Hatta Albanik, Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran*
“Suatu proses rekrutmen yang keliru dalam kepemimpinan partai sehingga menempatkan seseorang berkecerdasan rendah sebagai pimpinan partai, sementara masalah politik yang dihadapinya memerlukan kecerdasan tinggi untuk mampu meyakinkan masyarakat terhadap gagasan dan keinginan partainya; akan mengakibatkannya mengalami gangguan psikis karena ketakmampuannya itu”.
PERILAKU politik adalah bagian dari perilaku sosial. Perilaku sosial adalah perilaku seseorang yang terjadi karena kehadiran orang lain, atau perilaku seseorang yang diatur oleh kelompok. Perilaku politik adalah perilaku yang ditampilkan seseorang dalam keterlibatannya menjalani kehidupan berbangsa-bernegara terutama dalam proses pengambilan keputusan untuk dan oleh bangsa-negara. Perilaku sosial menyimpang menjadi dasar bagi terbentuknya perilaku politik menyimpang. Perilaku politik menyimpang dapat pula bersumber dari kepribadian menyimpang. Tulisan ini menyimpulkan bahwa di samping karena alasan perilaku sosial menyimpang para elit pemimpin di pelbagai strata dan ruang lingkup kehidupan negara dan bangsa Indonesia, perilaku politik menyimpang di Indonesia juga bersumber dari pola kepribadian menyimpang individu-individu elit politik di Indonesia.
Perilaku Politik Sebagai Bagian Perilaku Sosial
Sejak lama dalam wacana psikologi dikenal istilah people’s social behaviour sebagai perwujudan kepribadian individu yang melakukan political action dalam kehidupan sosial politiknya yang kemudian lebih dikenal dengan istilah political behaviour (perilaku politik). Dalam konsep psikologi tentang kepribadian, selalu digambarkan bahwa perilaku sosial (social behaviour) merupakan bagian tidak terpisahkan dari kepribadian seseorang. Bahkan, tidak sedikit konsep teori psikologi yang menganggap bahwa kepribadian seseorang hanya akan terukur melalui perwujudannya dalam berperilaku sosial.
Seringkali, perilaku sosial sendiri dalam pelbagai pemahaman psikologi diartikan dalam beberapa pengertian. Antara lain: Perilaku seseorang yang terjadi karena kehadiran individu atau orang lain; Perilaku individu dalam kelompok; Perilaku yang terjadi di bawah kendali keinginan dan aturan sosial di mana individu bergabung.
Oleh karena itu, memang akan mustahillah bila individu manusia tidak menempatkan perilaku sosial sebagai bagian yang penting dari kepribadiannya, mengingat bahwa salah satu yang menjadikan manusia sebagai mahluk unggul dan mulia dibandingkan mahluk lainnya adalah karena manusia merupakan mahluk sosial yang mampu menciptakan dan menyelenggarakan kehidupannya secara bersama dengan manusia lain. Tidak heran bilamana tata berperilaku sosial merupakan bagian terpenting bagi peradaban manusia, sehingga setiap peradaban manusia hanya mampu bertahan (survive) bilamana mampu menyelenggarakan tata kehidupan sosial yang beradab pula. Jatuh bangunnya peradaban manusia dalam sejarahnya dari masa ke masa kehidupan nenek-moyangnya ditandai oleh semakin tertata tidaknya perilaku sosial dalam penyelenggaraan kehidupannya bersama orang lain. Mulai dari masa manusia memangsa sesama (homo homini lupus) sebagai bentuk kehidupan primitif (jahiliyah, tidak beradab) untuk kemudian berkembang sehingga menjadi suatu perikehidupan sosial bersama yang simbiosis, tertata yang dianggap beradab, di mana perilaku sosial individu-individunya berlangsung dalam tatanan teratur, saling menghormati sesama, dan lain sebagainya.
Tata berperilaku sosial ini tampaknya kini mulai diabaikan urgensinya di kalangan manusia Indonesia. Mulai dari lingkungan sosialnya yang yang terkecil (yakni keluarga) sampai dengan lingkungan sosialnya (yakni negara, bangsa) tidak terlihat intensif menanamkan prinsip dasar perilaku sosial untuk hidup bersama, memiliki kepentingan bersama, saling menghormati, saling menghargai dan pelbagai saling dalam kata kebersamaan lainnya. Bukan saja di tingkat nasional menegara; bahkan di tingkat lokal selingkungan sekalipun pola tata krama berkehidupan sosial tidak ditanamkan secara beradab. Masing-masingnya berperilaku sosial sesuai dengan dorongan primitifnya yang hampir-hampir tidak lagi mampu dikendalikan oleh unsur pengendalian ego berakal sehat dan berperasaan. Perilaku sosialnya tunduk semata-mata pada hukum-hukum psikologi massa yang meleburkan ego dan keindividualan yang unik dari setiap orang menjadi tingkah laku hooligan yang dikuasai alam ketidak-sadaran akan adanya pengendalian nalar dan akal sehat serta emosi kemanusiaan.
Selama 65 tahun kebersamaan sebagai bangsa dan negara, Indonesia belum mampu menciptakan budaya dan tata-krama bersama dalam tata-pergaulan antar manusianya. Tampaknya perilaku sosial pada bangsa Indonesia ini masih bermasalah. Karena perilaku sosial merupakan induk dari perilaku politik, dengan sendirinya kita akan bermasalah pula dalam berperilaku politik. Bahkan, timbul kesan luas bahwa semua masalah yang kita alami dalam kehidupan bangsa dan negara ini bersumber pada gangguan dari perilaku politik yang dipraktekkan dalam kehidupan sehari-harinya.
Perilaku Politik
Di dalam kajian psikologi sejak lama Lewin (1965) mengartikan perilaku politik sebagai: ”participation by individual in a group decision-making process…”. Negara dan bangsa adalah suatu bentuk pengorganisasian individu-manusia dalam pengelompokan terbesar secara formal, efektif dan teridentifikasikan yang pernah dikenal dan dihasilkan oleh sejarah peradaban umat manusia hingga saat ini.
Dengan demikian, perilaku politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara adalah perilaku yang menampilkan kegiatan pelibatan dan keterlibatan dalam proses pengambilan keputusan yang dibuat (oleh dan) bagi kehidupan bangsa dan negara.
Terdapat pula pandangan bahwa perilaku politik adalah perilaku yang terdapat pada apa yang kita rumus-artikan sebagai dunia politik dengan segala tingkah-polah yang terjadi di dalamnya.
Dalam artian luas, tingkah laku politik merupakan tingkah laku yang akan kita temukan pada setiap individu manusia, karena saat ini hampir setiap individu manusia tentulah akan menjadi warganegara dari sesuatu negara dan bangsa. Kata negara dan bangsa pun saat ini hampir selalu disebutkan sebagai satu kata majemuk: negara-bangsa (nation state), karena peradaban modern dunia manusia saat ini memberikan tempat sangat sedikit bagi suatu negara etnik, rasial, mistis, religi atau agama. Keikusertaan atau ketaksertaan menggunakan hak suara dalam pemilihan umum dari seseorang warga adalah wujud perilaku politik dalam pengertian ini. Tentu saja banyak bentuk dan contoh lainnya yang dapat disusulkan.
Dalam artian sempit perilaku politik adalah perilaku manusia yang melakukan aktivitas di dalam lingkungan kehidupan politik (yang ruang lingkupnya bergantung kepada rumusan dan pengertian yang dibuatkan oleh masyarakat dan lingkungannya). Dalam pengertian ini, perilaku politik hanyalah perilaku yang ditemukan pada manusia-manusia yang menjadi insan politik dan terlibat aktif dalam proses pengambilan keputusan untuk serta oleh negara, seperti: anggota partai, parlemen, negarawan, politisi, dan lain sebagainya.
Adanya anggapan banyak ahli bahwa pada hakikatnya manusia adalah zoon politicon (insan politik) kiranya dapat mengkonvergensikan dua pengertian tersebut lebih cenderung pada artian perilaku politik dalam artian luas dan bukannya monopoli semata para politisi dan sejenisnya saja.
Perilaku Politik Menyimpang
Karena perilaku politik merupakan bagian dari perilaku sosial, dan perilaku sosial sangat dipengaruhi oleh sistem sosial, Zimmerman dan Pollner (1970) merumuskan bahwa: Perilaku politik= Fungsi (Sistem Sosial). Namun, para ahli psikologi yang berorientasikan Individual beranggapan bahwa karena unsur individu dan keunikannya lebih kuat pengaruhnya terhadap perilaku individu dibanding pengaruh unsur sosialnya; perilaku politik seseorang perlu lebih memberikan perhatian pada aspek-aspek yang terdapat pada dirinya dalam berperilaku politik itu.
Pandangan-pandangan di atas perlu digaris-bawahi dalam menelusuri pengertian dan dinamika terjadinya perilaku politik menyimpang.
Dalam pemahaman umum, psikologi mengaitkan unsur kesehatan mental dalam merumuskan dan memahami tingkah-laku menyimpang sebagai tingkah-laku yang dirasakan sebagai mengganggu dirinya (complain) atau mengganggu lingkungan atau orang lain (sign atau symptom).
Dengan demikian, perilaku politik menyimpang dapat diartikan sebagai perilaku politik yang menimbulkan gangguan mental bagi dirinya sendiri atau orang lain; atau perilaku politik yang dirasakan sebagai gangguan atau mengganggu diri sendiri atau orang lain. Perilaku politik korupsi, kolusi, nepotisme jelas merupakan perilaku menyimpang karena dirasakan sebagai gangguan atau menimbulkan gangguan pada orang lain; bukan semata-mata karena bertentangan atau melawan hukum. Hukum memang dibuat untuk memungkinkan diberikannya punishment terhadap sesuatu yang menimbulkan gangguan psikis maupun fisik terhadap manusia. Reward and punishment dikenal dalam piskologi sebagai instrumen yang dibutuhkan dalam proses pembentukan tingkah laku dan kepribadian.
Perilaku politik menyimpang juga dirasakan sebagai gangguan oleh yang bersangkutan sendiri karena menimbulkan dampak tekanan (stress), tension, maladjustment, dan lain sebagainya, terutama karena reaksi diri dan lingkungan terhadapa perilakunya tersebut. Suatu proses rekrutmen yang keliru dalam kepemimpinan partai sehingga menempatkan seseorang berkecerdasan rendah sebagai pimpinan partai, sementara masalah politik yang dihadapinya memerlukan kecerdasan tinggi untuk mampu meyakinkan masyarakat terhadap gagasan dan keinginan partainya; akan mengakibatkannya mengalami gangguan psikis karena ketakmampuannya itu. Di lain pihak masyarakat akan merasa terganggu pula karena masalah yang dihadapinya tidak mampu diatasi dengan cerdas dan memadai sehingga berakibat penderitaan padanya.
Berlanjut ke Bagian 2