Tag Archives: Pemimpin Besar Revolusi

Cerita Nawa (Duka) Cita Presiden Joko Widodo

SAAT khalayak pada umumnya masih membicarakan peristiwa teror bom ibukota di wilayah Sarinah Thamrin, dan silang kata mengenai kasus Setya Novanto-Sudirman Said-Maroef Sjamsoeddin belum usai, timbul semacam kesangsian tentang ‘masa depan’ Nawacita. Mengangkat anggapan yang ada di tengah masyarakat Pojok Mang Usil Harian Kompas (Rabu 20 Januari 2016) menulis “Nawacita makin sayup-sayup.” Disertai komentar “Jangan sampai jadi dukacita.” Ini sebuah sentilan usil yang masih cukup lunak terhadap Presiden Joko Widodo yang saat ini berada di tampuk kekuasaan negara. Lima puluh tahun yang lalu, Presiden Soekarno menghadapi sorotan yang lebih krusial. Kala itu pidato pertanggungjawaban Bung Karno ‘bapak ideologi’ Presiden Joko Widodo, yang berjudul Nawaksara, mendapat ‘sentilan’ keras dalam tulisan seorang cendekiawan muda dari ITB, MT Zen, melalui penamaan Nawasengsara.

Dalam tulisan yang mampu mewakili aspirasi sebagian besar generasi muda waktu itu MT Zen memaparkan sembilan kesengsaraan untuk rakyat yang telah dipersembahkan sang presiden selama berkuasa, khususnya antara tahun 1960 sampai 1965. (Lihat https://socio-politica.com/2015/03/18/dari-nawaksara-soekarno-ke-nawacita-jokowi/). Melalui pidato 22 Juni 1966 di depan Sidang MPRS itu, Soekarno mencoba menjelaskan mengenai berbagai gelar dan jabatan yang dimilikinya, seperti Pemimpin Besar Revolusi, Presiden Seumur Hidup dan Mandataris MPRS. Ia juga menjelaskan mengenai landasan kerja dalam melanjutkan pembangunan yang mencakup konsep Trisakti –suatu konsep yang diangkat kembali oleh Presiden Joko Widodo– serta Rencana Ekonomi Perjoangan dan pengertian konsep Berdikari. Tetapi, apa yang justru diminta MPRS sebagai pokok masalah terkait pertanggungjawaban mengenai Peristiwa 30 September 1965, samasekali tidak disinggung Soekarno.

NAWACITA PRESIDEN JOKO WIDODO. "Semua kegaduhan dan kekalutan, disorder atau apa pun namanya, bagaimana pun tidak bisa dilepaskan dari kelemahan kualitatif kepemimpinan Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla dan jajaran kabinetnya."
NAWACITA PRESIDEN JOKO WIDODO. “Semua kegaduhan dan kekalutan, disorder atau apa pun namanya, bagaimana pun tidak bisa dilepaskan dari kelemahan kualitatif kepemimpinan Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla dan jajaran kabinetnya.”

TAHUN 2015 yang baru berlalu ini, memang bukan tahun yang melegakan. Sementara itu, tahun 2016 sendiri pun masih penuh tanda tanya: Apakah menjadi tahun momentum pembuka keberhasilan Presiden Joko Widodo –‘bersama’ Wakil Presiden Jusuf Kalla– melunasi janji-janjinya kepada rakyat Indonesia saat menuju kursi kepresidenan. Atau, kembali menjadi awal babak baru dengan setumpuk janji baru –katakanlah derivat Nawacita lainnya– sebagai pemberi harapan baru berikutnya?

Sembilan janji. Nawacita pada butir pertamanya menjanjikan akan menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara, melalui pelaksanaan politik luar negeri bebas aktif, keamanan nasional yang terpercaya dan pembangunan pertahanan negara. Tetapi peristiwa teror bom dan serangan bersenjata Kamis pagi 14 Januari 2016 pekan lalu di wilayah Sarinah Jalan MH Thamrin, sedikit atau banyak telah mengusik rasa aman dan kepercayaan terhadap pertahanan-keamanan negara. Dan betulkah politik luar negeri kita bebas aktif, saat pemerintah makin memperkuat jalinan kepentingan –untuk tidak menyebutnya ketergantungan– ekonomi-keuangan dengan Republik Rakyat China? Dulu kala, rezim Soekarno membangun poros Jakarta-Peking, apakah kini ada poros Jakarta-Beijing?

“Kami akan membuat pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola pemerintahan bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya,” bunyi Nawacita kedua. Rekaman percakapan segitiga Setya-Maroef-Sudirman (SMS) mirip kotak Pandora yang bocor terbuka. Meski kebenaran isi rekaman itu masih memerlukan penelusuran lanjut, tapi setidaknya terindikasikan terdapatnya permainan-permainan politik-kekuasaan-bisnis tingkat tinggi di negara kita. Efektif untuk kepentingan pribadi atau kelompok, tapi jauh dari bersih. Demokratis dan terpercaya? Lalu, apakah sepak terjang Menteri Hukum dan HAM menangani pembelahan-pembelahan di tubuh Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan dengan bahasa kekuasaan bisa disebut demokratis dan terpercaya? Apakah aspek (kekuasaan) politik mengatasi supremasi hukum? Terlepas dari itu, bagaimanapun kehadiran dua partai tersebut sudah menjadi semacam tradisi dalam kehidupan politik Indonesia sejak 1971/1973, bersama PDI yang kemudian menjelma sebagai PDIP yang kini menjadi partai berkuasa.

Cita ketiga dari Nawacita yang yang berbunyi, “Kami akan membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan,” mengingatkan kepada strategi Mao “desa mengepung kota.” Tidak soal, kalau itu pada waktunya berfaedah. Tapi sekedar mendistribusi dana bantuan desa saja, sejauh ini masih tersendat-sendat dalam pelaksanaan. Dan dalam konteks negara kesatuan, masih sering timbul pertanyaan, mampukah pemerintahan Jokowi-JK menangani dengan baik Nanggroe Aceh Darussalam dan Papua ke depan dengan lebih baik, agar tidak menjadi ulangan Timor Timur?

Nawacita keempat menegaskan akan menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya. Butir keempat ini berhadapan dengan sejumlah fakta pelemahan KPK di segala lini. Penegak hukum yang tergoda suap dan iming-iming wealth driven law, menjadi semacam realita sehari-hari yang diyakini benar terjadi, namun tak tersentuh dan apalagi bisa terbuktikan oleh masyarakat. Dan pertanyaannya, reformasi sistem macam apa?

Nawacita kelima menjanjikan akan meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia, melalui peningkatan kualitas pendidikan dan pelatihan dengan program Indonesia Pintar wajib belajar 12 tahun bebas pungutan. Mungkin inilah satu-satunya butir Nawacita yang disambut dengan antusiasme yang cukup dari masyarakat, terutama dalam kaitan adanya Kartu Indonesia Pintar yang membuat beban biaya pendidikan yang selama ini dipikul masyarakat menjadi ringan. Meski, sekali-kali ada juga ekses. Ketika seorang ibu di Jakarta mengeluh kepada Gubernur Basuki Tjahaja Purnama tentang potongan sekian persen dalam pencairan dana Kartu Jakarta Pintar, sang Gubernur mencaci sang ibu sebagai maling, tanpa lebih dulu mencari tahu duduk persoalan sebenarnya, kenapa sang ibu terdorong untuk dan bisa mencairkan dana tersebut. Tapi terlepas dari adanya ekses, persoalan utama dunia pendidikan adalah kualitas kurikulum yang mampu disiapkan para perancang dan penentu di kementerian pendidikan.

Butir keenam dan ketujuh Nawacita menyebutkan tekad penyelenggara negara untuk meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional, sehingga bangsa Indonesia bisa maju dan bangkit bersama bangsa-bangsa Asia lainnya. Dan, mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik. Dua cita-cita ini bukan sekedar pilihan melainkan memang keharusan untuk dilakukan bila tidak ingin jatuh tersungkur dalam persaingan antar bangsa dan negara yang makin menajam. Tetapi ketidakmampuan pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla mengelola dengan baik –untuk tidak menyebutnya sangat buruk– kehidupan politik selama ini, menjadi sumber keraguan. Setahun lebih sejak awal pemerintahannya rezim ini terkuras fokusnya oleh masalah-masalah politik yang tidak produktif, dan pada saat yang sama ada persoalan dengan kualitas personil kabinet. Untuk mengkompensasi ketidakberhasilan, politik pencitraan lalu dijalankan dengan kadar tinggi. Banyak menteri dan institusi pemerintahan lalu lebih sibuk beriklan.

Janji kedelapan Nawacita adalah melakukan revolusi karakter bangsa, melalui kebijakan penataan kembali kurikulum pendidikan nasional dengan mengedepankan aspek pendidikan kewarganegaraan. Tapi sebenarnya bila berbicara tentang revolusi karakter atau revolusi mental, yang pertama-tama dibutuhkan pada hari-hari ini justru adalah revolusi mental dikalangan pemimpin-pemimpin dan aparat pemerintahan itu sendiri. Bagaimana agar mereka meninggalkan kultur feodalistik, meninggalkan sikap lebih mengedepankan penggunaan kekuasaan daripada sikap demokratis dalam menjalankan kekuasaan negara dan pemerintahan. Rakyat lebih membutuhkan penteladanan daripada sekedar banjir iklan dan slogan tentang revolusi mental. Sudah tujuh puluh tahun lebih bangsa ini dijejali dengan retorika kosong minus keteladanan.

“Kami akan memperteguh kebhinekaan dan memperkuat restorasi sosial Indonesia, melalui kebijakan memperkuat pendidikan kebhinekaan dan menciptakan ruang-ruang dialog antarwarga,“ janji kesembilan Nawacita. Restorasi sosial apa, kebhinekaan apa dan dialog apa? Manusia Indonesia masih selalu saling kejar dan saling usir karena perbedaan keyakinan antar agama maupun intra agama. Belajar dari kebiasaan bertengkar di antara kalangan politisi maupun kalangan kekuasaan pemerintahan –yang merupakan tontonan tetap di media dari waktu ke waktu– maka masyarakat akan lebih mahir bertengkar daripada berdialog.

Dukacita. Jadi, memang benar, Nawacita itu kini sayup-sayup. Salah-salah bisa menjadi nawa dukacita. Tahun yang baru berlalu ini, memang penuh masalah. Bila meminjam ungkapan-ungkapan yang sempat dilontarkan berbagai kalangan ke tengah masyarakat, tahun 2015 adalah tahun penuh kegaduhan dan kekalutan. Semuanya bercampur aduk menjadi sumber kecemasan dalam menapak ke depan menjalani tahun 2016. Entah bagaimana tahun 2016 ini nanti.

Semua kegaduhan dan kekalutan, disorder atau apa pun namanya, bagaimana pun untuk sementara ini tidak bisa dilepaskan dari kelemahan kualitatif kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla dan jajaran kabinetnya. Sebagaimana keadaan itu juga tak terlepas dari kelemahan kualitatif yang ada di tubuh para pelaku politik di parlemen –yang merupakan perpanjangan tangan partai-partai– dan di luar parlemen, maupun penegakan hukum yang dalam banyak hal masih memiliki sejumlah celah untuk dipengaruhi kekuatan politik dan kekuatan ekonomi. Kualitas kepemimpinan tentu saja selalu punya peluang untuk diperbaiki. Namun per saat ini, kita semua seakan masih berada dalam suatu lingkaran dengan jeratan pengaruh buruk yang nyata: Bila tidak pragmatis mengutamakan kepentingan diri atau kelompok di atas kepentingan ideal demi bangsa dan negara, akan hancur dan tersisih oleh para pesaing dalam kekuasaan negara dan kekuasaan sosial.

Siapa bisa dan akan mengakhiri? (socio-politica.com)

Revitalisasi Pancasila (5)

Catatan Prof Dr Midian Sirait*

SALAH satu kesimpulan yang bisa kita tarik dari pelajaran sejarah, adalah bahwa kehancuran budaya satu bangsa itu bisa terjadi karena emosi-emosi bangsa yang tidak bisa terkendali dalam praktek hidup sehari-hari. Kita memerlukan serangkaian proses pendewasaan diri. Kita bisa mencoba memberi pesan-pesan ke generasi depan dalam konteks ini. Salah satu sasaran kegiatan kita ialah kita perkaya dan perkuat pembentukan elite di segala bidang. Elite itu bukan hanya elite politik. Bila kita membaca di media massa, berkali-kali digunakan terminologi ‘elite-elite di Senayan’, sehingga menimbulkan kesan seolah-olah elite itu hanya ada di Senayan. Harus kita perkaya pengertian elite itu, dengan pembentukan elite-elite bidang entrepreneurs, bidang teknik dan ilmu pengetahuan. Tak kalah pentingnya, pembentukan elite dalam bidang seni, apakah itu seni drama dan pentas, seni suara dan musik serta seni sastera. Seni mempunyai kekuatan untuk melatih dan membentuk manusia kreatif dan penuh inspirasi dan berhati mulia karena menghargai nilai-nilai kemanusiaan. Tentu harus ada lembaga di dalam rangka pembentukan elite-elite itu. Di situlah peranan perguruan tinggi, di situlah peranan research atau penelitian, serta kehidupan seni dan budaya.

PRESIDEN SOEKARNO. "Pada tahun 1959 Indonesia meloncat kepada apa yang disebut demokrasi terpimpin. Parlemennya pun sama sekali tidak tersentuh oleh proses pendewasaan, apalagi karena pada tahun 1960 Indonesia langsung memasuki situasi revolusi. Pemimpin Besar Revolusi membawahi seluruh lembaga-lembaga, termasuk parlemen yang sebenarnya harus berdiri sendiri dengan fungsi legislatifnya. Ini juga semacam cost politik yang harus dibayar untuk suatu sistem yang terpimpin seperti itu." (foto download)
PRESIDEN SOEKARNO. “Pada tahun 1959 Indonesia meloncat kepada apa yang disebut demokrasi terpimpin. Parlemennya pun sama sekali tidak tersentuh oleh proses pendewasaan, apalagi karena pada tahun 1960 Indonesia langsung memasuki situasi revolusi. Pemimpin Besar Revolusi membawahi seluruh lembaga-lembaga, termasuk parlemen yang sebenarnya harus berdiri sendiri dengan fungsi legislatifnya. Ini juga semacam cost politik yang harus dibayar untuk suatu sistem yang terpimpin seperti itu.” (foto download)

Untuk bersaing masuk ke pasar dunia, beberapa perusahaan Jepang membeli perusahaan-perusahaan research di Eropa. Hasil research dan design dikirim ke Jepang lalu diproduksi. Kenapa Indonesia tidak bisa? Perusahaan Farmasi Kalbe Farma sudah mulai melakukannya. Kalbe Farma membentuk bidang researchnya di Singapura. Dari hasil research di situ mungkin perusahaan itu bisa menembus akses ke perkembangan ilmu bidang farmasi dan bioteknologi, agar bisa diproduksi di dalam negeri. Untuk masa datang, perlu memperhatikan nano technology. Teknologi nano ini adalah upaya makin memperkecil dan memperkecil ukuran volume zat, bukan micron lagi, tapi sudah nano, yang besarannya adalah seperseribu micron.

Tahun 2014 diperhitungkan bahwa dalam bidang farmasi dan medicinal akan bisa terwujud teknologi nano. Dengan teknologi nano itu molekul-molekul bahan baku obat itu makin kecil sehingga penetrasinya bisa lebih menembus dinding sel-sel. Masuk ke dalam sel dan dengan demikian makin efektif. Tinggal menunggu teknologi nano dalam bidang komputer dan elektronik. Bila nanti teknologi nano dalam komputer dan elektronik bertemu dalam sinergi dengan teknologi nano dalam bidang kimia, yakni dalam pembentukan molekulnya atau pembentukan zat-zatnya itu, sel-sel kanker langsung bisa diarah dan dituju, dikendalikan oleh komputer molekul skala nano itu masuk dan bisa menyebabkan penyembuhan kanker. Itulah yang berkembang sekarang. Korea pun sudah menerapkan teknologi nano. Sekarang sudah ada nano kalsium, jadi kemungkinan nanti juga nano jodium dan sebagainya. Kita segera akan berada sekarang di dalam teknologi nano. Dunia farmasi akan lebih menghasilkan produk-produk lebih efektif.

Tapi sementara itu terasa sedikit ironis, bahwa tatkala yang lain maju ke skala nano, kita di Indonesia belum mampu menyelesaikan masalah-masalah macro. Menangani macro dan micro pun belum mampu, apalagi nano. Di sinilah terasa perlunya pembentukan elite-elite dalam pengertian luas di berbagai bidang. Saya mengikuti dari pemberitaan bahwa Universitas Pelita Harapan, atas prakarsa Mochtar Riadi, sudah membangun pusat penelitian teknologi nano. Rupanya beliau mencoba membawa teknologi nano ini khusus dalam bidang kanker. Saya kira ini suatu lompatan dalam bidang research. Kita betul-betul berharap bahwa teknologi nano ini akan membawakan kemajuan luar biasa  dalam bidang kemanusiaan.

Pembentukan elite-elite, dengan demikian, jangan hanya di bidang politik, tetapi di seluruh bidang kehidupan. Kita harus meninggalkan orientasi yang terlalu melihat harta, melihat materi, bukan mencari kepuasan karena berbuat sesuatu. Tidak punya achievement, padahal dalam hidup itu harus ada achievement oriented. Dalam pendidikan, how to achieve something menjadi salah satu tujuan penting.

 Kemampuan nasional, demokrasi persaudaraan, kedewasaan dalam berparlemen dan keadilan sosial

            Kata kunci terhadap berbagai ketertinggalan langkah kita sebagai bangsa adalah pendewasaan diri dan peningkatan kemampuan nasional. Dari catatan sejarah, kita melihat betapa ketidakdewasaan sikap menciptakan sejumlah kesulitan dan masalah, selain bahwa ketidakdewasaan itu sendiri memang adalah masalah. Peningkatan kemampuan nasional dicapai melalui peningkatan kemampuan individu-individu.

Kita bisa melihat dari sejarah, bahwa untuk menciptakan kemampuan nasional di Italia, Mussolini menjalankan fasisme, sedang untuk mengangkat kemampuan nasionalnya Jerman pada masa kekuasaan Hitler menggunakan rasisme. Kemampuan nasional Jepang ditopang oleh kehadiran Tenno Heika sebagai mitos untuk membawa seluruh rakyat ke arah peningkatan kemampuan nasional. Kekuatan Amerika dicapai melalui penegakan hukum. Hanya Inggeris yang memang menampilkan proses tersendiri yang dimulai dengan Magna Charta. Rakyat Inggeris memperoleh hak-hak demokrasinya sejak Magna Charta, tetapi mereka tetap mengakui raja dan memberikan tempat kepada raja. Dalam kehidupan politik Inggeris ada yang disebut House of Common yang merupakan lembaga perwakilan rakyat, ada pula House of Lord, suatu majelis tinggi yang fungsinya bisa disamakan dengan senat meskipun bukan senat.

Perancis terpaksa mengalami revolusi dan berbagai bentuk ‘peperangan’ lainnya beberapa kali. Mulai dari Revolusi Perancis, setelah itu tampil kekuasaan kuat Napoleon yang membawa Perancis menuju peperangan demi peperangan bertahun-tahun lamanya. Setelah kalah, seluruh Eropa menghukumnya, lalu Perancis kembali ke dalam kekuasaan raja lagi, sebelum akhirnya menjadi republik. Untuk konteks Indonesia, tak boleh tidak demokrasi menjadi suatu keharusan, akan tetapi hendaknya jangan melupakan bahwa demokrasi yang kita bangun itu tidak boleh menghilangkan persaudaraan. Kehidupan demokrasi dan pengisian maknanya, harus kita capai dengan kekuatan sendiri dan dengan kemampuan seluruh rakyat. 

Selain itu ada hal-hal yang memang harus kita lihat dan cermati dalam praktek politik kita sepanjang sejarah Indonesia merdeka, yaitu seringnya kita untuk terlalu cepat berpindah dari satu model ke model politik berikut. Sehingga belum ada kematangan dan kesiapan, termasuk kesiapan budaya, kita sudah langsung lagi pindah ke model berikut. Umpamanya dari tahun 1950 ke tahun 1959, kita menjalankan sistem demokrasi dan pemerintahan parlementer, dengan menggunakan Undang-undang Dasar Sementara. Dalam sistem itu, Presiden hanyalah Kepala Negara, tidak sebagai pemimpin pemerintahan, dan ada Perdana Menteri sebagai kepala pemerintahan. Namun terlihat betapa saat itu, bangsa ini belum dewasa berparlemen. Partai-partai silih berganti selalu menarik menteri-menterinya dari kabinet, yang mengakibatkan jatuh bangunnya kabinet. Semua proses itu berlangsung di luar parlemen. Parlemen itu tidak mempunyai bobot dalam menentukan di dalam kehidupan berpolitik. Tidak ada kesempatan mendewasakan diri dalam berparlemen. Sementara itu, di luar parlemen ada kekuatan militer sebagai faktor objektif dalam kekuasaan negara, tetapi kekuatan-kekuatan militer juga merasa digerogoti oleh partai dalam parlemen, sehingga terjadilah Peristiwa 17 Oktober 1952 yang bertujuan membubarkan parlemen.

Terlihat bahwa belum sempat terjadi suatu pendewasaan di satu bidang, sudah terjadi intervensi, baik dari partai atau dari militer dan kekuatan lainnya yang ada. Menurut saya, secara empiris, yang berparlemen dengan baik adalah Inggeris sebagai satu contoh. Tradisi berparlemen telah berlangsung begitu lama di negeri itu, dalam skala waktu berabad lamanya. Faktor stabilitas seperti misalnya yang sejauh ini dimiliki Malaysia, tidak kita punyai. Sebagai negara, Malaysia dibangun berdasarkan federasi dari kesultanan-kesultanan. Sultan-sultan ini menjadi faktor stabilitas. Terlepas dari tidak tertariknya kita kepada model kesultanan, seperti keengganan yang ditunjukkan para the founding fathers tatkala mempersiapkan kemerdekaan sebelum proklamasi 1945, Malaysia sudah mendewasa dengan model kesultanan yang konstitusional. Mereka memiliki kehidupan parlemen yang berjalan cukup baik. Karena mereka bekas jajahan Inggeris barangkali terlihat adanya model-model Inggeris, yang memiliki House of Lord dan Parlemen. Parlemen Malaysia relatif punya masa yang ‘tenang’ untuk mendewasakan diri.

Indonesia menjalani pengalaman yang amat berbeda. Begitu pada tahun 1950 berlangsung ‘penyerahan’ kedaulatan, hingga tahun 1959, dijalankan demokrasi dengan sistem parlementer yang diselingi berbagai masalah maupun krisis. Parlemen Indonesia tidak berkesempatan cukup untuk mengalami proses pendewasaan. Dalam sistem parlementer, partai-partai membentuk kabinet melalui pemberian mandat oleh Presiden. Tapi parlemen tak sekalipun ‘sempat’ menyampaikan mosi percaya atau mosi tidak percaya. Kabinet jatuh bangun melalui proses politik di luar gedung parlemen. Pada tahun 1959 Indonesia meloncat kepada apa yang disebut demokrasi terpimpin. Parlemennya pun sama sekali tidak tersentuh oleh proses pendewasaan, apalagi karena pada tahun 1960 Indonesia langsung memasuki situasi revolusi. Pemimpin Besar Revolusi membawahi seluruh lembaga-lembaga, termasuk parlemen yang sebenarnya harus berdiri sendiri dengan fungsi legislatifnya. Ini juga semacam cost politik yang harus dibayar untuk suatu sistem yang terpimpin seperti itu.

Demokrasi tanpa berparlemen adalah keganjilan bagi kehidupan berdemokrasi, meskipun tidak harus selalu berarti menjalankan sistem parlementer. Anggota-anggota parlemen yang mewakili aspek kedaulatan rakyat harus dewasa, mengerti filosofi negara, mengerti apa kebijakan-kebijakan. Mengerti dalam arti ditopang pemahaman mengenai aspek dan fungsi anggaran, mengerti tentang pengawasan eksekutif. Pada tahun 1966 DPR-GR kita diteruskan sampai tahun 1971 yaitu saat diadakannya pemilihan umum. Baru pada tahun 1973 ada kehidupan parlemen dengan MPR. Pemilihan umum dimemangkan oleh Golkar, 70-74 persen. Sebenarnya, pada pemilihan umum juga sudah ‘diketahui’ umum siapa-siapa saja calon yang dikehendaki oleh Golkar. Kita bisa melihat, umumnya unsur dalam DPR itu adalah orang-orang yang belum mempunyai wawasan-wawasan yang jelas. Oleh karena itu kehidupan berparlemen masih dalam taraf pendewasaan. Sekarang, setelah reformasi, parlemen kita juga mengalami setumpuk ‘masalah’. Parlemen banyak terisi oleh orang-orang yang sudah mengarah kepada hedonisme. Sekarang kita berada di dalam suatu situasi ‘politik untuk hidup’. Bukan hidupnya untuk berpolitik.

(socio-politica.com) – Berlanjut ke Bagian 6

Kutub Tujuh Pemberontakan di Indonesia: Di Ujung Kiri PKI, di Ujung Kanan DI/TII (2)

PADA KUTUB peristiwa pemberontakan yang lain, terkait Peristiwa 30 September 1965 –maupun Peristiwa Madiun 1948– yang melibatkan nama Partai Komunis Indonesia (PKI), pun diperlukan cara memandang yang selain cermat juga bijak. Terutama mengenai dimensi kekerasan dan kejahatan kemanusiaan dalam skala besar-besaran yang terjadi dalam peristiwa, serta, siapa saja para pelaku kejahatan kemanusiaan tersebut sesungguhnya. Bingkai dasar cara memandangnya pun haruslah kebenaran sepenuhnya dengan sebanyak-banyaknya keadilan.

PEMUDA RAKYAT PKI DI ATAS TRUK DI TANGERANG, DIKAWAL TENTARA MENUJU PENAHANAN. “Hal menarik lainnya, adalah bahwa korban kejahatan kemanusiaan yang jatuh pada masa epilog itu, tidak melulu adalah anggota atau simpatisan PKI, meskipun harus diakui bahwa korban mayoritas adalah memang dari kelompok tersebut”. (dokumentasi asiafinest)

Di wilayah abu-abu, bukan hitam-putih. Bila diperbandingkan, Peristiwa 30 September 1965 lebih complicated daripada rangkaian pemberontakan DI/TII yang lebih hitam putih. Proses penyelesaian DI/TII lebih tuntas, baik secara politis, militer maupun secara hukum. Pemberontakan DI/TII di Kalimantan Selatan selesai akhir 1959 dengan tertangkapnya Ibnu Hadjar. Hampir 3 tahun setelahnya, masalah DI/TII di Jawa Barat diakhiri dengan tertangkapnya SM Kartosoewirjo 4 Juni 1962 melalui Operasi Pagar Betis yang dilancarkan Divisi Siliwangi bersama rakyat. Kemudian, SM Kartosoewirjo diadili Mahkamah Militer dan dijatuhi hukuman mati yang eksekusinya dilaksanakan 12 September 1962 di Kepulauan Seribu di utara pantai Jakarta. Pemberontakan DI/TII di Aceh selesai setelah Daud Beureueh memenuhi seruan pemerintah untuk kembali ke masyarakat pada tahun 1962.

Terakhir dalam rangkaian ini adalah penyelesaian DI/TII di Sulawesi Selatan yang tercapai setelah Kahar Muzakkar tertembak mati oleh Kopral Satu Ili Sadeli dari Batalion 330 Siliwangi dalam suatu penyergapan dinihari 4 Februari 1965. Beberapa pengikut Kahar secara berangsur-angsur telah lebih dulu kembali ke pangkuan ibu pertiwi memenuhi seruan pemerintah, atau menyerah ketika operasi militer yang dilancarkan makin ketat. Dalam operasi fase akhir yang mengikutsertakan pasukan dari Divisi Siliwangi, pola operasi pagar betis juga diterapkan. Rakyat di berbagai wilayah operasi, berpartisipasi dengan cukup Continue reading Kutub Tujuh Pemberontakan di Indonesia: Di Ujung Kiri PKI, di Ujung Kanan DI/TII (2)

Dalam Persilangan dan Konspirasi Menuju 30 September 1965 (8)

KETIKA merayakan ulang tahunnya, 6 Juni 1965, di Istana Tampak Siring, Bali, isu mengenai adanya kelompok jenderal yang tidak loyal menjadi bahan pembicaraan. Bagaimana menghadapi kemungkinan makar dari para jenderal itu, Soekarno secara langsung memberikan petunjuk kepada beberapa orang diantara yang hadir. Waktu itu, hadir antara lain tiga Waperdam, yakni Dr Subandrio, Chairul Saleh dan Dr Johannes Leimena serta Menteri Gubernur Bank Sentral, Jusuf Muda Dalam. Selain mereka, hadir tiga pejabat teras yang berkedudukan di Denpasar, yakni Pangdam Udayana Brigjen Sjafiuddin, Gubernur Bali Sutedja dan Panglima Daerah Kepolisian. Beberapa perwira keamanan dan ajudan juga hadir, yakni Komandan Tjakrabirawa Brigjen Sabur, Komisaris Besar Polisi Sumirat, Ajun Komisaris Besar Polisi Mangil dan ajudan Kolonel Bambang Widjanarko yang adalah perwira korps komando.

SOKARNO-MAO. “Dengan gusar Soekarno mempertanyakan apa maksud para jenderal Angkatan Darat yang sekitar sebulan sebelumnya menyelenggarakan Seminar Angkatan Darat di Bandung yang menyimpulkan adanya “bahaya dari utara” dan menetapkan sejumlah doktrin menghadapi bahaya tersebut. Soekarno menafsirkan bahwa kesimpulan dan doktrin para jenderal itu tak lain bertujuan mematahkan poros Jakarta-Peking yang telah dilontarkannya”. (Repro: tony’sfile/penasoekarno.wordpress.com)

Setelah membentangkan laporan-laporan yang telah diterimanya sejauh itu, tentang adanya kelompok jenderal tidak loyal pada dirinya, yang dikelompokkan sebagai Dewan Jenderal, Soekarno lalu menugaskan kepada Brigjen Sjafiuddin untuk menyelidiki lebih lanjut siapa-siapa saja jenderal tidak loyal itu serta jaringan kerjanya. Pada waktu itu juga Presiden Soekarno sudah mencetuskan keinginannya untuk melakukan perubahan di lapisan pimpinan Angkatan Darat. Dengan gusar Soekarno mempertanyakan apa maksud para jenderal Angkatan Darat yang sekitar sebulan sebelumnya menyelenggarakan Seminar Angkatan Darat di Bandung yang menyimpulkan adanya “bahaya dari utara” dan menetapkan sejumlah doktrin menghadapi bahaya tersebut. Soekarno menafsirkan bahwa kesimpulan dan doktrin para jenderal itu tak lain bertujuan mematahkan poros Jakarta-Peking yang telah dilontarkannya.

Menurut Nasution, Presiden Soekarno sering marah-marah bila menyebut nama jenderal-jenderal yang terkait dengan isu Dewan Jenderal atau jenderal-jenderal yang tidak loyal. Kerap terlontar istilah ‘jenderal brengsek’ dari Soekarno. Dan Soekarno lalu kerap kali memanggil dan menerima sejumlah jenderal lain yang dianggapnya loyal sebagai imbangan terhadap para jenderal yang dianggapnya tidak loyal itu. Suatu ketika Letnan Jenderal Ahmad Yani mengantarkan Soewondo Parman dan Soetojo Siswomihardjo menghadap Presiden Soekarno, dan keduanya dimarahi habis-habisan oleh Soekarno. Soekarno mengatakan para jenderal perlu memahami bukan hanya taktik-taktik perang saja, tapi juga harus memahami strategi, termasuk strategi dunia. Soekarno mengecam pikiran adanya ‘musuh dari utara’ bagi Asia Tenggara. Itu strategi Nekolim, ujarnya. Jangan terperangkap. Para jenderal harus mendukung strategi Soekarno, poros Jakarta-Peking.

Brigjen Sjafiuddin tidak memerlukan waktu yang lama untuk melapor kembali. Ia terlihat beberapa kali datang menghadap Soekarno di Istana Merdeka dan memastikan kepada Soekarno kebenaran adanya jenderal yang tidak loyal. Sjaifuddin menggambarkan adanya dualisme di Angkatan Darat sehingga membingungkan pelaksana di tingkat bawah dan ada yang lalu ikut-ikutan tidak loyal kepada Panglima Tertinggi. Ia mengkonfirmasikan beberapa nama yang dulu sudah disinggung Soekarno di Tampak Siring, yaitu Soewondo Parman, R. Soeprapto, Mas Tirtodarmo Harjono dan Soetojo Siswomihardjo, sebagai positif tidak loyal kepada Presiden Soekarno. Soekarno sekali lagi menyatakan akan mengadakan perubahan di lapisan pimpinan Angkatan Darat, bahkan kali ini menyebutkan nama calon Menteri Panglima Angkatan Darat yang akan menggantikan Ahmad Yani, yakni Mayjen Mursjid. Pada kesempatan lain, 29 September 1965, Soekarno bahkan sudah mengatakan langsung kepada Mursjid rencana pengangkatannya sebagai pengganti Yani dan menanyakan apakah Mursjid bersedia menjalankan tugas tersebut. Mursjid tanpa pikir panjang langsung menyatakan kesediaannya.

Selain Sjaifuddin, Presiden Soekarno juga memerintahkan beberapa perwira lain untuk menyelidiki dan mengusut mengenai kelompok perwira yang tidak loyal itu. Dua diantara yang ditugasi adalah Komandan Tjakrabirawa Brigjen Sabur dan Komandan Corps Polisi Militer Brigjen Soedirgo. Keduanya juga membenarkan adanya kelompok jenderal yang tidak loyal itu. Keduanya selalu kembali dengan laporan yang memperkuat tentang adanya Dewan Jenderal, jenderal-jenderal yang tidak loyal, dan bahwa sewaktu-waktu mereka itu akan melakukan makar merongrong Pemimpin Besar Revolusi. Di bulan Agustus, tanggal 4, Soekarno memanggil Letnan Kolonel Untung salah satu komandan batalion Tjakrabirawa. Kepada Untung ia bertanya, apakah siap dan berani bila ditugaskan untuk menghadapi para jenderal yang tidak loyal, dan apabila terjadi sesuatu apakah Untung akan bersedia bertindak. Untung menyatakan sanggup. Ia kemudian malah bertindak cukup jauh. Ia menghubungi Walujo dari Biro Khusus PKI, yang kemudian melanjutkannya kepada Sjam Kamaruzzaman. Bahkan Sjam mengembangkan informasi ini menjadi suatu perencanaan menindaki para jenderal tidak loyal itu, melalui suatu gerakan internal Angkatan Darat. Perintah Soekarno kepada Letnan Kolonel Untung ini telah menggelinding begitu jauh, sehingga akhirnya justru terlepas dari kendali Soekarno sendiri pada akhirnya. (Lebih jauh, lihat juga uraian pada halaman-halaman berikut).

Setelah itu, tercatat bahwa dalam bulan September, seakan melakukan satu rangkaian konsolidasi dukungan, Soekarno berkali-kali meminta kesediaan beberapa perwira untuk bersiap-siap menindaki para jenderal yang tidak loyal. Pada 15 September, Soekarno memerintahkan hal tersebut kepada Brigjen Sabur dan Jaksa Agung Muda Brigjen Sunarjo. Perintah ini disaksikan oleh Soebandrio, Jaksa Agung Brigjen Sutardhio dan Kepala BPI Brigjen Polisi Soetarto, Kombes Sumirat serta dua orang lain yakni Muallif Nasution dan Hardjo Wardojo. Lalu pada tanggal 23 September pagi, di serambi belakang Istana Merdeka, terhadap laporan Mayjen Mursjid bahwa “ternyata memang benar, jenderal-jenderal yang bapak sebutkan itu tidak menyetujui politik bapak dan tidak setia pada bapak”, Soekarno berkata harus dilakukan suatu tindakan yang cepat. Ia lalu bertanya kepada Sabur bagaimana mengenai perintahnya beberapa hari yang lalu untuk mengambil tindakan terhadap jenderal-jenderal tersebut. Komandan Resimen Tjakrabirawa itu lalu melaporkan bahwa rencana penindakan itu telah dibicarakannya dengan Brigjen Sunarjo dan Brigjen Soedirgo. “Tapi untuk pelaksanaannya masih memerlukan persiapan yang lebih teliti lagi”. Soekarno lalu mengulangi lagi perintahnya kepada Brigjen Sabur, Brigjen Soenarjo dan Brigjen Soedirgo –yang tidak hadir pagi itu, karena ke Kalimantan– untuk segera mempersiapkan penindakan. Hadir saat itu adalah  Dr Subandrio, Chairul Saleh, Dr Leimena, Brigjen Sunarjo, Djamin dan Laksamana Madya Udara Omar Dhani.

Ketika Brigjen Soedirgo menghadap lagi 26 September, kembali Soekarno mengatakan telah memerintahkan Brigjen Sabur dan Brigjen Sunarjo untuk mengambil tindakan dan memerintahkan Soedirgo membantu. ”Saya percaya kepada Corps Polisi Militer”, ujar Soekarno. Terlihat betapa selama berminggu-minggu, persoalan berputar-putar pada lapor melapor tentang adanya jenderal-jenderal yang tidak loyal dan setiap kali Presiden Soekarno pun mengeluarkan perintah penindakan. Namun, rencana penindakan itu seakan jalan di tempat. Barulah pada tanggal 29 September 1965, tampaknya ada sesuatu yang dapat dianggap lebih konkret, dengan munculnya Brigjen Mustafa Sjarif Soepardjo melaporkan kepada Soekarno kesiapan ‘pasukan’ yang dikoordinasi Pangkopur II dari Kalimantan ini untuk segera bertindak terhadap para jenderal yang tidak loyal tersebut. Menurut berita acara pemeriksaan Teperpu Kolonel KKO Bambang Setijono Widjanarko menerangkan bahwa dalam pertemuan pukul 11 pagi itu, selain Brigjen Soepardjo hadir pula Panglima Angkatan Udara Laksamana Madya Omar Dhani, yang menyatakan kesediaannya membantu.

Kesaksian Widjanarko ini dibantah Omar Dhani, karena “sewaktu saya menghadap Presiden Soekarno, saya tidak melihat kehadiran Soepardjo di istana” (Omar Dhani, wawancara dengan Rum Aly). Artinya, mereka menghadap pada jam yang berbeda. Omar Dhani sepanjang yang diakuinya, datang melaporkan kepada Presiden Soekarno tentang kedatangan sejumlah besar pasukan dari daerah –Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat– ke Jakarta dengan alasan untuk kepentingan Hari Ulang Tahun Angkatan Bersenjata RI 5 Oktober 1965, yang dianggapnya aneh karena diperlengkapi peralatan tempur garis pertama. Selain itu, ia justru telah menugaskan Letnan Kolonel Heru Atmodjo yang menghadap di kediamannya pada pukul 16.00 Kamis 30 September 1965 untuk menemui Brigjen Soepardjo dan meminta keterangan rencana dan tujuan sebenarnya dari gerakan yang akan dilakukan Soepardjo di ibukota negara seperti yang dilaporkan oleh Asisten Direktur Intelijen AU itu.

Berlanjut ke Bagian 9

Kisah Pertarungan Politik Setelah Surat Perintah 11 Maret 1966 (2)

SUASANA ‘buyar’ juga terjadi pada Front Pancasila. Ikatan ‘moral’ yang menyatukan gado-gado kekuatan politik dan masyarakat itu selama kurang lebih setahun, adalah kebersamaan menghadapi G30S dan keinginan bersama menumpas PKI. “Kini urgensi itu kurang dirasakan”, catat Rosihan Anwar, karena “sudah ada soal lain harus dipikirkan, yakni mempersiapkan posisi sebaik-baiknya untuk pemilihan umum”. Keadaan ekonomi rakyat yang sulit, dianggap partai-partai itu menjadi tugas Kabinet Ampera. Sikap egoistis kekuatan politik yang tergabung dalam Front Pancasila, untuk memperkecil jumlah saingan juga mereka tunjukkan. Front Pancasila menentang rehabilitasi Partai Murba.

Kerenggangan partai-partai dengan Angkatan Darat. Sikap penentangan juga ditunjukkan dalam bentuk ketidaksenangan terhadap gejala banyaknya perwira militer masuk menduduki posisi-posisi sebagai Gubernur atau Bupati dan juga pos Duta Besar. Ini membuat mulai terciptanya kerenggangan partai-partai dengan pihak Angkatan Darat yang berpolitik. Ketika Soeharto melontarkan rencana pengangkatan 110 anggota DPR-GR sebagai tambahan atas anggota lama yang terutama terdiri dari wakil partai-partai, terjadi pula penolakan. Dalam rencana itu, separuh atau 55 orang yang diangkat adalah dari partai-partai, termasuk partai yang direhabilitir, dan 55 orang lainnya adalah dari yang disebut golongan karya. Dalam kelompok golongan karya ini, akan termasuk unsur dari berbagai kesatuan aksi –mahasiswa, sarjana dan kalangan pendidik. Tapi partai-partai tak berani menolak secara terang-terangan karena tampaknya sikap Soeharto untuk memasukkan Angkatan 1966 sudah bulat.

SOEHARTO DAN SOEKARNO. Tahta, rupiah dan perempuan cantik. Karikatur Harjadi S 1968

Hingga sejauh yang terlihat kasat mata, semua tuntutan tampaknya telah terpenuhi melalui SU IV MPRS. Tetapi pada sisi lain, SU MPRS ini seakan menjadi tonggak titik balik bagi gerakan-gerakan ekstra parlementer mahasiswa yang konfrontatif, karena untuk selanjutnya jalan yang ditempuh adalah apa yang dinyatakan oleh AH Nasution sebagai taktik konstitusional. Secara umum memang terlihat bahwa Soeharto dan rekan-rekannya di Angkatan Darat sudah mulai tidak membutuhkan suatu kekuatan mahasiswa yang bergerak sebagai pressure group di jalanan dalam gerakan-gerakan ekstra konstitusional. Soeharto untuk sementara lebih membutuhkan ‘dukungan damai’ mereka dalam forum-forum legislatif yang tampaknya lebih mudah dikendalikan.

Dengan situasi seperti ini, apa yang disebut sebagai Partnership ABRI-Mahasiswa, memang perlu dipertanyakan. Apakah ia sesuatu yang nyata sebagai realitas politik ataukah hanya setengah nyata atau samasekali berada dalam dataran retorika belaka dalam rangka permainan politik ? Terlihat bahwa bagi Angkatan Darat di bawah Soeharto, partnership itu tak lebih tak kurang adalah masalah taktis belaka, dan mahasiswa ada dalam posisi kategori alat politik dalam rangka kekuasaan.

Kalau pun ada yang mengartikan partnership itu sebagai suatu keharusan faktual dan strategis, tak lain hanya para jenderal yang termasuk kelompok perwira intelektual dan idealis seperti Jenderal Sarwo Edhie, HR Dharsono, Kemal Idris dan sejumlah perwira sekeliling mereka yang secara kuantitatif ternyata minoritas di tubuh Angkatan Darat. Partnership itu memang terasa keberadaannya dan efektifitasnya sepanjang berada di samping para jenderal idealis itu serta pasukan-pasukan di bawah komando mereka. Tetapi di luar itu, partnership tak punya arti samasekali. Dalam berbagai situasi yang sangat membingungkan, tatkala berada dekat kesatuan tentara yang disangka partner, kerapkali para mahasiswa justru bagaikan berada di samping harimau dan sewaktu-waktu menjadi korban kekerasan tentara. Salah satu contoh, adalah apa yang dialami mahasiswa ketika melakukan demonstrasi ‘damai’ di depan Istana Merdeka 3 Oktober 1966.

Menjelang peringatan Proklamasi Kemerdekaan yang ke-21, sejumlah tokoh kesatuan aksi di Bandung –KAMI, KASI maupun KAPI– telah menduga bahwa pidato yang akan disampaikan Soekarno dalam acara tersebut akan bernada keras. Ini terbaca melalui tanda-tanda ketidakpuasan yang diperlihatkan Soekarno setelah SU IV MPRS yang menolak pidato pertanggungjawabannya dan menanggalkan beberapa gelar dan wewenangnya.

Pada pelantikan Kabinet Ampera sebelumnya, Soekarno pun telah melontarkan ucapan-ucapan ‘keras’. Ia misalnya menegaskan keinginannya agar konfrontasi terhadap Malaysia tetap dilanjutkan. Tentang Surat Perintah 11 Maret 1966, Soekarno menyatakan bahwa itu adalah surat perintah biasa dan bukan transfer of authority atau pemindahan kekuasaan. Ia menyatakan pula bahwa Surat Perintah 11 Maret itu “bisa saya berikan kepada siapa saja”. Tapi tentu saja, semua sudah terlambat bagi Soekarno, karena Surat Perintah 11 Maret itu sudah dikukuhkan melalui suatu Tap MPRS, yang tak bisa lagi dicabut oleh Soekarno, kecuali ia bisa memulihkan kekuatan pendukungnya di kalangan militer, partai-partai dan atau di MPRS.

Untuk menghadapi kemungkinan Soekarno mengulangi atau bahkan menyampaikan suatu pidato yang lebih keras keras pada 17 Agustus 1966, para aktivis kesatuan aksi itu telah mempersiapkan beberapa tindakan antisipatif. Sementara itu di berbagai kampus perguruan tinggi di Bandung  berlangsung berbagai appel mahasiswa. Mahasiswa pun menyelenggarakan suatu pawai alegoris keliling kora Bandung, Senin sore 15 Agustus. Sikap anti Soekarno yang paling nyata, terekspresikan dalam pawai allegoris tersebut. Sebuah patung besar yang menyerupai Soekarno di atas sebuah kendaraan bak terbuka amat menarik perhatian jubelan puluhan ribu massa rakyat yang menonton di sepanjang jalan. Patung yang lengkap dengan berbagai bintang dan tanda jasa di dadanya itu disertai suatu tulisan yang seakan pertanyaan Soekarno, ‘Tjing kuring hayang nyaho, naon Hati Nurani Rakyat’, Hayo saya ingin tahu apa itu Hati Nurani Rakyat. Di sekeliling patung, duduk bersimpuh sejumlah wanita cantik –berkebaya atau berpakaian kimono Jepang, yang diperankan sejumlah mahasiswi– dan kendaraan pengangkutnya berjalan lambat-lambat ‘ditarik’ sejumlah manusia kurus kering, berbaju gembel berjalan tertatih-tatih tanda kelaparan.

Sejumlah patung atau boneka sindiran karya para mahasiswa juga meramaikan pawai. Ada pula dua poster yang menyolok, berbunyi “Kalau tidak tahu Hati Nurani Rakyat, jangan mengaku Pemimpin Besar Revolusi” dan “Kalau tidak tahu Hanura, minggir saja Bung!”. Sebuah ‘patung’ lain dalam arak-arakan itu tak hanya ‘menyinggung’ perasaan Soekarno, tapi juga aparat keamanan, sehingga dirampas oleh sejumlah petugas di depan Gedung MPRS yang lebih dikenal sebagai Gedung Merdeka. Patung bertuliskan ‘Kecap Nomor Satu’ di bagian badan dan ‘Batu’ di bagian kepala itu, dikehendaki mahasiswa untuk di bawa terus dalam pawai. Mahasiswa menolak dan mogok di jalan menuntut patung dikembalikan. Persoalan bisa diatasi ketika beberapa perwira Kodam Siliwangi datang setelah dihubungi para mahasiswa, dan turun tangan untuk mengembalikan patung itu.

Pidato 17 Agustus Soekarno, “Djangan sekali-kali meninggalkan sedjarah” yang sering diringkas sebagai Djas Merah, ternyata memang memancing kontroversi. Soekarno menyebut tahun 1966 sebagai tahun gawat, dan menunjuk adanya gerakan kaum revolusioner palsu sebagai penyebabnya. Dalam pidato itu Presiden Soekarno tetap menyebut-nyebut Pantja Azimat Revolusi dan mengagungkan persatuan berdasarkan Nasakom. Tetapi bagian yang paling ‘kontroversial’ ialah ketika Soekarno melontarkan tuduhan terhadap arus penentangan terhadap dirinya dan Nasakom sebagai sikap revolusioner yang palsu. Semua mengerti bahwa yang dimaksudkan terutama adalah kesatuan-kesatuan aksi. Seraya itu, ia lalu menyerukan, “Saudara-saudara kaum revolusioner sejati, kita berjalan terus, ya, kita berjalan terus, kita tidak akan berhenti. Kita berjalan terus, berjuang terus, maju terus pada sasaran tujuan seperti diamanatkan oleh Proklamasi 17 Agustus 1945”. Seruan itu bermakna komando bagi para pengikutnya yang masih setia, untuk membela dirinya menghadapi penentangan ‘kaum revolusioner palsu’.

Seakan mengikuti seruan Soekarno dan sekaligus menjawab aksi-aksi anti Soekarno yang diperlihatkan pelajar dan mahasiswa dalam pawai alegoris mahasiswa, barisan pendukung Soekarno melakukan penyerangan-penyerangan terhadap para penentang Soekarno di berbagai penjuru tanah air. Salah satu rangkaian serangan yang paling menonjol adalah yang terjadi di Bandung, yang dikenal sebagai Peristiwa 19 Agustus 1966, yang mengambil korban nyawa seorang mahasiswa Universitas Parahyangan bernama Julius Usman.

Berlanjut ke Bagian 3

Kisah Pertarungan Politik Setelah Surat Perintah 11 Maret 1966 (1)

SEHARI setelah terbitnya Surat Perintah 11 Maret 1966, dari Presiden Soekarno ke tangan Jenderal Soeharto, sejenak sempat tercipta suasana euphoria, dimulai dengan pengumuman pembubaran PKI yang disiarkan melalui RRI pukul 6 pagi 12 Maret 1966 oleh sang pengemban Surat Perintah 11 Maret 1996 –yang kemudian sengaja dipopulerkan dengan nama berbau pewayangan, Super Semar. Jakarta mendadak diliputi suasana ‘pesta kemenangan’, yang oleh salah seorang tokoh KAMI, almarhum Yosar Anwar, dikatakan karena “telah tercapai hal yang diinginkan dan diperjuangkan generasi muda selama beberapa bulan ini”. Titik tolak perjuangan yang dimaksudkan Yosar pastilah sejak lahirnya Tri Tuntutan Rakyat (Tritura) 10 Januari 1966. Sedang penanda bagi ‘kemenangan’ adalah pembubaran PKI, yang menjadi salah satu titik tuntutan. Disusul kemudian reshuffle kabinet Dwikora beberapa waktu kemudian.

Pembaharuan melawan kenaifan. Menjadi fenomena umum di kalangan perjuangan 1966 kala itu, khususnya bagi mereka yang berada di Jakarta, dengan beberapa pengecualian, bahwa ‘perjuangan’ memang telah selesai, karena kekuasaan sudah beralih ke tangan Jenderal Soeharto yang selama ini mereka dukung. Selain menganggap ‘perjuangan’ mereka telah selesai, juga banyaknya yang berpikir kini saatnya untuk ambil bagian dalam kekuasaan baru. Pada sisi lain, sejumlah aktivis, mahasiswa dan cendekiawan, ditambah satu dua jenderal idealis, menganggap bahwa harus ada pembaharuan lanjut dalam kehidupan politik maupun kekuasaan negara, yang pada instansi pertama tentu adalah menurunkan rezim Soekarno dan mengganti struktur politik Nasakom. Jalan pikiran untuk menuntaskan permasalahan ini, harus berhadapan dengan orang-orang dengan kenaifan memandang kekuasaan. Ada kalangan tertentu, yang bahkan cukup puas dengan sekedar keikutsertaan dalam suatu renovasi kekuasaan bersama Soekarno minus PKI dan kelompok kiri lainnya. Bahkan Jenderal Soeharto sendiri terkesan sejenak cukup menikmati posisi ‘kedua’, setelah mengemban Surat Perintah 11 Maret 1966, dalam kekuasaan di bawah Soekarno. Namun, di sekeliling Soeharto sudah ada satu lingkaran yang cukup ‘tangguh’ untuk mendorong dan mengelola suatu strategi menuju puncak kekuasaan bagi sang jenderal.

Sejumlah kelompok Mahasiswa Bandung amat menonjol dalam ekspresinya bagi pengakhiran kekuasaan Soekarno. Di Jakarta, juga terdapat kelompok-kelompok serupa yang memiliki kehendak yang sama secara dini, melebihi kawan-kawannya mahasiswa Jakarta pada umumnya. Sementara itu sejumlah organisasi mahasiswa ekstra kelompok Islam, bergabung dengan partai-partai Islam yang menjadi induk ideologi mereka. Partai-partai politik berideologi Islam ini, dengan telah terbasminya PKI dan melemahnya PNI berharap akan dapat menjadi pendamping kelompok militer, khususnya Angkatan Darat, dalam kekuasaan baru. Mereka merasa mempunyai andil dalam pembasmian PKI, meskipun sebenarnya dalam rangka perlawanan terhadap PKI yang harus dicatat adalah peranan signifikan kelompok-kelompok eks Masjumi, bukannya partai-partai eks Nasakom. Akan tetapi khusus dalam pembasmian berdarah-darah terhadap massa PKI, terutama di Jawa Timur, tentu saja nama NU takkan terlupakan dalam sejarah.

Dalam menghadapi Soekarno pasca Surat Perintah 11 Maret, partai-partai ini tak kalah taktisnya dengan Soeharto. Sikap taktis yang kerap kali begitu berlebih-lebihan sehingga sulit dibedakan dengan sikap opportunistik, tak jarang mereka pertunjukkan. Namun dalam pendekatan terhadap Soeharto, langkah mereka tak berjalan dengan lancar, karena faktor hambatan dari lingkaran Soeharto sendiri, khususnya Kolonel (kemudian menjadi Brigadir Jenderal) Ali Moertopo, yang tak terlalu mengakomodir partai-partai Islam ini, karena dikonotasikan dengan stigma Masjumi. Dalam hal yang satu ini, kelompok politik Katolik lebih berhasil. Ini terutama karena sejak awal Soeharto memiliki ketergantungan konsep kepada Ali Moertopo, sedangkan think tank Ali terutama terdiri dari kelompok Katolik ini. Kecemerlangan think tank ini tak terlepas dari peranan khas seorang rohaniawan Katolik, Pater Joop Beek, yang amat dominan dengan konsep dan skenario belakang layarnya. Ia digambarkan sebagai perancang berbagai manuver penting yang dilakukan Soeharto sejak awal peristiwa bulan September. Ia juga adalah perancang yang cemerlang berbagai gerakan massa untuk melumpuhkan kekuatan politik kiri dan kelompok-kelompok pendukung Soekarno, yang amat menguntungkan Soeharto.

Ali Moertopo –yang menyerap semua rancangan dari think tank Beek dan kawan-kawan– adalah penasehat politik utama Soeharto sejak sebelum Peristiwa 30 September 1965, dan meneruskan tugasnya itu selaku pendamping Soeharto melalui pergulatan kekuasaan dan politik 1965, 1966 dan 1967. Bahkan peran itu dipegang Ali hingga beberapa tahun kemudian sebelum disisihkan, ketika Soeharto sudah kokoh dalam puncak kekuasaannya. Sejumlah penulis asing mengenai politik Indonesia, seperti Richard Robison dan Robert Heffner, menggambarkan Ali Moertopo sebagai tokoh yang anti partai politik Islam. Ali Moertopo yang “berhubungan erat dengan masyarakat Indonesia-Tionghoa dan Katolik”, menurut para Indonesianis itu, adalah “tokoh teknokrat militer yang berpandangan politik rasional sekuler”, sehingga sikap anti partai Islam yang diperlihatkannya tidak mengherankan. Ali berpandangan bahwa untuk membatasi pengaruh politisi Islam dan peran partai ideologis lainnya, harus dicegah agar tak terulang lagi persaingan politik yang sengit dan menggoyahkan kehidupan bernegara seperti pada tahun 1950-an.

Menjelang Sidang Umum IV MPRS (20 Juni – 5 Juli 1966) di Jakarta, sikap anti Soekarno makin meningkat dan makin terbuka. Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) Bandung mengeluarkan sebuah pernyataan keras, antara lain bahwa demokrasi terpimpin ternyata adalah diktatur, dan bahwa presiden harus memberikan pertanggunganjawab mengenai penyelewengan dari UUD 1945, gagalnya politik ekonomi dan kemunduran demokrasi. Mereka menyatakan pula bahwa mitos palsu “di sekitar diri presiden adalah salah dan berlawanan dengan UUD 1945 dan karena itu harus diruntuhkan”. Pernyataan yang dikeluarkan 3 Juni 1966 itu, ditandatangani oleh Ketua Periodik Presidium KAMI Bandung Rohali Sani dan wakil-wakil mahasiswa yang lain. Pernyataan itu dibacakan secara khusus bertepatan dengan hari ulang tahun Soekarno 6 Juni dalam suatu appel mahasiswa Bandung di Taman Makam Pahlawan Tjikutra. Seorang mahasiswi IKIP Laila Djanun, tampil membacakan pernyataan itu. Pernyataan berikut, datang dari Somal setelah melaksanakan Musyawarah Kerja di Bandung, 8-10 Juni. Di Jakarta, 12 Juni organisasi-organisasi anggota Somal –PMB, Imaba, GMS, CSB, MMB dan Imada– pada penutupan Musyawarah Kerja itu, menyampaikan tuntutan agar gelar Pemimpin Besar Revolusi dari Soekarno ditinjau kembali. Dan yang terpenting adalah Somal menuntut pula pembatalan atas pengangkatan Soekarno sebagai Presiden Seumur Hidup.

Selama Sidang Umum IV MPRS berlangsung, kegiatan ekstra parlementer untuk sementara seakan beralih ke dalam ruang sidang di Istora Senayan. Keadaan ini sesuai dengan keinginan pimpinan Angkatan Darat, dan mahasiswa menuruti anjuran itu. Tuntutan-tuntutan seperti yang diutarakan KAMI Bandung maupun Somal dan beberapa organisasi lainnya, yakni pencabutan gelar Pemimpin Besar Revolusi dan jabatan Presiden Seumur Hidup, terpenuhi oleh SU MPR ini. Jenderal AH Nasution terpilih secara aklamasi sebagai Ketua MPRS. Pertanggungjawaban Presiden Soekarno, Nawa Aksara, ditolak oleh MPRS karena dianggap tak memenuhi sebagai suatu pertanggungjawaban. Soekarno dalam pidato itu tak menjelaskan keterkaitan dan peranannya dalam Peristiwa 30 September, serta tak memberi pertanggungjawabannya terhadap kekalutan ekonomi dan ahlak yang disebabkan dan terjadi selama pemerintahannya.

Terhadap pidato Soekarno, Nawa Aksara, KAMI Bandung memberikan reaksi bahwa itu adalah pidato biasa bukan progress report dan tak memenuhi syarat sebagai suatu pertanggungjawaban. Isinyapun dianggap masih mengandung doktrin-doktrin yang diracuni dengan paham-paham pra-Gestapu seperti Pantja Azimat dan yang sejenisnya. MT Zen dari ITB yang juga adalah salah seorang anggota dewan redaksi Mingguan Mahasiswa Indonesia, menulis serial tulisan ‘tandingan’ dengan judul  “Nawa Sengsara Rakyat Indonesia” yang disebutnya sebagai progress report yang sebenarnya, sesuai dengan realita keadaan rakyat yang telah disengsarakan. Sesuai dengan nawa yang berarti sembilan, MT Zen memperincikan sembilan pokok kesengsaraan rakyat. Pertama, hilangnya kemerdekaan. Kedua, kehancuran sendi-sendi moralitas. Lalu yang ketiga, kehancuran wibawa pemerintah. Sumber kesengsaraan keempat berasal dari kegagalan dalam bidang politik, dan yang kelima kegagalan politik ekonomi dan keuangan. Keenam, kegagalan di bidang pembangunan. Penghancuran barang modal dan macetnya perhubungan menjadi sumber penderitaan ketujuh dan kedelapan. Terakhir, sebagai sumber kesengsaraan kesembilan adalah tamatnya riwayat kehidupan normal.

Keputusan lain yang merubah situasi kekuasaan saat itu adalah pembubaran kabinet Soekarno oleh MPRS dan dikeluarkannya keputusan meminta Soeharto selaku pengemban Surat Perintah 11 Maret yang sudah disahkan melalui suatu Tap MPRS, untuk membentuk suatu kabinet baru yang disebut sebagai Kabinet Ampera. Ditentukan pula agar suatu Pemilihan Umum harus diselenggarakan paling lambat 5 Juli 1968. Pembentukan kabinet baru yang wewenangnya berada di tangan Soeharto, membuat segala orientasi akrobatik politik dari semua partai-partai politik terarah kepada Soeharto di satu sisi, dan pada sisi yang lain menimbulkan semacam reaksi mengarah kepada kekalapan di antara para pendukung Soekarno yang masih berusaha agar Soekarno tak tersisihkan sama sekali sebagai pusat kekuasaan.

DEMAM PEMILIHAN UMUM. Rencana diadakannya Pemilihan Umum di tahun 1968 telah menularkan suatu demam tersendiri, terutama di kalangan partai politik. Setidaknya selama 5 bulan terakhir tahun 1966, partai politik mempunyai kesibukan baru… “Prinsip tidak penting. Pokoknya asal dapat dukungan suara rakyat sebanyak-banyaknya(Karikatur T. Sutanto 1966)

Sementara itu, rencana diadakannya pemilihan umum di tahun 1968 telah menularkan suatu demam tersendiri, terutama di kalangan partai politik. Setidaknya selama 5 bulan terakhir tahun 1966, partai-partai politik yang masih mewarisi cara berpolitik lama zaman Nasakom minus PKI, mempunyai kesibukan baru, yang kemudian akan berlanjut lagi hingga tahun berikutnya, sampai akhirnya Soeharto memutuskan menunda pelaksanaan pemilihan umum sampai tahun 1971. Semua mempersiapkan diri untuk menghadapi Pemilihan Umum yang direncanakan akan diselenggarakan tahun 1968 itu.

Sederetan sikap opportunistik partai-partai yang terkait dengan pemilihan umum ini digambarkan dengan baik oleh Rosihan Anwar. Seluruh kegiatan diarahkan dan tunduk kepada strategi memenangkan pemilihan umum dengan cara apapun. “Sikap politik disesuaikan dengan keperluan serta keadaan khas setempat. Di daerah yang sentimen rakyatnya masih kuat pro Bung Karno, maka giatlah sokong BK. Sebaliknya di daerah yang kebanyakan rakyatnya tidak senang sama BK, maka bersikaplah pula sesuai dengan kenyataan itu. Prinsip tidak penting. Pokoknya asal dapat dukungan suara rakyat sebanyak-banyaknya. Minat dan taruhan tidak lagi sepenuhnya dipasangkan pada perjuangan mengalahkan Orde Lama. Sejauh mengenai kebanyakan partai-partai politik itu, maka soal Orde Lama sudah ‘selesai’. Kini yang diutamakan bagaimana bisa menang dalam pemilihan umum”.

Berlanjut ke Bagian 2

Gambaran Yang Salah Tentang Kedudukan Seorang Presiden

Catatan lama: Mochtar Lubis* (1966)

KETIKA suatu waktu saya memberi ceramah di depan mahasiswa-mahasiswa Fakultas Publisistik Universitas Padjadjaran, Bandung, saya membacakan sebuah laporan tentang suatu negara yang dimuat dalam majalah The Reporter. Laporan ini kemudian saya bacakan pula di depan mahasiswa-mahasiswa IKIP (Institut Keguruan Ilmu Pendidikan) pada suatu kesempatan lain.

“… Presiden atau raja itu adalah sama dengan dewa Wishnu, dan dewa Wishnu itu tidak dapat berbuat salah…”. Apa yang dilakukan raja adalah titah Tuhan, karena dia telah mendapat Wahyu Cakraningrat. “Semuanya ternyata hanya khayalan dan fantasi belaka”… (Karikatur T. Sutanto, Mingguan Mahasiswa Indonesia, 1967).

“…… negara ini terkenal dari sejak zamannya dijajah sebagai sebuah negara yang amat subur, yang amat kaya raya dengan sumber-sumber alam….. dikurniai Tuhan dengan iklim yang terus menerus bagus sepanjang tahun……… rakyatnya mempunyai bakat-bakat besar dan rajin bekerja. Akan tetapi setelah mereka merdeka, maka muncullah pemimpin-pemimpin yang membawa rakyatnya ke jalan yang sesat. Mereka melontarkan semboyan-semboyan yang muluk, hendak menjadi pemimpin seluruh dunia, mereka mengatakan bahwa negerinyalah yang paling hebat di semua bidang, negerinyalah yang menjadi pemimpin di semua bidang, pemimpin merekalah yang paling agung dalam semua hal. Mereka mendirikan tugu-tugu dan gedung-gedung yang megah, sedang rakyat mereka senantiasa makin menderita dari waktu ke waktu. Mereka mencari kemegahan dalam petualangan-petualangan luar negeri. Kaum yang yang berkuasa menangkapi semua pemimpin oposisi dan menjebloskan mereka ke dalam tahanan tanpa diperiksa dan diadili hakim secara sah. Inflasi merajalela karena pengeluaran uang besar-besaran untuk proyek-proyek yang tidak produktif. Pemimpin-pemimpin hidup dalam kemewahan. Mereka amat rajin menyelenggarakan konperensi-konperensi internasional untuk mencari nama dan kemegahan bagi pemimpin, dengan mengeluarkan ongkos-ongkos besar oleh negara….”.

Dan tak berapa lama kemudian, kepada sekumpulan mahasiswa di Jakarta saya bacakan pula sebuah laporan, juga dari majalah The Reporter, yang antara lain berbunyi sebagai berikut: “…. ia memerintah mempergunakan campuran pemberian anugerah sekaligus cara terror, antek-anteknya telah memeras negeri selama sembilan tahun terakhir lewat korupsi-korupsi tanpa batas…..”.

Sewaktu kepada para mahasiswa di dua kesempatan itu saya tanyakan, negeri manakah konon yang dimaksud di dalam laporan-laporan itu, maka dengan spontan dan tegas sekali, mereka menjawab, “Indonesia!”.

Saya katakan pada mereka, bahwa laporan yang pertama adalah mengenai Ghana di Afrika, dan laporan kedua adalah mengenai Republik Haiti di Karibia.

Memperbaharui sistem dan orang-orang lama sekaligus

 

Mereka seakan heran, bahwa ada juga negeri-negeri lain  di dunia ini yang dapat mengimbangi kemerosotan-kemerosotan hebat yang diderita oleh Indonesia selama tahun-tahun yang lalu. Tetapi reaksi para mahasiswa menunjukkan satu hal yang besar artinya; kesadaran mereka akan keadaan bobrok yang telah menimpa tanah air mereka. Karena itu tuntutan-tuntutan mereka menghapuskan rezim kekuasaan lama di bawah Soekarno dengan cara-cara lama –yang dikenal dengan penamaan orde lama– mempunyai landasan kesadaran yang kuat.

Di tahun 1966, ada suara-suara yang mengatakan, bahwa orde itu adalah sistem, susunan, dan bukan mengenai orang-orang. Maksudnya, mungkin, supaya orang-orang jangan diganggu-gugat kedudukannya, meskipun orang-orang ini adalah juga yang bercokol dan banyak berdosa di masa lampau. Susun sajalah satu orde yang baru sebagaimana yang dikehendaki oleh Angkatan 66, dan biarkan tokoh-tokoh lama dari rezim dan masa perpolitikan lama itu terus memimpin juga dalam orde yang baru ini –yang mulai diperkenalkan dengan penamaan orde baru. Demikian dikatakan.

Sebenarnya suara serupa ini menyedihkan juga. Apakah mungkin tokoh-tokoh yang sudah bercokol dan ikut berdosa dalam tatanan yang lama, akan dapat pula ikut memimpin membina orde yang baru?

Memanglah yang penting adalah sistemnya, susunannya. Pemimpin-pemimpin dapat datang dan pergi. Yang gagal mesti mengundurkan diri dan diganti dengan yang baru, yang harus pula senantiasa membuktikan kebenaran dan ketetapan pimpinan mereka. Tetapi faktor manusia pemimpin-pemimpin penting pula. Terutama di masa pembinaan suatu sistem baru yang lebih baik dari sistem lampau yang gagal, maka adalah penting kualita pemimpin-pemimpin yang harus memberikan kepemimpinan, tauladan pribadi yang baik dan bersih, pengabdian yang sungguh-sungguh, kecakapan bekerja yang terjamin, kejujuran dan kecintaan pemimpin-pemimpin pada nilai-nilai demokratis dan hak-hak manusia, serta pula kesungguhan mengupayakan kemakmuran yang adil dan merata bagi seluruh rakyat, yang hendak dibina dalam iklim yang baru itu. Pemimpin-pemimpin yang memiliki kualita-kualita seperti digambarkan di atas merupakan kebutuhan dan layak untuk diberi kesempatan bekerja.

Jadi, sebenarnya tanpa suatu hasrat mendongkel-dongkel, maka tuntutan Angkatan 66 agar tokoh-tokoh baru yang harus memimpin pembinaan suatu sistem yang baru di tanah air kita, adalah sangat beralasan. Karena, bagaimana kiranya dapat diharapkan tokoh-tokoh lama yang sudah berdosa di masa lampau –kaum vested interest yang telah mengeruk kekayaan dengan kemewahan yang berlimpah-limpah di zaman lama– akan kini dapat menghapuskan sendiri kedudukan-kedudukan istimewa mereka selama ini? Karena itu, sebenarnya juga hasrat hendak merobah tatanan yang lama sama juga artinya dengan mengganti orang-orang lama dengan pemimpin-pemimpin yang baru.

Presiden Soekarno dan wahyu cakraningrat

 

PADA suatu peristiwa dan waktu yang lain, juga di tahun 1966, saya menerima tamu; seorang kawan lama dari Jawa Tengah. Saya tanya padanya, bagaimana pandangan rakyat di sana kini terhadap Presiden Soekarno. “Wah, payah bung”, katanya, “yang melek matanya baru sedikit”. Umpamanya masih seperti dulu, juga termasuk banyak kaum intelektual. “Payah bagaimana?”, tanyaku. “Habis, orang di sana masih menganggap Soekarno itu seperti raja yang mendapat wahyu cakraningrat”, katanya. Di mata orang di sana, presiden atau raja itu adalah sama dengan dewa Wishnu, dan dewa Wishnu itu tidak dapat berbuat salah , weruh sadurunging winarah (tahu apa yang akan terjadi, sebelumnya). Apa yang dilakukan raja adalah titah Tuhan, karena dia telah mendapat wahyu cakraningrat.

Aduh, kataku, ini celaka, ini kan berarti masih percaya sama takhyul omong kosong. Ini sikap jiwa feodal yang amat buruk dan reaksioner sekali. Apa saudara-saudara di Jawa Tengah mengerti, bahwa sikap jiwa serupa ini merupakan penghalang bagi kemajuan bangsa Indonesia? Apa mereka tidak tahu, bahwa daerah-daerah lain di luar daerah mereka ingin maju cepat, ingin membangun suatu tata kehidupan baru dengan gesit dan gigih? Kalau mentalita begini tidak mau dirobah, daerah-daerah lain tentu nanti mem-bypass Jawa Tengah.

Sang kawan mengangkat bahunya, dan menambahkan lagi dengan suara yang agak rawan; yah, begitulah keadaannya. Barangkali baik juga Jawa Tengah itu di-bypass saja untuk beberapa waktu, biar mereka tenggelam dalam mistik Jawa mereka sendiri. Kan nanti terbangun dan sadar, kalau melihat daerah-daerah lain yang tidak percaya pada ‘berbagai’ wahyu cakraningrat, telah maju dan makmur, membina modernisasi dan kemajuan-kemajuan pikiran dan ilmu yang baik.

Percakapan ini mendorong saya untuk mempelajari kembali apa yang dinamakan Presiden Soekarno sebagai revolusi yang dilaksanakan di masa yang baru lampau ini.

Memang cocok dengan kepercayaan rakyat di Jawa Tengah ini, Presiden Soekarno suka menonjolkan dirinya sebagai mendapat wahyu dari Tuhan, tingkah laku pribadi hidup seperti raja. Pakaian seragam ‘mentereng’ lengkap dengan segala atribut ‘tanda jasa’, dikawal tentara kerajaan (maaf) Cakrabirawa, isteri banyak, hidup mewah, ke mana-mana dengan protokol yang hebat-hebat (pompous), senang pada gelaran-gelaran yang berlebih-lebihan segala besar dan agung. Senang pada penakhyulan kesaktiannya. Suratkabar-suratkabar dulu rajin menyiarkan berita-berita, misalnya tentang anak sakit yang sembuh setelah kepalanya diusap Soekarno, atau wanita jadi hamil setelah makan sisa makanan di bekas piring Soekarno dan lain-lain.

Presiden Soekarno memang amat mahir memainkan perannya dalam lelakon pewayangan ini, dan berhasil menanamkan gambaran yang salah sama sekali tentang kedudukan seorang presiden di dalam negara demokratis, di dalam jiwa banyak orang di Jawa Tengah itu.

Perwayangan ini diperhebat oleh propaganda orang komunis dan penjilatan Soebandrio. Sampai-sampai tanpa malu-malu mereka teriakkan Presiden Soekarno menjadi pemimpin dunia, yang akan merobah dunia. Semuanya ternyata hanya khayalan dan fantasi belaka.

Di bawah gemerlapan perwayangan serupa ini, pada hakikatnya apa yang dinamakan Presiden Soekarno sebagai revolusi itu tak lain suatu gerakan mundur (regressive, regression) yang membawa bencana bagi bangsa dan negara kita. Bukan saja kemunduran di dalam jiwa dan pemikiran, tetapi akibat dari regresi di dalam jiwa dan pemikiran ini, maka juga kemunduran nyata di dalam bidang-bidang kehidupan yang lain dari bangsa kita. Satu contoh, sarjana-sarjana hukum Indonesia pernah menyatakan bahwa Pemimpin Besar Revolusi Soekarno ini adalah sumber hukum. Ini suatu kemunduran yang membawa kita pada kegelapan ‘masa’ Raja Amangkurat yang ganas, di abad ketujuhbelas.

Jadi, sebenarnya juga daerah-daerah lain berhak untuk meminta kepada saudara-saudara kita di Jawa Tengah supaya secepat mungkin mengusahakan ‘bypass mentalita lama’ yang tidak progresif ini. Aduh bung, tak mudah itu, akan minta waktu lama, kata kawan saya dari Jawa Tengah.

Tetapi kalau di Jakarta ada Presiden baru yang baik, yang progresif, yang membina suatu kehidupan politik baru yang demokratis, yang cinta dan mengabdi kepada rakyat, bagaimana, apa rakyat Jawa Tengah mau menyokong dia?

Oh, tentu, jawab sang kawan dengan cepat. Bagi rakyat di Jawa Tengah, asal ada Presiden baru, maka artinya ada raja baru yang sudah mendapat wahyu cakraningrat, yang adalah penjelmaan Dewa Wishnu, dan mereka akan ikut dan taat pula padanya…….

*Mochtar Lubis. Salah seorang tokoh pers pejuang yang paling terkemuka dalam memperjuangkan demokrasi dan kebebasan pers di Indonesia. Mendirikan dan memimpin Harian Indonesia Raya sejak 29 Desember 1949 hingga saat dibreidel rezim Soekarno 2 Januari 1959. Ia sendiri sempat mendekam dalam tahanan tanpa proses peradilan selama hampir sepuluh tahun, 21 Desember 1956 sampai 15 Mei 1966. Mulanya Mochtar ikut menaruh harapan pada Soeharto, namun kemudian harus mengakui bahwa harapan itu salah. Sejarah sering berulang, banyak pemimpin sesudah Soeharto pun memulai sebagai harapan rakyat namun mengecewakan pada akhirnya.

Tritura, Dari Mulut Buaya ke Mulut Harimau (2)

‘OFFENSIF’ KARIKATUR

‘DJAS MERAH SOEKARNO’. Dalam peringatan Proklamasi 17 Agustus 1966, Presiden Soekarno menyampaikan pidato “Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah” yang diringkas mahasiswa menjadi ‘Djas Merah’. Warna merah pada masa itu selalu dikonotasikan dengan komunis.

Selain dengan gerakan ekstra parlementer di jalanan, para mahasiswa juga menggunakan media pers sebagai alat perjuangan mereka. Ini terutama setelah kelahiran Surat Perintah 11 Maret 1966 dari Presiden Soekarno kepada Mayor Jenderal Soeharto. Tetapi setelah itu, terdapat dua matahari dalam kekuasaan. Mahasiswa memilih untuk mengakhiri kekuasaan Soekarno yang dianggap otoriter dan telah menjadi satu kediktaturan. Akan menjadi apa Soeharto nantinya, tak terlalu terpikirkan, bahkan banyak harapan yang diletakkan kepadanya.

HARUS DIDORONG-DORONG. Sikap maju-mundur MPRS untuk meminta pertanggunganjawab Presiden Soekarno membuat mahasiswa tak sabaran. Pada akhirnya pertanggunganjawab Soekarno itu ‘berani’ juga ditolak oleh MPRS.

Pertengahan tahun 1966, bulan Juni, lahir sejumlah media pers yang dikelola oleh para mahasiswa aktifis. Di Jakarta terbit Harian KAMI yang dipimpin oleh Zulharmans dan Nono Anwar Makarim. Lalu terbit Mingguan Mahasiswa Indonesia dalam dua edisi. Edisi Pusat dipimpin oleh Louis Taolin. Edisi Jawa Barat didirikan oleh sejumlah aktifis mahasiswa Bandung, dipimpin oleh Awan Karmawan Burhan dan A. Rahman Tolleng. Edisi Pusat berusia ringkas, sehingga selanjutnya edisi Jawa Barat lah yang lebih dikenal sebagai Mingguan Mahasiswa Indonesia. Harian KAMI dan Mingguan Mahasiswa Indonesia bisa mencapai tiras peredaran nasional yang memadai yang kerapkali bisa mengalahkan tiras suratkabar umum yang ada.

 

Mingguan Mahasiswa Indonesia amat terkemuka dalam kampanye menjatuhkan Soekarno dan menjadi media kaum intelektual dalam melahirkan konsep-konsep  awal Orde Baru. Namun adalah tragis bahwa konsep dan penamaan Orde Baru ini dalam perjalanan waktu berubah di tangan Soeharto dan lingkaran jenderalnya yang berkecenderungan otoriter. Sehingga beberapa tahun kemudian selangkah demi selangkah makin tak dikenali lagi, bahkan oleh para pencetus konsepnya sendiri, yakni sejumlah kaum intelektual dan sekelompok kecil jenderal idealis.

MIKUL DHUWUR MENDHEM JERO? Tuntutan kesatuan-kesatuan aksi berkali-kali berbenturan dengan sikap Soeharto yang menolak keinginan mengadili Soekarno. Apakah karena menjalankan filosofi ‘mikul dhuwur mendhem jero’? Nyatanya di kemudian hari Soekarno memang tak pernah diadili, tetapi ia dibuat lebih menderita sebenarnya dengan pengenaan tahanan rumah dalam keadaan sakit dan tak mendapat pengobatan yang layak. Apa memang dikehendaki ia tak sembuh? Akhirnya ia meninggal dunia sebagai tahanan, pada tahun 1970. Suatu keadaan yang sebenarnya justru tidak adil.

Salah satu kekhasan Mingguan Mahasiswa Indonesia adalah ‘offensif’ karikaturnya. Dalam setiap penerbitannya mingguan ini menyajikan karikaturnya yang tematik sesuai fokus berita dan situasi aktual yang terjadi. Sepanjang penerbitannya hingga diberangus oleh rezim Soeharto Januari 1974, ada sekitar dua ratus karikatur yang telah diterbitkan. Seluruh karikatur dalam esei bergambar ini diangkat dari dokumentasi Mingguan Mahasiswa Indonesia, mulai dari penerbitan tahun 1966, 1967, 1968 hingga 1969. Karikaturis-karikaturis yang berkontribusi antara lain adalah Sanento Juliman (almarhum), T. Sutanto (TS), Harijadi Suadi, Ganjar Sakri (Gas), Dendi Sudiana dan Keulman (Ke) semuanya dari Senirupa ITB. Lalu ada sesekali ‘Napraja’, dan kemudian seorang wartawan karikaturis, mahasiswa dari Yogya Julius Pour.

PARTAI DAN GOLONGAN. Memilih kepentingan golongan sendiri.

Setelah menyorot Soekarno, karikatur-karikatur tersebut sesuai perjalanan waktu dan situasi beralih menyoroti perilaku korupsi, ekses perilaku tentara dalam kekuasaan hingga pada perilaku politisi sipil yang tak kalah buruknya.

BERLOMBA MENGKLAIM DIRI ORDE BARU. Tatkala penamaan Orde Baru muncul dan berada di atas angin, tak beda dengan yang terjadi di masa Soekarno saat semua orang berlomba menyatakan setia kepada revolusi dan berdiri di belakang Pemimpin Besar Revolusi, maka orang juga berlomba menklaim diri Orde Baru. Nyatanya, Orde Baru kemudian menjadi milik begitu banyak orang, sebagai milik bersama, untuk kemudia dirusak bersama-sama pula, selama 32 tahun. Sampai, akhirnya datang era reformasi dan kembali terjadi arus besar, berlomba untuk menyebut diri reformist dan memetik hasilnya.

Ketidakberanian para anggota MPRS juga menjadi sasaran sorotan para mahasiswa pengeritik, sebagaimana juga sikap ‘kompromistis’ yang ditunjukkan oleh Soeharto sendiri terhadap Soekarno. Dalam hal tuntutan untuk mengajukan Soekarno ke depan Mahmillub, sebuah karikatur menunjukkan adanya kesan bahwa Soeharto tidak menghendakinya dan bahkan tergambarkan bersikap ‘menghalangi’. Semula, banyak pihak memahami sikap Soeharto itu sebagai pencerminan sikap mikul dhuwur mendhem jero yang merupakan filosofi dalam kultur Jawa tentang bagaimana memperlakukan para pemimpin yang pernah berjasa.

Berlanjut ke Bagian 3

Topik Indonesia di Alam Sana

CERITA akhir pekan di bawah ini sekedar intermezzo dan fiktif. Bila ada persamaan tempat dan nama, itu hanyalah kebetulan belaka.

Krisis energi dan sebagainya di neraka. Maaf, menurut berita, suhu di neraka akhir-akhir ini sangat menurun, sehingga para penghuni yang ada di situ merasa sedikit lebih nyaman dari tahun-tahun sebelumnya. Masalahnya adalah, terjadi kelangkaan gas.

Salah satu negara penghasil gas yang besar di dunia yang biasa memasok gas ke atas sana melalui Jepang dan Singapura, yakni Indonesia, mengalami krisis gas sehingga mengurangi pasokan. Produksi dalam negeri dipakai untuk memenuhi kebutuhan dalam program konversi penggunaan minyak tanah ke pemakaian gas. Selain itu, banyak gas yang terbuang sia-sia karena begitu banyak tabung gas 3 kilogram meledak tak henti-hentinya di mana-mana.

Para ‘sipir’ di wilayah akhirat yang paling panas itu, juga terkendala dalam operasional pengawasannya di wilayah yang luas itu. Kendaraan mereka yang menggunakan premium pada mogok karena menggunakan premium yang sejenis dengan yang ada di Indonesia, mengandung banyak belerang.

Lebih parah, entah meniru siapa, para ‘sipir’ neraka pun makin royal memberikan remisi beberapa kali dalam setahun, bahkan pihak otorita setempat juga makin sering memberikan grasi. Contoh kasus terbaru, seorang koruptor asal Indonesia, diberi grasi dengan alasan kemanusiaan karena mengalami tubuh gosong permanen.

Masa jabatan Presiden. Meskipun sudah berada di alam sana –pada kurun akhirat setelah kehidupan di dunia– para tokoh yang pernah menjadi pemimpin politik dan kekuasaan di Indonesia semasa hidup mereka, tetap mengikuti perkembangan aktual tanah air. Tanggal 17 Agustus 2010 yang lalu mereka berkumpul membahas beberapa berita aktual di tanah air. Mereka datang dari berbagai pelosok akhirat –dari wilayah yang panas maupun yang sejuk– dengan satu izin khusus tahunan.

Polemik yang muncul setelah anggota DPR Partai Demokrat bernama Ruhut Sitompul melontarkan isu amandemen UUD agar masa jabatan Presiden RI yang sudah dibatasi paling banyak dua kali bisa dirubah menjadi tiga kali, menjadi salah satu topik.

Salah seorang mantan Presiden, berkata “Dulu, aku tak pernah repot memakai proof ballon untuk menjajagi tentang masa jabatanku sebagai Presiden. MPRS sendiri yang mendukungku tanpa reserve, mengerti yang aku mau dan ambil inisiatif zonder aku perintah lagi, mengangkat diriku menjadi Presiden Seumur Hidup”. Tentara pun telah “menjadikan diriku Pangti ABRI. Para pemimpin politik yang progressif revolusioner mengangkatku sebagai Pemimpin Besar Revolusi. Para ulama juga memberi aku gelar sebagai Waliyatul Amri”, ujarnya lagi sambil menoleh ke arah sederetan mantan jenderal, tokoh-tokoh dan para kyai yang adalah para pemimpin partai politik. Adapun para jenderal, para tokoh dan para kyai dari zaman yang sama, beramai-ramai mengangguk-anggukan kepala.

“Saya juga tak pernah meminta daripada rakyat agar wakil-wakil mereka di MPR selalu memilih saya sebagai Presiden/Mandataris MPR setiap lima tahun”, timpal seorang mantan Presiden yang lain. “Para pimpinan MPR/DPR dan orpol/ormas yang selalu meminta saya bersedia dipilih kembali, sampai enam kali berturut-turut. Pada yang terakhir, saat saya sudah mulai miris, Ketua daripada DPR-RI sendiri yang meyakinkan saya, bahwa rakyat masih menghendaki saya… Walaupun, eh, dia sendiri yang tak lama kemudian datang memberitahu bahwa rakyat sudah tak lagi menghendaki diri saya”. Sambil menoleh kiri-kanan, sang mantan Presiden, bertanya mencari-cari, “Mana dia orangnya?”. Seorang mantan perwira intelijen yang dulu bertugas di Bakin dengan cepat menjawab, “Dia belum diekstradisi ke sini, pak…. Tapi di dunia, begitu bapak meninggal, dia sudah menyuruh tulis buku Fakta dan Kesaksian mengenai berhentinya bapak sebagai Presiden…”.

“Tapi aku hanya sempat dua tahunan jadi Presiden tuh”, seorang mantan Presiden yang lain berkata dengan mata tertutup seperti setengah tidur. “Ya, ramai-ramai di-impeach di DPR yang mirip taman kanak-kanak gitu. Tapi aku tenang saja. Ya, aku coba terus mencalonkan diri lagi. Kalau tidak berhasil, karena dihalangi ramai-ramai, memang aku pikirin? Gitu aja… kok repot…”.

Semua yang hadir tertawa. “Tapi, omong-omong…. perlu juga itu de jonge, si Ruhut itu, kita ajak bertemu di sini”, ujar mantan presiden yang paling senior. “Ya”, kata yang kedua, “harus kita usahaken diperhadapkan ke sini. Bagaimana saudara daripada intelejen?”. Tapi sang perwira ex intelejen menjawab, “Kelihatannya masih sulit, pak, menurut info dan analisa kami dia masih dibutuhkan pemimpinnya di dunia untuk tugas-tugas serupa selanjutnya….”.

PKI Sejak 23 Mei 1920: Dari Konflik ke Konflik (4)

“Seharusnya kita semua –terutama generasi baru, angkatan muda bangsa-negara ini, termasuk yang berada di lingkungan Angkatan Bersenjata– menghilangkan dendam sejarah, dan salah satu yang mungkin menjadi carajalannya ialah memaafkan tanpa melupakan!”.

SETELAH mengeluarkan ide dasarnya berupa Konsepsi Presiden itu, maka Presiden Soekarno melangkah lebih jauh, yaitu dengan merumuskan sebuah sistem demokrasi alternatif yang kemudian disebut dengan Demokrasi Terpimpin. Demokrasi alternatifnya itu dimaksudkan untuk menggantikan sistem Demokrasi Liberal yang dianut dan dijalankan selama 8 tahun, yang memang sangat tidak disukai Presiden Soekarno. Sistem ini sudah tidak disukainya sejak masih duduk sebagai pemimpin PNI dan Partindo. Demikianlah, walaupun mendapat kritikan tajam, bahkan juga dengan adanya sejumlah sikap penentangan terhadap Konsepsi Presiden dan Demokrasi Terpimpin, Presiden Soekarno tetap melangkah untuk mewujudkan ide dan konsep yang dikemukakannya. Terlebih lagi waktu itu rumusan Demokrasi Terpimpinnya telah diterima oleh Sidang Kabinet Karya. Persoalan penggantian UUD Negara 1950 yang tentu saja tidak sesuai dengan nafas Demokrasi Terpimpin itu, memang tampak akan menjadi kendala. Demikian pula dengan ketidakberhasilan Dewan Konstituante menciptakan UUD negara yang baru. Namun, Presiden Soekarno dapat mengatasi kendala itu dengan dilatari oleh adanya dukungan yang sangat kuat dari sejumlah kekuatan politik, antara lain TNI-Angkatan Darat dan PKI.

Singkat kata, setelah mendapatkan dukungan kuat dari pelbagai pihak selain TNI-Angkatan Darat dan PKI, maka Presiden Soekarno mengambil jalan inkonstitusional untuk memberlakukan kembali UUD negara yang dirumuskan pada 1945 sebagai UUD negara Republik Indonesia. Dengan itu, sistem Demokrasi Terpimpin pun dapat dijalankan dengan berpegang pada UUD negara, yaitu UUD negara 1945 (UUD ’45). Sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959 itu, maka berkuasalah Presiden Soekarno sebagai Presiden konstitusional yang tidak hanya sebagai Kepala Negara melainkan juga sekaligus sebagai Kepala Pemerintahan (Perdana Menteri, PM) negara. Dengan demikian, berarti juga jalan ”mulus” terbuka bagi PKI untuk memasuki lembaga pemerintah, yaitu memasuki bidang pemerintahan eksekutif. Selama pemerintahan dengan sistem Demokrasi Terpimpin dengan UUD ’45, digambarkan adanya tiga kekuatan utama yang menguasai arena pemerintahan negara, yaitu TNI-Angkatan Darat yang ”bersaing” dengan PKI dan di antara kedua kekuatan itu bertegaklah Soekarno sebagai kekuatan utama yang berusaha mengatasi kedua kekuatan yang saling bertentangan itu.

Selama periode 1959-1965 –yang juga digambarkan dengan slogan revolusi belum selesai– tampak situasi belum juga menjadi lebih baik bagi berlangsungnya sebuah pemerintahan yang dapat melaksanakan tugas kepemerintahannya sebagaimana yang digambarkan Presiden Soekarno dengan slogan revolusi belum selesai tersebut; Dan untuk menyelesaikannya, Soekarno disebut juga sebagai Presiden/Pemimpin Besar Revolusi! Tetapi, dalam periode itu tampil sejumlah krisis, tidak hanya krisis politik, melainkan juga krisis ekonomi, sosial, dan kebudayaan. Di tengah-tengah slogan untuk menyelesaikan revolusi, pertentangan di antara kekuatan-kekuatan politik makin berkembang secara nyata. PKI tidak hanya bertentangan dengan TNI-Angkatan Darat, melainkan juga dengan kekuatan-kekuatan agamis seperti Islam dan Katolik, bahkan terjadi pertentangan antara PNI dan PKI, dan juga dengan kekuatan Marxis, antara PKI dengan Partai Murba. Pertentangan-pertentangan itu, dalam periode 1960-1964, melahirkan tindakan-tindakan fisik yang bahkan tidak jarang melahirkan tindakan kekerasan yang ”saling membunuh”.

Sejalan dengan itu, salah satu cara yang tampak akan digunakan untuk mendapatkan kesempatan politik ialah pelaksanaan land reform. Langkah untuk pelaksanaan land reform itu, digunakan oleh PKI untuk ”memaksakan” kehendaknya. Cerita tentang adanya tindakan pendukung pelaksanaan land reform itu dengan jalan kekerasan, terdengar dari pelbagai daerah, seperti Jawa Timur, Sumatera Utara, Bali dan Tana Toraja, misalnya, sampai sekarang masih hidup seorang anak yang ketika menyebut nama ayahnya, ia tidak menyebut nama yang biasa digunakan ketika ayahnya masih hidup, melainkan menggantikannya dengan: dia yang dicincang. Sebutan itu digunakan setelah ayahnya meninggal dicincang oleh rombongan orang BTI/PKI yang hendak merebut tanah warisan milik keluarganya. Itu hanya salah satu cerita tentang pertentangan yang melahirkan gambaran kekejaman pada ketika itu.

Di tengah-tengah makin meningkatnya situasi krisis dengan slogan revolusi, untuk menghadapi ’lawan’nya PKI menggunakan istilah ofensif revolusioner dan atau jor-joran manipolis. Penggunaan slogan-slogan itu tampaknya dimaksudkan untuk identitas kekuatan diri sebagai bagian dari kekuatan utama pendukung pemimpin besar revolusi dalam rangka menyelesaikan revolusi yang belum selesai itu. Tetapi di tengah-tengah situasi yang menampakkan kekuasaan otoriter dari presiden, maka terjadi suatu pembalikan situasi, yaitu melalui tindakan Letnan Kolonel Untung –salah seorang komandan pasukan di Resimen Cakrabirawa– yang mengumumkan apa yang disebut sebagai Dewan Revolusi dengan sejumlah nama pemimpin bangsa ketika itu sebagai anggota. Tetapi posisi dan nama Presiden Soekarno dalam Dewan Revolusi itu tidak disebutkan!

Dewan Revolusi menyatakan bahwa gerakan yang dicanangkannya itu bernama: Gerakan 30 September (G30S). G30S itu tentu saja telah merancang pelbagai hal yang akan menopang pencapaian tujuan mereka. Namun, para pemimpin G30S yang dikomandani oleh Letnan Kolonel Untung ternyata tidak memperhitungkan secara cermat kekuatannya, sehingga hanya dalam waktu yang sangat singkat, kekuatan gerakan Dewan Revolusi G30S itu dapat dilumpuhkan. Mayor Jenderal Soeharto tampaknya tidak diperhitungkan sebagai perwira tinggi yang membahayakan gerakan mereka, walaupun menduduki jabatan strategis sebagai Panglima Kostrad – tetapi memang Kostrad waktu itu tidak dapat disamakan dengan posisi dan kekuatan Kostrad sekarang. Dan salah ’menghitung’ posisi Mayor Jenderal Soeharto itulah tampaknya yang merupakan salah satu faktor utama dari kegagalan rencana G30S itu.

Setelah kekuatan anti PKI di bawah pimpinan Mayor Jenderal Soeharto berhasil menguasai keadaan setelah pengumuman Dewan Revolusi yang mengambil alih kekuasaan pemerintahan yang digagalkan, sejak tanggal 2 Oktober 1965, maka diketahui bahwa yang berada di belakang G30S itu ialah Partai Komunis Indonesia (PKI) pimpinan Dipa Nusantara (DN) Aidit. Dengan adanya ”bukti-bukti” yang ditemukan oleh kekuatan anti PKI itu, maka G30S yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Untung dengan Dewan Revolusinya, dan dianggap telah melakukan kudeta itu, akhirnya dikaitkan –dalam arti sebagai dalang dan pelaku gerakan kudeta– dengan PKI; Dan karena itu, selama pemerintahan Orde Baru pimpinan Presiden Soeharto, 1966-1998, maka penulisan G30S selalu dikaitkan dengan PKI, yaitu G30S/PKI. Dengan adanya bukti-bukti itu –tentu saja bukti-bukti yang dimaksud itu menurut pendapat para pendukung Jenderal Soeharto dan kelompok Anti Komunis PKI, yang kemudian menyebut dirinya dengan: Orde Baru (Orba)– maka para pendukung Jenderal Soeharo dan Orde Baru yang telah menguasai pemerintahan negara melakukan pembersihan terhadap PKI dan organisasi-organisasi pendukungnya.

Para pendukung PKI itu –karena dianggap sebagai dalang dan terkait dengan G30S– dianggap sebagai pemberontak, bahkan sebagai ”pengkhianat” terhadap pemerintah yang sah dan negara Republik Indonesia. Dengan adanya anggapan yang demikian itu, hak-hak kewarganegaraan mereka sebagai warga negara Republik Indonesia, dibatasi, bahkan dihilangkan. Mereka yang dianggap terlibat dalam G30S/PKI itu, dikategorikan dalam tiga kategori, yatiu golongan A, B dan C, yang masing-masing mempunyai tingkat sanksi yang berbeda-beda karena tingkat keterlibatannya di dalam kepengurusan PKI dan organisasi massanya dan G30S. Golongan A dan B dianggap terlibat langsung dalam kepengurusan PKI dan juga diduga terlibat pula di dalam kegiatan-kegiatan G30S/PKI itu. Mereka itu biasanya mendapat hukuman di penjara dalam waktu yang sangat panjang, sampai seumur hidup dan atau dihukum mati. Sebagian dari mereka dipindahkan ke tempat tahanan yang lebih terpencil, yaitu ke Pulau Buru. Sedang golongan C jauh lebih ringan dan biasanya bisa dibebaskan, tetapi dengan persyaratan tertentu, antara lain dengan melapor ke kantor Kodim (Komando Distrik Militer) atau kantor polisi yang telah ditentukan.

Dalam perkembangan selama kekuasaan pemerintahan Orde Baru, diciptakan pelbagai undang-undang dan peraturan-peraturan hukum yang membatasi hak-hak kewarganegaraan dari pengurus atau anggota PKI dan atau organisasi atau orang-orang yang dianggap terkait dengan PKI dan G30S, baik langsung maupun tidak langsung. Sebagai akibat dari adanya peraturan-peraturan  itu, yang selalu dan harus mengacu kepada  Tap MPRS No XXV/1966 maka semua lembaga negara dari semua tingkatan, demikian pula pada semua lembaga pendidikan, misalnya lembaga-lembaga pendidikan instansional, seperti AKABRI dan yang lainnya di lingkungan Angkatan Bersenjata –Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara dan Angkatan Kepolisian– harus melewati seleksi yang sangat ketat, sehingga lembaga-lembaga itu tidak ”tersusupi” oleh orang-orang PKI dan G30S. Tetapi yang sangat menyulitkan ialah setelah G30S/PKI itu melewati jarak waktu puluhan tahun, maka anak-anak keturunan mereka pun tetap kehilangan hak kewarganegaraannya karena sangkaan terhadap orang-orang tuanya sebagai pengurus atau anggota PKI atau G30S. Keadaan yang demikian ini berlangsung terus, selama kurang lebih 32 tahun di bawah pemerintahan Orde Baru pimpinan Jenderal dan Presiden Soeharto.

Persoalan Sejarah, Memaafkan Tanpa Melupakan

Terlepas dari setuju atau tidaknya kita terhadap apa yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru pimpinan Jenderal, Presiden Soeharto, maka persoalan yang akan dihadapi oleh bangsa-negara kita, ialah persoalan sejarah. Yang saya maksudkan ialah bahwa dengan G30S/ PKI pada tahun 1965 itu, maka bangsa-negara kita telah membelah dirinya dengan dilatari oleh ”dendam” sejarah. Anak-anak PKI/G30S itu yang lahir pada tahun 1970-an, 1980-an dan 1990-an adalah tetap merupakan warga negara Republik Indonesia, dengan hak kewarganegaraannya yang sama dengan yang lainnya, anak-anak warga negara yang dahulu anti PKI dan G30S itu.

Sejalan dengan itu, bagaimanapun juga terjadinya keterbelahan akibat dari G30 S/PKI itu, seharusnya tidak berlanjut ke hari-hari depan, dalam kehidupan bersama kita sebagai bangsa dan di dalam negara Republik Indonesia. Karena itu, seharusnya kita semua –terutama generasi baru, angkatan muda bangsa-negara ini, termasuk yang berada di lingkungan Angkatan Bersenjata– menghilangkan dendam sejarah, dan salah satu yang mungkin menjadi carajalannya ialah memaafkan tanpa melupakan! Karena apa yang pernah kita lakukan sejak puluhan tahun yang lalu itu, adalah sejarah yang seharusnya dipahami sebagai milik bersama, dan seharusnya dapat menjadi landasan yang akan saling memperkuat kita semua –dalam arti sebagai warga negara– menopang kelangsungan hidup berbangsa-negara, di tengah-tengah bangsa-negara lainnya di muka bumi ini.

*Anhar Gonggong. Aktif dalam pergerakan mahasiswa sejak masa kuliah di UGM. Sejarawan dan budayawan yang bergelar doktor ilmu sejarah ini, pernah menjabat sebagai Deputi Menteri bidang Sejarah dan Purbakala di Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Sekarang mengajar Sejarah Ekonomi dan Bisnis di Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Atmajaya Jakarta, mengajar Agama dan Nasionalisme di Pasca Sarjana Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia.