tontonan tetap di media dari waktu ke waktu– maka masyarakat akan lebih mahir bertengkar daripada berdialog.
Dukacita. Jadi, memang benar, Nawacita itu kini sayup-sayup. Salah-salah bisa menjadi nawa dukacita. Tahun yang baru berlalu ini, memang penuh masalah. Bila meminjam ungkapan-ungkapan yang sempat dilontarkan berbagai kalangan ke tengah masyarakat, tahun 2015 adalah tahun penuh kegaduhan dan kekalutan. Semuanya bercampur aduk menjadi sumber kecemasan dalam menapak ke depan menjalani tahun 2016. Entah bagaimana tahun 2016 ini nanti.
Semua kegaduhan dan kekalutan, disorder atau apa pun namanya, bagaimana pun untuk sementara ini tidak bisa dilepaskan dari kelemahan kualitatif kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla dan jajaran kabinetnya. Sebagaimana keadaan itu juga tak terlepas dari kelemahan kualitatif yang ada di tubuh para pelaku politik di parlemen –yang merupakan perpanjangan tangan partai-partai– dan di luar parlemen, maupun penegakan hukum yang dalam banyak hal masih memiliki sejumlah celah untuk dipengaruhi kekuatan politik dan kekuatan ekonomi. Kualitas kepemimpinan tentu saja selalu punya peluang untuk diperbaiki. Namun per saat ini, kita semua seakan masih berada dalam suatu lingkaran dengan jeratan pengaruh buruk yang nyata: Bila tidak pragmatis mengutamakan kepentingan diri atau kelompok di atas kepentingan ideal demi bangsa dan negara, akan hancur dan tersisih oleh para pesaing dalam kekuasaan negara dan kekuasaan sosial.
Siapa bisa dan akan mengakhiri? (socio-politica.com)